Anda di halaman 1dari 3

Pengembangan Keuangan Sosial Syariah dan Tantangannya

Disampaikan oleh :
Dr. H. Muhammad Tambrin, M.M.Pd
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama
Provinsi Kalimantan Selatan

Keuangan sosial Islam mengacu pada investasi modal dalam kegiatan


ekonomi produktif, yang dapat menghasilkan solusi sosial atau lingkungan yang
positif. Keuangan sosial Islam dapat berasal dari zakat, wakaf, sedekah, hibah,
koperasi, dan lembaga keuangan mikro. Sejalan dengan hal ini, Keuangan sosial
Islam berkaitan erat dengan filantropi Islam.
Filantropi Islam merupakan praktik kedermawanan dalam tradisi Islam melalui
zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF). Potensi filantropi Islam Indonesia yang
meliputi zakat, infak, sedekah, wakaf dan dana keagamaan sosial keagamaan
lainnya (ZIS-DSKL) sangat fantastis (sekitar 327 trilyun/tahun). Tapi, aktualisasinya
masih jauh dari sempurna (22,4 trilyun pada tahun 2022). Apa masalahnya?
Bulan puasa disambut sangat meriah di seluruh dunia. Antusiasme umat
Islam menunaikan haji juga sangat tinggi. Seluruh dunia memiliki daftar tunggu yang
sangat panjang. Salat juga dilaksanakan dengan meriah di masjid-masjid sedunia.
Mengapa penunaian zakat tak seindah itu? Padahal sebagai kewajiban dan perintah
agama, semua memiliki dasar yang sama kuatnya. Dengan kata lain, seakan-akan
umat merasa bersalah atau tidak religius ketika tidak salat, puasa, atau haji, tetapi
ketika tidak berzakat, terutama zakat mal, beban rasa bersalahnya biasa saja. Apa
masalahnya?
Ada beberapa tantangan pengelolaan ZIS-DSKL. Pertama, tingkat literasi
umat terkait ZIS-DSKL masih rendah, yang memiliki literasi tentangnya pun masih
permukaan. Kurikulum lembaga pendidikan kita belum menyiapkan cukup literasi
bagi para peserta didiknya. Hanya 15 % literasi masyarakat tentang ZIS-DSKL
bersumber dari lembaga pendidikan. Yang menarik, sumber literasi umat terbesar
tentang ZIS-DSKL adalah dari ceramah keagamaan (48,8 %); penceramah, ulama,

1
penyuluh, muballig (aktivitas keagamaan non formal). Selebihnya dari medsos,
media elektronik, keluarga, dan lainnya.
Kedua, pengumpulan zakat belum sepenuhnya dikelola secara kelembagaan.
Sebanyak 11 % masyarakat menyalurkan zakatnya langsung kepada mustahiq; 1,2
% kepada tokoh agama; 2,0 % kepada yayasan; 2,0 % kepada pesantren; 22,6 % ke
masjid dan musalla; 4,5 % ke UPZ; 7,2 % ke LAZ; dan 49,4 % ke BAZNAS.
Ketiga, tata Kelola yang belum sempurna dan masih perlu penguatan dalam
pengawasan syariah, audit syariah, audit keuangan, pelaporan pengumpulan dan
pendistribusian, publikasi laporan keuangan, penguatan dewan pengawas syariah,
peningkatan kompetensi amil dan akreditasi kelembagaan.
Keempat. Ekosistem pengelolaan zakat walau sudah cukup lengkap, masih
perlu penguatan. Perintah Al-Quran dan sunnah tentang kewajiban zakat tak perlu
lagi dijelaskan di sini. Undang-undang yang mengaturnya bersama seperangkat
regulasi turunannya yang lain sudah tersedia. Lembaga pengelolanya sudah
terbentuk, baik lembaga pemerintah non struktural (BAZNAS RI, BAZNAS provinsi
(34) dan BAZNAS kabupaten kota (490) maupun Lembaga amil zakat yang dikelola
masyarakat atas izin pemerintah yang jumlahnya tidak kurang 140 LAZ, baik LAZ
berskala nasional, provinsi maupun kabupaten kota. Standar kompetensi nasional
(SKKNI) bagi amil juga tersedia.
Lantas, apa yang perlu dilakukan?
1. Intensifikasi peningkatan literasi masyarakat tentang ZIS-DSKL secara
sinergis kolaboratif antara pemerintah, lembaga amil zakat, lembaga pendidikan dan
masyarakat, melalui pendidikan formal, kegiatan keagamaan non formal, konten
konten media sosial dan media cetak dan elektronik
2. Mendorong masyarakat agar penyaluran ZIS-DSKL dilakukan di lembaga
resmi, yaitu: BAZNAS dan LAZ resmi. Pengelolaan ZIS-DSKL secara kelembagaan
lebih memungkinkan pemberdayaan umat secara terencana. Lembaga resmi,
disamping dapat membantu secara langsung umat yang membutuhkan juga dapat
memberdayakan usaha kecil menengah yang akan mentransformasi mustahiq
menjadi muzakki.
3. Penguatan dan peningkatan kualitas tata kelola serta akuntabilitas lembaga
pengelola ZIS-DSKL
4. Penguatan dan penyempurnaan ekosistem mulai regulasi, kelembagaan
dan terutama amil, sebagai bagian dari ekosistem terpenting
2
5. Peningkatan kapasitas amil melalui sertifikasi amil secara massif sekaligus
afirmasi profesi amil sebagai profesi yang diakui oleh negara
6. Membuka jurusan management zakat di perguruan tinggi sebanyak-
banyaknya karena kebutuhan akan amil professional dimasa yang akan datang
sangat tinggi. Sekarang ini, hanya terdapat 18 UIN dan IAIN yang memiliki program
studi manajmen zakat dan waqaf.
Last but not least. Ada fakta yang sangat menggembirakan, yaitu tren
pengumpulan ZIS-DSKL meningkat sangat signifikan secara nasional. Pertumbuhan
40 % setiap tahun. Ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat semakin baik,
tata Kelola, ekosistem dan trust publik terhadap lembaga amil zakat semakin baik
dengan segala kekurangannya. Jika pertumbuhan ini dapat dijaga, apalagi
ditingkatkan, maka 5 sampai 10 tahun ke depan pengumpulan ZIS-DSKL di
Indonesia bisa mencapai di atas 100 Trilyun. Saat itu amil profesional akan sangat
dibutuhkan. Dan yang paling penting optimisme kita, saat itu tak ada lagi kemiskinan
di Indonesia. 

Anda mungkin juga menyukai