Anda di halaman 1dari 28

Hubungan Dukungan Emosional Dan Dukungan Instrumental Keluarga

Terhadap Kualitas Hidup Pasien ODGJ

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan jiwa menjadi masalah yang serius dan menjadi perhatian bagi negara-

negara maju serta berkembang di seluruh dunia. Prevalensi masalah kesehatan jiwa di

Indonesia sebesar 6,55% yang artinya dari 100 orang terdapat 6–7 orang mengalami

gangguan jiwa (Maslim, 2012). Prevalensi gangguan jiwa berat di Provinsi Jawa Timur

cukup besar yaitu 2,2 per 1000 penduduk, jauh diatas prevalensi nasional yang hanya

berkisar 1,7 per 1000 penduduk. Pemasungan terhadap ODGJ masih terjadi di Jawa Timur,

jumlahnya relatif tinggi mencapai 2.276 jiwa pada tahun 2014 yang tersebar di beberapa

wilayah kabupaten dan kota seperti Malang dan Ponorogo. Jumlah puskesmas yang

memberi pelayanan kesehatan jiwa adalah 4.182 dari 9.005 Puskesmas (46,44%). Jumlah

Rumah Sakit Umum yang memberikan pelayanan kesehatan jiwa baik rawat jalan atau

rawat inap berjumlah 249 dari 445 RSU kabupaten/kota (55,95%) (Riskesdas, 2013).

Masalah yang ditimbulkan gangguan jiwa tidak akan menyebabkan kematian secara

langsung melainkan akan menyebabkan penderitaan secara fisik dan emosional bagi

penderitanya, keluarga dan masyarakat. Salah satu masalah yang ditimbulkan gangguan

jiwa adalah terganggunya kualitas hidup Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Kualitas

hidup ODGJ akan menjadi lebih buruk dari orang lain yang tidak mengalami gangguan

jiwa, bahkan kualitas hidupnya akan lebih buruk dari pasien yang menderita penyakit fisik

(Weinberger & Harrison, 2011).

1
Kondisi keluarga dengan salah satu anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa

menjadi suatu kondisi yang sulit bagi keluarga. Gangguan jiwa merupakan masalah yang

diinterpretasikan sebagai penyakit kronis. Adanya salah satu anggota keluarga yang sakit

kronis tentu saja akan menyebabkan ketegangan dan keputusasaan dalam keluarga yang

berlangsung tidak hanya sementara (Friedman, Bowden, & Jones, 2003). Kondisi sulit,

keputusasaan dan ketegangan ini menjadi stres tersendiri bagi keluarga.

Beberapa penelitian mengenai dukungan keluarga telah dilakukan. Penelitian Lestari

(2008) menyatakan adanya hubungan antara dukungan keluarga pada pencegahan

kekambuhan pada ODGJ. Penelitian Ambari (2010), menyatakan adanya hubungan antara

dukungan keluarga dengan keberfungsian sosial pada ODGJ. Dari hasil penelitian tersebut

dapat dijelaskan bahwa dukungan keluarga sangat berperan besar untuk ODGJ.

Beberapa upaya perawatan sudah dikembangkan di setiap daerah. Pemerintah

Provinsi Jatim sudah meluncurkan program Jawa Timur Bebas Pasung sejak tahun 2011.

Berbagai upaya telah dilakukan, diantaranya menginstruksikan untuk membawa setiap

pasien ODGJ ke Rumah Sakit Jiwa Menur dan Rumah Sakit Jiwa Lawang Malang.

Pengobatan pasien tersebut dilakukan secara berkesinambungan dengan penyedia layanan

kesehatan yaitu salah satunya dengan melakukan sistem rujuk balik ke fasilitas kesehatan

tingkat lanjut maupun tingkat pertama di kabupaten/kota (Riskesdas, 2013). Selain itu juga

dilakukan upaya pemberdayaan masyarakat di rumah para pasien agar dapat berbaur dan

bersosialisasi dengan keluarga dan masyarakat pada umumnya.

Oleh karena itu dapat disimpulkan dengan masih tingginya ketergantungan dan

ketidakmandirian ODGJ serta kurangnya dukungan keluarga maka masih banyak ODGJ

memiliki kualitas hidup yang rendah. Keluarga memiliki waktu yang lebih banyak saat

pasien diberikan perawatan di rumah, sehingga keluarga memiliki tugas untuk

2
memberikan perawatan ketika pasien tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri (Stuart,

2007).

Berdasarkan pemaparan diatas maka tim penelitian diagnosa komunitas ingin

meneliti hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup orang dengan gangguan jiwa

di wilayah kerja Puskesmas Tajinan.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apakah dukungan emosional dan dukungan instrumental keluarga berhubungan dengan

kualitas hidup ODGJ?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui sejauh mana hubungan dukungan emosional dan dukungan instrumental

keluarga dengan kualitas hidup ODGJ.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui hubungan dukungan emosional keluarga dengan kualitas hidup ODGJ.

2. Mengetahui hubungan dukungan instrumental keluarga dengan kualitas hidup

ODGJ.

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian diharapkan mampu menambah manfaat bagi ilmu pengetahuan pada

umumnya, dan khususnya ilmu kesehatan masyarakat terutama mengenai hubungan

dukungan emosional dan dukungan instrumental keluarga sebagai upaya peningkatan

kualitas hidup ODGJ.

