PENDAHULUAN
1.3 TUJUAN
Tujuan dari penyusunan referat ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui definisi Sindroma Nefrotik
2. Mengetahui batasan Sindroma Nefrotik
3. Mengetahui etiologi Sindroma Nefrotik
4. Mengetahui tanda dan gejala Sindroma Nefrotik
5. Mengetahui evaluasi klinik Sindroma Nefrotik
6. Mengetahui komplikasi Sindroma Nefrotik
7. Mengetahui penatalaksanaan Sindroma Nefrotik
1.4 MANFAAT
1.4.1. Bagi Peneliti
1. Diperoleh pengalaman belajar dan pengetahuan dalam melakukan
referat
2. Penerapan ilmu kedokteran yang dimiliki dan didapat selama
pendidikan kepaniteraan di RSUD dr. M. Soewandhi Surabaya
2
2. Menumbuhkan kepedulian dan kepekaan masyarakat dalam
mencari informasi yang benar mengenai Sindroma Nefrotik
3. Menjadi dasar untuk melakukan upaya-upaya peningkatan,
kesehatan, media informasi dan komunikasi, serta pihak-pihak lain
yang terkait dalam melaksanakan penyuluhan kesehatan untuk
meningkatkan pengetahuan tentang Sindroma Nefrotik
4. Menjadi media informasi tentang gambaran Sindroma Nefrotik bagi
masyarakat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
karena hilang melalui urin, perubahan kadar dan aktifitas protein S dan C,
gangguan fibrinolisis, serta peningkatan agregrasi platelet.
2.2. ETIOLOGI
Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan
sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung
(connective tissue disease), obat atau toksin dan akibat penyakit sistemik
seperti tercantum pada tabel 1.
Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang
paling sering. Dalam kelompok GN primer, GN lesi minimal (GNLM),
glomerulonefritis fokal segmental (GSFS), GN membranosa (GNMN) dan GN
membranoploriferatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering
ditemukan. Dari 387 biopsi ginjal pasien SN dewasa yang dikumpulkan di
Jakarta antara 1990-1999 dan representatif untuk dilaporkan, GNLM
didapatkan pada 44,7%, GNMsP (GN mesangioproliferatif) pada 14,2%,
GSFS pada 11,6%, GNMP pada 8,0% dan GNMN pada 6,5%.
Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya pada
GN pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat
misalnya obat antiinflamasi non-steroid atau preparat emas organik dan
akibat penyakit sistemik dan diabetes melitus.
2. SN sekunder
a. Penyakit sistemik (SLE, DM, Amiloidosis, Henoch Schonlein purpura)
b. Obat dan toksin (Garam emas, penicillamine, kaptopril, OAINS,
phenytoin, α interferon, lithium, heroin, serum sickness, sengatan
serangga)
c. Keganasan (Karsinoma, limfoma, leukemia)
d. Infeksi (malaria, poststreptococcal, hepatitis B, AIDS, sifilis,
skistosomiasis)
e. Preeklamsia dan Eklamsia (vaskuler, hipertensi maligna, stenosis arteri
renalis, genetik: Sindroma Alport)
5
Tabel 1. Klasifikasi dan Penyebab Sindroma Nefrotik
Glomerulonefritis primer :
- GN lesi minimal (GNLM)
- Glomerulosklerosis fokal (GSF)
- GN membranosa (GNMN)
- GN membranoploriferatif (GNMP)
- GN ploriferatif lain
Glomerulonefritis sekunder akibat:
Infeksi
- HIV, hepatitis virus B dan C
- Sifilis, malaria, skistosoma
- Tuberkulosis, lepra
Keganasan
Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma hodgkin, mieloma
multipel dan karsinoma ginjal
Penyakit jaringan penghubung
Lupus eritematosus sistemik, arthritis reumatoid, MCTD (mixed
connective tissue disease)
Efek obat dan toksin
Obat antiinflamasi non steroid, preparat emas, penisilinamin,
probenesid, air raksa, kaptopril, heroin
Lain-lain :
Diabetes melitus, amiloidosis, preeklamsia, rejeksi alograf kronik,
refluks vesikoureter atau sengatan lebah
Proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap
protein akbat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membran basal
glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah
kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran
molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge
barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu.
Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein
melalui MBG.
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan
ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila
protein yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan
nonselektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti
imunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur
MBG.
Pada SN yang disebabkan oleh GNLM ditemukan proteinuria selektif.
Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan fusi foot processus sel
epitel viseral glomerulus dan terlepasnya sel dari struktur MBG. Berkurangnya
kandungan heparan sulfat proteoglikan pada GNLM menyebabkan muatan
negatif MBG menurun dan albumin dapat lolos ke dalam urin. Pada GSFS,
peningkatan permeabilitas MBG disebabkan oleh suatu faktor yang ikut dalam
sirkulasi. Faktor tersebut menyebabkan sel epitel viseral glomerulus terlepas
dari MBG sehingga permeabilitianya meningkat. Pada GNMN kerusakan
struktur MBG terjadi akibat endapan komplek imun di sub-epitel. Komplek
C56-9 yang terbentuk pada GNMN akan meningkatkan permeabilitas MBG,
walaupun mekanisme yang pasti belum diketahui.
Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis
albumin hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia
disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik
7
plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha
meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak
berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat
meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong peningkatan
ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat
peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.
Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.
Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke
jaringan interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan onkotik plasma dan
bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia dan ginjal melakukan
kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme
kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan
mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin
berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal
utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular
meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat
kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua
mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada pasien SN. Faktor
seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan
fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus dan keterkaitan dengan penyakit jantung
atau hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan.
Mekanisme terjadinya edema pada SN dapat dilihat pada Gambar 1.
Sindroma Nefrotik
Hipoalbuminemia
8
Tekanan onkotik Tekanan hidrostatik
menurun kapiler meningkat
Sindroma Nefrotik
Gambar 1. Mekanisme edema pada sindroma nefrotik
2.5. KOMPLIKASI
Komplikasi dari SN adalah
1. GGA : bisa terjadi karena volume plasma efektif menurun (hipovolemia),
sepsis, nekrosis tubuler akut, trombosis vena renalis bilateral, obat (ACE
inhibitor, OAINS).
2. Trombosis vaskuler : kondisi hypercoagulable meningkatkan
kecenderungan terjadinya trombosis vena dan arteri perifer).
3. Malnutrisi : kondisi ini disebabkan oleh proteinuria yang berat, serta
anoreksia akibat perfusi usus yang menurun, edema hepatik dan visceral,
serta rasa penuh pada perut karena ascites.
4. Infeksi : penderita SN mudah mengalami infeksi (terutama peritonitis,
pneumonia, selulitis). Terdapat beberapa alasan yang memudahkan
terjadinya infeksi, yaitu adanya timbunan cairan memudahkan tumbuhnya
bakteri, kulit penderita SN rapuh sehingga kuman mudah masuk, edema
dapat melarutkan faktor-faktor imun humoral lokal, hilangnya IgG dan
faktor complement B melalui urin dapat mengganggu kemampuan host
untuk mengeliminasi organisme, hilangnya zinc dan transferin melalui urin
dapat mengganggu fungsi normal limfosit.
9
3. Ikatan terhadap obat mungkin berubah oleh karena umumnya tidak
dibutuhkan modifikasi dosis.
Keseimbangan Nitrogen
Proteinuria masif pada SN akan menyebabkan keseimbangan nitrogen
menjadi negatif. Penurunan masa otot sering ditemukan tetapi gejala ini
tertutup oleh gejala edema anasarka dan baru tampak setelah edema
menghilang. Kehilangan massa otot sebesar 10-20% dari massa tubuh (lean
body mass) tidak jarang dijumpai pada SN.
