Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gonore merupakan penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh
Neisseria gonorrhoeae (N. gonorrhoeae) dan mempunyai insidens yang tinggi diantara
penyakit menular seksual yang lain1, penyakit ini tersebar di seluruh dunia secara endemik,
termasuk di Indonesia. Manifestasi klinis dari penyakit ini adalah servisitis, uretritis, proktitis,
dan konjungtivitis. Gonore lebih mudah ditularkan dari laki-laki kepada wanita.3
Diperkirakan terdapat lebih dari 150 juta kasus gonore di dunia setiap tahunnya (Hakim,
2009). Insidensi gonore lebih tinggi di negara berkembang daripada negara maju. Namun,
walaupun di Amerika Serikat insidensi menurun secara signifikan, tetapi masih ada 325.000
kasus baru di tahun 2006.3
Pada tahun 2007, dinas kesehatan provinsi Bali mencatat sebanyak 4971 kasus IMS. Di
Kota Denpasar pada tahun 2006 terdapat 3488 kasus IMS, dan kecamatan Denpasar Selatan
adalah kecamatan di Denpasar dengan kasus IMS terbanyak (Dinas Kesehatan Kota Denpasar,
2007).4 Salah satu manifestasi klinis infeksi gonore yaitu konjungtivitis, penyakit ini dapat
terjadi pada bayi yang baru lahir dari ibu yang menderita servisitis gonore atau pada orang
dewasa, infeksi terjadi karena penularan pada konjungtiva melalui tangan dan alat-alat. 1
Konjungtivitis gonore merupakan radang konjungtiva akut dan hebat yang disertai
dengan sekret purulen. Konjungtivis gonore disebabkan oleh bakteriNeisseria gonorrhoeae.
Konjungtivitis gonore merupakan penyakit menular seksual yang dapat ditularkan secara
langsung dari transmisi genital-mata, kontak genital-tangan-mata, atau tansmisi ibu-neonatus
selama persalinan.1-3
Gambaran klinis konjungtivitis gonore pada bayi dan anak ditemukan kelainan bilateral
dengan sekret kuning kental, sekret dapat bersifat serous tetapi kemudian menjadi kuning kental
dan purulen. Kelopak mata membengkak, sukar dibuka dan terdapat pseudomembran pada
konjungtiva tarsal. Konjungtiva bulbi merah, kemotik, dan tebal. Pada orang dewasa gambaran
klinisnya mirip dengan konjungtivitis gonore pada bayi dan anak, tetapi mempunyai perbedaan,
yaitu sekret purulen yang tidak begitu kental.2
Diagnosis pasti konjungtivitis gonore, yaitu pemeriksaan sekret dengan pewarnaan
metilen biru dimana akan terlihat diplokok di dalam sel leukosit. Dengan pewarnaan Gram akan
terdapat sel intraselular atau ekstraselular dengan sifat Gram negatif.2
Pengobatan untuk konjungtivitis gonore, ialah pasien dirawat dan diberi antibiotik
sistemik dan dapat juga diberikan secara topikal. Pada pasien yang resisten terhadap penisillin
1
dapat diberikan ceftriaxone. Ceftriaxone merupakan golongan sefalosporin generasi 3. Salep
eritromisin, basitrasin, gentamisin, dan ciprofloksasin direkomendasikan untuk terapi
topikal.Irigasi mata dengan normal salin setiap 30-60 menit untuk membuang debris, sel
inflamasi dan protease.Pengobatan dihentikan bila pada pemeriksaan mikroskopik yang dibuat
setiap hari menghasilkan 3 kali berturut-turut hasil negatif.1,2

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apakah yang dimaksud dengan penyakit konjungtivitis gonore ?
1.2.2 Bagaimanakah tatalaksana penyakit konjungtivitis gonore?
1.2.3 Bagaimana komplikasi dan prognosis dari konjungtivitis gonore?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui tentang penyakit konjungtivitis gonore
1.3.2 Mengetahui tatalaksana penyakit konjungtivitis gonore
1.3.3 Mengetahui komplikasi dan prognosis dari konjungtivitis gonore

1.4 Manfaat
- Manfaat Teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis dan pembaca tentang
konjungtivitis gonore
- Manfaat Praktis
Penulisan ini dapat menjadi bahan rujukan bagi mahasiswa dan dokter klinisi dalam
mendiagnosis konjungtivitis gonore

