Anda di halaman 1dari 22

JOURNAL READING

“MANAJEMEN RESUSITASI CAIRAN PADA PASIEN LUKA BAKAR:


UPDATE”

Oleh :

Sarah Jeihan Zaky Arafat G4A018074

Pembimbing :

dr. Ahmad Fawzy M, Sp.BP

SMF ILMU BEDAH RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2019
2

LEMBAR PENGESAHAN

“MANAGEMEN RESUSITASI CAIRAN PADA PASIEN LUKA BAKAR:


UPDATE”

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian bedah


RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Disusun oleh :

Sarah Jeihan Zaky Arafat G4A018074

Telah disetujui dan disahkan

Pada tanggal, Juli 2019

Mengetahui

Pembimbing :

dr. Ahmad Fawzy M., Sp.BP


3

Manajemen Resusitasi Cairan Pada Pasien Luka Bakar: Update


P. Guilabert1,*, G. Usua1, N. Martin1, L. Abarca1, J.P. Barret2 dan M.J. Colomnia1

Abstrak

Sejak 1968, ketika Baxter dan Shires mengembangkan formula Parkland, hanya ada
sedikit kemajuan dalam bidang terapi cairan untuk resusitasi luka bakar, meskipun
dengan adanya perkembangan monitoring hemodinamik, terbentuknya konsep 'goal-
directed therapy', dan pengembangan larutan koloid dan kristaloid terbaru. Pasien
luka bakar menerima cairan dalam jumlah banyak di jam-jam awal terjadinya luka
dibandingkan pasien trauma lain. Resusitasi awal dengan kristaloid karena adanya
peningkatan permeabilitas kapiler di 24 jam pertama. Setelah itu, beberapa koloid,
tapi tidak semua, bisa diberikan. Sejak munculnya peringatan ‘Komite Assessment
Risiko Pharmacovigilans Risk Assesment Committee’ dari ‘Europian Medicine
Agency’ tentang hydroxyethyl starches (HES), larutan yang mengandung komponen
ini tidak direkomendasikan untuk luka bakar. Tapi pertanyaannya adalah: apa yang
sebenarnya kita ketahui tentang resusitasi cairan pada luka bakar? Untuk memberikan
jawaban, kami membuat sebuah review non-sistematis untuk mengklarifikasi
bagaimana cara untuk menghitung jumlah cairan yang diperlukan, bukti terkini
tentang larutan-larutan yang digunakan, dan larutan apa yang paling sesuai untuk
pasien luka bakar berdasarkan pengetahuan yang ada.

Terapi cairan dan elektrolit untuk resusitasi luka bakar dimulai di tahun 1921
ketika Underhill mempelajari korban kebakaran Teater Rialto dan menemukan bahwa
cairan lepuhan memiliki komposisi sama dengan plasma. Pada tahun 1942, Cope dan
Moore mengembangkan konsep edem luka bakar dan memperkenalkan formula body-
weight burn budget. Grafik lain pun dikembangkan: the Wallace rule of nines, the
rule of the hand, dan yang saat ini dianggap paling tepat, grafik Lund and Browder.
Akhirnya, di 1968, Baxter dan Shires mengembangkan formula Parkland, yang saat
ini paling sering digunakan untuk resusitasi cairan awal untuk pasien luka bakar.
4

Sesuai dengan indikasi dari program "Advanced Burn Life Support” oleh "American
Burn Association", formula ini sekarang menetapkan penggunaan 2-4 mL Ringer
Laktat/kgBB/persentase luas luka bakar untuk dewasa. Hal ini diharapkan untuk
beradaptasi dengan perubahan permeabilitas vaskular untuk menghindari kehilangan
cairan berlebih (fenomena 'fluid creep'), dan jumlahnya harus dikoreksi sesuai dengan
pengeluaran urin, yang pada akhirnya akan menyebabkan variabilitas yang bermakna
dalam jumlah cairan yang diberikan. Terkadang, proses ini tidak seluruhnya tepat
karena kalkulasi permukaan tubuh tidak selamanya dapat diandalkan (misalnya
pasien obesitas).
Setelah bertahun-tahun mempelajari patofisiologi pasien luka bakar dan hasil
akhirnya, sekarang sudah jelas bahwa resusitasi cairan awal sangat penting untuk
keberlangsungan hidup pasien luka bakar. Sejak penerapan penggantian cairan yang
efisien dan dinamis, lebih sedikit pasien meninggal dalam 24-48 jam pertama. Hal
yang menjadi prioritas adalah mempertahankan volume intravaskuler dan perfusi
organ meskipun resusitasi cairan yang intens dapat menyebabkan edem. Ketika
resusitasi suboptimal, kedalaman luka bakar meningkat dan periode syok lebih
panjang, mengakibatkan tingginya mortalitas. Namun, bisakah kita yakin bahwa
resusitasi dilakukan dengan tepat?
Kami menemukan fakta yang mengejutkan bahwa meskipun dengan adanya
kemajuan monitoring hemodinamis dan terbentuknya konsep 'goal-directed therapy',
masih banyak unit luka bakar yang mendasarkan resusitasi mereka pada formula yang
dibuat 40 tahun yang lalu. Pada 1991, Dries dan Waxman telah menyatakan bahwa
resusitasi yang hanya berdasarkan pada pengeluaran urin dan tanda vital
kemungkinan besar suboptimal. Terdapat juga fakta mengejutkan bahwa setelah
adanya studi terbaru tentang hydroxyethyl starches (HES), pasien luka bakar
dikategorikan bersama pasien sepsis di mana pemberian starch sebaiknya dihindari,
meskipun tidak ada studi yang mempelajari pada pasien dengan luka bakar berat.
Pertimbangan ini membuat kami membentuk tinjauan ini.
Tujuan review ini tentang resusitasi cairan awal untuk pasien luka bakar adalah
untuk menyediakan gambaran dari data terbaru tentang dua pertanyaan penting:
5

