Anda di halaman 1dari 92

KONSEP WAHDATUL WUJUD

MENURUT ABDURRAUF SINGKEL


DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN TAUHID

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Dalam


Pendidikan Islam (S.Pd.I)

SKRIPSI

Disusun oleh:
MUAZIN
11102053

JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA
2006
DEPARTEMEN AGAMA RI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA
Jl. Stadion No. 03 Telp. (0298) 323706, 323433 Salatiga 50721
Website: www.stainsalaliga.ac.id E-mail: administrasiia stain.salatiua.ac.id

PENGESAHAN

Skripsi Saudara: Muazin dengan Nomor Induk Mahasiswa 11102053 yang


berjudul:

KONSEP WAHDATUL WUJUD MENURUT ABDURRAUF SINGKEL


DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN TAUHID

Telah dimunaqosyahkan dalam sidang Panitia Ujian, Sekolah Tinggi Agama


Islam Negeri Salatiga pada hari: Sabtu, tanggal: 6 September 2006 M yang
bertepatan dengan tanggal: 12 Ruwah 1427 H dan telah diterima sebagai bagian
dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar Saijana dalam ilmu Tarbiyah.

Salatiga, 6 September 2006 M


12 Ruwah 1427 H

PANITIA MUNAQASYAH
DEPARTEMEN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA
Jl. Tentara Pelajar No. 2 Telepon (0298) 323706, 323433,
faks. 3234333 Kode Pos 50721

NOTA PEMBIMBING

Salatiga, 01 Agustus 2006

Lamp : 1 (satu) naskah


Hal : Pengajuan Naskah Skripsi

Yth. Ketua STAIN Salatiga

Di Salatiga

Assalamualaikum Wr. Wb

Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini,
kami kirimkan naskah skripsi mahasiswa:
Nama : Muazin
NIM : 11102053
Program Studi : PendidikanAgama Islam
Judul : KONSEP WAHDATUL WUJUD MENURUT ABDURRAUF
SINGKEL DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN
TAUHID
Untuk diujikan dalam Sidang Munaqasyah Skripsi

Demikian harap menjadi periksa.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Pembimbing
M O T T O

“TfUidiipan D i Dunia Ini Jfanya “Mampir !Ngom6e”

fipa Tang TeCaH Tjiu Siapdgn Vntu^Kfdufupan Tang Se6enamya? ”

“Manusia Dengan VsaHanya (Dan Tudan Dengan Taf(dir-Nya”

“HAMAMAYU HAYUNING B A W A N A ”
(FEGtf'EMCBJKHjWr

SHfipsi ini penuCis persem6aH^an kepacCa:

y (Bapaf^dan i6u yang tercinta serta HeCuargaku yang teCaH mendo ’afign
dan meme6eriHan perHatian 6ai£ moriC maupun materiiC daCarn
pem6uatan sHripsi ini

y Teman-temanHu sepeijmngan {(DHuHa, (DHopar, Tpsyid, JLCif, Tppif^


,
(YuCianto (Djafarin, Mas Tat, Mas JAriefdan HeCuarga 6esarJLCManar}

y SaHa6at - saHa6atHu di mapaCa MITJATJASA (Amef^ TfHer, Cemot,


;
Cermitd, (Pencor Sonto, 0 6 i M a ' e , (Denof^ Vina, Iis, Qaci, Chino,
Tent HoC, QenduCdan semuayang teCaH menemaniHu mendaki gunung J

y M y soHi6 {TaiHfian, Jiniq, Tais, Tay, Sa6iC, Tauzan, Oamroni, Vmam,


Tfur TCadi, Jlgus SaCim, Tny, Tvy, Vmy, Yusy, SianieH^ IndaH, Listari,
I Ha, Navif^dan semua temen-temen waHtu 6ercanda 6ersama

y Semua Haum musdmin yang 6erHijraH HejaCan iCaHi Ta66i


KATA PENGANTAR

3 J
J V lj J j —<^Jl(^JLP j a^L^aJl j la-bj^* lSL>j < * * j t £ j i I j J - aujl*J->

Segala puji bagi Allah dengan semua pujian yang mampu memenuhi

nikmat-nikmat-Nya dan mencukupi tambahan-Nya, dan shalawat beserta salam

kiranya terlimpah kepada al Musthafa. Sang Rasul yang terjaga dan mulia, serta

berlimpah pula kepada keluarga, para sahabat dan pengikut yang setia.

Berkat rahmat Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, skripsi ini

dapat penulis selesaikan, meskipun masih banyak kekurangan. Dalam kesempatan

inilah penulis mengharapkan kritik dan saran kepada semua pihak demi

kesempuman selanjutnya, dan akhimya penulis mendapat ilmu yang bermanfaat

di dunia maupun di akhirat.

Dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mengakhiri program studi

tingkat sarjana (SI) pada Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga, maka penulis

mengajukan skripsi yang beijudul: “Konsep Wahdatul Wujud Menurut Abdurrauf

Singkel Dan Implikasinya Dalam Pendidikan Tauhid”.

Secara keseluruhan penulisan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan dan

petunjuk dari bapak pembimbing serta bapak/ibu dosen lainnya, oleh karena itu

penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Ketua STAIN Salatiga

2. Bapak Drs. Miftahuddin, M.Ag, selaku Ketua Progdi PAI

3. Bapak Drs. Djuz’an, M.Hum, selaku pembimbing skripsi

4. Bapak dan Ibu dosen serta segenap staf STAIN Salatiga


5. Teman - teman mahasiswa yang sudi berdiskusi dan memberikan

masukan dalam pembuatan skripsi ini

Salatiga, 3 agustus 2006


DAFTARISI

Halaman
HALAM JUDUL

HALAMAN NQTA PEMBIMBING

HALAMAN MOTTO

HALAMAN PERSJCMBAHAN

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I : Pendahuluan....................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah............................................... 1

B. Rumusan Masalah........................................................ 7

C. Penegasan Istilah......................................................... 7

D. Tujuan Penelitian................ ........................................ 9

E. Manfaat Hasil Penelitian........................ ..........' ........ 9

F. Metode Penelitian........................................................ 9

G. Sistematika Penulisan Skripsi........................ ............. 11

BAB II : Mengenal Abdurrauf Singkel............................................ 13

A. Biografi Abdurrauf Singkel......................................... 13

B. Situasi Kondisi Sosio Budaya..................................... 13

C. Latar Belakang Pendidikan dan Guru-guru

Abdurrauf Singkel.................. 15

D. Karya - Karya Abdurrauf Singkel................................ 17

BAB III : Konsep Wahdatul Wujud menurut Abdurauf Singkel......... 21

A. Pengertian Wahdatul Wujud.......................................... 21


B. Teori-Teori Tentang Paham Wahdatul Wujud.............. 25

1. Abu Yazid A1 Bustami....... ................................... 25

2. AlHallaj.................................................................. 30

3. Ibnu ‘Arabi.............................................................. 32

4. Abdurrauf Singkel................................................... 35

BAB IV : Implikasi pandangan wahdatul wujud Abdurrauf Singkel

dalam Pendidikan Tauhid.................................................. 44

A. Pengertian Pendidikan Tauhid....................................... 44

B. Unsur-unsur Pendidikan................................................ 47

a) Anak Didik/Siswa................................................... 47

b) Pendidik/Guru......................................................... 49

c) Materi...................................................................... 56

d) Metode..................................................................... 60

e) Lembaga/Lingkungan.................................. 69

f) Media Pendidikan Islam......................................... 73

BAB V : Penutup................................................................................ 76

A. Kesimpulan................................................................... 76

B. Saran............................................................................ 78

C. Penutup......................................................................... 78

LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
KONSEP WAHDATUL WUJUD
MENURUT ABDURRAUF SINGKEL
DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN TAUHID

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam masuk ke Indonesia melalui berbagai cara/saluran.

Salah satu cara masuknya agama Islam ke daerah Aceh yaitu dengan saluran

tasawuf.1 Ini sesuai dengan argumen yang mengatakan bahwa Islam pertama

kali masuk kenusantara adalah Islam yang dibawa kaum sufi, tegasnya Islam

sangat dipengaruhi konsepsi-konsepsi tasawuf.2

Dengan tasawuf para sufi mengajarkan ajaran Islam kepada

penduduk pribumi lebih mudah karena sebelum kedatangan agama Islam

penduduk pribumi telah menganut agama Hindu dan Budha. Dalam ajaran

tasawuf mempunyai banyak persamaan dengan alam pikiran mereka yang

dahulunya memeluk agama Hindu dan Budha. Salah seorang tokoh penyebar

agama Islam dengan metode tasawuf yaitu Hamzah Fansuri -selanjutnya di

tulis Hamzah saja- (w. 1016/1607)).

Beliau adalah seorang tokoh yang berasal dari Kota

Barns. Pada waktu itu merupakan daerah kekuasaan Aceh Damssalam, yang

dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Hamzah adalah salah seorang tokoh yang mempunyai andil

yang besar dalam khasanah keilmuan Islam, salah satunya yaitu mengenai

1 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT.Raja Grafindo Persada, JaKare


2 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara AbadXVII
Dan XVIII, Mizan, Bandung, 1994, him. 45

1
2

berbagai risalah dan syair-syair tasawuf, melalui risalah dan syair tersebut

beliau mengajarkan tentang tasawuf khususnya paham wahdatul wujud

(wujudiyah), dalam ajaran ini menganggap imanensi Tuhan dalam alam secara

mutlak.

Namun sejarah mencatat pada masa pemerintahan Sultan Iskandar

Sani (1637-1641) ajaran wahdatul wujud ini mendapat kritikan yang tajam

dari seorang sufi besar sekaligus tokoh penganut tarekat Rifa’iyah, beliau

adalah Nuruddin ar Raniri (w. 1068/1658) -selanjutnya di tubs ar Raniri-

beliau ailahirkan di Ranir (Randir) sebuah kota pelabuhan tua di pantai

Gujarat. Namun secara umum ar Raniri dianggap sebagai seorang alim

Melayu-Indonesia dari pada India atau Arab.


k

Ar Raniri menganggap ajaran yang diusung oleh Hamzah Fansuri

merupakan paham yang sesat. Ar Raniri mengklaim Hamzah Fansuri beserta

pengikutnya kafir, karena dianggap menyimpang dari akidah Islam.

Perseteruan tersebut terjadi pada abad 17. Perdebatan tentang paham

wujudiyah ini lebih di kenal sebagai perdebatan tentang a ’y an thabitah (esensi

segala sesuatu)/

Puncak perseteruan antara Hamzah dengan ar Raniri yang tidak


f
terselesaikan di atas, mengakibatkan tragedi yang sangat mengerikan yaitu

pembakaran karya-karya Hamzah dan pengejaran serta pembunuhan terhadap*

3 Abdul Hadi, Hamzah Fansuri Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya, Mizan, Bandung,
1995, him. 17
3

pengikutnya yang dilakukan oleh ar Raniri dan tindakan ini didukung penuh

oleh Sultan Iskandar Sani.

Akibat kontroversi paham wahdatui wujud tersebut berdampak

lama dan meluas di kalangan masyarakat Aceh. Untuk itu perlu adanya

counter untuk meredam perseteruan atau pergumulan yang di akibatkan

perbedaan interpretasi antara Hamzah dengan ar Raniri.

Sebelumnya konsep wahdatui wujud diperkenalkan oleh seorang

tokoh yang bemama Sadruddin Qunawi (w.1274) yang mempunyai pengertian

positif, namun telah diartikan negatif oleh Ibn Taimiyyah (w.1328). Qunawi

menghubungkan pengertian wahdat al wujud dengan tauhid dan Taimiyyah

dengan panteisme.*

Panteisme merupakan sebuah konsep tentang ketuhanan yang

berpendapat bahwa seluruh kosmos ini adalah Tuhan. Semua yang ada dalam

keseluruhannya adalah Tuhan dan Tuhan ialah semua yang ada dalam

keseluruhannya. Benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indra

adalah bagian dari Tuhan, diumpamakan: manusia, lampu, pohon, meja, kursi,

rokok, yang intinya semua yang dapat di panca indra adalah semuanya bagian

dari Tuhan. Karena Tuhan adalah kosmos ini dalam keseluruhannya dan

karena benda-benda adalah bagian dari Tuhan. Maka Tuhan adalah dalam

panteisme hanya ada satu, namun dalam pandangan paham ini Tuhan

mempunyai bagian-bagian. Dalam panteisme Tuhan Yang Maha Besar itu

hanya ada satu, dan tak berubah. Alam panca indra yang dilihat berubah ini,4

4 Ibid, him. 51
4

dan yang mana bagian dari Tuhan, adalah ilusi atau khayal belaka, jadi yang

ada hanya ada satu yaitu Tuhan.3

Salah seorang tokoh yang dalam kitab-kitabnya waiaupun tidak

secara langsung untuk menanggapi perselisihan antara Hamzah dan ar Raniri

namun dalam kontek Aceh saat itu maka dari tulisannya dapat dianggap

sebagai tanggapan maupun kritik dalam menyikapi perseteruan antara

Hamzah dan ar Raniri. Beliau yaitu Abdurrauf Singkel (1024-1105) -

selanjutnya ditulis Abdurrauf saja- yang pada waktu teijadi perseteruan

tentang paham wahdatul wujud Abdurrauf masih remaja dan untuk menambah

ilmu agamanya, beliau hijrah ke tanah Arab selama 19 tahun disana beliau

menuntut ilmu dari berbagai bidang ilmu, baik ilmu lahir (fiqh, hadits, tafsir,
*
dll) maupun ilmu batin (tasawuf).

Setelah itu Abdurrauf kembali ke tanah Aceh, sebagai mana

disebutkan di atas perseteruan tentang wahdatul wujud masih memanas

diantara para tokoh sufi ortodoks dengan para penganut ajaran wujudiyah.

Dalam kitab-kitab Abdurrauf khususnya kitab Tanbih Al Masyi

beliau memberikan interpretasi mengenai doktrin wahdatul wujud, dalam

memahami doktrin tersebut Abdurrauf memadukan antara tasawuffalsafi dan

tasawuf amali sehingga dalam menanggapi doktrin wujudiyah beliau

mengambil sikap tidak cenderung kapada salah satu pihak yang bertikai,

melainkan berdiri di tengah-tengah sebagai juru damai dan tindakan ini tidak

lepas dari guru intelektualnya al Kurani yang dikenal sebagai seorang juru 5

5 Harun Nasution, Filsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, him. 36 - 37


5

damai yang lebih suka mendamaikan dua sudut pandang yang bertentangan

daripada memilih salah satu diantara keduanya.6

Di satu sisi Abdurrauf bemsaha mengemukakan interpretasi sendiri

atas doktrin wujudiyah agar dapat diterima para ulama sufi dan para fuqaha’.

Dalam interpretasi doktrin wahdatul wujud Abdurauf lebih kompromistis dan

lebih moderat.

Kemudian adakah implikasinya pandangan Abdurauf tentang

wahdatul wujud dengan pendidikan tauhid. Kalau paham wahdatul wujud

dikaitkan dengan pendidikan tauhid dapat diambil beberapa faktor yang perlu

dikaji, yaitu bagaimana seharusnya unsur-unsur dalam pendidikan yang

meliputi: anak didik, pendidik, materi, metode, lingkungan, media dan


*

sebagainya yang kesemuanya kemudian dikaitkan dengan konsep wahdatul

wujud / pendidikan yang dilandaskan pada keimanan.

Dalam pendidikan Islam khususnya mengenai pendidikan tauhid

keimanan merupakan fundamen yang paling utama dalam Islam. Iman Dalam

pendidikan Islam khususnya mengenai pendidikan tauhid, keimanan

merupakan fundamen yang paling utama dalam Islam. Iman sebagai

fundamen utama apabila tertanam secara kuat maka akan mempengaruhi

seluruh proses pendidikan pada khususnya dan pada umumnya dalam proses

menjalani kehidupan di dunia ini.

6 Oman Fathurahman, Menyoal Wahdatul Wujud, Mizan, Bandung, 1999, him. 24


6

Sebagaimana diketahui bahwa Islam mengandung berbagai ajaran-

ajaran yang kesemuanya itu bepusat pada iman, salah satu contoh ajaran Islam

yaitu tentang aspek syari’ah, ia merupakan perwujudan dari aspek akidah.

Orang percaya pada kepada Allah perlu mengimplementasikan perintah-

perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Allah dalam mengatur

manusia di dunia telah menyiapkan aturan-aturan yang dapat membantu untuk

memakmurkan muka bumi, karena manusia diciptakan oleh Allah adalah

sebagia khalifah fil ardhi, maka perlu ada pandangan hidup untuk mengatur

kamaslahatan manusia di muka bumi.

Manusia merupakan makhluk sosial maka, perlu aturan-aturan

yang dapat menjadikan antar hubungan dapat berjalan sesuai aturan Allah,
4
maka Allah membuat aturan yang berhubungan dengan semua aktivitas

manusia. Sebab manusia sendiri tidak dapat dilepaskan dari berbagai

hubungan, baik itu hubungan dengan Tuhan (hablun min Allah) hubungan

dengan manusia (hablun min al nas) maupun hubungan dengan alam (hablun

min al-alam) atau sering di sebut hubungan tripartiat7

Berangkat dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk

mengkaji lebih lanjut mengenai pandangan Abdurrauf mengenai doktrin

Wahdatul Wujud dan selanjutnya mengimplikasikannya dalam pendidikan

tauhid.

7 Maslikhah, Harmonisasi dan Humanisasi Lingkungan Hidup, STAIN Salatiga Press,


2004, him. 93
9

D. Tujuan Penelitian

Segala sesuatu yang di laksanakan secara sadar pasti mempunyai

tujuan yang ingin di capai, maka tujuan penulisan penelitian ini adalah:

Untuk mengetahui pandangan Abdurrauf tentang ajaran wahdatul

wujud dan implikasinya dalam pendidikan tauhid.

E. Manfaat Hasil Penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1) Memberikan sumbangan keilmuan tasawuf yang dilakukan oleh Abdurrauf

mengenai doktrin -wahdatul wujud

2) Bagi lembaga (STAIN), menjadi literatur tambahan dalam khasanah

keilmuan sufistik {tasawuf) dan pendidikan tauhid

F. Metode Penelitian

Untuk mengumpulkan data penulis menempuh riset kepustakaan

terhadap data yang menyangkut dan membicarakan permasalahan yang

penulis teliti.

1. Sumber Data
i
Karena sifat penelitian ini literer maka datanya bersumber dari

literer. Adapun yang menjadi sumber data primer adalah buku Menyoal

Wahdatul Wujud tesis Omar Fathurrahman, Penjabaran Sistematik Kitab


10

Tauhid karangan Syaikh Abdurrahman Bin Nasir As Sa’di, Pinsisp-

Prinsip Dan Metoda Pendidikan Islam oleh Abdurahman an Nahlawi.

2. Metode komparatif

Penelitian komparasi bertujuan untuk menemukan persamaan-

persamaan dan perbedaan-perbedaan tentang benda-benda, tentang

orang, tentang prosedur, keija, tentang ide-ide, kritik terhadap orang,

kelompok, terhadap suatu ide atau suatu prosedur keija. Dapat juga

membandingkan kesamaan pandangan dan perubahan-perubahan

pandangan orang, grup atau negara, terhadap kasus, terhadap orang,

peristiwa, atau terhadap ide-ide.13

Metode komparasi ini penulis gunakan supaya memperoleh

gambaran yang jelas tentang pemikiran Abdurrauf Singkel tentang

wahdatul wujud, yang membedakan dengan pemikiran umum, yaitu

dengan membandingkan pemikiran tokoh yang dimaksud dengan

pemikiraan yang lain entah dekat dengannya atau justru sangat berbeda.

Karena penelitian ini bersifat literer maka penulis menggunakan

penelitian kepustakaan yaitu menelaah sumber-sumber buku-buku yang

ada kaitannya dengan judul yang penulis angkat.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam mencema masalah yang dibahas, penulis

menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:

13 Suharsini Arikunta, Suatu Pendekatan Praktik, Bina Aksara, Jakarta, 1989, him. 197
11

BAB I : Pendahuluann

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Penegasan Istilah

D. Tujuan Penelitian

E. Manfaat Hasil Penelitian

F. Metode Penelitian

G. Sistematika Penulisan Skripsi.

BAB II : Mengenal Abdurrauf Singkel

A. Biografi Abdurrauf Singkel

B. Situasi Kondisi Sosio Budaya

C. Latar Belakang Pendidikan dan Guru-guru Abdurrauf

Singkel

D. Karya - Karya Abdurrauf Singkel.

BAB III : Konsep Wahdatul Wujud menurut Abdurauf Singkel

A. Pengertian Wahdatul Wujud

B. Teori-Teori Tentang Paham Wahdatul Wujud

1. Abu Yazid A1 Bustami

2. AlHallaj

3. Ibnu ‘Arabi

4. Abdurrauf Singkel

BABIY : Implikasi pandangan wahdatul wujud Abdurrauf Singkel

dalam Pendidikaan Tauhid


12

A. Pengertian Pendidikan Tauhid

B. Unsur-unsur Pendidikan

BAB V : Penutup

A. Kesimpulan

B. Saran Dan Penutup


13

BAB II

MENGENAL ABDURRAUF SINGKEL

A. Biografi Abdurrauf Singkel

Nama Abdurauf Singkel dalam ejaan Arab adalah ‘Abd al Ra’uf

bin ‘Ali Al Jawiy Al Fansuriy al Singkiliy. Beliau adalah seorang Melayu

dari Fansnr tepatnya di daerah Singkel yaitu daerah sebelah barat laut Aceh.

Ayahnya adalah seorang Arab bemama Syaikh ‘Ali. Mengenai tahun

kelahiran tidak ada yang mengetahui tepatnya, namun diperkirakan beliau

lahir pada tahun 1615. Nenek moyang Abdurrauf Singkel berasal dari Persia

yang datang ke Sultanan Samudra Pasai pada akhir abad ke-13. Kemudian

mereka menetap di Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan tua yang penting

di daerah pantai Sumatra Barat.1

Abdurrauf meninggal dunia pada tahun 1693 dan dimakamkan di

sebelah makam Teungku Anjong yang di anggap paling keramat di Aceh,

dekat Kuala sungai Aceh.2

B. Situasi Kondisi Sosio Budaya

Semasa karimya menjadi seorang ulama besar Abdurrauf

mengalami berbagai corak perkembangan politik di kesultanan Aceh. Ciri

yang paling menarik di periode ini adalah bahwa kesultanan diperintah oleh

empat sultanah berturut-turut hingga akhir abad 17. Salah satu Sultanah

1 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad
XVIIDan XVIII, Mizan, Bandung, 1994, him. 190
2 Ibid, him. 211
14

tersebut yaitu Safiyyatuddin, yang menggantikan suaminya Iskandar Sani

pada 1051/1641. Di bawah kepemimpinannya yang relatif lama hingga

1086/1675, kesultanan mengalami banyak kemunduran, banyak wilayah di

bawah kekuasaanya di semenanjung Melayu dan Sumatera melepaskan dari

kekuasaan Aceh, dan perlu diingat kontroversi mengenai paham wahdatul

wujud pada saat kepemimpinannya pun masih berlangsung 3

Pada masa pemerintahan Sultanah Safiyyatuddin, Abdurrauf

diangkat sebagai Qadhi Malik Al Adil yang bertanggung jawab terhadap

berbagai masalah keagamaan. Oleh karenanya, sebagai wuj ud loyalitasnya

kepada Sultanah, Abdurauf jadi berkepentingan untuk meredakan

ketegangan yang terjadi akibat kontroversi doktrin wujudiyah pada masa

pemeintahan Sultan Iskandar Sani.4

Dengaan demikian sepanjang kariemya di Aceh, Abdurrauf

mendapat perlindungan dari para sultanah. Dari perlindunag para sultanah

tersebut beliau mengarang berbagai kitab yang membicarakan berbagai

bidang keilmuan diantara kitab-kitab tersebut membahas tentang fiqh, tafsir,

kalam dan tasawuf.

Dalam kitab-kitabnya Abdurauf menunjukkan bahwa perhatian

utamanya adalah rekonsiliasi antara syariat dan tasawuf, atau antara yang

bathin dengan yang dhahir, jadi ajaran-ajaran yang disebarkan di Melayu-

Indonesia adalah ajaran-ajaran yang termasuk ke dalam Neo-sufisme.

3 Ibid, him. 199


4 Oman Fathurrahman, Menyoal Wahdatul Wujud, Mizan, Bandung, 1999, him. 24
15

Terlepas dari berbagai masalah pertikaian mengenai doktrin

wahdatul wujud di atas, pada saat itu Aceh mulai dari abad 16-18

merupakan sebuah Kerajaan yang tampil sebagai kekuatan politik yang

besar di kawasan Melayu-Indonesia. Aceh mempunyai pengaruh yang besar

dalam penyebaran agama Islam.5

C. Latar Belakang Pendidikan dan Guru-guru Abdurrauf Singkel

Mengenai latar belakang pendidikan, tampaknya Abdurauf

semasa masih kecil sudah mulai belajar agama di daerah kelahirannya, baik

dari ayahnya sendiri, yang merupakan seorang yang alim yang juga

mendirikan sebuah madrasah, maupun kepada para ulama setempat lainnya,

selanjutnya ia meneruskan pendidikannya di Fansur.

Karena pada waktu itu negeri itu adalah pusat Islam yang penting

dan merupakan titik penghubung antara Melayu dengan muslim dari Asia

Barat dan Asia Selatan. Hingga pada sekitar tahun 1642, ia mengembara

untuk menambah ilmu pengetahuan agama ketanah Arab.6

Sebelum Abdurrauf mengembara ke tan ah Arab, sekitar tahun

1642, Aceh ditandai kontroversi dan pertikaian antara penganut doktrin

wujudiyah dan pengikut ar Raniri, sehingga sebelum ia pergi ke Arabia,

Abdurrauf mengetahui tentang ajaran Fansuri dan Syams al Din serta fatwa

dan penganiayaan yang di jatuhkan ar Raniri atas para pengikut mereka.7

5 Soekama Karya, et al, Ensiklopedi Mini Sejarah Dan Kebudayan Islam, Logos
Wacana Ilmu, Jakarta 1966, him. 190
6 Azyumardi Azra, loc. cit, him. 190
7 Ibid, him. 191
16

Abdurrauf meninggalkan Aceh dan mengembara ke tanah Arabia

sekitar pada tahun 1642. Ketika beliau di tanah Arab dalam tulisannya beliau

menyebutkan beberapa daftar guru yang pemah beliau jadikan guru, tidak

kurang dari 15 orang guru, dari mereka dia mempelajari berbagai cabang

disiplin Islam, dan 27 ulama terkenal lainnya yang dengan mereka dia

mempunyai kontak dan hubungan pibadi, dan 15 tokoh mistik kenamaan di

Jeddah, Mekkah, Madinah, Mokha, Baith al Faqih dan lain-lain.*’

Dari sekian banyaknya guru Abdurrauf, hanya ada beberapa

orang yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran beliau. Di

antara guru-guru yang sangat berpengaruh pada dirinya yaitu Ahmad al

Qusyasyi, beliau merupakan guru spiritualnya di Madinah, dari Qusyasyi

Abdurrauf belajar tentang ilmu-ilmu bathin (tasawuf) dan ilmu-ilmu yang

terkait lainnya, beliau menuntut ilmu kepada Qusyasyi sampai mendapat

ijazah untuk menjadi khalifah dalam tarekat Syatariyyah dan Qadiriyyah,

kemudian pada tahun 1660 Qusyasyi meninggal dunia.8


9

Kemudiaan setelah itu Abdurrauf menuntut ilmu kepada Ibrahim

al Kurani, dari beliau ia mempelajari berbagai ilmu pengetahuan selain

tasawuf yang menimbulkan pemahaman intelektual tentang Islam dan

bukannya pengetahuan tentang mistis atau spiritual. Dengan kata lain bagi

Abdurrauf, Qusyasyi lebih merupakan guru spiritual dan mistisnya,

sementara al Kurani menjadi guru intelektualnya.10

8 Oman Fathurahman, op. cit, him. 27


9 Azyumardi Azra, op. cit, him. 195
10Ibid, him. 196
17

D. Karya-karya Abdurrauf Singkel.

Sebagai ulama besar dan menguasai berbagai bidang disiplin

ilmu keagamaan dan juga mendapat perlindungan dari Sultanah Shaffiyat al

Din dan beliau juga mendapat jabatan sebagai Qadhi Malik al ‘A dil, sebagai

ulama besar beliau telah menghasilkan berbagi karangan yang mencakup

bidang fiqh, tasawuf, tafsir, hadis dan ilmu-ilmu agama lainnya.

Beberapa karangan beliau yang dihubungkan dengan Abdurrauf dalam

bidang fiqh dan keagamaan, antara lain:

1. Mir ’ah at Tullab fi Tashil Ma ’rifah al Ahkam asy Syar ’iyyahli al Malik

al Wahhab (Cermin Para Penuntut Ilmu, Untuk Memudahkan

Mengetahui Hukum-hukum Syara’ Tuhan)

2. Bayan al Arkan (Penjelasan Rukun-rukun)

3. Bidayah al Baligah (Permulaan yang Sempuma)

4. Majmu ’al Masa ’il (Kumpulan Masalah)

5. Fatihah Syaaikh ‘A bd ar R a’u f (Metode Bacaan Fatihah Syaikh

Abdurauf)

6. Tanbih al ‘A mil f i Tahqiq an Nawafil (Peringatan bagi Orang yang

mentahqiqkan Kalam Sembahyang Sunat)

7. Sebuah uraian mengenai Niat Sembahyang

8. Wasiyah (Tentang Wasiat-wasiat Abdurrauf kepada muridnya)

9. Doa yang di Anjurkan oleh Syaikh ‘Abd arRauf Kuala Aceh

10. Sakaratul Maut (Hal-hal yang di alami Manusia menjelang ajalnya)

Kitab-kitab dalam bidang tasawuf:


18

11. Tanbih al Masyi al Mansub ila Tariq al Qusyasyi (Pedoman bagi Orang

yang Menempuh Tarekat Qusyasyi)

12. ‘Umdah al Muhtajin ila Suluk Maslak al Mufaidin (Pijakan bagi Orang-

orang yang Menempuh Jalan Tasawuf)

13. Sullam Mustafidin (Tangga setiap Orang yang Mencari Faidah)

14. Piagam tentang Zikir

15. Kifayah al Muhtajin ila Masyrab al Muwahhidin al Qa’ilin bi Wahdah

al Wujud (Bekal bagi Orang yang membutuhkan Minuman ahli Tauhid

Penganut wahdatul wujud)

16. Bayan Agmad al Masa’il wa as Sifat al Wajibah li Rabb al Ard wa as

Samawat (Penjelasan tentang Masalah-masalah tersembunyi dan sifat-

sifat Wajib bagi Tuhan, penguasa Langit dan Bumi)

17. Bayan Tajalli (Penjelasan Tajalli)

18. Daqa ’iq al Huruf (Kedalaman makna Huruf)

19. Risalah Adab Murid akan Syaikh

20. Munyah al I ’tiqad (Cita-cita Keyakinan)

21. Bayan al Itlaq (Penjelasan makna istilah Itlaq)

22. Risaalah A ’yan Sabitah (Penjelasan tentang A’yan Sabitah)

23. Risalah Jalan Makrifatullah (Karangan tentang jalan menuju Makrifat

kepada Allah)

24. Risalah Mukhtasarah fi Bayan Syurut asy Syaikh wa al Murid (Karangan

Ringkas tentang syarat-syarat guru dan Murid)


19

25. Faidah yang tersebut di dalamnya kaifiyah mengucap zikir la ilaha ilia

Allah

26. Syair M a’r if ah

27. Otak ilmu Tasawuf

28. ‘Umdah al Ansab (Pohon Segala Nasab)

29. Idah al Bayan fi Tahqiq Masa ’il al Adyan (Penjelasan dalam

Menyatakan Masalah-masalah Agama)

30. Ta ’y idal Bayan Hasyiyah Idah al Bayan (Penegasan Penjelasan, Catatan

atas Kitab Idah al Bayan)

31. Lubb al Kasyf wa al Bayan li ma Yarahu al Muhtadar bi al Iyan

(Hakikat Penyingkapan dan Penjelasan atas apa yang di lihat secara

terang-terangan)

32. Risalah Simpan (Membahas Aspek-aspek sembahyang secara Mistis)

33. Syatariyyah (Tentang ajaran dan tata cara Zikir Tarikat Syatariyah)

Di bidang Tafsir:

1. Tarjuman al Mustaffid bi al Jawiyy (Tafsir pertama di dunia Islam

dalam bahasa Melayu)

Di bidang Hadis:

1) Syarh Latif ‘ala Arba’in Hadisan li al Imam an Nawawiy

(Penjelasan Terperinci atas Kitab Empat Puluh Hadis karangan

Imam Nawawi)

2) Al Mawa ’iz al Badi ’ah (Petuah-petuah Berharga)


20

Abdurrauf dalam menulis kitab-kitabnya tidak hanya untuk kaum

muslim awam, mengenai ilmu-ilmu dhahir, tetapi juga di kalangan elit yaitu

mengenai topik-topik yang berkaitan dengan ilmu-ilmu bathin seperti kalam

dan tasawuf.11

11 Oman Fathurahman, op.cit, him. 28-30


21

BAB III

KONSEP WAHDATUL WUJUD MENURUT ABDURRAUF SINGKEL

A. Pengertian Wahdatul Wujud

Pada awal penyebaran agama Islam, hal yang utama diajarkan

adalah keimanan kapada Allah sebagai Tuhan pencipta segala sesuatu. Dan

di sini sikap seorang hamba dalam beriman dengan Allah bagaikan seorang

pelayan terhadap tuan-Nya. Yang di antara keduanya mempunyai perbedaan

yang jelas, karena hamba hanya dapat melakukan segala apa-apa yang

diperintahkan oleh tuannya tanpa adanya sanggahan dari sang pelayan

(sami ’na wa ata ’na/ kami dengar dan kami laksanakan/taat).

Namun pada abad ketiga H dalam dunia Islam timbul sebuah

perubahan dalam bersikap terhadap Allah. Yaitu sebuah pemahaman yang

mengusung ajaran bahwa Tuhan itu dapat didekati oleh hamba sedekat

mungkin, pandangan ini berdasarkan firman Allah s.w .t.:

'"Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS.


Qaf: 16)1

Semula pemahaman ini dimulai oleh seorang tokoh namun

lambatlaun dari para tokoh ini mempunyai pengikut sehinggga menyebar

luas. Sikap yang berubah dari kaum muslimin itu berpangkal dari tidak

tersalurkannya sebagian perasaan religius kaum muslimin dalam praktek

1 Nazri Adlany, et al, Al Quran Terjemah Indonesia, PT Sari agung, Jakarta, 2001,
him. 1039
22

agama Islam pada waktu itu. Ajaran cinta kepada Allah mulai menuntut hak

hidupnya. Perubahan sikap manusia terhadap Tuhan yang tidak lagi

dipandang sebagai Dia yang terlampau jauh tak terhampiri, kalau dengan

akal budi tidak dapat menjangkau-Nya, maka dalam pengalaman mistis

dapat mencapai persatuan dengan-Nya. Dalam persatuan itu manusia

tenggelam dalam Allah dan segala yang lain di luar Allah lenyap, bahkan

mengenai kesadaran pribadinya, sehingga tak ada sesuatu yang lain kecuali

Dia.23

Sebagian kelompok yang tidak merasa puas akan praktek agama

Islam pada masa itu, yang dalam kepustakaan Islam sering disebut “Sufi”.

Pada abad ketiga H timbul dalam Islam sebuah ajaran tentang persatuan

antara makhluk dengan pencipta-Nya, antara hamba dengan Tuhan-Nya.

Konsep persatuan antara hamba dan Tuhan itu mendapat label-label berbeda

namun pada intinya yaitu persatuan hamba dengan TuhanJWahdah Al Wujud

dapat diartikan secara garis besar, yaitu: kesatuan eksistensi, kesatuan

wujud, atau kesatuan penemuan. Di akhir peijalanan hanyalah Allah yang


# i
ditemukan.

Di antara paham-paham yang mendapat perhatian lebih dari

kaum muslimin yaitu paham al Ittihad (Abu Yazid al Bustami), al Hulul (al

Hallaj) dan wahdatul wujud (Ibn ‘Arabi). Paham bersatunya hamba dan

Tuhan ini sering disamakan dengan paham pantheisme, yang mana paham

P.J.Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme Dan Monisme Dalam


Sastra Suluk Jawa, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, him. 22
3 Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, Mizan, Bandung, 1996 him.
311
23

pantheisme memandang bahwa seluruh kosmos ini adalah Tuhan. Semua

yang ada dalam keseluruhannya ialah Tuhan dan Tuhan ialah semua yang

ada dalam keseluruhannya.4

Dalam pantheisme cenderung menekankan segi imanensi Tuhan

(serupa dengan alam) dan tanpa menekankan aspek transenden Tuhan akan

ciptaan-Nya. Berbeda dengan ajaran yang diusung oleh tokoh-tokoh sufi

diatas, walaupun mereka mengajarkan paham manunggaling kawula gusti

walaupun mereka mengajarkan aspek imanensi Tuhan akan ciptaan-Nya

namun mereka tetap mengakui akan transendensi Tuhan akan segala

ciptaan-Nya dan tidak mengaku bahwa dirinya Tuhan.

Selain itu kesatuan antara Tuhan dengan hamba dapat juga

digambarkan dengan pancasila yang disitu merupakan kesatuan

keseluruhan yang utuh. Kesatuan keseluruhan itu tersusun atas bagian-

bagian (sila-sila) dan bagian-bagian yang menyusun kesatuan tersebut harus

tidak saling bertentangan. Semua bagian (sila) harus secara bersama-sama

menyusun hal barn dan utuh. Setiap bagian (sila) merupakan bagian yang

mutlak, apabila dihilangkan satu bagian (sila) saja, maka hilanglah juga

kesatuannya (pancasila), akan kehilangan kedudukan dan fungsinya dan

kesatuannya sendiri juga akan tidak ada lagi.5

Juga dapat penulis contohkan seperti halnya “wedang kopF,

wedang kopi itu merupakan minuman yang terdiri dari tiga elemen, yaitu air

(jarang; jawa), gula dan kopi, kalau ketiganya disatukan maka akan menjadi

4 Harun Nasution, Falsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, him. 36


5 Notonagoro, Pengantar Ke Alam Pemikiran Kefilsafatan, UGM, Yogyakarta, him.
190
24

wedang kopi, kemudian pertanyaannya apakah kalau ketiga elemen itu

dipisahkn akan tetap dinamai wedang kopi? maka walau sudah bersatu disini

perlu ditegaskan bahwa dari ketiga elemen di atas berdiri sendiri-sendiri,

kopi ya kopi, air ya air dan gula ya tetap gula.

Dalam istilah Jawa kesatuan hamba dan Tuhan sering diistilahkan

dengan manunggaling kawula gusti, yaitu perlambang kesatuan antara

hamba dengan Tuhan, perlambang kesatuan antara rakyat dan negara.

Konsep manunggaling kawula gusti atau kesatuan manusia dengan Tuhan

(wahdatul wujud) yang dipergunakan untuk menggambarkan, dalam

kepustakaan Islam kejawen adalah “curigo manjing warangka” yakni

manusia masuk dalam diri Tuhan, laksana Arya Sena masuk dalam tubuh

Dewa Ruci. Atau sebaliknya ”warangka manjing curigo” yakni Tuhan

masuk (nitis) dalam diri manusia, seperti halnya Dewa Wisnu nitis (masuk)

pada diri Kresno.6

Selanjutnya konsep manunggaling kawula gusti dalam serat

Dewa Ruci diterangkan: “mungguh pamoring kawula lan gusti iku, koyo

dene paesan karo sing ngilo, wayangan kang ono sajroning pangilon, iyo

iku jenenge kawulo” artinya: “yakni kesatuan manusia dengan Tuhan, ibarat

cermin dengan orang yang bercermin, bayang-bayang dalam cermin itulah

manusia. Jadi dalam kepustakaan Islam kejawen di lukiskan bahwa Tuhan

6 Purwadi, et at, Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, Bina Media, Yogyakarta, 2005, him.
304
25

memiliki sifat-sifat yang sama dengan manusia dan manusia digambarkan

sama dengan Tuhan.7

Berbeda dengan paham wahdatul wujud walaupun antara hamba

dan Tuhan bersatu keduanya tetap berbeda, Tuhan ya Tuhan dan manusia

tetaplah manusia. Tidak ada yang berubah diantara kedunya.

B. Teori-teori Tentang Paham Wahdatul Wujud

1. Abu Yazid al Bustami

Nama kecil beliau adalah Taifur,8 Abu Yazid al Bustami

(selanjutnya ditulis Abu Yazid saja) dilahirkan di Bistam, wilayah

Qumis yang terdapat di daerah timur laut Persia pada tahun 874 M dan

beliau meninggal dunia pada tahun 260H/874M.9 Walaupun beliau

termasuk dalam keluarga yang terpandang, ayahnya adalah salah satu

pemuka masyarakat yang berada di Bistam, namun Abu Yazid memilih

kehidupan sederhana.

Beliau adalah seorang tokoh sufi yang memperkenalkan tentang

konsep al Ittihad. Ittihad dapat dicapai ketika seorang sufi sudah

megalami al fana ’ dan al baqa

1 loc. cit
8 Hamka, Tasauf Perkembangan Dan Pemurniannya, PT Pustaka Panjimas, Jakarta,
1983, him. 93
9 Departemen Agama RI, “Abu Yazid Al Bustami’, Ensiklopedi Islam jilid 1, Jakarta,
1987/1988, him. 54
26

Fana’ yaitu penghancuran atau kesadaran seseorang tentang

dirinya dan tentang makhluk lain di sekitamya.10 Sebenanya dirinya

tetap ada dan demikan juga makhluk lain tetap ada, tetapi ia tidak sadar

lagi tentang wujud mereka bahkan juga tentang wujud dirinya sendiri. Di

ketika itulah ia sampai kepada al baqa ’ atau kelanjutan wujud dalam diri

Tuhan.

Al Qusyairi membagi fana ’ dalam dua aspek yaitu fana’ dalam

aspek moral dan fana’ dalam aspek jasmani. Fana’ dalam aspek moral

yaitu, hilangnya sifat-sifat tercela, dan kata baqa’ adalah terbinanya

sifat-sifat yang tercela, sedangkan fana’ dalam apek jasmani yaitu, pada

awalnya lenyapnya kesadaran akan diri dan sifat-sifat pribadinya

lantaran telah menghayati sifat-sifat Allah, lalu lenyapnya kesadaran

akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah mulai

menyaksikan keindahan Zat Allah, kemudian akhimya lenyap kesadaran

akan kefana’annya itu sendiri lantaran telah merasa lebur menyatu dalam

wujud Allah.11

Dalam fa n a ’nya Abu Yazid adalah simanya segala sesuatu yang

selain Allah dari pandangannya, di mana seorang sufi tidak lagi

menyaksikan kecuali hakikat yang satu yaitu Allah. Bahkan dia tidak

10 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Universitas Indonesia,


Jakarta, 1978, him. 83
11 Simuh, Tasauf Dan Pekembangannya Dalam Islam, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1996, hlm.106
27

lagi melihat dirinya sendiri karena dirinya terlebur dalam Dia yang

disaksikannya, sebagaimana ia terangkan dalam sebuah perkataannya:

“Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur,


kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun
hidup. ” 123

Dengan berusaha meninggalkan dirinya itu ia akhimya sampai

kepada al baqa ia mengatakan:

“7a membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemuman
ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup......aku
berkata: gila pada diriku adalah kehancuran dan gila padaMu
adalah kelanjutan hidup. ” 14

Dengan tercapainya al fana ’ dan al baqa ’ sampailah Abu Zayid

kepada ittihad. Ketika sampai ke ambang pintu ittihad, dari mulut

seorang sufi keluar ungkapan-ungkapan yang ganjil atau yang dalam

istilah tasawuf disebut syatahat (ungkapan teopatis).

Menurut Ahmad Sultoni (2005: 92) bahwa minimal ada tiga hal

yang bisa ditarik dari kefanaan para sufi:

a. Fana muncul sebagai pengalaman spiritual (spiritual experience)

yang dikenali dari gejolak intuisi mereka.

b. Ucapan-ucapan syatahat sesungguhnya muncul dari

ketidakmampuan sufi menginterpretasikan pengalaman spiritual

dalam tataran kata/bahasa yang sangat terbatas untuk mewakilinya.

12 Abu al Wafa’ al Ghanimi al Taftazani, Sufi Dari Zaman Ke Zaman, Pustaka,


Bandung, 1974, him. 115 - 1 1 6
13 Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta,
1973, him. 81
14 Harun Nasution, loc. cit
28

c. Pengakuan pada keadaan lenyap, lebur, hilang, musnah, bukan

dalam arti fisik, namun melibatkan bagian manusia yang paling

halus, yaitu kalbu.

Dalam ittihad, yang dipandang dan dirasakan hanya ada satu

wujud, sebenamya ada dua wujud yang berbeda. Karena itu, bisa terjadi

pertukaran peranan antara sang sufi dan Tuhan, atau antara sang

pencinta dan Yang Dicintai. Identitas sang sufi hilang dan yang

disadarinya hanyalah satu wujud, yaitu wujud Tuhan. Tingkat ittihad ini

dicapai sang sufi setelah mengalami al fana ’, dengan al fa n a ’ ini sang

sufi kehilangan kesadaran dirinya, dan yang tersisa hanyalah kesadaran

tentang Tuhan (al baqa ’).15

Karena hubungan al fana ’ dan al baqa ’ adalah hubungan yang

memperlihatkan perlawanan, di dalam istilah tasawuf, hubungan

keduanya menunujukkan proses atau sisi yang berbeda terhadap

kenyataan yang sama berarti bahwa keduanya dalam kenyataannya

adalah sama, tetapi apabila dilihat dari sudut yang berbeda menimbulkan

konsep yang berbeda. Dilihat dari sudut kemakhlukan, sufi telah

mengalami al fana ’, sebab segala makhluk telah hilang dari

kesadarannya. Dan dilihat dari sudut Tuhan, sufi telah mengalami al

baqa \ sebab hanya Tuhan yang terns ada di dalam kesadarannya.16

Ketika seorang sufi telah mencapai tingkatan al ittihad dari

mulutnya akan mengungkapkan perasaannya dengan kalimat-kalimat

13 Abdul Aziz Dahlan, et al, Tasawuf Filosofis, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam
Pemikiran Dan Peradaban jilid 4, PT Ichtiar Bam Van Hoeve, Jakarta, 2002, him. 1 5 8 - 1 5 9
16 Departemen Agama RI, “fa n a ’” op. cit, him. 264
29

teopatis (syatahat), dan kalimat yang pemah diungkapkan oleh Abu

Yazid al Bustami di antaranya yaitu:

^3aC-t Ua \U< IrvUjj


^ -

uthi
> ' ' '
<dl!

□ "Maha suci aku, maha suci aku, alangkah agungnya urusanku”


□ “Sungguh aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain aku, maka
hendaklah engkau menyembah aku. ”
□ “Tidak ada dalam jubah ini kecuali A llahT'1

Dalam pengertian kaum sufi, kata-kata di atas memang betul

dari mulut Abu Yazid, tetapi tidak berarti bahwa ia mengaku sebagai

Tuhan. Tetapi Tuhanlah yang mengaku diri-Nya Allah melalui lidah

Abu Yazid. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang

mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid, tetapi sungguh

pun demikain Abu Yazid tidak mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan.

Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan lewat lidah Abu Yazid.1718

Abu Zayid dikenal pula seorang sufi yang dapat

mengkombinasikan antara asketisme yang keras dan penghormatan

kepada Fiqh dengan kekuatan intelektual yang luar biasa. Tidak seperti

yang sering disalah-tafsirkan, Abu Zayid meski telah mencapai al

Ittihad, beliau tetap berpegang pada hukum Islam secara ketat. Seperti

yang terlihat dalam ucapannya: “kalau kamu lihat seseorang mampu

17 Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam, Rajawali Press, Yogyakarta,


1996, him. 144
18 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, him. 56 - 57
30

melakukan keramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup terbang di

udara, maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia

mengikuti suruhan dan menghentikan larangan dan menjaga batas-

batas syariaf ’.19

Dari perkataan Abu Yazid di atas dapat diambil sebuah

penjelasan bahwasnya ajaran yang beliau ajarkan tidak keluar dari

hukum syara’ Islam (fiqh). Menurut Abu Yazid seorang wali harus tetap

melaksanakan syariat agar Tuhan tetap melestarikan tingkat pengalaman

spiritual yang telah dicapainya.

Dan di sini para pembela Abu Yazid menegaskan bahwa al

ittihad Abu Yazid tidak sedang menyatakan kesamaan Tuhan dengan

manusia. Paham ini tetap mempertahankan perbedaan Tuhan dengan

manusia, bahwa ada dua wujud yang berbeda, yakni Khaliq dan

makhluk. Jelasnya, meskipun menekankan emanasi Tuhan, tetapi

sekaligus mengakui transendensi-Nya, karena itu ucapan syatahat Abu

Yazid tidak dipandang sebagai kepercayaan teologis, karena ucapan itu

terlontar dari mulutnya ketika sedang mabuk spiritual.20

2. Al Hallaj (858 - 922)

Nama lengkap beliau adalah Abu al Mughits al Husain ibn

Mansur ibn Muhammad al Baidhawi, dia mendapat gelar al Hallaj

19 Hamka, op. cit, him. 94


20 Abdul A ziz Dahlan, et al, op. cit, him. 159
31

karena kehiduparmya dia peroleh dari memintal wol.21 Namun dalam

sumber lain bahwasanya gelar al Hallaj didapatnya karena

kemampuannya berbicara tentang had paling dalam (sirr).2223

Al Hallaj adalah tokoh sufi yang memperkenalkan paham al

Hulul (menempati, nitis berinkamasi/immament) sebagai bentuk

tersendiri dari dalam persatuan dengan Tuhan. Al Hulul adalah paham

yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu

untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan

yang di dalam tubuh dihilangkan. Bagi al Hallaj di dalam diri manusia

terdapat sifat kemanusiaan (an nasut) dan sifat-sifat Ketuhanan (al

lahut) bila manusia dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan dari

dirinya dengan jalan fana’, maka akan tinggallah di dalam dirinya sifat-

sifat Ketuhanan. Ketika itulah Tuhan masuk kedalam dirinya yang

disebut al Hulul.

Sebagaimana Abu Yazid, al Hallaj menempuh tingkat fa n a ’

terlebih dahulu untuk bersatu dengan Tuhan. Pencapaian hulul yang

diperoleh melalui fa n a ’ yang bersifat total ini, dapat terjadi karena

manusia mempunyai sifat-sifat Ketuhanan (lahut), dan pada saat yang

sama Tuhan mempunyai sifat-sifat kemanusiaan (nasut). Pandangan ini

berdasakan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari

dan Muslim, yang mengatakan:

21 Abu al Wafa’ al Ghanimi al Tatazani, opc. cit, him. 120


22 Departemen Agama RI, op. cit, him. 97
21 Simuh, op. cit, him. 148
23 Departemen Agama RI, op. cit., him. 98
32

’’Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menurut bentuk-Nya”} 4

Ketika sifat-sifat kemanusiaan (an nasut) al Hallaj hancur, yang

tinggal hanyalah sifat-sifat Ketuhanannya (al lahut), dan ketika itulah ia

mengalami hulul. Ungkapan-ungkapan yang aneh (syatahat) akan timbul

dari mulutnya seperti perkatan al Hallaj yang terkenal yaitu dengan

ucapan Ana al Haq.2425

Dalam hulul yang terjadi adalah persatuan manusia dengan

Tuhan. Namun hulul dalam penafsiran non-panteistik yaitu penafsiran

yang tetap mempertahankan perbedaan antara Tuhan dengan alam, tidak

dapat diartikan pengidentikan Tuhan dengan manusia, atau manusia

dengan Tuhan, karena konsep ini tetap mempertahankan perbedaan antara

Tuhan dan manusia. Bahkan al Hallaj sendiri mengecam orang-orang yang

telah mencampuradukkan Ketuhanan dengan kemanusiaan.2627

Jadi perlu digarisbawahi disini ketika al Hallaj mengatakan

ana al Haq, bukanlah al Hallaj yang mengucapkan kata itu, tetapi roh

Tuhan yang mengambil tempat dalam dirinya (hulul)}1 Meskipun al

Hallaj mengemukakan ucapan-ucapan ekstatiknya yang ganjil,

sebenamya pengalaman , mistik tersebut, walaupun menekankan

24 Harun Nasution, op. cit, him. 89


25 Abdul Aziz Dahlan. et al, loc. cit, him. 159
26 Ibid. him. 159
27 Departemen Agama RI, op. cit, him. 99
33

imanensi Tuhan, juga sekaligus mempertahankan transendensi mutlak-

Nya atas semua ciptaan-Nya.

3. Ibn al ‘Arabi

Nama lengkap Ibn ‘Arabi adalah Muhammad ibn Ahmad ibn

Abdullah al Hatimi. Ia lahir pada tahun 560 H di kota Murcia, Spanyol.

Ayahnya, Ali ibn Muhammad, salah seorang yang alim dalam bidang

fikih dan hadis dan terkenal kezuhudannya.28

Ibn ‘Arabi adalah salah satu sufi yang mengajarkan paham

wahdatul wujud yaitu sebuah paham yang mengajarkan tentang kesatuan

wujud makhluk dengan Tuhan, paham ini menekankan bahwa tidak ada

wujud yang sejati, kecuali hanya Allah Yang Maha Mutlak. Kemutlakan

wujud Tuhan itu akan menenggelamkan seluruh wujud selain diri-Nya.

Dalam paham ini nasut yang ada dalam hulul dirobah oleh Ibn

‘Arabi menjadi al khalq (makhluk) dan lahut menjadi al Haq (Tuhan).

Khalq dan Haq merupakan dua aspek bagi tiap sesuatu. Aspek yang

sebelah luar disebut khalq, sedangkan aspek sebelah dalam disebut haq.

Menurut faham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua apek. Aspek luar

( ‘ard[ khalq) yang mempunyai sifat kemakhlukan, dan aspek dalam

(haq, jawhar) mempunyai sifat ketuhanan. Dengan kata lain dalam tiap-

28 Lihat Ahmad Tafsir, Materi Pendidikan Agama Islam, PT Remaja Rosdakarya,


Bandung, 2001, him. 246
34

tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan atau haq dan sifat-sifat
90
kemakhlukan atau khalq.

Paham wahdatul wujud timbul dari filsafat bahwa Tuhan ingin

melihat diri-Nya diluar diri-Nya. Kemudian diciptakannya alam sebagai

cemin yang merefleksikan gambaran iri-Nya. Setiap kali ia ingin melihat

diri-Nya maka Ia melihat alam karena pada setiap benda alam terdapat

aspek al Haq.2930*

Tuhan, dalam pandangan Ibn ‘Arabi pada awalnya adalah

sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadist qudsi:

“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian


Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan
*31
makhluk dan melalui aku
merekapun kenal padaKu”

Alam sebagai makhluk adalah penampakan diri dari Tuhan.

Alam sebagai cermin yang dalamnya terdapat gambar Tuhan. Sebagai

bayangan, wujud alam tak mungkin wujud tanpa wujud Tuhan. Atau

dengan kata lain, wujud alam tergantung kepada wujud Tuhan. Sebagai
T9
bayangan, wujud alam bersatu dengan wujud Tuhan.

Al Haqq (Tuhan) dan al khalq (alam) adalah satu, tetapi tetap

berbeda. Doktrin wahdatul wujud menekankan tidak hanya sisi tasybih

(penyerupaan Tuhan dengan alam) tetapi juga sisi tanzih (penyucian

29 Harun Nasution, op. cit, him. 92 - 93


30 “Wahdatul Wujud” Ensiklopedi Islam jild 5, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994,
him. 158
Jl Harun Nasution, op. cit, him. 61
j2 Amin Syukur, op. cit., him. 58
35

sifat-sifat Tuhan dari penyerupaan-Nya dengan alam). Dilihat dari

tasybih, Tuhan adalah identik, atau lebih tepat serupa dan satu, dengan

alam -walaupun keduanya tidak setara- karena Dia, melalui nama-Nya,

menampakkan diri-Nya dalam alam. Namun dilihat dari sisi tanzih,

Tuhan sama sekali berbeda dengan alam karena Dia adalah Zat Mutlak

yang tidak terbatas di luar alam nisbi yang terbatas. Gagasan ini

dirumuskan Ibn ‘Arabi dengan ungkapan singkat, huwa la huwa (Dia

dan bukan Dia). Dalam pandangan ini Tuhan adalah transenden dan

sekaligus imanen.

Kesatuan tanzih dan tasybih yang transenden sekaligus imanen

adalah prinsip al Jam ’ baina al ‘adad, yang secara paralel terwujud pula

dalam kesatuan ontologis antara Yang Tersembunyi {al Batin) dan Yang

Tampak {al Zahir), antara Yang Satu {al Wahid) dan Yang Banyak {al

Kasir).*
34

Dilihat dari Zat-Nya, Tuhan adalah transenden, munazzah

(tidak dapat dibandingkan dengan alam), Yang Tersembunyi dan Yang

Satu, dilihat dari segi nama-nama-Nya, Tuhan adalah imanen,

musyabbah (serupa dengan alam), Yang Tampak dan Yang Banyak.

Tuhan sebagai satu-satunya Wujud Hakiki, Zat Mutlak yang munazzah,

Yang Tersembunyi dan Yang Satu, menampakkan diri-Nya melalui

nama-Nya dalam banyak bentuk yang tidak terbatas pada alam.35

3j Abdul Aziz Dahlan, et al, op. cit, him. 166


34 Abdul Aziz Dahlan, et al, loc. cit
35 Abdul A ziz Dahlan, loc. cit
36

Doktrin wahdatul wujud Ibn ‘Arabi telah menimbulkan suatu

perdebatan panjang yang tidak berkesudahan selama berabad-abad

antara para ulama yang mengecamnya, dan para ulama yang

mendukungnya. Para ulama yang mengecam doktin wahdatul wujud

memandang doktrin ini sebagai ajaran sesat, kufur, dan bid’ah.

Sebaliknya, para ulama yang mendukung doktin wahdatul wujud

mengakui bahwa doktrin ini adalah tauhid yang paling tinggi.

4. Abdurrauf Singkel

Dalam konsep wahdatul wujud Abdurrauf, pembahasannya

meliputi tentang hubungan antara Tuhan, alam dan manusia.

Pembahasan tentang paham wahdatul wujud, Abdurrauf dimulai dengan

penegasan tentang tauhid bagi pemeluk agama Islam. Karena tauhid

merupakan sebuah konsep yang paling penting yaitu dimana seseorang

bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali

Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.

Fundamen utama dalam agama Islam yaitu aqidah, yang

merupakan hal utama yang dicamkan dalam sanubari kaum muslimin

sebelum ajaran-ajaran yang lain, karena aqidah berisi tentang hubungan

antara Tuhan dengan manusia (hablun min Allah). Hal pertama Yang

yang haras dilakukan oleh umat Islam adalah menyatakan bahwa tidak

ada Tuhan yang wajib di sembah kecuali Allah {la illaha illallah).36

36 Abdul Aziz Dahlan, loc. cit


37

Pengakuan tersebut merupakan syarat seseorang dapat diakui sebagai

seorang muslim, karena kesaksian tentang tidak adanya Tuhan selain

Allah sangat penting dalam agama Islam, maka orang yang tidak

bersaksi bahwa Tuhan yang wajib disembah itu hanya Allah, dapat

dianggap kafir. Sebagaimana firman Allah:

t li AJ°£ Uj

”Beribadahlah kamu sekalian kepada Allah (saja) dan


janganlah berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya”. (QS, an
Nisa: 36)3738

Bagi orang awam mungkin tauhid hanya dijadikan sebuah

pembeda antara dirinya sebagai seorang muslim dengan seorang yang

kafir. Namun bagi seorang sufi, tauhid tidak hanya sebagai pembeda

antara muslim dengan non muslim, namun lebih dari itu tauhid

merupakan sebuah wahana yang terbuka luas untuk menyelami dan

memahami dan sebagai pintu untuk memahami dan masuk dalam


TO
realitas hakiki, yaitu al Haq, Allah Swt.

Menurut Abdurrauf makna tauhid yaitu “tindakan

mengaitkan”, oleh karena itu arti kalimat "aku mengesakan Allah”

adalah aku mengaitkan Allah dengan sifat Esa, bukan Uaku menjadikan

Allah Esa", karena Keesaan Allah itu telah melekat pada Zat-Nya

sendiri, bukan karena diberikan oleh pihak lain.39

J? Nazri Adlany et al, op.cit, him. 152


38 Oman Fathurahman, Menyoal Wahdatul Wujud, Mizan, Bandung, 1999, him. 43
39 Ibid., him. 44
38

Tauhid merupakan hal yang vital dalam dunia tasawuf,

sebagaimana Abdurrauf menyebutkan bahwasanya penegasan tentang

tauhid dengan mengucapkan la illaha illallah merupakan sebuah

kewajiban yang pertama sebelum seseorang melakukan hal-hal yang lain

(ajaran tasawufnya).

Abdurrauf mendasarkan pandangannya pada sebuah ayat al

Qur’an tentang ke-Esaan Allah:

...i3 S £ - a 'y iT ji

“Sekiranya pada keduanya (langit dan di bumi) ada


Tuhan-tuhan selain Allah, niscaya keduanya binasa”.(Q.S al
Ambiyaa’: 22)40

Sehingga dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa tidak

rusaknya langit dan bumi dikarenakan hanya adanya satu Tuhan yaitu

Allah s.w.t.

Kemudian dari konsep tauhid inilah, Abdurrauf kemudian

memulai membicarakan tentang hubungan antara Tuhan dan alam,

antara al Haq dan al khalq, antara al Wujud dan al maujuddat, antara

Wajib al Wujud dan al mumkinat.41

Menurut Abdurrauf alam didefinisikan sebagai berikut:“ nama

untuk segala sesuatu selain al Haq (Allah) Yang Maha Mulia dan Maha

Agung”. Dan Abdurrauf menambahkan bahwa hakikat alam adalah:

“wujud yang terikat dengan sifat-sifat mumkinat (sifat-sifat yang

40 Nazri Adlany, et al, op. cit, him. 614


41 Ibid, him. 45
39

mungkin). Oleh karena itulah alam ini dikatakan sebagai sesuatu selain

al Haq (Allah).42

Dari hubungan ontologis antara al Haq dan al khalq, dan

berangkat dari penjelasan tauhid di atas bahwa satu-satunya wujud

adalah Allah {la ilaha ilia Allah), tidak ada wujud selain wujud Allah.

Dengan kata lain, wujud dalam pengertian hakiki hanya milik al Haq,

segala sesuatu selain al Haq tidak memiliki wujud. Jika satu-satunya

wujud adalah al Haq maka di mana kedudukan ontologis al khalq (alam).

Apakah alam identik dengan Tuhan? atau apakah alam tidak mempunyai

wujud sama sekali?43

Pandangan Abdurrauf tentang permasalahan di atas terungkap

dalam Tanbih al Masyi:

“ Dan jika dihubungkan dengan al Haq, alam itu bagaikan


bayangan, ia bukanlah hakikat lain di samping hakikat-hakikat
Allah yang diketahui sejak zaman azali, dan kemudian
memiliki wujud. Karena itu menurut konsep ini, manusia
adalah bayangan al Haq, atau bayangan dari bayangan-Nya.”

Dalam kutipan di atas bahwa menurut Abdurrauf, alam tidak

identik secara mutlak dengan al Haq, karena alam hanya merupakan

bayangan-Nya, bukan wujud-Nya. Dengan ini Abdurrauf menegaskan

transendensi Tuhan atas makhluk-Nya. Alam dengan demikian tidak

memiliki wujud tersendiri, karena dia hanya merupakan bayangan

Tuhan, atau bahkan hanya bayangan dari bayangan-Nya. Kehadiran

42 Ibid, him. 46
43 Oman Fathurrahman, loc. cit.
40

bayangan sangat tergantung pada ada dan tidak adanya sumber

bayangan. Oleh karena itu, wujud hakiki yang sebenamya adalah sumber

bayangan tersebut berikut segala sifat yang melekat padanya.44

Dengan pandangan bahwa alam adalah bayangan Allah

semata, berarti Abdurrauf menegaskan bahwa alam bukan benar-benar

zat al Haq, karena anggapan tersebut, menurutnya, akan membatalkan

status al Haq sebagai Pencipta alam raya. Menurut Abdurrauf, sangat

tidak masuk akal jika Sang Pencipta menciptakan zat-Nya sendiri secara

utuh.4546Abdurrauf mengutip sebuah ayat al Qur’an yang menegaskan

bahwa:

“Pencipta segala sesuatu maka sembahlah Dia” (Q.S al


‘An’am: 102)’

Abdurrauf juga berdalih bahwa di dalam al Quran, tidak sekali

pun Allah mengatakan bahwa la menciptakan zat-Nya sendiri. Kepada

Nabi Muhammad, Allah mengatakan: Qul Allahu khaliqukulli syai’in

(Katakanlah wahai Muhammad: Allah adalah Pencipta segala sesuatu)

tapi Dia tidak mengatakan Qul Allahu khaliqu ‘ainihi (Katakanlah!

Allah adalah pencipta Zat-Nya sendiri), dan dalam al Quran juga

dikatakan: al hamdu li Allahi rabbi al alamina (segala puji bagi Allah,

Tuhan seru sekalian alam), tidak dikatakan: al hamdu li Allahirabbi

‘ainihi (segala puji Allah, Tuhan zat-Nya sendiri). Satu lagi argumen

44 Ibid, him. 4 6 - 4 7
45 Ibid, him. 48
46 Nazri Adlany, et al, op. cit, him. 256
41

yang dikemukakan Abdurrauf adalah, jika alam dalah Zat Allah sendiri,

tentu Dia tidaka akan menitahkan kewajiban-kewajiban syariat yang

memberatkan, seperti puasa, salat dan sebagainya.47

Selain itu jika manusia (alam) benar-benar merupakan Zat

Allah, seharusnya manusia dapat mewujudkan apa saja yang

dikehendaki dan kemudian dikatakannya, dalam sekejap, karena Allah

telah mengatakan dalam al Quran: “Idza arada syai ’in an yaqula lahu

kun, fayakunu (Apabila Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berkata

kepadanya: jadilah! maka teijadilah ia)”. Namun, kenyataanya manusia

tidak mampu melakukan hal tersebut, karena kehendaknya tidak bisa

selaulu seiring dengan kehendak Allah. Hal ini menjadi bukti bahwa

manusia, alam atau al khalq tidak identik dengan Allah, secara mutlak.

Dalam hal ini Abdurauf mengutip sebuah hadis qudsi, di mana Allah

berfiman:

“ Wahai anak Adam! Engkau mempunyai keinginan, Aiaipun


demikian, tapi tidak akan terjadi kecuali apa yang Aku
inginkan, jika engkau re la atas apa yang Aku inginkan, dan
jika engkau menentang apa yang Aku inginkan, aku akan
persulit apa yang engkau inginkan, sehingga tidak akan terjadi
kecuali apa yang Aku inginkan ”.48

Dengan berpijak pada argumen-argumen yang telah

dikemukakan tentang hubungan ontologis antara Tuhan dan alam, dan

kesimpulannya bahwa alam tidak memiliki wujud tersendiri. Dan yang

tidak dapat dipisahkan dalam pembahasan tentang wahdatul wujud

47 Oman Fathurrahman, op. cit, him. 48 - 49


48 Oman Fathurrahman, loc. cit
42

adalah mengenai pandangan Abdurrauf tentang proses penciptaan alam.

Yang juga menjadi topik pembicaraan di kalangan para sufi.49

Menurut Abdurrauf alam tercipta melalui proses pemancaran

(emanensi, al faid) dari zat Allah. Ia menyamakan proses keluamya alam

tersebut dengan proses keluamya pengetahuan dari Allah. Dengan

demikian, meskipun alam bukan zat Allah secara mutlak, namun ia juga

tidak berbeda dengan-Nya secara mutlak pula, karena alam bukan wujud

kedua yang benar-benar terpisah dari-Nya.50

Allah sendiri menurut Abdurauf tetap seperti keadaan-Nya di

zaman azali. Ia tidak mempunyai sekutu, karena Ia ada sebelum segala

sesuatu tercipta. Setelah alam tercipta melalui pancaran-Nya, Allah tetap

tidak berubah, sedangkan alam bersifat hadis (bam), karena ia hanya

sebagai pancaran dari wujud Allah. Tingkat wujudnya tidak kemudian

sejajar dengan wujud Allah (rutbah al m a’iyyah), melainkan karena di

bawah-Nya (rutbah al taba ’iyah).51

Demikianlah pandangan-pandangan Abdurauf dalam Tanbih al

Masyi, baik tentang hubungan ontologis antara Tuhan dan alam, maupun

tentang proses penciptaan alam. Bagi Abdurrauf, semua yang telah

dikemukakannya itulah yang ia namakan sebagai doktrin wahdatul

wujud (kesatuan wujud), jadi alam menurut konsep wahdatul wujud

49 Oman Fathurrahman, loc. cit


Ibid, h lm .4 9 -5 0
51 Oman Fathurrahman, loc. cit
43

Abdurrauf, bukan merupakan wujud kedua yang benar-benar terpisah

dari al Haq, karena ia adalah pancaraan dari zat-Nya.

Dalam hal ini, berarti Abdurrauf mengemukakan konsep

imanensi (penyatuan) Tuhan dalam alam (tasybih, al faid). Akan tetapi,

alam juga bukan al Haq secara mutlak, melainkan sekedar bayangan-

Nya, atau bahkan bayangan dari bayangan-Nya, karena Tuhan adalah

Zat Yang Esa, tidak ada sesuatu pun yang menyertai-Nya (la syarika

lahu), meskipun Ia selalu menyertai segala sesuatu (al Muhit). Dalam hal

ini, Abdurrauf tetap mempertahankan konsep transendensi Tuhan atas

ciptaan-Nya (tanzih, al zill).5253

Dasar yang digunakan Abdurrauf untuk mendukung

pandangannya tentang imanensi Tuhan atas ciptaan-Nya yaitu sebuah

hadis: “Z)a« Dia bersama kamu dimana saja kamu berada” dan untuk

menunjukkan transendensi-Nya, berdasarkan hadis: “Allah tetap seperti

ada-Nya, tak ada sesuatu pun yang menyertai-Nya

Dari uraian di atas dapt diambil kesmpulan bahwa Abdurrauf

merupakan tokoh yang menganut paham bahwa satu-satunya wujud

hakiki adalah Allah, sedangkan alam ciptaan-Nya bukanlah wujud

hakiki, tapi wujud bayangan, yakni bayangan dari wujud hakiki. Dengan

demikian jelas bahwa Tuhan lain dari alam atau alam lain dari Tuhan.

Kendati begitu antara bayangan (alam) dengan yang memancarkan

bayangan (Tuhan) tentu terdapat keserupaan, pada alam yang tampak

52 Oman Fathurrahman, loc. cit


53 Ibid, him. 5 0 - 5 1
44

ini, Tuhan menampakkan diri-Nya (tajalli).54 Sifat-sifat Tuhan secara

tidak langsung tampak pada manusia, dan secara relatif paling sempuma

pada insan kamil.55

Dari kesemua pandangan tentang wahdatul wujud maka disini

perlu ditegaskan bahwa betapapun asyiknya seorang hamba terhadap

Allah s.w.t, Khalik dan makhluk tetap memiliki arti sendiri.

54 Harun Nasution, et al, “Abdur-Rauf As-Singkel"Ensiklopedi Islam Indonesia,


Djambatan, Jakarta, 1992, hlm.33
55 “Syekh Abdur Rauf Singkel” Ensiklopedi Islam jilid I, PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 1994
45

BAB IV

IMPLIKASI PANDANGAN WAHDATUL WUJUD ABDURRAUF

SINGKEL DALAM PENDIDIKAN TAUHID

A. Pengertian Pendidikan Tauhid

Pendidikan dalam bahasa Arab berasal dari kata keija “rabbet” yang

merupakan kata keija dari “tarbiyah” yang memiliki beberapa arti antara

lain mengasuh, mendidik dan memelihara.12

Dari pengertian di atas pendidikan bertujuan untuk mengasuh,

mendidik, dan memelihara anak didik untuk mengembangkan potensinya

agar sesuai dengan fitrahnya.

Ditinjau dari asal bahasanya istilah tarbiyah menurut Abdurahman al

Bani terdiri atas empat unsur yaitu:

1. Menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh

2. Mengembangkan seluruh potensi dan kesiapan yang bermacam-macam

3. Mengarahkan seluruh fitrah dan potensi ini manusia menuju kepada

kebaikan dan kesempumaan yang layak baginya

4. Proses ini dilaksanakan secara bertahap.

1 Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Aditya Media, Yogyakarta,


1992, him. 14
2 Abdurrahman An Nahlawi, Ushulut Tabiyatil Islamiyah Wa Asalibuha, diteij; oleh
Herry Noer Ali, Darul Fikr, Damsyik, 1992, him. 32
46

Pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan

anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya kearah

kedewasaan.3

Orang dewasa dalam mendidik, haruslah mengetahui perkembangan

anak didik, baik rohani maupun jasmaninya, supaya dalam proses

pendewasaanya dapat sesuai dengan taraf pemikiran anak. Agar nantinya ia

dapat menjadi insan yang sempuma sesuai dengan perkembangan jasmani

dan rohaninya.

Pendidikan menurut Noeng Muhadjir adalah aktivitas interaksi

antara pendidik dan subyek-didik untuk mencapai tujuan baik dengan cara

baik dalam konteks positif.45

Proses belajar yang baik dalam mendewasakan anak didik haruslah

setiap pendidikan itu mempunyai tujuan-tujuan yang baik sesuai dengan

ajaran Islam dan dicapai melalui dengan jalan yang digariskan oleh agama

Islam sesui dengan al Qur’an dan as Sunnah.

Maka pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian muslim,

yang mempunyai ciri perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan ajaran

Islam.3

3 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis, CV. Remaja Karya,
Bandung, 1988, him. 11
4 Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan Dan Perubahan Sosial Suatu Teori Pendidikan,
Rake Sarasin, Yogyakarta, 1993, him. 4
5 Zakiah Darajat, et al, Ilmu Pendidikan Islam, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,
1982/1983, him. 27
47

Hakekat dari diselenggarakannya pendidikan dalam Islam tidak lain

adalah membentuk kepribadian seorang insan kamil yang tujuan akhimya

hanyalah untuk menyembah kepada Allah s.w.t.

Kata tauhid bermakna pemyataan Keesaan Allah, “tiada Tuhan

melainkan Allah, la ilaha Illallah”, kalimat tauhid ini adalah poros utama

dalam Islam.6 Keyakinan tentang adanya Allah Yang Maha Esa, yang tidak

ada sesuatupun yang menyamai-Nya dalam Zat, Sifat atau perbuatan-

perbuatan-Nya.7

Keyakinan kepada Allah dalam zat, sifat maupun perbuatannya

sangatlah penting bagi kaum muslimin karena tonggak ajaran Islam

tertumpu pada kalimat tauhid la ilaha illallah, kalau pondasinya kuat maka

seterusnya akan kokoh pula.

Pendidikan Tauhid dapat diartikan secara umum sebagai, pendidikan

yang diarahkan untuk mengesakan Allah s.w.t, dan menolak Tuhan-tuhan

yang lain selain Allah sebagai sesembahan.

Dalam sebuah aktivitas pendidikan tidak dapat dilepaskan dari

berbagai unsur pendidikan, agar nantinya proses pendidikan tersebut dapat

menciptakan hasil yang sesuai dengan tuntutan zaman. Di antara unsur-

unsur tersebut mempunyai keterikatan yang erat sehingga antara unsur satu

dengan unsur yang lainnya dapat bersinergi mewujudkan cita-cita dari

6 Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dimia Tasawuf, Mizan, Bandung, 1996, him.
293
7 Muhammad Yusuf Musa, Islam Suatu Kajian Komprehensif, Rajawali Pers, Jakarta,
1988, him. 45
48

pendidikan. Unsur-unsur dalam pendidikan diantaranya yaitu anak didik,

guru, materi, metode, lingkungan, fasilitas/sarana prasarana.

B. Unsur - Unsur Pendidikan

a) Anak Didik/Siswa

Dalam sebuah pendidikan tidak dapat dilepaskan dari obyek yang

menjadi sasaran, yaitu manusia. Manusia dalam pandangan Islam adalah

makhluk yang mempunyai kedudukan yang tinggi serta mulia dalam

pandangan Allah. Sebagaimana Fiman Allah s.w.t:


o — Z. " o < o • " «■" .• o <.-*
^ ^ 5 ( j i m il hi <ai-s.

ounggun Kami mencipiamn manusia aaiam sebaii-baik


bentuK'' (Q.S. al Tin: 4)®

Dan di Surat lain:

i l l (jlaJ (jjilil jlaa i l l d ijl» a l a ii. jJjtiU j

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama


(Allah) tetaplah atas fitrah Allah yang telah mencipta manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah,
itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengerti” (Q.S ar Rum: 30)8 9

Jadi Allah dalam menciptakan manusia sesuai dengan fitrah yaitu

naluri beragama, agama tauhid (Islam), maka jika manusia tidak

8 Nazri Adlany, et al, Al Quran Terjemah Indonesia, PT Sari Agung, Jakarta, 2001,
h im .1254
9 Ibid, him. 798
49

beragama tauhid maka hal itu telah mengingkari fitrahnya yang telah

digariskan oleh Tuhan.

Anak didik dalam pendidikan Islam adalah anak yang sedang

tumbuh dan berkembang, menuju fitrahnya baik secara mental maupun

jasmaninya dan untuk mencapai tujuan semuanya itu seorang anak

memerlukan proses belajar (pendidikan).

Dalam perspektif pedagogis, anak didik adalah sejenis makhluk

yang menghajatkan pendidikan. Dalam arti ini anak didik disebut sejenis

makhluk ”homo educandum”,1'’sebagai manusia yang berpotensi, maka

di dalam diri anak didik ada suatu daya yang dapat tumbuh dan

berkembang di sepanjang usianya, untuk itu diperlukan lembaga untuk

merealisasikan kebutuhan anak yaitu lembaga pendidikan agar hajat

anak didik untuk dididik dapat terpenuhi.

Potensi anak didik sebagai daya yang tersedia. Sedangkan

pendidikan sebagai alat yang ampuh untuk mengembangkan daya itu.

Bila anak didik adalah sebagai komponen inti dalam kegiatan

pendidikan, maka anak didiklah sebagai pokok persoalan dalam interaksi

edukatif.101112

Dalam hal ini anak didik adalah setiap orang yang menerima

pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan

kegiatan pendidikan.

10 Zakiah Darajat, et al, op.cit, him. 16


" SvaiM Bahri Diamarah. Guru Dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif. RineKa
Cipta, Jakarta, 2000, hlm.52
12 Ibid, hlm .51
50

b) Pendidik/Guru

Kalau dikaitkan dengan tauhid maka seorang guru haruslah

mempunyai dan sesuai dengan sifat-sifat dan perilaku Allah s.w.t

(Rabb), karena Allah adalah pendidik bagi semua makhluk di seluruh

penjuru alam semesta, dan kesemuanya dapat dimiliki kalau seseorang

atau pendidik (murabbi) dapat meniru dan sesuai dengan perilaku, sifat

dari Rabbul ‘alamin (Allah) secara sempuma dan mengikuti sunah-

sunah Nabi s.a.w.

Seorang guru dapat diartikan secara sederhana sebagai orang

yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Kalau dalam

pandangan masyaratat, guru adalah orang yang melaksanakan

pendidikan di tempat-tempat tertentu, misalnya di sekolah, masjid/surau,

madrasah, rumah dan tempat lainnya.'J

Guru yang baik adalah guru yang mampu mengajar baik."baHc”

dalam arti mengikuti patokan yang telah diuji validitasnya."4 Sehingga

sebagai seorang guru dalam mentranformasikan ilmu-ilmunya haruslah

materi-materi yang positif dan dilakukan dengan jalan yang sesuai

aturan-aturan dan urutan-urutan yang berlaku.

Dan seorang guru itu haruslah yang beragama sama dengan anak

murid, supaya nantinya dalam proses belajar mengajar seorang guru bisa

walau tidak secara langsung dapat mentransformasikan nilai-nilai positif

- ~ i a a anax aiaik.*14

1J Ibid, mm j i
14 Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan Dan Perubahan Sosial Suatu Teori Pendidikan,
Rake Sarasin, Yogyakarta,1993, him. 63
51

Hendaknya seorang guru dapat mengarahkan pendidikan agama

di sekolah dimulai dengan pengukuhan akidah anak didik sebagai

landasan keberagamaan. Dengan kata lain agama diajarkan di sekolah

supaya dapat menguatkan akidah siswa/siswi atau menjaga keimanan

dan ketaqwaan mereka sejak dini supaya selaras dengan tujuan fitrahnya

sebagai manusia yang diciptakan oleh Tuhan untuk menjadi khalifah di

muka bumi.

Sebagai seorang guru maka perlu adanya syarat-syarat yang harus

dipenuhi oleh seorang pendidik, antara lain yaitu:

• Takwa Kepada Allah s.w.t

Guru sesuai dengan tujuan ilmu pendidikan Islam, tidak

mungkin mendidik anak didik agar bertakwa kepada Allah, jika ia

sendiri tidak betakwa kepada-Nya. Sebab ia adalah teladan bagi anak

didiknya sebagaimana Rasulullah s.a.w, menjadi teladan bagi

umatnya. Sejauh mana seorang guru mampu memberi teladan yang

baik kepada semua anak didiknya, sejauh itu pulalah ia diperkirakan

akan berhasil mendidik mereka agar menjadi generasi penerus

bangsa yang baik dan mulia.'J15

15 Zakiah Daradjat, et al, op.cit, him. 39


52

• Berilmu

Ijazah bukan semata-mata secarik kertas, tetapi suatu bukti,

bahwa pemiliknya telah mempunyai ilmu pengetahuan dan

kesanggupan tertentu yang diperlukannya untuk suatu jabatan. Guru

pun harus mempunyai ijazah agar ia diperbolehkan mengajar.

Kecuali dalam keadaan darurat, misalnya jumlah anak didik sangat

meningkat, sedang jumlah guru jauh dari mencukupi, maka terpaksa

menyimpang untuk sementara, yakni menerima guru yang belum

berijazah. Tetapi dalam keadaan normal ada patokan bahwa makin

tinggi pendidikan guru makin baik pendidikan dan pada gilirannya

makin tinggi pula deraj at masyarakat.10

Sebagaimana Abdurrauf beliau dalam mengajarkan tarekat

Syatariyah beliau mendapatkan ijazah dari al Qusyasyi. Maka ijazah

bagi guru sangatlah penting sebagai tanda ia ahli dalam sebuah

bidang keilmuan.

• Sehat Jasmani

Kesehatan jasmani kerapkali dijadikan salah satu syarat bagi

mereka yang melamar untuk menjadi guru. Guru yang mengidap

suatu penyakit menular, umpamanya, sangat membahayakan bagi

kesehatan anak didik, di samping itu guru yang berpenyakit tidak16

16 Ibid, him. 3 9 - 4 0
53

akan bergairah dalam mengajar. Dan guru yang sakit-sakitan

kerapkali terpaksa absen dan tentunya merugikan anak didik.

• Berkelakuan Baik

Budi pekerti guru dalam pendidikan watak anak didik, guru

harus menjadi teladan, karena anak-anak bersifat suka meniru. Di

antara tujuan pendidikan yaitu membentuk akhlak yang mulia pada

diri anak didik dan ini hanya mungkin bisa dilakukan jika pribadi

guru berakhlak mulia pula. Guru yang tidak berakhlak mulia tidak

mungkin dipercaya untuk mendidik. Yang dimaksud dengan akhlak

mulia dalam ilmu pendidikan Islam adalah akhlak yang sesuai

dengan ajaran Nabi Muhammad s.a.w.‘°

Menurut Zakiah Daradjat. dkk (1992) di antara akhlak mulia guru

yaitu:

□ Mencintai Jabatannya

Sebagai seorang guru haruslah mencintai jabatannya sebagai

seorang guru, karena jabatan guru sendiri dalam pandangan

Islam sangat dimuliakan.

□ Bersikap Adil Terhadap Semua Muridnya

Anak-anak tajam pandangannya terhadap perlakuan yang tidak

adil dari seorang pendidik. Lebih-lebih yang masih muda,

kerapkali bersikap pilih kasih, guru laki-laki memperhatikan anak

perempuan yang cantik atau anak yang pandai daripada yang lain.178

17 Zakiah Darajat, et al, loc. cit.


18 Zakiah Daradjat, et al, loc. cit.
54

Hal itu jelas tidak baik. Oleh karena itu guru harus

memperlakukan sekalian anak didik dengan cara yang sama.

□ Berlaku sabar dan tenang

Di sekolah guru kerapkali merasakan kekecewaan karena murid-

murid kurang mengerti apa yang diajarkankannya. Murid-murid

yang tidak mengerti kadang-kadang menjadi pendiam atau

sebaliknya membuat keributan-keributan. Hal ini sudah terang

mengecewakan guru atau malah menyebabkan ia putus asa.

Dalam keadaan demikian guru harus tetap tabah, sabar sambil

berusaha mengevaluasi masalahnya dengan tenang, sebab

mungkin juga kesalahan terletak pada diri sendiri yang kurang

simpatik atau cara mengajamya yang kurang terampil atau bahan

pelajaran yang belum terkuasai olehnya.

□ Guru harus berwibawa (gezag)

Anak-anak ribut dan berbuat sekehendaknya, lalu guru merasa

jengkel, berteriak sambil memukul-mukul meja. Ketertiban hanya

dapat dikembalikannya dengan kekerasan, tetapi ketertiban

karena kekerasan senantiasa bersifat semu. Guru yang semacam

ini tidak berwibawa. Sebaliknya, ada juga guru yang sesaat ketika

memasuki dan menghadap dengan tenang kepada murid-murid

yang lagi ribut segera kelas menjadi tenang, padahal ia tidak

melakukan hal yang seperti diatas tadi. Ia mampu menguasai

anak-anak seluruhnya, Inilah guru yang berwibawa.


55

□ Guru Haras Gembira

Guru yang gembira memiliki sifat humor, suka tertawa dan suka

memberi kesempatan anak-anak untuk tertawa. Dengan

senyumnya ia memikat hati anak-anak. Sebab apabila pelajaran

diselingi dengan humor, gelak dan tertawa, niscaya jam pelajaran

terasa pendek saja. Guru yang gembira biasanya tidak lekas

kecewa. Ia mengerti, bahwa anak-anak tidak bodoh, tetapi belum

tahu. Dengan gembira ia mencoba menerangkan pelajaran sampai

anak itu memahaminya.

□ Guru Haras Bersifat Manusiawi

Guru adalah manusia yang tidak terlepas dari kekurangan dan

cacat. Ia bukan manusia sempuma. Oleh karena itu ia haras

berani melihat kekurangan-kekurangannya sendiri dan segera

memperbaikinya. Dengan demikian pandangannya tidak picik

terhadap kelakuan manusia umumnya dan anak-anak khususnya.

Ia dapat melihat perbuatan yang salah sesuai proporsi yang

sebenamya. Ia memberi hukuman yang adil dan suka memaafkan

apabila anak insyaf akan kesalahannya.

□ Bekeijasama Dengan Guru-Guru Lain

Pertalian dan keijasama yang erat antara guru-guru lebih

berharga daripada gedung yang megah dan alat-alat yang

lengkap. Sebab apabila guru-guru saling bertentangan, anak-anak

akan bingung dan tidak tahu apa yang dibolehkan dan apa yang
56

dilarang. Oleh karena itu kerjasama antara guru-guru itu sangat

penting.

Suasana edukatif sebagian besar tergantung pada sikap dan

kebijaksanaan guru kepala. Oleh karena itu kepala sekolah

hendaknya jangan bersikap seperti majikan terhadapa

bawahannya. Malahan ia harus mengabdi kepada guru-guru lain,

artinya ia harus mengurus dan siap sedia memperj uangkan

kepentingan guru-guru lainnya.

□ Bekerjasama Dengan Masyarakat

Guru harus mempunyai pandangan yang luas. Ia harus bergaul

dengan segala golongan manusia dan secara aktif berperan serta

dalam masyarakat supaya sekolah tidak terpencil. Sekolah hanya

dapat berdiri ditengah-tengah masyarakat, apabila guru raj in

bergaul, suka mengunjungi orang tua murid-murid, memasuki

perlumpulan-perkumpulan dan turut serta dalam kejadian-

kejadian yang penting dalam lingkungannya, maka masyarkat

akan rela memberi sumbangan-sumbangan kepada sekolah

berupa gedung, alat-alat, hadiah-hadiah jika diperlukan sekolah.

Seorang guru dalam dunia kependidikan Islam haruslah

mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

1) Zuhud: tidak mengutamakan materi, mengajar dilakukan karena

mencari keridhaan Allah

2) Bersih tubuhnya, penampilan lahiriyahnya menyenangkan


57

3) Bersih jiwanya, tidak mempunyai dosa besar

4) Tidak ria ’, karena akan menghilangkan keikhlasan

5) Tidak memendam dendam rasa dengki dan iri hati

6) Tidak menyenangi permusuhan, senang mendamaikan kedua

belah pihak yang bertikai

7) Ikhlas dalam melaksanakan tugas

8) Sesuai perbuatan dengan perkataan

9) Tidak malu mengakui ketidaktahuan

10) Bijaksana

11) Tegas dalam perkataan dan perbuatan, tetapi tidak kasar

12) Rendah hati (tawadhu ’)

13) Lemah lembut

14) Pemaaf

15) Sabar tidak marah karena hal-hal kecil

16) Berkepribadian

17) Tidak merasa rendah diri

18) Bersifat kebapakan (mampu mencintai murid seperti anak

sendiri)

19) Mengetahui karakter siswa, mencakup pembawaan, kebiasaan,

perasaan dan pemikiran.1''

c) Materi19

19 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung, him. 82 - 83
58

Dalam pendidikan tauhid, mated yang terpenting adalah

mengetahui secara mendasar tentang tauhid itu sendiri, sebagaimana

Abdurauf kemukakan bahwasanya perbuatan seorang murid pertama kali

yang dilakukan yaitu menauhidkan Tuhan (uluhiyah, asma ’ wa sifat dan

rububiyahnya).AK>

Tauhid adalah hak pertama bagi Allah yang wajib dilaksanakan

oleh hamba, ini merupakan urusan dien yang paling besar, landasan yang

paling pokok dari landasan dari semua amal. Sebagaimana hadis Nabi

Muhammad SAW:

a n,u pernan awoncengkan Nabi di atas seekor keledai. Lalu


beliau besabda kepadaku: Hai Muadz, tahukah kamu apa hak
Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya dan apa hak
para hamba yang pasti dipenuhi Allah? ” aku menjawab; “Allah
dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau bersabda: “Hak Allah
yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya adalah supaya
beribadah kepda-Nya saja dan tidak berbuat syiik sedikitpun,
sedangkan hak para hamba yang pasti dipenuhi Allah adalah
bahwa Allah tidak akan menyikasa orang yang tidak berbuat
syiik sedikitpun kepada-Nya”. Aku bertanya: “Ya Rasulullah,
tidak perlukah aku menyampaikan kabar gembira ini kepada
orang-orang? ’ beliau menjawab; ’’Janganlah kamu
menyampaikan kabar gembira ini kepada mereka, sehingga
mereka nanti akan bersikap menyandarkan diri

Kalimat la ilaha illallah jika dijabarkan akan menghimpun empat

tingkatan tauhid yaitu seperti disebutkan Abdurrauf yaitu ”tauhid

uluhiyah” mengesakan ketuhanan Allah, tauhid A fa l (mengesakan201

20 Oman Fathurrahman. Menvoa Wahdatul Wuiud. Mizan. Bandune. 1999. him. 44


21 Syaikh Abdurrahman Bin Nasir As Sa’adi, Penjabaran Sistematika Kitab Tauhid
Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab, Pustaka Arafah, Solo, 2001, him. 19
59

perbuatan Allah), tauhid Sifat (mengesakan sifat-sifat Allah, dan tauhid

Zat (mengesakan Zat Allah).zz

Iman kepada Allah merupakan dasar utama dan pertama dal am

kerangka keimanan. Sementara rukun iman yang lainnya merupakan

tambahan dan implikasi dari rukun pertama itu, karena kesemuanya

merupakan bagian dari iman kepada Allah dan terbina atas landasan

iman kepada-Nya. Maka setelah seseorang beriman kepada Allah, dia

harus beriman pula kepada para malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para

rasul-Nya, peijumpaan dengan-Nya, serta qadha dan qadar-Nya.ZJ

Iman kepada Allah mencakup keharusan iman kepada wujud-

Nya, Keesaan-Nya, nama-nama-Nya yang baik (Asmaul Husna), dan

sifat-sifat-Nya yang agung, yang mencerminkan kesempumaan dan

kesucian-Nya dari seluruh sifat kekurangan dan kelemahan/**

Telah diketahui bersama bahwa hal yang fundamen dalam Islam

adalah tauhid, dan tauhid sendiri terbagi menjadi berbagai macam

pembagian, yaitu: Tauhid Asma’ wa Sifat, Tauhid Rububuiyah dan

Tauhid Ulluhiyah.

□ Tauhid Asma’ wa Sifat

Meyakini secara mutlak akan Keesaan Allah yang Maha

Mulia dengan segala kesempumaan-Nya, dan dengan sifat-sifat-Nya

Yang Agung, Mulia lagi Indah yang tidak ada sekutu bagi-Nya2*4

22 Oman Fathurrahman, op. cit., him. 45


ZJ Yusuf Oardawi. Tauhidullah Dan Fenomena Kemusvikan. diteri: oleh Aba
Haris, Pustaka Progresif, Surabaya, 1992, him. 10
24 Ibid, him. 11
60

dal am bentuk apapun. Yang demikian itu dengan cara menetapkan

apa yang telah Allah tetapkan.Untuk diri-Nya atau yang telah

ditetapkan rasul akan keagungan dan kemuliaan nama dan sifat-Nya,

memahami secara benar tentang makna dan hukumnya sesuai

dengan yang dimaksud dalam al Qur’an dan as Sunah tanpa ada

penafian (meniadakan), ta ’thil (menghilangkan), tahrif (merubah)

maknanya dan tamstsil (menyerupakan) dengan yang lain. Dan juga

menafikan yang Allah nafikan untuk diri-Nya atau yang dinafikan

Rasul SAW untuk-Nya, sepeti sifat-siat cela, aib, kekurangan dan

hal-hal yang bisa menghilangkan kesempumaan-Nya.ZJ

□ Tauhid Rububiyyah

Yaitu hendaknya hamba menyakini bahwa Allah adalah Rabb

Yang Esa, Yang menciptakan, memberi rizki dan mengatur alam

dengan sendirian, Dia yang mengatur semua makhluk dengan

nikmat-Nya, khususnya para anbiya’ dan para pengikutnya yang

berakidah shalih, berakhlak baik, ilmunya bermanfat dan beramal

kebajikan. Inilah tarbiyah yang sangat bermanfaat untuk hati dan ruh

demi mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat/0

Kaum muslimin meyakini Rububiyah Allah SWT yaitu

bahwa Dialah Tuhan Yang menjadikan dan Mengatur semua alam

ini.256

25 Syaikh Abdurrahman Bin Nasir As Sa’adi, op. cit, him. 1 9 - 2 0


26 Ibid, him. 20
61

□ Tauhid Ulluhiyah

Tauhid Uluhiyah juga disebut juga tauhid ibadah. Yaitu

mengilmui dan mengakui hanya Allah-lah yang berhak atas uluhiyah

dan ubudiyah dari seluruh makhluk, mengkhususkan segala bentuk

peribadatan hanya kepada-Nya dan memumikan agama hanya untuk

Allah saja.x'

Tauhid Uluhiyah menuntut adanya tauhid rububiyah dan

tauhid asma’ wa sifat. Tauhid ini mencakup keduanya. Sebab tauhid

ini adalah salah satu sifat yang mencakup segala sifat kesempumaan,

termasuk di dalamnya sifat-sifat rububiyah dan keagungan.

Sesungguhnya Dia adalah “a/ m a’luh” (Yang Diilahkan) dan ual

m a’bud' (Yang Diibadahi, dan Dia-lah yang memberikan segala

keutaman dan kebaikan kepada para hamba-Nya. Keesaan Allah

dengan segala sifat kesempumaan dan Keesaan-Nya dengan

Rububiyah-Nya penegesaan terhadap uluhiyah-Nya, yaitu agar

mereka hanya beribadah kepada Allah saja/°

Jadi ajaran Islam (tauhid) tidak hanya memfokuskan iman

kepada wujudullah sebagai suatu kehamsan umat manusia, tapi lebih

memfokuskan akidah tauhidullah (Esa-Nya, sifat-sifat-Nya, dan

asma’-asma’-nya) yang mempakan dasar akidah dan jiwa

keberadaan Islam, yaitu beriman kepada Allah Yang Esa bagi278

27 Syaikh Abdurrahman Bin Nasir As Sa’adi, loc. cit


28 Syaikh Abdurrahman Bin Nasir As Sa’adi, loc. cit
62

semesta alam, Yang Mencipta dan Mengatur, yang kepada-Nya

tempat kembali

d) Metode

Sebagai pendidik (murabbi) diharapkan dapat meniru dan sesuai

dengan perilaku dan sifat Rabb (Tuhan) sehingga dalam memeberikan

pelajaran/materi pendidik hendaknya pula menggunakan cara-cara yang

Allah gunakan dalam memberikan ilmunya kepada makluknya yang

kesemuanya itu bersumber dari al Qur’an dan sebagai penjelas seorang

pendidika dapat menggunakan pula sunah-sunah Rasulullah, dan

metode-metode tersebut diantara lain seperti: percakapan, kisah-kisah,

perumpamaan, memberi teladan, pembiasaan dan pengamalan,

mengambil ibrah, mendidik dengan targhib dan tarhib.

Dalam pendidikan Islam mencakup pengajaran umum dan

pengajaran agama. Metode pengajaran untuk pengajaran umum mungkin

tidak terlalu rumit permasalahannya. Tidak terlalu rumit karena teori-

teorinya dapat diambilkan metode-metode dari barat secara umum

diantaranya yaitu dengan metode: ceramah, cerita, latihan, tanya jawab,

karya wisata, demonstrasi, sosiodrama, bermain peran, diskusi,

pemberian tugas, ekspeimen dan proyek. Untuk pengajaran agama,

bagian yang menyangkut pembinan psikomotor kognitif juga tidak

terlalu rumit segi perancangan langkah mengajamya. Misalnya29

29 Yusuf Qardawi, op.cit, him. 1 1 - 1 2


63

mengajarkan cara berwudhu/shalat dapat digunakan urutan dalam

pengajaran ketrampilan dapat langsung dipraktekkan.

Dalam pengajaran kognitif pun dapat diambilkan metode-metode

dari barat walaupun tidak 100% diadaptasi semua, seperti pengetahuan

tentang apa itu iman? apa itu shalat? apa itu puasa? dan lainya.

Namun untuk pengajaran agama tentang bagian afektif sangatlah

rumit cara pengajarannya. Seperti dalam hal yang menyangkut dengan

pembinaan rasa iman (aqidah), rasa beragama pada umumnya.

Dalam al Qur’an dan Hadis dapat ditemukan berbagai metode

pendidikan yang sangat menyentuh perasaan, mendidik jiwa dan

membangkitkan semangat. Disini penulis mencoba sedikit menguraikan

beberapa metode tersebut yang diambilkan dari bukunya Abdurrahman

an Nahlawi dan Ahmad Tafsir (2001) yaitu:

a. Metode Hiwar (percakapan) Qur’ani dan Nabawi

Hiwar (dialog) ialah percakapan silih berganti antara dua

pihak atau lebih melalui Tanya jawab mengenai suatu topik, dan

mengarahkan kepada suatu tujuan. Hiwar mempunyai dampak yang

sangat dalam terhadapjiwa pendengar atau pembaca yang mengikuti

topik percakapan secara seksama dan penuh perhatian. Hal ini

disebabkan oleh beberapa hal:

Pertama, permasalahannya disajikan secaa dinamis, kaena

kedua pihak langsung terlibat dalam pembicaraannya secara timbal


64

balik, sehingga tidak membosankan. Cara kerja metode ini

sebenamya sama dengan diskusi bebas, tetapi ada orang (di sini

guru) yang dengan sengaja menggiring pembicaraan kearah tujuan

tertentu.

Kedua, pembaca atau pendengar tertarik untuk terns

mengikuti terns jalannya percakapan itu dengan maksud dapat

mengetahui kesimpulannya.

Ketiga, hiwar itu mungkin membangkitkan berbagai

perasaan dan kesan seseorang, yang mungkin melahirkan dampak

pedagogis yang membantu tumbuh kukuhnya ide tersebut dalam

jiwa pemirsa serta membantu mengarahkan pada tujuan akhir

pendidikan..

Keempat, topik yang bersangkutan disajikan secara

realistis dan manusiawi. Artinya memenuhi akhlak tuntutan Islam,

maka cara berdialog, sikap orang yang terlibat, secara otomatis akan

mempengaruhi peserta sehingga meninggalkan pengaruh berupa

pendidikan akhlak, sikap dalam berbicara, menghargai pendapat

orang lain, dan sebagainya.

Dalam metode hiwar ini ada beberapa jenis yang terdapat

dalam al Qur’an dan Sunah Nabi Muhammad s.a.w, seperti:

■ Hiwar Khitabi atau Ta ’abudi

Merupakan dialog yang diambil dari dialog antara Tuhan

dengan hamba-Nya, misalnya Tuhan memanggil hamba-Nya dengan


65

mengatakan, “wahai orang-orang yang beriman,’ dan hamba-Nya

menjawab dal am kalbunya dengan mengatakan, “kusambut

panggilan Engkau, ya Rabbf\ dari contoh dialog ini dapat diambil

sebuah petunjuk bahwa pengajaran seperti ini dapat digunakan

dalam sebuah metode pengajaran. Seperti hadis yang diriwayatkan

oleh Abu Hurairah: “Aku mendengar Nabi s.a.w bersabda: Allah

berfirman:

'Aku membagi saiat ke daiarn dua bagian. untuk-Ku dan untuk


hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku adalah apa yang
dimintanya. ” apabila seorang hamba mengucapkan ‘segala
puji bagi Allah, Rabb semesta alam, maka Allah berfirman,
hamba-Ku telah memuii-Ku. ’apabila mengucapkan ’ Yang
Maha Pengasih, Maha Penyayang ’ maka Allah berfirman, ’
hamba-Ku telah memuii-Ku. ’apbila mengucapkan Yang
menguasai hari pembalasan, ’ maka Allah berifman, ’ hamba-
Ku telah mengagungkan Aku.... ”(HR Muslim)

Melalui hiwar khitabi ini diharapkan dapat menanamkan

hal-hal penting, sebagi berikut:

• Agar tanggap terhadap persoalan yang diajukan oleh al Qur’an,

merenungkannya, menghadirkan jawaban sekurang-kurangnya di

dalam kalbu

• Menghayati makna kandungan al Qur’an

• Mengarahkan tingkah laku dan mengamalkan tuntunan al Qur’an

• Menanamkan kepada anak dan orang Muslim yang membaca al

Qur’an suatu rasa kemuliaan berimaqn serta kemuliaan

mendapat tempat di sisi allah, tatkala allah memanggil meeka

dengan ungkapan, “Wahai orang-orang yang beriman...''''


66

Dalam hiwar khitabi ini dialog dimulai dari satu pihak,

yaitu si pembicara, sedangkan pihak kedua yang menyambutnya

dengan pikiran dan perasannya. Lalu terundang untuk

menyambutnya dengan pikiran dan perasaannya.

■ Hiwar Washfi ialah dialog antara Tuhan dengan malaikat atau

dengan makhluk ghaib lainnya. Seperti yang terlihat dalam Q.S as

Saffat ayat 20-23:

uan mere tea oernaia. aauhai ceiaka kua. Imia'n nari


pembalasan, inilah hari yang kalian dustakan. Kami
perintahkan kepada maiaikat. Kumpuikan mereka
beserta teman-teman mereka dan tunjukkanlah kepada
mereka jalan ke neraka'\

Dalam hiwar washfi menyajikan berbagi gambaran yang

hidup tentang kondisi psikis ahli neraka dan surga. Dengan imajinasi

dan deskripsi yang rinci, dengan hiwar washfi dapat memperlancar

berlangsungnya pendidikan perasaan ketuhanan.

■ Hiwar Qishashi, hiwar ini terdapat dalam al Qur’an, yang baik

bentuk maupun rangkaian ceritanya sangat jelas, merupakan bagian

dari uslub kisah dalam al Qur’an. Kalaupun di sana terdapat kisah

yang keseluruhannya merupakan dialog langsung, yang sekarang

disebur sandiwara, hiwar ini tidak dimaksudkan sebagai sandiwara.

Dengan hiwar ini anak didik yang diajak berdialog

diharapkan memihak kepada pihak yang benar dan membenci pihak

yang salah.
67

■ Hiwar Jadalli bertujuan untuk memantapkan hujjah (alasan).

Hiwar jadalli mempunyai implikasi pedagogis, di antaranya:

1. Mendiidik orang menegakkan kebenaran dengan menggunakan

hujjah yang kuat

2. Dengan alasan yang kuat, mendidik orang menolak kebatilan

karena pikiran itu rendah

3. Mendidik orang menggunakan pikirannya yang sehat

■ Hiwar Nabawi adalah hiwar yang digunakan oleh Nabi dalam

mendidik sahabat-sahabatnya. Beliau menghendaki agar sahabatnya

mengajukan pertanyaan.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa metode hiwar

adalah metode pendidikan Islami, terutama efektif (teoritis) untuk

menanamkan iman, yaitu pendidikan rasa (afektif)

b. Metode Kisah Qur’ani dan Nabawi

Kisah Qur’ani bukanlah semata kisah atau semata-mata

karya seni yang indah, ia juga suatu cara Tuhan mendidik umat agar

beriman kepada-Nya. Tujuan kisah Qur’ani sendiri mempunyai

tujuan sebagai berikut:

□ Mengungkapkan kemantapan wahyu dan risalah. Kisah-kisah ini

menjadi sebuah bukti kebenaran wahyu dan kebenaran Rasul

s.a.w

□ Menjelaskan bahwa secara keseluruhan, al din itu datangnya dari

Allah
68

□ Kisah-kisah itu bertujuan untuk menguatkan keimanan kaum

muslimin, menghibur mereka dari kesedihan atas musibah yang

meriimpa

□ Mengingatkan bahwa musuh orang mukmin adalah setan,

menunjukkan permusuhan abadi itu lewat kisah akan tampak lebih

hidup dan jelas

Ditinjau dari dampak pedagogis, kisah Nabawi tidak

berbeda dengan kisah Qur’ani di atas. Yang bila ditinjau secara

mendalam, temyata kisah nabawi berisi rincian yang lebih khusus

seperti menjelaskan pentingnya keikhlasan dalam beramal,

menganjurkan bersedekah dan mensyukuri nikmat Allah. Intinya,


*
kisah Nabawi kebanyakan merupakan rincian yang lebih khusus dari

ajaran Islam.

c. Metode amstal (perumpamaan) Qur’ani dan Nanawi

Adakalanya Tuhan mengajari umat dengan membuat

perumpamaan, misalnya dalam surat al Baqarah ayat 17:

1j Ij jIjj U ^JLa

“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang


menyalakan api.. .”.30

Cara perumpamaan seperti ini dapat dapat digunakan oleh

guru dalam mengajar. Pengungkapannya tentu saja sama dengan

metode kisah, yaitu dengan berceramah atau membaca teks. Dari

30 Nazri Adlany, et al, op. cit, him. 5


69

metode amstal ada beberapa kebaikan di dalamnya diantaranya

yaitu:

a) Mempermudah siswa memahami konsep yang abstrak

b) Perumpamaan dapat merangsang kesan terhadap makna yang

tersirat dalam perumpamaan tersebut

c) Merupakan pendidikan agar bila menggunakan perumpamaan

haruslah logis, mudah dipahami. Jangan sampai dengan

menggunakan perumpamaan malah pengertiannya kabur atau

hilang sama sekali. Perumpamaan haruslah memperjelas konsep,

bukan sebaliknya

d) Amstal Qur’ani dan Nabawi memberikan motifasi kepada

pendengamya untuk berbuat amal baik dan menjauhi kejahatan.

Jelas hal ini dapat amat penting dalam pendidikan Islam

d. Metode Teladan

Dalam pendidikan murid-murid cenderung meneladani

seorang pendidik (guru), dasamya adalah karena secara psikologis

anak memang senang meniru, tidak saja yang baik yang jelekpun

ditiru.

Sifat anak didik itu diakui dalam Islam, umat meneladani

Nabi Muhammad, Nabi meneladani al Qur’an. Aisyah pemah

berkata bahwa akhlak Nabi adalah al Qur’an.

Sebagai seorang guru haruslah dapat menjadi teladan bagi

anak didik tidak hanya pintar berbicara mentransformasikan


70

pengetahuan namun seorang guru ditutut pula dapat

mengimplementasikan nilai-nilai yang diajarkanya melalui perilaku

guru agar tidak dianggap seorang guru yang ’'jarkonF bisa mengajar

tapi tidak dapat melaksanakan apa yang diajarkan, guru yang baik

adalah guru yang dapat memberi suritauladan yang baik bagi anak

didiknya.

e. Metode Pembiasaan

Pembiasaan sebenamya berintikan pengalaman.

Pembiasaan sendiri dapat diambilakan dari apa-apa yang diamalkan.

Inti pembiaaan ialah pengulangan, apabila guru setiap masuk kelas

mengucapkan salam, perbuatan ini telah dapat diartikan sebagai

usaha membiasakan. Bila murid masuk kelas tidak mengucapkan

salam, maka guru mengingatkan agar kalau masuk kelas hendaknya

mengucapkan salam terlebih dahulu, ini juga salah satu cara

membiasakan. Karena pembiasaan berintikan pengulangan, maka

metode pembiasaan juga berguna untuk menguatkan hafalan.

f. Metode Ibrah dan Mau ’idzah

Ibrah atau I ’tibar yaitu suatu kondisi psikis yang

menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yalig disaksikan,

yang dihadapi, dengan menggunakan nalar, yang meneyebabkan hati

mengakuinya. Adapun mau’idzah ialah nasihat yang lembut yang

diterima oleh hati dengan cara menjelaskan pahala atau ancamannya.


71

g. Metode Targhib dan Tarhib

Targhib ialah janji terhadap kesenangan, kenikmatan

akhirat yang disertai bujukan. Tarhib ialah ancaman karena dosa

yang dilakukan. Targhib bertujuan agar orang mematuhi aturan

Allah, tarhib juga demikian. Akan tetapi. Tekanannya adalah targhib

agar melakukan kebaikan, sedangkan tarhib agar seseorang

menjauhi larangan/kejahatan.

e) Lembaga/lingkungan

Salah satu faktor yang dapat menunjang keberhasilan proses

pendidikan adalah adanya sarana/tempat untuk menyelenggarakan

pendiidkan, maka disini ada beberapa lingkungan yang dapat digunakan

sebagai tempat untuk mendidik anak didik.

Lingkungan sendiri mempunyai arti segala sesuatu yang

tampak dan terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa

berkembang. Lingkungan dapat berupa manusia, benda buatan manusia,

atau alam yang bergerak atau tidak bergerak, kejadian-kejadian atau hal-

hal yang mempunyai hubungan dengan seseorang.

Lingkungan merupakan sebuah wadah yang sangat

berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak maka lingkungan

sangat penting dalam pendidikan. Diantara lingkungan-lingkungan yang

ada, yang dominan berpengaruh pada anak didik adalah lingkungan

keluarga, masyaakat dan lingkungan sekolah.


72

> Lingkungan Keluarga

Keluarga merupakan masyarakat alamiah yang pergaulan di

antara anggotanya bersifat khas. Dalam lingkungan ini terletak dasar-

dasar pendidikan. Di sisni pendidikan berlangsung dengan sendirinya

sesuai dengan tatanan yang berlaku di dalamnya, artinya tanpa harus

diumumkan atau dituliskan terlebih dahulu agar diketahui dan diikuti

oleh seluruh anggota keluarga.

Lingkungan keluarga merupakan lembaga pendidikan yang

pertama, tempat anak didik pertama menerima pendidikan dan

bimbingan dari orang tua atau anggota keluarga lainnya.31

Di dalam keluaga inilah tempat meletakkan dasar-dasar


*

kepribadian anak didik pada usia yang masih muda, karena pada usia

ini anak lebih peka terhadap lingkungan terdekatnya (keluarga).

Keluarga adalah tempat meletakkan dasar-dasar

pengalaman melalui kasih sayang dan penuh kecintaan, kebutuhan

akan kewibawaan dan nilai-nilai kepatuhan. Dalam lingkungan

keluarga orang tua dapat mendidik dari dini tentang keiman (aqidah)

sang anak karena kapribadian seseorang ditentukan sejak kecil


I

sebagaimana hadis Rasulullah:

AjLutii^aJ j l Ajl j 6jla a ll J j J °^o

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka


sesungguhnya kedua orang tuanyalah yang menjadikan
dia Yahudi, Nasrani atau Majusi

31 Zuhairini, et al, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakata, 1994, him. 177
j2 Sahih Bukhari, juz I - II, Dar Al Kitab Al Ilmiyah, Beirut, Libanon, 1992, him. 421
73

Suatu kehidupan keluarga yang baik, sesuai dan tetap

menjalankn agama yang dianutnya merupakan persiapan yang baik

untuk memasuki dunia sekolah.

Program pendidkan keluarga meliputi keseluruhan

kewajiban hidup beragama yang dimulai dari aqidah, syariah, ibadah

dan akhlak, orang tua dalam mengajarkan nilai-nilai Islam dapat

menggunakan metode pembiasaan ataupun suritauladan, karena

biasanya anak akan lebih mudah menerima pelajaran dari orang

terdekatnya dan selalu bertemu tiap hari, dan kalau orang yang

mendidiknya dapat mengimplementasikan yang diajarkannya dalam

kehidupan sehari-hari.

Orang tua dalam mengajar anaknya dapat bersumber dari

al Qur’an maupun as Sunah, misalnya anak diajari: mengaji, kalimat

thayibah (dzikir), salat, puasa dan sebagainya. Karena dalam al

Qur’an disebutkan bahwasanya manusia (orang tua) disuruh untuk

menjaga keluarganya dari bara api neraka.

> Lingkungan Masyarakat

Dalam proses pendidikan khusupya aspek afektif (sikap),

masyarakat mempunyai pengaruh yang penting dalam pembentukan

kepribadian seorang anak, kalau masyarakat itu baik maka sikap

remaja masyarakat tersebut akan baik, dan sebalikya kalau sikap

ataupun kebiasaan masyarakatnya buruk maka remajanya pun

demikian, atau dengan ungkapan lain, seumpama masyarkat


74

tersebut membiasakan menanamkan sikap positif atau nilai-nilai

Islarni serta nilai-nilai kemanusian maka generasi mudanya pun akan

meniru prilaku yang demikian, tapi kalau masyarakat mengajarkan

tentang perbuatan-perbuatan yang negatif tidak sesuai dengan

kaidah-kaidah Islam maka anak-anak akan mudah meniru perbuatan

tersebut tanpa adanya pemilahan dahulu antara kebiasaan yang baik

dan yang buruk.

> Lingkungan Sekolah

Sebagai lembaga peneyelenggara pendidikan maka

sekolah hendaknya membuat lingkungan yang dapat membuat anak

didiknya merasa nyaman, tenang dan gembira dalam belajar, dan

para pendidik perlu membiasakan kepada peserta didik Seperti:

□ Sebelum masuk kelas supaya mengucapkan salam terlebih

dahulu

□ Sebelum memulai pelajaran dibiasakan membaca al Qur’an

□ Dan kalau semua pelajaran telah selesai (mau pulang) dibiasakan

berdoa terlebih dahulu.

Kegiatan-kegiatan yang demikian kalau dibiasakan dapat

memupuk rasa keimanan, ketakwaan serta menguatkan akidah para

siswa-siswi.
75

f) Media Pendidikan Islam

Untuk mencapai tujuan pendidikan memerlukan berbagai alat,

media/fasilitas, sebagai pembantu dan penunjang terlaksananya proses

belajar mengajar di sekolah. Karena alat tersebut berfungsi sebagai

pembantu memvisualisasikan materi yang dibahas.

Menurut Roestiyah Nk. dkk:” media pendidikan adalah alat,

metode dan teknik yang digunakan dalam rangka meningkatkan

efektivitas komunikasi dan interaksi edukatif antara guru dan sisiwa

dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah.”

Jadi yang dimaksud alat sebagai media pendidikan adalah segala

fasilitas-fasilitas dan sarana yang bisa menunjang dan melengkapi

pendidikan termasuk di dalamnya, bangunan sampai kepada alat-alat

bantu yang dibutuhkan untuk memperjelas dan mencoba mengetahui,

menganalisa serta mempraktekkan teori tertentu.

Oleh karena pendidikan mengutamakan pengajaran ilmu dan

pembentukan akhlak, maka alat untuk mencapai ilmu adalah alat-alat

pendidikan ilmu, sedangkan alat untuk pembentukan adalah pergaulan.

Dalam pergaulan edukatif, guru dapat menyuruh atau melarang murid

mengeijakan sesuatu.

Dalam pergaulan tersebut contoh dan teladan utama dari pihak

pemimpin sekolah, guru-guru dan para staf lebih banyak mempengaruhi

murid untuk menjadi manusia yang baik. Oleh sebab itu mereka harus3

33 lihat Zakiah Darajat, et al, op. cit, hlm.76


76

membina suatu masyarkat sekolah yang baik yang membantu pembinaan

suasana keagamaan di sekolah. Pendidikan agama tidak mungkin

berhasil dengan baik bila hanya dibebankan kepada guru agama saja

tanpa didukung oleh pemimpin sekolah dan guru-guru lainnya/**

Selain pergaulan, masih banyak alat pendidikan yang dapat

digunakan untuk pendidikan agama di sekolah. Misalnya:

1. Media tulis atau cetak seperti al Qur’an, hadits, tauhid, fiqh,

sejarah dan sebagainya

2. Masjid, mushalla

3. Alat-alat salat

4. Alam sekitar, segala hal yang meliputi micro/macro kosmos

5. Gambar-gambar, lukisan, diagram, peta grafik

6. Dan sebagainya.

Hal yang penting dan harus diperhatikan dalam penggunaan alat

pendidikan adalah:

□ Alat tersebut penting dan sesuai dengan tujuan pengajaran

□ Media itu harus disesuaikan dengan kemampuan berfikir siswa

□ Harus diperhatikan keadaan dan kondisi sekolah

□ Hendaknya diperhatikan soal waktu yang tersedia untuk

mempersiapkan alat dan penggunaannya di kelas

34
Ibid, him. 77
77

□ Harga atau biaya alat itu hendaknya sesuai dengan efektifitas

alat.35

Sehingga dalam menggunakan alat pihak sekolah harus

memperhatikan hal-hal di atas agar dalam penggunaan alat-alat

pendidikan dapat efektif serta efisien, yaitu dengan jalan harus

memprioritaskan hal-hal yang penting terlebih dahulu bagi sekolah,

hendaknya sekolah tidak asal membeli alat dan mengabaikan perkara

yang lebih penting bagi sekolah.

35 Ibid, him. 78
77

□ Harga atau biaya alat itu hendaknya sesuai dengan efektifitas

alat.35

Sehingga dalam menggunakan alat pihak sekolah harus

memperhatikan hal-hal di atas agar dalam penggunaan alat-alat

pendidikan dapat efektif serta eflsien, yaitu dengan jalan harus

memprioritaskan hal-hal yang penting terlebih dahulu bagi sekolah,

hendaknya sekolah tidak asal membeli alat dan mengabaikan perkara

yang lebih penting bagi sekolah.

35 Ibid, him. 78
78

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan tentang konsep wahdatul wujud menurut Abdurauf

Singkel dan implikasinya dalam pendidikan tauhid, penulis dapat

menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Di Aceh pada abad 17 terjadi suatu perselisihan yang sengit antara

Hamzah Fansuri dan ar Raniri. Perselisihan tersebut di akibatkan dari

pemahaman Hamzah Fansuri tentang paham wahdatul wujud (wujudiyah),

dalam pandangan wujudiyah menekankan imanensi Tuhan dan alam

secara Mutlak. Hamzah Fansuri menganalogikan hubungan antara Tuhan

dan alam, seperti pohon dan biji yang menjadi bibitnya, meskipun

kelihatannya dua benda, yakni pohon dan biji, namun pada hakikatnya

adalah satu. Pemahaman Hamzah yang demikian mendapat kritikan yang

tajam dari ar Raniri seorang pengikut tarekat Rifa’iyah, sehingga pada

abad 17 teijadi tragedi yang mengerikan yaitu pembakaran kitab-kitab

Hamzah dan pengejaran serta pembunuhan terhadap pengikut paham

wujudiyah yang setia.

2. Perselisihan tersebut mengakibatkan dampak yang lama di Aceh, maka

perlu adanya tandingan untuk meredakan perseteruan di kedua belah

pihak, salah seorang yang mengintepretasikan kembali tentang paham

wahdatul wujud adalah Abdurauf, dimana pemahamannya tentang

wahdatul wujud secara garis besar bermuara pada dua konsep yang
79

dikemukakan dan kemudian digabungkannya yaitu emanasi (pancaran)

dan bayangan (al zill). Menurut Abdurrauf meskipun alam merupakan

emanasi (pancaran) dari wujud Tuhan, namun ia berbeda dari Tuhan itu

sendiri, hubungan antara keduanya seperti hubungan antara benda dengan

bayangannya. Meski benda tersebut hampir tidak dapat dibedakan dari

bayangannya, keduanya tetap berbeda. Dengan ini Abdurrauf tetap

memegang prinsip adanya emanensi Tuhan (penyatuan), namun sekaligus

transendensi-Nya (berbeda dengan makhluk)

3. Pemahaman Abdurrauf tentang paham wahdatul wujud jika dikaitkan

dengan pendidikan tauhid maka hendaknya seorang pendidik (murabbi)

meniru Rabbul ‘Alamin (Tuhan) sebagai pendidik seluruh makhluk di

alam semesta dari perilaku maupun sifat-Nya. Sebagai anak didik yang

berpotensi (fitrah, beragama tauhid) hendaknya meneladani al Qur’an dan

sunah Rasulullah. Karena anak didik adalah cikal bakal yang kelak akan

menjadi khalifah di muka bumi yang mengemban tugas berat untuk

memakmurkan dan mengolah sumber daya alam agar dapat dimanfaatkan

dan di lestarikan untuk diwariskan kegenerasi yang akan datang

B. Saran-saran

Karena manusia hidup dalam komunitas yang beraneka macam dan

ragam baik wama kulit, ras, adat, daerah, kota, golongan, kolompok, aliran

latar belakang dan sebagainya maka hendaknya setiap manusia dapat menjadi

manusia yang bijaksana dalam menghadapi suatu permasalahan. Apabila ada

permasalahan jangan cepat menyalahkan dan membenarkan, apakah itu suatu


80

pendapat, ide, dari seseorang dan jangan cepat begitu saja menanggapi

(menyalahkan atau membenarkan). Apabila mengeluarkan pendapat jangan

menganggap bahwa pendapat dirinya yang paling benar, karena dalam dunia

ini tidak ada kebenaran yang hakiki kecuali kebenaran dari Allah s.w.t.

C. Penutup

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, tiada daya dan kekuatan

kecuali dari-Nya. Dan shalawat beserta salam penulis haturkan kehadirat

junjungan umat Islam Nabi Muhamad s.a.w. Dengan hidayah Allah skripsi ini

dapat penulis susun sampai selesai. Dan penulis menyadari sebagai manusia

yang tidak luput dari sifat pelupa dan kesalahan maka apabila dalam penulisan

skripsi ini banyak kesalahan dan kekeliruan penulis mohon untuk dibenarkan.

Ahimya penulis berharap semoga karya kecil ini bermanfaat bagi diri

sendiri dan para pembaca yang budiman sekalian. Terima kasih


DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, 1992, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta, Aditya


Media
Agama, Departemen, 1987, Islam Untuk Disiplin Ilmu Pendidikan, Jakarta, PT.
Bulan Bintang
------- , 1987/1988, Ensiklopedi Islam jilid 1, Jakarta

A1 Taftazani, al Ghanimi, Abu al Wafa’, 1974, Sufi Dari Zaman Ke Zaman,


Bandung, Pustaka
Anwar, Chairil, 2000, Islam dan Tantangan Kemanusiaan Abad XXI,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Armstrong, Amatullah, 1995, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf. Bandung, Mizan
Azra, Azyumardi, 1994, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII Dan XVIII, Bandung, Mizan
Dahlan, Aziz, Abdul, et al, 2002, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam ”Pemikiran
Dan Peradaban” jilid 4, Jakarta, PT Ichtiar Barn Van Hoeve
Daradjat, Zakiah, et al, 1984, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, IAIN Syarif
Hidayatullah
Djamarah, Bahri, Syaiful, 1997, Guru Dan Anak Didik Dalam Interaksi
Edukatif, Jakarta, Rineka Cipta
Ensiklopedi Islam Jilid /, 1994, Jakarta. T Ichtiar Baru Van Hoeve
------- jilid 5, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994
Fathurrahman, Oman , 1999, Menyoal Wahdatul Wujud, Bandung, Mizan
Hadi, Abdul, 1995, Hamzah Fansuri Risalah Tasawuf Dan Puisi-Puisinya,
Bandung, Mizan
Hamka, 1983, Tasauf Perkembangan Dan Pemurniannya, PT Pustaka Panjimas,
Jakarta
Kautsar Azhari Noer, 1995, Ibn Al ‘Arabi WahdatAl Wujud Dalam Perdebatan,
Jakarta, Paramadina
Karya, Soekama, et al, 1966, Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam,
Jakarta, Logos Wacana Ilmu
Karman, Supiana, 2001, Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung, PT Remaja
Rosdakarya
Kebudayaan, dan, Pendidikan, Departemen, 1989, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
Marimba, D, Ahmad., 1989, Pengantar Filsafat Islam, Bandung, PT A1 Ma’arif
Maslikhah, 2004, Harmonisasi Dan Humanisasi Lingkungan Hidup, STAIN
Salatiga Press
Muhadjir, Noeng, 1993, Ilmu Pendidikan Dan Perubahan Sosial Suatu Teori
Pendidikan, Yogyakarta, Rake Sarasin
Musa, Yusuf, Muhammad, 1988, Islam Suatu Kajian Komprehensif, Jakarta,
Rajawali Perss
Nasution, Harun, 1986, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta,
Universitas Indonesia Press
------- , et al, 1992, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta, Djambatan
------- ,1990, FalsafatDan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang
------- , 1973, Falsafat Agama, Jakarta, Bulan Bintang
Notonagoro, 1973, Pengantar Ke Alam Kefilsafatan, Yogyakarta, Fakultas
Filsafat UGM
Qardawi, Yusuf, 1992, Tauhidullah Dan Fenomena Kemusyikan, Surabaya,
Pustaka Progresif
Purwadi, et al, 2005, Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, Bina Media, Yogyakarta
Purwanto, Ngalim, M., 1988, Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis, Bandung,
CV. Remaja Karya
P3M, 1989, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta, CV. Guna Aksara
Sa’di, Nasir, Bin, Abdurahman, Syaikh, 2001, Penjabaran Sistematika Kitab
Tauhid Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab, Solo, Pustaka Arafah
Simuh, 1996, Tasawuf Dan Perkembngangannya Dalam Islam, Yogyakarta,
Rajawali Prees
Sultoni, Ahmad, 2005, Akhlak Tasawuf, STAIN Salatiga Press
Surahmat, Winamo, 1985, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung, Tarsito
Syukur, Amin, 2002, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Tafsir, Ahmad, 1994, Ilm u Pendidikan Dalam Persepektif Islam, Bandung, PT
Remaja Rosdakarya
Yatim,Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada
Zoetmulder, P.J., 2000, M anunggaling Kawula Gusti, Pantheisme Dan
Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta
Zuhairini, et al, 1994, Filsafat Pendidikan Islam, Jakata, Bumi Aksara

©
DEPARTEMEN a g a m a
SEKOLAH TINGG1 AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
J1. Tentara Pelajar 02 T elp .(0 2 98) 3 2 3 7 0 6 ,3 2 3 4 3 3 F ax323433 Salatiga 5 0 7 2 1
W ebsite : w w w .stainsalatiga.ac.id E-mail : administra 3 i@ stain 3 alatiga.ac.id

Nomor: ST.27/K-1/PP.00.9/I-1.1.083/2006 26 April 2006


Lamp. : Proposal Skripsi
Hal : Pembimbing dan Asisten
Pembiinbing Skripsi

Yth. Drs. Juzan, M.Hum.

Assalamualaikum w.w.

Dalam rangka penulisan Skripsi M ahasiswa Program Sarjana (S .l) . Saudara ditunjuk sebagai
D osen Pembimbing / A sisten Pem bim bing Skripsi mahasiswa :

Nama MU AZIN
NIM 11102053
Jurusan TARBIYAH
Judul Skripsi KONSEP WAHDATUL WUJUD MENURUT ABDURRAUF
SINGKEL DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN .
TAUHID

Apabila dipandang perlu Saudara diminta mengoreksi tema Skripsi di atas.

Dem ikian untuk diketahui dan dilaksanakan.

Wassalamualaikum w.w.

a.n. Ketua,

embusan : Yth. Ketua STAIN Salatiga (sebagai laporan)

Anda mungkin juga menyukai