3
1.4.2 Manfaat Praktis

1. Diharapkan dapat menjadi masukan bagi peneliti dalam memperoleh informasi tentang

hubungan dukungan emosional dan dukungan instrumental keluarga dengan kualitas

hidup ODGJ.

2. Diharapkan dapat menjadi masukan bagi Puskesmas Tajinan untuk lebih melatih

komunikasi dengan keluarga dalam memberikan informasi terkait kesehatan jiwa.

3. Diharapkan dapat menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Malang dan

Puskesmas Tajinan untuk meningkatkan peran kader dalam upaya peningkatan kualitas

hidup ODGJ.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)

2.1.1 Definisi Gangguan Jiwa

Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ) II dalam Maslim (2001)

mendefinisikan gangguan jiwa atau gangguan mental (mental disorder) adalah sindrom

atau pola perilaku dan atau psikologik seorang individu yang secara klinik memiliki arti

secara khas berkaitan dengan suatu distress atau gejala penderitaan dalam satu atau

lebih fungsi yang penting dari seorang individu. Menurut Ardani (2007) yang dimaksud

dengan gangguan jiwa adalah sekumpulan keadaan – keadaan yang tidak normal baik

yang berhubungan dengan keadaan secara fisik maupun secara mental. Namun,

ketidaknormalan tersebut bukan disebabkan oleh sakit atau rusaknya bagian anggota

badan tertentu meskipun terkadang gejalanya dapat terlihat dengan keadaan fisik.

Sedangkan menurut Yosep (2011) gangguan jiwa adalah sekumpulan gejalan patologik

dominan yang berasal dari unsur jiwa. Meskipun begitu hal tersebut bukan berarti

bahwa unsur yang lain tidak mengalami gangguan sebab sesuangguhnya yang sakit dan

menderita ialah manusia secara utuh bukan hanya badan, jiwa, atau lingkungannya.

2.1.2 Etiologi GJ

Ada banyak teori dan pendapat ahli mengenai penyebab gangguan jiwa. Menurut

Yoseph (2011) penyebab gangguan jiwa dipengaruhi oleh beberapa faktor yang secara

terus menerus saling terkait dan saling mempengaruhi, yaitu:

a. Faktor somatik atau organobiologis, seperti neuroanatomi, neurifisiologi,

neurokimia, tingkat kematangan dan perkembangan organik, dan faktor – faktor pre

dan peri natal.

5
b. Faktor – faktro psikologik atau psikoedukatif, seperti interaksi ibu dan anak,

persaingan yang terjadi antara saudara kandung, hubungan sosial dalam kehidupan

sehari – hari, kehilangan yang menyebabkan depresi atau rasa malu/ rasa bersalah,

pola adaptasi dan pembelaan sebagai reaksi terhadap bahaya, dan tingkat

perkembangan emosi.

c. Faktor – faktor sosial budaya atau sosiokultural, seperti kestabilan keluarga, tingkat

ekonomi, masalah kelompok minoritas yang meliputi prasangka dan fasilitas

kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan yang tidak memadai, pengaruh raisal dan

keagamaan.

Sementara untuk faktor presipitasi ( faktor yang bersumber dari individu itu

sendiri) anatar lain, kondisi lingkungan yang kurang baik, interaksi dengan orang lain,

kondisi fisik pasien, putus asa, dan percaya diri yang kurang, kehilangan orang yang

dicintai, kehilangan pekerjaan, dan kritikan yang megarah kepada penghinaan.

2.1.3 Patogenesis dan patofisiologi GJ

Kondisi saat sebelum sakit pada pasien gangguan jiwa berlangsung kuran glebih

selama 1 bulan. Gangguan yang terjadi dapat berupa gejala spikotik, antara lain

halusinasi, deluasi, disorganisasi proses berfikir, gangguan bicara, gangguan perilaku

yang terkadang disertai dengan kelainan neurokimiawi. Penderita gangguan jiwa

biasanya mengalami minimal 2 gejala, yaitu gangguan afek dan gangguan peran.

Serangan yang terjadi pada pasien gangguan jiwa biasanya terjadi secara berulang

(Yoseph, 2011).

Serangan yang terjadi pada pasien gangguan jiwa biasanya berupa perasaan khawatir

berlebihan terhadap hampir semua aspek kehidupan, perasaan lelah berlebihan yang

tidak disebabkan karena faktor kelelahan fisik, iritable atau mudah tersinggung, dan

gejala fisik seperti kaku otot, pegal – pegal, gangguan tidur atau sulit merasa santai.

6
Ketika penderita mengalami gangguan tersebut terkadang penderita mengabaikannya

yang berakibat pada bertambah parahnya gangguan yang dialami oleh penderita. Pada

penderita gangguan jiwa, biasanya mengalami gangguan tehadap tingkat kedaran dan

kognisi, emosi atau perasaan, perilaku motorik, proses berpikir, persepsi atau

penginderaan, dan kemampuan bicara dan bahasa.

Pada proses pemulihan yang terjadi pada penderita gangguan jiwa terdapat 5

tahapan, anatara lain:

1. Tahap 1: perasaan terjebak (stcuk) dimana penderita merasa tidak mau atau tidak

mampu dalam menerima bantuan ataupun menghadapi masalah.

