Anda di halaman 1dari 2

ZAKAT PRODUKTIF BERDAYAKAN UMAT

(Oleh : Endi Deswanto)

Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Berdasarkan


catatan The Pew Forum on Religion & Public Life pada 2010, jumlah muslim Indonesia
mencapai 12,7 persen dari populasi dunia. Sedangkan menurut hasil sensus penduduk Badan
Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010, tercatat sebanyak 207.176.162 penduduk Indonesia
memeluk agama Islam, setara dengan 87,18% dari total penduduk Indonesia. Kondisi diatas
merupakan sebuah potensi besar bagi Negara Indonesia untuk mengembangkan salah satu
instrumen pendistribusian kekayaan dalam Islam, yaitu Zakat, Infak, dan Sedekah (ZIS) yang
dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mengentaskan masalah kemiskinan di
Indonesia.

Dalam konteks mendorong prioritas nasional untuk penanggulangan kemiskinan,


instrumen zakat, infak, Sedekah, dan Wakaf (ZISWAF) berperan penting dalam
penanggulangan kemiskinan karena memiliki potensi yang cukup besar bagi pembangunan
nasional. Zakat adalah salah satu kewajiban umat islam yang telah ditetapkan dalam Al-
Qur’an. Inilah yang menunjukkan betapa pentingnya zakat sebagai salah satu dari rukun
islam (Abdul Al Hamid Mahfud Al-Ba’iy, 2006).

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Badan Amil Zakat Nasional, potensi zakat
rumah tangga (Individu) mencapai angka Rp 82,70 triliun, atau sekitar 1,30 % dari PDB.
Angka ini masih tergolong rendah dibandingkan potensi zakat industri yang mencapai Rp.
117,28 triliun atau 1,84% dari PDB. Ini menunjukkan bahwa potensi pengembangan zakat di
Indonesia sangat tinggi. Berdasakan Mohammad Daud Ali, 1988 : 53-56) ada beberapa
kendala yang menjadi hambatan dalam mengembangkan zakat di masyarakat antara lain:

1. Kurangnya pemahaman umat islam tentang lembaga Zakat


2. Konsep fikih zakat. Maksudnya konsep pengertian dan pemahaman mengenai zakat
berdasarkan hasil ijtihad manusia.
3. Pembenturan kepentingan antara lembaga yang memungut zakat.
4. Rendahnya kepercayaan Masyarakat terhadap Badan atau Lembaga Pengelola Zakat.

Ada dua macam model pendayagunaan dana zakat yaitu pendayagunaan dana zakat
dalam bentuk konsumtif-karitatif (Bantuan langsung dinikmati penerimanya) dan
Pendayagunaan dana zakat yang produktif-berdayaguna (Memberdayakan penerima zakat
atau mustahiq). Menurut Penelitian yang di lakukan oleh Indonesia Zakat Development
Tahun 2012 kepada Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) Untuk saat ini penggunaan dana
zakat terlihat masih di dominasi oleh kegiatan konsumtif-karitatif yaitu sebesar 71% dan
hanya sebagian yang menggunakan dana zakat pada pola produktif untuk kegiatan usaha
ekonomi dengan persentase 29%. Dari persentase pendayagunaan dana zakat pada pola
produktif harus dilakukan pelatihan-pelatihan khusus kepada mustahiq (Orang yang
menerima zakat) dalam memanfaatkan dana tersebut. Berdasarkan Survei yang dilakukan
oleh penelitian terdahulu kepada 180 Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) bahwa 57% tidak
memiliki program pelatihan untuk pola pembiayaan produktif, sedangkan 43% telah
memiliki program Pelatihan untuk pola produktif. Hal ini menunjukkan bahwa masih
rendahnya tingkat pelatihan dan Pendayagunaan pada sektor Produktif dalam pengelolaan
zakat. Harta zakat secara produktif artinya harta zakat yang dikumpulkan dari muzakki
tidak habis dibagikan secara begitu saja untuk memenuhi kegiatan yang bersipat
konsumtif, melainkan harta zakat itu sebagian ada yang diarahkan pendayagunaannya
kepada yang bersifat produktif. (Mu’inan Rafi’, 2011).

Mengapa harus Zakat Produktif? Menurut hemat penulis pengelolaan zakat produktif
perlu ditingkatkan karena banyak potensi atau pun keuntungan yang akan didapatkan
kedepannya tentunya dengan memperhatikan kearifan lokal atau pun kondisi lingkungan
masyarakat dengan membuat klaster atau pun kelompok-kelompok masyarakat yang dapat
diberdayakan. Seperti Contoh : Masyarakat yang sudah tua atau tidak mampu lagi untuk
bekerja bisa dialokasikan untuk hal yang konsumtif sedangkan yang masih mampu bekerja
atau pun beraktifitas bisa dialokasikan ke hal lebih produktif. Hal ini tentu membutuhkan
waktu yang tak sedikit, karena perlu sosialisasi dan pelatihan berkala kepada para
Mustahiq. Akan tetapi dalam jangka panjang, ini akan memiliki dampak yang baik
terhadap Sustainable atau keberlanjutan dari Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) di
Indonesia. Selain itu untuk meningkatkan kepercayaan dari masyarakat, tentunya
Akuntabilitas OPZ harus juga mendapat perhatian misalnya dengan cara membuat laporan
tahunan atau transfransi pengelolaan keuangan yang dikelola secara profesional.
Harapannya OPZ di Indonesia dapat memaksimalkan Zakat Produktif untuk
pemberdayaan umat, Dari Umat untuk Umat.

Anda mungkin juga menyukai