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Konjungtiva


Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang melapisi bagian
posterior palpebra (konjungtiva palpebra) dan bagian anterior sklera (konjungtiva bulbi).
Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (Mucocutaneus junction) dan
dengan epitel kornea di limbus. Konjungtiva dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu 6 :
2.1.1 Konjungtiva Palpebra
Melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Dibagi
menjadi 3 bagian, yaitu:
i. Marginal conjunctiva
Konjungtiva marginal memanjang dari batas palpebra sampai sekitar 2 mm
pada bagian belakang palpebra dibagian cekungan, sulkus subtarsalis.
ii. Tarsal conjunctiva
Konjungtiva tarsalis sangat tipis, transparan dan banyak pembuluh darah.
Konjungtiva tarsalis sangat melekat pada seluruh bagian tarsal pada palpebra
superior. Pada palpebra inferior hanya melekat sebagian pada tarsus.
iii. Bagian orbital
Bagian orbital dari konjungtiva palpebra melekat secara longgar diantara tarsal
plate dan fornix 6.

2.1.2 Konjungtiva Bulbaris


Konjungtiva bulbaris tipis, transparan dan melekat secara longgar dengan
struktur yang mendasari sehingga terjadi memungkinkan terjadi pergerakan bola mata.
Konjungtiva bulbaris dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan episklera dan kapsul
tenon. Daerah sekitar 3 mm dari konjungtiva bubi di sekitar kornea disebut konjungtiva
limbus. Pada daerah limbus, konjungtiva, kapsula tenon dan jaringan episklera menyatu
dalam jaringan padat yang kuat yang melekat pada corneoscleral junction. Pada limbus,
epitel konjungtiva berlanjut ke kornea 6.
Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, lunak dan mudah bergerak (plica
semilunaris) terletak di kantus internus dan merupakan selaput pembentuk kelopak mata
dalam pada beberapa hewan kelas rendah. Struktur epidermoid kecil semacam daging
(carancula) menempel secara superfisial ke bagian dalam plica semilunaris dan

3
merupakan zona transisi yang mengandung baik elemen kulit maupun membran
mukosa6.

2.1.3 Konjungtiva Forniks


Dari permukaan dalam palpebra, konjungtiva palpebra melanjutkan diri ke arah
bola mata membentuk dua resesus, yaitu forniks superior dan inferior. Forniks superior
terletak kira – kira 8 – 10 mm dari limbus dan forniks inferior terletak kira – kira 8 mm
dari limbus. Pada bagian medial, struktur ini menjadi karankula dan plika semilunaris.
Di sisi lateral, forniks terletak kira – kira 14 mm dari limbus. Saluran keluar dari
glandula lakrimal bermuara pada bagian lateral forniks superior. Konjungtiva forniks
superior dan inferior melekat longgar dengan pembungkus otot rekti dan levator yang
terletak di bawahnya. Kontraksi otot – otot ini akan menarik konjungtiva sehingga ia
akan ikut bergerak saat palpebra maupun bola mata bergerak. Perlekatan yang longgar
tersebut juga akan memudahkan terjadinya akumulasi cairan 6.

Gambar 1. Bagian – bagian konjungtiva 6

2.2 Definisi Konjungtivitis


Konjungtivitis lebih dikenal sebagai pink eye, yaitu adanya inflamasi pada konjungtiva
atau peradangan pada konjungtiva, selaput bening yang menutupi bagian berwarna putih
padamata dan permukaan bagian dalam kelopak mata. Konjungtivitis terkadang dapat ditandai
dengan mata berwarna sangat merah dan menyebar begitu cepat dan biasanya menyebabkan
mata rusak. Beberapa jenis Konjungtivitis dapat hilang dengan sendiri, tapi ada juga yang
memerlukan pengobatan 3.

