Anda di halaman 1dari 13

1

PUTRA 021

Fathering (Peran Ayah) dalam Mendidik Anak Perspektif Al-Qur’an sebagai


Upaya Menopang Ketahanan Nasional

A. Pendahuluan
Keluarga terutama orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam
pembentukan kepribadian anak. Dalam keluarga, orang tua menjadi pelaku utama
dalam pembinaan dan pendidikan yang diterima anak. Peran orang tua dalam
perkembangan anak tidak hanya ketika anak lahir di dunia, tetapi juga mencakup
ketika anak dalam kandungan.
Orang tua terdiri dari ayah dan ibu. Dalam perkembangan anak, peran ibu
dalam pengasuhan terhadap anak seringkali menjadi perhatian utama saat topik
keluarga dan anak diangkat. Keyakinan bahwa anak adalah urusan ibu menjadi
asumsi universal yang tertanam kuat dalam masyarakat. Peran ayah seringkali
terlupakan, karena ayah sering diarahkan pada peran pemenuhan kebutuhan
ekonomi.
Tanggung jawab dan kesibukan ayah sebagai pencari nafkah sering
dihubungkan sebagai penyebab sedikitnya keterlibatan ayah dalam perkembangan
anak. Tanggung jawab ayah disektor publik membuat ayah tidak memiliki waktu
yang cukup untuk bersama-sama dengan anak, mengikuti perkembangan dan
mendidik mereka.
Pada dasarnya peran ayah dan ibu sama-sama dibutuhkan dalam pendidikan
karakter anak. Fathering (peran ayah) dalam parenting tidak hanya sebagai
pemenuh kebutuhan materi fisik semata, melainkan juga memperhatikan
kebutuhan batin/rohani anak.1 Bahkan tanggung jawab ini jauh lebih besar
dibandingkan nafkah jasmani, sebagaimana Allah secara tegas memerintahkan
sosok ayah untuk menjaga keluarga yang dipimpinnya terhindar dari siksa api
neraka yang mengedepankan modal etika dalam pendidikan anak.

1
Leli Nailul Muna, Pengaruh Peran Ayah terhadap Determinasi Diri, Jurnal Ilmiah, Vol. 2, 2010,
hlm. 20
2

Idealnya dalam keluarga, peran ayah dan peran ibu dalam mendidik karakter
anak harus seimbang.2 Interaksi ibu yang lebih terpusat pada perawatan anak
(seperti memberi makan, memandikan, dan sebagainya) tidak cukup memenuhi
kebutuhan pendidikan karakternya. Anak juga perlu pengasuhan dalam bentuk
perlindungan dan kesejahteraan psikologis yang lebih cenderung didapatkan pada
pendidikan ayah. Ketidakseimbangan orang tua dalam pendidikan anak akan
menyebabkan kecacatan pada karakter anak sehingga melahirkan generasi kurang
berkualitas.
Indonesia dengan konsep Ketahanan Nasional yang memiliki makna berupa
kondisi bangsa meliputi segala aspek kehidupan nasional dalam menghadapi
segala tantangan, masalah, dan ancaman serta gangguan dari dalam maupun
gangguan dari luar, memiliki bottom up, pembinaan terwujudnya Ketahanan
Nasional bertumpu pada Ketahanan Pribadi dan Ketahanan Keluarga.3 Keduanya
saling berkaitan erat, karena pribadi seorang manusia pada dasarnya ditentukan
oleh keterlibatan keluarga.
Al-Qur’an sebagai kitab yang penuh dengan inspirasi dalam kehidupan telah
mengatur sedemikian rupa pola pendidikan anak bagi ayah. Penggambaran konsep
Fathering dalam Al-Qur’an, baik melalui perintah langsung maupun berbentuk
diaolog menunjukan besarnya peran ayah dalam melahirkan sosok anak yang
berkualitas. Untuk itu perlu bagi sang ayah untuk memahami kembali perannya
sebagai pendidik anak. Konsep pendidikan yang ditawarkan Al-Qur’an patut
menjadi pedoman bagi figur ayah, khususnya untuk melahirkan generasi
berkualitas sebagai upaya menopang Ketahanan Nasional yang lebih baik.

