Oleh:
1
KONSEP DASAR PENYAKIT GAGAL JANTUNG
PENGERTIAN
Gagal jantung akut (GJA) didefinisikan sebagai serangan cepat atau rapid atau onset atau
adanya perubahan pada gejala-gejala atau tanda-tanda (symptoms and sign) dari gagal
jantung yang berakibat diperlukannya tindakan atau terapi secara urgent. Gagal jantung akut
dapat berupa serangan pertama gagal jantung atau memburuknya dari gagal jantung kronik
sebelumnya.
Gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik yang komplek yang disertai
keluhan gagal jantung berupa sesak napas, fatik, baik dalam keadaan istirahat atau latihan,
edema, dan tanda objektif adanya fungsi jantung dalam keadaan istirahat. Gagal jantung
kronis secara garis besar sama dengan gagal jantung kanan. Curah jantung menurun secara
bertahap, gejala dan tanda tidak terlalu jelas, dan didominasi oleh gambaran yang
menunjukan mekanisme kompensasi.
Disfungsi jantung dapat berhubungan dengan iskemik jantung, irama jantung yang abnormal,
disfungsi katup jantung, penyakit perikard, peninggian dari tekanan pengisian ventrikel atau
peninggin dari tahanan sirkulasi sistemik. Dengan demikian berbagai faktor kardiovaskular
dapat merupakan etiologi dari gagal jantung akut ini, dan juga bisa beberapa kondisi
(comorbid) ikut berinteraksi.
Untuk menilai derajat gangguan kapasitas fungsional dari gagal jantung, pertama kali
diperkenalkan oleh New York Heart Association (NYHA) pada tahun 1994, yang membagi
gagal jantung menjadi 4 klasifikasi :
Penyakit kardiovaskular dan non kardiovaskular dapat mencetuskan gagal jantung akut yang
paling sering antara lain :
Peninggian afterload pada penderita hipertensi sistemik atau pada penderita hipertensi
pulmonal
2
Peninggian preload karena volume overload atau retensi air
Gagal sirkulasi seperti pada keadaan high output states antara lain pada infeksi,
anemia atau thyrotoxicosis.
Terdapat kriteria Framingham yang dapat digunakan untuk diagnosis gagal jantung kongestif.
Kriteria Major
Paroksismal nokturnal dispnea
Distensi vena leher dan Peninggian tekanan vena jugularis
Ronki paru
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Refluks hepatojugular
Kriteria Minor
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dispnea d’effort
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardia (>120 menit)
Etiologi
Penyebab utama gagal jantung adalah penyakit jantung koroner akut dan kronik. Prevalensi
PJK pada pasien gagal jantung bervariasi antara 50% samapi 75%. Sebagian besar pasien
mempunyai riwayat infark miokard dan bukti atau iskemia yang reversibel. Walaupun
hipertensi ditemukan pada sebagian besar pasien dan merupakan faktor resiko penting untuk
terjadinya gagal jantung, namun hanya 10% kasus gagal jantung yang disebabkan langsung
oleh penyakit jantung hipertensi.
Pada kondisi tertentu , bahkan miokard dengan kontraktilitas yang baik tidak dapat
memenuhi kebutuhan darah sistemik ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolik
tubuh. Kondisi ini disebabkan misalnya masalah mekanik seperti regurgutasi katup berat dan
lebih jarang, fistula arteriovena, defisiensi tiamin, dan anemia berat. Keadaan curah jatung
yang tinggi ini sendiri dapat menyebabkan gagal jantung. 1
3
Epidemiologi
Penyakit jantung masih menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia. Menurut WHO,
diperkirakan ada 17,5 juta orang atau 31 persen dari total penduduk dunia meninggal akibat
penyakit kardiovaskular pada 2012. Dari angka tersebut, 7,4 juta di antaranya merupakan
kematian akibat penyakit jantung koroner dan 6,7 juta akibat stroke. Diperkirakan pada 2030,
kematian akibat penyakit kardiovaskular meningkat menjadi lebih dari 23 juta jiwa.
