Anda di halaman 1dari 9

STUDENT PROJECT

KEPERAWATAN GERONTIK
Kekuatan Ekstremitas Geriatrik Dan Teknik Konversi Tinggi Lutut
- Tinggi Badan

Oleh SGD 5 :

I Dewa Ayu Alit Maharani Laras 1502105012


Putu Ayu Ascia Zrinathi 1502105019
Gede Surya Adi Pratama 1502105031
Putu Santya Novita Lestari 1502105039
Gek Diah Aprilia 1502105045
Ni Kadek Devi Budi Cahyani 1502105049
Ni Made Raisita Yanti 1502105050
A.A Gede Candra Dwipa 1502105056
Ni Putu Ayu Padmanila Prasetya 1502105057
Putu Aristya Putri 1502105059

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Menjadi tua merupakan suatu proses alami yang tidak dapat dihindari. Proses menua
berlangsung secara alamiah dan berkesinambungan akan menyebabkan perubahan anatomi,
fisiologi, serta biokimia pada jaringan tubuh yang pada akhirnya akan mempengaruhi fungsi
dan kemampuan badan secara keseluruhan (Nugroho, 2008). Populasi lansia diprediksi akan
terus mengalami peningkatan di dunia. Menurut data Kemenkes RI tahun 2013 menyatakan
setengah jumlah lansia di dunia yaitu sebesar 400 juta jiwa berada di Asia (Kemenkes RI,
2013). Populasi lansia di Indonesia diprediksi meningkat lebih tinggi daripada populasi dunia
setelah tahun 2100 (Kemenkes RI, 2016). Jumlah penduduk lansia di Indonesia diprediksikan
pada tahun 2020 berjumlah 27,08 juta jiwa, pada tahun 2025 berjumlah 33,69 juta jiwa, pada
tahun 2035 berjumlah 40,95 juta jiwa dan pada tahun 2045 berjumlah 48,19 juta jiwa
(Kemenkes RI, 2017).
Peningkatan jumlah lansia mempengaruhi aspek kehidupan salah satunya ialah perubahan
fisik yang terjadi seiring pertambahan usia. Penilaian komposisi tubuh pada pada lansia
sangat diperlukan mengingat golongan usia tersebut relatif rentan terhadap penyakit.
Parameter penting yang digunakan untuk memperkirakan komposisi tubuh antara lain tinggi
badan dan berat badan (Maharani, 2010). Tinggi badan, baik secara tunggal atau
dikombinasikan dengan berat badan terbukti dapat dijadikan parameter berbagai hal, salah
satunya adalah struktur dan fungsi kardiovaskuler. Keakuratan pengukuran tinggi badan
mutlak diperlukan untuk mendapatkan nilai parameter yang benar (Maharani, 2010).
Pengukuran tinggi badan merupakan hal yang mudah dilakukan untuk golongan anak dan
usia muda namun tidak demikian halnya dengan usia tua. Banyak lansia yang mengalami
deformitas pada tulang belakang, kerusakan spinal, atau kelumpuhan yang menyebabkan
harus duduk di kursi roda atau di tempat tidur sehingga tinggi badan berkurang atau bahkan
tidak mampu berdiri tegak (Marais D, 2007).
Pengukuran tinggi badan dan berat badan digunakan untuk mendapatkan nilai IMT. IMT
berguna sebagai indikator untuk menentukan adanya indikasi kasus KEK (Kurang Energi
Kronik) dan kegemukan (obesitas) (Nugroho, 2008). Beberapa penelitian menunjukkan
perubahan TB lansia sejalan dengan peningkatan usia dan efek beberapa penyakit seperti
osteoporosis. Oleh karena itu, pengukuran tinggi badan lansia tidak dapat diukur dengan
tepat sehingga untuk mengetahui tinggi badan lansia dapat dilakukan dari prediksi tinggi
lutut (knee height) (Fatimah, 2008).
Tinggi lutut erat kaitannya dengan tinggi badan seseorang dan dapat digunakan untuk
mengukur tinggi badan penderita gangguan tulang belakang atau seseorang yang tidak dapat
berdiri (Fatimah, 2008). Berbeda dengan tinggi badan, tinggi lutut hanya sedikit mengalami
perubahan seiring dengan bertambahnya usia. Proses penuaan tidak mempengaruhi panjang
dari beberapa tulang panjang, seperti lengan dan kaki. Oleh karena itu, tinggi lutut dapat
digunakan sebagai indikator dalam pengukuran tinggi badan pada lansia (Maharani, 2010).
2.1. Tujuan
2.1.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui kekuatan ekstremitas geriatrik dan teknik konversi tinggi lutut
menjadi tinggi badan.
2.2.1. Tujuan Khusus
2.2.1.1. Mengidentifikasi karakteristik lansia (usia, tinggi badan dan berat badan).
2.2.1.2. Mengidentifikasi kekuatan ekstremitas geriatrik.
2.2.1.3. Mengidentifikasi teknik konversi tinggi lutut menjadi tinggi badan.
BAB II
METODE PEMERIKSAAN
2.1. Pengertian
Pengukuran Tinggi Lutut merupakan pengukuran tinggi badan yang digunakan
untuk seseorang yang tidak dapat berdiri dengan tegak seperti lansia ataupun yang sedang
sakit sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pengukuran tinggi badan secara
normal.
2.2. Tujuan
2.2.1. Untuk mengukur tinggi badan lansia yang membungkuk
2.2.2. Sebagai prediktor tinggi badan lansia
2.2.3. Untuk menentukan status gizi lansia
2.3. Indikasi
2.3.1. Lansia dengan usia >= 60 tahun
2.3.2. Lansia dengan masalah musculoskeletal
2.3.3. Lansia dengan gangguan tulang belakang
2.3.4. Lansia yang tidak dapat berdiri
2.4. Kontraindikasi Pemeriksaan
2.4.1. Lansia dengan perubahan bentuk kaki akibat stroke
2.4.2. Lansia dengan kedua kaki di amputasi
2.5. Persiapan Pemeriksaan
2.5.1. Persiapan Lingkungan Pemeriksaan Kekuatan Otot Ekstremitas pada LansiA
2.5.1.2. Siapkan lingkungan yang nyaman dan cukup penerangan
2.5.2. Persiapan Alat Pemeriksaan Kekuatan Otot Ekstremitas pada Lansia. Siapkan
alat-alat yang diperlukan :
2.5.2.1. Goniometer atau alat pengukur sudut
2.5.2.2. Sarung Tangan
2.5.2.3. Baju Periksa untuk klien
2.5.2.4. Refleks Hammer
2.5.3. Persiapan Lingkungan Pemeriksaan Tinggi Lutut pada Lansia
2.5.3.1. Siapkan lingkungan yang nyaman dan cukup penerangan
2.5.4. Persiapan Alat Pemeriksaan Tinggi Lutut pada Lansia
Tidak terdapat peralatan khusus yang di perlukan untuk pemeriksaan tinggi lutut
pada lansia. Peralata yang di perlukan antara lain :
2.5.4.1. Alat ukur tinggi lutut atau pita pengukur
2.5.4.2. Tempat dudukatau kursi
2.5.4.3. Meja baring yang dapa disesuaikan dengan tinggi klien
2.5.5. Persiapan Perawat :
2.5.5.1. Perawat sudah mengetahui hal apa saja yang harus dilakukan
2.5.5.2. Perawat sudah mengetahui maksud dan tujuan tindakan
2.5.6. Persiapan psikologis (perawat sudah mampu mengatasi masalah psikologi seperti
cemas ketika bertemu dengan pasien dan keluarga). Persiapan Klien:
2.5.6.1. Mempersiapkan diri secara mental, fisik, spritual dan psikologis
2.5.6.2. Mendengarkan dan melakukan intruksi dari perawat dengan baik dan
benar
2.5.6.3. Menerima dan menyetujui informasi dari perawat berupa inform consent
dari intervensi yang diberikan
2.5.6.4. Mempersiapkan diri dalam melakukan kegiatan dengan kooperatif

Persiapan Keluarga:

2.5.6.5. Mempersiapkan diri dalam mendampingi klien selama dilakukan


intervensi
2.5.6.6. Membantu klien dalam melakukan intervensi yang diberikan apabila tidak
memungkinkan untuk dilakukan secara mandiri oleh klien
2.5.6.7. Menerapkan intervensi yang diberikan oleh perawat kepada klien selama
melakukan aktivitas di rumah
2.6. Teknik Pemeriksaan
2.6.1. Tinggi Badan yang Diukur dan Berdasarkan Tinggi Lutut Menggunakan
Berbagai Rumus Pengukuran pada Lansia
Cara pengukuran tinggi lutut adalah tinggi lutut diukur pada kaki kiri
dengan pergelangan kaki dan lutut ditekuk pada sudut 90 derajat . Segitiga
gambar digunakan untuk memastikan sudut sendi tegak lurus. Ujung
kaliper tetap diletakkan di bawah tumit dan sisi yang bergerak ditarik ke
bawah ke arah permukaan anterior tungkai, kurang lebih 5 cm proksimal
patella di atas condylus femur Batang kaliper diposisikan di malleolus
lateralis, di posterior caput fibulae dan paralel terhadap tibia. Pengukuran
dilakukan saat sisi yang bergerak ditekankan pada jaringan lunak.
Pembacaan dilakukan pada milimeter terdekat.
Nilai yang diperoleh dari pengukuran tersebut selanjutnya dihubungkan
dengan tinggi badan melalui rumus uji korelasi. Persamaan penghitungan
tinggi badan diperoleh dengan menggunakan rumus regresi linier. Hasil
pengukuran dalam cm dikonversikan menjadi tinggi badan menggunakan
rumus Chumlea:
TB pria = 64,19 – (0,04 x usia dalam tahun) + (2,02 x tinggi lutut dalam
cm)
TB wanita = 84,88 – (0,24 x usia dalam tahun) + (1,83 x tinggi lutut dalam
cm)
Rumus Oktavianus: TB (Pria/cm) = 64,19 + (2,03 x TL) – (0,04 x U), TB
(wanita/cm) = 84,88 + (1,83 x TL) – (0,24 x U).
Rumus Fatmah: TB (Pria/cm) = 56,343 + 2,102 tinggi lutut, TB
(wanita/cm) = 62,682 + 1,889 tinggi lutut.
2.7. Evaluasi
Respon dan perasaan klien
a. Klien mau kooperatif melakukan pengukuran tinggi lutut untuk memprediksi
tinggi badan karena tidak memungkinkan untuk melakukan pengukuran tinggi
badan secara normal.
b. Perasaan klien dievaluasi untuk mengetahui adanya perasaan cemas atau takut
pada saat dilakukan pengukuran tinggi lutut.
DAFTAR PUSTAKA

Fatmah, Hardinsyah, Boedhihartono, Rahardjo TBW. (2008). Model prediksi tinggi badan lansia
etnis Jawa berdasarkan tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk. Majalah
Kedokteran Indonesia.

Kemenkes RI. (2013). Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. Buletin Jendela dan Data
Informasi Kesehatan.
Kemenkes RI. (2016). Situasi Lanjut Usia (Lansia) di Indonesia. Infodatin Pusat Data dan
Informasi Kesehatan RI.
Kemenkes RI. (2017). Analisis Lansia Di Indonesia. Kemenkes Pusat Data dan Informasi.
Maharani DA. (2010). Korelasi pengukuran tinggi lutut dan rentang lengan terhadap tinggi
badan pada lanjut usia [skripsi]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Marais D, Marais ML, Labadarios D. (2007). Use of knee height as a surrogate measure of
height in older South Africans. SAJCN.
Murbawani,E. 2012. Tinggi Badan yang di Ukur Berdasarkan Tinggi Lutut. Media Medika
Indonesia.1(46),1-6
Nugroho W. (2008). Keperawatan gerontik dan geriatrik edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Lampiran

Anda mungkin juga menyukai