Anda di halaman 1dari 26

SINDROMA NEFROTIK

Saptandia Wulan C.L

2007.04.0.0135
LATAR BELAKANG

 Sindroma nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh


peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma yang ditandai
dengan edema anasarka, protein masif, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia
dan lipiduria.

 Angka kejadian SN pada anak tidak diketahui pasti, namun laporan dari luar
negeri diperkirakan pada anak usia dibawah 16 tahun berkisar antara 2 sampai 7
kasus per tahun pada setiap 100.000 anak.
LATAR BELAKANG
 Sedangkan kejadian di Indonesia pada sindroma nefrotik mencapai 6 kasus
pertahun dari 100.000 anak berusia kurang dari 14 tahun.
 Mortalitas dan prognosis anak dengan SN bervariasi berdasarkan etiologi, berat,
luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari dan responnya terhadap
pengobatan.
 Jika tidak segera diatasi akan mengganggu sistem urinaria dan akan mengganggu
perkembangan lebih lanjut anak tersebut. Disamping itu masih banyak orang yang
belum mengerti tentang seluk beluk, faktor penyebab, gejala dan cara penanganan SN.
Berdasarkan hal itu maka penulis tertarik membuat referat dengan judul
“SINDROMA NEFROTIK”.
TUJUAN

Tujuan dari penyusunan referat ini adalah sebagai berikut :


 Mengetahui definisi Sindroma Nefrotik
 Mengetahui batasan Sindroma Nefrotik
 Mengetahui etiologi Sindroma Nefrotik
 Mengetahui tanda dan gejala Sindroma Nefrotik
 Mengetahui evaluasi klinik Sindroma Nefrotik
 Mengetahui komplikasi Sindroma Nefrotik
 Mengetahui penatalaksanaan Sindroma Nefrotik
PENGERTIAN & BATASAN

Sindroma Nefrotik (SN) adalah kumpulan gejala klinis yang terdiri dari :

1. Proteinuria > 3,5 g/hari

2. Hipoalbuminemia

3. Edema sampai anasarka

4. Hiperlipidemia

5. Lipiduria (oval fat bodies)

Sering kali disertai adanya hypercoagulability.


PATOFISIOLOGI
 Proteinuria merupakan komponen kunci yang mendasari kelainan SN dan
terjadi karena peningkatan permeabilitas membran glomerulus akibat adanya
abnormalitas ukuran dan muatan selektif dinding kapiler glomerulus. Sebagian
besar ekskresi protein pada urin adalah albumin. Dikatakan proteinuria selektif
apabila ekskresi albumin > 80%.

 Hipoalbumin terjadi akibat adanya proteinuria. Respon dari hepar adalah


dengan meningkatkan sintesis albumin, tetapi karena laju sintesis dan hilangnya
protein tidak seimbang, maka tetap terjadi hipoalbumin.
PATOFISIOLOGI

 Edema pada SN patofisiologinya belum jelas. Terdapat teori underfilling hypothesis)


yang menyatakan bahwa edema terjadi akibat rendahnya albumin serum sehingga
menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma dan transudasi cairan ke
interstitial. Akibatnya terjadi penurunan volume intravaskuler diikuti dengan
rangsangan pada aksis Renin-Angiostensin-Aldosteron (RAA) yang akan
meningkatkan retensi NA dan air, sehingga akan memperbaiki volume intravaskuler
yang kemudian juga akan berpindah ke interstitiil. Teori lain menyatakan bahwa
kelainan primer adalah adanya penurunan kemampuan nefron distal untuk
mengekskresi Na, sehingga retensi Na tersebut menyebabkan edema.
PATOFISIOLOGI

 Hiperlipidemia terjadi oleh karena beberapa mekanisme yang belum jelas, tetapi
diduga peningkatan produksi lipoprotein oleh hati memegang peran utama,
walaupun penurunan katabolisme lipid mungkin ikut berperan. Hati meningkatkan
sintesis LDL, VLDL dan lipoprotein oleh karena adanya hipoalbuminemia. Selain itu
juga terjadi gangguan aktivitas lipoprotein lipase perifer yang menyebabkan
peningkatan VLDL serta gangguan aktivitas Lecithin Cholesterol Acyltransferase
(LCAT) yang menyebabkan penurunan HDL2 dan HDL3.
PATOFISIOLOGI

 Lipiduria dimanifestasikan oleh adanya akumulasi refraktil dari lipid dalam


debris seluler dan cast (oval fat bodies dan fatty cast).

