Anda di halaman 1dari 18

2.1.1.

Vesika Urinaria

Gambar 2.1 Vesika urinaria (Netter, 2011)

Vesika urinaria atau yang sering disebut kandung kemih

merupakan viscera pelvis berongga yang tersusun oleh otot polos,

lamina promina, submukosa dan mukosa. Kandung kemih memiliki

bentuk menyerupai buah pir (kendi) dan dilapisi oleh lapisan mukosa

sel epitel transional, muskulus yang tebal (detrusor muscle), jaringan

fibrous (kecuali pada bagian superior dibentuk oleh peritoneum

parietal).

Kandung kemih terletak di dalam panggul besar, sekitar bagian

posterosuperior dari simphysis pubis. Pada laki-laki terletak dibagian

anterior dari rectum sedangkan pada wanita terletak disebelah anterior

vagina dan uterus. Kandung kemih memiliki tiga bentuk membuka pada

daerah triangular yang disebut sebagai trigone.


Pada saat kosong, vesika urinaria akan terlihat kolaps dan akan

tampak rugae-rugae (kerutan). Apabila terisi penuh kandung kemih

akan menegang atau membesar dan rugae akan menghilang. Bentuk,

ukuran dan posisi vesika urinaria bervariasi tergantung dari jumlah

urine yang terdapat di dalamnya. Secara umum volume kandung kemih

berkisar antara 350 – 500 ml. Kandung kemih berfungsi sebagai tempat

penampungan sementara (reservoa) urine.

2.1.2. Prostat

Gambar 2.2 Prostat (Netter, 2011)

Ukuran prostat kecil dan letaknya ke arah posterior dan inferior

dari simphysis pubis. Selain bentuknya yang kecil, kelenjar prostat

juga menyerupai kerucut dengan bagian dorsalnya berhimpit dengan

kandung kemih serta bagian apeksnya berhubung dengan bagian

bawah pelvis. Ukuran bagian transversalnya ialah sekitar 1,5 inchi

(3,75 cm) serta bagian anteroposterior sepanjang 1 inchi (2,5 cm).


Prostat hanya ditemukan pada laki-laki dan berfungsi untuk motalitas

semen selama reproduksi.

2.1.3. Urethra

Gambar 2.3 Urethra (Netter, 2011)

Urethra merupakan saluran sempit yang terdiri dari mukosa

membrane dengan muskulus yang berbentuk spinkter pada bagian

bawah dari kandung kemih. Pada vesikourethra junction terdapat

penebalan dari muskulus detrusor yang disebut internal urethral

sphincter (involuntary). Sedangkan eksternal urethral sphincter

(voluntary) dibentuk oleh muskulus skeletal yang mengelilingi urethra


melalui diafragma urogenital. Dindingnya terdiri dari tiga lapisan

yaitu: epitel transional, columnair pseudostratified dan squamous

stratified. Letak urethra di atas dari orivisium internal urethra pada

kandung kemih dan terbentang sepanjang 1,5 inchi ( 3,75 cm) pada

wanita dan 7-8 inchi (18,75 cm) pada pria.

Urethra pria dibagi atas :

1. Urethra Posterior, dibagi menjadi:

a. Pars prostatika : dengan panjang sekitar 2,5 cm, berjalan

melalui kelenjar prostate.

b. Pars membranacea : dengan panjang sekitar 2 cm, berjalan

melalui diafragma urogenital antara prostate dan penis

2. Urethra Anterior, dibagi menjadi:

a. Pars bulbaris : terletak di proksimal,merupakan bagian urethra

yang melewati bulbus penis.

b. Pars pendulum /cavernosa/spongiosa: dengan panjang sekitar

15 cm, berjalan melalui penis (berfungsi juga sebagai transport

semen).

c. Pars glandis: bagian urethra di gland penis. Urethra ini sanga

pendek dan epitelnya sangat berupa squamosa ( squamous

compleks noncornificatum)

Urethra berfungsi untuk transport urine dari kandung kemih ke

meatus eksterna, urethra merupakan sebuah saluran yang berjalan dari

leher kandung kemih hingga lubang air. (Pearce, 1999).


2.2. Patologi Striktur Urethra

Striktur urethra adalah penyempitan lumen urethra akibat adanya

jaringan parut dan kontraksi (C. Smeltzer, Suzanne; 2002 hal 1468). Adanya

jaringan parut dan kontraksi ini yang menyebabkan penderita mengalami

kesulitan saat berkemih atau bahkan tidak bisa berkemih.

Striktur urethra dapat terjadi karena :

1. Kelainan Kongenital, misalnya kongenital meatus stenosis, klep urethra

posterior

2. Operasi rekonstruksi dari kelainan kongenital seperti hipospadia,

epispadia

3. Trauma, misalnya fraktur tulang pelvis yang mengenai urethra pars

membranasea; trauma tumpul pada selangkangan (straddle injuries) yang

mengenai urethra pars bulbosa, dapat terjadi pada anak yang naik sepeda

dan kakinya terpeleset dari pedal sepeda sehingga jatuh dengan urethra

pada bingkai sepeda pria; trauma langsung pada penis; instrumentasi

transurethra yang kurang hati-hati (iatrogenik) seperti pemasangan

kateter yang kasar, fiksasi kateter yang salah.

4. Post operasi, beberapa operasi pada saluran kemih dapat menimbulkan

striktur urethra, seperti operasi prostat, operasi dengan alat endoskopi.

5. Infeksi, merupakan faktor yang paling sering menimbulkan striktur

urethra, seperti infeksi oleh kuman gonokokus yang menyebabkan

uretritis gonorrhoika atau non gonorrhoika telah menginfeksi urethra


beberapa tahun sebelumnya namun sekarang sudah jarang akibat

pemakaian antibiotik, kebanyakan striktur ini terletak di pars

membranasea, walaupun juga terdapat pada tempat lain; infeksi

chlamidia sekarang merupakan penyebab utama tapi dapat dicegah

dengan menghindari kontak dengan individu yang terinfeksi atau

menggunakan kondom.

Gambar 2.4 Derajat Penyempitan Urethra (Purnomo, 2003)

Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur urethra dibagi

menjadi tiga tingkatan, yaitu derajat:

1. Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen urethra.

2. Sedang: jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen urethra

3. Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen urethra

Pada penyempitan derajat berat kadang kala teraba jaringan keras di

korpus spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.

2.3. Bipolar Urethrocystography

2.3.1. Pengertian
Pemeriksaan radiologi untuk melihat fungsi dari urethra dan

vesica urinaria yang mengalami gangguan berupa penyempitan dan

sumbatan sehingga menimbulkan gangguan pada urethra dan vesica

urinaria. Dikatakan Bipolar Urethrocystografi karena teknik pemasukan

kontras media melalui dua saluran, yaitu saluran urethra dan kandung

kemih yang dilakukan secara cystotomi. Cystotomi adalah pembentukan

lubang kedalam kandung kemih dengan cara membuat lubang pada

kulit supra pubis melalui pembedahan. Pembuatan lubang ini dilakukan

dengan tujuan untuk memasang cystofix sehingga pasien dapat

melakukan miksi.

Cystofix adalah suatu kateter sementara yang dipasang pada

daerah supra pubis dan berguna untuk mengalirkan urin dari kandung

kemih. Teknik pemasukan bahan kontras secara bipolar (antegrade dan

retrograde) dilakukan karena adanya kelainan atau gangguan yang

menghalangi urine dari kandung kemih menuju urethra, sehingga jika

kontras media hanya dimasukkan melalui urethra kemungkinan besar

kontras media tidak akan sampai masuk ke kandung kemih.

2.3.2. Indikasi

1. Striktur urethra

Striktur urethra adalah penyempitan lumen urethra akibat adanya

jaringan parut yang dialami dinding urethra dan terjadinya

kontraksi.
2. Retensi urine

Kesulitan dalam berkemih.

