Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Sindroma nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma yang ditandai
dengan edema anasarka, protein masif, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia
dan lipiduria.
Penyebab primer sindroma nefrotik biasanya digambarkan oleh histologi,
yaitu sindroma nefrotik kelainan minimal (SNKM) yang merupakan penyebab
paling umum dari sindroma nefrotik pada anak dengan umur rata-rata 2,5
tahun. Meskipun sindroma nefrotik dapat menyerang siapa saja namun
penyakit ini menyerang anak-anak usia 1 sampai 5 tahun. Selain itu
kecenderungan penyakit ini menyerang anak laki-laki dua kali lebih besar
dibandingkan anak perempuan.
Angka kejadian SN pada anak tidak diketahui pasti, namun laporan dari
luar negeri diperkirakan pada anak usia dibawah 16 tahun berkisar antara 2
sampai 7 kasus per tahun pada setiap 100.000 anak.
Menurut Raja Syeh, angka kejadian kasus SN di Asia tercatat 2 kasus
setiap 10.000 penduduk.
Sedangkan kejadian di Indonesia pada sindroma nefrotik mencapai 6
kasus pertahun dari 100.000 anak berusia kurang dari 14 tahun. (Alatas, 2002).
Sifat khusus dari penyakit SN adalah sering kambuh, sering gagalnya
pengobatan dan timbulnya penyulit, baik akibat dari penyukitnya sendiri
maupun oleh karena pengobatannya. Penyulit yang sering terjadi pada SN
adalah infeksi, trombosis, gagal ginjal akut, malnutrisi, gangguan pertembuhan,
hiperlipidemia dan anemia. Infeksi merupakan penyulit yang mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang bermakna. Bentuk infeksi yang sering dijumpai
pada SN adalah peritonitis, infeksi saluran kemih dan sepsis. Obat-obat yang
digunakan untuk terapi penyakit ini pada umumnya sangat toksik seperti
kortikosteroid dan imunosupresan. Pemakaian kortikosteroid dosis tinggi dalam
waktu yang lama dapat menekan sistem imun (imunocompromised) dan
menimbulkan berbagai efek samping yang merugikan seperti munculnya
infeksi sekunder. Infeksi yang tidak ditangani sebagaimana mestinya akan
mengakibatkan kekambuhan dan resisten terhadap steroid.
1
Mortalitas dan prognosis anak dengan SN bervariasi berdasarkan etiologi,
berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari dan responnya
terhadap pengobatan. Namun sejak diperkenalkannya kortikosteroid, mortalitas
keseluruhan SN telah menurun drastis dari lebih dari 50% menjadi sekitar 2-
5%.
Angka kejadian SN ini memang tergolong jarang, namun penyakit ini perlu
diwaspadai terutama pada anak-anak, karena jika tidak segera diatasi akan
mengganggu sistem urinaria dan akan mengganggu perkembangan lebih lanjut
anak tersebut. Disamping itu masih banyak orang yang belum mengerti tentang
seluk beluk, faktor penyebab, gejala dan cara penanganan SN. Berdasarkan
hal itu maka penulis tertarik membuat referat dengan judul “SINDROMA
NEFROTIK”.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan
pertanyaan sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Sindroma Nefrotik ?
2. Apa saja batasan dalam Nefrotik Sindrom ?
3. Apa etiologi dari Sindroma Nefrotik ?
4. Apa tanda dan gejala dari Sindroma Nefrotik ?
5. Apa evaluasi klinik dari Sindroma Nefrotik ?
6. Apa komplikasi dari Sindroma Nefrotik ?
7. Bagaimana penatalaksaan Sindroma Nefrotik ?