bagaimana cara terbaik untuk menentukan kebutuhan cairan pasien luka bakar, dan
apa cairan yang paling optimal digunakan untuk populasi pasien ini? Alasan kenapa
pasien luka bakar memerlukan cairan dalam jumlah banyak pada resusitasi awal
bukan subyek review ini, karena perubahan patofisiologi yang terjadi sangat luas dan
membutuhkan review tersendiri.

Metode
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kami melakukan pencarian bibliografis
dua-fase untuk artikel yang dipublikasikan sejak tahun 2000, yaitu masa ketika
komunitas sains terfokus pada minat yang terbarui tentang terapi cairan, konsep baru
seperti 'goal-directed therapy’ terbentuk, beberapa produk seperti starch dari generasi
sebelumnya sudah tidak digunakan, dan terjadinya retraksi Boldt.
Pertama, kami mengidentifikasi guideline klinis yang terkait, review sistematis,
dan perpaduan klinis dokumen dalam literatur sains, seperti laporan evaluasi
teknologi kesehatan. Pada fase pertama ini, kami merujuk pada database elektronik
MEDLINE, menggunakan PubMed dan Cochrane Database of Systematic Reviews.
Strategi pencarian ini termasuk istilah berikut: luka bakar, resusitasi luka bakar, terapi
cairan, koloid, gelatin, kristaloid, hydroxyethyl starch, albumin, larutan isotonik dan
hipotonik, saline, larutan Ringer, Ringer Laktat, Ringer Asetat, monitoring,
monitoring hemodinamik, goal-directed therapy, laktat, defisit dasar, parameter
metabolik luka bakar, klirens laktat, sistematis, review, percobaan terkontrol
terandomisasi percobaan klinis terkontrol, dan meta-analisis.
Pada fase kedua, kami secara spesifik mencari studi individual, mengutamakan
percobaan terkontrol terandomisasi, tapi juga meliputi studi observasional, diambil
dari MEDLINE. Hanya studi pada orang dewasa dan berbahasa Inggris, Prancis, atau
Spanyol yang dipilih. Pencarian ini dilakukan pada November 2014, dan artikel yang
ditarik sampai tanggal itu tidak dipergunakan. Kriteria GRADE digunakan untuk
mengevaluasi kualitas saintifik dari semua studi yang ditemukan.
Selama periode review, ditemukan 13 studi tentang pasien goal-directed
therapy, dan 11 di antaranya dimasukkan dalam review ini. Satu studi dilakukan pada
6

pasien pediatrik dan satu dituliskan dalam bahasa selain yang sudah disebutkan di
atas.
Tentang kristaloid, kami mereview 42 artikel, yang dipergunakan hanya dua.
Artikel lain tidak digunakan karena: 17 tidak memenuhi kriteria pencarian, 4
merupakan review, 8 ditulis dalam bahasa lain, 5 adalah panduan, protokol, guideline,
deskripsi praktik klinis sehari-hari, atau survey, dua dilakukan pada pasien pediatrik,
dan 4 merupakan percobaan eksperimental pada hewan.
Sehubungan dengan hydroxyethyl starch, kami pertama-tama menganalisis
studi yang dilakukan pada stach generasi akhir yang selanjutnya menciptakan
rekomendasi untuk menghentikan penggunaan tiga substansi untuk pasien luka bakar,
selanjutnya melakukan pencarian tentang penggunaan HES untuk resusitasi luka
bakar. Dua artikel yang menginvestigasi penggunaan HES pada pasien luka bakar
dimasukkan, sementara 7 review non-sistematis, 9 artikel yang tidak memenuhi
kriteria, 3 meliputi pasien yang sakit keras, dan 4 dalam bahasa lain tidak digunakan.
Delapan belas artikel tentang penggunaan albumin dan hanya 4 yang dipakai.
Kami tidak memasukkan 3 review non-sistematis, 2 artikel terfokus pada
hipoalbuminemia yang tidak berkaitan dengan terapi penggantian awal, 1 pasien
pediatrik, 1 di hewan, 1 studi eksperimental, 4 adalah protokol, guideline, atau
deskripsi dari praktik klinis sehari-hari, dan 1 dianggap berisiko tinggi bias. Studi
terakhir didasarkan pada informasi database yang mencatat terapi albumin sebagai
"prosedur spesial". Studi ini menganggap bahwa pasien yang tidak diberikan albumin
hanya diberi kristaloid; larutan koloid lain tidak dipertimbangkan. Terlebih, terapi
cairan tidak terlihat mengikuti protokol yang sudah ada; sehingga, ada kemungkinan
bahwa pasien yang lebih parah yang tidak merespon terhadap kristaloid adalah pasien
yang diberikan terapi albumin.
7

Terapi Cairan Untuk Luka Bakar


Menentukan jumlah awal terapi cairan untuk pasien luka bakar
Pasien luka bakar menerima cairan dalam jumlah yang lebih banyak pada 24
jam pertama dibandingkan pasien trauma lainnya karena perbedaan mekanisme
patofisiologi luka. Syok luka bakar adalah kombinasi syok hipovolemik dan sel,
dicirikan oleh perubahan mikrovaskular dan hemodinamik yang spesifik. Sebagai
tambahan dari lesi lokal, luka bakar menstimulasi pelepasan mediator inflamasi yang
menginduksi respons inflamasi sistemik yang intens, menyebabkan adanya
peningkatan permeabilitas vaskular baik pada jaringan yang sehat maupun yang
terluka. Peningkatan permeabilitas ini menimbulkan perpindahan cairan dalam
jumlah besar dari ruang intravaskular ke interstitial, menyebabkan edem,
hipovolemia, dan hemokonsentrasi. Perubahan ini, bersamaan dengan peningkatan
resistensi vaskular dan penurunan kontraktilitas kardiak akibat pelepasan TNF dan
IL-1, bisa memicu terjadinya syok, tergantung tingkat keparahan lesi. Jumlah
perlukaan akibat inhalasi juga berefek pada perjalanan penyakit, kebutuhan cairan,
dan prognosis pasien. Tujuan utama pemberian cairan pada trauma termal adalah
untuk menjaga dan mengembalikan perfusi jaringan dan mencegah iskemia, tapi
resusitasi dipersulit dengan edem dan perpindahan cairan transvaskular sebagai ciri-
ciri dari kondisi ini.
Mengingat bahwa jumlah cairan yang diperlukan secara langsung berhubungan
dengan keparahan luka, pasien dengan luka bakar mayor adalah yang paling sulit
untuk di atasi. Ada beberapa definisi dari luka bakar mayor sesuai dengan area luka
bakar (burn surface area/BSA), jumlah asap yang dihirup, usia pasien dan
komorbiditas, dan apakah luka ini merupakan luka sengatan listrik atau bukan. Baxter
adalah yang pertama menunjukkan bahwa pasien dengan BSA >30% mengalami
penurunan potensial transmembran sistemik baik pada sel yang terbakar maupun
tidak. Pada unit kami, luka bakar mayor adalah pasien dengan minimal BSA 20%,
karena resusitasi intravena yang ketat diperlukan utnuk pasien tersebut. Pilihan yang
tepat untuk terapi cairan sangat penting pada luka bakar mayor karena penggantian
8

yang tidak sesuai bisa mengakibatkan banyak efek yang merusak, sebagaimana
didiskusikan di bawah.
Resusitasi awal menggunakan kristaloid. Meskipun telah nampak bahwa larutan
tersebut memiliki efek ekspansi volume yang lebih kecil dibanding koloid, karena
adanya peningkatan permeabilitas kapiler dalam 24 jam pertama, koloid akan
terbebas ke ruang ekstravaskular, dengan menggunakan efek onkotik, dan
menyebabkan augmentasi paradoksal dari hal yang sering disebut sebagai "third
space". Meskipun studi terbaru mengklaim bahwa peningkatan permeabilitas dimulai
pada 2 jam setelah terbakar dan berlangsung selama 5 jam, penggunaan koloid pada
pasien luka bakar masih kontroversial.

Gambar 1. Patofisiologi Syok Luka Bakar

Terapi cairan goal-directed


Terapi cairan goal-directed adalah konsep penting pada resusitasi cairan awal
untuk luka bakar mayor sejak publikasi studi retrospektif oleh Dries dan Waxman di
tahun 1991. Penulis tersebut mengobservasi bahwa tanda vital dan pengeluaran urin
9

menunjukkan sedikit variasi setelah penggantian carian, ketika perubahan yang


signifikan terlihat pada parameter yang diukur oleh kateter arteri pulmo (pulmonary
artery catheterization/PAC). Penemuan ini membentuk kesimpulan bahwa resusitasi
cairan menurut tanda vital mungkin kurang sesuai.
Sejak saat itu, cardiac output telah dianggap sebagai salah satu pengukuran
paling penting sebagai panduan terapi volume, namun hanya 8% unit luka bakar yang
mendasarkan planning resusitasi awal mereka pada parameter ini karena diperlukan
PAC untuk pengukurannya. Namun, selama 15 tahun terakhir, beberapa artikel telah
melaporkan tentang adanya pendekatan baru untuk monitoring volume dan terapi
penggantian untuk resusitasi cairan goal-directed berdasarkan termodilusi
transpulmoner (transpulmonary thermodilutiob/TTD) dan analisis gelombang tekanan
arteri, yang kurang invasif dibandingkan PAC.
Namun, apakah teknik baru ini bisa digunakan pada resusitasi luka bakar?
Apakah telah tervalidasi untuk pasien luka bakar? Parameter apa yang perlu
digunakan sebagai titik akhir? Dan apakah mereka meningkatkan outcome terapi?
Sebagai hasil dari perubahan temperatur yang besar dan hipotermia yang terkait
yang dialami pasien luka bakar, penggunaan metode termodilusi tetap tidak pasti
dalam populasi ini sampai di tahun 2005, sebuah publikasi artikel memberikan hasil
yang mendukung penggunaannya. Pada studi prospektif yang meliputi 50 pasien
dengan BSA >25% dan mendapatkan ventilasi mekanik, 750 penghitungan
dilakukan. Studi menyimpulkan bahwa variabilitas <10% untuk cardiac output,
volume darah intrathoraks (intrathoracic blood volume/ITBV), dan volume darah
total, dan di antara 9,2 – 12,9% untuk cairan paru extravaskular (extravascular lung
water/EVLW). Sebagai tambahan, tidak ada korelasi suhu tubuh dan
reproduksibilitas dari penghitungan ini.
Dua studi observasional telah membandingkan hasil pemeriksaan yang didapat
dari PAC dan TTD, dan studi lain membandingkan ekokardiograf transesofageal
(transoesophageal echocardiography/TEE), TTD, dan PAC. Studi pertama dilakukan
pada 23 pasien, membandingkan nilai cardiac output dan menyimpulkan bahwa
meskipun hasil yang diperiksa oleh TTD sedikit lebih tinggi, perbedaannya tidak
10

cukup penting. Studi kedua pada 14 pasien, memvalidasi parameter index stroke
volume dan index resistensi vaskular sistemik untuk cardiac output rendah dan
normal menggunakan TTD, dan melaporkan korelasi baik dengan penghitungan yang
didapat dari PAC konvensional.
Pada tahun 2009, Bak et al, mempublikasikan studi yang mengevaluasi variabel
hemodinamik yang dihitung oleh TEE, TTD, dan PAC selama masa resusitasi awal
sesuai formula Parkland. Penulis melaporkan tidak adanya perbedaan signifikan di
antara metode-metode tersebut. Mereka juga menemukan bahwa index end-systolic
ventrikel kiri, end-diastolic ventrikel kiri, dan volume end-diastolik global
suboptimal 12 jam setelah perlukaan dan kembali normal setelah 24 jam. Terlebih
lagi, baik EVLW dan ITBV meningkat 23 jam setelah perlukaan.
Mengenai TEE, hanya ada dua studi tambahan dipublikasikan pada pasien luka
bakar selama masa pembuatan review ini, satu mendeskripsikan hasil penghitungan
dan hubungannya dengan cardiac output dan satu lagi menggunakan TEE sebagai
teknik diagnostik pada pasien luka bakar dengan bakterimia atau hipotensi. Meskipun
TEE terlihat aman dan tidak invasif, studi lebih lanjut diperlukan untuk memvalidasi
penggunaannya untuk resusitasi awal pasien luka bakar.
Beberapa penulis terfokus dalam menentukan parameter mana yang sebaiknya
digunakan sebagai panduan resusitasi luka bakar mayor. Dalam studi observasional
yang dilakukan tahun 2000, Holm et al, melaporkan bahwa indeks kardiak dan
delivery oksigan yang dievaluasi di jam-jam pertama berguna untuk tujuan ini pada
penyintas luka bakar mayor. Meskipun begitu, temuan ini tidak adekuat untuk
mengindikasikan penggunaan parameter ini sebagai titik akhir.
Pada tahun yang sama, Holm et al, mempublikasikan studi observasional lain,
meliputi 24 pasien yang nilai ITBV-nya dievaluasi sebagai titik akhir resusitasi. Para
penulis berkesimpulan bahwa pasien mendapat lebih banyak cairan menggunakan
parameter ini dibandingkan dengan perkiraan menggunakan formula Parkland, tanpa
perbedaan di EVLW. Peningkatan ITBV memperbaiki delivery oksigen dan
menunjukkan hubungan baik dengan delivery oksigen dan indeks kardiak.
11

Küntscher et al, melakukan studi observasional, di mana penghitungan ITBV


dan EVLW yang didapatkan menggunakan teknik dilusi indikator tunggal dan
indikator ganda dibandingkan satu sama lain. Para penulis menyimpulkan bahwa
teknik dilusi indikator tunggal kurang akurat untuk menilai ITBV dan EVLW pada
syok luka bakar.
Empat studi prospective randomized, tiga menggunakan TTD dan satu
menggunakan monitoring hemodinamik LiDCO®, telah membandingkan hasil dari
resusitasi awal yang dilakukan sesuai formula Parkland/Baxter dengan terapi goal-
directed yang dilakukan sesuai parameter preload.
Yang pertama oleh Holm et al, dilakukan pada 50 pasien, menemukan bahwa
pemberian cairan awal lebih tinggi pada kelompok TTD dengan resusitasi
berdasarkan nilai ITBV. Pengeluaran urin juga lebih banyak, namun tidak ada
perbedaan signifikan di antara kelompok-kelompok mengenai kegagalan ginjal. Tidak
ada hubungan yang ditemukan antara EVLW dengan volume yang dimasukkan, dan
tidak ada perbedaan signifikan pada preload, cardiac output, morbiditas, atau
mortalitas.
Csontos et al, membandingkan nilai skor disfungsi organ multipel (multiple
organ dysfunction score/MODS) dan saturasi oksigen vena sentral (ScvO2) selama 3
hari pertama pasca perlukaan di antara pasien yang diterapi dengan formula Parkland
dan pasien yang diterapi sesuai penilaian ITBV oleh TTD. Pemberian cairan lebih
besar pada kelompok ITBV pada hari pertama, dan ScvO2 ditemukan lebih tinggi. Di
kelompok Parkland, skor MODS lebih tinggi di jam ke 48 dan 72, dan parameter
hemodinamik yang umum (pengeluaran urin dan tekanan vena sentral) tidak
menunjukkan korelasi dengan ScvO2 atau parameter hemodinamik lain.
Pada tahun 2013, Aboelatta dan Abdelsalam melakukan percobaan klinis
dengan 30 pasien dan membandingkan resusitasi awal dengan formula Parkland vs
resusitasi yang dipandu TTD. Tujuannya adalah ITBV >800 ml/m2 dan indeks
kardiak >3,5 liter/min/m2, dengan pemberian cairan yang terbatas pada pasien dengan
EVLW >10 mL/kg. Kelompok TTD mendapat lebih banyak cairan dalam 72 jam
pertama, dan pengeluaran urin lebih tinggi, namun rerata tekanan darah arteri dan
12