3. Kelainan congenital

Kelainan bawaan dari lahir, hal ini jarang terjadi.

4. Fistule

Saluran abnormal yang terbentuk antara dua buah organ yang

seharusnya tidak berhubung.

5. Tumor

Lesi padat yang terbentuk akibat pertumbuhan sel yang tidak

normal.

2.3.3. Kontra Indikasi

1. Cystitis akut

Peradangan akut pada kandung kemih yang biasanaya disebabkan

oleh infeksi bakteri.

2. Alergi terhadap media kontras

3. Urethritis akut

Peradangan akut pada saluran kemih.

2.3.4. Persiapan Alat dan Bahan

1. Pesawat sinar x

2. Kaset dan film ukuran 24 x 30 cm beserta marker

3. Media kontras urografin

4. Gliserin
5. Kateter

6. Spuit

7. Kassa steril

8. Bengkok atau mangkuk steril

9. Kapas alcohol

10. Plester

11. Baju pasien

12. Handscoon

2.3.5. Persiapan Pasien

1. Penjelasan tindakan yang akan dilaksanakan dan penandatanganan

inform consent

2. Tidak ada persiapan khusus

3. Vesica urinaria dikosongkan semaksimal mungkin

2.3.6. Pemasukkan Media Kontras

1. Pasien tidur telentang di atas meja pemeriksaan

2. Daerah orificium urethra diolesi dengan gliserin

3. Masukkan media kontras melalui kateter sebanyak 12 cc untuk

urethrography

4. Lakukan pemotretan dengan beberapa proyeksi

5. Masukkan media kontras sebanyak 150 – 500 cc melalui kateter

cystotomi untuk cystography

6. Lakukan pemotretan dengan beberapa proyeksi


2.4. Teknik Radiografi Bipolar Urethrocystography

2.4.1. Plain Foto

Dilakukan dengan foto pelvis tampak urethra dengan proyeksi AP.

Tujuan plain foto :

- Ketepatan positioning

- Koreksi faktor eksposi

- Melihat kemungkinan adanya patologi lain pada urethra

1. Posisi pasien

Pasien tidur telentang di atas meja pemeriksaan

Gambar 2.5 Posisi pasien plain foto posisi AP (Bontrager, 2014)

2. Posisi objek

a. MSP tubuh di tengah meja pemeriksaan

b. Kedua tangan diletakkan di samping tubuh

c. Daerah pelvis dan urethra ditempatkan persis di pertengahan

meja pemeriksaan serta kedua kaki direnggangkan

d. Batas bawah : tampak urethra

3. Pengaturan sinar dan eksposi


a. Arah sinar/central ray (CR) : vertikal tegak lurus kaset

b. Titik bidik/central pint (CP) : 5 cm diatas symphysis pubis

c. Focus Film Distance (FFD) : 100 cm

d. Film dan kaset khusus fluoroscopy dengan ukuran 24 x 30 cm

e. Eksposi : ekspirasi tahan napas

4. Kriteria radiograf

Tampak gambaran tulang pelvis, kandung kemih dan urethra.

2.4.2. Proyeksi AP

1. Posisi pasien

Pasien tidur telentang di atas meja pemeriksaan

Gambar 2.6 Posisi pasien proyeksi AP (Merrill’s, 2010)

2. Posisi objek

a. MSP tubuh di tengah meja pemeriksaan

b. Kedua tangan diletakkan di samping tubuh

c. Daerah pelvis dan urethra ditempatkan persis di pertengahan

meja pemeriksaan serta kedua kaki direnggangkan

d. Batas bawah : tampak urethra

3. Pengaturan sinar dan eksposi


a. Arah sinar/central ray (CR) : 10o – 15o caudad

b. Titik bidik/central pint (CP) : 5 cm diatas symphysis pubis

c. Focus Film Distance (FFD) : 100 cm

d. Film dan kaset khusus fluoroscopy dengan ukuran 24 x 30 cm

e. Eksposi : ekspirasi tahan napas

Gambar 2.7 Hasil radiograf posisi AP (Merrill’s, 2010)

4. Kriteria radiograf

Tampak gambaran tulang pelvis (ilium, ischium, sacrum dan

symphisis pubis). Tampak rongga pelvis, tampak kandung kemih

dan urethra yang terisi media kontras dengan kandung kemih tidak

superposisi dengan symphisis pubis.

2.4.3. Proyeksi Oblik (RPO)

1. Posisi pasien

Pasien tidur telentang di atas meja pemeriksaan dan daerah panggul

dimiringkan 35 – 40o.
Gambar 2.8 Posisi pasien RPO (Merrill’s, 2010)

2. Posisi objek

a. Daerah panggul diatur miring kira-kira 35 – 40o ke kanan

dengan kaki kiri ditekuk sebagai tumpuan namun tidak

menutupi gambaran.

b. Daerah pelvis dan urethra ditempatkan persis di pertengahan

meja pemeriksaan.

3. Pengaturan sinar dan eksposi

a. Arah sinar/central ray (CR) : vertical tegak lurus kaset

b. Titik bidik/central pint (CP) : 5 cm di atas symphysis

pubis dan 5 cm ke arah medial dari SIAS

c. Focus Film Distance (FFD) : 100 cm

d. Film dan kaset khusus fluoroscopy dengan ukuran 24 x 30 cm

e. Eksposi : ekspirasi tahan napas


Gambar 2.9 Hasil radiograf proyeksi RPO (Merrill’s, 2010)

4. Kriteria radiograf

Tampak kontras mengisi urethra (Pars cavernosa, Pars

membranecea, pars prostatica).

2.4.4. Proyeksi Lateral (Optional)

1. Posisi pasien

Pasien tidur miring di salah satu sisi

Gambar 2.10 Posisi pasien lateral kiri (Optional) (Bontrager, 2014)

2. Posisi objek

a. Kedua lutut ditekuk sebagai fiksasi dan kedua lutut diberi

bantalan
b. Daerah pelvis berada tepat pada pertengahan meja pemeriksaan

3. Pengaturan sinar dan eksposi

a. Arah sinar/central ray (CR) : vertikal tegak lurus kaset

b. Titik bidik/central pint (CP) : 5 cm diatas menuju ke belakang

symphysis pubis

c. Focus Film Distance (FFD) : 100 cm

d. Ukuran film dan kaset khusus fluoroscopy ukuran 24 x 30 cm

e. Eksposi : ekspirasi tahan napas

Gambar 2.11 Hasil radiograf proyeksi lateral (Merrill’s, 2010)

4. Kriteria radiograf

a. Hip joint dan femur superposisi

b. Tampak vesica urinaria terisi dengan kontras

2.5. Proteksi Radiasi

2.5.1. Proteksi bagi pasien

1. Pemeriksaan dengan sinar-x hanya dilakukan atas permintaan

dokter

2. Mengatur luas lapangan pemeriksaan sesuai dengan kebutuhan


3. Waktu penyinaran sesingkat mungkin

2.5.2. Proteksi bagi petugas

1. Tidak menggunakan berkas sinar–x yang mengarah ke petugas

2. Berlindung dibalik tabir saat melakukan eksposi

3. Menggunakan alat monitoring radiasi secara continue selama

bertugas

Ballinger, P. W. 2003. Merrill’s Atlas of Radiographic Positioning and

Procedures, Volume Two, Tenth Edition. St. Louis : CV Mosby Company

Bontrager, Kenneth L. 2014. Textbook of Radiographic Positioning and Related

Anatomy, Eighth Edition. St. Louis : Mosby Elsevier

Netter, Frank H. 2011. Atlas of Human Anatomy, Fifth Edition. Philadelphia :

Saunders Elsevier

Pearce, Evelyn C. 1999. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : PT.

Gramedia Pustaka Utama

Purnomo, Basuki B. 2003. Dasar Dasar Urologi, Edisi Dua. Jakarta : Sagung

Seto.

Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzane. 2002. Keperawatan Medical Bedah. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai