Anda di halaman 1dari 43

REFERAT

Airway Management dan Muscle Relaxant

Pembimbing:
dr. Bambang Priambodo, Sp.An

Disusun oleh:
Jerry Berlianto Binti
11.2017.078

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR. ESNAWAN ANTARIKSA 2018
PERIODE 18 FEBRUARI 2019 – 09 MARET 2019

1
Latar Belakang

Jalan napas merupakan hal penting yang harus dipertahankan, dimulai dengan
penilaian jalan napas untuk mengidentifikasi kesulitan jalan nafas dan cara untuk
menanganinya. Kesulitan jalan napas merupakan interaksi kompleks dari faktor pasien,
klinis, dan kemampuan dokter dimana apabila tidak ditanggulangi dapat berujung pada
kematian.Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat tergantung dari
kecepatan dan ketepatan dalam memberikan pertolongan. Semakin cepat pasien ditemukan
maka semakin cepat pula pasien tersebut mendapat pertolongan sehingga terhindar dari
kecacatan atau kematian.Data morbiditas dan mortilitas yang telah dipublikasikan
menunjukkan di mana kesulitan dalam menangani jalan napas dan kesalahan dalam
tatalaksananya justru akan memberikan hasil akhir yang buruk bagi pasien tersebut. 1
Keenan dan Boyan melaporkan bahwa kelalaian dalam memberikan ventilasi yang
adekuat menyebabkan 12 dari 27 pasien yang sedang dioperasi mengalami mati jantung
(cardiacarrest). Salah satu penyebab utama dari hasil akhir tatalaksana pasien yang buruk
yang didata oleh American Society of Anesthesiologist (ASA) berdasarkan studi tertutup
terhadap episode pernapasan yang buruk, terhitung sebanyak 34% dari 1541 pasien dalam
studi tersebut. Tiga kesalahan mekanis, yang terhitung terjadi sebanyak 75% pada saat
tatalaksanan jalan napas yaitu : ventilasi yang tidak adekuat (38%), intubasi esofagus (18%),
dan kesulitan intubasi trakhea (17%). Sebanyak 85% pasien yang didapatkan dari studi
kasus, mengalami kematian dan kerusakan otak. Sebanyak 300 pasien (dari 15411 pasien di
atas), mengalami masalah sehubungan dengan tatalaksana jalan napas yang minimal.
Menurut Cheney et al menyatakan beberapa hal yang menjadi komplikasi dari tatalaksana
jalan napas yang salah yaitu : trauma jalan napas, pneumothoraks, obstruksi jalan napas,
aspirasi dan spasme bronkus. 1,2
Berdasarkan data-data tersebut, telah jelas bahwa tatalaksana jalan napas yang baik
sangat penting bagi keberhasilan proses operasi dan beberapa langkah berikut adalah penting
agar hasil akhir menjadi baik, yaitu : (1) anamnesa dan pemeriksaan fisik, terutama yang
berhubungan dengan penyulit dalam sistem pernapasan, (2) penggunaan ventilasi supraglotik
(seperti face mask, Laryngeal Mask Airway/LMA), (3) tehnik intubasi dan ekstubasi yang
benar, (4) rencana alternatif bila keadaan gawat darurat terjadi. 1,2

2
Pembahasan
Anatomi Saluran Nafas
Keberhasilan dari tindakan laringoskopi dan intubasi yang dilakukan oleh ahli
anastesi, membutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang anatomi dari saluran nafas.
Adapun istilah saluran nafas yang terdapat pada bahasan ini mengacu kepada saluran nafas
atas. Saluran nafas atas tersebut terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, faring, laring,
trakhea, dan bronkus utama.3
Terdapat dua jalan yang menghubungkan saluran nafas dengan dunia luar, yaitu:
hidung yang akan menuju pada nasofaring, dan mulut yang akan menujupada orofaring.
Kedua saluran tersebut, pada bagian anterior dipisahkan olehpalatum, dan kedua saluran
tersebut akan bersatu dibagian posterior, yaitudidalam faring. Faring merupakan saluran yang
dipergunakan bersama olehsaluran nafas dan saluran pencernaan. Faring terbentang dari
mulai nares internalhingga mencapai jalan masuk menuju ke laring dan esofagus (gambar1).
Faring dapat dibagi menjadi nasofaring, orofaring, dan laringofaring (hipofaring)(gambar2).
Nasofaring merupakan bagian paling atas dari faring, dan dipisahkan dari orofaring oleh
garisdatar hayal yang membentang dari palatum lunak (palatum molle) ke arah posterior.
Orofaring membentang antara palatum lunak dan dasar lidah (setentang tulang lidah).
Laringofaring merupakan bagian paling bawah dari faring, terletak antara tulang lidah hingga
jalan masuk menuju ke laring dan esofagus.3,5
Udara dari faring masuk ke laring melalui saluran yang sempit yang disebut glotis.
Epiglotis berfungsi mencegah aspirasi dengan cara menutup glotis saat menelan makanan.
Laring adalah suatu rangka yang dibentuk oleh beberapa tulang rawan yang dipadukan oleh
ligamen dan otot. Rangka laring disusun dari sembilan tulang rawan (gambar3). Tiga tulang
rawan besar yang tidak berpasangan, yaitu: tiroid, krikoid, dan epiglotis. Kemudian terdapat
tiga pasang tulang rawan yang lebih kecil, yaitu: aritenoid, kornikulata dan kuneiformis.
Tulang rawan tiroid merupakan tulang rawan yang berbentuk perisai/tameng merupakan
tulang rawan yang paling besar, yang membentuk hampir keseluruhan dinding anterior dan
dinding lateral laring. Tulang rawan tiroid ini berfungsi melindungi conus elasticus yang
membentuk vocal cords.3,4,5