heart rate lebih rendah. Tidak ada perbedaan di tekanan vena sentral, lama tinggal di
rumah sakit, atau mortalitas. Perlu diketahui, para penulis menekankan kesulitan atau
bahkan ketidak mungkinan untuk mencapai parameter normovolemik dalam 24 jam
pertama setelah luka bakar dan menyatakan kemungkinan untuk mendefinisikan
ulang parameter itu untuk pasien tipe ini.
Pada tahun 2013, Tokarik et al mempublikasikan satu-satunya studi dengan
hasil berbeda dengan studi sebelumnya. Studi ini adalah percobaan klinis pada 21
pasien yang membandingkan resusitasi awal menurut formula Parkland dengan
resusitasi yang dipandu dengan parameter dinamis preload yang dihitung dengan
sistem LiDCO®. Ini adalah satu-satunya studi yang jumlah pemberian kristaloidnya
lebih rendah pada kelompok terapi goal-directed pada 24 jam pertama, namun tidak
ada perbedaan signifikan di antara kelompok mengenai volume total larutan resusitasi
yang digunakan atau mengenai parameter lain. Perlu diketahui bahwa alat yang
digunakan berbeda dari studi sebelumnya, dan belum tervalidasi pada pasien luka
bakar.
Setelah mereview hasil-hasil tersebut, tampaknya beralasan untuk mengatakan
bahwa TTD memiliki peran dalam resusitasi luka bakar, dengan tetap
mempertimbangkan bahwa studi yang ada dilakukan pada sample yang sedikit, dan
hasilnya didapatkan dalam jangka waktu singkat dan didasarkan pada parameter
hemodinamik. Hingga saat ini, efek asli dari pendekatan ini pada kelangsungan hidup
pasien belum dilaporkan. Studi multi-senter dengan sampel banyak dan metodologi
yang ketat diperlukan untuk mencapai level yang baik untuk bukti penggunaan TTD
pada pasien tersebut.
Studi-studi tersebut menyatakan bahwa pasien luka bakar kemungkinan
memerlukan resusitasi yang lebih intensif dibandingkan dengan yang diterima
berdasarkan formula Parkland yang dimodifikasi, terutama di 24 jam pertama,
bertujuan untuk meningkatkan parameter preload, indeks kardiak, ScvO2, dan
delivery oksigen. Normovolemia mungkin tidak menjadi tujuan utama untuk dicapai,
meskipun tampaknya EVLW tidak terpengaruh oleh pemberian cairan yang lebih
besar di jam-jam awal.
13

Merupakan fakta bahwa sebagian besar sentra kesehatan menyediakan tindakan


awal untuk pasien luka bakar namun tidak memiliki sumber daya yang lengkap untuk
resusitasi dengan teknik terapi goal-directed, dan sampai saat ini, metode tersebut
belum menunjukkan keuntungan kelangsungan hidup relative dibandingkan formula
Parkland. Namun, juga benar bahwa studi yang teliti dengan sampel pasien yang
besar akan lebih jauh menjelaskan patofisiologi awal pasien luka bakar dan
memungkinkan perkembangan formula yang lebih teradaptasi dengan keperluan asli
mereka.
Beberapa variabel metabolik telah diperiksa secara spesifik pada pasien luka
bakar. Konsentrasi laktat, rasio laktat/piruvat, defisit dasar, bahkan mikroalbuminuria
telah menunjukkan nilai-nilai prognostik, dan beberapa parameter mungkin berguna
untuk memandu kualitas resusitasi awal. Tetap saja, meskipun variabel tersebut
bermakna untuk tujuan ini, hasil yang ditunjukkan dengan metode penilaian saat ini
tidak tersedia secara cepat; sehingga, belum cukup berguna sebagai marker real-time
yang didapat dari monitoring.

Tabel 1. Studi Mengenai Goal-Directed Therapy


14

Cairan Apa yang Sebaiknya digunakan pada Resusitasi Awal?


Kristaloid
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa studi telah dipublikasikan mengenai
terapi cairan berbasis kristaloid untuk berbagai macam pasien. Larutan yang
seimbang telah dilaporkan lebih superior dibandingkan larutan kristaloid yang tidak
seimbang.
Berbagai macam efek samping telah diungkapkan mengenai penggunaan
larutan saline, dan beberapa studi telah melaporkan masalah terkait penggunaan RL
pada pasien kritis dan pasien lain tanpa luka bakar. Namun, dapatkah hasil tersebut
diekstrapolasi untuk pasien luka bakar?
Literatur yang ada terbatas mengenai tipe kristaloid yang sesuai untuk luka
bakar. Sesuai definisi, formula Parkland dilakukan dengan RL, sehingga cairan ini
adalah cairan pilihan untuk luka bakar. Hanya ada dua studi observasional yang
ditemukan membandingkan antara jenis kristaloid yang berbeda-beda untuk luka
bakar, dan hanya satu yang membandingkan dua larutan isotonik seimbang.
Pada tahun 2006, Oda et al, melakukan studi kohort 36 pasien luka bakar
dengan BSA >40% tanpa luka inhalasi asap yang parah. Tujuan para peneliti adalah
untuk menganalisis perkembangan sindrom kompartemen abdominal dan
hubungannya dengan pemberian cairan awal. Berdasarkan fakta bahwa serum
hipertonik menurunkan kebutuhan cairan, para peneliti mendesain sebuah studi yang
membandingkan resusitasi awal dengan RL vs saline berlaktat hipertonik, dengan
pengeluaran urin sebanyak 0,5 ml/kg/jam. Pasien yang diberi saline berlaktat
15

mendapat cairan dengan jumlah yang secara signifikan lebih sedikit dibanding pasien
yang diberi RL. Terlebih, puncak tekanan abdominal dan tekanan inspirasi pada 24
jam lebih rendah dari kelompok saline. Hanya 14% pasien yang menerima saline
berlaktat menderita sindroma kompartemen abdominal dibandingkan kelompok RL
sebanyak 50%.
Sebuah studi oleh Gille et al, di tahun 2013 memberikan hasil yang menarik,
namun memiliki desain studi observasional retrospektif-prospektif, dan kualitas
evidens-nya rendah. Pada penelitian membandingkan resusitasi awal dengan RL
(retrospektif n=40) atau dengan RA (prospektif n=40). Pasien yang mendapat RA
memiliki kesamaan awal atas penurunan skor Assessment Kegagalan Organ
Sekuensial (Sequential Organ Failure Assessment/SOFA), yang secara signifikan
lebih rendah pada hari 3-6. Tidak ada perbedaan pada jumlah kristaloid yang
diberikan, tapi kelompok RA membutuhkan lebih sedikit koloid, packed RBC, dan
infus plasma. Konsentrasi laktat meningkat pada kelompok RL di hari 1-3. Ringer
asetat dikaitkan dengan insidensi tinggi trombositosis, namun tidak ada kejadian
trombotik yang ditemukan. Durasi tinggal di RS dan lama hari penggunaan ventilasi
mekanik lebih sedikit di kelompok RA. Tidak ada perbedaan signifikan mortalitas.
Melihat bahwa larutan yang seimbang telah terbukti superior sebagai cairan
pengganti, RA tampak sebagai pilihan yang paling baik untuk penggantian dalam
jumlah besar. Namun, meskipun larutan ini menunjukkan profil yang menguntungkan
untuk pasien trauma, bukti yang terkait pada pasien luka bakar masih sedikit. Studi
lebih lanjut yang membandingkan RL dan RA untuk resusitasi awal masih
diperlukan. Larutan hipertonik mungkin juga bisa digunakan untuk resusitasi luka
bakar. Review sistematik Cochrane, guideline dari USA, dan review lain telah
mengevaluasi efikasinya pada pasien luka bakar, namun sampai sekarang belum ada
bukti jelas yang mendukung atau membantah mereka, sehingga studi lanjutan
diperlukan untuk mencari dosis dan waktu yang tepat.
16

Tabel 2. Studi mengenai kristaloid pada luka bakar mayor

Koloid
Penggunaan koloid kontroversial untuk pasien luka bakar, terlebih setelah
diisukan peringatan oleh berbagai macam agensi kontrol obat tentang kontraindikasi
HES untuk luka bakar. Koloid adalah cairan yang mengandung mikromolekul, dan
memiliki efek ekspansi yang lebih luas dibandingkan dengan kristaloid. Mereka bisa
memiliki komponen natural (plasma dan albumin) atau sintetis (HES dan gelatin).
Gelatin sekarang adalah koloid sintetik yang digunakan untuk luka bakar, satu-
satunya pilihan setelah peringatan HES, namun kapasitas ekspansinya inferior
dibandingkan HES, dan efeknya menurun 1 jam setelah pemberian. Dua meta-analisis
dipublikasikan tahun 2012 menyimpulkan bahwa gelatin tidak memiliki keuntungan
dibandingkan kristaloid, dan sekarang, keamanannya tidak terbukti. Tidak ada studi
yang memastikan keamanan gelatin pada pasien luka bakar.
Beberapa review menyimpulkan bahwa penggunaan HES dikaitkan dengan
risiko mortalitas dan kerusakan ginjal yang tinggi dibandingkan dengan larutan
resusitasi lain pada pasien sepsis, dan pasien luka bakar termasuk dalam kelompok
ini. Beberapa studi yang mengawali peringatan HES telah direview dan dikritik
karena metodologinya dipertanyakan. Beberapa dilakukan dengan starch generasi
pertama dan kedua, yang sudah tidak digunakan untuk tujuan ini. Efek sampingnya
juga diketahui, dan tidak dimasukkan dalam review saat ini.
Kami menganalisis studi CRYSTMAS, CHEST, dan CRISTAl, yang menjadi
basis munculnya peringatan bahwa HES tidak seharusnya digunakan untuk resusitasi
luka bakar. Yang mengejutkan, pasien dengan luka bakar mayor tidak diikutsertakan
17