 Hipercoagulability (kecenderungan darah membeku) disebabkan oleh


multifaktorial, seperti peningkatan faktor pembekuan (terutama F VIII),
peningkatan sintesis fibrinogen oleh hepar, rendahnya antitrombin III oleh
karena hilang melalui urin, perubahan kadar dan aktifitas protein S dan C,
gangguan fibrinolisis, serta peningkatan agregrasi platelet
ETIOLOGI

Berikut adalah penyebab sindroma nefrotik :

1. Penyakit Glomeruler Primer

a. Minimal Change Disease (pada anak 70%, orang dewasa hanya 20%)

b. Membranous Nephropathy

c. Focal and segmental Glomerulosclerosis (FGS)

d. Membranoploriferative GN
ETIOLOGI

2. Sindroma Nefrotik sekunder


a. Penyakit sistemik (SLE, DM, Amiloidosis, Henoch Schonlein purpura)
b. Obat dan toksin (Garam emas, penicillamine, kaptopril, OAINS, phenytoin, α
interferon, lithium, heroin, serum sickness, sengatan serangga)
c. Keganasan (Karsinoma, limfoma, leukemia)
d. Infeksi (malaria, poststreptococcal, hepatitis B, AIDS, sifilis, skistosomiasis)
e. Preeklamsia dan Eklamsia (vaskuler, hipertensi maligna, stenosis arteri renalis,
genetik: Sindroma Alport)
SIGN AND SYMPTOM

 Gejala SN adalah :

1. Urin berbuih (proteinuria)

2. Kaki berat, bengkak, dingin dan tidak berasa

3. Penderita merasa lemah dan mudah lelah (keseimbangan Nitrogen negatif)

4. Anoreksia

5. Diare
SIGN AND SYMPTOM

 Tanda dari SN :

1. Edema yang timbul di daerah periorbita, konjunctiva, dinding perut, sendi


lutut, efusi pleura, ascites

2. Hilangnya massa otot rangka, kuku memperlihatkan pita-pita putih


melintang (Muerchke’s Band) akibat hipoalbumin

3. Hipertensi
EVALUASI KLINIK

1. Anamnesa

2. Pemeriksaan fisik

3. Pemeriksaan urin (sedimen urin)

4. Pemeriksaan kadar albumin dalam serum, kolesterol dan trigliserid

5. Pemeriksaan serologik (perlu didapatkan indikasi kuat)

6. Biopsi ginjal (menyingkirkan kemungkinan penyebab GN sekunder)


KOMPLIKASI

Komplikasi dari SN adalah

1. GGA : bisa terjadi karena volume plasma efektif menurun (hipovolemia),


sepsis, nekrosis tubuler akut, trombosis vena renalis bilateral, obat (ACE
inhibitor, OAINS).

2. Trombosis vaskuler : kondisi hypercoagulable meningkatkan


kecenderungan terjadinya trombosis vena dan arteri perifer).
KOMPLIKASI
3. Malnutrisi : kondisi ini disebabkan oleh proteinuria yang berat, serta anoreksia akibat
perfusi usus yang menurun, edema hepatik dan visceral, serta rasa penuh pada perut
karena ascites.

4. Infeksi : penderita SN mudah mengalami infeksi (terutama peritonitis, pneumonia,


selulitis). Terdapat beberapa alasan yang memudahkan terjadinya infeksi, yaitu adanya
timbunan cairan memudahkan tumbuhnya bakteri, kulit penderita SN rapuh sehingga
kuman mudah masuk, edema dapat melarutkan faktor-faktor imun humoral lokal, hilangnya IgG
dan faktor complement B melalui urin dapat mengganggu kemampuan host untuk mengeliminasi
organisme, hilangnya zinc dan transferin melalui urin dapat mengganggu fungsi normal limfosit.
PENATALAKSANAAN

