Anda di halaman 1dari 38

REFLEKSI KASUS

Kejang demam kompleks dengan Diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak


Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Kendal
Periode 13 November – 4 Januari 2019

Pembimbing :
dr.Firza Olivia Susan, Sp. A, M. Si. Med,.

Disusun Oleh :
M. Aulady Rifki Kamal
30101407232

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2018

0
BAB I

PENDAHULUAN

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal lebih dari 38ºC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.1,2

Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah suatu


kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur antara umur 3 bulan dan 5 tahun,
berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab
tertentu. Penyebab kejang demam belum diketahui secara pasti tetapi demam sering disebabkan
oleh infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi
saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi, kadang-kadang demam yang
tidak begitu tinggi dapat menyebabkan kejang.2

Di Amerika Serikat insiden kejang demam berkisar antara 2-5% pada anak umur kurang
dari 5 tahun. Di Asia angka kejadian kejang demam dilaporkan lebih tinggi dan sekitar 80-90%
dari seluruh kejang demam adalah kejang demam sederhana. Di Jepang angka kejadian kejang
demam adalah 9-10%.3

Beberapa faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu: demam, usia,
riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi pada ibu, hamil
primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah,
usia kehamilan, partus lama, cara lahir) dan faktor pascanatal (kejang akibat toksik, trauma
kepala).1

Kejang demam mempunyai angka kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar
penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsi
sebanyak 2-7%. Empat persen penderita kejang demam secara bermakna mengalami
gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan pencapaian tingkat akademik. 1

1
BAB II
REFLEKSI KASUS

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA
RS PENDIDIKAN : RSUD KENDAL
STATUS PASIEN KASUS I
Nama Mahasiswa : M. Aulady Rifki K
NIM : 30101407232

IDENTITAS PASIEN
Nama : Anak S Suku bangsa : Jawa
Jenis kelamin : Perempuan Pendidikan : -
Umur : 7 bulan 23 hari Agama : Islam
Alamat : Kendal

Orang Tua/Wali
Ayah Ibu
Nama : Tn. K Nama : Ny. D
Umur : 33 tahun Umur : 25 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMK Pendidikan : SMK
Suku bangsa : Jawa Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam Agama : Islam
Alamat : Kendal Alamat : Kendal

I. ANAMNESIS
Lokasi : Bangsal Dahlia
Tanggal / waktu : 25 November 2018/ 09.00 WIB
Tanggal masuk : 23 November 2018

2
Keluhan utama : Kejang
Keluhan tambahan : diare, peningkatan suhu, berat badan berkurang

a. Riwayat Penyakit Sekarang


Ibu pasien mengatakan, 2 hari SMRS pasien mengalami BAB cair, BAB
cair yang dialami oleh pasien berlangsung 5-6 kali sehari, volume ± 1 gelas aqua,
cair dengan sedikit ampas, berwarna kuning, terdapat lendir, tidak ada darah, serta
tidak berbau.
Satu hari SMRS, Selain BAB cair, pasien juga panas semlenget. Tidak
sesak, tidak mual dan tidak muntah. kencing seperti biasa. Makan dan minum
seperti biasa.
Pagi hari SMRS, sejak pagi demam dirasa meningkat secara mendadak,
dirasakan terus menerus. Nafsu makan pasien menurun. Pasien juga sempat
muntah sebanyak 1-2 kali. Muntahan berupa makanan. Karena khawatir, ibu
pasien membawa pasien ke mantri dan diberi obat, tetapi demam tetap tinggi.
Siang hari pasien mengalami kejang sebanyak 3 kali. Lama setiap serangan
berkisar ± 3 menit. Saat kejang mata melotot serta kedua tangan kaku dan
menggenggam. Sebelum kejang pasien sadar, dan setelah kejang sadar dan
menangis. Karena kejang tersebut, orang tua pasien kemudian membawa anaknya
ke IGD RSUD Kendal dan oleh dokter jaga IGD pasien disarankan untuk mondok.
Setelah di bangsal dahlia, ibu pasien mengatakan bahwa pasien masih BAB
cair, BAB cair yang dialami oleh pasien berlangsung 3-4 kali sehari, volume ± ½
gelas aqua, cair dengan sedikit ampas, berwarna kuning, terdapat lendir, tidak ada
darah, serta tidak berbau. Anak menjadi rewel dan menjadi sering minum karena
haus. Ibu pasien menyangkal adanya cairan yang keluar dari telinga, batuk (-), pilek
(-), tapi nafsu makan pasien menjadi menurun.

b. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita


Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Penyakit
Alergi (-) Difteria (-) (-)
jantung
Penyakit
ME (+) Diare (-) (-)
ginjal
Radang
DBD (-) Kejang (-) (-)
paru
Otitis (-) Morbili 9 bulan TBC (-)
Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain (-)

3
Kesimpulan riwayat penyakit yang pernah diderita: Pasien pernah menderita
Meningoenchepalitis 3 bulan yang lalu.

c. Riwayat Kehamilan/ Persalinan


Morbiditas kehamilan Tidak ada
Perawatan antenatal Rutin kontrol ke dokter kandungan1
KEHAMILAN
bulan sekali dan sudah mendapat
imunisasi vaksin TT 2 kali saat hamil
Tempat persalinan Rumah sakit
Penolong persalinan Dokter
Sectio Caesaria
Cara persalinan Penyulit : ketuban hijau, ketuban
pecah dini
Masa gestasi Cukup bulan
KELAHIRAN Berat lahir : 3100 gram
Panjang lahir : 49
Lingkar kepala : (tidak tahu)
Keadaan bayi Langsung menangis (+)
Kemerahan (+)
Nilai APGAR : (tidak tahu)
Kelainan bawaan : tidak ada

Kesimpulan riwayat kehamilan/ persalinan : Kontrol kehamilan baik, persalinan


spontan, langsung menangis. Neonatus cukup bulan. Berat badan lahir cukup.

d. Riwayat Perkembangan
Pertumbuhan gigi I : Umur 6 bulan (Normal: 5-9 bulan)
a
Psikomotor
Tengkurap : Umur 5 bulan (Normal: 3-4 bulan)
Duduk : Belum bisa (Normal: 6-9 bulan)
Berdiri : Belum bisa (Normal: 9-12 bulan)
Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan : Terdapat keterlambatan
dalam perkembangan.