B. Urgensi Peran Ayah dalam Pendidikan Anak


Layak pribahasa buah jatuh tak jauh dari pohonnya, islam melukiskan
terbentuknya kepribadian seorang anak sangat bergantung pada langkah
pendidikan orang tuanya. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap anak akan
dilahirkan dalam keadaan fitrah, lalu kedua orang tuanyalah yang memajusikan,
2
Zubeedi, Desain Pendidikan Karakter, Kencana, Jakarta, 2012, cetakan II, hlm. 148
3
Soemarno Soedarso, Membangun Kembali Jati Diri Bangsa, Elex Media Komputindo, Jakarta,
2008, hlm. 8-9
3

meyahudikan, atau menasranikan”. Figur kedua orang tua menjadi cerminan


pembelajaran karakter pada pertumbuhan anak. Kenyataan tersebut menuntut
kewajiban bagi orang tua untuk memperhatikan nilai-nilai yang mereka berikan
kepada anak. Pendidikan anak yang dijalankan oleh orang tua menjadi penentu
karakter kepribadian anak.
Dalam rangka membentuk karakter yang berkualitas, Allah telah
memerintahkan kepada manusia agar senantiasa benar-benar menjaga keluarganya
dari kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Allah berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka...”(Q.S. At-Tahrim: 6)
Sari dari ayat di atas bahwa tujuan utama pemeliharan terhadap diri pribadi dan
keluarga adalah terlindung dari api neraka. Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut
dengan pernyataan berupa seruan kepada manusia untuk menasehati diri sendiri
dan keluarganya agar senantiasa taat dan tunduk kepada Allah.4 Hal tersebut
menunjukan adanya keharusan untuk saling melindungi antar sesama anggota
keluarga agar terhindar dari ancaman terburuk.
Ayah sebagai kepala keluarga, menjadi penanggung jawab utama dalam
menjaga dan menyelamatkan keluarganya dari keburukan. Hal ini dipertegas
dengan sabda Rasulullah: “...Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi
keluarganya dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya....”(H.R.
Muttafaq’alaih).5 Tanggung jawab yang di pikul tidak hanya bersifat agama,
tetapi juga bersifat duniawi. Keterkaitan dua hal tersebut menguatkan figur ayah
sebagai sosok prioritas dalam mengurus dan mendidik anak.
Peran ayah atau Fathering merujuk pada perannya dalam parenting. Hal ini
dikarenakan fathering merupakan bagian dari parenting.6 Idealnya ayah dan ibu
mengambil peranan yang saling melengkapi dalam kehidupan rumah tangga dan

4
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Imam Asy-Syafii, Jakarta, 2003, Jilid VIII, hlm. 129
5
Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin( Syarah dan Terjemah), Terj. Muhil Dhofir, Al-‘Itishom, Jakarta,
hlm. 367
6
Andayani & Koentjoro, Peran Ayah Menuju Coparenting, Citra Media, Semarang, 2004, hlm. 6
4

perkawinannya, termasuk didalamnya berperan sebagai model yang lengkap bagi


anak-anak dalam menjalani kehidupannya.
Fathering dapat dijelaskan sebagai suatu peran yang dijalankan dalam
kaitannya sebagai tugas untuk mengarahkan anak menjadi mandiri di masa
dewasanya, baik secara fisik maupun psikis. Peran ayah sama pentingnya dengan
peran ibu dan memiliki pengaruh dalam perkembangan anak walaupun dalam segi
waktu relatif, waktu ayah lebih sedikit dibandingkan waktu ibu.7 Hal tersebut
dikarenakan amanah dan beban tanggung jawab seorang ayah lebih dominan
dibandingkan ibu dalam keluarga.
Berdasarkan penelitian Allen dan Dally, keterlibatan ayah dalam pengasuhan
anak menunjukkan kemampuan kognitif anak relatif menjadi lebih tinggi, anak
menjadi lebih kreatif dan lebih ceria. Pengaruh keterlibatan ayah juga
menyebabkan anak lebih tahan dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan,
lebih perduli sosial, mampu bersosialisasi dengan baik, serta berpeluang besar
menjadi orang dewasa yang sukses.8 Ditambah dengan adanya rasa aman akan
memiliki perlindungan semakin menegaskan betapa besar pengaruh seorang ayah
dalam melindungi anak.
Secara khusus, terdapat materi berbeda yang di terima antara anak laki-laki
dan anak perempuan. Anak laki-laki hanya mendapatkan kemaskulinan dari
seorang ayah. Lain halnya dengan perempuan, sosok ayah menjadikannya lebih
tegas dalam menghargai diri sendiri.9 Tak heran jika salah satu faktor terbesar
penyebab munculnya penyakit sosial seperti LGBT dan prostitusi dikarenakan
hilangnya sosok ayah pada anak (Fatherless).
Adanya perintah Allah SWT kepada sosok ayah agar mendidik anak dengan
baik, ditambah dengan berbagai fakta ilmu pengetahuan yang mendukung akan
pentingnya peranan ayah dalam perkembangan anak, semakin mempertegas
begitu besar kebutuhan keberadaan ayah pada anak. Tidak hanya sebagai pencari