Sudahkah Anda menjaga kesehatan jantung? ed: reiny dwinanda. Prevalensi pada populasi di
Eropa dewasa sekitar 1,5% dan mungkin setinggi 3-5% pada usia di atas 75 tahun. Rerata
usia pasien gagal jantung adalah 74-76 tahun dan terdapat perbedaaan gender yang nyata
dengan prevalensi pada pria lebih tinggi daripada wanita. Pada usia 40 tahun, resiko untuk
terjadinya gagal jantung adalah 21% pada pria dan 20% apda wanita. Prevalensi disfungsi
sistolik ventrikel kiri pada populasi dewasa dilaporkan sebesar 3%, meningkat 4% samapi 6%
pada subjek berusia diatas 65 tahun. Seperdua dari pasien gagal jantung akan meninggal
dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari
50% akan meninggal pada tahun pertama.
Patofisiologi
Penyakit jantung koroner, memicu juga terjadinya gagal jantung dimana terbentuknya plak
arterosklerosis. Plak yang timbul semakin berkembang dan tumbuh menyebabkan diameter
lumen dari arteri koronaria menyempit (lesi stenotik), plak itu kemudian ruptur dan diikuti
respon koagulasi yang mengaktivasi trombosit yang sebagai hasil akhir timbul trombus.
Pada awal mulanya timbul gangguan pada jantung kiri, akibat dari faktor-faktor pencetus tadi
diatas, terjadi peningkatan tekanan dari atrium dan ventrikel kiri, terjadi gangguan pada
disfungsi sistolik yang ada pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan
cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem
4
Renin–Angiotensin–Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide
yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat
terjaga.
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan
meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer
(peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan
gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan
terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal.
Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan
aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan
sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis,
menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan
menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga
memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.
Gangguan fungsi hati pada gagal jantung menurunkan metabolisme aldosteron sehingga
meningkatkan kadar aldosteron lebih lanjut lagi.
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng memiliki efek
yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP)
dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan
vasodilatasi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNP) juga dihasilkan di jantung,
khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas
pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan
vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap
ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada
tonus vaskuler, sekresi aldosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena
peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang
menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan
sebagai terapi pada penderita gagal jantung.
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung
kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian diuretik yang akan
menyebabkan hiponatremia.
5
Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide
vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal,
yang bertanggung jawab atas retensi natrium.
Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung.
Selain itu juga berhubungan dengan tekanan pulmonary artery capillary wedge pressure,
perlu perawatan dan kematian. Telah dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat
kardioprotektor yang bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular dan miokardial
akibat endotelin.
Mekanisme adaptif ini memberikan manfaat hemodinamik segera tapi dengan konsekuensi
merugikan dalam jangka panjang. Pada gagal jantung kiri terjadi penumpukan cairan dan
terjadi peninggian tekanan yang akhirnya membuat darah dari vena pulmonalis tidak bisa
masuk pada jantung kiri hal ini membuat bartambahnya tekanan pada vena pulmonalis yang
akhirnya mempengaruhi pembuluh-pembuluh darah kecil di paru yang ikut berkontraksi juga
untuk mempertahankan diri agar tidak pecah, sehingga timbul hipertensi pulmonal. Pada saat
ini terjadi peningkatan tekanan hidrostatik pada pembuluh darah paru menyebabkan
kebocoran plasma kedalam rongga udara paru dan terjadi penumpukan plasma pada paru
sehingga terjadi edema pada paru.
Hipertensi pulmonal dapat menyebabkan pengerasan pembuluh darah pada dan di dalam paru
akibat ikut berkontraksinya. Hal ini memperberat kerja jantung dalam memompa darah ke
paru. Lama-kelamaan pembuluh darah yang terkena akan menjadi kaku dan menebal hal ini
akan menyebabkan tekanan dalam pembuluh darah meningkat dan aliran darah juga
terganggu. Hal ini akan menyebabkan bilik jantung kanan membesar sehingga menyebabkan
suplai darah dari jantung ke paru berkurang sehigga terjadi suatu keadaan yang disebut
dengan gagal jantung kanan.
Pada keadaan ini darah dari jantung kanan tidak bisa masuk dalam paru-paru dan membuat
tekanan dalam jantung kanan meningkat secara langsung mempengaruhi peningkatan tekanan
pada atrium kanan yang merupakan muara dari vena cava inverior yang akhirnya membuat
darah dari hepar tidak bisa masuk dapat masuk dalam atrium kanan yang akhirnya memicu
timbulnya hipertensi portal yang ujungnya akan menimbulkan hepatomegali.
6
Manisfestasi klinis
Manisfestasi klinis gagal jantung akut memberikan gambaran atau kondisi spectrum yang
luas dan setiap klasifikasi tidak akan dapat menggambarkan scara spesifik. Pasien dengan
gagal jantung akut biasanya akan memperlihatkan salah satu dari enam bentuk gagal jantung
akut. Edema paru tidak selalu menyertai semua ke enam bentuk gagal jantung akut.