1.3 TUJUAN
Tujuan dari penyusunan referat ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui definisi Sindroma Nefrotik
2. Mengetahui batasan Sindroma Nefrotik
3. Mengetahui etiologi Sindroma Nefrotik
4. Mengetahui tanda dan gejala Sindroma Nefrotik
5. Mengetahui evaluasi klinik Sindroma Nefrotik
6. Mengetahui komplikasi Sindroma Nefrotik
7. Mengetahui penatalaksanaan Sindroma Nefrotik

1.4 MANFAAT
1.4.1. Bagi Peneliti
1. Diperoleh pengalaman belajar dan pengetahuan dalam melakukan
referat
2. Penerapan ilmu kedokteran yang dimiliki dan didapat selama
pendidikan kepaniteraan di RSUD dr. M. Soewandhi Surabaya

1.4.2. Bagi Masyarakat


1. Memberikan gambaran wawasan mengenai Sindroma Nefrotik

2
2. Menumbuhkan kepedulian dan kepekaan masyarakat dalam
mencari informasi yang benar mengenai Sindroma Nefrotik
3. Menjadi dasar untuk melakukan upaya-upaya peningkatan,
kesehatan, media informasi dan komunikasi, serta pihak-pihak lain
yang terkait dalam melaksanakan penyuluhan kesehatan untuk
meningkatkan pengetahuan tentang Sindroma Nefrotik
4. Menjadi media informasi tentang gambaran Sindroma Nefrotik bagi
masyarakat

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PENGERTIAN DAN BATASAN


Sindroma Nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik
glomerulonefritis (GN) ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif
≥3,5 g/hari, hipoalbuminemia < 3,5 g/dl, hiperkolesterolemia dan lipiduria.
Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua
gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas
SN, tetapi pada SN berat yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi
protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap
berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia
dan lipiduria, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid
sering dijumpai pada SN. Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali
sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir
(PGTA). Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan
respons yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lain dapat
berkembng menjadi kronik. (FKUI, 2009)
Sindroma Nefrotik (SN) adalah kumpulan gejala klinis yang terdiri dari :
1. Proteinuria > 3,5 g/hari
3
2. Hipoalbuminemia
3. Edema sampai anasarka
4. Hiperlipidemia
5. Lipiduria (oval fat bodies)
Sering kali juga disertai adanya hypercoagulability. Proteinuria merupakan
komponen kunci yang mendasari kelainan SN dan terjadi karena peningkatan
permeabilitas membran glomerulus akibat adanya abnormalitas ukuran dan
muatan selektif dinding kapiler glomerulus. Sebagian besar ekskresi protein
pada urin adalah albumin. Dikatakan proteinuria selektif apabila ekskresi
albumin > 80%.
Hipoalbumin terjadi akibat adanya proteinuria. Respon dari hepar adalah
dengan meningkatkan sintesis albumin, tetapi karena laju sintesis dan
hilangnya protein tidak seimbang, maka tetap terjadi hipoalbumin.
Edema pada SN patofisiologinya belum jelas. Terdapt teori underfilling
hypothesis) yang menyatakan bahwa edema terjadi akibat rendahnya albumin
serum sehingga menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma dan
transudasi cairan ke interstitial. Akibatnya terjadi penurunan volume
intravaskuler diikuti dengan rangsangan pada aksis Renin-Angiostensin-
Aldosteron (RAA) yang akan meningkatkan retensi NA dan air, sehingga akan
memperbaiki volume intravaskuler yang kemudian juga akan berpindah ke
interstitiil. Teori lain menyatakan bahwa kelainan primer adalah adanya
penurunan kemampuan nefron distal untuk mengekskresi Na, sehingga
retensi Na tersebut menyebabkan edema.
Hiperlipidemia terjadi oleh karena beberapa mekanisme yang belum jelas,
tetapi diduga peningkatan produksi lipoprotein oleh hati memegang peran
utama, walaupun penurunan katabolisme lipid mungkin ikut berperan. Hati
meningkatkan sintesis LDL, VLDL dan lipoprotein oleh karena adanya
hipoalbuminemia. Selain itu juga terjadi gangguan aktivitas lipoprotein lipase
perifer yang menyebabkan peningkatan VLDL serta gangguan aktivitas
Lecithin Cholesterol Acyltransferase (LCAT) yang menyebabkan penurunan
HDL2 dan HDL3.
Lipiduria dimanifestasikan oleh adanya akumulasi refraktil dari lipid dalam
debris seluler dan cast (oval fat bodies dan fatty cast).
Hipercoagulability (kecenderungan darah membeku) disebabkan oleh
multifaktorial, seperti peningkatan faktor pembekuan (terutama F VIII),
peningkatan sintesis fibrinogen oleh hepar, rendahnya antitrombin III oleh

4
karena hilang melalui urin, perubahan kadar dan aktifitas protein S dan C,
gangguan fibrinolisis, serta peningkatan agregrasi platelet.