dalam tiga studi ini, dan dalam 1 studi tidak ada informasi yang diberikan tentang hal
ini. Analisis ketiga studi tersebut ada di tabel 3.
Sebuah review sistematik dan meta-analisis yang dilakukan oleh Zarychanski et
al, termasuk 38 percobaan klinis pada pasien yang sakit parah dipublikasikan sampai
Oktober 2012, membandingkan penggunaan HES vs kristaloid, albumin, atau gelatin
dan menilai hubungannya dengan gangguan ginjal akut dan mortalitas. Sebagian
besar percobaan diklasifikasikan sebagai memiliki risiko yang tinggi atau kurang
jelas terhadap bias. Setelah mengekskluasi studi yang ditarik kembali, HES dikaitkan
dengan angka mortalitas tinggi, gagal ginjal yang lebih banyak, dan kebutuhan yang
lebih tinggi untuk terapi penggantian ginjal. Dua studi dilakukan pada pasien luka
bakar, namun satu ditulis dalam bahasa China dan yang lain menggunakan HES
200/0,76, starch dari generasi sebelumnya. Sehingga, keduanya tidak dimasukkan
dalam review ini.
Review Cochrane di tahun 2010, diupdate di tahun 2013, meliputi 42 studi
dengan kualitas metodologi yang baik, di mana HES dibandingkan dengan terapi
cairan lain untuk terapi hipovolemia. Adanya peningkatan yang signifikan pada gagal
ginjal dan terapi penggantian ginjal ditemukan pada kelompok HES. Pasien luka
bakar tidak dieksklusi, namun analisis yang terpisah pada populasi ini tidak tersedia.
Satu-satunya studi yang menginvestigasi HES generasi tiga pada luka bakar
mayor adalah sebuah percobaan klinis randomized meliputi 48 pasien, dilakukan oleh
Béchir et al, tahun 2013. Terapi resusitasi yang digabungkan (HES+RL)
dibandingkan dengan kristaloid sendiri (RL). Tujuannya adalah untuk menghitung
total volume yang diberikan pada 72 jam pertama dan untuk menentukan profil
keamanan. Tidak ada perbedaan ditemukan pada angka mortalitas, volume yang
diberikan, atau kerusakan ginjal di antara kelompok-kelompok.
Mengenai koloid natural, plasma beku yang segar secara klasik telah digunakan
sebagai ekspander plasma, namun harga yang tinggi dan risiko transmisi penyakit
telah membatasi penggunaannya untuk penyakit koagulasi.
Pada tahun 2005, O'Mara et al, melaporkan sebuah studi prospective
randomized pada 31 pasien luka bakar, membandingkan resusitasi RL dengan
18

RL+plasma beku segar. Volume yang lebih besar diperlukan pada kelompok RL saja,
dan ada peningkatan yang besar pada tekanan intra-abdominal. Sebagai tambahan,
ditemukan korelasi di antara jumlah cairan yang diberikan dengan tekanan intra-
abdomen. Temuan ini konsisten dengan hasil yang dilaporkan Ivy et al, yang
mendesikripsikan hipertensi intra-abdomen dan sindroma kompartemen abdominal di
luka bakar mayor. Meskipun begitu, ukuran sampelnya sedikit; sehingga diperlukan
studi yang lebih besar untuk mengevaluasi efikasi plasma beku segar dalam
mencegah sindroma kompartemen.
Penggunaan albumin untuk resusitasi cairan pada pasien yang kritis telah
dipertanyakan sejak 1998, ketika review Cochrane menyimpulkan bahwa albumin
mungkin dikaitkan dengan angka mortalitas yang tinggi. Sejak saat itu, beberapa
studi seperti SAFE, ALBIOS, dan review oleh Hartog et al, menunjukkan hasil yang
baik, kecuali pada trauma otak. Surviving Sepsis Campaign dipublikasikan tahun
2013, merekomendasikan albumin pada pasien yang tidak responsif terhadap
resusitasi kristaloid, dengan level pembuktian 2C. Namun, pasien luka bakar secara
umum diekslusikan dari studi atau tidak dianalisis sebagai subgroup. Kami
mengambil empat studi terbaru yang spesifik untuk pasien tersebut.
Pada tahun 2006, Cooper et al, melakukan percobaan klinis multi-senter
random dengan 42 pasien luka bakar, membandingkan resusitasi cairan RL vs
RL+albumin. BSA dan perlukaan inhalasi lebih parah pada kelompok albumin.
Meskipun perbedaan di antara keduanya tidak terlalu signifikan, ekspektasi mortalitas
adalah 18.6% pada kelompok albumin dan 9.4% pada kelompok kontrol, dan tidak
ada penyesuaian dilakukan untuk ketidakseimbangan ini. Pada analisis intention-to-
treat, tidak ada perbedaan signidikan di antara kelompok untuk hasil utama, MODS
terendah dari hari 0-14, atau mortalitas di hari 28, namun para penulis menyebutkan
bahwa studi ini kurang adekuat untuk kedua hasil ini.
Pada tahun 2007, Cochran et al melaksanakan studi pada pasien dengan BSA
≥20%, membandingkan mereka yang mendapat albumin karena kebutuhan cairan
yang meningkat dengan kohort yang bisa dibandingkan untuk usia dan luka bakar
19

