PENDAHULUAN
Epistaksis merupakan perdarahan yang berasal dari hidung. Epistaksis dapat terjadi pada
semua usia dan puncaknya pada anak-anak dan orang tua. Epistaksis diperkirakan terjadi pada
60% warga dunia selama hidupnya dan 6% dari mereka mencari penanganan medis. Kejadian
epistaksis meningkat pada usia di bawah 10 tahun dan usia lebih dari 50 tahun tahun. Epistaksis
bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90 % dapat
berhenti sendiri.
Epistaksis pada anak sering terjadi akibat pecahnya pembuluh darah nasal bagian anterior
dan biasanya perdarahan dapat berhenti sendiri. Epistaksis atau mimisan yang terjadi berulang
pada anak-anak sering menimbulkan rasa khawatir pada orang tua sehingga membawa anaknya
TINJAUAN PUSTAKA
Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1)
pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5)
kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan
tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau 4 menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung
(os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis
lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago
septum.
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di sebelah
anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi
dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior.
Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah
antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut
meatus superior.
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah rongga hidung
mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, diantaranya adalah ujung a. palatina
mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan
memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang – cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat
palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis
(pendarahan hidung) terutama pada anak. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan
berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara
ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki
katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke
intracranial.
Gambar 2.1 Vaskularisasi (A) dinding lateral hidung dan (B) septum nasal
Gambar 2.2 Vena pada hidung
Gambar 2.3 Inervasi pada (A) dinding lateral hidung dan (B) septum nasal
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari 9 n. oftalmikus (N.V-1).
Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila melalui
ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. Nervus
olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan
kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga
atas hidung.
Dalam keadaan idealnya, desain hidung internal menyediakan saluran yang canggih
untuk pertukaran udara yang laminer. Selama inspirasi hidung, terjadi penyaringan partikel-
partikel dan pelembaban udara dari luar oleh epitel bertingkat torak semu bersilia
(pseudostratified ciliated columnar epithelium). Lapisan hidung, terutama pada konka inferior
dan media mengandung lamia propia bervaskuler tinggi. Arteriol-arteriol konka berjalan
melewati tulang konka dan dikelilingi oleh pleksus vena. Dilatasi arteri yang terjadi dapat
a. Fungsi Respirasi
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Suhu udara yang
melalui hidung diatur sehingga berkisar 370C. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh
banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.
Partikel debu, virus, bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung
oleh: rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat
pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin.
b. Fungsi Penghidu
Hidung bekerja sebagai indera penghidu dan pencecap dengan adanya mukosa olfaktorius
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga 10 bagian atas septum. Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.
Fungsi hidung untuk membantu indera pencecap adalah untuk membedakan rasa manis yang
c. Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara
sengau (rhinolalia). Terdapat 2 jenis rhinolalia yaitu rhinolalia aperta yang terjadi akibat
kelumpuhan anatomis atau kerusakan tulang di hidung dan mulut. Yang paling sering terjadi
karena stroke, dan rhinolalia oklusa yang terjadi akibat sumbatan benda cair (ketika pilek) atau
d. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan reflex bersin dan
napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan
pankreas.
2.3 Epidemiologi
Epistaksis anterior lebih sering terjadi daripada epistaksis posterior, yaitu sekitar 80%
kasus epistaksis. Epistaksis traumatis lebih sering terjadi pada orang muda (dibawah usia 35
tahun) dan paling sering disebabkan oleh trauma digital, cedera wajah, atau benda asing di
rongga hidung. Epistaksis non-traumatik umumnya pada pasien yang lebih tua (di atas usia 50
tahun) dan mungkin karena kegagalan organ, kondisi neoplastik, peradangan, atau faktor
lingkungan (suhu, kelembaban, ketinggian). Epistaksis yang terjadi pada anak-anak kurang dari
10 tahun biasanya ringan dan berasal dari hidung anterior, sedangkan epistaksis yang terjadi pada
individu lebih tua dari 50 tahun lebih mungkin untuk menjadi parah dan berasal dari posterior.
Epistaksis menimbulkan risiko yang lebih besar pada orang tua dan mengalami perburukan klinis
Tiga puluh persen anak di bawah 5 tahun, 56% anak berusia 6 hingga 10 tahun, dan 64%
anak berusia 11 hingga 15 tahun memiliki setidaknya satu episode epistaksis.(1) Insiden
epistaksis berkurang setelah pubertas dan meningkat pada orang dewasa setelah usia 50 tahun.(2)
Epistaksis terjadi lebih sering pada bulan-bulan musim dingin dan berhubungan dengan rinitis
alergi(3)
2.4 Etiologi
Pada perdarahan idiopatik tidak ditemukan faktor pencetus yang dapat diidentifikasi,
sedangkan perdarahan yang diketahui berhubungan dengan penyebab yang jelas dan definitif
diklasifikasikan sebagai epistaksis sekunder.(4) Trauma ke jaringan hidung eksternal dan internal,
seperti trauma wajah dan perforasi septum, dapat menyebabkan epistaksis sekunder. Manipulasi
digital lokal yang mengakibatkan trauma ringan dan pendarahan pada septum nasal anterior
Infeksi saluran pernapasan atas, sinusitis, dan rinitis alergi menghasilkan peradangan dan
peningkatan vaskularisasi mukosa hidung, membuat jaringan yang rapuh lebih rentan terhadap
trauma mekanis saat menggosok dan memetik. Meskipun penyebab mikrobiologis belum
Staphylococcus aureus.(6) Neoplasma dan massa hidung, kepala, atau leher dapat muncul dengan
epistaksis sekunder. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) adalah tumor yang tumbuh
lambat, jinak, sangat vaskular dengan obstruksi hidung, epistaksis berulang unilateral, sakit
dengan epistaksis pada anak-anak. Penyakit von Willebrand adalah kelainan perdarahan bawaan
yang disebabkan oleh defisiensi atau disfungsi faktor von Willebrand, protein plasma yang
menengahi adhesi trombosit di tempat cedera vaskular dan juga jenis dan menstabilkan faktor
pembekuan darah VIII dalam sirkulasi.(8) Imun Trombositopenia (ITP) adalah gangguan
autoimun yang ditandai oleh destruksi trombosit yang normal, seringkali tanpa faktor pencetus
yang dapat diidentifikasi atau spesifik.(9) Gejala trombositopenia akibat ITP termasuk epistaksis,
menoragia, petekie, ekimosis, dan perdarahan yang jarang seperti perdarahan intrakranial.(10)
Proses hematologi lain yang menghasilkan epistaksis pada anak-anak termasuk hemofilia,
leukemia, disfungsi trombosit, anemia aplastik, dan manifestasi sekunder penyakit hati.
syndrome) adalah kelainan pembuluh darah dominan autosom yang ditandai dengan malformasi
arteri di paru-paru, otak, hati, dan tulang belakang, telangiektase mukokutan, dan epistaksis. (11)
Sebagian besar pasien dengan HHT akan mengalami mimisan dengan frekuensi dan keparahan
yang bervariasi mulai dari usia rata-rata 12 tahun dan munculnya telangiektase pada mulut,
seperti warfarin dan heparin mengubah jalur pembekuan darah. Epistaksis adalah efek samping
potensial dari steroid nasal. Obat antiinflamasi nonsteroid dan aspirin mempengaruhi fungsi
trombosit. Obat-obatan tradisional seperti bawang putih, gingko, dan ginseng diketahui
mengganggu agregasi trombosit.(5) Insuflasi obat-obatan rekreasional seperti kokain dan heroin
dapat merusak mukosa hidung dengan perdarahan selanjutnya. Meskipun penyebab diagnostik
untuk epistaksis anak luas, lebih dari 90% kasus tidak memiliki penyebab sistemik yang
mendasari.(13)
2.5 Patofisiologi
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan posterior.
1. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach/ Little’s area, merupakan
sumber perdarahan paling sering dijumpai pada anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri
ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan
2. Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior yang
disebut pleksus Woodruff’s. Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti
sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan
2.6 Diagnosis
2. Lokasi perdarahan
3. Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah keluar
5. Kecenderungan perdarahan
6. Hipertensi
7. Diabetes mellitus
8. Penyakit hati
9. Penggunaan antikoagulan
Pada pemeriksaan fisik diawali dengan kesadaran, tanda vital, pemeriksaan kepala
sampai ekstremitas. Pada epistaksis anterior, keadaan umum pasien baik, tidak ada gangguan tanda
vital, dan tidak ditemukannya tanda hipoperfusi. Sedangkan pada epistaksis posterior, pemeriksaan fisik
sangat bergantung dengan jumlah dan waktu perdarahan. Kesadaran pasien dapat menurun, dapat terjadi
gangguan tanda vital hingga menunjukkan tanda syok seperti nadi lemah, hipotensi, takipnea, akral
dingin. Epistaksis posterior dicurigai bila (1) sebagian besar perdarahan terjadi ke dalam faring, (2) suatu
tampon anterior gagal mengontrol perdarahan, atau (3) nyata dari pemeriksaan hidung bahwa perdarahan
1. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum,mukosa
hidung dan septum nasi, dindng lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat
2. Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis dan
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat
4. Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protombin serum,waktu tromboplastin parsial, jumlah platlet
2.7 Penatalaksanaan
mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.(16) Pasien yang datang dengan
epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu lemah dibaringkan
dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila sudah dalam keadaan syok.
Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk menyingkirkan bekuan darah.
Kemudian diberikan tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1: 10.000 dan lidokain
atau pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan
perdarahan dan mengurangi rasa sakit pada saat tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan
selama 3 - 5 menit. Dengan cara ini dapat ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di
bagian anterior atau posterior.(16) Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah
perkiraan jumlah dan kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan
darah harus cepat dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera diatasi.
Jika ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan pemeriksaan hitung trombosit,
masa protrombin dan masa tromboplastin (APTT), sedangkan prosedur diagnosis selanjutnya
dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi kehilangan darah yang banyak dan cepat,
harus difikirkan pemberian transfusi sel-sel darah merah (packed red cell) disamping
penggantian cairan.(17)
Epistaksis Anterior
1. Kauterisasi
Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan menggunakan
tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4% topikal dengan epinefrin 1 :
100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan penilefrin 0.5 %.(17) Tampon ini dimasukkan
dalam rongga hidung dan dibiarkan selama 5 – 10 menit untuk memberikan efek anestesi lokal
dan vasokonstriksi.(18) Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan larutan
perak nitrat 20 – 30% atau dengan asam triklorasetat 10%.(16) Becker (1994) menggunakan
larutan asam triklorasetat 40 – 70%. Setelah tampon dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi
dengan larutan tersebut sampai timbul krusta yang berwarna kekuningan akibat terjadinya
nekrosis superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua sisi septum, karena dapat
menimbulkan perforasi. Selain menggunakan zat kimia dapat digunakan elektrokauter atau
laser.(18) Yang (2005) menggunakan electrokauter pada 90% kasus epistaksis yang ditelitinya.(19)
2. Tampon Anterior
Apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber perdarahan tidak dapat
diidentifikasi, maka diperlukan pemasangan tampon anterior dengan menggunakan kapas atau
kain kassa yang diberi vaselin atau salap antibiotik.(16) Tampon ini dipertahankan selama 3 – 4
hari dan kepada pasien diberikan antibiotik spektrum luas. Vaghela (2005) menggunakan
Epistaksis Posterior
1. Tampon Posterior
Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau setidaknya
dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup koana dan terfiksasi di
pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini pertama sekali diperkenalkan oleh Bellocq, dengan
menggunakan tampon yang diikat dengan tiga pita (band). Masukkan kateter karet kecil melalui
hidung kedalam faring, kemudian ujungnya dipegang dengan cunam dan dikeluarkan dari mulut
agar dapat diikat pada kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter ditarik kembali melalui
rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana melalui nasofaring.(16) Apabila masih
tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke
dalam kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari nares anterior kemudian diikat pada sebuah
gulungan kain kasa didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak
bergerak. Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya untuk
2. Tampon Balon
Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan pemasangan tampon
posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam mengontrol epistaksis posterior. Ada dua
jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley dan tampon balon yang dirancang khusus. Setelah
bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan asal perdarahan. Kemudian lakukan anestesi
dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan
salin dan kateter Foley ditarik kearah anterior sehingga balon menutup rongga hidung posterior.
Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit yang mengganggu, kurangi
tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter difiksasi dengan
mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila tampon balon ini gagal
3. Ligasi Arteri
Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan meligasi
pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan segera. Tetapi
kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis yang
berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi arteri yang mensuplai darah ke mukosa
hidung.
Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk melindungi suplai
darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna. Tindakan ini dapat
dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal sekitar dua jari dibawah batas
dibawah a. faringeal asendens, terutama apabila epistaksis berasal dari bagian posterior
hidung atau nasofaring. Arteri karotis eksterna diligasi dengan benang 3/0 silk atau linen.
Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi lokal atau umum lalu dilakukan insisi Caldwell
– Luc dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah dijumpai antrum maksila, secara hati-
hati buang dinding sinus posterior dengan menggunakan pahat kecil, kuret atau bor,
dimulai dari bagian inferior dan medial untuk menghindari trauma orbita. Setelah
terbentuk jendela (window) pada tulang, lakukan insisi pada periostium posterior.
Dengan operating microscope pada daerah itu lakukan observasi untuk melihat adanya
pulsasi yang menandakan letak arteri. Jaringan lemak dan jaringan ikat pada fosa
Dibuat nasoantral window dan masukkan tampon yang telah diberi salap antibiotik
mandibula. Lakukan diseksi tumpul pada daerah ini dan identifikasi a. maksila interna.
Selanjutnya arteri dipisahkan, dijepit atau diligasi. Prosedur ini berguna apabila
pendekatan transantral tidak dapat dilakukan oleh karena trauma sinus atau malignansi.
Kelemahan dari prosedur ini adalah lokasi ligasi terletak lebih ke proksimal dibandingkan
kegagalan. Komplikasi utama pendekatan ini adalah pembengkakan pipi dan trismus
yang dapat berlangsung selama tiga bulan. Shah (2005) menggunakan clip titanium pada
Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik diterapi dengan
ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan pada tempat
arteri keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan posterior yang berada pada sutura
frontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm posterior dari krista
anterior n. optikus. Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk mencapai daerah ini. Retraktor
orbita digunakan untuk meretraksi periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi
dilakukan disebelah posterior disepanjang garis sutura pada lamina subperiosteal. Dua
klem arteri diletakkan pada a. etmoidalis anterior, dan rongga hidung dievaluasi kembali.
maksilaris interna dengan menggunakan absorbable gelatin sponge untuk epistaksis yang
menguntungkan bila dibandingkan dengan ligasi a. maksila interna oleh karena terjadinya
obliterasi dibagian distal arteri. Komplikasi embolisasi mencakup paralisis fasial dan
hemiplegi. Rasa nyeri pada wajah dan trismus juga sering dijumpai. Beberapa material
telah digunakan untuk embolisasi tetapi absorbable gelatin sponge merupakan zat yang
paling sering digunakan. Walaupun tekhnik ini masih kontroversi, ada kesepakatan
bahwa embolisasi pada penanganan epistaksis dilakukan bila terapi lainnya gagal dan
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya.
Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air
mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus
toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap pemasangan
tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan berlanjut dipasang
tampon baru.
Selama pemasangan tampon dapat terjadi shock akibat gejala neurogenik. Neurogenic
shock pada pasien epistaksis dengan pemasangan tampon anterior hidung dilaporkan oleh
Adikhari dan kawan kawan, hal ini merupakan akibat aktivitas otonom sehingga terjadi
vasodilatasi, darah terkumpul di ekstremitas dan kemudian pasien pingsan. Hal ini disebut
vasovagal reflex, bersifat sementara dan tidak berat. Dikatakan bahwa emosi yang kuat dapat
menyebabkan hipotensi. Keluarnya darah dari hidung dapat menyebabkan hipotensi yang diikuti
oleh faktor emosi yang kuat dan bukan oleh karena hilangnya darah saja, hal ini juga bersifat
individual, dimulai dengan gangguan psikis di korteks serebri. Laporan klinik terdahulu
nasopulmoner, menyebabkan perubahan fungsi paru sehingga terjadi hipoksia, dan akibatnya
terjadi refleks hipoxema arterial. Selain itu iritasi membran mukosa nasal dan laring oleh karena
pemasangan tampon hidung dapat menyebabkan reflex apnea pada pusat inspirasi yang
menyebabkan bradikardi dan hipotensi pada semua pasien selama pemasangan tampon hidung.
Pada beberapa pasien bradikardi dan hipotensi ini sangat ekstrem sehingga terjadi vasovagal.
Dalam penelitiannya Adhikari dan kawan kawan melaporkan penurunan tekanan darah yang
signifikan, sistolik maupun diastolik, dan denyut jantung selama pemasangan tampon anterior
hidung dibandingkan sebelum dan sesudahnya. Kejadian ini menyebabkan tindakan pemasangan
tampon hidung harus dilakukan hati–hati, tekanan darah dan denyut jantung harus
diperhatikan.(13)
BAB III
LAPORAN KASUS
Umur : 8 tahun
Alamat :Nilangkliung
Agama :Katolik
Pekerjaan : Pelajar
3.2 Anamnesis
Pasien datang ke poli RSUD dr. T.C. HILLERS Maumere diantar oleh keluarganya dengan
keluhan sering mimisan terutama ketika udara dingin, pilek dan waktu demam. Dalam
sebulan mimisan dapat 2 sampai 3 kali. Mimisan terakhir 2 jam sebelum datang ke poli,
darah keluar dari kavum nasi kanan dan riwayat trauma karena mengorek disangkal, riwayat
pilek dan demam sebelumnya disangkal. Tidak terdapat rinorre, rasa buntu pada hidung dan
bersin-bersin.
Tanda vital :
o Respirasi : 20 x/menit
o Suhu : 36.7 0C
BB : 26.9 kg
Pemeriksaan Telinga
Pemeriksaan Hidung
hidung
Hidung Luar Bentuk normal, inflamasi (-), Bentuk normal, inflamasi (-), massa
Cavum nasi Bentuk normal, Mukosa edem (-), Bentuk normal, Mukosa edem (-),
secret (-), massa (-), darah (+) secret (+) , massa (-), darah (-)
Septum Nasi Bekuaan darah (+) deviasi (-), Bekuaan darah (-) deviasi (-), ulkus
Pemeriksaan Faring
Faring Mukosa hiperemi (-), edema (-), ulkus (-), granul (-), secret (-), refleks
muntah (+)
Tonsil palatina Kanan : hiperemi (-), permukaan rata (+), ukuran rata (+), ukuran T1,
Kiri : hiperemi (-), permukaan rata (+), ukuran rata (+), ukuran T1,
Hasil :
Test Result
HGB 12,1
HCT 34,8
MCV 78,2
MCH 27,2
MCHC 34,8
RDW-SD 37,0
RDW-CV 13,2
PLT 24,6
MPV 11,6
PCT 0,29
PDW 14,9
P-LCR 36,9
3.5 Assesment
Epistaksis habitualis
3.6 Planning
Vit c 2 x 100 mg
Cetirizine 1 x 10 mg
Jika hidung perdarah lakukan penekanan pada batang hidung untuk menghentikan
BAB VI
PEMBAHASAN
Pada sebagian besar kasus, penyebab epistaksis sudah dapat ditentukan melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisis. Pada anamnesis harus ditanyakan tentang awal terjadinya
aspirin atau warfarin, serta riwayat kelainan darah atau leukemia dalam keluarga. Kebanyakan
perdarahan dari hidung diakibatkan oleh trauma ringan pada septum nasal anterior, oleh karena
itu anamnesis harus mencakup kemungkinan tersebut. Riwayat perdarahan hidung berulang yang
sering, disertai mudah memar, atau perdarahan lainnya memberikan kecurigaan terhadap
penyebab sistemik dan dianjurkan penjajakan hematologis. Pada pemeriksaan fisis, setelah
memeriksa keadaan umum pasien dan memastikan tanda vital stabil, perhatian diarahkan pada
hidung.
dan saat beraktifitaas di panas. Bagian dalam hidung dilapisi oleh mukosa yang tipis dan
mengandung banyak pembuluh darah (Kiesselbach plexus) yang fungsinya menghangatkan dan
melembabkan udara yang dihirup. Pembuluh-pembuluh ini amat peka terhadap pengaruh dari
luar, selain karena letaknya di permukaan juga karena hidung merupakan bagian wajah yang
paling menonjol. Sehingga perubahan cuaca (panas, kering), tekanan udara (di daerah tinggi),
teriritasi gas/zat kimia yang merangsang, pemakaian obat untuk mencegah pembekuan darah
atau hanya sekedar terbentur (pukulan), gesekan, garukan, iritasi hidung karena pilek/allergi atau
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan adanya sekret pada cavum nasi sinistra
yang menunjukan adanya suspek rhinitis merupakan salah satu penyebab epistaksis, didukung
sebanyak 4%, walaupun tidak ada laporan pada kepustakaan, obstruksi hidung menyebabkan
aliran turbulen pada hidung di depan obstruksi akibat adenoid yang membesar, sehingga
kombinasi lidokain 4% topikal dan penilefrin 0,5 %. Tampon ini dimasukkan dalam rongga
hidung dan dibiarkan selama 5 – 10 menit untuk memberikan efek anestesi lokal dan
cetirizine sebagai dekongestan, dan vitamin c untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
Pada kasus perdarahan berulang pada anak perlu di perhatikan tingkat hemoglobin dan
juga di curigai adanya koagulopathy sehingga dilakukan pemeriksaan bleeding time dan clotting
time.
BAB V
PENUTUP
fisik dan pemeriksaan penunjang sebagai epistaksis habitualis. Epistaksis (perdarahan dari
hidung) adalah suatu gejala dan bukan suatu penyakit, yang disebabkan oleh adanya suatu
kondisi kelainan atau keadaan tertentu. Epistaksis bisa bersifat ringan sampai berat yang dapat
berakibat fatal. Epistaksis disebabkan oleh banyak hal, namun dibagi dalam dua kelompok besar
yaitu lokal dan sistemik. Pada kasus disebabkan local yaitu rhinitis alergi. Epistaksis dibedakan
menjadi dua berdasarkan lokasinya yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Pada
epistaksis anterior biasanya perdarahan berlangsung singkat dan ditandai dengan keluarnya darah
melalui cavum nasi. Pemeriksaan rinoskopi anterior pasien dengan epistaksis dapat dilakukan
untuk melihat sumber perdarahan. Pada pemeriksaan didapatkan adanya bekuan darah dan secret
minimal pada cavum nasal. Prinsip penanganan epistaksis adalah menghentikan perdarahan,
mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Tindakan- tindakan yang dilakukan
pada epistaksis adalah memencet hidung dan pemasangan tampon anterior yang telah diberi
pehacain. Selanjutnya dilakukan skrining koagulopati dan mencari tahu riwayat penyakit pasien.
DAFTAR PUSTAKA