2.2. ETIOLOGI
Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan
sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung
(connective tissue disease), obat atau toksin dan akibat penyakit sistemik
seperti tercantum pada tabel 1.
Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang
paling sering. Dalam kelompok GN primer, GN lesi minimal (GNLM),
glomerulonefritis fokal segmental (GSFS), GN membranosa (GNMN) dan GN
membranoploriferatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering
ditemukan. Dari 387 biopsi ginjal pasien SN dewasa yang dikumpulkan di
Jakarta antara 1990-1999 dan representatif untuk dilaporkan, GNLM
didapatkan pada 44,7%, GNMsP (GN mesangioproliferatif) pada 14,2%,
GSFS pada 11,6%, GNMP pada 8,0% dan GNMN pada 6,5%.
Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya pada
GN pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat
misalnya obat antiinflamasi non-steroid atau preparat emas organik dan
akibat penyakit sistemik dan diabetes melitus.

Berikut adalah penyebab sindroma nefrotik (berdasarkan IPD Unair) :


1. Penyakit Glomeruler Primer
a. Minimal Change Disease (pada anak 70%, orang dewasa hanya 20%)
b. Membranous Nephropathy
c. Focal and segmental Glomerulosclerosis (FGS)
d. Membranoploriferative GN

2. SN sekunder
a. Penyakit sistemik (SLE, DM, Amiloidosis, Henoch Schonlein purpura)
b. Obat dan toksin (Garam emas, penicillamine, kaptopril, OAINS,
phenytoin, α interferon, lithium, heroin, serum sickness, sengatan
serangga)
c. Keganasan (Karsinoma, limfoma, leukemia)
d. Infeksi (malaria, poststreptococcal, hepatitis B, AIDS, sifilis,
skistosomiasis)
e. Preeklamsia dan Eklamsia (vaskuler, hipertensi maligna, stenosis arteri
renalis, genetik: Sindroma Alport)

5
Tabel 1. Klasifikasi dan Penyebab Sindroma Nefrotik
Glomerulonefritis primer :
- GN lesi minimal (GNLM)
- Glomerulosklerosis fokal (GSF)
- GN membranosa (GNMN)
- GN membranoploriferatif (GNMP)
- GN ploriferatif lain
Glomerulonefritis sekunder akibat:
Infeksi
- HIV, hepatitis virus B dan C
- Sifilis, malaria, skistosoma
- Tuberkulosis, lepra
Keganasan
Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma hodgkin, mieloma
multipel dan karsinoma ginjal
Penyakit jaringan penghubung
Lupus eritematosus sistemik, arthritis reumatoid, MCTD (mixed
connective tissue disease)
Efek obat dan toksin
Obat antiinflamasi non steroid, preparat emas, penisilinamin,
probenesid, air raksa, kaptopril, heroin
Lain-lain :
Diabetes melitus, amiloidosis, preeklamsia, rejeksi alograf kronik,
refluks vesikoureter atau sengatan lebah

2.3. TANDA DAN GEJALA


Gejala SN adalah urin berbuih (proteinuria), kaki berat, bengkak, dingin
dan tidak berasa, penderita merasa lemah dan mudah lelah (keseimbangan
Nitrogen negatif) anoreksisa, diare.
Tanda dari SN adalah edema yang timbul di daerah periorbita,
konjunctiva, dinding perut, sendi lutut, efusi pleura, ascites. Selain itu juga
hilangnya massa otot rangka, kuku memperlihatkan pita-pita putih melintang
(Muerchke’s Band) akibat hipoalbumin, hipertensi.
2.4. EVALUASI KLINIK
Berdasarkan pemikiran bahwa penyebab SN sangat luas maka
anamnesis dan pemeriksaan fisis serta pemeriksaan urin, termasuk
pemeriksaan sedimen, perlu dilakukan secara cermat. Pemeriksaan kadar
albumin dalam serum kolesterol dan trigliserid juga membantu penilaian
terhadap SN. Anamnesis penggunaan obat, kemungkinan berbagai infeksi
dan riwayat penyakit sistemik lain perlu diperhatikan. Pemeriksaan serologik
dan biopsi ginjal sering diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan
6
menyingkirkan kemungkinan penyebab GN sekunder. Pemeriksaan serologik
sering tidak banyak memberikan informasi dan biayanya mahal. Karena itu
sebaiknya pemeriksaan serologik hanya dilakukan berdasarkan indikasi yang
kuat.

Proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap
protein akbat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membran basal
glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah
kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran
molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge
barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu.
Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein
melalui MBG.
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan
ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila
protein yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan
nonselektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti
imunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur
MBG.
Pada SN yang disebabkan oleh GNLM ditemukan proteinuria selektif.
Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan fusi foot processus sel
epitel viseral glomerulus dan terlepasnya sel dari struktur MBG. Berkurangnya
kandungan heparan sulfat proteoglikan pada GNLM menyebabkan muatan
negatif MBG menurun dan albumin dapat lolos ke dalam urin. Pada GSFS,
peningkatan permeabilitas MBG disebabkan oleh suatu faktor yang ikut dalam
sirkulasi. Faktor tersebut menyebabkan sel epitel viseral glomerulus terlepas
dari MBG sehingga permeabilitianya meningkat. Pada GNMN kerusakan
struktur MBG terjadi akibat endapan komplek imun di sub-epitel. Komplek
C56-9 yang terbentuk pada GNMN akan meningkatkan permeabilitas MBG,
walaupun mekanisme yang pasti belum diketahui.

Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis
albumin hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia
disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik

7
plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha
meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak
berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat
meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong peningkatan
ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat
peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.

Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.
Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke
jaringan interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan onkotik plasma dan
bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia dan ginjal melakukan
kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme
kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan
mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin
berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal
utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular
meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat
kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua
mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada pasien SN. Faktor
seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan
fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus dan keterkaitan dengan penyakit jantung
atau hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan.
Mekanisme terjadinya edema pada SN dapat dilihat pada Gambar 1.

Sindroma Nefrotik

Peningkatan filtrasi albumin Retensi sodium ginjal


primer

albuminuria Ekspansi volume


Sintesis albumin Katabolisme
ekstraseluler
hati sub-optimal di tubulus

Hipoalbuminemia
8
Tekanan onkotik Tekanan hidrostatik
menurun kapiler meningkat

Mekanisme lokal untuk


mencegah edema

Sindroma Nefrotik
Gambar 1. Mekanisme edema pada sindroma nefrotik

2.5. KOMPLIKASI
Komplikasi dari SN adalah
1. GGA : bisa terjadi karena volume plasma efektif menurun (hipovolemia),
sepsis, nekrosis tubuler akut, trombosis vena renalis bilateral, obat (ACE
inhibitor, OAINS).
2. Trombosis vaskuler : kondisi hypercoagulable meningkatkan
kecenderungan terjadinya trombosis vena dan arteri perifer).
3. Malnutrisi : kondisi ini disebabkan oleh proteinuria yang berat, serta
anoreksia akibat perfusi usus yang menurun, edema hepatik dan visceral,
serta rasa penuh pada perut karena ascites.
4. Infeksi : penderita SN mudah mengalami infeksi (terutama peritonitis,
pneumonia, selulitis). Terdapat beberapa alasan yang memudahkan
terjadinya infeksi, yaitu adanya timbunan cairan memudahkan tumbuhnya
bakteri, kulit penderita SN rapuh sehingga kuman mudah masuk, edema
dapat melarutkan faktor-faktor imun humoral lokal, hilangnya IgG dan
faktor complement B melalui urin dapat mengganggu kemampuan host
untuk mengeliminasi organisme, hilangnya zinc dan transferin melalui urin
dapat mengganggu fungsi normal limfosit.

Komplikasi metabolik lain yang terjadi adalah :


1. Protein yang mengikat vitamin D (Cholecalciferol binding protein) hilang
melalui urin sehingga kadar 25-hidroxy vitamin D plasma menurun dan
terjadi hipokalsemia. Tetapi kadar vitamin D bebas biasanya normal dan
pada SN jarang terjadi osteomalasia maupun hiperparatiroid yang tidak
terkontrol tanpa adanya insufisiensi ginjal
2. Thyroid bindind globulin juga hilang melalui urin dan circulating thyroxine
total menurun, tetapi thyroxine bebas dan TSH normal dan tidak ada
perubahan klinik status tiroid.