2. Tahap 2: bersedia menerima bantuan. Pada tahap ini penderita ingin menjauh atau

menghindar dari masalah dan berharap orang lain akan bisa membantu dalam

mengatasi masalah.

3. Tahap 3 : percaya. Pada tahap ini penderita mulai percaya bahwa mereka dapat

membuat perubahan atau perbaikan dalam hidupnya. Penderita mulai melihat ke

masa depan tentang apa yang diinginkan serta menjauh dari hal – hal yang tidak

diinginkan. Penderita mulai melakukan hal – hal atas keinginan sendiri untuk

mencapai tujuan mereka dan tetap bersedia menerima bantuan orang lain.

4. Tahap 4: belajar mengenai bagaimana membuat pemulihan diri penderita menjadi

suatu kenyataan. Ini adalah proses trial and error dimana dukungan dan semangat

merupakan hal yang dibutuhkan dalam tahap ini.

5. Tahap 5 : kemandirian yang dicapai secara bertahap dari proses belajar hingga pada

akhirnya mencapai suatu titik dimana mereka mampu mengelola sesuatu tanpa

bantuan dari orang lain (Tirtojiwo, 2012).

Ketika pada penderita gangguan jiwa yang telah melalui proses pemulihan, mereka

akan memasuki tahap recovery dimana mereka mampu menerima dan mengukui

7
dirinya sendiri sebagai mana adanya. Selain itu, penderita gangguan jiwa juga sudah

mampu untuk bersikap terbuka dan sportif, memiliki semangat dan motivasi, percaya

diri, mampu mengendalikan emosi, mampu bersosialisasi dengan masyarakat dan tidak

takut untuk menghadapi tantangan serta berusaha mencari jalan keluar untuk mengatasi

masalah yang dihadapi (Tirtojiwo, 20120.

Penderita yang mengalami gangguan jiwa memiliki ciri biologis yang khas terutama

pada susunan dan struktur saraf pusat, dimana penderita biasanya mengalami

pembesaran ventrikel ke II bagian kiri. Ciri lainnya pada penderita yakni memiliki lobus

frontalis yang lebih kecil dari rata – rata orang yang normal. Penderita yang mengalami

gangguan jiwa dengan gejala akut serta paranoid (curiga) memiliki lesi pada daerah

Amigdala sedangkan pada penderita skizofrenia memiliki lesi pada area Wernick’s dan

Brocha bahkan terkadang disertai Aphasia serta disorganisasi dalam proses berbicara.

Kelainan pada struktur otak atau kelainan yang terjadi pada sistem kerja bagian

tertentu dari otak juga dapat menimbulkan gangguan pada kejiwaan. Sebagai contoh,

masalah komunikasi di salah satu bagian kecil dari otak dapat mengakibatkan terjadinya

disfungsi secara luas. Hal ini akan diikuti oleh kontrol kognitif, tingkah laku, dan fungsi

emosional yang diketahui memiliki keterkaitan erat dengan masalah gangguan

kejiwaan. Beberapa jenis gangguan pada struktur otak yang berakibat pada gangguan

jiwa, antara lain:

1. Gangguan pada kortek serebri yang memiliki peran penting dalam pengambilan

keputusan, pemikiran tinggi, dan penalaran dapat dilihat pada penderita waham.

2. Gangguan pada sistem limbik yang berfungsi mengatur perilaku emosional, daya

ingat, dan proses dalam belajar terlihat pada penderita perilaku kekerasan dan

depresi.

8
3. Gangguan pada hipotalamus yang berperan dalam mengatur hormon dalam tubuh

dan perilaku seperti makan, minum, dan seks dapat terlihat pada penderita bulimia,

anoreksia, dan disfungsi seksual.

Kerusakan – kerusakan yang terjadi pada bagian otak tertentu juga dapat

mengakibatkan gangguan jiwa. Kerusakan tersebut antara lain :

1. Kerusakan pada lobus frontalis yang menyebabkan kesulitan dalam proses

pemecahan masalah dan perilaku yang mengahar pada tujuan, berfikir abstrak,

perhatian dengan manifestasi gangguan psikomotorik.

2. Kerusakan pada basal ganglia dapat menyebabkan distonia dan tremor.

3. Gangguan pada lobus temporal limbik akan meningkatkan kewaspadaan,

distractibility, gangguan memori (short time).

2.1.4 Tanda dan gejala gangguan jiwa

Tanda – tanda umum yang sering dijumpai pada penderita dengan gangguanj jiwa

menurut Yoseph (2011), yaitu :

a. Gangguan kognisi

Gangguan kognisi meliputu gangguan sensasi dan gangguan persepsi. Gangguan

sensasi terdiri dari hiperestesia ( suatu keadaan dimana gangguan kepekaan terhadap

proses penginderaan baik panas, dingin, nyeri atau perabaan mengalami

peningkatan), anestesi ( suatu keadaan dimana tidak ada perasaan pada

penginderaan/ mati rasa), hiperkinestesia (suatu keadaan dimana kepekaan terhadap

perasaan gerak tubuh mengalami peningkatan secara berlebih), dan hipokinestesia

(suatu keadaan dimana kepekaan terhadap gerak perasaan tubuh mengalami

penurunan). Sedangkan gangguan persepsi terdiri dari ilusi (persepsi yang salah/

palsu yang biasanya ada atau pernah ada rangsangan dari luar), dan halusinasi ( suatu

persepsi yang salah tanpa adanya rangsangan dari luar).