4
e. Riwayat Makanan
Umur
ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
(bulan)
0–2 ASI - - -
2–4 ASI - - -
4–6 PASI + - -
6–8 PASI + + -

Kesimpulan riwayat makanan: Tidak ada kesulitan makan pada pasien, jenis
makanan cukup bervariasi dengan jumlah yang cukup. Pasien masih mendapatkan
ASI sampai saat ini.

f. Riwayat Imunisasi
Vaksin Dasar ( umur ) Ulangan ( umur )
BCG 2 bulan - - -
DPT / PT 2 bulan 4 bulan 6bulan -
Polio 0bulan 2bulan 4bulan 6 bulan
Campak - - - -
Hepatitis B 0 bulan 1bulan 6bulan -
Pnemokokus - - - -
Hib - - - -

Kesimpulan riwayat imunisasi: Pasien telah mendapat imunisasi dasar PPI sesuai
jadwal, hanya belum mendapat imunisasi campak.

g. Riwayat Keluarga
a. Corak Reproduksi

Tanggal Jenis Lahir Mati Keterangan


No Hidup Abortus
lahir kelamin mati (sebab) kesehatan
Sehat
1. 04-02-2018 Perempuan + - - -
(pasien)

b. Riwayat Pernikahan

5
Ayah / Wali Ibu / Wali
Nama Tn. RT Ny. DI
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 30 tahun 22 tahun
Pendidikan terakhir SLTA SLTA
Agama Islam Islam
Suku bangsa Jawa Jawa
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas Tidak ada Tidak ada
Penyakit, bila ada - -

Kesimpulan Riwayat Keluarga : Tidak ada yang mengalami hal seperti


pasien. Tidak ada yang pernah alami kejang demam.

c. Riwayat Keluarga orangtua pasien : Tidak ada yang pernah alami hal yang
sama dengan pasien.
h. Riwayat Lingkungan
Pasien tinggal di rumah yang berlantai 1, terdapat 1 kamar tidur, 1 kamar mandi, serta
1 dapur. Ventilasi hanya pintu dan jendela di bagian depan rumah. Pencahayaan cukup
baik. Sumber air berasal dari air sumur bor. Sampah rumah tangga diangkut secara
teratur setiap hari. Pasien tinggal diperumahan yang padat penduduk.
Kesimpulan keadaan lingkungan : Keadaan lingkungan cukup baik dan bersih.

i. Riwayat Sosial dan Ekonomi


Ayah pasien bekerja sebagai wiraswasta dengan penghasilan sekitar Rp.2.500.000,-
/bulan. Ibu pasien sebagai ibu rumah tangga. Menurut ibu pasien, penghasilan dari
suaminya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Kesimpulan ekonomi dan sosial : Cukup baik.

II. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 25/11/2018 di Bangsal Dahlia
A. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang dan gelisah

6
Kesadaran : Penurunan kesadaran
Kesan Gizi : Baik
Keadaan lain : Anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dyspnoe (-)
Data Antropometri
Berat Badan sekarang : 7 kg
Lingkar Kepala : 42 cm
Lingkar Lengan Atas : 16/18 cm
Tinggi Badan : 74 cm
Status Gizi
Status gizi: (NCHS)
BB/U : 7 kg X 100% = 90.9 % (Gizi baik)
7.7 kg

TB/U : 72 cm X 100% = 106.5 % ( Normal)


67.6 cm

BB/TB : 7 X100% = 9.72 9 (Normal)


72
Kesan: Gizi baik

Tanda Vital
Nadi : 120 x/ menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular
Pernapasan : 30 x/ menit, tipe abdomino-torakal, inspirasi : ekspirasi = 1 : 3
Suhu : 37,90º C, axilla (diukur dengan termometer air raksa)

KEPALA : Normosefali , deformitas (-), hematoma (-)


RAMBUT : Rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut, cukup
tebal
WAJAH : Wajah simetris, edema palpebra (-/-), luka atau jaringan parut (-/-)
MATA :
Visus : tidak dapat dinilai Ptosis : -/-
Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjuntiva pucat : -/- Cekung : +/+
Exophthalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Strabismus : -/- Lensa jernih : +/+
Nistagmus : -/- Pupil : bulat, isokor

7
Refleks cahaya : langsung +/+ , tidak langsung +/+
Air mata : Sedikit
TELINGA :
Bentuk : normotia Tuli : -/-
Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : lapang Membran timpani : sulit dinilai
Serumen : +/+ Refleks cahaya : sulit dinilai
Cairan : -/-
HIDUNG :
Bentuk : simetris Napas cuping hidung : -/-
Sekret : -/- Deviasi septum :-
Mukosa hiperemis : -/-
BIBIR:
- Simetris, mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-)
MULUT:
- Oral higiene baik, trismus (-), mukosa gusi dan pipi merah muda, ulkus (-), halitosis (-
). Lidah : normoglosia, ulkus (-), hiperemis (-) massa (-)
TENGGOROKAN:
- Pemeriksaan sulit dilakukan
LEHER:
- Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid maupun KGB, tidak
tampak deviasi trakea, tidak teraba pembesaran tiroid maupun KGB.
- Tiroid tidak teraba membesar
THORAKS :
 JANTUNG
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V 1 cm medial linea midklavikularis
sinistra
Perkusi : Batas jantung sulit dinilai
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
 PARU
Inspeksi

8
- Bentuk thoraks simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada pernapasan yang
tertinggal, pernapasan abdomino-torakal, pada sela iga tidak terlihat adanya
retraksi, tidak ditemukan efloresensi pada kulit dinding dada.
Palpasi
- Nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas simetris kanan dan kiri, vokal fremitus
sama kuat kanan dan kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru.
Auskultasi :Suara napas vesikuler, reguler, ronkhi -/-, wheezing -/-
ABDOMEN :
Inspeksi
- Perut cembung, tidak dijumpai adanya efloresensi bermakna, benjolan (-),
Palpasi
- Cembung, supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar.
- Ballotement -/-, Nyeri ketok CVA -/-
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang perut, shifting dullness (-)
Auskultasi :Bising usus (+) meningkat, frekuensi > 3 x / menit
ANOGENITALIA:
- Jenis kelamin perempuan, labia minor tertutup sempurna oleh labia mayor, tidak
tampak kelainan.
KGB :
Preaurikuler : tidak teraba membesar
Postaurikuler : tidak teraba membesar
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraclavicula : tidak teraba membesar
Axilla : tidak teraba membesar
Inguinal : tidak teraba membesar
ANGGOTA GERAK :
Ekstremitas : akral hangat ++/++
Tangan Kanan Kiri
Tonus otot normotonus normotonus
Sendi aktif aktif
Refleks fisiologis (+) (+)
Refleks patologis (-) (-)
Lain-lain edema (-) edema (-)

9
Kaki Kanan Kiri
Tonus otot normotonus normotonus
Sendi aktif aktif
Pemeriksaan
Refleks Patologis (-) (-)
 Refleks babinsky -/-
Refleks Fisiolgis (+) (+)
 Rooting reflex (+)
 Refleks Moro (+)
 Grasp reflex (+/+)
 Lain-lain edema (-) edema (-)
KULIT:
- Warna kuning langsat merata, pucat (-), tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit
melambat, kering, pengisian kapiler >2 detik
TULANG BELAKANG:
- Bentuk normal, tidak terdapat deviasi, benjolan (-), ruam (-)
TANDA RANGSANG MENINGEAL :
Kaku kuduk (-)
Brudzinski I (-) (-)
Brudzinski II (-) (-)
Brudzinski III (-) (-)
Brudzinski IV (-) (-)
Laseq (-) (-)
Kerniq (-) (-)

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium dari IGD (29 November 2018)
Hematologi Hasil Nilai Normal
Leukosit 13,8 ribu/ µ Normal
Hemoglobin 12,1 g/ dL Normal
Hematokrit 40% Normal
Trombosit 600 ribu/ uL Meningkat

10
Metabolisme Karbohidrat
Gula Darah Sewaktu 111 mg/ dL Normal
Elektrolit
Natrium 125 mmol/ L Menurun
Kalium 2,7 mmol/ L Menurun
Calsium 95 mmol/ L Menurun

IV. RESUME

Riwayat Penyakit Sekarang

2 hari SMRS pasien mengalami BAB cair, BAB cair yang dialami oleh pasien
berlangsung 5-6 kali sehari, volume ± 1 gelas aqua, cair dengan sedikit ampas, berwarna
kuning, terdapat lendir, tidak ada darah, serta tidak berbau. Satu hari SMRS, pasien juga
panas semlenget.
Pagi hari SMRS, sejak pagi demam dirasa meningkat secara mendadak,
dirasakan terus menerus. Nafsu makan pasien menurun. Pasien juga sempat muntah
sebanyak 1-2 kali. Muntahan berupa makanan. Karena khawatir, ibu pasien membawa
pasien ke mantri dan diberi obat, tetapi demam tetap tinggi.
Siang hari pasien mengalami kejang sebanyak 3 kali. Lama setiap serangan
berkisar ± 3 menit. Saat kejang mata melotot serta kedua tangan kaku dan menggenggam.
Sebelum kejang pasien sadar, dan setelah kejang sadar dan menangis. Karena kejang
tersebut, orang tua pasien kemudian membawa anaknya ke IGD RSUD Kendal dan oleh
dokter jaga IGD pasien disarankan untuk mondok.
Setelah di bangsal dahlia, ibu pasien mengatakan bahwa pasien masih BAB cair,
BAB cair yang dialami oleh pasien berlangsung 3-4 kali sehari, volume ± ½ gelas aqua,
cair dengan sedikit ampas, berwarna kuning, terdapat lendir, tidak ada darah, serta tidak
berbau. Anak menjadi rewel dan menjadi sering minum karena haus. Ibu pasien
menyangkal adanya cairan yang keluar dari telinga, batuk (-), pilek (-), tapi nafsu makan
pasien menjadi menurun.

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang dan gelisah
Kesadaran : Penurunan kesadaran

ABDOMEN :
- Auskultasi : Bising usus (+) meningkat, frekuensi > 3 x / menit
KULIT:
- Turgor kulit melambat, kering, pengisian kapiler >2 detik

11
Pemeriksaan Penunjang
Natrium 125 mmol/ L Menurun
Kalium 2,7 mmol/ L Menurun
Calsium 95 mmol/ L Menurun

V. DIAGNOSIS BANDING
o Kejang Demam Kompleks dengan Diare Akut dengan Dehidrasi Ringan Sedang
o Kejang Demam Kompleks dengan Diare Akut dengan Dehidrasi Berat
o Kejang Demam Kompleks dengan Diare Akut tanpa Dehidrasi
o Kejang Demam Simpleks
o Epilepsi
o Meningitis
VI. DIAGNOSIS KERJA
Kejang demam kompleks dengan Diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang

VII. TATALAKSANA
Non Medikamentosa
- Informasi dan edukasi mengenai keadaan dan penyakit pasien
- Observasi tanda vital dan kejang berulang
- Tirah baring

Medikamentosa (Penatalaksanaan Awal)

- IVFD KaEn 3B
- O2 1 liter/ menit
- inj. Cefotaxime 3x 200 mg
- Inj. dexametason 3x1/2
- Inj. sibital 3x8
- Inj. CDR 3x0,8
- p.o L-bio 1x1
- p.o Zink 1x1 mg

VIII. PROGNOSIS
- Ad Vitam : dubia ad bonam
- Ad Sanationam : dubia ad bonam

12
- Ad Fungsionam : dubia ad bonam

IX. FOLLOW UP
Tanggal S O A P
25-11- Kejang (+) KU/Kes: tss/ gelisah - KDK - Nasal kanul O2
2018 Demam (+) N: 120 x/ menit, S: - Hipokalemi 2 l/menit
Diare (+) 39,00oC, P: 44 x/ dan - IVFD KaEN3B
menit hiponatremi 400 cc + NaCl
Kepala: normocephali - DADRS 3% 100 cc +
Mata: CA -/-, SI -/-, KCl 15 mEq/24
mata cekung +/+ jam
Hidung : nch -, sekret - inj. Midazolam
-/-, bening, encer 5 ml
Mulut: bibir kering - inj. Cefotaxime
(+), sianosis(-) 3x 200 mg
Thorax: - Inj.
BJI-II reg, m (-), g (-). dexametason
SN ves rh -/-, wh -/- 3x1/2
Abdomen: - Inj. sibital 3x8
Supel. BU (+) - Inj. CDR 3x0,8
meningkat, NT (-), - p.o L-bio 1x1
turgor kulit - p.o Zinkid 1x1
berkurang mg
Ext: akral hangat pada
keempat ekstermitas
27-11- Kejang (-) KU/Kes: tss/ CM - Hipokalemi - Nasal kanul O2
2018 Demam (+) N: 112 x/ menit, dan 2 l/menit
Batuk (+) S: 38,30oC, P: 32 x/ hiponatremi - Inj. Piracetam
berdahak menit - KDK 2x10 mg
warna putih Kepala: normocephali - Injeksi
Diare (-) Mata: CA -/-, SI -/- Cefotaxime
Hidung : nch -, sekret 3x200 mg
+/+, bening, encer - L-Bio 1x1

13
Mulut: bibir kering
(-), sianosis(-)
Thorax:
BJI-II reg, m (-), g (-
). SN ves rh -/-, wh -/-
Abdomen:
Supel. BU (+), NT (-
), turgor kulit baik
Ext: akral hangat pada
keempat ekstermitas

29-11- Kejang (-) KU/Kes: tss/ CM - KDK - Injeksi


2018 Demam (-) N: 112 x/ menit, - Hipokalemi Cefotaxime
Batuk (+) S: 37,30oC, P: 32 x/ dan 3x25 mg
Pilek (+) menit hiponatremi - Probiokid 1x1
Kepala: normocephali - Zinkid 1x10 mg
Mata: CA -/-, SI -/-, - Paracetamol
mata cekung (-/-) 3x100 mg
Hidung : nch -, sekret
+/+, bening, encer
Mulut: bibir kering
(-), sianosis(-)
Thorax:
BJI-II reg, m (-), g (-
). SN ves rh -/-, wh -/-
Abdomen:
Supel. BU (+), NT (-
), turgor kulit normal.
Ext: akral hangat pada
keempat ekstermitas

14
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI

3.1.1 Kejang

Sebelum memahami definisi mengenai kejang, perlu kita ketahui tentang seizure dan
konvulsi. Yang dimaksud dengan seizure adalah cetusan aktivitas listrik abnormal yang
terjadi secara mendadak dan bersifat sementara di antara saraf-saraf di otak yang tidak
dapat dikendalikan akibatnya, kerja otak menjadi terganggu. Manifestasi dari seizure bisa
bermacam-macam, dapat berupa penurunan kesadaran, gerakan tonik (menjadi kaku) atau
klonik (kelojotan), konvulsi dan fenomena psikologis lainnya. Kumpulan gejala berulang
dari seizure yang terjadi dengan sendirinya tanpa dicetuskan oleh hal apapun disebut
sebagai epilepsi (ayan). Sedangkan konvulsi adalah gerakan mendadak dan serentak otot-
otot yang tidak bisa dikendalikan, biasanya bersifat menyeluruh. Hal inilah yang lebih
sering dikenal orang sebagai kejang. Jadi kejang hanyalah salah satu manifestasi dari
seizure.1