7
Ejang Wahyuningrum, Peran Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini, Jurnal Satya Wacana, vol.
1, no. 4, 2002, hlm. 6
8
Rahmi, Tokoh Ayah dalam Al-Qur’an¸dan Keterlibatannya dalam Pembinaan Anak, Jurnal Ilmiah
Kajian Gender, vol. V, no. 2, 215, hlm. 204-205
9
Zubaedi, Desain..., hlm. 149
5

nafkah dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga, melaikan juga hadir dan ikut
menjadi tokoh utama dalam mendidik anak.

C. Fathering (Peran Ayah) Mendidik Anak dalam Al-Qur’an


Ayah adalah seorang pemimpin dalam keluarga dan dia bertanggun jawab
untuk memelihara keluarganya, terutama anaknya dari api neraka (Q.S. At-
Tahrim: 6). Selain perintah langsung untuk mendidik anak, Islam juga
menampilkan konsep pendidikannya yang tersirat pada dialog-dialog intensif dan
edukatif dalam Al-Qur’an. Terdapat 17 dialog interaksi berkenaan pengasuhan
dalam Al-Qur’an, 14 diantaranya merupakan dialog antara ayah dan anak.10 Hal
tersebut dapat kita interpretasikan sebagai peran ayah dalam pengajaran pribadi
anak harus lebih besar dari siapapun.
Al-Qur’an dengan gambaran pendidikan anak melalui diaolog, menghasilkan
beberapa poin penting yang bisa menjadi acuan dasar para ayah yang berperan
sebagai pendidik anak. Poin-poin tersebut disederhanakan menjadi tiga dimensi
utama; pertama, Dimensi Responsibilitas; kedua, Dimensi Aksesibilitas, Dimensi
Interaktif.

1. Dimensi Responsibilitas
Dimensi ini memuat tentang tanggung jawab seorang ayah dalam memahami
dan memenuhi kebutuhan anak termasuk merencanakan masa depan. Pendidikan
anak pada dimensi ini mengarah pada sistem pembelajaran yang akan diterapkan
ayah dalam mendidik anak. Q.S. Luqman ayat 13-19 menjadi rujukan dalam hal
ini.
13. “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar"

10
Q.S. Al-Baqarah: 132-133, Q.S. Al-An’am: 74, Q.S. Hud: 42-43, Q.S. Yusuf: 4-5; 11-14; 16-18; 63-
67; 81-87; 94-98; 99-100, Q.S. Maryam: 41-48, Al-Qashash: 11, Q.S. Luqman: 13-19, dan Q.S. Ash-
Shaffat: 102
6

14. “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku
dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu
15. “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu
yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan
orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka
Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan
16. “(Luqman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan)
seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi,
niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah
Maha Halus lagi Maha Mengetahui
17. “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang
baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah
terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk
hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)
18. “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong)
dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri
19. “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
Peran Luqman dalam mendidik anaknya diawali dengan memberikan
pengajaran tentang konsep menjaga hubungan dengan Allah, Dzat Yang Maha
Menciptakan, terhadap anaknya dengan cara men-tauhid-kan Allah melalui
larangan melakukan kesyirikan. Materi dasar ini akan menguatkan iman hingga
mampu menekan sifat buruk yang akan hadir dikemudian hari.11
Selanjutnya, konsep pendidikan Luqman terhadap anaknya masuk pada ranah
hubungan horizontal terhadap sesama manusia yang dimulai dengan berbakti
terhadap orang tua, sebagai tokoh yang menjadi komponen utama dalam menjadi