9
3. Ikatan terhadap obat mungkin berubah oleh karena umumnya tidak
dibutuhkan modifikasi dosis.

Keseimbangan Nitrogen
Proteinuria masif pada SN akan menyebabkan keseimbangan nitrogen
menjadi negatif. Penurunan masa otot sering ditemukan tetapi gejala ini
tertutup oleh gejala edema anasarka dan baru tampak setelah edema
menghilang. Kehilangan massa otot sebesar 10-20% dari massa tubuh (lean
body mass) tidak jarang dijumpai pada SN.

Hiperlipidemia dan Lipiduria


Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Kadar
kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari normal
sampai sedikit meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan
meningkatknya LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut
kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi diakaitkan dengan peningkatan VLDL
(very low density lipoprotein). Selain itu ditemukan pula peningkatan IDL
(intermediate-density lipoprotein) dan lipoprotein (Lp)a, sedangkan HDL (high
density lipoprotein) cenderung normal atau rendah. Mekanisme hiperlipidemia
pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan protein hati dan
menurunnya katabolisme. Semula diduga hiperlipidemia merupakan hasil
stimulasi non spesifik terhadap sintesis protein oleh hati. Karena sintesis
protein tidak berkolerasi dengan hiperlipidemia disimpulkan bahwa
hiperlipidemia tidak langsung diakibatkan oleh hipoalbuminemia.
Hiperlipidemia dapat diakibatkan ditemukan pada SN kadar albumin
mendekati normal dan sebaliknya pada pasien dengan hipoalbuminemia
kadar kolesterol dapat normal.
Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa
gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi
VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan VLDL tinggi pada SN. Menurunnya
aktivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga merupakan penyebab
berkurangnya katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein
hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun.
Penurunan kadar HDL pada SN diduga akibat berkurangnya aktivitas enzin

10
LCAT (lecithin cholesterol acyltransferase) yang berfungsi katalisasi
pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari
sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktifitas enzim tersebut
diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang terjadi pada SN. Lipiduria sering
ditemukan pada debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval
fat bodies) dan fatty cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan proteinuria
daripada dengan hiperlipidemia.

Hiperkoagulasi
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan
koagulasi intravaskular. Pada SN akibat GNMN kecenderungan terjadinya
trombosis vena renalis cukup tinggi sedangkan SN pada GNLM dan GNMP
frekuensinya kecil. Emboli paru dan trombosis vena dalam (deep vein
thrombosis) sering dijumpai pada SN. Kelainan tersebut disebabkan oleh
perubahan tingkat dan aktivitas berbagai faktor koagulasi intrinsik dan
ekstrinsik. Mekanisme hiperkoagulasi pada SN cukup komplek meliputi
peningkatan fibrinogen, hiperagegrasi trombosit dan penurunan fibrinolisis.
Gangguan koagulasi yang terjadi disebabkan peningkatan sintesis protein
oleh hati dan kehilangan protein melalui urin.

Metabolisme Kalsium dan Tulang


Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolisme kalsium dan
tulang pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan
melalui urin sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar
25(OH)D dan 1,25 (OH)2D plasma juga ikut menurun sedangkan kadar
vitamin D bebas tidak mengalami gangguan. Karena fungsi ginjal pada SN
umumnya normal maka osteomalasi atau hiperparatiroidisme yang tak
terkontrol jarang dijumpai. Pada SN juga terjadi kehilangan hormon tiroid
yang terikat protein (thyroid-binding protein) melalui urin dan penurunan kadar
tiroksin plasma. Tiroksin yang bebas dan hormon yang menstimulasi tiroksin
(thyroxine-stimulating hormone) tetap normal sehingga secara klinis tidak
menimbulkan gangguan.

Infeksi
Secara era antibiotik, infeksi sering merupakan penyebab kematian pada
SN terutama oleh organisme berkapsul (encapsulated organisms). Infeksi
11
pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, selular dan gangguan sistem
komplemen. Penurunan IgG, IgA dan gamma globulin sering ditemukan pada
pasien SN oleh karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang
meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel
T dalam sirkulasi berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas
selular. Hal ini dikaitkan dengan keluarnya transferin dan zinc yang
dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi dengan normal.

Gangguan Fungsi Ginjal


Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui
berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma dan atau sepsis sering
menyebabkan timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang
diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah terjadinya edema
intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal.
Sindroma nefrotik dapat progresif dan berkembang menjadi PGTA.
Proteinuria merupakan faktor risiko penentu terhadap progresivitas SN.
Progresivitas kerusakan glomerulus, perkembangan glomerulosklerosis dan
kerusakan tubulointerstitium dikaitkan dengan proteinuria. Hiperlipidemia juga
dihubungkan dengan mekanisme terjadinya glomerulosklerosis dan fibrosis
tubulointestitium pada SN, walaupun peran terhadap progresivitas
penyakitnya belum diketahui dengan pasti.

Komplikasi Lain pada SN


Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada SN dewasa terutama apabila
disertai proteinuria masif, asuan oral yang kurang dan proses katabolisme
yang tinggi. Kemungkinan efek toksik obat yang terikat protein meningkat
karena hipoalbuminemia menyebabkan kadar obat bebas daam plasma lebih
tinggi. Hipertensi tidak jarang ditemukan sebagai komplikasi SN terutama
dikaitkan dengan retensi natrium dan air.

2.6. PENATALAKSANAAN
Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap
penyakit dasar dan pengobatan nonspesifik untuk mengurangi proteinuria,
mengontrol edema dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diet rendah
garam dan tirah baring dapat mengontrol edema. Furosemid oral dapat
diberikan dan bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid, metalazon dan
atau asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia
12
dan mengurangi risiko komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan
protein 0,8-1,0 g/kg berat badan/hari dapat mengurangi proteinuria. Obat
penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin converting enzyme
inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin II (angiotensin II receptor
antagonists) dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya
mempunyai efek aditif dalam menurunkan proteinuria. Risiko tromboemboli
pada SN meningkat dan perlu mendapat penanganan. Walaupun pemberian
antikoagulan jangka panjang masih kontroversial tetapi pada satu studi
terbukti memberikan keuntungan. Dislipidemia pada SN belum secara
meyakinkan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, tetapi bukti klinik
dalam populasi menyokong pendapat perlunya mengontrol keadaan ini. Obat
penurun lemak golongan statin seperti seperti simvastatin, pravastatin dan
lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL. Trigliserid dan meningkatkan
kolesterol HDL.
Pada prinsipnya terapi untuk SN terdiri dari terapi umum dan terapi
spesifik.
Terapi umum :
1. Pengobatan untuk edema
a. Dapat diberikan diuretika loop (Furosemida) oral, bila belum ada
respon dosis ditingkatkan sampai terjadi diuresis, bila perlu bisa
dikombinasi dengan Hidroklorotiasid oral (bekerja sinergik dengan
Furosemida). Bila tetap tidak respon, beri furosemida secara IV, bila
perlu disertai pemberian infus Albumin dan bila tetap belum ada
respons perlu dipertimbangkan ultrafiltrasi mekanik (terutama untuk
kasus dengan insufisiensi ginjal.
b. Pembatasan diet garam 1-2 g/hr dan pembatasan cairan
c. Bila perlu tirah baring, terutama untuk orang tua dengan edema tungkai
berat karena kemungkinan adanya insufisiensi venous
d. Pengukuran berat badan (BB) setiap hari untuk mengevaluasi edema
dan keseimbangan cairan harus dicatat. Berat badan diharapkan turun
0,5-1 kg/hr.

2. Pengobatan untuk proteinuria


a. ACE inhibitor paling sering digunakan, cara kerjanya menghambat
terjadinya vasokontriksi pada arteriol eferen

13
b. Angiostensin II receptor Antagonis (ARB) mempunyai efektivitas yang
sama dengan ACE inhibitor, tetapi tidak didapatkan efek batuk seperti
pada ACE inhibitor.

3. Koreksi hipoproteinemina
Untuk memelihara keseimbangan nitrogen yang positif dibutuhkan
peningkatan kadar protein serum. Tetapi pemberian diet tinggi protein
selain sulit dipenuhi penderita (anoreksia) juga terbukti justru
meningkatkan ekskresi protein urin. Untuk penderita SN diberikan diet
tinggi kalori/ karbohidrat (untuk memaksimalkan penggunaan protein yang
dimakan) dan cukup protein (0,8-1 mg/kgBB/hr).

4. Terapi hipelipidemia
Walaupun belum ada bukti yang jelas bahwa hiperlipidemia pada SN
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler, tetapi apa yang terjadi pada
populasi umum perlu dipakai sebagai pertimbangan untuk menurunkan
kadar lipis pada penderita SN. Dapat digunakan golongan HMG-Co A
reduktase inhibitor (Statin).

5. Hypercoagulability
Masih terdapat silang pendapat mengenai perlunya pemberian
antikoagulasi jangka panjang untuk semua penderita SN guna mencegah
terjadinya trombosis. Tetapi bila sudah terjadi trombosis atau emboli paru,
maka perlu dipertimbangkan antikoagulasi jangka panjang, seperti
Warfarin.

6. Pengobatan infeksi : antibiotik yang tepat

7. Pengobatan hipertensi
Bila didapatkan hipertensi, bisa diberikan ACE inhibitor, AR B, Non-
Dihydropyridinca Channel Blocker (CBB). Pemberian diuretika dan
pembatasan diet garam juga ikut berperan dalam pengelolaan hipertensi.

Terapi khusus :
Patogenesis sebagian besar penyakit glomeruler dikaitkan dengan
gangguan imun, dengan demikian terapi spesifiknya adalah pemberian
imunosupresif. Untuk penderita SN dewasa dianjurkan untuk melakukan
biopsi ginjal sebelum memulai terapi spesifik.

14
1. Steroid
Prednison 1 mg/kgBB/hr atau 60 mg/hr dapat diberikan anatara 4-12
minggu, selanjutnya diturunkan secara bertahap dalam 2-3 bulan. Steroid
memberi respon yang baik untuk minimal change, walaupun pada orang
dewasa responnya lebih lambat dibandingkan pada anak.

2. Cyclophospamide
Untuk penderita yang mengalami relaps setelah steroid dihentikan
(steroid-depended) atau mengalami relaps > 3 kali dalam setahun
(frequently relapsing) bisa diberikan Cyclophorphamide 2 mg/kgBB/hr
selama 8-12 minggu. Pada penggunaan Cyclophospamide perlu
diwaspadai terjadinya efek samping, berupa infertilitas, cystitis, alopecia,
infeksi, malignansi.

3. Chlorambucil
Digunakan dengan alasan yang sama dengan Cyclophospamide. Dosis
0,1-0,2/kgBB/hr selama 8-12 minggu.

4. Cyclosporine A (CyA)
Pada penderita yang mengalami relaps setelah pemberian
Cyclophospamide, diberikan CyA dengan dosis awal 4-5 mg/kgBB/hr,
dimana dosis selanjutnya perlu disesuaikan dengan kadar CyA dalam
darah. Pemberian berlangsung selama 1 tahun kemudian diturunkan
pelan-pelan. Mengingat CyA mempunyai efek nefrotoksik, perlu memonitor
fungsi ginjal.

5. Azathioprine
Azathioprine dengan dosis 2-2,5 mg/kgBB/hr digunakan untuk Nefritis
Lupus.

Penggunaan, kombinasi obat, dosis dan lama pemberian imunosupresif


tersebut bervariasi, tergantung pada diagnosis histologinya. Obat-obat
yang lebih baru adalah FK 506 atau Takrolimus dan Mycophenolate Mofetil
(MMF).

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Tjokroprawito, Askandar. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi


Pertama. Penerbit: Airlangga University Press. Surabaya.

2. Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

3. Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya. 2008. Pedoman Dan Terapi
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Tiga. Airlangga University Press. Surabaya.

4. Fauci, Braunwald, Kasper. 2010. Harrison’s Principle of Internal Medicine.


Edisi Tujuh Belas. U.S Goverment Press.

5. http://www.kesehatan123.com/2291/sindrom-nefrotik/

6. http://zulliesikawati.wordpress.com/2011/03/13/mengenal-si-penyakit-unik-sindrom-
nefrotik/

16

Anda mungkin juga menyukai