4
Pada literatur lain disebutkan inflamasi konjungtiva atau konjungtivitis didefinisikan
sebagai hiperemi pada konjungtiva yang kadang disertai dengan sekret atau discharge cair,
mukoid, mukopurulen, atau purulen 6.
Konjungtivitis dapat mengenai pada usia bayi maupun dewasa. Konjungtivitis pada bayi
baru lahir, bisa mendapatkan infeksi gonokokus pada konjungtiva dari ibunya ketikamelewati
jalan lahir. Karena itu setiap bayi baru lahir mendapatkan tetes mata (biasanya perak nitrat,
povidin iodin) atau salep antibiotik (misalnya eritromisin) untuk membunuh bakteri yang bisa
menyebabkan konjungtivitis gonokokal. Pada usia dewasa bisamendapatkan konjungtivitis
melalui hubungan seksual (misalnya jika cairan semen yangterinfeksi masuk ke dalam mata).
Biasanya konjungtivitis hanya menyerang satu mata. Dalam waktu 12 sampai 48 jam setelah
infeksi mulai, mata menjadi merah dan nyeri. Jika tidak diobati bisa terbentuk ulkus kornea,
abses, perforasi mata bahkan kebutaan. Untuk mengatasi konjungtivitis gonokokal bisa
diberikan tablet, suntikan maupun tetes mata yang mengandung antibiotik 3.
Pada referat ini akan dibahas lebih dalam mengenai konjungtivitis Gonore.
Konjungtivitis Gonore merupakan radang konjungtiva akut dan hebat yang disertai sekret
purulen, yaitu Adult purulent conjungtivitis pada dewasa, Opthalmia neonatorum pada bayi
berusia 1-3 hari, dan conjungtivitis gonore infantum pada bayi berusia lebih dari 10 hari 3.

2.3 Etiologi
Ada beberapa etiologi pada konjungtivitis secara umum, yaitu :
1. Konjungtivitis infeksi : bakteri, klamidia, viral, fungi, rickettsia, spirochetal, protozoa,
parasit
2. Konjungtivitis Alergika
3. Konjungtivitis Irritattive
4. Keratokonjungtivitis disertai dengan penyakit kulit dan membrane mukosa
5. Konjungtiva traumatika
6. Keratokonjungtivitis karena penyebab yang tidak diketahui 6

5
Tabel Perbedaan Jenis-Jenis Konjungtivitis Umum 8
Temuan Klinis Viral Bakteri Klamidia Alergika
dan Sitologi
Gatal Minimal Minimal Minimal Hebat
Hiperemi Generalisata Generalisata Generalisata Generalisata
Mata Berair Banyak Sedang Sedang Minimal
Eksudasi Minimal Banyak Banyak Minimal
Adenopati Sering Jarang Sering Tidak Ada
Preaurikular
Pada Kerokan Monosit PMN PMN, Sel Eosinofil
dan Hapusan Plasma, Badan
Inklusi
Disertai Sakit Sesekali Sesekali Tidak Pernah Tidak Pernah
Tenggorokan
dan demam

2.4 Definisi Konjungtivitis Gonore


Konjungtivitis Gonore merupakan radang konjungtiva akut dan hebat yang disertai
sekret purulen, yaitu Adult purulent conjungtivitis pada dewasa, Opthalmia neonatorum pada
bayi berusia 1-3 hari dan conjungtivitis gonore infantum pada bayi berusia lebih dari 10 hari 3.

2.5 Port De Entree


Konjungtivitis Gonore menular melalui kontak genital ke mata 5

2.6 Patologi
1. Vascular respone . Hal ini dicirikan dengan adanya kongesti dan peningkatan
permeabilitas dari pembuluh darah konjuctiva yang berhubungan denga adanya
proliferasi dari kapiler
2. Cellular response. Terdapat bentukan eksudar dari PMN dan sel-sel inflamasi
lainkedalam substantia propia dari konjuctiva
3. Conjuctival tissue response. Konjunctiva menjadi edema. Terdapat degenerasi epitel
superficial, menjadi mudah lepas dan deskuamasi. Selain itu terdapat proliferasi lapisan
basal dari conjunctiva dan peningkatan mucin yang dihasilkan oleh sel-sel sekresi goblet

6
4. Conjunctival discharge. Hal ini terdiri dari air mata, mukus, sel-sel inflamasi,
desquamasi epitel, fibrin dan bakteri. Jika inflamasinya sangat parah, diaphedesis dari
sel darah merah dapat terjadi dan discharge dapat diwarnai oleh darah 5

Gambar 5. Konjungtivits Gonore pada bayi

2.7 Klasifikasi
Ada 2 bentukan manifestasi 5 :
1. Konjuctivitis purulen dewasa
2. Ophthalmia neonatorum

2.8 Patofisiologis
Konjuctivitis purulen dewasa
Terdapat 3 stage
1. Stage of infiltration. Fase ini berakhir dalam 4-5 hari dan dicirikan sbb:
a. Bola mata lemah dan nyeri
b. Konjunctiva merah terang
c. Palpebra bengkak dan tegang
d. Discharge berair atau sanguinous
e. Pembesaran kelenjar limfe pre-aurikula
2. Stage of blenorrhoea. Fase ini dimulai paa har ke5, berakhir dalam beberapa hari
dan dicirikan sbb:
a. Purulen yang jelas, discharge yang tebal, mengalir ke pipi
b. Gejala lain meningkat, kecuali tegangan palpebra menurun
7
3. Stage of slow healing. Selama fase ini, nyeri dan bengkak menurun. Konjunctiva
masih merah, lunak dan menebal. Discharge mulai berkurang secara perlahan 5
Penularan vertikal dari ibu merupakan rute penularan ke bayi. Kedua orang tua
, bagaimanapun, harus diskrining untuk infeksi STD. Sebenarnya permukaan okular
dilengkapi dengan fitur anatomi dan fungsional unik yang mencegah infeksi bakteri di
mata sehat , baik pada bayi dan orang dewasa . Imunoglobulin , lisozim , complement ,
dan beberapa enzim antibakteri dapat ditemukan di air mata. “Tear Film” yang terus
menerus didaur ulang menciptakan lingkungan yang membuatnya sangat sulit untuk
bakteri dapat berkembang. Pada dasarnya, sulit untuk teradinya invasi oleh
N.gonorrhea. Sayangnya, bakteri dapat invasi pada saat fungsi barier rusak . Selain itu
exotoxins bakteri seperti yang ditemukan di Streptococcus dan spesies Staphylococcus
dapat menyebabkan nekrosis 5.
Patologi konjungtivitis neonatal juga dipengaruhi oleh anatomi jaringan
konjungtiva pada bayi baru lahir. Peradangan konjungtiva dapat menyebabkan
pelebaran pembuluh darah, chemosis, dan sekresi berlebihan. Reaksi ini cenderung
lebih serius karena sebagai berikut: kurangnya kekebalan, adanya jaringan limfoid di
konjungtiva, dan tidak adanya air mata saat lahir 5.
Sel-sel fimbriated melekat pada epitel membran mukosa yang intact.
Berkapasitas untuk menyerang mukosa membran atau kulit yang mengalami abrasi.
Perlekatan terhadap epitel mukosa, diikuti dengan penetrasi ke dalam dan multiplikai
sebelum melewati sel epitel mukosa. Setelah invasie, infeksi terjadi pada lapisan sub-
epitel. Hal tersebut diatas dimungkinkan oleh karena N. Gonorhea memiliki kapsul
antiphagocytic seperti permukaan dengan muatan negatif , dan hanya fimbriated
(piliated) sel (yang dikenal sebagai jenis koloni T1 & T2) yang virulen. Sifat
antiphagocytic disebabkan oleh protein membran luar (sebelumnya Protein I, II, III &),
Por (protein Porin) mencegah fusi phagolysosome atau fagositosis dan dengan demikian
mempertahankan kelangsungan hidup intraseluler. Opa (protein opacity) memediasi
pernempelan kuat ke sel epitel dan invasi selanjutnya ke dalam 5. sel. Dan Rmp
(reduction-modifiable protein ) melindungi antigen permukaan dari antibodi
bakterisidal (Por protein, LOS).

8
Gambar 6. Konjungtivitis Gonore

2.9 Diagnosis
Diagnosis detegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan bakteorologis 5
1. Acute, profuse, conjunctival discharge
2. Sign
a. Bengkak pada palpebra mata yang parah dan lunak
b. Intense conjuctiva hiperemi, chemosis, profuse purulent discharge
c. Terbentuknya pseudomembran
d. Lymphadenopathy
e. Ulcerasi peripheral kornea
f. Ulcerasi meluas ke central
g. Perforasi dan endophthalmitis
3. Laboratorium
a. Pewarnaan gram , menunjukan : gram negative, diplococcus “kidney-shapped”
b. Culture di media coklat atau Thayer-Martin medium

2.10 Differential Diagnosis


1. Konjungtivitis karena trauma kimia akibat toksik atau reaksi alergi dari silver nitrate
atau antibiotic topikal yang diberikan sesaat setelah bayi lahir
2. Konjungtivitis viral, termasuk keratokonjungtivitis HSV
3. Obstruksi duktus nasolakrimalis