10
LCAT (lecithin cholesterol acyltransferase) yang berfungsi katalisasi
pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari
sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktifitas enzim tersebut
diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang terjadi pada SN. Lipiduria sering
ditemukan pada debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval
fat bodies) dan fatty cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan proteinuria
daripada dengan hiperlipidemia.
Hiperkoagulasi
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan
koagulasi intravaskular. Pada SN akibat GNMN kecenderungan terjadinya
trombosis vena renalis cukup tinggi sedangkan SN pada GNLM dan GNMP
frekuensinya kecil. Emboli paru dan trombosis vena dalam (deep vein
thrombosis) sering dijumpai pada SN. Kelainan tersebut disebabkan oleh
perubahan tingkat dan aktivitas berbagai faktor koagulasi intrinsik dan
ekstrinsik. Mekanisme hiperkoagulasi pada SN cukup komplek meliputi
peningkatan fibrinogen, hiperagegrasi trombosit dan penurunan fibrinolisis.
Gangguan koagulasi yang terjadi disebabkan peningkatan sintesis protein
oleh hati dan kehilangan protein melalui urin.
Infeksi
Secara era antibiotik, infeksi sering merupakan penyebab kematian pada
SN terutama oleh organisme berkapsul (encapsulated organisms). Infeksi
11
pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, selular dan gangguan sistem
komplemen. Penurunan IgG, IgA dan gamma globulin sering ditemukan pada
pasien SN oleh karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang
meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel
T dalam sirkulasi berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas
selular. Hal ini dikaitkan dengan keluarnya transferin dan zinc yang
dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi dengan normal.
2.6. PENATALAKSANAAN
Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap
penyakit dasar dan pengobatan nonspesifik untuk mengurangi proteinuria,
mengontrol edema dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diet rendah
garam dan tirah baring dapat mengontrol edema. Furosemid oral dapat
diberikan dan bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid, metalazon dan
atau asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia
12
dan mengurangi risiko komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan
protein 0,8-1,0 g/kg berat badan/hari dapat mengurangi proteinuria. Obat
penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin converting enzyme
inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin II (angiotensin II receptor
antagonists) dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya
mempunyai efek aditif dalam menurunkan proteinuria. Risiko tromboemboli
pada SN meningkat dan perlu mendapat penanganan. Walaupun pemberian
antikoagulan jangka panjang masih kontroversial tetapi pada satu studi
terbukti memberikan keuntungan. Dislipidemia pada SN belum secara
meyakinkan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, tetapi bukti klinik
dalam populasi menyokong pendapat perlunya mengontrol keadaan ini. Obat
penurun lemak golongan statin seperti seperti simvastatin, pravastatin dan
lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL. Trigliserid dan meningkatkan
kolesterol HDL.
Pada prinsipnya terapi untuk SN terdiri dari terapi umum dan terapi
spesifik.
Terapi umum :
1. Pengobatan untuk edema
a. Dapat diberikan diuretika loop (Furosemida) oral, bila belum ada
respon dosis ditingkatkan sampai terjadi diuresis, bila perlu bisa
dikombinasi dengan Hidroklorotiasid oral (bekerja sinergik dengan
Furosemida). Bila tetap tidak respon, beri furosemida secara IV, bila
perlu disertai pemberian infus Albumin dan bila tetap belum ada
respons perlu dipertimbangkan ultrafiltrasi mekanik (terutama untuk
kasus dengan insufisiensi ginjal.
b. Pembatasan diet garam 1-2 g/hr dan pembatasan cairan
c. Bila perlu tirah baring, terutama untuk orang tua dengan edema tungkai
berat karena kemungkinan adanya insufisiensi venous
d. Pengukuran berat badan (BB) setiap hari untuk mengevaluasi edema
dan keseimbangan cairan harus dicatat. Berat badan diharapkan turun
0,5-1 kg/hr.
13
b. Angiostensin II receptor Antagonis (ARB) mempunyai efektivitas yang
sama dengan ACE inhibitor, tetapi tidak didapatkan efek batuk seperti
pada ACE inhibitor.
3. Koreksi hipoproteinemina
Untuk memelihara keseimbangan nitrogen yang positif dibutuhkan
peningkatan kadar protein serum. Tetapi pemberian diet tinggi protein
selain sulit dipenuhi penderita (anoreksia) juga terbukti justru
meningkatkan ekskresi protein urin. Untuk penderita SN diberikan diet
tinggi kalori/ karbohidrat (untuk memaksimalkan penggunaan protein yang
dimakan) dan cukup protein (0,8-1 mg/kgBB/hr).
4. Terapi hipelipidemia
Walaupun belum ada bukti yang jelas bahwa hiperlipidemia pada SN
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler, tetapi apa yang terjadi pada
populasi umum perlu dipakai sebagai pertimbangan untuk menurunkan
kadar lipis pada penderita SN. Dapat digunakan golongan HMG-Co A
reduktase inhibitor (Statin).
5. Hypercoagulability
Masih terdapat silang pendapat mengenai perlunya pemberian
antikoagulasi jangka panjang untuk semua penderita SN guna mencegah
terjadinya trombosis. Tetapi bila sudah terjadi trombosis atau emboli paru,
maka perlu dipertimbangkan antikoagulasi jangka panjang, seperti
Warfarin.
7. Pengobatan hipertensi
Bila didapatkan hipertensi, bisa diberikan ACE inhibitor, AR B, Non-
Dihydropyridinca Channel Blocker (CBB). Pemberian diuretika dan
pembatasan diet garam juga ikut berperan dalam pengelolaan hipertensi.
Terapi khusus :
Patogenesis sebagian besar penyakit glomeruler dikaitkan dengan
gangguan imun, dengan demikian terapi spesifiknya adalah pemberian
imunosupresif. Untuk penderita SN dewasa dianjurkan untuk melakukan
biopsi ginjal sebelum memulai terapi spesifik.
14
1. Steroid
Prednison 1 mg/kgBB/hr atau 60 mg/hr dapat diberikan anatara 4-12
minggu, selanjutnya diturunkan secara bertahap dalam 2-3 bulan. Steroid
memberi respon yang baik untuk minimal change, walaupun pada orang
dewasa responnya lebih lambat dibandingkan pada anak.
2. Cyclophospamide
Untuk penderita yang mengalami relaps setelah steroid dihentikan
(steroid-depended) atau mengalami relaps > 3 kali dalam setahun
(frequently relapsing) bisa diberikan Cyclophorphamide 2 mg/kgBB/hr
selama 8-12 minggu. Pada penggunaan Cyclophospamide perlu
diwaspadai terjadinya efek samping, berupa infertilitas, cystitis, alopecia,
infeksi, malignansi.
3. Chlorambucil
Digunakan dengan alasan yang sama dengan Cyclophospamide. Dosis
0,1-0,2/kgBB/hr selama 8-12 minggu.
4. Cyclosporine A (CyA)
Pada penderita yang mengalami relaps setelah pemberian
Cyclophospamide, diberikan CyA dengan dosis awal 4-5 mg/kgBB/hr,
dimana dosis selanjutnya perlu disesuaikan dengan kadar CyA dalam
darah. Pemberian berlangsung selama 1 tahun kemudian diturunkan
pelan-pelan. Mengingat CyA mempunyai efek nefrotoksik, perlu memonitor
fungsi ginjal.
5. Azathioprine
Azathioprine dengan dosis 2-2,5 mg/kgBB/hr digunakan untuk Nefritis
Lupus.
15
DAFTAR PUSTAKA
3. Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya. 2008. Pedoman Dan Terapi
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Tiga. Airlangga University Press. Surabaya.
5. http://www.kesehatan123.com/2291/sindrom-nefrotik/
6. http://zulliesikawati.wordpress.com/2011/03/13/mengenal-si-penyakit-unik-sindrom-
nefrotik/
16