1. Gagal jantung dekompensata akut (de novo atau sebagai dekompensasi dari gagal
jantung kronis) dengan tanda dan gejala gagal jantung akut namun ringan dan tidak
memenuhi kriteria syok kardiogenik edema paru atau krisis hipertensi.
2. Gagal jantung akut hipertensif, gejala dan tanda gagal jantung disertai tekanan darah
tinggi dan fungsi jantung kiri relatif masih baik dengan foto toraks sebanding dengan
edema paru akut.
3. Edema paru (dibuktikan dengan foto toraks) disertai dengan distress pernapasan berat
dengan ronki di seluruh paru dan ortopnea, dngan saturasi O 2 biasanya <90% pada
udara ruangan sebelum terapi.
4. Syok kardiogenik adalah keadaan hipoperfusi jaringan yang disebabkan gagal jantung
setelah perbaikan preload. Tidak ada definisi baku untuk parameter hemodinamik
yang menjelaskan perbedaan prevalensi dan outcome pada banyak penelitian, tetapi
syok kardiogenik biasanya ditandai dengan menurnnya tekanan darah (tekakan darah
sistolik <90 mmHg atau penurunan tekanan arteri rerata >30 mmHg) dan/ atau
produksi urin sedikit (<0,5 mL/kg/jam), dengan frekuensi nadi >60x/m dengah atau
tanpa adanya bendungan organ. Ada rangkaian dari low cardiac output hinggak syok
kardiogenik .
5. High output failure ditandai dengan curah jantung yang tinggi, biasanya dengan
frekuensi jantung yang cepat (disebabkan oleh aritmia, tirotoksikosis, anemia,
penyakit paget, iatrogenik, atau oleh mekanisme lain) dengan akral hangat, kongesti
paru, dan kadang-kadang dengan tekanan darah rendah pada syok septik.
6. Gagal jantung kanan ditandai dengan low out syndrome dengan peningkatan
tekananan vena jugularis, pembesaran hati dan hipotensi.
Prognosis
Pasien dengan gagal jantung akut memiliki prognosis yang sangat buruk. Dalam satu
randomized trial yang besar pada pasien yang dirawat dengan gagak jantung mengalami
dekompensasi, mortaliras 60 hari adalah 9,65 dan apabila dikombinasi dengan mortalitas dan
perawatan ulang dalam 60 hari jadi 35,2%. Sekitar 45% pasien gagal jantung akut akan
7
dirawat ulang paling tidak satu kali, 15% paling tidak dua kali dalam 12 bulan pertama.
Angka kematian lebih tinggi lagi pada infark jantung yang disertai gagal jantung berat
dengan mortalitas dalam 12 bulan adalah 30%.
Komplikasi
1. Tromboemboli
Resiko terjadinya bekuan vena (trombosis vena dalam atau DVT (deep venous
thrombosis) dan emboli paru atau EP) dan emboli sistemik tinggi, terutama pada CHF
berat. Bisa diturunkan dengan pemberian warfarin.
2. Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF, yang bisa menyebabkan
perburukan dramatis. Hal tersebut merupakan indikasi pemantauan denyut jantung
(dengan pemberian digoksin/β bloker) dan pemberian warfarin.
3. Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik dengan dosis
yang ditinggikan. Transplantasi jantung merupakan pilihan pasien tertentu.
4. Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau kematian jantung
mendadak (25-50% kematian pada CHF). Pada pasien yang berhasil diresusitasi,
amiodaron, β bloker, dan defibrilator yang ditanam mungkin turut mempunyai
peranan.
Penatalaksanaan
8
Vasodilator diindikasikan pada kebanyakan pasien gagal jantung akut sebagi terapi
lini pertama pada hipofusi yang berhubungan dengan tekanan darah adekuat dan tanda
jongesti dengan diuresis sedikit. Obat ini bekerja dengan membuka sirkulasi perifer
dan mengurangi preload. Beberapa vasodilator yang digunakan adalah :
1. Nitrat bekerja dengan mengurangi kongesti paru tanpa mempengaruhi stroke
volume atau meningkatkan kebutuhan oksigen oleh miokardium pada gagal
jantung akut kanan, khususnya pada pasien sindrom koroner akut. Pada dosis
rendah, nitrat hanya menginduksi venodilatasi, tetappi bila dosisnya
ditingkatkan secara bertahap dapat menyebabkan dilatasi arteri kororner.
2. Nesiritid merupakan rekombinan perptida otak manusia yang identik dengan
hormon endogen yang diprosuksi ventrikel, yaitu B-Type Natriurectic peptides
dalam merespon peningkatan tegangan dinding, peningkatan tekanan darah,
dan volume overload. Kadar B-Type Natriuretic peptides meningkat pada
pasien gagal jantung dan berhubungan dengan keparahan penyakit. Efek
fisiologis BNP mencakup vasodilatasi, diuresis, natriuresis dan antagonis
terhadap sistem RAA dan endotelin. Nesiritid memiliki efek vasodilator vena,
arteri dan pembuluh darah koroner untuk menurunkan preload dan afterload,
serta meningkatkan curah jantung tanpa efek inotropik langsung. Nesiritid
terbukti mampu mengurangi dispnea dan kelelahan dibandingkan plasebo.
Nesiritid juga mengurangi tekanan kapiler baji paru.
3. Dopamine merupakan agonis reseptor β -1 yang memiliki efek inotropik dan
kronotopik positif. Pemberian dopamine terbukti meningkatkan curah jantung
dan menurnkan resistensi vaskular istemik.
4. Milrinone merupakan inhibitor phosphodiesterase-3 (PDE3) sehinga terjadi
akumulasi cAMP intraseluler yang berjuang pada inotropik dan lusitropik
positif. Obat ini biasanya digunakan pada pasien dengan curah jantung rendah
dan tekanan pengisian ventrikel yang tinggi serta resistensi vaskular sistemik
yang tinggi.
5. Dobutamin merupakan simpatomimetik amin yang mempengaruhi reseptor β
1, β 2 dan α pada miokard dan pembuluh darah. Walaupun mempunyai efek
inotropik positif, efek peningkatan denyut jantung lebih rendah dibanding
dengan agonis beta adrenergik. Obat ini juga menurunkan systemic vscular
resistance (SRV) dan tekanan pengisian ventrikel kiri.
9
6. Epinefrin dan norepinefrin menstimulalsi reseptor adrenegrik β1 dan β2 di
miokard sehingga menimbulkan efek inotropik kronotopik positif. Epinefrin
bermanfaat pada individu yang curah jantungnya rendah dan atau brakikardi. 2
7. Digoksin digunakan untuk mengendalikan denyut jantung pada pasien gagal
jantung dengan penyulit fibrilasi atrium dan atrial flutter. Amiodarone atau
ibutilide dapat ditambahkan pada pasien dengan kondisi yang lebih parah.
8. Nitropusid bekerja dengan merangsang pelepasan nitri oxide (NO) secara
nonenzimatik. Nitroprusid juga memiliki efek yang baik terhadap perbaikan
preload fan afterload. Venodilatasi akan mengurangi pengisian ventrikel
sehingga preload menurun. Obat ini juga mengurangi curah jantung san
regurgitasi mitral yang diikuti dengan penurunan resistensi ginjal. Hal ini
akan memperbaiki aliran darah ginjal sehingga sistem RAA tidak teraktivasi
secara berlebihan. Nitroprusi tidak mempengaruhi sistem neurohormonal.
Diuretik diindikasikan bagi pasien gagal jantung akut dekompensasi yang disertai
gejala retensi cairan. Pemberian loop diuretic secara intravena dengan efek yang lebih
kuat lebih diutamakan untuk pasien gagal jantung akut. Sementara itu, pemberian beta
bloker merupakan kontraindikasi pada gagal jantung akut kecuali bila gagal
jantunkaut sudah stabil.
3. Non medicamentosa
a. Koreksi penyebab-penyebab utama yang dapat diperbaiki antara lain: lesi katup
jantung, iskemia miokard, aritmia, depresi miokardium diinduksi alkohol, pirau
intrakrdial, dan keadaan output tinggi.
b. Edukasi tentang hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan.
c. Posisi setengah duduk.
d. Oksigenasi (2-3 liter/menit).
e. Diet: pembatasan natrium (2 gr natrium atau 5 gr garam) ditujukan untuk
mencegah, mengatur, dan mengurangi edema, seperti pada hipertensi dan gagal
jantung. Rendah garam 2 gr disarankan pada gagal jantung ringan dan 1 gr pada
gagal jantung berat. Jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter
pada gagal jantung ringan.
f. Aktivitas fisik: pada gagal jantung berat dengan pembatasan aktivitas, tetapi bila
pasien stabil dianjurkan peningkatan aktivitas secara teratur. Latihan jasmani dapat
10
berupa jalan kaki 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit atau sepeda statis 5
kali/minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada
gagal jantung ringan atau sedang.
g. Hentikan rokok dan alkohol
h. Revaskularisasi koroner
i. Transplantasi jantung
j. Operasi Jantung
Perhatikan kesehatan
Untuk mempercepat proses penyembuhan setelah bedah jantung disarankan untuk berhenti
merokok, mengonsumsi makanan sehat bergizi seimbang, rajin bergerak, dan mengelola stres
sebelum operasi.
Pasien biasanya diminta untuk datang ke rumah sakit sehari sebelum hari H atau pada pagi
hari H. Setelah itu, pasien akan diminta untuk:
11
Mandi menggunakan sabun khusus di sore hari sebelum hari H guna mengurangi
bakteri di kulit, dan menurunkan risiko terkena infeksi setelah bedah jantung.
Istirahat yang cukup
Hari H
12
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GAGAL JANTUNG
PENGKAJIAN
Pre operasi
Data subjektif :
- Pasien mengatakan merasa nyeri
- Pasien mengatakan tidak bisa tidur
- Pasien mengatakan sesak
Data objektif:
- Pasien tampak nyeri.
- Pasien tampak lemas
- RR: 29x/menit
Post operasi
Data subjektif :
- Keluarga mengatakan tampak kemerahan di area operasi
- Keluarga mengatakan pasien muntah-muntah pasca operasi.
- Keluarga mengatakan pasien mengalami penurunan nafsu makan
- Keluarga pasien mengatakan pada saat istirahat pasien sering merasa kesakitan.
Data objektif:
- Pasien tampak pucat
- Kulit pasien teraba lembab
- Tampak eritema di sekitar luka post operasi
- Pasien tampak tidak dapat beristirahat dengan baik karena nyeri.
1. Penurunan curah jantung b/d respon fisiologis otot jantung, peningkatan frekuensi,
dilatasi, hipertrofi atau peningkatan isi sekuncup
2. Pola nafas tidak efektif b/d penurunan volume paru
3. Perfusi jaringan tidak efektif b/d menurunnya curah jantung, hipoksemia jaringan,
asidosis dan kemungkinan thrombus atau emboli
4. Gangguan pertukaran gas b/d kongesti paru, hipertensi pulmonal, penurunan perifer
yang mengakibatkan asidosis laktat dan penurunan curah jantung.
5. Kelebihan volume cairan b/d berkurangnya curah jantung, retensi cairan dan natrium
oleh ginjal, hipoperfusi ke jaringan perifer dan hipertensi pulmonal
13
6. Cemas b/d penyakit kritis, takut kematian atau kecacatan, perubahan peran dalam
lingkungan social atau ketidakmampuan yang permanen.
7. Kurang pengetahuan b/d keterbatasan pengetahuan penyakitnya, tindakan yang
dilakukan, obat obatan yang diberikan, komplikasi yang mungkin muncul dan
perubahan gaya hidup
14
jantung dan monitor bunyi
jantung
Monitor frekuensi dan irama
pernapasan
Monitor suara paru, pola
pernapasan abnormal
Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
Monitor sianosis perifer
Monitor adanya cushing triad
(tekanan nadi yang melebar,
bradikardi, peningkatan sistolik)
Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign
2 Pola Nafas tidak NOC NIC
efektif Respiratory status :
Ventilation Posisikan pasien untuk
Definisi : Pertukaran Respiratory status : memaksimalkan ventilasi
udara inspirasi Airway patency Pasang mayo bila perlu
dan/atau ekspirasi Vital sign Status Lakukan fisioterapi dada jika
tidak adekuat perlu
Faktor yang Setelah dilakukan Keluarkan sekret dengan
berhubungan : tindakan keperawatan batuk atau suction
Hiperventilasi selama…. Pasien Auskultasi suara nafas, catat
Penurunan menunjukan keefektifan adanya suara tambahan
energi/kelelahan pola napas, dibuktikan Berikan bronkodilator
Perusakan/pelemah dengan : Berikan pelembab udara
an muskuloskletal Kassa basah NaCl Lembab
Obesitas Kriteria Hasil : Atur intake untuk cairan
Kelelahan Mendemonstrasikan
otot mengoptimalkan keseimbangan.
pernafasan batuk efektif dan suara Monitor respirasi dan status
Hipoventilasi nafas yang bersih, tidak O2
sindrom ada sianosis dan Bersihkan mulut, hidung dan
Nyeri dyspneu (mampu secret trakea
Kecemasan mengeluarkan sputum, Pertahankan jalan nafas yang
Disfungsi mampu bernafas dengan paten
Neuromuskuler mudah, tidak ada pursed Observasi adanya tanda tanda
Injuri tulang lips) hipoventilasi
belakang Menunjukkan jalan nafas Monitor adanya kecemasan
DS yang paten (klien tidak pasien terhadap oksigenasi
- Dyspnea merasa tercekik, irama Monitor vital sign
- Nafas pendek nafas, frekuensi Informasikan pada pasien dan
DO pernafasan dalam keluarga tentang teknik relaksasi
- Penurunan tekanan rentang normal, tidak untuk memperbaiki pola nafas
inspirasi/ekspirasi ada suara nafas
Ajarkan bagaimana batuk
- Penurunan abnormal) secara efektif
pertukaran Tanda Tanda vital dalam
udara Monitor pola nafas
permenit rentang normal (tekanan
- Menggunakan otot darah, nadi, pernafasan)
pernafasan tambahan
15
- Orthopnea
- Pernafasan pursed-
lip
- Tahap ekspirasi
berlangsung sangat
lama
- Penurunan kapasitas
vital respirasi < 11-
24x/menit
16
Denyut nadi lemah
atau tidak ada
17
perfusi ventilasi dengan mengauskultasi crakles
- perubahan membran dan ronkhi pada jalan napas
kapiler-alveolar utama
Uskultasi suara paru setelah
tindakan untuk mengetahui
hasilnya
AcidBase Managemen
Monitro IV line
Pertahankanjalan nafas paten
Monitor AGD, tingkat elektrolit
Monitor status
hemodinamik(CVP, MAP, PAP)
Monitor adanya tanda tanda gagal
nafas
Monitor pola respirasi
Lakukan terapi oksigen
Monitor status neurologi
Tingkatkan oral hygiene
18
(Rales atau crakles), Tentukan riwayat jumlah dan tipe
kongestikemacetan intake cairan dan eliminaSi
paru, pleural effusion Tentukan kemungkinan faktor
- Hb dan hematokrit resiko dari ketidak seimbangan
menurun, perubahan cairan (Hipertermia, terapi
elektrolit, khususnya diuretik, kelainan renal, gagal
perubahan berat jenis jantung, diaporesis, disfungsi
- Suara jantung SIII hati, dll )
- Reflek hepatojugular Monitor serum dan elektrolit urine
positif Monitor serum dan osmilalitas
- Oliguria, azotemia urine
- Perubahan status Monitor BP, HR, dan RR
mental, kegelisahan, Monitor tekanan darah orthostatik
kecemasan dan perubahan irama jantung
Monitor parameter hemodinamik
Faktor-faktor yang infasif
berhubungan : Monitor adanya distensi leher,
Mekanisme pengaturan rinchi, eodem perifer dan
melemah penambahan BB
Asupan cairan berlebihan Monitor tanda dan gejala dari
Asupan natrium odema
berlebihan
19
DAFTAR PUSTAKA
Fishman. Pulmonary disease and disorders. Fourth edition. Volume one. Philadelphia : WB
Saunders; 2008.p. 598-602
Ghanie A. Gagal jantung kronik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K Simadibrata
M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jilid II. Jakarta: FKUI; 2009.h. 1596-7.
Gray HH, Dawkins KD, Morgan JM, Simpson IA. Lecture notes kardiologi. Edisi IV.
Jakarta: Erlangga; 2002.h. 1-89.
Manurung D. Gagal jantung akut. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K Simadibrata
M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jilid II. Jakarta: FKUI; 2009.h. 1586-
94.
Mann DL. Heart failure and cor pulmonale. In: fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, editor.
Harrison’s principles of internal medicine. 17 th ed. New York: Mc graw hill, 2008.p.1443
Mansjoer A, Sudoyo AW, Alwi I, Rinaldi I, Harimutri K, Lakswi PW, Ranita R, Setiati S.
Kedokteran perioperatif evaluasi dan tatalaksana bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta: FKUI;
2007.h. 120-5.
McLuckie A. Respiratory disease and its management. London: Springer; 2008.p. 1-4.
Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Lecture kedokteran klinis. Edisi VI. Jakarta: Erlangga;
2007.h. 312-4.
20
21