11
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Lentera Hati, Jakarta, 2011, hlm. 761-762
7

hubungan dengan anak. Perintah ini juga muncul sebagai penghargaan anak
terhadap orang tuanya yang memiliki jasa yang besar.
Perintah Luqman kepada anaknya berlanjut pada tuntutan untuk bisa
berinteraksi sosial dengan masyarakat. Tututan tersebut secara umum
tergambarkan dengan perintah untuk bersikap dan berperilaku terpuji. Mengajak
kepada kebaikan serta melarang untuk berbuat keburukan merupakan sikap yang
positif yang akan melahirkan kedamaian. Sikap tersebut dapat berhasil dijalankan
dengan dasar akhlak mulia seperti bersabar, sederhana dalam bersikap, dan tidak
angkuh.
Seorang ayah juga harus memiliki perencana terbaik baik sebagai bentuk
tanggung jawab kepada anak. Nabi Syu’aib merencanakan masa depan yang baik
dengan menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki yang memiliki potensi;
kuat dan amanah.12 Demikian juga Nabi Ibrahim, melalui doa kepada Allah,
Ibrahim merencanakan masa depan anaknya tidak hanya di dunia saja, tetapi juga
pada masa depan yang sesungguhnya, yaitu akhirat.

(Ibrahim berdoa) “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk
patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang
tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan
tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (Q.S. Al-
Baqarah: 128)
Tidak hanya pada anak semata, Nabi Ibrahim juga menginginkan kebaikan
tersebut didapatkan oleh cucu dan generasi selanjutnya. Al-Qur’an menunjukan
bahwa tanggung jawab ayah terhadap anaknya lebih luas tanpa batas waktu dan
tidak hanya untuk satu generasi.

12
Q.S. Al-Qashshah: 26-27
8

2. Dimensi Aksesibilitas
Al-Qur’an menampilkan pentingnya ada kedekatan secara personalitas
seorang ayah terhadap anaknya. Hubugan intens ayah dan anak akan
menumbuhkan kecintaan yang dalam diantara keduanya.

Ayahnya berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada
saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu.
Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia" (Q.S. Yusuf:
5)

Kata bunayya adalah patron yang menggambarkan kemungilan. Hal tersebut


mengisyaratkan panggilan kasih sayang. Cara Nabi Ya’qub memanggil anaknya
dengan ya bunayya (wahai anakku) menunjukkan kelembutan, kemesraan, dan
rasa cinta beliau kepada anaknya. Begitu juga dengan Luqman dan Nabi Ibrahim
yang juga memanggil anaknya dengan kata ya bunayya. Bahkan Nabi Nuh juga
memanggil anaknya yang membangkang dengan panggilan yang sama. 13 Dari sini
kita dapat berkata bahwa mendidik anak hendaklah didasari dengan kelembutan
dan kasih sayang,14 walaupun anak yang kita didik memiliki watak yang keras
layaknya anak Nabi Nuh.
Kehadiran dan kesediaan ayah untuk anak juga tergambarkan pada sosok
Nabi Ya’qub. Dalam satu surat Yusuf, menguraikan interaksi Ya’qub dengan
anak-anaknya. Ya’qub digambarkan dsebagai sosok ayah yang bisa diakses anak-
anaknya ketika dibutuhkan. Dia hadir dan bersedia mendengarkan masalah anak,
memberikan solusi, serta mendoakan anak-anaknya. Yang menarik, Al-Qur’an
menceritakan sosok Yusuf yang bercerita tentang masalahnya berupa mimpi

13
Q.S. Hud: 42-23
14
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Lentera Hati, Jakarta, 2007, Cetakan VII, Volume 11, hlm.
127
9

terhadap ayahnya, bukan ibunya. Hal ini akan menciptakan perasaan nyaman pada
anak terhadap ayahnya karena merasa diperhatikan dan dilindungi.

3. Dimensi Interaktif
Pengalaman untuk berinteraksi secara langsung dengan melakukan aktivitas
bersama antara ayah dan anak merupakan asas dari dimensi interaktif.
Keterlibatan aktif disertai dengan penyaluran nilai-nilai kebaikan berupa dalam
kebersamaan berupa nasehat, akan menumbuhkan sikap bangga dan bahagia anak
hingga muncul gerakan untuk meneladani sang ayah. Seperti Nabi Ibrahim dan
Nabi Ismail yang melakukan pekerjaan sekaligus ibadah secara bersama-sama.

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah


bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami
(amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui" (Q.S. Al-Baqarah: 127)

“Adakah kamu hadir ketika Ya´qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia


berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka
menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu,
Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk
patuh kepada-Nya" (Q.S. Al-Baqarah: 132)
Wahbah Az-Zuhaili menafsirkan ayat diatas merupakan nasehat dan wasiat agar
anak cucu Nabi Ibrahim tetap berpegang teguh pada agama Allah.15 Disisi lain,
ayat tersebut juga mengisahkan kedua anak Ibrahim, Nabi Ismail dan Nabi Ishaq,

15
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Jakarta, Gema Insani, 2003, Jilid 1, hlm. 257
10

meneladari ayahnya secara utuh. Hal ini menunjukkan bahwa para ayah adalah
teladan bagi anak-anaknya dalam mengaplikasikan nesehat yang sudah mereka
berikan. Tidak hanya sekedar teori semata, melain apa yang disampaikan juga
terealisasi dalam kehidupan sang ayah.
Dimensi interaktif juga menggambarkan pentingnya cara berinteraksi antara
ayah dan anak. Seorang ayah tidak boleh memaksakan kehendaknya dalam
mendidik anak. Pendidikan yang baik harus menuntun ayah untuk menciptakan
suasana diskusi dalam pengambilan keputusan dengan anak. Hal ini mendorong
munculnya sikap bijak dan kemandirian anak.

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama
Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi
bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab:
"Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu
akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar" (Q.S. Ash-Shaffat: 102)
Menurut Hamka, keadaan yang ditonjolkan dalam ayat ini menunjukan berapa
tertumpahnya kasih sayang Ibrahim kepada anaknya, merasa bangga dan
menikmati jika dapat berjalan dan menghabiskan waktu bersama-sama dengan
anak.16 Nabi Ibrahim tidak egois dalam mengambil keputusan. Begitu juga dengan
Nabi Ya’qub menjadi contoh ayah yang sedia mendengarkan anaknya.
Keterlibatan anak dalam memutuskan suatu permasalahan menjadi kunci semakin
kuatnya rasa cinta antara anak dan ayah.

D. Konsep Fathering dalam Mendidik Anak sebagai Upaya Menopang


Ketahanan Nasional

16
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz XXI, Panjimas, Jakarta, 1994, hlm. 34
11

Peran ayah sangat penting dalam tumbuh kembang anak. Namun faktanya
peran ayah masih dianggap sebagai pemenuh kebutuhan keluarga semata. Dari
Survei Indeks Nasional Pengasuhan Anak di Indonesia yang dilaksanakan oleh
KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) pada tahun 2017 didapatkan bahwa
peran ayah dibandingkan ibu, hanya sedikit lebih baik dalam dalam hal
mengetahui dampak teknologi informasi, pemenuhan nafkah, dan pengurusan akte
kelahiran.17 Secara umum peran ibu masih dominan pada semua indeks
pengasuhan dibandingkan peran ayah, mulai dari pengasuhan fase awal,
pemenuhan hak dasar, penanaman nilai dasar, pola komunikasi orang tua dan
anak, akses dan alat media digital, pencegahan kekerasan, dan partisipasi anak.
KPAI juga merilis bahwa hampir 70 persen orang tua belum mampu
mengasuh anak dengan baik. Banyak orang tua menggunakan metode asuh yang
tidak cocok dengan perkembangan zaman sekarang.18 Bila orang tua mendidik
dengan kasar maka akan menyebabkan rasa trauma pada anak dan akan
menjadikan perbuatan tersebut sebagai solusi dalam rumah tangga pada
kehidupannya yang akan datang. Dan yang terbaru, WHO (Badan Kesehatan
Dunia) akhir-akhir ini mengeluarkan pernyataan di website resminya, bahwa
kecanduan game pada anak merupakan penyakit yang berbahaya. Fakta ini lahir
dari kurangnya pengawasan ayah terhadap anaknya.
Ketahanan nasional dimulai dari ketahanan keluarga. Kondisi keluarga
Indonesia yang miris dalam hal pendidikan anak, menyebabkan pembentukan
kepribadian anak menjadi tidak maksimal. Penyakit-penyakit sosial diatas tidak
terlepas dari buruknya peran orang tua dalam pengasuhan anak, terutama ayah
dalam mengemban amanah sebagai pemimpin keluarga.
Pendidikan yang utuh dalam keluarga akan menjadi fondasi yang begitu
berpengaruh bagi pembinaan mental dan karakter anak. Al-Qur’an dengan konsep
Fathering dalam mendidik anak kiranya dapat menjadi acuan utama bagi orang
tua khususnya ayah dalam mendidik anak. Masyarakat Indonesia yang mayoritas
muslim berlandaskan nilai Qur’ani akan mampu menciptakan generasi terbaik

17
http://www.republika.co.id/berita/KPAI:PeranAyahJadiKunciTumbuhKembangAnak/17/11/17
18
Ibid
12

penuh dengan nilai positif sebagai loncatan awal dalam menopang Ketahanan
Nasional Indonesia.

E. Kesimpulan
Ketahanan Nasional mengacu pada ketahanan keluarga. Kepribadian
Masyarakat Indonesia tergantung pada konsep pendidikan yang dijalankan oleh
keluarga. Fakta pada hari ini, Indonesia mengalami degradasi moral yang begitu
dahsyat pada generasi mudanya. Ketimpangan tersebut bila ditelusuri akan
masalahnya maka akan didapati salah satu penyebabnya adalah minimnya
pendidikan karakter yang didapatkan pada keluarga.
Kenyataan tersebut diperparah dengan kurangnya partisipasi ayah dalam
penanaman nilai luhur terhadap anak. Kondisi ini menyebabkan anak kehilangan
sosok ayah atau disebut sebagai Fatherless. Fenomena ini akan berujung pada
marahnya kenakalan remaja yang terjadi di negara ini.
Al-Qur’an telah menyajikan prototype terbaik pendidikan berbasih kelurga
yang patut dicontoh untuk melahirkan kualitas berkarakter. Dalam Al-Qur’an
peran ayah tidak lebih kecil dari peran ibu dalam hal mendidik anak. Bahkan ayah
mendapakan tanggung jawab yang lebih besar karena ia bertanggung jawab dalam
pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani anak.
Kajian terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang relevan dengan tema tulisan ini
menyajikan satu konklusi bahwa sosok ayah harus kembali mencurahkan
perhatiannya untuk mendidik anak , sehingga pendidikan anak yang didapatkan
dalam keluarga utuh dan seimbang yang akan menunjang pembentukan kualitas
dirinya sebagai pribadi yang siap dalam menopang ketahanan nasional.
13

Daftar Pustaka

Andayani & Koentjoro. 2004. Peran Ayah Menuju Coparenting. Semarang: Citra
Media.
Az-Zuhaili, Wahbah. 2013. Tafsir Al-Munir Jilid I. Jakarta; Gema Insani.
Hamka. 1994. Tafsir Al-Azhar. Juz XXI. Jakarta: Panji Emas.
http://www.republika.co.id/berita/KPAI:PeranAyahJadiKunciTumbuhKembangA
nak/17/11/17
Katsir, Ibnu. 2003. Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafii.
Muna, Leli Nailul. 2010. Pengaruh Peran Ayah terhadap Determinasi Diri. Jurnal
Ilmiah. Vol. 2.
Nawawi, Imam. 2005. Riyadhus Shalihin( Syarah dan Terjemah). Terj. Muhil
Dhofir. Jakarta; Al-‘Itishom
Rahmi. 2002. Tokoh Ayah dalam Al-Qur’an¸dan Keterlibatannya dalam
Pembinaan Anak, Jurnal Ilmiah Kajian Gender. Vol. V. No. 2.
Shihab M. Quraish. 2007. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.
Shihab M. Quraish. 2011. Membumikan Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
Soedarso, Soemarno. 2008. Membangun Kembali Jati Diri Bangsa. Jakarta: Elex
Media Komputindo.
Wahyuningrum, Ejang. 2002. Peran Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini.
Jurnal Satya Wacana, vol. 1, no. 4.
Zubaedi. 2012. Desain Pendidikan Karakter. Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai