Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Epistaksis merupakan perdarahan yang berasal dari hidung. Epistaksis dapat terjadi pada

semua usia dan puncaknya pada anak-anak dan orang tua. Epistaksis diperkirakan terjadi pada

60% warga dunia selama hidupnya dan 6% dari mereka mencari penanganan medis. Kejadian

epistaksis meningkat pada usia di bawah 10 tahun dan usia lebih dari 50 tahun tahun. Epistaksis

bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90 % dapat

berhenti sendiri.

Epistaksis pada anak sering terjadi akibat pecahnya pembuluh darah nasal bagian anterior

dan biasanya perdarahan dapat berhenti sendiri. Epistaksis atau mimisan yang terjadi berulang

pada anak-anak sering menimbulkan rasa khawatir pada orang tua sehingga membawa anaknya

ke tempat pelayanan kesehatan.

Penatalaksanaan epistaksis perlu diperhatikan tiga prinsip utama yaitu menghentikan

perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung

Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1)

pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5)

kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan

tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk

melebarkan atau 4 menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung

(os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan

kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah

hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis

lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago

septum.

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di sebelah

anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi

dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior.

Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah

antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut

meatus superior.

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior

yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah rongga hidung

mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, diantaranya adalah ujung a. palatina

mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan
memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung

mendapat pendarahan dari cabang – cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat

anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a.

palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya

superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis

(pendarahan hidung) terutama pada anak. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan

berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara

ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki

katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke

intracranial.

Gambar 2.1 Vaskularisasi (A) dinding lateral hidung dan (B) septum nasal
Gambar 2.2 Vena pada hidung

Gambar 2.3 Inervasi pada (A) dinding lateral hidung dan (B) septum nasal

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis

anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari 9 n. oftalmikus (N.V-1).

Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila melalui
ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga

memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima

serabut-serabut sensoris dari n. maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n. petrosus

superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion

sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. Nervus

olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan

kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga

atas hidung.

2.2 Fisiologi Hidung

Dalam keadaan idealnya, desain hidung internal menyediakan saluran yang canggih

untuk pertukaran udara yang laminer. Selama inspirasi hidung, terjadi penyaringan partikel-

partikel dan pelembaban udara dari luar oleh epitel bertingkat torak semu bersilia

(pseudostratified ciliated columnar epithelium). Lapisan hidung, terutama pada konka inferior

dan media mengandung lamia propia bervaskuler tinggi. Arteriol-arteriol konka berjalan

melewati tulang konka dan dikelilingi oleh pleksus vena. Dilatasi arteri yang terjadi dapat

memblok aliran balik vena, yang akhirnya menyebabkan kongesti mukosal.

a. Fungsi Respirasi

Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Suhu udara yang

melalui hidung diatur sehingga berkisar 370C. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh

banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.

Partikel debu, virus, bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung

oleh: rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat

pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin.
b. Fungsi Penghidu

Hidung bekerja sebagai indera penghidu dan pencecap dengan adanya mukosa olfaktorius

pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga 10 bagian atas septum. Partikel bau dapat

mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.

Fungsi hidung untuk membantu indera pencecap adalah untuk membedakan rasa manis yang

berasal dari berbagai macam bahan.

c. Fungsi Fonetik

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.

Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara

sengau (rhinolalia). Terdapat 2 jenis rhinolalia yaitu rhinolalia aperta yang terjadi akibat

kelumpuhan anatomis atau kerusakan tulang di hidung dan mulut. Yang paling sering terjadi

karena stroke, dan rhinolalia oklusa yang terjadi akibat sumbatan benda cair (ketika pilek) atau

padat (polip, tumor, benda asing) yang menyumbat.

d. Refleks Nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan dengan saluran cerna,

kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan reflex bersin dan

napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan

pankreas.

2.3 Epidemiologi

Epistaksis anterior lebih sering terjadi daripada epistaksis posterior, yaitu sekitar 80%

kasus epistaksis. Epistaksis traumatis lebih sering terjadi pada orang muda (dibawah usia 35

tahun) dan paling sering disebabkan oleh trauma digital, cedera wajah, atau benda asing di

rongga hidung. Epistaksis non-traumatik umumnya pada pasien yang lebih tua (di atas usia 50
tahun) dan mungkin karena kegagalan organ, kondisi neoplastik, peradangan, atau faktor

lingkungan (suhu, kelembaban, ketinggian). Epistaksis yang terjadi pada anak-anak kurang dari

10 tahun biasanya ringan dan berasal dari hidung anterior, sedangkan epistaksis yang terjadi pada

individu lebih tua dari 50 tahun lebih mungkin untuk menjadi parah dan berasal dari posterior.