3.1.2 Kejang Demam

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal
> 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Menurut Consensus Statment
on Febrile Seizures, kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi dan anak biasanya
terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti
adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu.1,2 Definisi kejang demam menurut
International League Against Epilepsy (ILAE) adalah kejang yang terjadi setelah usia 1
bulan yang berkaitan dengan demam yang bukan disebabkan oleh infeksi susunan saraf
pusat, tanpa riwayat kejang sebelumnya pada masa neonatus dan tidak memenuhi kriteria
tipe kejang akut lainnya misalnya karena keseimbangan elektrolit akut.3,4
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun. Bila anak
berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului dengan
demam pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi susunan saraf pusat atau epilepsi yang
kebetulan terjadi bersama demam. 2,5

15
Anak yang pernah kejang tanpa demam kemudian mengalami kejang demam kembali
dan bayi yang berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk dalam definisi kejang demam.
Derajat tingginya demam yang dianggap cukup untuk diagnosis kejang demam ialah 38
o
C atau lebih, tetapi suhu sebenarnya saat kejang berlangsung sering tidak diketahui.2,5
Kejang demam kompleks ialah kejang demam yang lebih lama dari 15 menit, fokal
atau multipel (lebih daripada 1 kali kejang per episode demam) sedangkan kejang demam
sederhana ialah kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik tanpa
gerakan fokal, kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejadian kejang demam
sederhana yaitu 80% di antara seluruh kejang demam. 2,5
Jika kejang yang disertai demam terjadi selama lebih dari 30 menit baik satu kali atau
multipel tanpa kesadaran penuh diantara kejang maka diklasifikasikan sebagai status
epileptikus yang diprovokasi demam. Kejadian ini berkisar 5 % dari keseluruhan kejang
yang disertai demam.4
Faktor yang penting pada kejang demam ialah demam, umur, genetik, prenatal dan
perinatal. Demam sering disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, otitis media,
pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul pada suhu
yang paling tinggi, terkadang kejang terjadi pada demam yang tidak begitu tinggi. Bila hal
ini terjadi maka anak tersebut memiliki resiko tinggi untuk berulangnya kejang. 2

3.2 EPIDEMIOLOGI
Kejang sangat tergantung kepada umur, 85% kejang pertama sebelum berumur 4 tahun
yaitu terbanyak di antara umur 17-23 bulan. Hanya sedikit yang mengalami kejang demam
pertama sebelum berumur 5-6 bulan atau setelah berumur 5-8 tahun. Biasanya setelah
berumur 6 tahun pasien tidak kejang demam lagi namun, beberapa pasien masih dapat
mengalami kejang demam sampai umur lebih dari 5-6 tahun. Dua sampai lima persen anak
dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam, insiden bangkitan kejang
tertinggi pada usia 18 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki.2 Gen yang dicurigai
berperan dengan terjadinya kejang demam antara lain: FEB1 (8q), FEB2 (19q), FEB3
(5q),SCAN1A (2q), dan SCAN1B (19q)
Di Amerika Serikat insiden kejang demam berkisar antara 2-5% pada anak umur
kurang dari 5 tahun. Di Asia angka kejadian kejang demam dilaporkan lebih tinggi dan
sekitar 80-90% dari seluruh kejang demam adalah kejang demam sederhana. Di Jepang
angka kejadian kejang demam adalah 9-10%.3,6

16
Prognosis kejang demam mempunyai angka kematian hanya 0,64% - 0,75%.
Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian berkembang
menjadi epilepsi sebanyak 2-7%. Empat persen penderita kejang demam secara
bermakna mengalami gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan
pencapaian tingkat akademik.1
.
3.3 MANIFESTASI KLINIS

Bangkitan kejang pada bayi dan anak-anak sering terjadi bersamaan dengan kenaikan suhu
badan yang tinggi dan cepat, biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 39°C atau
lebih, disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat (ISPA, OMA, dan lainya).
Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam pertama sewaktu demam. Kejang dapat bersifat
tonik-klonik, tonik, klonik, fokal, atau akinetik.

Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau
tonik-klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti, anak
tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak
terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang demam kompleks dapat
diikuti oleh hemiparesis sementara (hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam
sampai beberapa hari.2,7

3.4 KLASIFIKASI KEJANG


Kejang diklasifiaksikan sebagai parsial atau generalisata berdasarkan apakah kesadaran
utuh atau lenyap. Kejang dengan kesadaran utuh disebut sebagai kejang parsial. Kejang
parsial dibagi lagi menjadi parsial sederhana (kesadaran utuh) dan parsial kompleks
(kesadaran berubah tetapi tidak hilang).
1. Kejang parsial
Kejang parsial dimulai di suatu daerah di otak, biasanya korteks serebrum. Gejala
kejang ini bergatung pada lokasi fokus di otak. Sebagai contoh, apabila fokus
terletak di korteks motorik, maka gejala utama mungkin adalah kedutan otot;
sementara, apabila fokus terletak di korteks sensorik, maka pasien mengalami
gejala – gejala sensorik termasuk baal, sensasi seperti ada yang merayap, atau
seperti tertusuk-tusuk. Kejang sensorik biasanya disertai beberapa gerakan klonik,
karena di korteks sensorik terdapat beberapa reprsentasi motorik. Gejala autonom
adalah kepucatan, kemerahan, berkeringat, dan muntah. Gangguan daya ingat,

17
disfagia, dan de ja vu adalah contoh gejala psikis pada kejang parsial. Sebagian
pasien mungkin mengalami perluasan ke hemisfer kontralateral disertai hilangnya
kesadaran.
Lepas muatan kejang pada kejang parsial kompleks (dahulu dikenal sebagai
kejang psikomotor atau lobus temporalis) sering berasal dari lobus temporalis
medial atau frontalis inferior dan melibatkan gangguan pada fungsi serebrum yang
lebih tinggi serta proses-proses pikiran, serta perilaku motorik yang kompleks.
Kejang ini dapat dipicu oleh musik, cahaya berkedip-kedip, atau rangsangan lain
dan sering disertai oleh aktivitas motorik repetitif involunta yang terkoordinasi
yang dikenal sebagai perilaku otomatis (automatic behavior). Contoh dari perilaku
ini adalah menarik-narik baju, meraba-raba benda, bertepuk tangan, mengecap-
ngecap bibir, atau mengunyah berulang-ulang. Pasien tetap sadar selama serangan
tetapi umumnya tidak dapat mengingat apa yang terjadi. kejang parsial kompleks
dapat meluas dan menjadi kejang generalisata.
2. Kejang Generalisata
Kejang generalisata melibatkan seluruh korteks serebrum dan diensefalon serta
ditandai dengan awitan aktivitas kejang yang bilateral dan simetrik yang terjadi di
kedua hemisfer tanpa tanda-tanda bahwa kejang berawal sebagai kejang fokal.
Pasien tidak sadar dan tidak mengetahui keadaan sekeliling saat mengalami kejang.
Kejang ini muncul tanpa aura atau peringatan terlebih dahulu. Terdapat beberapa
tipe kejang generalisata antara lain kejang absence, kejang tonik-klonik, kejang
mioklonik, kejang atonik, kejang tonik dan kejang klonik.
a. Kejang absence (petit mal)
Ditandai dengan hilangnya kesadaran secara singkat, jarang berlangsung lebih
dari beberapa detik. Sebagai contoh, mungkin pasien tiba-tiba menghentikan
pembicaraan, menatap kosong, atau berkedip-kedip dengan cepat. Pasien
mungkin mengalami satu atau dua kali kejang sebulan atau beberapa kali sehari.
Kejang absence hampir selalu terjadi pada anak; awitan jarang dijumpai setelah
usia 20 tahun. Serangan-serangan ini mungkin menghilang setelah pubertas atau
diganti oleh kejang tipe lain, terutama kejang tonik-klonik.

b. Kejang tonik-klonik (grand mal)


Kejang tonik-klonik adalah kejang epilepsi yang klasik. Kejang tonik-klonik
diawali oleh hilangnya kesadaran dengan cepat. Pasien mungkin bersuara

18
menangis, akibat ekspirasi paksa yang disebabkan oleh spasme toraks atau
abdomen. Pasien kehilangan posisi berdirinya, mengalami gerakan tonik
kemudian klonik, dan inkontenesia urin atau alvi (atau keduanya), disertai
disfungsi autonom. Pada fase tonik, otot-otot berkontraksi dan posisi tubuh
mungkin berubah. Fase ini berlangsung beberapa detik. Fase klonik
memperlihatkan kelompok-kelompok otot yang berlawanan bergantian
berkontraksi dan melemas sehingga terjadi gerakan-gerakan menyentak. Jumlah
kontraksi secara bertahap berkurang tetapi kekuatannya tidak berubah. Lidah
mungkin tergigit; hal ini terjadi pada sekitar separuh pasien (spasme rahang dan
lidah). Keseluruhan kejang berlangsung 3 sampai 5 menit dan diikuti oleh
periode tidak sadar yang mungkin berlangsung beberapa menit sampai selama
30 menit. Setelah sadar pasien mungkin tampak kebingungan, agak stupor, atau
bengong. Tahap ini disebut sebagai periode pascaiktus. Umumnya pasien tidak
dapat mengingat kejadian kejangnya.
Kejang tonik-klonik demam, yang sering disebut sebagai kejang
demam, paling sering terjadi pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Teori
menyatakan bahwa kejang ini disebabkan oleh hipernatremia yang muncul
secara cepat yang berkaitan dengan infeksi virus atau bakteri. Kejang ini
umumnya berlangsung singkat, dan mungkin terdapat predisposisi familial.
Pada beberapa kasus, kejang dapat berlanjut melewati masa anak dan anak
mungkin mengalami kejag non demam pada kehidupan selanjutnya.
c. Kejang mioklonik
Kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas dibeberapa otot atau tungkai,
cenderung singkat.
d. Kejang atonik
Hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lemahnya postur tubuh.
e. Kejang klonik
Gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tungal atau multipel di lengan,
dan tungkai
f. Kejang tonik
Peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku, kontaksi) wajah dan tubuh
bagian atas, fleksi lengan dan ekstensi tungkai, mata dan kepala mungkin
berputar ke satu sisi, dapat menyebabkan henti nafas.

19
Kejang demam dibagi atas kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks.

1. Kejang Demam Sederhana

Adalah kejang yang terjadi pada umur antara 6 bulan sampai 5 tahun, berlangsung
singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang bersifat
umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam
waktu 24 jam. Frekwensi kejang kurang dari 4x/tahun, dan biasanya kejang timbul
dalam 16 jam sesudah kenaikan suhu. Kejang demam sederhana merupakan 80%
di antara seluruh kejang demam.4

2. Kejang Demam Kompleks


Adalah kejang demam yang berlangsung lebih dari 15 menit, atau berulang dalam
24 jam. Kejang bersifat fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial.4
Perbedaan kejang demam sederhana (KDS) dan kompleks (KDK) dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 1. Perbedaan kejang demam sederhana dan kompleks1

Selain klasifikasi diatas, terdapat juga klasifikasi lain, yaitu klasifikasi Livingston.
Klasifikasi ini dibuat karena jika anak kejang maka akan timbul pertanyaan, dapatkah
diramalkan dari sifat dan gejala mana yang memiliki kemungkinan lebih besar untuk
menderita epilepsi. Livingston (1954) membagi kejang demam atas 2 golongan : 5
1. Kejang demam sederhana (simple febrile convulsion)
2. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsy triggered off by fever)
Modifikasi Livingston diatas dibuat untuk diagnosis kejang demam sederhana adalah:
1. Umur anak ketika kejang adalah 6 bulan dan 4 tahun
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit
3. Kejang bersifat umum

20
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan
7. Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.

Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria
modifikasi diatas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh demam. Kejang
kelompok kedua ini memiliki kelainan yang menyebabkan timbulnya kejang, sedangkan
demam hanya merupakan faktor pencetus saja.

1.5 FAKTOR RESIKO KEJANG DEMAM

Terdapat enam faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu: demam, usia,
riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi pada ibu,
hamil primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat
lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir) dan faktor paskanatal (kejang
akibat toksik, trauma kepala).1,6

1. Faktor demam.
Demam ialah hasil pengukuran suhu tubuh di atas 37,80 oC aksila atau di atas 38,30
o
C rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi yang tersering pada
anak disebabkan oleh infeksi dan infeksi virus merupakan penyebab terbanyak.
Demam merupakan faktor utama timbulnya bangkitan kejang. 1
Kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan
eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan
metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat
celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat sebesar 10-15%, sehingga
meningkatkan kebutuhan glukosa dan oksigen. 1,8
Demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak. Pada
keadaan hipoksia, otak akan kekurangan energi sehingga menggangu fungsi normal
pompa Na+. Permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ meningkat, sehingga
menurunkan nilai ambang kejang dan memudahkan timbulnya bangkitan kejang.
Demam juga dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu.
1,8

21
Bangkitan kejang demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh berkisar
38,90°C-39,90°C (40 -56%). Bangkitan kejang terjadi pada suhu tubuh 37°C-38,90°C
sebanyak 11% dan sebanyak 20% kejang demam terjadi pada suhu tubuh di atas 40oC.
1

2. Faktor usia
Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu 1:
1. Neurulasi
2. Perkembangan prosensefali
3. Proliferasi neuron
4. Migrasi neural
5. Organisasi
6. Mielinisasi.
Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai migrasi neural.
Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih berlanjut sampai tahun-tahun
pertama paskanatal. Kejang demam terjadi pada fase perkembangan tahap organisasi
sampai mielinisasi. Fase perkembangan otak merupakan fase yang rawan apabila
mengalami bangkitan kejang, terutama fase perkembangan organisasi.1
Pada keadaan otak belum matang (developmental window), reseptor untuk asam
glutamat sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA
sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang eksitasi lebih dominan
dibanding inhibisi. 1,8
Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptid eksitator,
berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus
tinggi dan berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam. 1,8
Anak pada masa developmental window merupakan masa perkembangan otak fase
organisasi yaitu saat anak berusia kurang dari 2 tahun. Pada masa ini, apabila anak
mengalami stimulasi berupa demam, maka akan mudah terjadi bangkitan kejang. 1,8
Sebanyak 4% anak akan mengalami kejang demam dan 90% kasus terjadi pada
anak antara usia 6 bulan sampai dengan 5 tahun, dengan kejadian paling sering pada
anak usia 18 sampai dengan 24 bulan.1
3. Riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang demam.
Pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak ditemukan sekitar 60-80%.

22
Apabila salah satu orang tua memiliki riwayat kejang demam maka anaknya
beresiko sebesar 20-22%. Apabila kedua orang tua mempunyai riwayat pernah
menderita kejang demam maka resikonya meningkat menjadi 59-64%. Sebaliknya
apabila kedua orangtuanya tidak mempunyai riwayat kejang demam maka risiko
terjadi kejang demam hanya 9%. Pewarisan kejang demam lebih banyak oleh ibu
dibandingkan ayah yaitu 27% berbanding 7%.1
4. Faktor Prenatal dan Perinatal
Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai
komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan diantaranya hipertensi
dan eklamsia, sedangkan gangguan pada persalinan diantaranya trauma persalinan.
Hipertensi pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang sehingga
berakibat keterlambatan pertumbuhan intrauterin, prematuritas dan BBLR.
Komplikasi persalinan diantaranya partus lama. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan janin dengan asfiksia sehingga akan terjadi hipoksia dan iskemia.
Hipoksia mengakibatkan lesi pada daerah hipokampus, rusaknya faktor inhibisi dan
atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada
rangsangan yang memadai seperti demam. 1
5. Faktor Pascanatal
Risiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan
berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi sistem saraf pusat seperti
meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus berat
seringkali mengakibatkan terjadinya kejang. Di negara-negara barat penyebab yang
paling umum adalah virus Herpes simplex (tipe l) yang menyerang lobus
temporalis.Selain infeksi, ditemukan bukti bahwa cedera kepala memicu kejadian
kejang demam pada anak sebesar 20,6%.1

3.6 PATOGENESIS KEJANG DEMAM

23
Untuk mempertahankan hidupnya, sel otak membutuhkan energi yaitu senyawa glukosa
yang didapat dari proses metabolisme sel. Sel-sel otak dikelilingi oleh membran yang
dalam keadaan normal membran sel neuron
dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium
(K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium
(Na+) dan elektrolit lain kecuali clorida (Cl-
). Akibatnya konsentrasi ion K+ di dalam sel
neuron tinggi dan konsentrasi ion Na+
rendah. Keadaan sebaliknya terjadi di luar
sel neuron. Karena perbedaan jenis dan
konsentrasi ion di dalam dan di luar sel Gambar 1. Potensial Membran SelNeuron1

tersebut maka terjadi beda potensial yang disebut ‘Potensial Membran Sel Neuron’.

Untuk menjaga keseimbangan potensial membran sel diperlukan energi dan


enzim Na-K-ATP ase yang terdapat di permukaan sel. Keseimbangan potensial
membran sel dipengaruhi oleh:
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
2. Rangsangan yang datangnya mendadak baik rangsangan mekanis, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologi dari membran karena penyakit atau faktor keturunan.
Sebuah potensial aksi akan terjadi akibat adanya perubahan potensial membran
sel yang didahului dengan stimulus membrane sel neuron. Saat depolarisasi, channel
ion Na+ terbuka dan channel ion K+ tertutup. Hal ini menyebabkan influx dari ion Na+,
sehingga menyebabkan potensial membran sel lebih positif, sehingga terbentuklah
suatu potensial aksi. Dan sebaliknya, untuk membuat keadaan sel neuron repolarisasi,
channel ion K+ harus terbuka dan channel ion Na+ harus tertutup, agar dapat terjadi

Gambar 2. Depolarisasi dan Repolarisasi 4


efluks ion K+ sehingga mengembalikan potensial membran lebih negative atau ke
potensial membrane istirahat.

24
Renjatan listrik akan diteruskan sepanjang sel neuron. Dan diantara 2 sel
neuron, terdapat celah yang disebut sinaps, yang menghubungkan akson neuron pre-
sinaps dan dendrite neuron post sinaps. Untuk menghantarkan arus listrik pada sinaps
ini, dibutuhkan peran dari suatu neurotransmitter.
Ada dua tipe neurotransmitter, yaitu :
1. Eksitatorik, neurotransmiter yang membuat potensial membrane lebih positif
dan mengeksitasi neuron post sinaps
2. Inhibitorik, neuritransmiter yang membuat potensial membrane lebih negative
sehingga menghambat transmisi sebuah impuls. Sebagai contoh : GABA
(Gamma Aminobutyric Acid). Dalam medis sering digunakan untuk pengobatan
epilepsy dan hipertensi.
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan listrik yang
berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebut baik berupa
fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel syaraf, seperti juga sel hidup umumnya,
mempunyai potensial membran. Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel
dan ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan ekstrasel. Dalam keadaan
istirahat potensial membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membran ini akan
tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan.

Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori yaitu 1 :


- Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya
pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat
terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
- Perubahan permeabilitas sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan hipomagnesemia.
- Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan
neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan.
Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan
kejang.

Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, pada keadaan demam,
kenaikan suhu 1o C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan
peningkatan kebutuhan oksigen sampai 20%. Jadi pada kenaikan suhu tertentu dapat
terjadi perubahan keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi
difusi ion kalium dan natrium melalui membran sel, dengan akibat lepasnya muatan

25
listrik yang demikian besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran
sel tetangga dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang.
Saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak, jantung, otot,
dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan kejang
bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang lama
akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat
aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron
karena kegagalan metabolisme di otak. 1
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut 1:
- Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum
matang/immatur.
- Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan
gangguan permiabilitas membran sel.
- Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2 yang
akan merusak neuron.
- Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan kebutuhan
oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan aliran ion-ion keluar masuk
sel.

Kejang demam
Pada anak dengan Gambar
ambang3. kejang yang rendah kenaikan suhu sampai 38o C
Mekanisme terjadinya kejang 1
sudah terjadi kejang, Namun pada
demam4
anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru

26
terjadi pada suhu diatas 40o C. Terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada
anak dengan ambang kejang rendah. 1
Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak
meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang demam yang berlangsung lama (>15 menit)
biasanya disertai dengan apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk
kontraksi otot skeletal yang mengakibatkan hipoksemia, hiperkapneu, dan asidosis
laktat. Hipotensi arterial disertai dengan aritmia jantung dan kenaikan suhu tubuh
disebabkan meningkatnya aktivitas berakibat meningkatnya metabolisme otak.
Tabel 1. Efek Fisiologis Kejang 1

Awal (< 15 menit) Lanjut (15-30 menit) Berkepanjangan (>1jam)


Meningkatnya kecepatan Menurunnya tekanan Hipotensi disertai
denyut jantung darah berkurangnya aliran darah
Meningkatnya tekanan Menurunnya gula darah serebrum sehingga terjadi
darah hipotensi serebrum
Meningkatnya kadar Disritmia Gangguan sawar darah otak
glukosa yang menyebabkan edema
Meningkatnya suhu pusat Edema paru nonjantung serebrum
tubuh
Meningkatnya sel darah
putih

Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab terjadinya kerusakan neuron otak
pada kejang yang lama. Faktor yang terpenting adalah gangguan peredaran darah yang
mengakibatkan hipoksia sehingga berakibat meningkatnya permeabilitas vaskular dan
udem otak serta kerusakan sel neuron. Kerusakan anatomi dan fisiologi yang bersifat
menetap bisa terjadi di daerah medial lobus temporalis setelah ada serangan kejang
yang berlangsung lama. Hal ini diduga kuat sebagai faktor yang bertanggung jawab
terhadap terjadinya epilepsi.

3.7 DIAGNOSIS

27
Diagnosis kejang demam ditegakkan setelah penyebab kejang yang lain dapat disingkirkan
yaitu meliputi meningitis, ensefalitis, trauma kepala, ketidakseimbangan elektrolit, dan
penyebab kejang akut lainnya. Dari beberapa diagnosis banding tersebut, meningitis
merupakan penyebab kejang yang lebih mendapat perhatian. Angka kejadian meningitis
pada kejang yang disertai demam yaitu 2-5%. 4
Kejadian demam pada kejang demam biasanya dikarenakan adanya infeksi pada sistem
respirasi atas, otitis media, infeksi virus herpes termasuk roseola. Lebih dari 50% kejadian
kejang demam pada anak kurang dari 3 tahun berhubungan dengan infeksi virus herpes
(Human Herpes Virus 6 dan 7).4
Hal – hal yang perlu ditanyakan saat anamnesis yaitu 9 :
- Adanya kejang, jenis kejang , kesadaran, lama kejang
- Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak pasca kejang
- Penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala infeksi saluran napas
akut/ISPA, infeksi saluran kemih/ISK. Otitis media akut/ OMA, dan lainnya)
- Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga
- Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang mengakibatkan
gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia, asupan kurang yang dapat
menyebabkan hipoglikemia)

Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain 9:


- Kesadaran : apakah terdapat penurunan kesadaran
- Suhu tubuh: apakah terdapat demam
- Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, Bruzinski I dan II, Kernique, Lasuque dan
pemeriksaan nervus cranial
- Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun ubun besar (UUB) memnonjol, papil
edema
- Tanda infeksi di luar susunan saraf pusat seperti infeksi saluran pernapasan, faringitis,
otitis media, infeksi saluran kemih dan lain sebagainya yang merupakan penyebab
demam
- Pemeriksaan neurologi: tonus, motorik, reflex fisiologis, reflex patologis9

Pemeriksaan laboratorium seperti darah rutin tidak begitu bermanfaat untuk dilakukan
pada pasien dengan kejang demam sederhana kecuali jika terdapat komplikasi atau
penyakit lain yang mendasari seperti gangguan keseimbangan elektrolit yang berkaitan

28
dengan dehidrasi akibat infeksi saluran gastrointestinal. Pemeriksaan laboratorium
sebaiknya dilakukan untuk mencari penyebab demam diantaranya pemeriksaan kultur urin
untuk melihat ada tidaknya infeksi saluran kemih jika ternyata tidak ditemukan fokus
infeksi dari pemeriksaan fisik. Pemeriksaaan kadar elektrolit seperti kalsium, fosfor,
magnesium dan glukosa yang biasa dilakukan pada pasien kejang tanpa demam juga
kurang memberikan arti yang bermakna jika dilakukan pada pasien kejang demam
sederhana.10
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah EEG
(elektroensefalogram). EEG dapat memperlihatkan gelombang lambat di daerah belakang
yang bilateral, sering asimetris kadang-kadang unilateral. Perlambatan ditemukan pada
88% pasien bila EEG dikerjakan pada hari kejang dan ditemukan pada 33% pasien bila
EEG dilakukan 3 sampai 7 hari setelah serangan kejang. Namun, perlambatan EEG ini
kurang mempunyai nilai prognostik dan kejadian kejang berulang dikemudian hari atau
perkembangan ke arah epilepsi. Saat ini sudah tidak dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan EEG pada pasien kejang demam sederhana karena hasil pemeriksaan yang
kurang bermakna.2
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada bayi kecil seringkali
sulit untuk menegakkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas, oleh
karena itu pemeriksaan pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur < 6-12 bulan,
sangat dianjurkan pada bayi berumur 12-18 bulan dan tidak rutin dilakukan pada bayi
berumur >18 tahun jika tidak disertai riwayat dan gejala klinis yang mengarah ke
meningitis.2,4,5,8
Pemeriksaan radiologi tidak begitu memberikan manfaat dalam evaluasi kejang demam
sederhana dan masih kontroversial untuk dilakukan pada kejang demam kompleks
sekalipun. Pemeriksaan radiologi misalnya Magnetic resonance imaging (MRI) dapat
dilakukan untuk mengevaluasi ada tidaknya kerusakan di otak misalnya di daerah
hipokampus jika penyebab kejang masih belum diketahui.
Secara umum, perlu tidaknya pemeriksaan penunjang dilakukan dapat dilihat pada tabel
di bawah ini7:

29
Tabel 2. Pemeriksaan penunjang pada kejang yang disertai demam7

Pada kejang demam sederhana tidak diperlukan pemeriksaan penunjang baik berupa
pungsi lumbal, EEG, radiologi maupun biokimia darah karena kejang demam sederhana
didiagnosis berdasarkan gambaran klinis. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk
menyingkirkan diagnosis banding kejang yang disertai dengan demam seperi meningitis 7
Diagnosis kejang demam sederhana menurut konsensus ikatan dokter anak Indonesia yaitu
jika memenuhi kriteria sebagai berikut 5:
- Terjadi pada anak usia 6 bulan - 5 tahun
- Kejang berlangsung singkat, tidak melebihi 15 menit
- Kejang umumnya berhenti sendiri
- Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik tanpa gerakan fokal
- Kejang tidak berulang dalam 24 jam

3.8 TATA LAKSANA

Pada tatalaksana kejang demam ada 3 hal yang perlu diperhatikan yaitu 2:
1. Pengobatan fase akut
2. Mencari dan mengobati penyebab
3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam

Pada waktu pasien datang dalam keadaan kejang maka hal yang harus dilakukan ialah
membuka pakaian yang ketat dan posisi pasien dimiringkan apabila muntah untuk
mencegah aspirasi. Jalan napas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Pengisapan lendir
dilakukan secara teratur, diberikan terapi oksigen dan jika perlu dilakukan intubasi. 2
Awasi keadaan vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan dan fungsi
jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian

30
antipiretik. Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko
terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap
dapat diberikan ketika anak demam (> 38,5oC). Dosis parasetamol yang digunakan ialah
10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-
10 mg/kgBB/kali diberikan 3-4 kali sehari.5
Obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan
secara intravena atau intrarektal. Kadar diazepam tertinggi dalam darah akan tercapai
dalam waktu 1-3 menit apabila diazepam diberikan secara intravena dan dalam waktu 5
menit apabila diberikan secara intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB,
diberikan perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit
dengan dosis maksimal 20 mg. Untuk memudahkan orangtua di rumah dapat diberikan
diazepam rektal dengan dosis 2,5:
- 5 mg pada anak dengan berat badan < 10 kg
- 10 mg untuk berat badan anak > 10 kg
Buccal midazolam (0.5 mg/kg; dosis maximal 10 mg) dikatakan lebih efektif daripada
diazepam per rektal pada anak.11
Tabel 3. Dosis obat anti konvulsi untuk kejang demam11

31
Tatalaksana kejang demam dan kejang secara umum yaitu tampak pada bagan berikut
ini 12:

Bagan 1. Tatalaksana kejang demam12

Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena sering berulang dan
menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Ada 2 cara profilaksis yaitu proflaksis
intermiten pada waktu demam dan profilaksis terus-menerus dengan antikonvulsan setiap
hari. 2
Untuk profilaksis intermiten, antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien
demam. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke jaringan otak.
Diazepam intermiten memberikan hasil lebih baik karena penyerapannya lebih cepat.
Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam pada kenaikan suhu mencapai 38,5 oC
atau lebih yaitu dengan dosis 2:
- 5 mg untuk pasien dengan berat badan < 10 kg

32
- 10 mg untuk pasien dengan berat badan > 10 kg

Diazepam dapat pula diberikan secara oral dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 3 dosis pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam ialah ataksia,
mengantuk dan hipotonia.2
Untuk profilaksis terus-menerus dilakukan dengan pemberian fenobarbital 4-
5mg/kgBB/hari dengan kadar obat dalam darah sebesar 16µg/ml menunjukkan hasil yang
bermakna untuk mencegah berulangnya kejang demam. Efek samping fenobarbital berupa
kelainan watak yaitu iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif ditemukan pada 30-50%
pasien. Efek samping dapat dikurangi dengan menurunkan dosis fenobarbital.
Obat lain yang dapat digunakan yaitu asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari.
Fenitoin dan carbamazepin tidak efektif untuk pencegahan kejang demam. Antikonvulsan
profilaksis terus-menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir kemudian
dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. 2
Adapun indikasi profilaksis terus-menerus yaitu sebagai berikut 2:
- Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau
perkembangan
- Ada riwayat kejang tanpa demam pada orangtua atau saudara kandung
- Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan neurologis
sementara dan menetap
- Kejang demam terjadi pada bayi berumur < 12 bulan atau terjadi kejang multipel
dalam satu episode demam
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang
sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini
harus dikurangi dengan cara yang diantaranya :13
1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik
2. Memberitahukan cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat efek
samping obat
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang:13
1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher

33
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan
atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, sebaiknya
jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang
5. Tetap bersama pasien selama kejang
6. Berikan diazepam rektal dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti
7. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih

3.9 PROGNOSIS

Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Kematian
akibat kejang demam juga tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis
umumnya tetap normal pada pasien yang memang sebelumnya normal. Penelitian lain
secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus dan kelainan
ini biasanya terjadi pada kasus kejang yang lama atau kejang berulang baik fokal atau
kejang umum. 3,5
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko berulangnya
kejang yaitu riwayat kejang demam dalam keluarga, usia saat kejang pertama < 12 bulan,
temperatur yang rendah saat kejang (<40°C) dan timbulnya kejang yang cepat setelah
demam. Bila semua faktor tersebut terpenuhi maka resiko berulangnya kejang demam 80
% sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut resikonya 10-15%. Kemungkinan
berulangnya kejang paling besar pada tahun pertama.2,5Faktor risiko lain adalah terjadinya
epilepsi di kemudian hari. Faktor risiko menjadi epilepsi adalah :
1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4% -
6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi
10% - 49% . 5

BAB IV

34
ANALISA KASUS

Definisi kejang demam menurut International League Against Epilepsy (ILAE) adalah
kejang yang terjadi setelah usia 1 bulan yang berkaitan dengan demam yang bukan disebabkan
oleh infeksi susunan saraf pusat, tanpa riwayat kejang sebelumnya pada masa neonatus dan
tidak memenuhi kriteria tipe kejang akut lainnya. Pada pasien ini, berusia 1 tahun 3 bulan
datang dengan kejang yang berlangsung selama kurang 15 menit sebelum masuk rumah sakit.
Satu hari sebelum kejang timbul, pasien demam naik turun. Pada kejang demam sering terjadi
akibat infeksi ekstrakranium, pada pasien ini bangkitan kejang terjadinya karena demam yang
disebabkan oleh infeksi saluran pencernaan atau karena adanya penurunan kadar elektrolit.
Satu minggu sebelum pasien masuk Rumah Sakit, pasien mengalami diare. Ini adalah kejang
pertama yang pernah dialami oleh pasien.

Karena kejang yang terjadi pada pasien berulang selama 2 kali dalam 24 jam, maka
kejang pada pasien diklasifikasikan menjadi kejang demam kompleks. Menurut pengakuan
ibunya, pasien tangan pasien melipat dan kaku pada saat kejang, mendelik ke atas dan tidak
sadar pada saat kejang.

Kejang pada pasien dapat terjadi karena demam yang didasari oleh adanya dugaan
infeksi pada saluran pencernaan karena adanya diare, demam, dan peningkatan LED. Oleh
karena itu, dianjurkan pemeriksaan faeces lengkap pada pasien untuk mengetahui apakah ada
organisme yang dapat menyebabkan infeksi saluran pencernaan pada pasien. Penurunan kadar
elektrolit pada pasien sendiri dapat disebabkan oleh karena adanya diare yang berlangsung
selama seminggu sebelum pasien dirawat. Penyebab infeksi ataupun massa intrakranial
maupun selaput otak disingkirkan karena pemeriksa tidak menemukan adanya penurunan
kesadaran maupun defisit neurologis pada pemeriksaan fisik pada pasien.

Pada pasien juga ditemukan gejala-gejala yang menunjukkan adanya tanda-tanda


dehidrasi ringan sedang, dengan adanya keadaan umum yang tampak sakit sedang, mata
cekung, peningkatan pernapasan, mata cekung dan turgor kulit yang berkurang. Peningkatan
pernapasan terjadi sebagai bentuk kompensasi akibat adanya penurunan volume cairan dalam
tubuh.

35
Adanya anemia pada pasien, masih harus ditelusuri lebih lanjut karena pemeriksa tidak
menemukan adanya perdarahan spontan pada pasien. Maka dianjurkan ditambahkan
pemeriksaan berupa Total Iron Binding Capacity.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Fuadi F, (2010), Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak, (Tesis), Universitas
Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
2. Soetomenggolo T.S, (1998), Kejang Demam dalam Buku Ajar Neurologi, IDAI, Jakarta.
3. Jones T, Jacobsen S.J, (2007), Childhood Febrile Seizures: Overview and Implications, Int.
J. Med. Sci. 4(2):110-114.
4. Wolf P, Shinnar S, (2005), Febrile Seizures in Current Management in Child Neurology,
Third Edition.BC Decker Inc.
5. Pusponegoro H.D, Widodo D.P, Ismael S, (2006), Konsensus Penatalaksanaan Kejang
Demam, Unit Kerja Koordinasi Neurologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
6. Kusuma D, Yuana I, (2010), Korelasi antara Kadar Seng Serum dengan Bangkitan Kejang
Demam, (Tesis), Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis 1,
Ilmu Kesehatan Anak, Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
7. Scheffer I.E, Sadleir L.G, (2007), Febrile Seizures, BMJ;334;307-311.
8. Bahtera T, (2006), Pengelolaan Kejang Demam, Neurologi Anak, FK UNDIP, Jawa
Tengah.
9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2010). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter anak
Indonesia Jilid 1.
10. Srinivasan J, Wallace K.A., Scheffer I.E., (2005), Febrile Seizures, Australian Family
Physician, Vol. 34, No. 12: 1021-1025.
11. Ministry of Health Service, (2010), Guidelines and Protocols : Febrile seizures, British
Columbia Medical Assosiation.
12. Mangunatmadja, I, Widodo D.P, (2011), Simposium dan Workshop Tata Laksana Terkini
Kejang Demam dan Epilepsi pada Anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang
Kalimantan Barat.
13. Wong V, dkk. Clinical Guideline on Management of Febrile Convulsion. HK J Pediatri
2002;7:143-151

37

Anda mungkin juga menyukai