9
b. Gangguan perhatian

Beberapa jenis gangguan perhatian yaitu distraktibiliti (perhatian yang mudah

dialihkan oleh rangsang yang tidak berarti), aproseksia (ketidaksanggupan untuk

memperhatikan secara tekun terhadap situasi atau keadaan), dan hiperproseksia

(keadaan yang memusatkan perhatian yang berlebihan).

c. Gangguan ingatan

Gangguan ingatan terdiri dari amnesia (ketidakmampuan mengingat kembali

pengalaman yang ada atau kondisi sebelumnya), hipernemsia (keadaan dimana

seseorang dapat menjelaskan kembali kejadian yang telah lalu dengan sangat

terperinci), dan paramnesia (gangguan penyimpanan terhadap ingatan yang telah

lalu yang dikenal secara baik).

d. Gangguan pikiran

Beberapa jenis gangguan pikiran yaitu gangguan bentuk pikiran ( pemikiran yang

mengalami penyimpangan, tidak rasional dan logis, dan terarah pada suatu tujuan),

dan gangguan isi pikiran baik secara verbal maupun non verbal.

e. Gangguan kesadaran

Beberapa macam gangguan kesadaran, antara lain:

 Kesadaran yang menurun ( tingkat kesadaran dimana kemampuan persepsi,

perhatian, dan pemikiran yang berkurang secara keseluruhan)

 Kesadaran yang meninggi (keadaan reaksi yang menignkat akibat adanya suatu

rangsang).

 Kesadaran kualitatif dimana terjadinya perubahan dalam kualitas kesadaran, baik

yang disebabkan oleh toksik, organik atau psikogen.

10
f. Gangguan kemauan

Beberapa macam gangguan kemauan yaitu abulia (keadaan seseorang yang tidak

sanggup dalam membuat keputusan maupun memulai suatu perbuatan), negativisme

(ketidaksanggupan seseorang dalam bertindak/ melakukan sesuatu, kekakuan atau

ketidakmampuan dalam memutuskan untuk mengubah suatu tingkah laku), dan

kompulsi (keadaan seseorang yang merasa didorong dalam melakukan suatu

tindakan).

g. Gangguan emosi dan afek

Gangguan emosi dan afek diantaranya euforia (emosi menyenangkan atau bahagia

secara berlebihan sehingga apabila tidak sesuai dengan keadaan maka hal ini

menunjukkan adanya gangguan), afek yang kaku (pendirian yang tetap

dipertahankan sehingga menyebabkan reaksi emosional yang berlebihan), emosi

labil (ketidakstabilan yang berlebihan dan emosional), cemas dan depresi (gejala

yang dapat dilihat dari ekspresi wajah atau tingkah laku), dan emosi yang tumpul

dan datar (pengurangan atau tidak ada sama sekali tanda – tanda ekspresi afektif).

2.1.5 Jenis – jenis gangguan jiwa

Menurut international Classification of Diseases (ICD) seperti yang tercantum dalam

Depkes (2003) menggolongkan gangguan jiwa menjadi beberapa jenis, yaitu:

a. Gangguan mental organik

b. Gangguan mental organik adalah suatu kelompok gangguan jiwa yang disebabkan

oleh adanya gangguan yang terjadi pada organ lain diluar otak tetapi gangguan

tersebut mempengaruhi fungsi dan kerja otak (Admin, 2011).

c. Gangguan mental dan perilaku akibat gangguan mental simptomatik yang

merupakan komponen psikologi yang diikuti gangguan fungsi secara badaniah.

11
d. Skizofrenia

Skizofrenia menurut PPDGJ III adalah gangguan psikosis yang ditandai oleh

distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar dan khas serta afek yang tidak wajar

atau tumpul (Maslim, 2001). Patel (2001) menyebutkan beberapa ciri khas dari

skizofrenia, antara lain : depresi dan tidak ada keinginan dalam menjalani hidup,

sering mengeluhkan dan melakukan hal – hal yang aneh, gelisah, agresif, kurang

merawat diri, dan sering berhalusinasi.

e. Gangguan suasana perasaan ( depresi)

Depresi merupakan salah satu masalah kesehatan kejiwaan yang mendapat

perhatian khusus karena jumlah penderitanya yang bertambah setiap waktunya.

WHO memprediksikan padan tahun 2020 di negara – negara berkembang depresi

akan menjadi penyebab kedua terbesar setalah serangan jantung ( Lubis, 2009).

Beberapa ciri yang khas pada penderita depresi, antara lain tidak ingin

bersosialisasi dengan orang lain (menarik diri), kehilangan semangat hidup dan

tidak ada harapan akan masa depan. Merasa bersalah dan rendah diri, dan terkadang

merasa lebih baik mati sehingga sering mencoba melakukan tindakan bunuh diri

(Patel, 2001).

f. Ansietas atau kecemasan

Kecemasan adalah keadaan seseorang yang bereaksi terhadap adanya ancaman

atau kondisi yang mengganggu baik secara nyata maupun khayal, dan biasanya

seseorang yang mengalami kecemasan disebabkan adanya ketidakpastian dimasa

mendatang (Lubis, 2009). Ciri khas kecemasan menurut Patel (2001), antara lain :

jantung berdetak lebih cepat dan tubuh gemetar, merasa takut dan terlalu khawatir

terhadap sesuatu, pikirannya seolah – olah mati sehingga terkadang kehilangan

12
kontrol diri, menghindari penyebab cemas, sulit tidur, dan cenderung memikirkan

kecemasan tersebut dalam waktu yang lama.

g. Gangguan makan, gangguan tidur, dan disfungsi seksual

h. Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa

i. Retardasi mental

Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan kejiwaan seseorang yang

terhenti atau tidak lengkap, terutama ditandai dengan terjadinya hendaya

keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat

kecerdasan secara keseluruhan, seperti kemampuan kognitif, bahasa, mototrik, dan

sosial.

j. Gangguan brevaza, gangguan membaca, gangguan berhitung, dan autisme.

k. Gangguan hiperkinetik dan gangguan tingkah laku.

2.1.6 Dampak gangguan jiwa

Menurut Admin (2010), dampak yang ditimbulkan oleh gangguan jiwa cukup besar,

baik bagi pasien, bagi keluarga maupun bagi masyarakat dan lingkungan. Dampak

tersebut, antara lain:

a. Sebagai penyebab paling utama dari disabilitas kelompok usia produktif.

b. Penderita mengalami penolakan, pengucilan, dan diskriminasi.

c. Penderita gangguan jiwa menjadi tidak produktif dan menganggur.

d. Biaya perawatan yang tinggi.

2.2 Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga merupakan proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, hal ini

memiliki sifat dan jenis dukungan yang berbeda dalam berbagai tahapn kehidupan.

Dukungan keluarga dapat berupa dukungan sosial internal, seperti dukungan dari ayah,

13
ibu, suami, istri, ataupun saudara kandung, dan dapat juga berupa dukungan keluarga

eksternal bagi keluarga inti. Dukungan keluarga dapat membuat keluarga mampu

berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal, hal ini berakibat meningkatnya kesehatan

dan adaptasi keluarga (Friedman, 2010). House dan kahn (1985) dalam friedman (2010),

menerangkan bahwa keluarga inti memiliki empat fungsi dukungan, diantaranya:

2.2.1 Dukungan Emosional

Keluarga merupakan tempat yang aman dan damai untuk istirahat , memulihkan,

serta membantu individu untuk menguasai emosinya. Aspek-aspek dari dukungan

emosional yaitu dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, perhatian,

adanya kepercayaan, mendengarkan dan didengarkan.

Keluarga memberikan dukungan emosional, berupa kasih sayang, perhatian, dan

empati. Dukungan emosional merupakan fungsi afektif yang harus diterapkan pada

seluruh anggota keluarga, termasuk pada keluarga yang memiliki gangguan

jiwa.Fungsi afektif adalah fungsi internal keluarga dalam memenuhi kebutuhan

psikososial setiap anggota keluarga dengan saling mengasuh, memberi cinta kasih,

kehangatan, dan saling mendukung serta menghargai antar sesama anggota

keluarga (Friedman 1998).

Dukungan emosional memberikan rasa aman, cinta kasih yang dapat

membangkitkan rasa semangat, mengurangi rasa putus asa, rendah diri, dan rasa

terbatas sebagai dampak ketidakmampuan fisik (penurunan kesehatan dan kelainan

yang dialaminya). Pada orang dengan gangguan jiwadukungan emosional sangat

penting untuk upaya perawatan dan pengobatan dalam mengontrol masalahnya.

Oleh sebab itu dukungan emosionaldari keluarga sangat diperlukan oleh pasien

dengan gangguan jiwa, karena dapat mempengaruhi status psikososial dan

mentalnya yang akan ditunjukkan dengan perubahan prilaku yang diharapkan

14
dalam upaya meningkatkan status kesehatannya. Pada pasien dengan gangguan

jiwa terjadi peningkatan perasaan tidak berguna, dikucilkan, dan tidak dihargai,

sehingga dukungan keluarga diperlukan karena berpengaruh terhadap

pembentukan mental dan emosional seseorang.

2.2.2 Dukungan Instrumental

Keluarga merupakan sumber pertolongan yang kongkrit dan praktis

diantaranya: kesehatan penderita dalam kehkebutuhan makan dan minum, istirahat,

dan terhindarnya pasien dari kelelahan.

Dukungan instrumental keluarga merupakan bantuan keluarga dalam bentuk

bantuan tenaga, dana, maupun meluangkan waktu untuk membantu, melayani dan

mendengarkan pasien dengan gangguan jiwa dalam menyampaikan perrasaannya.

Dukungan instrumental juga merupakan fungsi ekonomi dan perawatan kesehatan

yang diterapkan keluarga terhadap anggota keluarga yang sakit (Friedman 1998).

Fungsi ekonomi keluarga adalah fungsi keluarga dalam memenuhi semua

kebutuhan anggota keluarga termasuk kesehatan anggota keluarga, sedangkan

fungsi perawatan kesehatan keluarga adalah fungsi keluarga dalam

mempertahankan kesehatan anggota keluarga diantaranya adalah merawat anggota

keluarga yang mengalami gangguan jiwa dan membawa anggota keluarga ke

pelayanan kesehatan untuk memerikasakan kesehatannya (Friedman 1998)

Pada keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa memiliki

pengorbanan ekonomi, sosial, dan psikologi, yang lebih besar daripada keluarga pada

umumnya. Dukungan keluarga pada pasien dengan gangguan jiwa dapat ditunjukkan

dengan adanya upaya perawatan keluarga pada pasien dengan gangguan jiwa.

Bila pasien tidak dirawat pada fasilitas kesehatan, keluarga sangat berperan dalam

pemberian obat dirumah. Salah satu anggota keluarga harus dapat melakukan hal tersebut

15
dengan baik, juga untuk membawa pasien pada pemeriksaan lanjutan (Depkes RI, 1995).

Dengan demikian penatalaksaan regimen terapi keluarga sangat diperlukan untuk masalah

pasien dengan gangguan jiwa.

Dukungan keluarga mengacu pada sesuatu yang dapat diakses atau diadakan untuk

keluarga, dan anggota keluarga memandang bahwa orang yang siapmendukung selalu siap

memberikan bantuan dan pertolongan jika diperlukan (Friedman 1998). Manfaat

dukungan keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan,

sedangkan sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai tahap siklus

kehidupan. Dukungan ini berfungsi pada berbagai kepandaian dan akal. Hal ini berakibat

pada meningkatnya kesehatan dan adaptasi keluarga (Friedman 1998).

Wills (1985) dalam Friedman (1998) menyimpulkan bahwa efek penyangga (dukungan

menahan efek negatif stres terhadap kesehatan) dan efek utama (dukungan secara langsung

mempengaruhi kesehatan) ditemukan. Sebenarnya efek penyangga dan utama dapat

ditemukan secara bersamaan. Spesifiknya dukungan keluarga yang adekuat terbukti

berhubungan menurunkan mortalita, lebih mudah sembuh, dan pemulihan fungsi kognitif,

fisik serta kesehatan emosi (Ryan & Austin dalam Friedman, 1998).

Faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga salah satunya adalah sosial-ekonomi

orangtua. Kelas sosial ekonomi disini meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan orangtua

dan tingkat pendidikan. Dalam keluarga kelas menengah, memungkinkan adanya

hubungan yang lebih demokratis dan halu, sementara keluarga kelas sosial-ekonomi

bawah memiliki hubungna yang lebih otoritas atau otokrasi. Sedangkan orang tua dengan

kelas sosial menengah mempunyai dukungan, afeksi, dan keterlibatan yang lebih dari pada

orangtua dengan kelas sosial bawah (Notoatmodjo, 2003).

16
2.3. Kualitas Hidup

2.3.1. Pengertian Kualitas Hidup

Kualitas hidup didefinisikan sebagai keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan

sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis

(UU no 23/1992 tentang kesehatan). Kualitas hidup merupakan suatu terminologi yang

menunjukan tentang kesehatan fisik, sosial dan emosi seseorang serta kemampuannya

untuk melaksanakan tugas sehari-hari.

World Health Organization (WHO) mendefinisikan kualitas hidup merupakan

persepsi individu terhadap posisi mereka dalam kehidupan dalam konteks budaya dan

sistem nilai dimana mereka hidup, dan dalam kaitannya dengan tujuan, harapan,

standar dan kekhawatiran. Kualitas hidup mencakup empat domain, yaitu kesehatan

fisik, keadaan psikologis, hubungan sosial dan lingkungan (WHO, 2004).

Kualitas hidup adalah berbagai pengalaman manusia yang salah satunya terkait

dengan secara keseluruhan kesejahteraan. Ini berarti nilai berdasarkan fungsi subjektif

dibandingkan dengan harapan pribadi dan didefinisikan oleh pengalaman subjektif,

negara bagian dan persepsi (Burckhardt & Anderson, 2003).

Kualitas hidup adalah tingkatan yang menggambarkan keunggulan seorang

individu yang dapat dinilai dari kehidupan mereka. Keunggulan individu tersebut

biasanya dilihat dari tujuan hidupnya, kontrol pribadinya, hubungan interpersonal,

perkembangan pribadi, intelektual dan kondisi materi (Cohen & Lazarus, 1977).

Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa, kualitas

hidup adalah persepsi individu terhadap kesehatan fisik, sosial dan emosi yang

dimilikinya. Hal tersebut berkaitan dengan keadaan fisik dan emosi individu tersebut

dalam kemampuannya melaksanakan aktifitas sehari-hari yang ditunjang dengan

17
sarana dan prasarana yang ada di lingkungan sekitar.

2.3.2. Aspek- Aspek Kualitas Hidup

Aspek –aspek kualitas hidup berdasarkan skala kualitas hidup dari WHO yang

disebut dengan WHO Quality of Life (WHOQOL-BREF) terdiri dari 4 domain/aspek,

yaitu:

a. Keadaan fisik (Physical)

Kesehatan fisik disini merupakan penggambaran dari kepuasan individu

terhadap kesehatan fisiknya, yang mencakup tingkat energi dan

kelelahan (energy and fantigue), rasa sakit dan ketidaknyamanan (pain

and discomfort), dan lama waktu untuk tidur dan beristirahat (sleep and

rest).

b. Keadaan Psikologis (Psychological).

Keadaan psikologis disini merupakan persepsi individu terhadap

keadaan dirinya yang meliputi, gambaran diri dan penampilan (bodily

and appearance), seberapa sering seseorang memiliki perasaan yang

negatif seperti sedih, dan marah (negative felly), perasaan positif

(positive felly), gambaran tentang kepuasan terhadap diri (self esteem),

dan mengenai kemampuan seseorang dalam berfikir, belajar, mengingat

dan berkonsentrasi (thingking, learning, memory and concentration).

c. Hubungan sosial (Social Relationship).

Hubungan sosial disini merupakan kemampuan individu dalam bergaul

yang meliputi, hubungan personal antara individu dengan orang

disekitarnya (personal relationship), dukungan yang didapat individu

dari lingkungan sosialnya (social support), dan aktivitas seksual (sexual

activity).

18
d. Hubungan dengan Lingkungan (Environment)

Hubungan dengan lingkungan disini lebih menunjukan tentang keadaan

disekitar kehidupan individu yang meliputi, sumberdaya keuangan/

kemapuan finansial yang dimiliki individu (financial resources),

kebebasan individu, keselaman fisik dan keamanan yang dimiliki

individu (freedom, safety phisical and security), ketersedian akses dan

kualitas fasilitas kesehatan dan sosial (health and social care:

accessbility and quality), keadaan lingkungan sekitar rumah (home

environment), ketrampilan dan kesempatan untuk memperoleh

informasi baru (opportunities for acquiring new information and skill),

partisipasi dalam kegiatan rekreasi dan olahraga (partisipation in and

opportunities for recreation/leisure), kesehatan lingkungan seperti

polusi, kebisingan, lalu lintas dan iklim (physical environment

(pollution/noise/traffic/cimate)), dan ketersediaan sarana transportasi di

lingkungan sekitar tempat tinggal individu (transport) (WHO, 1997).

Aspek-aspek kualitas hidup dalam The Flanangan Quality of Life

Scale (QOLS) (Burckhardt & Anderson, 2003), aspek kualitas hidup

adalah sebagai berikut:

a. Kesejahteraan Fisik

Kesejahteraan fisik meliputi kesejahteraan dan keamanan finansial,

kesehatan fisik dan keselamatan pribadi.

b. Hubungan dengan orang lain

Hubungan dengan orang lain meliputi hubungan dengan orang tua,

saudara dan kerabat lainnya, memiliki dan membesarkan anak-anak,

19
hubungan dengan pasangana atau orang penting lainnya, dan

hubungan dengan teman.

c. Sosial, Masyarakat dan kegiatan yang berkaitan dengan

pemerintah. Aspek tersebut terkait dengan membantu dan

menolong orang lain, dan kegiatan yang berkaitan dengan

pemerintah daerah dan nasional.

d. Pengembangan dan pemenuhan pribadi

Pengembangan dan pemenuhan pribadi meliputi pengembangan

intelektual, pemahaman pribadi, peran dalam pekerjaan, kreatifitas

dan eksoresi pribadi.

e. Aspek Rekreasi

Aspek rekreasi meliputi sosialisasi, kegiatan rekreasi pasif dan

pengamatan, kegiatan rekreasi aktif dan partisipasi.

Berdasarkan uraian diatas maka aspek-aspek kualitas hidup mencakup empat

domain, yaitu kesehatan fisik, keadaan psikologis, hubungan sosial dan lingkunganm

keempat domain tersebut telah mencakup berbagai aspek yang dapat digali untuk

menggambarkan kualitas hidup seseorang.

2.3.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup

Berdasarkan uraian dari beberapa tokoh, faktor-faktor yang mempengaruhi

kualitas hidup adalah (Burckhardt & Anderson, 2003):

e. Sosial demografi (Socio-demographic )

Faktor sosial demografi mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Faktor

sosial demografi meliputi, jenis kelamin, umur seseorang, tingkat

pendidikan, dan status pernikahan.

f. Besarnya Jaringan dan Religiusitas

20
Besarnya jaringan yang dimaksud disini adalah hubungan individu yang

meliputi jumlah saudara yang dimiliki, kalangan orang yang dikenal,

jumlah keluarga yang dimiliki dan kepercayaan/agama yang diyakini

individu.

g. Kecerdasan Emosi

Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup diantaranya adalah

mengenali diri sendiri, adaptasi, merasakan penderitaan orang lain,

perasaan kasih dan sayang, bersikap optimis, mengembangkan sikap

empati.

Jadi berdasarkan uraian tersebut maka faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas

hidup seseorang diantaranya adalah, faktor sosial demografi, jaringan sosial, mengenali

diri sendiri, kemampuan menyesuakan diri dan juga kepercayaan/ religiusitas

seseorang. Koping religius merupakan usaha agar memiliki kecerdasan emosi yang

dibalut dengan religiusitas seseorang atau kepercayaan seseorang.

21
BAB III

KERANGKA KONSEP PENELITIAN

3.1 Kerangka Teori

3.1.1 Kerangka Teori Penelitian Pengetahuan


 Faktor Usia
 Faktor Sosial
DUKUNGAN KELUARGA ekonomi

Dukungan emosional Dukungan


instrumental
1. Afeksi
2. Kepercayaan 1. Merawat
3. Perhatian 2. Memenuhi
4. Mendengarkan dan kebutuhan
didengarkan pasien
3. Memeriksakan
pasien

Kualitas hidup pasien ODGJ


 Kesehatan fisik
 Psikologis
 Hubungan sosial
 Lingkungan

Keterangan :
: Variabel yang diteliti
: Variabel tidak diteliti

Gambar 3.1. Kerangka Teori Penelitian (Friedman (1998 dan 2010); WHO (1998))

22
3.2 Kerangka Konsep

Variabel Independen

Dukungan Keluarga:

Variabel dependen
1. Dukungan instrumental

Kualitas Hidup ODGJ


2. Dukungan Emosional

Gambar 3.4 Kerangka Konsep (House & Khan, 1985 dalam friedman, 2010)

Kerangka Konsep penelitian merupakan landasan berfikir untuk melakukan suatu

penelitian. Kerangka konsep merupakan pengembangan konsep yang berdasar tinjauan

teori. Berdasarkan teori dan konsep yang telah penulis paparkan pada tinjauan teori penulis

tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai hubungan dukungan keluarga terhadap

kualitas hidup ODGJ.

Dukungan keluarga yang dibutuhkan dalam meningkatkan kualitas hidup pasien terdiri

dari dukungan emosional, dukungan informasi, dukungan instrumental, dan dukungan

penilaian (House & Khan, 1985 dalam friedman, 2010) tentunya diharapkan bermakna

untuk orang dengan gangguan jiwa. Variabel dalam penelitian ini adalah dukungan

keluarga, dan kualitas hidup ODGJ.

3.3 Hipotesis Penelitian

Dalam penelitian ini hipotesa yang dirancang oleh peneliti adalah sebagai berikut:

H0 :

 Dukungan emosional tidak berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien ODGJ

Kecamatan Tajinan.

23
 Dukungan instrumental tidak berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien ODGJ

Kecamatan Tajinan.

H1 :

 Dukungan emosional berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien ODGJ Kecamatan

Tajinan.

 Dukungan instrumental berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien ODGJ Kecamatan

Tajinan.

3.4 Variabel Penelitian

a. Variabel Bebas

- Dukungan emosional.

- Dukungan instrumental.

b. Variabel Terikat

- Peningkatan kualitas hidup pasien

3.5 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Variabel Bebas

Dukungan Pernyataan - Menetapkan Nilai skor dari Ordinal

emosional dukungan caregivers bobot untuk pernyataan

terhadap bantuan setiap pilihan untuk didapat

dukungan emosional jawaban mean,

yang meliputi - Menghitung skor median, dan

penerimaan, dari pertanyaan nilai minimal,

24
perhatian, cinta, tentang dan nilai

empati, dan dukungan maksimal

komitmen, untuk keluarga

merawat ODGJ menggunakan

skala Likert.

(5) Selalu

(4) Sering

(3)Kadang-

kadang

(2) Jarang

(1) Tidak pernah

Dukungan Pernyataan - Menetapkan Nilai skor dari Ordinal

instrumental dukungan caregivers bobot untuk pernyataan

terhadap sejumlah setiap pilihan untuk didapat

pertanyaan dukungan jawaban mean,

instrumental yang - Dinyatakan median, dan

meliputi sumber, dalam skala nilai minimal,

kedekatan, kesediaan likert dan nilai

waktu, bantuan - Membuat maksimal

asuhan, finansial, skoring dan

tugas rumah tangga, menghitung

untuk mengikuti skor

terapi ODGJ

25
Variabel Terikat

Kualitas hidup Persepsi individu Menghitung skor Kuisioner Ordinal

pada kehidupannya dari pertanyaan SQLS berisi

dalam konteks tentang kualitas 30 pertanyaan

budaya dan nilai hidup ODGJ Semakin

sistem dimana menggunakan kecil skor

individu hidup skala linkert semakin baik

berkaitan dengan (Kadek et.al,

kesehatan fisik, 2017)

psikologis, hubungan

sosial dan lingkungan

26
BAB IV

METODE PENELIATIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelasional, karena

penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan atau menggambarkan hubungan

antar variabel. Pada penelitian ini peneliti mencari, menjelaskan, dan menguji

suatu hubungan berdasarkan teori yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui hubungan antara variabel bebas yaitu dukungan emosional dan

dukungan instrumental keluarga dengan variabel terikat yaitu kualitas hidup

pasien ODGJ.

Pengukuran pada variabel-variabel tersebut hanya dilakukan satu saat ketika

penelitian ini berlangsung. Pendekatan yang digunakan adalah crossectional

yaitu suatu pengukuran atau pengumpulan data variabel bebas, dan variabel

terikat yang dilakukan satu kali pada satu saat.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang

sebagai

4.3 Populasi dan Sampel

4.4 Kriteria inklusi dan eksklusi

4.5 Tahapan penelitian

4.6 Rencana manajemen dan Analisa data

4.7 Skema penelitian

27
28

Anda mungkin juga menyukai