yang tidk memerlukan pemberian albumin. Pada analisis multivariat, pemberian


albumin ditemukan sebagai faktor protektif mortalitas.
Pada tahun 2010, Lawrence et al, melakuka studi observasional retrospektif
pada pasien dengan BSA ≥20% dan dilaporkan bahwa penggunaan albumin pada
pasien yang menerima volume kristaloid di atas jumlah yang diestimasikan oleh
formula Parkland memiliki hasil penurunan dalam rerata rasio resusitasi dan
kebutuhan cairan per jam.
Sebuah studi observasional retrospektif-prospektif yang dipublukasikan Park et
al di tahun 2012 membandingkan pasien luka bakar yang diterapi dengan RL+sebuah
koloid sintetik vs yang diterapi dengan albumin. Mortalitas, lama hari dalam ventilasi
mekanik, pneumonia berkaitan dengan ventilasi mekanik, dan laparatomi untuk
sindrom kompartemen abdomen lebih rendah secara signifikan pada kelompok
albumin. Studi ini terbatas sebagian oleh design prospektif-retrospektifnya. Tidak ada
randomisasi atau blinding yang dispesifikasikan, menyiratkan risiko tinggi bias.
Studi terbaru yang dipublikasikan tentang albumin dalam resusitasi luka bakar
merupakan meta-analisis yang dilakukan oleh Navickis et al, di tahun 2014, termasuk
penelitian klinis randomized dan non randomized. Setelah eksklusi dua studi dengan
risiko tinggi bias, albumin ditemukan berkaitan dengan insidensi sindrom
kompartemen dan mortalitas yang lebih rendah.
Setelah menyimpulkan review ini dan sesuai dengan opini lain, kami percaya
bahwa boleh dikatakan bahwa studi yang menyebabkan adanya peringatan
penggunaan HES, yang tidak meliputi pasien luka bakar, mungkin tidak menjadi
dasar yang sepenuhnya benar untuk peringatan dalam populasi ini. Jumlah kecil studi
yang menginvestigasi koloid pada pasien luka bakar tidak menampilkan peningkatan
pada gangguan ginjal akut atau mortalitas. Terlebih, tidak satupun dari studi HES
dilakukan dengan HES yang seimbang, dan klorida telah diketahui berkaitan dengan
gangguan ginjal. Gelatin tidak menunjukkan superioritas terhadap kristaloid, dan
keamanannya belum jelas. Baik albumin dan plasma bisa menjadi pilihan baik untuk
pasien luka bakar, walaupun data penggunaan plasma masih sedikit. Studi multi-
20

senter yang terfokus pada penggunaan koloid harus dilakukan pada populasi spesifik
ini.

Tabel 3. Studi mengenai cairan koloid yang menjadi dasar rekomendasi

Tabel 4. Studi mengenai koloid pada luka bakar mayor


21

Kesimpulan
Resusitasi cairan suboptimal pada pasien luka bakar menyebabkan kedalaman
luka bakar bertambah dan periode syok yang lama, biasanya terjadi pada 24-48 jam
pertama. Menurut hasil dari studi terapi goal-directed, jumlah cairan yang diberikan
pada 24 jam pertama harus lebih tinggi dari estimasi menggunakan formula Parkland.
Resusitasi luka bakar mayor secara ideal harus dilakukan sesuai dengan terapi
goal-directed dengan metode termodilusi karena kurang invasif dibanding PAC dan
telah tervalidasi baik pada luka bakar. Beberapa studi menunjukkan perbaikan pada
indeks kardiak, ScvO2, delivery oksigen, dan MODS ketika resusitasi didasarkan
pada TTD dan menjadikan ITBV dan EVLW sebagai titik akhir; namun, parameter
optimal masih belum dipastikan.
Cairan resusitasi awal harus menggunakan kristaloid seimbang. Koloid tampak
kurang sesuai untuk pemberian di jam awal karena peningkatan permeabilitas kapiler
pasien. RA tampak melindungi keseimbangan elektrolit pasien untuk pemberian
dalam jumlah banyak, dan mungkin merupakan kristaloid pilihan untuk resusitasi
awal pasien luka bakar.
Meskipun terdapat laporan hasil-hasil buruk pada pasien sepsis dengan
penggunaan HES, bukti saintifik saat ini kurang cukup untuk mendukung
kontraindikasi spesifik penggunaan HES pada pasien luka bakar. Sebagaimana
praktik di banyak unit luka bakar, kami sebelumnya menggunakan HES di 24 jam
pertama bila diperlukan dan tidak mendapatkan hasil yang buruk, namun hal ini
merupakan evaluasi subjektif.
Gelatin tidak menunjukkan kelebihan dibanding kristaloid dalam kapasitas
ekspansinya, dan keamanan masih belum jelas.
Larutan hipertonik, albumin, dan plasma telah dikaitkan dengan volume
kebutuhan yang lebih sedikit untuk resusitasi awal, tekanan intra-abdomen yang
rendah, dan insidensi sindroma kompartemen yang lebih sedikit; sehingga, larutan
tersebut bisa bermanfaat untuk resusitasi luka bakar, namun membutuhkan bukti
tambahan untuk mendukung kegunaannya.
22

Penelitian multi-senter acak untuk resusitasi cairan pada luka bakar mayor
masih diperlukan untuk menentukan terapi cairan terbaik untuk populasi ini. Data
masih kurang pada titik akhir optimal untuk TTD, perbedaan di antara resusitasi awal
dengan RL atau RA, waktu yang tepat untuk inisiasi koloid, dan perbandingan hasil
dari koloid sitesis dan natural yang berbeda-beda pada pasien luka bakar.

Anda mungkin juga menyukai