9
2.11 Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan sediaan langsung sekret
dengan pewarnaan gram atau Giemsa untuk mengetahui kuman penyebab dan uji
sensitivitas untuk perencanaan pengobatan.
Untuk diagnosis pasti konjungtivitis gonore dilakukan pemeriksaan sekret dengan
pewarnaan metilen biru, diambil dari sekret atau kerokan konjungtiva , yang diulaskan
pada gelas objek, dikeringkan dan diwarnai dengan metilen biru 1% selama 1 – 2 menit.
Setelah dibilas dengan air, dikeringkan dan diperiksa di bawah mikroskop. Pada
pemeriksaan dapat dilihat diplokok yang intraseluler sel epitel dan lekosit, disamping
diplokok ekstraseluler yang menandakan bahwa proses sudah berjalan menahun.
Morfologi dari gonokok sama dengan meningokok, untuk membedakannya dilakukan
tes maltose, dimana gonokok memberikan test maltose (-). Sedang meningokok test
maltose (+).
Bila pada anak didapatkan gonokok (+), maka kedua orang tua harus diperiksa.
Jika pada orang tuanya ditemukan gonokok, maka harus segera diobati. 3,4,7,9

2.12 Manajemen Penatalaksanaan


Pengobatan dilakukan bila ditemukan diplokokus batang intraseluler pada pewarnaan
gram dan sangat dicurigai konjungtivitis Gonore. Pasien harus dirawat dan di isolasi
serta diberikan pengobatan dengan sebaik-baiknya. Prinsip manajemen dan follow – up
pada konjungtivitis Gonore 1 :
a. Konsul pada pediatri
b. Berikan pengobatan secara sistemik dengan ceftriaxone atau cefotaxime
untuk mencegah komplikasi arthritis, meningitis, maupun sepsis
c. Pengobatan topical dengan bacitracin atau penicillin
d. Lakukan irigasi sesring mungkin untuk membersihkan secret
e. Lakukan follow up dan monitor hingga konjungtivitis benar-benar
sembuh 1,2
Pengobatan Konjungtivitis Gonore dibagi menjadi dua yaitu 6 :
1. Terapi Profilaksis
2. Terapi Kuratif
2.12.1 Terapi Profilaksis
1. Evaluasi antenatal
Pemeriksaan menyeluruh pada ibu dan dilakukan pengobatan jika dicurigai
adanya infeksi genital.
10
2. Evaluasi Natal
Merupakan evaluasi yang paling penting, karena infeksi konjungtivitis
Gonore terjadi saat proses melahirkan
 Proses persalinan harus dilakukan dalam keadaan yang steril atau
aseptic
 Kelopak mata bayi baru lahir yang dalam kondid=si tertutup harus
selalu dibersihkan dengan steril dan dalam kondisi kering
3. Evaluasi Postnatal
 Berikan salep mata Tetrasiklin 1 % atau Erhytromycin 0,5 % atau
solutio Silver Nitrate 1 % (Crede’s Method) pada kedua mata bayi
segera setelah persalinan
 Berikan injeksi Ceftriaxone 50 mg/kg IM atau IV (maksimal 125
mg) pada bayi lahir dari ibu penderita gonorrhea yang tidak di
terapi6.
2.12.2 Terapi Kuratif
Sebelum dilakukan terapi harus dikonfirmasi infeksi yang terjadi dengan
pemeriksaan sitologi dan kultur swab dengan uji sensitivitas. Jika hasilnya didapatkan
adanya infeksi gonococcal maka dilakukan :
1. Terapi Topikal :
a. Irigasi dengan menggunakan larutan saline (saline lavage) hingga bersih
dari sekret
b. Berikan salep mata Bacitracin 4 kali/hari, karena pada banyak kasus
terjadi resistensi terhadap terapi topical dengan menggunakan Penicillin.
Namun pada kasus dengan uji sensitivitas didapatkan sensitif terhadap
Penicillin, maka dapat diberikan tetes mata Penicillin 5000 – 10000 unit
/ml, diberikan setiap lima menit selama 30 menit.
c. Jika infeksi mengenai bagian kornea maka diberikan salep mata
Atrophine Sulphate
2. Terapi Sistemik :
Neonatus dengan Gonococcal Opthalmia harus diterapi selama 7 hari
dengan salah satu dari regimen pengobatan berikut :
a. Ceftriaxone 75 – 100 mg/kg/hari IV atau IM 4 kali/hari
b. Cefotaxime 100 – 150 mg/kg/hari IV atau IM, setiap 12 jam
c. Ciprofloxacin 10 – 20 mg/kg/hari atau Norfloxacin 10 mg/kg/hari

11
d. Jika dari hasil uji sensitivitas didapatkan sensitive terhadap Penicillin
maka dapat diberikan crystalline benzyl penicillin G 50000 unit untuk
neonatus aterm dan dengan berat normal. Untuk neonatus preterm atau
BBLR diberikan 20000 unit secara IM 2 kali/hari selama 3 hari 6.

2.13 Pengobatan konjungtivitis Gonore dibagi berdasarkan ada atau tidaknya penyulit
pada kornea, yaitu 3,4 :
1. Gonore tanpa penyulit pada kornea
a. Topikal :
Sebelum diberikan salep atau tetes mata, secret harus dibersihkan
terlebih dahulu dengan larutan saline setiap 15 menit
Salep mata Tetracycline HCl 1 %, Basitrasin, atau Ciprofloxacin 0,3
% diberikan minimal 6 kali sehari pada neonatus dan diberikan
sedikitnya tiap 2 jam sekali pada penderita dewasa, dilanjutkan 5 kali
hingga terjadi resolusi.
Dapat pula dengan pemberian Penisilin tetes mata dalam bentuk
larutan Penisilin G 10000 – 20000 unit/ml setiap menit selama 30 menit.
Dilanjutkan pemberian salep mata penisilin setiap 1 jam selama 3 hari.
b. Sistemik :
Pada orang dewasa diberikan Penisilin G 4,8 juta IU IM dalam dosis
tunggal ditambah dengan probenecid 1 gram peroral, atau Ampicillin
dosis tunggal 3,5 gram peroral. Pada neonatus dan anak-anak, injeksi
Penicillin diberikan dengan dosis 50.000-100.000 IU/kgBB.
Bila penderita telah resisten atau tidak tahan dengan obat-obatan
derivat Penicillin bisa diberikan Cefriakson 25-50 mg/Kg x 1 dosis,
Thiamphenicol 3,5 gram dosis tunggal, atau Tetracycline 1,5 gram dosis
initial dilanjutkan dengan 4 kali 500 mg/hari selama 4 hari.
Setiap hari sekret diperiksa dengan mikroskop untuk mengetahui
apakah masih ditemukan diplokokus dalam secret. Pengobatan
dihentikan jika pada pemeriksaan mikroskopis yang dilakukan 3 kali
berturut-turut negatif. Apabila ada komplikasi kornea, maka biasanya
sembuh setelah 5 hari. Apabila ada komplikasi kornea, konjungtivitis
gonore sembuh lebih lama.

12
2. Gonore dengan penyulit pada kornea.
a. Topikal :
Dapat dimulai dengan salep mata Basitrasin setiap jam, di samping
itu diberikan juga Penisillin subkonjungtiva (kecuali pada anak-anak).
Pengobatan topikal lainnya adalah Ciprofloxacin 0,3% dengan cara
pemberian sebagai berikut :
Hari I : 1-2 tetes, setiap 15 menit selama 6 jam, selanjutnya
diberikan 2 tetes setiap 30 menit.
Hari II : 2 tetes tiap 1 jam
Hari III-XIV : 2 tetes tiap 4 jam
Obat-obat topikal lain yang dapat diberikan ialah Vancomycin,
Cephaloridin, Gentamycin, Tobramycin, Carbenicillin dan Polymyxin B.

b. Sistemik :
Pengobatan sistemik diberikan seperti pada Gonore tanpa penyulit
(ulkus kornea). Selain obat-obat spesifik untuk Neisseria gonorrhoe
dapat diberikan siklopegik (Scopolamin 0,25 %) 2-3 kali setiap hari
untuk menghilangkan nyeri karena spasme siliar dan mencegah sinekia.
Apabila ada bahaya perforasi yang mengancam (descemetocele) dapat
dilakukan operasi flap konjungtiva “partial conjunctiva bridge flap”.
Literatur lain menyebutkan pengobatan konjungtivitis gonokokal
terdiri dari Penisilin G 100.000 Unit / kg/hari selama 1 minggu. N.
Gonorrhea isolat yang resisten terhadap penisilin banyak di daerah
perkotaan di Amerika Serikat. Di Afrika, tingkat produksi pencillinase
N.Gonorrhea kisaran 18-57% dan banyak bagian lain dunia (50%
sampai 60%). Karena itu generasi ketiga cephalosporin digunakan
selama 7 hari di daerah di mana memproduksi pencillinase strain
endemik. Sebuah dosis tunggal ceftriaxone 50 mg/kg sebagai dosis
tunggal (maksimum 125 mg) adalah sangat efektif dan
direkomendasikan oleh pedoman WHO. Obat alternatif meliputi
spectinomycin 25 mg/kg (maksimum 75 mg) sebagai satu dosis dan
kanamycin IM 25 mg/kg (maksimum 75 mg). Ibu yang terinfeksi juga
harus diobati dengan ceftriaxone dosis tunggal (25-50 mg/kg). Mata bayi
harus sering dialiri dengan normal saline untuk menghilangkan
kotoran.10
13
Pengobatan diberhentikan bila pada pemeriksan mikroskopik yang
dibuat setiap hari menghasilkan 3 kali berturut-turut negatif. Pada pasien
yang resisten terhadap penicillin dapat diberikan cefriaksone atau
Azithromycin (Zithromax) dosis tinggi 10.
Terapi dengan pemberian kortikosteroid baik topikal maupun
sistemik sangat tidak disarankan bahkan termasuk kontraindikasi pada
konjungtivitis Gonore. Karena kortikosteroid memiliki efek samping
utama yaitu menekan fungsi imunitas individu terutama pada bayi yang
perkembangan sistem imunnya belum sempurna dapat mengakibatkan
infeksi sekunder dikemudian hari jika kortikosteroid diberikan dalam
dosis yang besar ataupun jangka panjang. Faktor yang lain kortikosteroid
dapat menyebabkan penipisan dari lapisan kornea sehingga dapat
mempercepat terjadinya komplikasi ulkus kornea akibat N.gonorrhea.
Selain itu penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat
menyebabkan rebound phenomenon yang makin memperparah inflamasi
setelah penghentian penggunaan kortikosteroid 10.

2.14 Konseling
Konseling adalah hal yang sangat penting untuk semua konjungtivitis yang bersifat
menular, untuk meminimalisir penularan maka kita harus memutus rantai penularannya,
yaitu melalui cuci tangan setelah kontak dengan mata yang infeksius, penggunaan
kontrasepsi untuk kontak seksual yang beresiko, menggunakan alat pelindung diri jika
berada pada lingkungan yang infeksius, baik melalui kontak, droplet, maupun airborne
2
.
Jika konjungtivitis berkaitan dengan Penyakit Menular Seksual (PMS),
penatalaksanaan pada sexual partner juga harus dilakukan untuk meminimlisir
penyebaran penyakit. Penderita dan pasangannya harus dirujuk ke dokter spesialis yang
khusus pada penyakit tersebut. Dokter harus waspada berulangnya kejadian
konjungtivitis Gonore jika tidak dilakukan treatment pada orang tuanya, oleh karena itu
biasanya pasangan tidak diperbolehkan untuk hamil sampai keduanya dinyatakan benar-
benar sembuh dari infeksi N.gonorrhea2.
Pada kasus ophthalmia neonatorum karena gonococcus, harus segera dirujuk atau
dibawa ke pediatric dan dokter spesialis mata untuk memperoleh penanganan yang
lebih lanjut baik untuk kesembuhan matanya dan pencegahan terjadinya infeksi yang
sistemik pada neonatus 2
14
2.15 Komplikasi
 Ulkus kornea marginal di bagian atas, dimulai dengan infiltrate, kemudian pecah
menjadi ulkus. Ulkus ini mudah perforasi akibat adanya daya lisis kuman
gonococcal (enzim proteolitik). Ulkus kornea marginal dapat terjadi pada
stadium I atau II.
 Blefarospasme akibat pembentukan sekret yang banyak
 Keratitis yang terjadi tanpa didahului kerusakan epitel kornea akibat
penumpukan sekret dibawah konjungtiva palpebra yang merusak kornea
 Ulkus yang mengalami perforasi dapat menyebabkan terjadinya endoftalmitis,
panoftalmitis, dan dapat berakhir dengan kebutaan total
 Pada dewasa disebabkan infeksi sendiri dengan penyulit keratitis, ulkus kornea,
arthritis, meningitis, dan sepsis 3,4

2.16 Prognosis
Bila pengobatan diberikan secepatnya dengan dosis yang cukup, Gonore akan
sembuh tanpa komplikasi. Bila pengobatan diberikan terlambat atau kurang intensif
maka kesembuhan mungkin dapat disertai dengan sikatriks kornea dan penurunan tajam
pengelihatan yang menetap atau bahkan terjadi kebutaan 3,4.

2.17 Prevensi
1. Skrining dan terapi pada perempuan hamil dengan penyakit menular seksual
2. Secara klasik diberikan obat tetes mata
3. Cara lain yang lebih aman adalah pemberihan mata dengan solusio borisi dan
pemberian salep mata kloramfenikol
4. Operasi Caesar direkomendasikan bila si ibu menderita infeksi vagina berat saat
menjelang kelahiran bayinya
5. Pemberian antibiotik baik Intravena maupun Intramuskular, bisa diberikan pada
neonatus yang lahir dari ibu dengan gonore yang tidak diterapi 3,4.

15
BAB III
KESIMPULAN

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang melapisi bagian
posterior palpebra (konjungtiva palpebra) dan bagian anterior sklera (konjungtiva bulbi).
Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (Mucocutaneus junction) dan
dengan epitel kornea di limbus. Infeksi pada konjungtiva dapat menyebabkan terjadinya mata
merah atau pink eye yang menimbulkan berbagai komplikasi.
Konjungtivitis Gonore merupakan radang konjungtiva akut dan hebat yang disertai
sekret purulen, yaitu Adult purulent conjungtivitis pada dewasa, Opthalmia neonatorum pada
bayi berusia 1-3 hari, dan conjungtivitis gonore infantum pada bayi berusia lebih dari 10 hari.
Konjungtivitis Gonore kebanyakan mengenai orang dewasa terutama laki-laki, organisme
utama yang menyebabkan penyakit ini adalah Gonococcus, namun terkadang pada beberapa
kasus kuman yang ditemukan adalah Staphylococcus aureus atau Pneumococcus.
Konjungtivitis Gonore menular melalui kontak genital ke mata. Diagnosis detegakkan
berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan bakteorologis. Pada pewarnaan gram menunjukan
gram negative, diplococcus “kidney-shapped”. Pengobatan dilakukan bila ditemukan
diplokokus batang intraseluler pada pewarnaan gram dan sangat dicurigai konjungtivitis
Gonore.
Pasien harus dirawat dan di isolasi serta diberikan pengobatan dengan sebaik-baiknya.
Pengobatan dibagi menjadi terapi profilaksis dan terapi kuratif. Hasil pengobatan lebih baik
bila pengobatan diberikan secepatnya dengan dosis yang cukup, Gonore akan sembuh tanpa
komplikasi. Bila pengobatan diberikan terlambat atau kurang intensif maka kesembuhan
mungkin dapat disertai dengan sikatriks kornea dan penurunan tajam pengelihatan yang
menetap atau bahkan terjadi kebutaan. Skrining dan terapi pada perempuan hamil dengan
penyakit menular seksual dapat mencegah terjadinya konjungtivitis Gonore.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Americans Academy of Ophthalmology (AAO). 2011-2013. Practicing Ophthalmologists


Curriculum, Cornea / External Diseases, The Eye MD Association
2. Americans Academy of Ophthalmology (AAO). 2011. Preferred Practice Pattern,
Conjunctivitis Limited Revision, The Eye MD Association
3. Ilyas, S. 2011. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 4. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
4. Hammscherlang, M. Clamidial and Gonoccocal Infection In Infant Children.
http://cid.oxfordjournals.org. Accessed 6 January 2017.
5. Kanski, J. 2007. Clinical Ophthalmology a Systemic Approach. 6th ed. Elsevier Ltd.
6. Khurana, AK. 2007. Diseases of the Conjunctiva. In: Comprehensive Opthalmology
Fourth Edition. New Delhi : New Age International Publishers
7. Matejcek A, Goldman RD. Treatment and Prevention of Ophtamia Neonatrum. Le
Médecin de famille canadien. 2013;59;1187-90
8. Vaughan, DG et al. 2003. Vaughan & Asbury's General Ophthalmology Sixteenth Edition.
Mc Graw-Hill
9. Feder RS, McLeod ST, Dunn SP, et al. 2013. Conjunctivitis. In: American Academy of
Ophtalmology. http://www.aao.org/ppp. Accessed 6 January 2017.

17

Anda mungkin juga menyukai