Pada prinsipnya terapi untuk SN terdiri dari terapi umum dan terapi spesifik.
 Terapi umum :
1. Pengobatan untuk edema
a. Dapat diberikan diuretika loop (Furosemida) oral, bila belum ada respon dosis ditingkatkan sampai terjadi
diuresis, bila perlu bisa dikombinasi dengan Hidroklorotiasid oral (bekerja sinergik dengan Furosemida). Bila tetap tidak
respon, beri furosemida secara IV, bila perlu disertai pemberian infus Albumin dan bila tetap belum ada respons perlu
dipertimbangkan ultrafiltrasi mekanik (terutama untuk kasus dengan insufisiensi ginjal.
b. Pembatasan diet garam 1-2 g/hr dan pembatasan cairan
c. Bila perlu tirah baring, terutama untuk orang tua dengan edema tungkai berat karena kemungkinan adanya insufisiensi venous
d. Pengukuran berat badan (BB) setiap hari untuk mengevaluasi edema dan keseimbangan cairan harus dicatat. Berat badan
diharapkan turun 0,5-1 kg/hr.
PENATALAKSANAAN

2. Pengobatan untuk proteinuria

a. ACE inhibitor paling sering digunakan, cara kerjanya menghambat

terjadinya vasokontriksi pada arteriol eferen

b. Angiostensin II receptor Antagonis (ARB) mempunyai efektivitas yang

sama dengan ACE inhibitor, tetapi tidak didapatkan efek batuk seperti

pada ACE inhibitor.


PENATALAKSANAAN

3. Koreksi hipoproteinemina

Untuk memelihara keseimbangan nitrogen yang positif dibutuhkan

peningkatan kadar protein serum. Tetapi pemberian diet tinggi protein selain

sulit dipenuhi penderita (anoreksia) juga terbukti justru meningkatkan ekskresi

protein urin. Untuk penderita SN diberikan diet tinggi kalori/ karbohidrat

(untuk memaksimalkan penggunaan protein yang dimakan) dan cukup protein

(0,8-1 mg/kgBB/hr).
PENATALAKSANAAN

4. Terapi hiperlipidemia

Walaupun belum ada bukti yang jelas bahwa hiperlipidemia pada SN

meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler, tetapi apa yang terjadi pada

populasi umum perlu dipakai sebagai pertimbangan untuk menurunkan kadar

lipid pada penderita SN. Dapat digunakan golongan HMG-Co A reduktase

inhibitor (Statin).
PENATALAKSANAAN
5. Hypercoagulability
Masih terdapat silang pendapat mengenai perlunya pemberian antikoagulasi jangka
panjang untuk semua penderita SN guna mencegah terjadinya trombosis. Tetapi bila
sudah terjadi trombosis atau emboli paru, maka perlu dipertimbangkan antikoagulasi
jangka panjang, seperti Warfarin.
6. Pengobatan infeksi : antibiotik yang tepat
7. Pengobatan hipertensi
Bila didapatkan hipertensi, bisa diberikan ACE inhibitor, AR B, Non-Dihydropyridinca
Channel Blocker (CBB). Pemberian diuretika dan pembatasan diet garam juga ikut
berperan dalam pengelolaan hipertensi.
PENATALAKSANAAN

 Terapi khusus :

1. Steroid

Prednison 1 mg/kgBB/hr atau 60 mg/hr dapat diberikan anatara 4-12

minggu, selanjutnya diturunkan secara bertahap dalam 2-3 bulan. Steroid

memberi respon yang baik untuk minimal change, walaupun pada orang dewasa

responnya lebih lambat dibandingkan pada anak.


PENATALAKSANAAN

2. Cyclophospamide

Untuk penderita yang mengalami relaps setelah steroid dihentikan (steroid-

depended) atau mengalami relaps > 3 kali dalam setahun (frequently relapsing)

bisa diberikan Cyclophorphamide 2 mg/kgBB/hr selama 8-12 minggu. Pada

penggunaan Cyclophospamide perlu diwaspadai terjadinya efek samping,

berupa infertilitas, cystitis, alopecia, infeksi, malignansi.


PENATALAKSANAAN
3. Chlorambucil

Digunakan dengan alasan yang sama dengan Cyclophospamide. Dosis 0,1-

0,2/kgBB/hr selama 8-12 minggu.

4. Azathioprine

Azathioprine dengan dosis 2-2,5 mg/kgBB/hr digunakan untuk Nefritis Lupus.


PENATALAKSANAAN
5. Cyclosporine A (CyA)

Pada penderita yang mengalami relaps setelah pemberian Cyclophospamide,

diberikan CyA dengan dosis awal 4-5 mg/kgBB/hr, dimana dosis selanjutnya

perlu disesuaikan dengan kadar CyA dalam darah. Pemberian berlangsung

selama 1 tahun kemudian diturunkan pelan-pelan. Mengingat CyA mempunyai

efek nefrotoksik, perlu memonitor fungsi ginjal.


TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai