MORBUS HANSEN
Diajukan untuk Melengkapi Tugas Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Di Rumah Sakit Tentara dr. Soedjono Magelang
Disusun oleh :
Primaswari Annisa Febriana
30101407285
Pembimbing:
Letkol CKM (K) dr. Susilowati Sp.KK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2019
1
DAFTAR ISI
Bab I Pendahuluan…………………………………………………………...3
Bab II Tinjauan Pustaka……………………………………………………….5
2.1 Definisi………………………………………………………………...5
2.2 Sinonim………………………………………………………………..5
2.3 Epidemiologi…………………………………………………………..5
2.4 Etiologi………………………………………………………………...5
2.5 Klasifikasi dan Manifestasi Klinis…………………………………….6
2.6 Patogenesis……………………………………………………………12
2.7 Diagnosis……………………………………………………………...13
2.8 Pemeriksaan Penunjang……………………………………………….15
2.9 Diagnosis Banding…………………………………………………….17
2.10 Penatalaksanaan……………………………………………………….18
2.11 Pencegahan cacat……………………………………………………...24
2.12 Prognosis………………………………………………………………26
Bab III Kesimpulan……………………………………………………………28
Daftar Pustaka…………………………………………………………………29
2
BAB I
PENDAHULUAN
Kusta merupakan penyakit tertua yang sampai sekarang masih ada. Kusta merupakan
penyakit yang sangat ditakuti oleh masyarakat karena dapat menyebabkan ulserasi, mutilasi
dan deformitas. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha,dikenal sejak 400 tahun SM. Kata
lepra disebut dalam kitab Injil,terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath.
Kusta (lepra atau penyakit Hansen) adalah infeksi menahun yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae, bakteri ini menyerang saraf perifer, kulit, mukosa traktus respiratorius
bagian atas, kemudian organ lainnya. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar
keringat, dan ASI, namun jarang di urin. Mycobacterium leprae masih belum dapat dibiakkan
dalam medium buatan sehingga diagnosis yang tepat dalam waktu pendek masih belum
memungkinkan. Pada sebagian besar orang yang terinfeksi, penyakit bersifat asimptomatik.
Sebagian kecil terlambat didiagnosis dan terlambat diobati, memperlihatkan gejala klinis dan
mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat. Tetapi diagnosis dapat dibuat berdasarkan
gejala-gejala klinis yang spesifik pada pasien.1 Penyakit ini disebarkan melalui droplet infeksi
dan mempunyai masa tunas yang panjang (antara 2 bulan sampai 40 tahun)2
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kusta yang juga disebut lepra merupakan penyakit infeksi granulomatous kronik yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae, terutama mengenai sistem saraf perifer, kulit,
namun dapat juga terjadi mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke
organ lain kecuali susunan saraf pusat 1
2.2 Sinonim
Morbus Hansen dikenal dengan nama kusta, lepra, leprosy.
2.3 Epidemiologi
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan masih belum diketahui
secara pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang
lama dan erat. Anggapan kedua adalah melalui inhalasi, sebab M.leprae masih dapat hidup
beberapa hari dalam droplet.1
Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun tajam di
sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar di permulaan tahun 2009
tercatat 213.036 penderita yang berasal dari 121 negara, sedangkan pada tahun 2008 tercatat
213.036 penderita dari 121 negara. Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat akhir tahun
2008 adalah 16.668 orang, Distribusi tidak merata, yang tertinggi antara lain di Pulau Jawa,
Sulawesi, Maluku, dan Papuan. Prevaliensi pada tahun 2008 per 100.000 penduduk adalah
0.73.1
4
Tabel 2 Penemuan Kasus Baru pada Negara yang Melaporkan >1000 Kasus Selama Tahun
2005-2016
5
2.4 Etiologi
Kuman penyebab lepra adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat intrasel,
aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil Gram positif dengan ukuran 3 – 8
μm x 0,5 μm, bersifat tahan asam dan alkohol. Mycobacterium leprae belum dapat diklutur
pada laboratorium. Kuman ini menular pada manusia melalui kontak langsung dengan pederita
(keduanya harus ada lesu baik mikroskopis ataupun makroskopis) adanya kontak yang lama
dan berulang – ulang atau dengan inhalasi droplet. Penatalaksanaan kasus yang buruk dapat
menyebabkan kusta menjadi progresif, menyebabkan kerusakan permanen pada kulit, saraf dan
angota gerak.
Menurut WHO, kusta dibagi menjadi 2 bentuk yaitu pausi basiler (indeterminate dan
tuberculoid) dan multi basiler (borderline dan lepromatous).
PB (Pausibasilar) MB (Multibasilar)
6
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf
saraf yang terkena
7
f. Lepromatous leprosy(LL): lesi awal berupa makula yang pucat. Makula kecil, difus dan
simetris. Anetesi tidak terjadi pada bentuk ini, saraf tidak menebal, dan hidrotik.
Hilangnya rangsang saraf lambat dan progresif.
Lesi
8
BTA
*Tes Lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui
setelah 3minggu
Lesi
BTA
9
Sekret Banyak Biasanya tidak Tidak ada
hidung ada
TT BT I
LL BL BB
10
Gambar 2.3 Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di Punggung
11
Gambar 2.6 Contoh Kasus Kusta Tipe MB di wajah
2.6 Patogenesis
12
sel T melalui CD28. Adanya kedua sinyal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan
berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi
To menjadi Th1.
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis makrofag
(fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M. leprae akan berikatan dengan C3 melalui
reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B.
Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+. Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I
akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal
hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka
sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya
makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag
akan membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel
epitelioid ini akan membentuk granuloma.
Sinyal I tanpa adanya sinyal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak
teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid
Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th2 sedangkan
pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1.3
2.7. Diagnosis
13
ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta
(tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Dapat pula
diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi. Dan ditemukan satu atau lebih tanda kardinal
pasien dari daerah endemik,lesi kulit dengan karakter lepra dengan atau tidak rasa baal,disertai
dengan saraf perifer,dan menemukan M.Leprae. 1,4
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan
nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N.
fasialis, N. aurikuralis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, dan
N. tibialis posterior. Untuk tipe lepramatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh,
sedang untuk tipe tuberkuloid kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.1,4
Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam deformitas
primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang
terbentuk sebgai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya,
yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas
sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya,
tetapi terutama karena kerusakan saraf. Gejala-gejala kerusakan saraf:1,4
1. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawing
kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot
lumbrikalis medial.
2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah,
tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari
kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk, tangan
gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.
4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki
gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.
5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik kaki dan
kolaps arkus pedis.
6. N. fasialis: lagoftalmus (cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi wajah
dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan servikal).
7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.
14
Pemeriksaan Fungsi Saraf
a. Tes sensorik
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
- Rasa raba
- Rasa tajam
- Suhu
b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta,
pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis, yaitu:5
1. Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan)
2. Tes Pilokarpin
3. Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus, n.radialis, dan
n. peroneus
1. Pemeriksaaan bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat. Sediaan
dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan
pewarnaan Ziehl Neelson. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang
tersebut tidak mengandung basil M. leprae. Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang
diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang
diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat
yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling
eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau
tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan
dengan indeks bakteri (I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA
dalam 100 lapangan pandang (LP).
15
4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan
non solid.
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu
dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000
lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.1
2. Pemeriksaan histopatologi
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS nya tinggi,
makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman
disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya
berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel
epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia
Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel
akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah
atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada didalamnya,
bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau sel lepra atau
sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih
nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi
subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang
jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe
borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut.1
3. Pemeriksaan serologik
16
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae.
Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic
glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak
spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman
M. tuberculosis.1
17
Deposit lemak kekuning kuningan pada kulit atau
Xantomatosis Genetik tempat lain (dalam sel retikulo-endotelial) karena
hiperlipidemia
Bercak skleropatik atau plak soliter (tersering) atau
Skleroderma Idiopatik
bercak-bercak multiple (terjarang)
Infiltrasi sel-sel leukemia yang bersifata gresif kedalam
Leukemia Kutis Leukimia
lapisan epidermis,dermis maupun subkutis.
Tuberkulosis Kutis M. Tuberculosis Skrofuloderma,chancre
Kutil berbentuk bulat,berwarna abu-abu,permukaan
Verukosa HPV
kasar
Overgrowth of
B.V.,Melanocyt
es,smooth Gambaran kelainan kulit yang timbul saat atau setelah
Birth mark
muscle,fat,fibro lahir
blast, or
keratinocytes
Gatal dan kelainan berbatas tegas,polomorfi. Eczema
Dermatofitosis Jamur
marginatum
2.10 Penatalaksanaan
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden
penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk
mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita.2
Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT) dengan
kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS, direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan
dari program MDT adalah: mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan
angka putus obat (drop-out rate) dan ketidaktaatan penderita.
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS, klofazimin dan
rifampicin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotik lain untuk pengobatan
alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin.1,4
DDS (Dapsone)
18
Merupakan singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfon. Dapson bersifat bakteriostatik
dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Dapson bekerja sebagai anti metabolit
PABA. Indeks morfologi kuman penderita LL yang diobati dengan Dapson biasanya menjadi
nol setelah 5 sampai 6 bulan.
Dosis: dosis tunggal yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat badan untuk anak-
anak. Efek samping: erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia,
Rifampisin
Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis lazim dan merupakan obat paling
ampuh untuk kusta saat ini. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang
berikatan secara irreversibel. Namun obat ini harganya mahal dan telah dilaporkan adanya
resistensi.
Dosis: dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgBB) mampu membunuh kuman kira-kira
99.9% dalam waktu beberapa hari.
Klofazimin
Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson. Diduga bekerja melalui gangguan
metabolisme radikal oksigen. Obat ini juga mempunyai efek anti inflamasi sehingga berguna
untuk pengobatan reaksi kusta.
Dosis: 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kgBB/hari. Selain
itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipe I dan II.5
Efek samping: hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan gastrointestinal (nyeri
Alternatif Obat
Ofloksasin
Merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap M. leprae in vitro. Dosis
optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh
19
kuman M. leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan
saluran cerna lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala,
dizziness, nervousness dan halusinasi.
Minoksiklin
Klaritromisin
Penatalaksanaan kusta menggunakan Multi Drug Therapy (MDT) menurut WHO tahun
1998 adalah sebagai berikut:5
DEWASA
OBAT
BB<35 kg BB>35 kg
Rifampisin 450 mg/bln (diawasi) 600 mg/bln (diawasi)
Dapson swakelola 50mg/hari(1-2mg/kgBB/hari) 100 mg/hari
OBAT DEWASA
BB<35 kg BB>35 kg
Rifampisin 450 mg/bln (diawasi) 600 mg/bln (diawasi)
Klofazimin
20
Dapson swakelola 300 mg/bln diawasi dan 100 mg/hari
diteruskan 50 mg/hari
swakelola
50mg/hari(1-2mg/kgBB/hari)
Tabel 2.6 Obat dan dosis regimen MDT WHO untuk anak
PB MB
< 10 tahun < 10 th
OBAT 10 th – 14 th 10 th -14 th
BB < 50kg BB < 50 kg
300 mg/bln 450 mg/bln
300 mg/bln 450 mg/bln
100 mg/bln 150 mg/bln
Rifampisin - -
dilanjutkan 50 mg, dilanjutkan 50
Klofazimin
2x/mgg mg/hr
25 mg/hr 50 mg/hr
25 mg/hr 50 mg/hr
Lamanya pengobatan morbus hansen tipe PB adalah 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan.
Pengobatan morbus hansen tipe MB adalah sudah sebesar 24 dosis diselesaikan dalam
waktu maksimal 36 bulan.
Minimum 6 bulan untuk PB dan minimum 24 bulan untuk MB maka dinyatakan RFT
(Release From Treatment).
WHO Expert Committee:1,5
o MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus PB
dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan.
o Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah Rifampisin 600 mg ditambah
dengan Ofloksasin 400 mg dan Minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
Penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula dengan DDS
sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Untuk itu pengobatannya dengan klofazimin
50 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan, diteruskan
klofazimin 50 mg ditambah ofkloksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg setiap hari selama
18 bulan.
21
Bagi penderita MB yang menolak klofazimin, diberikan rifampisin 600 mg ditambah
dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan selama 24
bulan.
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah RFT
dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis
minimal setiap tahun selama 5 tahun. Bila bakterioskopis tetap negatif dan klinis tidak ada
keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Release From
Control (RFC).
Reaksi kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik.1 Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular
response) atau reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum
pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis
terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang
memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang
memegang peranan adalah imunitas humoral. 1
22
4 Tipe kusta PB atau MB MB
5 Saraf Sering terjadi Dapat terjadi
Umumnya berupa nyeri tekan
saraf dan atau gangguan
fungsi saraf
6 Keterkaitan organ Hampr tidak ada Terjadi pada mata, KGB,
lain sendi, ginjal, testis, dll
7 Faktor pencetus Melahirkan Emosi
Obat-obat yang Kelelahan dan stress
meningkatkan fisik lainnya
kekebalan tubuh kehamilan
Tabel 2.8 Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2 3
No Gejala/tanda Tipe I Tipe II
Ringan Berat Ringan Berat
1. Kulit Bercak : Bercak : Nodul : Nodul : merah,
merah, merah, merah,panas,nyeri panas, nyeri yang
tebal, tebal, bertambah parah
panas, panas, sampai pecah
nyeri nyeri yang
bertambah
parah
sampai
pecah
2 Saraf tepi Nyeri pada Nyeri Nyeri pada Nyeri pada perabaan
perbaan (-) pada perabaan (-) (+)
perabaan
(+)
3 Keadaan Demam (-) Demam Demam (+) Demam (+)
umum (+)
4 Keterlibatan - - - +
organ lain Terjadi peradangan
pada :
23
mata :
iridocyclitis
testis :
epididimoorchitis
ginjal : nefritis
kelenjar limpa :
limfadenitis
gangguan pada
tulang, hidung,
dan tenggorokan
*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai reaksi
berat
Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe
lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus, bewarna merah
muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke
seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai purpura dan bula kemudian
dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya
terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis
pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh darah lebih dalam.
Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN
seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan
komplemen di dalam dinding pembuluh darah.1
Pengobatan ENL
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, antara lain prednisone.
Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya 15-30 mg/hari dan dosisnya
diturunkan bertahap.
Klofazimin juga dapat dipakai sebagai anti ENL, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi.
Dosisnya antara 200-300mg/hari. Khasiatnya lebih lambat daripada kortikosteroid dan dapat
dipakai untuk melepaskan ketergantungan kortikosteroid.1
24
Pengobatan Reaksi Reversal
Bila reaksi ini tidak disertai neuritis akut, maka tidak perlu diberi obat tambahan. Bila
ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan
berat ringannya neuritis. Biasanya diberikan prednisone 40-60 mg/hari yang dosisnya
diturunkan secara bertahap. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan.
Analgesik dan sedatif kalau diperlukan dapat diberikan.
Pada pasien ini diberikan terapi morbus hansen sesuai dengan regimen MDT-MB dari
WHO dan diberikan kortikosteroid oral untuk mengatasi reaksi ENL yang terdapat pada pasien
ini. Pada pasien ini juga diberikan antihistamin. Antihistamin yang dipilih disini adalah
antihistamin golongan sedatif misalnya Klorfeniramin maleat 2 x 4 mg. Obat ini dipilih karena
murah serta mudah didapat, namun dapat menyebabkan kantuk karena memiliki efek sedatif.1
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai
resiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi kusta,
terutama reaksi reversal, lesi kulit multipel dan dengan saraf yang membesar atau nyeri juga
memiliki resiko tersebut.
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD)
adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan
tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan
syaraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat
25
gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk
melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang
tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula
cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka
atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan
pecah.
WHO Expert Committee on Leprosy membuat klasifikasi cacat pada tangan, kaki dan
mata bagi penderita kusta. Berikut adalah klasifikasi cacat pada penderita kusta:
Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat.
Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat.
Tingkat 0 : tidak ada kelainan atau kerusakan pada mata (termasuk visus).
Tingkat 1 : ada kelainan atau kerusakan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit
berkurang.
Tingkat 2 : ada kelainan mata yang terlihat (misalnya lagoftalmos, iritis, kekeruhan kornea)
dan atau visus sangat terganggu.1
Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain
dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi
fungsinya secara kosmetik dapat diperbaiki.
Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat
tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat
dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).1
26
2.11 PROGNOSIS
Quo ad vitam adalah ad bonam karena MH tidak mengancam nyawa walaupun bersifat
kronik dan membutuhkan pengobatan jangka panjang.
Quo ad fungsionam adalah dubia ad bonam karena MH juga tidak mengakibatkan
gangguan fungsi organ-organ tubuh pada pasien ini, walaupun dapat menyebabkan
deformitas pada beberapa kasus yang terlambat mendapatkan pengobatan.
Quo ad sanationam pada pasien ini adalah dubia ad bonam karena pasien memiliki
pendidikan yang cukup dan mampu memahami pentingnya pengobatan jangka panjang
terhadap penyakitnya.
27
BAB III
KESIMPULAN
Diagnosa pada kusta didasarkan pada diagnostik secara klinis dimana terdapat tiga tanda
kardinal yang khas yaitu lesi kulit yang mati rasa (hipopigmentasi atau eritema yang mati rasa
atau anestesi), penebalan saraf perifer dan ditemukan M. leprae (bakteriologis positif).
Pemeriksaan penunjang dengan pemeriksaan BTA dan menentukan indeks bakteri membantu
membedakan jenis kusta yang diderita. Pengobatan lepra disarankan memakai program Multi
Drugs Therapy (MDT), yang direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program
MDT adalah mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus
obat (drop-out rate) dan ketidaktaatan penderita. Komplikasi utama yang ditakutkan adalah
kecacatan bagian tubuh akibat hilangnya sensitifitas terutama pada kulit. Prognosis penyakit
ini dengan adanya obat-obat kombinasi, menjadi lebih baik, dan pengobatannya menjadi lebih
sederhana.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe – Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam:
Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: Balai
4. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Fritzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 6th
5. World Health Organization. WHO model prescribing information: drug used in leprosy.
29