Epistaksis menimbulkan risiko yang lebih besar pada orang tua dan mengalami perburukan klinis

jika kehilangan darah yang signifikan.

Tiga puluh persen anak di bawah 5 tahun, 56% anak berusia 6 hingga 10 tahun, dan 64%

anak berusia 11 hingga 15 tahun memiliki setidaknya satu episode epistaksis.(1) Insiden

epistaksis berkurang setelah pubertas dan meningkat pada orang dewasa setelah usia 50 tahun.(2)

Epistaksis terjadi lebih sering pada bulan-bulan musim dingin dan berhubungan dengan rinitis

alergi(3)

2.4 Etiologi

Pada perdarahan idiopatik tidak ditemukan faktor pencetus yang dapat diidentifikasi,

sedangkan perdarahan yang diketahui berhubungan dengan penyebab yang jelas dan definitif

diklasifikasikan sebagai epistaksis sekunder.(4) Trauma ke jaringan hidung eksternal dan internal,

seperti trauma wajah dan perforasi septum, dapat menyebabkan epistaksis sekunder. Manipulasi

digital lokal yang mengakibatkan trauma ringan dan pendarahan pada septum nasal anterior

dianggap sebagai penyebab paling umum dari epistaksis.(5)

Infeksi saluran pernapasan atas, sinusitis, dan rinitis alergi menghasilkan peradangan dan

peningkatan vaskularisasi mukosa hidung, membuat jaringan yang rapuh lebih rentan terhadap

trauma mekanis saat menggosok dan memetik. Meskipun penyebab mikrobiologis belum

ditetapkan, anak-anak dengan epistaksis lebih mungkin mengalami kolonisasi hidung

Staphylococcus aureus.(6) Neoplasma dan massa hidung, kepala, atau leher dapat muncul dengan
epistaksis sekunder. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) adalah tumor yang tumbuh

lambat, jinak, sangat vaskular dengan obstruksi hidung, epistaksis berulang unilateral, sakit

kepala, dan kelainan bentuk wajah pada remaja pria(7)

Kondisi hematologis dan koagulopati, baik bawaan maupun didapat, berhubungan

dengan epistaksis pada anak-anak. Penyakit von Willebrand adalah kelainan perdarahan bawaan

yang disebabkan oleh defisiensi atau disfungsi faktor von Willebrand, protein plasma yang

menengahi adhesi trombosit di tempat cedera vaskular dan juga jenis dan menstabilkan faktor

pembekuan darah VIII dalam sirkulasi.(8) Imun Trombositopenia (ITP) adalah gangguan

autoimun yang ditandai oleh destruksi trombosit yang normal, seringkali tanpa faktor pencetus

yang dapat diidentifikasi atau spesifik.(9) Gejala trombositopenia akibat ITP termasuk epistaksis,

menoragia, petekie, ekimosis, dan perdarahan yang jarang seperti perdarahan intrakranial.(10)

Proses hematologi lain yang menghasilkan epistaksis pada anak-anak termasuk hemofilia,

leukemia, disfungsi trombosit, anemia aplastik, dan manifestasi sekunder penyakit hati.

Anomali vaskular seperti hemangioma pada saluran nasosinus dapat menimbulkan

epistaksis pada anak-anak. Telangiectasia hemoragik herediter (HHT; OslerWeber-Rendu

syndrome) adalah kelainan pembuluh darah dominan autosom yang ditandai dengan malformasi

arteri di paru-paru, otak, hati, dan tulang belakang, telangiektase mukokutan, dan epistaksis. (11)

Sebagian besar pasien dengan HHT akan mengalami mimisan dengan frekuensi dan keparahan

yang bervariasi mulai dari usia rata-rata 12 tahun dan munculnya telangiektase pada mulut,

wajah, atau tangan 5 hingga 30 tahun setelah mimisan.(12)

Obat-obatan tertentu dapat menghasilkan atau memperburuk mimisan. Obat antikoagulan

seperti warfarin dan heparin mengubah jalur pembekuan darah. Epistaksis adalah efek samping

potensial dari steroid nasal. Obat antiinflamasi nonsteroid dan aspirin mempengaruhi fungsi
trombosit. Obat-obatan tradisional seperti bawang putih, gingko, dan ginseng diketahui

mengganggu agregasi trombosit.(5) Insuflasi obat-obatan rekreasional seperti kokain dan heroin

dapat merusak mukosa hidung dengan perdarahan selanjutnya. Meskipun penyebab diagnostik

untuk epistaksis anak luas, lebih dari 90% kasus tidak memiliki penyebab sistemik yang

mendasari.(13)

2.5 Patofisiologi

Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan posterior.

1. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach/ Little’s area, merupakan

sumber perdarahan paling sering dijumpai pada anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri

ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan

dengan tindakan sederhana.

2. Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior yang

disebut pleksus Woodruff’s. Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti

sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan

pada pasien dengan penyakit kardiovaskular.(14,15)

2.6 Diagnosis

Dari anamnesis yang dapat digali adalah :

1. Riwayat perdarahan sebelumnya

2. Lokasi perdarahan

3. Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah keluar

dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak

4. Lama perdarahan dan frekuensinya

5. Kecenderungan perdarahan
6. Hipertensi

7. Diabetes mellitus

8. Penyakit hati

9. Penggunaan antikoagulan

10. Trauma hidung yang belum lama

11. Obat-obatan, seperti aspirin, fenibutazon

Pada pemeriksaan fisik diawali dengan kesadaran, tanda vital, pemeriksaan kepala

sampai ekstremitas. Pada epistaksis anterior, keadaan umum pasien baik, tidak ada gangguan tanda

vital, dan tidak ditemukannya tanda hipoperfusi. Sedangkan pada epistaksis posterior, pemeriksaan fisik

sangat bergantung dengan jumlah dan waktu perdarahan. Kesadaran pasien dapat menurun, dapat terjadi

gangguan tanda vital hingga menunjukkan tanda syok seperti nadi lemah, hipotensi, takipnea, akral

dingin. Epistaksis posterior dicurigai bila (1) sebagian besar perdarahan terjadi ke dalam faring, (2) suatu

tampon anterior gagal mengontrol perdarahan, atau (3) nyata dari pemeriksaan hidung bahwa perdarahan

terletak posterior dan superior.

Pemeriksaan yang diperlukan berupa :

1. Rinoskopi anterior

Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum,mukosa

hidung dan septum nasi, dindng lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat

2. Rinoskopi posterior

Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis dan

secret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma

3. Pengukuran tekanan darah

Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat

menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang

4. Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi

5. Skrinning terhadap koagulopati

Tes-tes yang tepat termasuk waktu protombin serum,waktu tromboplastin parsial, jumlah platlet

dan waktu perdarahan

2.7 Penatalaksanaan

Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan,

mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.(16) Pasien yang datang dengan

epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu lemah dibaringkan

dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila sudah dalam keadaan syok.

Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk menyingkirkan bekuan darah.

Kemudian diberikan tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1: 10.000 dan lidokain

atau pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan

perdarahan dan mengurangi rasa sakit pada saat tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan

selama 3 - 5 menit. Dengan cara ini dapat ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di

bagian anterior atau posterior.(16) Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah

perkiraan jumlah dan kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan

darah harus cepat dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera diatasi.

Jika ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan pemeriksaan hitung trombosit,

masa protrombin dan masa tromboplastin (APTT), sedangkan prosedur diagnosis selanjutnya

dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi kehilangan darah yang banyak dan cepat,

harus difikirkan pemberian transfusi sel-sel darah merah (packed red cell) disamping

penggantian cairan.(17)

Epistaksis Anterior

1. Kauterisasi
Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan menggunakan

tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4% topikal dengan epinefrin 1 :

100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan penilefrin 0.5 %.(17) Tampon ini dimasukkan

dalam rongga hidung dan dibiarkan selama 5 – 10 menit untuk memberikan efek anestesi lokal

dan vasokonstriksi.(18) Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan larutan

perak nitrat 20 – 30% atau dengan asam triklorasetat 10%.(16) Becker (1994) menggunakan

larutan asam triklorasetat 40 – 70%. Setelah tampon dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi

dengan larutan tersebut sampai timbul krusta yang berwarna kekuningan akibat terjadinya

nekrosis superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua sisi septum, karena dapat

menimbulkan perforasi. Selain menggunakan zat kimia dapat digunakan elektrokauter atau

laser.(18) Yang (2005) menggunakan electrokauter pada 90% kasus epistaksis yang ditelitinya.(19)

2. Tampon Anterior

Apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber perdarahan tidak dapat

diidentifikasi, maka diperlukan pemasangan tampon anterior dengan menggunakan kapas atau

kain kassa yang diberi vaselin atau salap antibiotik.(16) Tampon ini dipertahankan selama 3 – 4

hari dan kepada pasien diberikan antibiotik spektrum luas. Vaghela (2005) menggunakan

swimmer’s nose clip untuk penanggulangan epistaksis anterior.

Epistaksis Posterior

1. Tampon Posterior

Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau setidaknya

dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup koana dan terfiksasi di

nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke nasofaring. Kemudian dilakukan

pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini pertama sekali diperkenalkan oleh Bellocq, dengan
menggunakan tampon yang diikat dengan tiga pita (band). Masukkan kateter karet kecil melalui

hidung kedalam faring, kemudian ujungnya dipegang dengan cunam dan dikeluarkan dari mulut

agar dapat diikat pada kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter ditarik kembali melalui

rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana melalui nasofaring.(16) Apabila masih

tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke

dalam kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari nares anterior kemudian diikat pada sebuah

gulungan kain kasa didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak

bergerak. Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya untuk

menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2 – 3 hari.

2. Tampon Balon

Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan pemasangan tampon

posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam mengontrol epistaksis posterior. Ada dua

jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley dan tampon balon yang dirancang khusus. Setelah

bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan asal perdarahan. Kemudian lakukan anestesi

topikal yang ditambahkan vasokonstriktor. Kateter Foley no. 12 - 16 F diletakkan disepanjang

dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan

salin dan kateter Foley ditarik kearah anterior sehingga balon menutup rongga hidung posterior.

Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit yang mengganggu, kurangi

tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter difiksasi dengan

mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila tampon balon ini gagal

mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon posterior.(20)

3. Ligasi Arteri
Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan meligasi

pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan segera. Tetapi

kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis yang

berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi arteri yang mensuplai darah ke mukosa

hidung.

a. Ligasi Arteri Karotis Eksterna

Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk melindungi suplai

darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna. Tindakan ini dapat

dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal sekitar dua jari dibawah batas

mandibula yang menyilang pinggir anterior m. sternokleidomastoideus. Setelah flap

subplatisma dielevasi, m. sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi

diteruskan ke arah bawah menuju selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio

karotis kemudian a. karotis eksterna dipisahkan. Dianjurkan untuk melakukan ligasi

dibawah a. faringeal asendens, terutama apabila epistaksis berasal dari bagian posterior

hidung atau nasofaring. Arteri karotis eksterna diligasi dengan benang 3/0 silk atau linen.

b. Ligasi Arteri Maksilaris Interna

Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan transantral.

Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi lokal atau umum lalu dilakukan insisi Caldwell

– Luc dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah dijumpai antrum maksila, secara hati-

hati buang dinding sinus posterior dengan menggunakan pahat kecil, kuret atau bor,

dimulai dari bagian inferior dan medial untuk menghindari trauma orbita. Setelah

terbentuk jendela (window) pada tulang, lakukan insisi pada periostium posterior.

Dengan operating microscope pada daerah itu lakukan observasi untuk melihat adanya
pulsasi yang menandakan letak arteri. Jaringan lemak dan jaringan ikat pada fosa

pterigopalatina didiseksi dengan menggunakan hemostat, alligator clips, bayonet forcep

dengan bipolar electrocauter dan nervehook. Setelah a. maksila interna diidentifikasi,

arteri ini diretraksi dengan menggunakan nervehook dan identifikasi cabang-cabangnya.

Dibuat nasoantral window dan masukkan tampon yang telah diberi salap antibiotik

selama 24 jam.2 Maceri (1984) menjelaskan pendekatan transoral untuk ligasi a.

maksilaris interna. Plane of buccinator dimasuki melalui insisi gingivobukal. Jaringan

lemak bukal dibuang, dan identifikasi perlekatan m. temporalis ke prosessus koronoid

mandibula. Lakukan diseksi tumpul pada daerah ini dan identifikasi a. maksila interna.

Selanjutnya arteri dipisahkan, dijepit atau diligasi. Prosedur ini berguna apabila

pendekatan transantral tidak dapat dilakukan oleh karena trauma sinus atau malignansi.

Kelemahan dari prosedur ini adalah lokasi ligasi terletak lebih ke proksimal dibandingkan

dengan pendekatan transantral sehingga lebih memungkinkan untuk terjadinya

kegagalan. Komplikasi utama pendekatan ini adalah pembengkakan pipi dan trismus

yang dapat berlangsung selama tiga bulan. Shah (2005) menggunakan clip titanium pada

arteri sphenopalatine untuk mengatasi epistaksis posterior.

c. Ligasi Arteri Etmoidalis

Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik diterapi dengan

ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan pada tempat

arteri keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan posterior yang berada pada sutura

frontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm posterior dari krista

lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7 mm. sebelah

anterior n. optikus. Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk mencapai daerah ini. Retraktor
orbita digunakan untuk meretraksi periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi

dilakukan disebelah posterior disepanjang garis sutura pada lamina subperiosteal. Dua

klem arteri diletakkan pada a. etmoidalis anterior, dan rongga hidung dievaluasi kembali.

Jika perdarahan berhenti, a. etmoidalis posterior tidak diganggu untuk menghindari

trauma n. optikus. Tetapi bila perdarahan persisten, a. etmoidalis posterior diidentifikasi

dan diklem. Hidarkan pemakaian kauter untuk menghindari trauma.

d. Angiografi dan Embolisasi

Sokoloff (1974) pertama kali memperkenalkan teknik embolisasi perkutan pada a.

maksilaris interna dengan menggunakan absorbable gelatin sponge untuk epistaksis yang

persisten. Beberapa laporan terakhir mendiskusikan kegunaan angiografi dalam

menentukan sumber perdarahan. Merland, (1980) melaporkan penggunaan embolisasi

untuk pengobatan telangiektasi hemoragik herediter, epistaksis (primer dan traumatik),

angiofibroma nasofaring, tumor ganas dan penyakit pendarahan. Mereka menjumpai

kesulitan dalam melakukan embolisasi a. etmoidalis tetapi tindakan ini lebih

menguntungkan bila dibandingkan dengan ligasi a. maksila interna oleh karena terjadinya

obliterasi dibagian distal arteri. Komplikasi embolisasi mencakup paralisis fasial dan

hemiplegi. Rasa nyeri pada wajah dan trismus juga sering dijumpai. Beberapa material

telah digunakan untuk embolisasi tetapi absorbable gelatin sponge merupakan zat yang

paling sering digunakan. Walaupun tekhnik ini masih kontroversi, ada kesepakatan

bahwa embolisasi pada penanganan epistaksis dilakukan bila terapi lainnya gagal dan

apabila ada kontraindikasi untuk operasi.


2.8 Komplikasi

Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya.

Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air

mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus

nasolakrimalis dan septikemia.

Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media, septicemia, atau

toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap pemasangan

tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan berlanjut dipasang

tampon baru.

Selama pemasangan tampon dapat terjadi shock akibat gejala neurogenik. Neurogenic

shock pada pasien epistaksis dengan pemasangan tampon anterior hidung dilaporkan oleh

Adikhari dan kawan kawan, hal ini merupakan akibat aktivitas otonom sehingga terjadi

vasodilatasi, darah terkumpul di ekstremitas dan kemudian pasien pingsan. Hal ini disebut

vasovagal reflex, bersifat sementara dan tidak berat. Dikatakan bahwa emosi yang kuat dapat

menyebabkan hipotensi. Keluarnya darah dari hidung dapat menyebabkan hipotensi yang diikuti

oleh faktor emosi yang kuat dan bukan oleh karena hilangnya darah saja, hal ini juga bersifat

individual, dimulai dengan gangguan psikis di korteks serebri. Laporan klinik terdahulu

dikatakan bahwa tampon hidung pada penatalaksanaan epistaksis menginduksi refleks

nasopulmoner, menyebabkan perubahan fungsi paru sehingga terjadi hipoksia, dan akibatnya

terjadi refleks hipoxema arterial. Selain itu iritasi membran mukosa nasal dan laring oleh karena

pemasangan tampon hidung dapat menyebabkan reflex apnea pada pusat inspirasi yang

menyebabkan bradikardi melalui mekanisme sinoaortik kemoreseptor. Hal ini dapat

menyebabkan bradikardi dan hipotensi pada semua pasien selama pemasangan tampon hidung.
Pada beberapa pasien bradikardi dan hipotensi ini sangat ekstrem sehingga terjadi vasovagal.

Dalam penelitiannya Adhikari dan kawan kawan melaporkan penurunan tekanan darah yang

signifikan, sistolik maupun diastolik, dan denyut jantung selama pemasangan tampon anterior

hidung dibandingkan sebelum dan sesudahnya. Kejadian ini menyebabkan tindakan pemasangan

tampon hidung harus dilakukan hati–hati, tekanan darah dan denyut jantung harus

diperhatikan.(13)
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas pasien

Nama Penderita : Eleterius Revandino Sape

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 8 tahun

Alamat :Nilangkliung

Agama :Katolik

Pekerjaan : Pelajar

Tanggal pemeriksaan : 14 Juni 2019

3.2 Anamnesis

3.2.1 Keluhan utama

Mimisan dari hidung

3.2.2 Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke poli RSUD dr. T.C. HILLERS Maumere diantar oleh keluarganya dengan

keluhan sering mimisan terutama ketika udara dingin, pilek dan waktu demam. Dalam

sebulan mimisan dapat 2 sampai 3 kali. Mimisan terakhir 2 jam sebelum datang ke poli,

darah keluar dari kavum nasi kanan dan riwayat trauma karena mengorek disangkal, riwayat

pilek dan demam sebelumnya disangkal. Tidak terdapat rinorre, rasa buntu pada hidung dan

bersin-bersin.

3.2.3 Riwayat penyakit dahulu

Gigi berlubang (-), asma (-), alergi (-)

3.2.4 Riwayat penyakit keluarga


Pasien tidak memiliki keluarga dengan keluhan serupa atau mengidap tumor.

3.2.5 Riwayat Pengobatan

Pasien belum menggunaan pengobatan untuk keluhan mimisannya

3.3 Pemeriksaan fisik

3.3.1 Status generalis

 Keadaan umum : Baik

 Kesadaran : Compos Mentis

 Tanda vital :

o Nadi : 100 x/menit

o Respirasi : 20 x/menit

o Suhu : 36.7 0C

 BB : 26.9 kg

3.3.2 Status lokalis

 Pemeriksaan Telinga

No. Pemeriksaan Telinga Kanan Telinga kiri


telinga
1 Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
2 Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam batas Bentuk dan ukuran dalam batas
normal, lesi pada kulit (-), normal, lesi pada kulit (-), hematoma
hematoma (-), massa (-), fistula (-), massa (-), fistula (-), nyeri tarik
(-), nyeri tarik aurikula (-) aurikula (-)
3 Liang telinga Serumen (+) minimal, Serumen (+) minimal, Hiperemis (-),
Hiperemis (-), edema (-), edema (-), furunkel (-), otorrhea (-)
furunkel (-), otorrhea (-)
4 Membran Retraksi (-), bulging (-), Retraksi (-), bulging (-), hiperemis (-),
timpani hiperemis (-), Perforasi (-), Perforasi (-), refleks cahaya(+), warna
refleks cahaya(+), warna putih putih mutiara, koleastoma (-).
mutiara, koleastoma (-).

 Pemeriksaan Hidung

No. Pemeriksaan Hidung kanan Hidung kiri

hidung

Hidung Luar Bentuk normal, inflamasi (-), Bentuk normal, inflamasi (-), massa

massa (-), nyeri tekan (-) (-), nyeri tekan (-)

Vestibulum nasi Normal, ulkus (-) Normal, ulkus (-)

Cavum nasi Bentuk normal, Mukosa edem (-), Bentuk normal, Mukosa edem (-),

secret (-), massa (-), darah (+) secret (+) , massa (-), darah (-)

Konka Edema (-), mucus (-) Edema (-), mucus (-)

Septum Nasi Bekuaan darah (+) deviasi (-), Bekuaan darah (-) deviasi (-), ulkus

ulkus (-), mukosa normal (-), mukosa normal

 Pemeriksaan Faring

Mulut Mukosa mulut basah, berwarna merah muda, halitosis (-)

Geligi Gigi tidak terdapat lubang

Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-), pseudomembran (-)

Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)

Faring Mukosa hiperemi (-), edema (-), ulkus (-), granul (-), secret (-), refleks

muntah (+)
Tonsil palatina Kanan : hiperemi (-), permukaan rata (+), ukuran rata (+), ukuran T1,

kripte melebar (-), dentritus (-).

Kiri : hiperemi (-), permukaan rata (+), ukuran rata (+), ukuran T1,

kripte melebar (-), dentritus (-).

3.4 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Lab : darah lengkap, Clotting time, bleeding time

Hasil :

Test Result

WBC 12,02 (103 /uL)

LYMPH 3,70 (103 /uL) 30,8 %

MONO 0,58 (103 /uL) 4,8 %

EO 3,20 (103 /uL) 26,6 %

BASO 0,03 (103 /uL) 0,2 %

NEUT 4,51 (103 /uL) 37,6 %

RBC 4,45 (106 /uL)

HGB 12,1

HCT 34,8

MCV 78,2

MCH 27,2

MCHC 34,8

RDW-SD 37,0

RDW-CV 13,2
PLT 24,6

MPV 11,6

PCT 0,29

PDW 14,9

P-LCR 36,9

CT (MASA PEMBEKUAN) 8’00”

BT (MASA PERDARAHAN) 2’00”

3.5 Assesment

Epistaksis habitualis

3.6 Planning

 pemberian dengan pehacain pada cavum nasal dekstra selama 10 menit.

 Asam traneksamat 3 x 250 mg selama 5 hari

 Vit c 2 x 100 mg

 Cetirizine 1 x 10 mg

3.7 KIE Pasien

 Hindari bermain di tempat panas dan mengorek hidung

 Cari tahu makanan yang memicu alergi

 Jika hidung perdarah lakukan penekanan pada batang hidung untuk menghentikan

perdarahan selama 5-10 menit

BAB VI
PEMBAHASAN

Pada sebagian besar kasus, penyebab epistaksis sudah dapat ditentukan melalui

anamnesis dan pemeriksaan fisis. Pada anamnesis harus ditanyakan tentang awal terjadinya

perdarahan, riwayat perdarahan sebelumnya, penyakit penyerta, pemakaian obat-obatan seperti

aspirin atau warfarin, serta riwayat kelainan darah atau leukemia dalam keluarga. Kebanyakan

perdarahan dari hidung diakibatkan oleh trauma ringan pada septum nasal anterior, oleh karena

itu anamnesis harus mencakup kemungkinan tersebut. Riwayat perdarahan hidung berulang yang

sering, disertai mudah memar, atau perdarahan lainnya memberikan kecurigaan terhadap

penyebab sistemik dan dianjurkan penjajakan hematologis. Pada pemeriksaan fisis, setelah

memeriksa keadaan umum pasien dan memastikan tanda vital stabil, perhatian diarahkan pada

hidung.

Berdasarkan anamnesis penderita mengeluhkan epistaksis terutama ketika demam, pilek,

dan saat beraktifitaas di panas. Bagian dalam hidung dilapisi oleh mukosa yang tipis dan

mengandung banyak pembuluh darah (Kiesselbach plexus) yang fungsinya menghangatkan dan

melembabkan udara yang dihirup. Pembuluh-pembuluh ini amat peka terhadap pengaruh dari

luar, selain karena letaknya di permukaan juga karena hidung merupakan bagian wajah yang

paling menonjol. Sehingga perubahan cuaca (panas, kering), tekanan udara (di daerah tinggi),

teriritasi gas/zat kimia yang merangsang, pemakaian obat untuk mencegah pembekuan darah

atau hanya sekedar terbentur (pukulan), gesekan, garukan, iritasi hidung karena pilek/allergi atau

kemasukan benda asing dapat menimbulkan epistaksis.

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan adanya sekret pada cavum nasi sinistra

yang menunjukan adanya suspek rhinitis merupakan salah satu penyebab epistaksis, didukung

dengan hasil pemeriksaan laboratorium yaitu terdapat peningkatan eosinophil menunnjukan


adanya rhinitis alergik. Rhinitis alergika ditemukan pada 8% kasus, terdapat bersin, gatal, dan

hidung tersumbat. Penelitian akhir-akhir ini memerlihatkan insiden pembesaran adenoid

sebanyak 4%, walaupun tidak ada laporan pada kepustakaan, obstruksi hidung menyebabkan

aliran turbulen pada hidung di depan obstruksi akibat adenoid yang membesar, sehingga

kekeringan meningkat, dapat menyebabkan disrupsi mukosa dan epistaksis.

Pada tatalaksana kombinasi lidokain 4% topikal dengan epinefrin 1:100.000 atau

kombinasi lidokain 4% topikal dan penilefrin 0,5 %. Tampon ini dimasukkan dalam rongga

hidung dan dibiarkan selama 5 – 10 menit untuk memberikan efek anestesi lokal dan

vasokonstriksi. Terapi di berikan asam traneksamat untuk menghentikan perdarahan, dan

cetirizine sebagai dekongestan, dan vitamin c untuk meningkatkan daya tahan tubuh.

Pada kasus perdarahan berulang pada anak perlu di perhatikan tingkat hemoglobin dan

juga di curigai adanya koagulopathy sehingga dilakukan pemeriksaan bleeding time dan clotting

time.
BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan An. ER umur 8 tahun didiagnosis berdasarkan anamnesis pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang sebagai epistaksis habitualis. Epistaksis (perdarahan dari

hidung) adalah suatu gejala dan bukan suatu penyakit, yang disebabkan oleh adanya suatu

kondisi kelainan atau keadaan tertentu. Epistaksis bisa bersifat ringan sampai berat yang dapat

berakibat fatal. Epistaksis disebabkan oleh banyak hal, namun dibagi dalam dua kelompok besar

yaitu lokal dan sistemik. Pada kasus disebabkan local yaitu rhinitis alergi. Epistaksis dibedakan

menjadi dua berdasarkan lokasinya yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Pada

epistaksis anterior biasanya perdarahan berlangsung singkat dan ditandai dengan keluarnya darah

melalui cavum nasi. Pemeriksaan rinoskopi anterior pasien dengan epistaksis dapat dilakukan

untuk melihat sumber perdarahan. Pada pemeriksaan didapatkan adanya bekuan darah dan secret

minimal pada cavum nasal. Prinsip penanganan epistaksis adalah menghentikan perdarahan,

mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Tindakan- tindakan yang dilakukan

pada epistaksis adalah memencet hidung dan pemasangan tampon anterior yang telah diberi

pehacain. Selanjutnya dilakukan skrining koagulopati dan mencari tahu riwayat penyakit pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Petruson, B. (1979). Epistaxis in childhood. Rhinology, 17, 83-90


2. Haddad, J. (2011). Acquired disorders of the nose. In R. M. Kliegman, B. F. Stanton, N.
S. Schor, J. W. St. Geme III & R. E. Behrman (Eds.), Nelson Textbook of Pediatrics
(19th ed., pp. 1431-1433). Philadelphia, PA: Elsevier Saunders.
3. Purkey, M. R., Seeskin, Z., & Chandra, R. (2014). Seasonal variation and predictors of
epistaxis. Laryngoscope, 124, 2028-2033.
4. Melia, L., & McGarry, G. W. (2011). Epistaxis: Update on management. Current Opinion
in Otolaryngology and Head and Neck Surgery, 19, 30-35
5. Gifford, T. O., & Orlandi, R. R. (2008). Epistaxis. Otolaryngologic Clinics of North
America, 41, 525-536.
6. Whymark, A. D., Crampsey, D. P., Fraser, L., Moore, P., Williams, C., & Kubba, H.
(2008). Childhood epistaxis and nasal colonization with Staphylococcus aureus.
Otolaryngology Head and Neck Surgery, 138, 307-310
7. Blount, A., Riley, K., & Woodworth, B. (2011). Juvenile nasopharyngeal angiofibroma.
Otolaryngologic Clinics of North America, 44, 989-1004.
8. Nichols, A., & Jassar, P. (2013). Paediatric epistaxis: Diagnosis and management.
International Journal of Clinical Practice, 67, 702-705.
9. Neunert, C., Lim, W., Crowther, M., Cohen, A., Solberg, L., & Crowther, M. A. (2011).
The American Society of Hematology 2011 evidence-based guidelines for immune
thrombocytopenia. Blood, 117, 4190-4207.
10. Schultz, C., Mitra, N., Schapira, M., & Lambert, M. P. (2014). Influence of the American
Society of Hematology Guidelines on the management of newly diagnosed childhood
immune thrombocytopenia. JAMA Pediatrics, 168, e142214
11. Sekarski, L. A., & Spangenberg, L. A. (2011). Hereditary hemorrhagic telangiectasia:
Children need screening too. Pediatric Nursing, 37, 163-168.
12. Faughnan, M. E., Palda, V. A., Garcia-Tsao, G., Geisthoff, U. W., McDonald, J., Proctor,
D. D., . HHT Foundation International-Guidelines Working Group. (2011). International
guidelines for the diagnosis and management of hereditary haemorrhagic telangiectasia.
Journal of Medical Genetics, 48, 73-87.
13. Qureishi, A., & Burton, M. J. (2012). Interventions for recurrent idiopathic epistaxis
(nosebleeds) in children. Cochrane Database of Systematic Reviews(9), CD004461.
14. Viewhug, Tate L, dan Jhon B Roberson. Epistaxis : Diagnosis and Treatment. USA:
American Association of Oral and Maxillofacial Surgeons. 2006;511-8.
15. Kucik, Corry J dan Timothy Clenney. Management of Epistaxis. USA: American Family
Physician. 2005;305-11. [serial online] January 15, 2005. [cited 2013 September 03]
Available from: http://www.aafp.org/afp/2005/0115/p305.pdf
16. Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu, Epistaksis. Dalam:
Buku ajar ilmu penyakit telinga Tinjauan Pustaka 278 Suplemen y Majalah Kedokteran
Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006 hidung tenggorok. Edisi 3. Jakarta,
Balai Penerbit FK UI, 1998: 127 – 31.
17. Abelson TI. Epistaxis. Dalam: Paparella MM, Shumrick DA, Glucman JL, Meyerhoff
WL. Otolaryngology. Vol. III. Ed. 3 rd. Philadelphia: WB Saunders Company, 1997:
1831 – 41.
18. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, nose, and throat disease, a pocket reference.
Second Edition. New York, Thieme Medical Publiseher, Inc, 1994: 170 – 80 dan 253 –
60.
19. Yang DZ, Cheng JN, Han J, Shu P, ZhangH. Management of intactable epistaxis and
bleeding points laokalization. Zhonghua Er Bi, 2005. Vol. 40 (5): 360 – 2.
20. Vaghela HM. Foley catheter posterior nasal packing. Clin Otolaryngol, 2005. Vol. 30 (2):
209 – 10.

Anda mungkin juga menyukai