Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN

Morbus Hansen adalah penyakit menular kronis yang disebabkan oleh


kuman Mycobacterium leprae, sejenis bakteri tahan asam, basil berbentuk
batang. Penyakit ini menyerang kulit, safaf tepi, mukosa dari saluran pernapasan
atas, dan mata. Penularan M. Leprae terutamanya adalah dari pasien MB yang
tidak diobati. Bukti menunjukkan bahwa dua portal masuk utama adalah kulit dan
saluran pernapasan bagian atas. Nasal discharge dari pasien yang tidak diobati
dengan Morbus Hansen aktif telah terbukti mengandung sejumlah besar bakteri
tahan asam. Masa inkubasi dari Mycobacterium leprae adalah 2 atau 5 tahun,
tetapi bisa lebih (WHO,2012).
Berdasarkan data WHO pada tahun 2011 mengenai distribusi pasien
Morbus Hansen di seluruh dunia, Indonesia merupakan daerah endemis dengan
lebih dari 10.000 kasus baru per tahun dengan prevalensi 1,03 per 10.000
penduduk. Berdasarkan data epidemiologi depkes, jumlah kasus baru pada
tahun 2012, sebanyak 17.980 kasus, untuk cacat tingkat 2 (cacat yang terlihat)
sebesar 0,85/100.000 penduduk serta jumlah kasus baru anak < 15 tahun pada
tahun 2012 sebesar 1959 (10,9%) dari total kasus baru. Selain itu, berdasarkan
data dari Rekam Medis Poli Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Saiful Anwar dari
tahun 2010 hingga 2012 menunjukan bahawa pada tahun 2010 terdapat 258
kunjugan ke poli dengan 38 pasien baru. Pada tahun 2011 terdapat 280 kasus di
poli dan 33 diantaranya adalah pasien baru. Untuk tahun 2012 dari bulan Januari
sampai April dilaporkan 68 kasus dan 8 kasus diantaranya adalah pasien baru
(Hargrave, 2010)
Ada dua sistem yang digunakan untuk mengklasifikasikan penderita
Morbus Hansen, yaitu klasifikasi Ridley- Jopling dan WHO. Sistem klasifikasi
Ridley- Jopling paling komprehensif dan akurat. Klasifikasi ini menggunakan
tanda klinis, histopatologi, dan indeks bakteriologis (BI) untuk mengidentifikasi
sesuai kategorinya. Klasifikasi Ridley- Jopling terdiri dari tuberculoid leprosy( TL),
borderline tuberculoid( BT), borderline( BB), borderline lepromatous(BL) dan
lepromatous leprosy( LL). Klasifikasi ini relatif kompleks, karena itu jarang
digunakan di lapangan terutama pada daerah endemic dengan sumber daya
yang rendah. Sistem kedua yaitu klasifikasi WHO, berdasarkan pada jumlah lesi
kulit dan mengidentifikasi dua bentuk, PB dan MB. Hal ini digunakan sebagai
dasar penggunaan MDT dan terutama dikembangkan pada daerah yang tidak
memungkinkan dilakukan hapusan sedian BTA (ILEP,2002).
Perbedaan antara MH MB dan PB adalah pada PB jumlah lesi kulit
adalah 2-5 lesi, BTA negatif, distribusi asimetris, dan melibatkan hanya satu
saraf dan mati rasa yang tidak jelas. Pada pasien MB terdapat lebih dari 5 lesi,
BTA positif, distribusi lesi yang simetris, melibatkan lebih dari satu saraf, atau
mati rasa yang tidak jelas (Elfadl,2011).
Diagnosa Morbus Hansen menurut WHO ditegakkan berdasarkan
'cardinal sign'. Jika pasien menunjukan satu atau lebih cardinal sign ini maka dia
didagnosa sebagai pasien Morbus Hansen. Tanda - tanda cardinal itu adalah 1)
Hipo-pigmentasi atau kemerahan lesi kulit lokal dengan hilangnya sensasi
(khususnya sentuhan dan suhu); ATAU 2) keterlibatan saraf perifer, yang
ditunjukkan oleh penebalan pada saraf saraf perifer tertentu dengan hilangnya
sensasi (khususnya sentuhan dan suhu); ATAU 3) kulit yang positif untuk
BTA(WHO,2012).
Morbus Hansen adalah penyakit yang dapat disembuhkan secara efektif
menggunakan MDT degan regimen terapi untuk dewasa dan anak-anak.. Untuk
pasien dewasa dengan Paucibacillary pengobatan MDT adalah
Rifampicin 600 mg, Dapsone 100 mg untuk hari pertama dan Dapsone 100 mg
untuk hari ke 2- 28 sebanyak 6 blister. Bagi pasien dewasa dengan Multibacillary
pengobatan yang diberikan adlah Rifampicin 600 mg, Clofazimine 300 mg dan
Dapsone 100 mg untuk hari 1, dan Clofazimine 50 mg dan Dapsone 100 mg
untuk hari 2- 28 sebanyak 12 blister. Sedangkan untuk anak dengan
Paucibacillary pengobatan MDT adalah < 5 tahun berdasarkan berat badan , 5-
<10 tahun rifampisin 300 mg/bulan dan DDS 25mg/ bulan serta 25 mg/ hari , 10-
15 tahun rifampisin 450 mg/bulan, DDS 50 mg/bulan serta 50 mg/ hari sebanyak
6 blister. Untuk anak dengan Multibacillary pengobatan MDT yang diberikan < 5
tahun berdasar berat badan, 5-<10 tahun rifampisin 300 mg/bln DDS 25
mg/bulan dan 25 mg/hari, Clofazimine 100 mg/bulan dan 50 mg dua kali
seminggu, 10-<15 tahun Rifampisin 450mg/bula, DDS 50 mg/bulan dan 50
mg/hari, Clofazimine 150 mg/bulan dan 50 mg setiap dua hari sebanyak 12
blister(Hargrave,2010).
Pada pasien MH bisa terjadi gejala reaksi sebelum pengobatan, semasa
pengobatan dan juga setelah pengobatan. Pada reaksi Tipe 1 keadaan umum
pasien baik dan bisa juga demam. Selain itu, Reaksi tipe 1 ditandai oleh
timbulnya bercak baru, nyeri saraf, atau gangguan fungsi saraf. Reaksi tipe ini
umumnya terjadi pada pasien MH dengan PB. Pada reaksi Tipe 2 keadaan
umum pasien tampak sakit ringan sampai berat disertai demam tinggi. Selain itu,
timbul nodul kemerahan, lunak dengan nyeri tekan. Selain itu dapat terjadi
peradangan pada organ organ lain seperti pada mata, kelengar getah bening,
sendi, testis dan lain lain (Elfadl,2011).
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : An. KA
Umur : 9 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Dsn.Banaran Ds. Picisan RT I/I Kec. Sendang
Kab. Tulungagung
Status : Belum Menikah
No. RM : 016402
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Tanggal Periksa : 28 September 2015

2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama
Bercak merah pada siku kiri
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan muncul bercak merah di sekeliling siku kiri sejak 2
minggu yang lalu. Awalnya bercak seperti panu kecil yang semakin lama
semakin lebar, berwarna merah, kering, dan kulit-kulit di sekitarnya mengelupas.
Rasa panas (-), gatal (-), nyeri (-), mati rasa (+).
Timbul bercak merah di kedua paha, punggung, dan lengan kiri atas sejak
1 minggu yang lalu. Bercak tersebut juga mati rasa. Semakin lama semakin
melebar.
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak perak sakit seperti ini sebelumnya. Pasien pernah menderita
panu sekitar 1 tahun yang lalu. Pasien pernah mengalami kejang demam saat
balita. Riwayat alergi disangkal.
2.2.4 Riwayat Pengobatan
Pasien berobat ke dokter spesialis anak 1 minggu yang lalu. Diberi obat
minum dan salep, namun tidak membaik.
2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami sakit/keluhan serupa dengan pasien.
2.2.6 Riwayat Kontak dan Sosial
Riwayat kontak dengan pasien kusta sebelumnya disangkal. Pasien saat
ini adalah seorang pelajar SD kelas 3. Pasien merupakan anak tunggal.

2.3 Pemeriksaan Fisik


2.3.1 Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis, GCS 456
Higiene : Sedikit kurang (pakaian, rambut bersih, kuku
kesan kotor)
Tanda vital : Tekanan darah : tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : 88 x/menit
RR : 19 x/menit
Tax : 36,60C
BB : 39 kg
Kepala/Leher : anemis (-), icterus (-), sianosis (-), edema (-)
Saddle nose (-) lagoftalmus (-)
Thorax : Cor/ ictus invisible, palpable St ICS V MCL S
S1S2 single, mumur (-), gallop (-)
Pulmo/ nafas spontan, simetris, v | v
v|v
v|v
Abdomen : flat, soefl, BU (+) N
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema - | -
-|-

Stiffness - | - Clawing - | - Mutilasi - | -


-|- -|- -|-

Kelainan kulit (status dermatologis)


2.3.2 Status Dermatologis
I. Lokasi : Siku lengan kiri
Distribusi : terlokalisir
Ruam : Plak eritematosa dengan skuama warna putih, batas
tegas, bentuk anular, ukuran lingkar diameter dalam 5 cm
lingkar diameter luar 8 cm, lesi tunggal
II. Lokasi : punggung, brachialis posterior sinistra
Distribusi : terlokalisir
Ruam : plak eritematosa, batas tegas, ukuran diameter 0,5-2 cm,
bentuk oval
III. Lokasi : femoralis anterior dextra
Distribusi : terlokalisir
Ruam : lesi punch-out eritematosa, batas tegas, ukuran diameter
3x2 cm
IV. Lokasi : femoralis anterior sinistra
Distribusi : terlokalisir
Ruam : plak eritematosa, batas tegas, bentuk oval, ukuran 3x2
cm

Gambar 2.1 Lokasi Ruam


Gambar 2.2 Lesi di Siku Kiri
dan Lengan Atas Kiri
Gambar 2.3 Lesi di Punggung

Gambar 2.4 Lesi di Paha Kanan Gambar 2.5 Lesi di Paha Kiri
2.3.3 Pemeriksaan Prevention of Disability (POD)

Gambar 2.6 Hasil Pemeriksaan POD


2.4 Diagnosis Banding
1. Morbus Hansen Pausi Basiler
2. Psoriasis inversa
3. Tinea corporis
2.5 Pemeriksaan Penunjang
28 September 2015
Hemoglobin : 11,30 gr/dL
BTA
Cuping telinga kanan : negatif
Cuping telinga kiri : negatif
Dahi : negatif
Dagu : negatif
BI :0
MI :0%

2.6 Diagnosis
Morbus Hansen Multi Basiler + Reaksi Kusta Tipe 1 Berat

2.7 Tata Laksana


Terapi yang diberikan pada pasien yaitu:
1. Farmakologi
a. MDT MB anak 12 blister
b. Antasida 1-0-0 sebelum makan
c. Vitamin B complex 1x1
d. Prednisone tablet 30mg-0-0 setelah makan (tappering off tiap 2 minggu)
2. Nonfarmakologi
a. Pemeriksaan POD (Prevention of Disability) tiap bulan
b. Memakai alas kaki
c. Tidak berdiam dengan posisi yang tetap dalam waktu lama

2.8 KIE
a. Menjelaskan tentang penyakit pasien kepada pasien dan orang tua
b. Menjelaskan rencana pengobatan pasien kepada pasien dan orang tua
c. Menjelaskan reaksi kusta yang terjadi pada pasien
d. Menjelaskan pentingnya menggunakan alas kaki

2.9 Prognosis
- Prognosis ad vitam: dubia
- Prognosis ad functionam: dubia
- Prognosis ad sanam: dubia
- Prognosis ad kosmetikam: dubia
BAB 3
PEMBAHASAN

Morbus hansen atau kusta atau lepra adalah penyakit granulomatosa


kronis yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacteriumleprae. Bakteri ini
tidak dapat dibiakkan di media lain, merupakan bakteri gram positif, bersifat
intraseluler obligat, dan basil tahan asam (Lee et all, 2011)
Bakteri ini pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit,
mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, tulang,
dan testis, kecuali susunan saraf pusat. Sehingga akan terjadi kerusakan
sensoris dan motoris sebagai hasil dari deformitas dan sensibilitas dari bakteri
tersebut (Mufidah, 2009)
Berdasarkan data WHO pada tahun 2011 mengenai distribusi pasien
Morbus Hansen di seluruh dunia, Indonesia merupakan daerah endemis dengan
lebih dari 10.000 kasus baru per tahun dengan prevalensi 1,03 per 10.000
penduduk. Berdasarkan data epidemiologi depkes, jumlah kasus baru pada
tahun 2012, sebanyak 17.980 kasus, untuk cacat tingkat 2 (cacat yang terlihat)
sebesar 0,85/100.000 penduduk serta jumlah kasus baru anak < 15 tahun pada
tahun 2012 sebesar 1959 (10,9%) dari total kasus baru. Selain itu, berdasarkan
data dari Rekam Medis Poli Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Saiful Anwar dari
tahun 2010 hingga 2012 menunjukan bahawa pada tahun 2010 terdapat 258
kunjugan ke poli dengan 38 pasien baru. Pada tahun 2011 terdapat 280 kasus di
poli dan 33 diantaranya adalah pasien baru. Untuk tahun 2012 dari bulan Januari
sampai April dilaporkan 68 kasus dan 8 kasus diantaranya adalah pasien baru
(Hargrave, 2010)
Patogenesis terjadinya morbus hansen dimulai dari M. Leprae yang
dindingnya tersusun dari peptidoglikan yang berhubungan dengan
arabinogalaktan dan asam mikolat. Protein imunogenik yang dimiliki bakter ini
berhubungan dengan dinding sel host dan terdapat pada sitoplasma. Adanya
dinding sel yang berasosiasi denga lipoprotein dan ligan yang mengenali
reseptor atau PRRs pada sistem imun innate kemungkinan menginisiasi respon
tubuh atau host pada M.Leprae. respon ini sangat penting untuk menentukan
gejala klinis. Bakteri kemudian memasuki saraf dimediasi oleh spesies spesifik
trisakarida pada basal lamina sel schwann, hal ini membuktikan kenapa
M.Leprae hanya menginvasi saraf perifer (Fitzpatrick, 8th ed).
Terdapat beberapa faktor yang menentukan terjadinya penyakit kusta,
mulai dari faktor penyebab hingga faktor host. Faktor-faktor tersebut yaitu:
1. Penyebab : Mycobacteriumleprae yang dalam kondisi tropis dapat bertahan
di luar tubuh sampai sembilan hari.
2. Sumber penularan: hingga saat ini hanya manusia yang dianggap sebagai
sumber penularan.
3. Cara penularan: droplet melalui saluran napas bagian atas. Penyakit ini
memiliki masa inkubasi 2-5 tahun atau lebih. Penularan secara teori terjadi
jika terdapat kontak yang lama dengan penderita yang belum menjalani
pengobatan MDT
4. Cara masuk: melalui saluran napas bagian atas atau melalui kontak kulit
yang tidak intak.
5. Host: imunitas yang rendah meningkatkan kejadian kusta.(Adhyatma, et al.,
2012)
Sama seperti penegakan diagnosis penyakit lain, dalam penegakan
diagnosis penyakit kusta diperlukan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis ditanyakan secara lengkap mengenai
riwayat lengkap penyakit. Mulai dari identitas, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, riwayat pengobatan, riwayat kontak
dengan pasien kusta, dan riwayat sosial. (Adhyatma, et al., 2012)
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan secara generalis mulai
dari keadaan umum, tanda-tanda vital, dan pemeriksaan fisik head-to-toe.
Kemudian dilakukan pemeriksaan status dermatologis sekaligus chartinglesi dan
pemeriksaan fungsi saraf tepi seperti nervus rasialis, ulnaris, medianus,
peroneuscommunis, dan tibialis posterior. Pemeriksaan penunjang terutama
yang dilakukan adalah pemeriksaan bakteri tahan asam.
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda
utama atau tanda kardinal (Cardinal sign), yaitu :
1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa. Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak
putih (hipopigmentasi) atau kemerahan (eritema) yang mati rasa (anestesi)
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan
fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan saraf tepi (neuritis perifer)
kronis. Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris: kelemahan (paresis) atau kelumpuhan
(paralisis) otot
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering dan retak-retak
3. Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (slitskinsmear)
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila terdapat satu dari tanda-
tanda utama di atas. (Adhyatma, et al., 2012).
Pada pasien ini, didapatkan lesi eritema yang mati rasa di siku kiri, lengan
kiri atas, punggung, dan di kedua paha. Sehingga telah memenuhi kriteria
diagnosis berdasarkan tanda kardinal meskipun tidak didapatkan gangguan
fungsi saraf ataupun adanya basil tahan asam di dalam kerokan jaringan
Setelah seseorang didiagnosa kusta, maka tahap selanjutnya adalh
dilakukan klasifikasi atau penentuan tipe sebagai dasar terapi atau tatalaksana.
Dasar klasifikais ditentukan berdasarkan manifestasi klinik dan hasil pemeriksaan
bakteriologis. Terdapat klasifikasi yaitu klasifikasi Ridley- Jopling dan WHO.
Sistem klasifikasi Ridley- Jopling paling komprehensif dan akurat. Klasifikasi ini
menggunakan tanda klinis, histopatologi, dan indeks bakteriologis (BI) untuk
mengidentifikasi sesuai kategorinya. Klasifikasi Ridley- Jopling terdiri dari
tuberculoid leprosy( TL), borderline tuberculoid( BT), borderline( BB), borderline
lepromatous(BL) dan lepromatous leprosy( LL). Klasifikasi ini relatif kompleks,
karena itu jarang digunakan di lapangan terutama pada daerah endemic dengan
sumber daya yang rendah. Sistem kedua yaitu klasifikasi WHO, berdasarkan
pada jumlah lesi kulit dan mengidentifikasi dua bentuk, PB dan MB. (WHO,2012).
Berikut adalah perbedaan PM dan MB menurut WHO:
Pasien ini digolongkan sebagai morbus Hansen multi basiler karena
memiliki lesi lebih dari 5.
Pada saat sebelum, saat, atau setelah pengobatan dapat terjadi suatu
reaksi kusta yang merupakan episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta
dan merupakan suatu reaksi kekebalan dengan akibat merugikan penderita.
Terdapat dua jenis reaksi berdasarkan proses terjadinya, yaitu reaksi tipe 1 dan
tipe 2 yang masing masing terbagi lagi menjadi derajat ringan dan berat. Reaksi
kusta tipe 1 terjadi pada penderita baik PB maupun MB dan kebanyakan terjadi
pada 6 bulan pertama pengobatan yang terjadi akibat respon kekebalan seluler
terhadap kuman kusta di kulit dan saraf penderita. Sedangkan reaksi tipe 2
hanya terjadi pada penderita tipe MB dan merupakan respon humoral dimana
basil kusta yang utuh maupun tidak utuh menjadi antigen dan tubuh membentuk
antibodi dan komplemen(BP3K, 2012). Pada pasien didapatkan reaksi tipe 1
berat karena didapatkan kelainan kulit baru membengkak dan merah disekitar
saraf perifer. Pada saat sebelum,saat atau setelah pengobatan dapat terajadi
suatu reaksi kusta yang merupakan episode dalam perjalanan kronis penyakit
kusta dan merupakan suatu reaksi kekebalan dengan akibat merugikan
penderita. Terdapat dua jenis reaksi, yaitu reaksi tipe 1 dan tipe 2 yang masing
masing terbagi lagi menjadi derajat ringan dan berat. Pada pasien didapatkan
reaksi tipe 1 berat karena didapatkan kelainan kulit baru disekitar saraf perifer
(BP3K, 2012).
Tinea korporis merupakan dermatofitosis yang terletak di kulit kecuali
bagian telapak tangan, telapak kaki, dan area genital. Tinea ditularkan melalui
kontak langsung dengan lesi penderita. Dari gambaran klinis yang mirip dengan
morbus hansen adalah didapatkannya lesi berbentuk anuler (bentukan mirip ring-
worm) atau plak serpiginosa dengan skuama di daerah aktif dengan batas
eritema. Batas lesi ini sering kali vesikular, dan tumbuh melingkar. (Schieke &
Garg, 2012). Di bagian tengah plak sering kali berskuama namun dapat tampak
bersih (central healing) oleh karena menipis dan terjadi penyembuhan. Biasanya
penderita merasakan gatal terutama bila berkeringat. (Handoyo & Abdullah,
2009). Pada pasien didapatkan lesi anuler yang mirip seperti bentukan tinea,
namun lesi pasien dibedakan dengan tinea karena tidak didapatkannya bentukan
central healing yang khas pada tinea dan pada lesi pasien dikeluhkan mati rasa,
pada tinea tidak akan didapatkan lesi yang mengganggu fungsi saraf sensoris.
Selain tinea diagnosa banding morbus hansen yaitu psoriasis. Psoriasis
mmerupakan penyakit inflamasi kronik yang ditandai dengan adanya makula
eritematous dengan skuama tebal berwarna putih. Kriteria diagnosa pasti
psoriasis apabila didapatkan auspitz sign yaitu bintik perdarahan pada dasar luka
setelah dilakukan kerokan karena pemanjangan papila dermis, kobhner sign
dimana lokasi nya biasanya di tempat yang sering terkena trauma dan adanya
bercak lilin pada kerokan skuama. Pada kasus ini pasien di diagnosis banding
dengan psoriasis karena adanya lesi di daerah siku yang terdapat skuama tebal.
Tujuan utama program pengontrol lepra adalah (1) deteksi dini pasien
lepra; (2) memberikan pengobatan yang sesuai; (3) pencegahan kecacatan
secara optimal dan rehabilitasi. Lepra merupakan penyakit infeksi, oleh karena
itu terapi antibiotic merupakan manajemen utama dalam menghadapi pasien
lepra. Beberapa agen penghambat pertumbuhan M. leprae seperti Dapsone,
rifampicine, dan clofazimin (Ishii, 2003). WHO telah memberikan terobosan untuk
mempermudah pengobatan lepra selama 28 hari, dengan kemasan blister untuk
kedua jenis lepra baik PB maupun MB (Ishii, 2003).
MDT (Multi Drug Theraphy) merupakan kunci utama pengobatan lepra.
Baik Pausibasiler (PB) maupun Multibasiler (MB) berpusat pada rifampisin
sebagai regimen obat yang utama. Resistensi merupakan akibat dari monoterapi
yang diberikan. Oleh karena itu monoterapi dengan Dapson atau obat anti lepra
lainnya akan dianggap pemberian yang tidak etik (Ishii, 2003).
Pada pasien ini diberikan pengobatan MDT MB anak sebanyak dua belas
blister sesuai rekomendasi pengobatan lepra tipe MB. Aturan minum pengobatan
lepra anak kurang dari 10 tahun adalah Rifampisin diminum 300 mg / bulan
(diminum pada hari pertama) ditambahkan Dapson 25mg/bulan (diminum pada
hari pertama) ditambahkan Clofazimine 100mg/bulan (diminum pada hari
pertama). Pemakaian obat dilanjutkan dengan Dapson 25mg/hari (diminum pada
hari kedua hingga hari ke-28) dan Clofazimine 50mg dua kali seminggu. Selain
itu pasien diberikan vitamin B kompleks yang berguna sebagai roborantia
(Tiarasari, 2014).

Gambar 3.1 Tabel Pemberian Regimen Obat Anti Lepra pada Pasien Lepra
Multibasiler
Berdasarkan hasil penelitian, efek samping obat kusta yang paling banyak
dialami oleh penderita kusta tipe MB di Kabupaten Rembang adalah air kencing
berwarna merah dan warna kulit berubah menjadi ungu kehitaman. Hal ini sesuai
dengan teori dari WHO (2005), yang menyebutkan bahwa efek samping obat
kusta yang sering dialami oleh penderita kusta tipe MB adalah air kemih
berwarna merah yang merupakan efek yang ditimbulkan oleh rifampisin yang
diminum sebulan sekali dan kulit berubah menjadi gelap atau ungu kehitaman
yang merupakan efek yang ditimbulkan oleh lampren yang diminum penderita
kusta tipe MB setiap hari (Afifah, 2014).
Secara spesifik, Dapson memiliki efek samping berupa erupsi obat, anemia
hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia, methemoglobinemia. Clofazimine
menyebabkan pigmentasi kulit yang sering bermasalah pada ketaatan penderita.
Clofazimine dosis tinggi menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti nyeri
abdomen, diare, anoreksia, dan vomitus). Efek tidak diharapkan dari Rifampisin
adalah hepatotoksik, nefrotoksik, dan gejala gastrointestinal (Partogi, 2008).
Pada pasien ini direncanakan monitoring rutin hemoglobin, MCV, MCH,
MCHC dan leukosit dengan pemeriksaan darah lengkap untuk deteksi dini efek
samping dari Dapson. Pemeriksaan fungsi ginjal dan hati untuk deteksi dini efek
samping rifampisin direncanakan pada pasien ini dengan memeriksa kadar
albumin, SGOT, dan SGPT.
Seluruh kasus lepra pada anak umur kurang dari lima belas tahun yang
telah di tes derajat deformitas nya saat diagnosis menghasilkan hasil yang baik.
Tujuan mengontrol terjadi nya deformitas pada pasien lepra didukung dengan
akses pasien yang lebih mudah untuk mengikuti tes untuk mengukur derajat
deformitasnya saat diagnosis (Lana et al., 2013). Pada pasien dijadwalkan untuk
secara rutin melakukan tes POD yang bertujuan untuk mengurangi resiko cacat
akibat gangguan fungsi saraf.
Pencegahan cacat atau prevention of disabillity (POD) adalah suatu usaha
untuk memberikan tindakan pencegahan terhadap penderita agar terhindar dari
risiko cacat selama perjalanan penyakit kusta, terutama akibat reaksi kusta.
Tujuan pencegahan cacat adalah jangan sampai terjadi kecacatan yang timbul
atau bertambah setelah penderita terdaftar dalam pengobatan dan pengawasan.
Terjadinya cacat pada penderita kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf
tepi baik oleh kuman maupun karena terjadinya peradangan saraf (neuritis)
sewaktu terjadi reaksi kusta (Tiarasari, 2014)
Kerusakan fungsi sensorik Kerusakan fungsi sensorik akan menyebabkan
terjadinya kurang atau mati rasa yang berakibat tangan dan kaki dapat terjadi
luka. Sedang bila mengenai kornea mata menyebabkan kurangnya atau
hilangnya reflek berkedip.
Kerusakan fungsi motorik Kekuatan otot tangan dan kaki menjadi lemah
atau lumpuh lalu mengecil (atropi), jari tangan dan kaki bengkok (claw hand dan
claw toes) serta terjadi kekakuan sendi (kontraktur). Bila kerusakan terjadi pada
otot kelopak mata, maka kelopak mata tidak dapat dirapatkan (lagopthalmus)
(Tiarasari, 2014)
Kerusakan fungsi otonom Kerusakan pada fungsi otonom akan
mengakibatkan gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan sirkulasi
darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, keras dan pecah-pecah. Penderita
yang berisiko mendapat cacat adalah penderita yang terlambat mendapat MDT,
mengalami reaksi kusta terutama reaksi reversal, banyak bercak di kulit dan
penderita dengan nyeri saraf atau pembesaran saraf (Tiarasari, 2014). Sebab-
sebab diatas melatar belakangi pemeriksaan POD yang dianjurkan untuk rutin
dilakukan. Pemakaian alas kaki dianjurkan untuk mencegah trauma akibat
gangguan fungsi saraf sensoris pada plantar kaki.
Reaksi reversal seringkali ditandai dengan edema dan lesi eritema. Neuritis
disertai lesi baru atau demam juga mungkin terjadi. Apabila pada pasien terdapat
neuritis atau ulserasi, kortikosteroid dosis tinggi digunakan yaitu 1mg/kgBB per
hari. Reaksi ini berlangsung selama 24-48 jam. (Ishii, 2003). Pada pasien ini
diberikan Prednison 30 mg/hari dan dilakukan tapering off setiap 2 minggu untuk
mengurangi efek samping dari kortikosteroid. Selain itu ditambahkan pemberian
antasida untuk mencegah efek samping cepat kortikosteroid pada lambung

Gambar 3.2 Pengobatan Lepra Reaksi 1 dan 2


Pasien lepra tipe TT dapat sembuh tanpa obat atau pasien BT yang
menjadi TT. Selain kasus tersebut, justru pasien lepra akan meningkat
keprogresifannya, meningkat morbiditasnya sejalan dengan trauma saraf atau
dengan adanya reaksi kusta. Pengobatan lepra menyebabkan berhentinya
aktifitas penyakit, namun stocking-glove pattern akan terus progresif. Neuritis
perifer membaik dengan kortikosteroid.
BAB 4
RINGKASAN

Telah dilaporkan pasien An.KA 9 tahun, datang ke Poli RS kusta Kediri


untuk periksa dengan keluhan bercak mati rasa. Bercak merah mati rasa
dikeluhkan di sekeliling siku kiri sejak 2 minggu yang lalu. Awalnya bercak seperti
panu kecil yang semakin lama semakin lebar, berwarna merah, kering, dan kulit-
kulit di sekitarnya mengelupas. Rasa panas (-), gatal (-), nyeri (-), mati rasa (+).
Timbul pula bercak merah di kedua paha, punggung, dan lengan kiri atas sejak 1
minggu yang lalu. Bercak tersebut juga mati rasa. Semakin lama semakin
melebar.
Dari hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang ditemukan:
 Plakeritematosa dengan skuama warna putih, batas tegas, ireguler, ukuran
lingkar diameter dalam 5 cm lingkar diameter luar 8 cm, lesi tunggal,
disertai peninggian di tepi padasiku lengan kiri
 Noduleritematosa, batas tegas, ukuran diameter 0,5-2 cm pada punggung
dan brachialis posterior S
 Noduleritematosa, batas tidak tegas, bentuk bulat, ukuran diameter 3x2 cm
pada femoralis anterior D dan S
 Pemeriksaan BTA: negatif dengan adanya makula aktif disekitar saraf tepi
Sehingga pasien ini didiagnosis sebagai:
Morbus Hansen tipe Multibasiler dengan reaksi tipe 1 berat.
Terapi kausatif adalah MDT-MB regimen anak 12 blister dan Prednisone
tablet 30mg-0-0 setelah makan (tapperingoff tiap 2 minggu)
Pada pasien dan keluarga ini penting untuk dilakukan KIE yaitu mengenai
penyakit pasien, agar pasien teratur dalam menjalani pengobatan, serta
mencegah terjadinya reaksi MH.
DAFTAR PUSTAKA

Afifah N. 2014. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Drop Out


Pengobatan Penderita Kusta Tipe MB. Unnes Journal of Public Health;
3(2): 1-11
Elfadl, 2011. State Of Leprosy In Khartoum-Sudan, A Descriptive Study On
Leprosy Eye Manifestations In Khartoum State Represented by the Abu
Rouf Opthalmic Clinic.x
Hargrave et al, Guidelines in the control of Leprosy in the Nothern Territory ,
2010.
http://www.health.nt.gov.au/library/scripts/objectifyMedia.aspx?file=pdf/10/9
0.pdf
Lana FCF, Fabri ACOC, Lopes FN, Carvalho APM. 2013. Deformities due to
Leprosy in Children under Fifteen Years Old as an Indicator of Quality of
the Leprosy Control Programme in Brazilian Municipalities. J TropMed;
2013: 1-6
ILEP,2002. Working for a World Without Leprosy..http://www.ilep.org.uk/facts-
about-leprosy/the-treatment-of-leprosy/
Ishii N. 2003. Recent advances in the treatment of leprosy. Dermatology Online
Journal; 9(2): 1-9
Lee, Delphine J., Rea, Thomas H. dan Modlin, Robert L. Leprosy.
[penyunt.Lowell A. Goldsmith, et al. Fitzpatrick's Dermatology in Clinical
Medicine 8th Edition. New York : McGraw Hill, 2012, hal. 2253-2262.
Medical Support Department, AIFO, Italy - 2004. Leprosy Classification and
Differential Diagnosis
http://www.aifo.it/english/resources/online/courses/lepdd/lepdd2.htm
Mufidah, Agustina dan Rahmah. Morbus Hansen. [penyunt.] Benny Abdullah.
Dermatologi Pengetahuan Dasar dan Kasus di Rumah Sakit. Surabaya:
Pusat penerbitan dan percetakan Universitas Airlangga, 2009, hal 149-159
Partogi D. 2008. Pengadaan Obat Kusta. USU e-repository; 2009: 1-11
Steven doerr, Leprosy 2012 ,
http://www.emedicinehealth.com/leprosy/page7_em.htm#medical_treatmen
t
Tiarasari R. 2014. Rehabilitation and Disability Limitation of Youth 22 Years Old
Morbus Hansen. J Medula Unila; 3(2): 96-107
World Health Organization, 2012. Leprosy
http://www.who.int/lep/leprosy/en/index.html

Anda mungkin juga menyukai