3
Gambar 1. Anatomi saluran pernafasan atas (potongan sagital).5

Gambar 2. Pembagian Faring.3

4
Gambar 3. Struktur tulang rawan laring.5

Persarafan sensoris saluran nafas atas berasal dari saraf kranial. Divisi oftalmik dan
divisi maksila dari saraf trigeminus (saraf kranial V) memberikan persarafan pada mukosa
hidung melalui saraf etmoidalis anterior, saraf nasopalatina, dan saraf sfenopalatina. Saraf
palatina yang merupakan percabangan dari saraf sfenopalatina, memberikan persarafan
sensoris kepada palatum keras (palatum durum) dan palatum lunak (palatum molle). Divisi
mandibula dari saraf trigeminus membentuk saraf lingual yang memberikan persarafan
sensoris pada dua pertiga bagian anterior lidah. Sedangkan sepertiga bagian posterior lidah
dipersarafi oleh saraf glosofaringeal (saraf kranial IX). Orofaring, tonsil dan bagian dalam
dari palatum molle juga dipersarafi oleh saraf glosofaringeal (gambar 4}.3,6
Saraf laringeal superior yang merupakan cabang dari saraf vagus (sarafkranial X), terbagi
menjadi cabang eksternal (motorik) dan cabang internal (sensorik). Cabang internal dari
saraf laringeal superior memberikan persarafan sensoris pada daerah laring (antara epiglotis
dan vocal cords). Saraf laringeal rekuren, yang merupakan cabang lain dari saraf vagus
memberikan persarafan pada laring yang berada dibawah vocal cords dan trakhea. Tabel 1
akan menggambarkan lebih lanjut persarafan motorik dan sensorik dari laring.3,6

5
Gambar 4. Persarafan sensorik saluran nafas.3

Laring pada orang dewasa terletak mulai vertebra C3 dan berakhir pada vertebra C6.
Laring berfungsi dalam modulasi suara dan memisahkan trakhea dari kerongkongan saat
menelan, sehingga mencegah terjadinya aspirasi ke dalam trakhea. Namun mekanisme
perlindungan ini, ketika berlebihan, dapat menyebabkan terjadinya spasme laring. Otot-otot
laring dipersarafi oleh nervus laringeal rekuren, kecuali otot krikotiroid yang dipersarafi
nervus laringeal internal (motorik) yang merupakan cabang dari nervus laringeal superior.
Vocal cords merupakan celah yang paling sempit pada saluran nafas dewasa, yang dibentuk
oleh ligamen tiroaritenoid. Dimensi anterior-posterior vocal cords mendekati 23 mm pada
laki-laki, dan mencapai 17 mm pada wanita.3,6

6
Tabel 1. Persarafan motorik dan sensorik laring.6

Trakhea dimulai dari vertebra C6 dan berakhir pada carina yang berada
dimediastinum setingkat vertebra T5. Panjang trakhea sekitar 11 cm dengan diameter 2.5 cm.
Trakhea memiliki 15-20 tulang rawan. Tulang rawan yangpaling atas merupakan satu-
satunya tulang rawan yang berbetuk cincin, sedangkan sisanya berbentuk ladam kuda (bentuk
C). Tulang rawan tersebut berfungsi untukmelindungi saluran nafas, dan menjaga kekakuan
dari trakhea sehingga tidakmengempis ataupun terlalu mengembang akibat adanya perubahan
tekanan padasaluran nafas.3,5,6
Trakhea bercabang di carina, membentuk bronkus utama kanan danbronkus utama
kiri. Seperti halnya trakhea, bronkus utama juga memiliki tulangrawan yang berbentuk C.
Bronkus utama kanan memberi pasokan udara ke parukanan, sedangkan bronkus utama kiri
memberikan pasokan udara ke paru kiri. Diameter bronkus utama kanan lebih besar dari
bronkus utama kiri, dengan sudutyang lebih curam menuju bronkus utama kanan. Karena
alasan tersebutkebanyakan benda asing yang masuk ke dalam trakhea akan lebih mudah
masukke bronkus utama kanan.5
Penilaian Saluran Nafas
Penilaian saluran nafas merupakan langkah awal agar sukses dalam melakukan
manajemen saluran nafas. Beberapa manuver dapat dilakukan untuk menilai kesulitan saat
melakukan tindakan intubasi endotrakhea. Untuk menghindari mortalitas dan morbiditas,
seorang ahli anastesi haruslah dapat melakukan ventilasi (dengan atau tanpa intubasi).
Penilaian tersebut antara lain:

7
• Pembukaan mulut : Pada dewasa diharapkan jarak antara gigi seri atas dan bawah 3 cm
atau lebih
• Tes menggigit bibir atas : gigi bagian bawah diletakkan didepan gigi atas, hal ini untuk
menilai pergerakan dari sendi temporomandibula
• Klasifikasi Mallampati : merupakan tes yang sering dilakukan untuk memeriksa ukuran
lidah didalam rongga mulut. Semakin besar lidah menghalangi pandangan terhadap
struktur faring, maka kemungkinan kesulitan intubasi akan semakin besar (gambar 5).
• Jarak Thyromental : jarak antara mental dan superior thyroid notch diharapkan lebih dari 3
jari
• Lingkar leher : lingkar leher lebih dari 27 inchi diduga akan kesulitan dalam visualisasi
glotis.3
Klasifikasi Mallampati:
• Kelas I : palatum molle (soft palate), tenggorokan, uvula, dan pilar tonsil dapat terlihat
• Kelas II : palatum molle, tenggorokan dan uvula dapat terlihat
• Kelas III : palatum molle dan dasar dari uvula dapat terlihat
• Kelas IV : palatum molle tidak dapat terlihat.3

Gambar 5 : A : Klasifikasi Mallampati B: Penilaian visualisasi laring.3

8
Airway Manajemen
Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan
membutuhkan keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat darurat, oleh
karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, yang meliputi
pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah,
fraktur manibula atau maksila, fraktur laring atau trakea. Gangguan airway dapat timbul
secara mendadak dan total, perlahan - lahan dan sebagian, dan progresif dan/atau berulang. 7
Pengkajian Jalan Nafas
Look:
Look untuk melihat apakah pasien agitasi/gelisah, mengalami penurunan kesadaran, atau
sianosis. Lihat juga apakah ada penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi. Kaji adanya
deformitas maksilofasial, trauma leher trakea, dan debris jalan nafas seperti darah, muntahan,
dan gigi yang tanggal.
• Kesadaran; “the talking patient” : pasien yang bisa bicara berarti airway bebas, namun
tetap perlu evaluasi berkala. Penurunan kesadaran memberi kesan adanya hiperkarbia
• Agitasi memberi kesan adanya hipoksia
• Nafas cuping hidung
• Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh kurangnya oksigenasi dan dapat
dilihat dengan melihat pada kuku-kuku dan kulit sekitar mulut
• Adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas tambahan yang merupakan bukti adanya
gangguan airway.
Listen :
Dengarkan suara nafas abnormal, seperti:
• Snoring, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring
• Gurgling, (suara berkumur) menunjukkan adanya cairan/ benda asing
• Stridor, dapat terjadi akibat sumbatan sebagian jalan napas jalan napas setinggi larings
(Stridor inspirasi) atau setinggi trakea (stridor ekspirasi)
• Hoarseness, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring
• Afoni, pada pasien sadar merupakan petanda buruk, pasien yang membutuhkan napas
pendek untuk bicara menandakan telah terjadi gagal napas
Feel:
• Aliran udara dari mulut/ hidung
• Posisi trakea terutama pada pasien trauma. Palpasi trakea untuk menentukan apakah
terjadi deviasi dari midline.

9
• Palpasi apakah ada krepitasi
Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan oksigenasi. Jika pasien
tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya, patensi jalan nafas harus dipertahankan
dengan cara buatan seperti : reposisi, chinlift, jaw thrust, atau melakukan penyisipan airway
orofaringeal serta nasofaringeal. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi
vertebra servikal. Dalam hal ini dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust.
Tindakan paling penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkang saluran
pernapasan, yaitu dengan cara triple manuver dengan ekstensi kepala (head tilt), angkat dagu
(chin lift), dan buka mulut (jaw trust).Manuever heimlich merupakan metode yang paling
efektif untuk mengatasi obstruksi saluran pernapasan atas akibat makanan atau benda asing
yang terperangkap dalam pharynx posterior atau glottis.Membersihkan jalan nafas secara
finger sweep (sapuan jari)dilakukan bila jalan napas tersumbat karena adanya benda asing
dalam rongga mulut belakang atau hipofaring (gumpalan darah, muntahan, benda asing
lainnya) dan hembusan napas hilang.Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap
bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian terhadap airway harus tetap
dilakukan. Penderita dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale sama atau
kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif. Adanya gerakan motorik
yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya airway definitif. Penilaian bebasnya airway
dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Bila penderita
mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin jatuh ke belakang, dan
menyumbat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini dapat dengan segera diperbaiki dengan
cara mengangkat dagu (chin lift maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah ke arah
depan (jaw thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat dipertahankan dengan airway
orofaringeal (oropharyngeal airway) atau nasofaringeal (nasopharingeal airway). Tindakan-
tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan atau memperburuk
cedera spinal. Oleh karena itu, selama melakukan prosedurprosedur ini harus dilakukan
imobilisasi segaris (in-line immobilization).7
Teknik-teknik mempertahankan airway :
1. Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan horizontal, kecuali pada
pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala pasien harus direndahkan dengan posisi
semilateral untuk memudahkan drainase lendir, cairan muntah atau benda asing. Kepala
diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher pasien dengan sedikit
mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien sambil

10
mendorong/menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha dengan
memberikan inflasi bertekanan positif secara intermittena.8
2. Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian secara hati – hati
diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan
ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga diletakkan di
belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan hati – hati diangkat.
Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada
korban trauma karena tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang
leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera
spinal.8

Gambar 6. Head-tilt, chin-lift maneuver


3. Jaw thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada mandibula, jari kelingking
dan manis kanan dan kiri berada pada angulus mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan
kiri berada pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada mentum
mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati molar pada maxila.8

Gambar 7. Jaw-thrust maneuver

11
4. Faringeal airway
Jika manuver triple airway kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas mulut-faring
lewat mulut dengan Nasopharyngeal airway atau jalan napas hidung-faring lewat hidung
dengan Oropharyngeal airway
4.1 Oropharingeal Airway (OPA)
Indikasi : Airway orofaringeal digunakan untuk membebaskan jalan napas pada pasien yang
kehilangan refleks jalan napas bawah.
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Kemudian pilih ukuran pipa orofaring
yang sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan dengan cara menyesuaikan ukuran pipa oro-
faring dari tragus (anak telinga) sampai ke sudut bibir. Masukkan pipa orofaring dengan
tangan kanan, lengkungannya menghadap ke atas (arah terbalik), lalu masukkan ke dalam
rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai palatum durum putar pipa ke arah 180 drajat.
Kemudian dorong pipa dengan cara melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari tangan menekan
sambil mendorong pangkal pipa oro-faring dengan hati-hati sampai bagian yang keras dari
pipa berada
diantara gigi atas dan bawah, terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring. Periksa dan pastikan
jalan nafas bebas (Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa oro-faring dengan cara memplester
pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan plester sampai ke pipi pasien.8

Gambar 8. Oropharingeal Airway


4.2 Nasopharingeal Airway
Indikasi : Pada penderita yang masih memberikan respon, airway nasofaringeal lebih disukai
dibandingkan airway orofaring karena lebih bisa diterima dan lebih kecil kemungkinannya
merangsang muntah.
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran pipa naso-faring
yangsesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pipa nasofaring dari lubang hidung sampai
tragus(anak telinga). Pipa nasofaringdiberi pelicin dengan KY jelly (gunakan kasa yang

12
sudah diberi KY jelly).Masukkan pipa naso-faring dengan cara memegang pangkal pipa
nasofaring
dengantangankanan,lengkungannyamenghadapkearahmulut(kebawah).Masukkankedalamron
ggahidungdenganperlahansampaibataspangkalpipa.Patikanjalannafassudahbebas(lihat,dengar,
rasa).8

Gambar 9. Nasopharingeal Airway

5.Face Mask
Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau gas anestesi dari sistem
breathing ke pasien dengan pemasangan face mask dengan rapat. Oksigen sangat penting
bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan pasokan konstan O2 yang digunakan untuk
menunjang reaksi kimiawi penghasilenergi, yang menghasilkan CO2 yang harus dikeluarkan
secara terus-menerus.Kegagalan dalam oksigenasi akan menyebabkan hipoksia yangdiikuti
oleh kerusakan otak, disfungsi jantung, dan akhirnya kematian. Pada keadaan normal,
oksigen diperoleh dengan bernafas dan diedarkandalam aliran darah ke seluruh tubuh.
Airway yang baik tidak dapatmenjamin pasien dapat bernafas dengan baik pula.
Menjaminterbukanya airway merupakan langkah awal yang penting untuk pemberianoksigen.
Oksigenasi yang memadai menunjukkan pengiriman oksigen yang sesuaike jaringan untuk
memenuhi kebutuhan metabolik, efektivitas ventilasi dapatdinilai secara klinis. Apabila
pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknikbag-valve-face-mask
merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif apabiladilakukan oleh dua orang dimana
kedua tangan dari salah satu petugas dapatdigunakan untuk menjamin kerapatan yang baik.
Cara melakukanpemasangan face-mask :
1. Posisikan kepala lurus dengan tubuh
2. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bilasungkup muka dapat
menutupi hidung dan mulut pasien, tidak adakebocoran)
3. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)

13
4. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari manis dan
tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang dan memfiksasi
sungkup muka
5. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien
6. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan
7. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan kanan dan kiri
memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama)
8. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
9. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup muka,
sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag (kantong) reservoir sekaligus
pompa nafas bantu (squeeze-bag).8

Gambar 10.Pemasangan face mask.

Sedangkan apabila pernafasan tidak membaik dengan terbukanyaairway, penyebab lain harus
dicari. Penilaian harus dilakukan denganmelakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi
pada toraks.8
Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan dengan face mask dan oral atau nasal
airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama dapat menimbulkan cedera akibat
tekanan pada cabang saraf trigeminal atau fasial. Bila face mask dan ikatan mask digunakan
dalam jangka lama maka posisi harus sering dirubah untuk menghindari cedera. Hindari
tekanan pada mata, dan mata harus diplester untuk menghindari resiko aberasi kornea.3
6. Laryngeal Mask Airway(LMA)

14
Laringeal mask airway ( LMA ) adalah alat supra glotis airway, didesain untuk memberikan
dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring untuk ventilasi spontan dan memungkinkan
ventilasi kendali pada mode level (< 15 cm H2O) tekanan positif. PrinsipnyaLMA dapat
digunakan pada semua pasien yang bila dilakukan anestesidengan face mask dapat dilakukan
dengan aman ( kecuali penderita-penderita yangmemiliki kelainan pada orofaring). LMA
digunakan secara rutin pada perosedur–prosedur minor genekologi, ortophedi, bronchoskopi,
endoskopi. Prosedur yang lainyang dapat menggunakan LMA antara lain ekstrasi gigi,
adenotonsilektomi, miringotomi dan operasi mata. Pada periode terahir LMA digunakan
penangananjalan nafas sulit yang terus meningkat. Sampai sekarang ada bermacam – macam
jenis telah diproduksi dengan keunggulan dankekurangan pada masing – masing LMA.
Macam-macam LMA yang tersedia dan seringdigunakan antara lain LMA klasik, LMA
proseal, LMA fleksibel, LMA fast trach, LMA supreme, dan LMA C-trach.
Indikasi:
a. Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway management.
LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET menjadi suatu indikasi.
b. Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang tidak diperkirakan.
c. Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan diri.
Kontraindikasi :
a. Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung ( penggunaan pada emergency adalah
pengecualian ).
b. Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan, karena seal yang
bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami kebocoran pada tekanan inspirasi
tinggi dan akan terjadi pengembangan lambung. Tekanan inspirasi puncak harus dijaga
kurang dari 20 cm H2O untuk meminimalisir kebocoron cuff dan pengembangan
lambung.
c. Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka waktu lama.
d. Pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yang intack karena insersi dapat memicu
terjadinya laryngospasme.
Efek Samping:
Efek samping yang paling sering ditemukan adalah nyeri tenggorok, dengan insidensi 10 %
dan sering berhubungan dengan over inflasi cuff LMA. Efek samping yang utama adalah
aspirasi.9

15
Gambar 11. Ukuran LMA.3
7. Airway definitif
Terdapat tiga jenis airway definitif yaitu : pipa orotrakeal, pipanasotrakeal, dan airway
surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi).Penentuan pemasangan airway definitif
didasarkan pada penemuan-penemuan klinis antara lain:
1. Adanya apnea
2. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara – carayang lain
3. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atauvomitus
4. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway
5. Adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas (GCS < 8)
6. Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan pemberian oksigen
tambahan lewat masker wajah.
Intubasi orotrakeal dan nasotrakeal merupakan cara yang paling seringdigunakan. Adanya
kemungkinan cedera servikal merupakan hal utama yangharus diperhatikan pada pasien yang
membutuhkan perbaikan airway. Faktor yangpaling menentukan dalam pemilihan intubasi
orotrakeal atau nasotrakeal adalahpengalaman dokter. Kedua teknik tersebut aman dan efektif
apabila dilakukandengan tepat. Ketidakmampuan melakukan intubasi trakea merupakan
indikasiyang jelas untuk melakukan airway surgical. Apabila pernafasan membaik, jaga agar
jalan nafas tetap terbuka danperiksa dengan cara:
1. Lihat (look), melihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakandinding dada
yangadekuat.
2. Dengar (listen), mendengar adanya suara pernafasan pada kedua sisi dada.
3. Rasa (feel), merasa adanya hembusan nafas.10

16
Gambar 12. Look, listen, and feel
Intubasi Endotrakhea
Intubasi endotrakhea dibutuhkan untuk menjamin patensi dari saluran nafas pada pasien yang
memiliki resiko terjadinya aspirasi, ataupun pada pasien yang sulit menjaga saluran nafasnya
dengan menggunakan sungkup, ataupun juga bagi pasien yang memerlukan kontrol ventilasi
dalam waktu yang lama. Intubasi juga diperlukan pada tindakan pembedahan khusus seperti
pada pembedahan kepala/leher, pembedahan intratoraks, dan pada pembedahan intra
abdomen.11
Laringoskop
Intubasi endotrakhea biasanya dilakukan dengan menggunakan laringoskop rigid (gambar
13). Penggunaan laringoskop rigid disukai karena kemudahannya, tingkat kesuksesan yang
tinggi, dan dapat memberikan visualisasi yang baik.Selain itu laringoskop dapat juga
dipergunakan untuk melakukan pemeriksaanpada laring.Gagang (handle) dari laringoskop
rigid biasanya berisi baterai untuk menghidupkan bola lampu (bulb) yang terdapat pada ujung
bilah (blade), ataupun pada ujung dari gagang tersebut. Bilah yang sering digunakan pada
laringskop adalah bilah Macintosh dan bilah Miller (gambar 14).3,11,12

Gambar 13. Laringoskop rigid.3Gambar 14. Beberapa jenis bilah laringoskop.3

17
Bilah Macintosh adalah bilah yang lengkung yang ujungnya diletakkan pada vallecula (ruang
antara dasar lidah dan epiglotis)(gambar 15). Bilah Macintosh memberikan visualisasi yang
cukup baik terhadap orofaring dan hipofaring, dan juga dapat memberikan ruang yang cukup
untuk masuknya pipa endotrakhea dengan kemungkinan yang kecil terjadinya trauma pada
epiglotis. Ukuran bilah ini dibuat dari mulai bilah no.1 sampai no.4, dimana kebanyakan
orang dewasa memakai bilah no. 3. Bilah Miller adalah bilah yang lurus yang ujungnya
diletakkan dibawah epiglotis (gambar 15). Dengan bilah ini, epiglotis dapat diangkat untuk
bisa melihat vocal cords. Bilah Miller memberikan paparan yang baik terhadap glotis, namun
memberikan ruang yang lebih kecil untuk bisa melewati orofaring dan hipofaring. Ukuran
bilah ini dibuat dari bilah no. 1 sampai no. 4, dimana kebanyakan orang dewasa memakai
bilah no. 2 ataupun no. 3. 4,11

Gambar 15. Pasien dalam posisi sniffing. A.Bilah lurus diletakkan dibawah epiglotis,
B.Bilah lengkung diletakkan pada vallecula.12

Selain itu, masih banyak bentuk modifikasi tertentu dari laringoskop (misalnya Bullard,
Upsher, Wu) dan juga bilah laringoskop (misalnya McCoy, Siker) yang bisa digunakan untuk
melakukan intubasi endotrakhea pada kondisi yang sulit ataupun pada kondisi yang lain dari
biasanya. Karena tidak ada bilah yang cocok untuk segala situasi, maka setiap ahli anastesi
haruslah terbiasa dengan berbagai macam bentuk bilah.3,11
Pipa Endotrakhea
Pipa endotrakhea (Endotracheal Tube/ETT) biasanya terbuat dari polyvinyl chloride (PVC).
Panjang dari ETT diberi tanda dalam satuan centimeters. Sedangkan ukuran diameter dalam
(ID) dari ETT dalam satuan millimeters atau bisa juga dengan skala French (diameter luar

18
ETT dalam satuan millimeters dikali tiga). Tahanan terhadap aliran udara, utamanya
bergantung pada diameter dari ETT, namun dapat juga dipengaruhi oleh panjang dari ETT
dan kelengkungannya. Pilihan diameter yang dipakai adalah dengan memperhitungkan
antarapenggunaan ukuran ETT yang besar agar aliran udara lebih maksimal, atau
menggunakan ETT dengan ukuran yang lebih kecil agar mengurangi resiko trauma pada
saluran nafas. Pada kebanyakan kasus, ETT yang digunakan pada wanita adalah ETT dengan
diameter internal 7.0 mm atau 7.5 mm, dan pada pria digunakan ETT dengan diameter
internal 8.0 mm. Panduan dalam pemakaian ukuran ETT akan dijabarkan pada tabel 2.3,12

Tabel 2. Panduan ukuran ETT.3

ETT pada dewasa biasanya memiliki valve pada sistem inflasi cuff, balon pilot, selang inflasi
dan cuff (gambar 16). Valve berfungsi untuk mencegah keluarnya udara inflasi pada cuff.
Balon pilot berguna untuk memperkirakan tekanan yang ada pada cuff. Selang inflasi
menghubungkan valve dengan cuff. Dengan dikembangkannya cuff, maka terjadilah tracheal
seal. Dan dengan adanya tracheal seal tersebut, akan mencegah terjadinya aspirasi dan akan
memudahkan untuk memberikan ventilasi tekanan positif.3

Gambar 16. Pipa endotrakhea (Endotracheal tube/ETT).3

19
Terdapat dua macam cuff pada ETT: high pressure (low volume), dan lowpressure (high
volume). ETT cuff yang high pressure sering menyebabkaniskemik pada mukosa trakhea dan
kurang sesuai bila digunakan untuk intubasijangka lama. ETT cuff yang low pressure sering
menyebabkan aspirasi, ekstubasispontan, dan sore throat oleh karena daerah mukosa yang
kontak dengan cufflebih luas. Namun, karena insidensi yang rendah terjadinya iskemik pada
mukosatrakhea maka ETT cuff yang low pressure lebih sering digunakan.3
Tindakan Laringoskopi dan Intubasi
Untuk melakukan tindakan laringoskopi dan intubasi dibutuhkan beberapa
persiapan.Persiapan tersebut berupa pemeriksaan dari peralatan yang akan dipakai, posisi
pasien yangbaik, dan pemeriksaan dari ETT yang akan dipakai. ETT haruslah diperiksa
untukmengetahui apakah ada kebocoran pada cuff ataupun pada valve. Konektor pada ETT
harusterpasang dengan baik dan kuat, sehingga tidak terlepas pada saat dipakai nanti.
Jikamenggunakan stylet, maka setelah stylet dimasukkan kedalam ETT, kemudian
dibentukmenyerupai tongkat hoki (gambar 17). Tujuan dari membentuk ETT menyerupai
tongkathoki adalah untuk melakukan intubasi pada pasien dengan posisi laring yang anterior.
Bilahlaringoskop yang dipakai haruslah sudah terpasang, dan bola lampu laringoskopharus
menyala dengan baik. ETT dengan ukuran yang lebih kecil harus disediakansebagai
cadangan. Alat penghisap (suction) juga harus dipersiapkan untukmembersihkan jalan nafas
dari cairan ataupun darah.3

Gambar 17. ETT terpasang stylet dibentuk seperti tongkat hoki.3


Kesuksesan tindakan intubasi juga bergantung pada posisi pasien yangbaik. Kepala pasien
haruslah sejajar atau lebih tinggi dari pinggang ahli anastesi,agar mencegah terjadinya nyeri
pinggang pada ahli anastesi. Kepala pasienmenggunakan bantal (alas yang lunak) yang
tingginya sekitar 10 cm, kemudianpasien diatur dalam posisi sniffing (gambar 16).Sebelum
tindakan induksi danintubasi, terlebih dahulu dilakukan preoksigenasi dengan oksigen

20
100%.Perlindungan terhadap mata pasien juga harus dilakukan dengan memakaikansalep
mata dan menutup mata dengan plester.3
Intubasi orotrakhea dilakukan dengan cara laringoskop dipegang ditangan kiri, mulut pasien
dibuka dengan cara mendorong gigi premolar pada mandibula pasien dengan ibu jari kanan.
Bilah laringoskop dimasukkan ke dalam sisi kanan mulut pasien, dengan berhati-hati agar
tidak terkena gigi pasien34. Lidah pasien disisihkan ke sisi kiri dengan menggunakan sayap
(flange) pada bilah, sehingga dapat memberikan lapangan pandang yang baik untuk
memasukkan dan menempatkan ETT. Saat mencapai dasar lidah, dan terlihat epiglotis, maka
ujungdari bilah lengkung diletakkan pada vallecula dan ujung dari bilah lurus menekan
epiglotis ke dasar lidah sehingga epiglotis akan tertutupi oleh bilah lurus. Kemudian tangan
kiri mengangkat gagang laringoskop dengan arah menjauhi pasien untuk menampakkan vocal
cords (gambar 18). ETT dipegang dengan tangan kanan seperti memegang pensil dan
kemudian dimasukkkan ke dalam vocal cords. Cuff ETT diletakkan kira-kira 2 cm setelah
melewati vocal cords.Kemudian laringoskop ditarik dan dikeluarkan dari mulut secara
perlahan-lahan agar tidak merusak gigi. Cuff dikembangkan secukupnya sehingga tidak
terjadi kebocoran udara saat dilakukan ventilasi positif.3,4,11,12

Gambar 18. Posisi sniffing dan laringoskopi dengan bilah lengkung.3

21
Setelah tindakan intubasi, untuk memastikan intubasi trakhea berhasil, maka dilakukan
inspeksi dan auskultasi pada thoraks dan epigastrium, serta dilakukan pemasangan
capnograph. Adanya CO2 pada capnograph merupakan konfirmasi berhasilnya intubasi
trakhea. Jika suara pernafasan hanya terdengar pada satu sisi thoraks saja, maka kemungkinan
ETT telah masuk ke bronkus dan harus ditarik sampai udara terdengar di kedua sisi thoraks.
Kemudian ETT difiksasi untuk menjaga agar tidak bergeser. Intubasi nasotrakhea mirip
dengan tindakan intubasi oral, hanya saja sebelum dilakukan laringoskopi, ETT terlebih
dahulu dimasukkan melalui hidung menuju nasofaring dan kemudian mencapai orofaring.
Lubang hidung yang dipilih adalah yang paling leluasa dipakai bernafas oleh pasien. Sebelum
ETT dimasukkan ke dalam hidung, terlebih dahulu hidung ditetesi dengan Phenylephrine
(0.25% atau 0.5%) sebagai vasokonstriktor dan juga menciutkan membran mukosa. ETT
diolesi dengan jeli terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam hidung. ETT dimasukkan
perlahan-lahan hingga terlihat di orofaring. Kemudian dilakukan laringoskopi untuk melihat
vocal cords, dan ETT diarahkan masuk ke dalam vocal cords. Jika terjadi kesulitan
mengarahkan ETT untuk masuk ke dalam vocal cords, maka bisa digunakan Magill forceps
sebagai alat bantu untuk mengarahkan ETT tersebut. Hati-hati saat menggunakan Magill
forceps agar tidak merusak cuff ETT.3,11
Komplikasi akibat Laringoskopi dan Intubasi
Komplikasi dari tindakan laringoskopi dan intubasi berupa hipoksia, hiperkarbi, trauma pada
gigi dan saluran nafas, munculnya respon fisiologis akibat dari instrumentasi pada saluran
nafas, ataupun malfungsi dari ETT. Komplikasikomplikasi tersebut dapat terjadi saat
dilakukan tindakan laringoskopi dan intubasi, saat ETT sudah terpasang, ataupun setelah
tindakan ekstubasi (komplikasi segera ataupun lambat)(tabel 3)3,6

22
Tabel 3. Komplikasi dari tindakan intubasi.6

Respon fisiologis akibat instrumentasi saluran nafas


Telah diketahui bahwa laringoskopi dan intubasi endotrakhea akan menyebabkan munculnya
respon simpatis yang akan melepaskan katekolamin, dan akhirnya akan menimbulkan
perubahan hemodinamik berupa hipertensi dan takikardi. Peningkatan hemodinamik tersebut
dapat dikurangi dengan pemberian intravena lidokain, opioid, β-blocker, ataupun dengan
mendalamkan anastesi inhalasi sebelum melakukan tindakan laringoskopi. Obat-obat
hipotensif seperti sodium nitroprusside, nitrogliserin, esmolol dan nikardipin juga efektif
untuk mengurangi respon hipertensi akibat laringoskopi dan intubasi.3

23
Spasme laring merupakan spasme involunter otot-otot laring akibat perangsangan sensoris
dari nervus laringeal superior. Laringospasme dapat muncul oleh karena adanya cairan pada
faring, ataupun karena ETT melewati laring saat ekstubasi. Spasme laring biasanya bisa
dicegah dengan cara melakukan ekstubasi dalam, ataupun ekstubasi sadar penuh. Penanganan
pada spasme laring adalah dengan memberikan ventilasi tekanan posistif dengan
menggunakan oksigen 100%, atau dengan memberikan lidokain (1-1.5mg/kgBB). Jika
spasme laring masih menetap dan terjadi hipoksia, diberikan suksinilkolin dosis kecil (0.25-
0.5 mg/kgBB) dan dapat ditambahkan propofol dosis kecil untuk relaksasi dari otot-otot
laring sehingga dapat melakukan kontrol ventilasi.3
Spasme bronkus juga merupakan reflek akibat intubasi yang sering terjadi pada pasien
penderita asma. Terjadinya spasme bronkus juga dapat menjadi petunjuk terjadinya intubasi
bronkus.3
Upaya mengurangi peningkatan hemodinamik
Tindakan laringoskopi dan intubasi trakhea merupakan stimulasi noksius yang sangat kuat,
yang akan menyebabkan symphatetic discharge dan akan menyebabkan hipertensi dan
takikardi (disebut dengan respon pressor).Laringoskopi dan intubasi trakhea menstimulasi
reseptor aferen nosisepsi viseral dan somatik dari epiglotis, hipofaring, daerah peri trakhea
dan vocal cords, sehingga terjadi augmentasi aktivitas simpatis cervical dan mengakibatkan
peningkatan amine simpatis (adrenalin dan noreadrenalin).13
Respon pressor merupakan bagian dari respon stress, berasal dari peningkatan aktifitas
simpatis dan simpatoadrenal yang akan meningkatkan konsentrasi katekolamin
plasma.Respon pressor akibat laringoskopi dan intubasi merupakan refleks simpatis yang
diprovokasi oleh stimulasi pada orolaringofaring. Faring bagian bawah (hipofaring), epiglotis
dan laring mengandung sejumlah reseptor sensorik yang bertanggung jawab terhadap
rangsangan kimia, panas dan mekanik. Reseptor mekanik banyak terdapat pada dinding
faring bagian bawah, epiglotis dan vocal cords. Perangsangan reseptor mekanik ini akan
memicu munculnya refleks seperti batuk, cegukan, dan juga refleks perangsangan
simpatis.Munculnya respon simpatoadrenal terhadapintubasi endotrakhea adalah adanya
rangsangan area supraglotik akibat iritasi padajaringan yang terkena laringoskop. Rangsangan
di area infraglotik berupasentuhan pipa endotrakhea melintasi pita suara dan pengembangan
balonmemberikan kontribusi lebih rendah.14,15
Peningkatan rata-rata tekanan darah akibat tindakan laringoskopi dan intubasibisa
mencapai40-50%, dan peningkatan denyut jantung hingga 26-66% bilatidak ada usaha
tertentu yang dilakukan untuk mencegah respon peningkatanhemodinamik. Respon ini

24
biasanya bersifat sementara, dan terjadi pada 30 detiksetelah tindakan laringoskopi dan
intubasi, dan bertahan lebih kurang selama 10menit. Respon ini tidaklah berbahaya bagi
pasien yang sehat. Tetapi haltersebut bisa berbahaya bila terjadi pada pasien-pasien dengan
faktor resikosepertihipertensi, penyakit jantung koroner, kelainan serebrovaskuler,
miokardinfark dantirotoksikosis. Peningkatan tekanan darah yang menetap setelahtindakan
intubasi merupakan bentuk respon yang berlebihan yang sering terlihatpada pasien dengan
resiko tinggi yang memiliki penyakit penyerta sepertidiabetes, penyakit ginjal, dan penyakit
kardiovaskular.6,16
Rate pressure product (RPP), merupakan hasil perkalian antara tekanan darah sistolik dan
denyut jantung. Nilai RPP merupakan indikator untukmenggambarkan kebutuhan oksigen
jantung yang telah luas penggunaannyasecara klinis. Nilai normalnya kurang dari 12000.
RPP yang meningkat hinggadiatas 20000 selalu berkaitan dengan iskemi miokard dan
angina.Pada pasienpasiendenganpenyakitarterikoroner,RPPharuslahdijagadibawah12000.
Jantung yang berdenyut cepat tidak hanya akan meningkatkan konsumsioksigen
miokard,namun juga memperpendek waktu diastolik dari ventrikel kiridan akan mengurangi
penghantaran oksigen (oxygen delivery) pada miokard.
Peningkatan tekanan darah tanpa peningkatan denyut jantung masih lebih baikuntuk
oksigenasi miokard bila dibandingkan peningkatan tekanan darah yang terjadi bersamaan
dengan peningkatan denyut jantung.15
Beberapa komplikasi yang dijumpai akibat tindakan intubasi seperti hipertensi sebanyak19%,
takikardi 29%, disritmia 6.5% dan henti jantung 0.5-1.9% sebagai komplikasi akibat tindakan
intubasi.Miokard infark merupakan salah satupenyebab morbiditas dan mortalitas paska
operasi pada pasien-pasien normotensi.Miokard infark tersebut terjadi karena iskemi yang
disebabkan oleh hipertensidan takikardi akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.17
Padapasien dengan penyakit jantung koroner, walaupun pencegahan terhadap
responhemodinamik telah dilakukan, masih didapati kejadian iskemik miokard sebanyak10%
saat dilakukan tindakan laringoskopi dan intubasi.Pada pasien-pasien dengan hipertensi,
didapati hingga 25% pasien penderita hipertensi dapat mengalami hipertensi berat setelah
tindakanintubasitrakhea. Oleh kerena itu pencegahan terhadap perubahan hemodinamik
akibatdari laringoskopi dan intubasi sangatlah penting untuk dilakukan.
Tindakanlaringoskopi yang berlama-lama haruslah dihindari pada pasien-pasien
tersebut.Tindakan intubasi haruslah dilakukan dengan anastesi yang dalam.18
Telah banyak upaya yang dilakukan untuk mengurangi respon peningkatanhemodinamik
tersebut, diantaranya adalah dengan melakukan intubasi denganwaktu sesingkat

25
mungkin,dengan menggunakan bilah laringoskop jenis tertentu(McCoy lebih baik dari
Macintosh),ataupun dengan obat-obatan tertentu.Adapun dengan pemberian obat-obatan
antara lain dengan pemberian hipnotik,mendalamkan anastesi inhalasi, opioid, β-adrenergic
blocker, anastesi lokal intra vena, calcium channel blocker, vasodilator(hidralazin,
nitrogliserin, sodium nitroprusside), dan magnesium sulfat.Opioid (misalnya fentanyl)
merupakan obat yang sering diberikan sebelumtindakan induksi anastesi. Pemberian opioid
ini, selain bertujuan untukmengurangi respon peningkatan tekanan darah dan denyut jantung
saat tindakanlaringoskopi dan intubasi, juga berfungsi untuk analgesia preemptif.13,18,19

26
Bagan 1. Algorima Airway Management.20

27
Difficult airway
Definisi
Difficult airway atau kesulitan jalan nafas didefinisikan sebagai situasi klinis di mana anestesi
konvensional terlatih mengalami kesulitan dengan ventilasi masker di saluran napas bagian
atas, kesulitan intubasi trakea, atau keduanya.2

Klasifikasi Difficult Airways


Menurut ASA (American Society of Anesthesiologists) jenis kesulitan jalan napas dibagi
menjadi lima:
1. Kesulitan ventilasi dengan sungkup atau supraglottic airway (SGA)
Ketidakmampuan dari ahli anestesi yang berpengalaman untuk menjaga SO2 > 90 % saat
ventilasi dengan menggunakan masker wajah dan O2 inspirasi 100%, dengan ketentuan
bahwa tingkat saturasi oksigen pra ventilasi masih dalam batas normal.
2. Kesulitan penempatan SGA
Penempatan SGA membutuhkan upaya berulang dengan ada ata tidaknya patologi
trakea.
3. Kesulitan dilakukan laringoskopi
Kesulitan untuk melihat bagian pita suara, setelah dicoba beberapa kali dengan
laringoskop sederhana.
4. Kesulitan intubasi trakea
Dibutuhkannya lebih dari 3 kali usaha intubasi atau usaha intubasi yang terakhir lebih
dari 10 menit
5. Kegagalan intubasi
Penempatan ETT gagal setelah beberapa kali percobaan intubasi

Diagnosis
Anamnesis
Anemnesis riwayat terutama yang berhubungan dengan jalan napas atau gejala-gejala yang
berhubungan dengan saluran pernapasan atas. Bila mungkin, perlu dilakukan dokumentasi
terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan saluran pernapasan atas.Tanda dan
gejala yang berhubungan dengan jalan napas harus dijelaskan misalnya snoring atau
mengorok (misalnya pada sleep apnea yang obstruktif), gigi terkikis, perubahan suara,
disfagi, stridor, nyeri servikal atau pergerakan leher yang terbatas, neuropathi ekstremitas
atas, nyeri atau disfungsi sendi temporo-mandibular dan nyeri tenggorokan atau rahang yang

28
berlangsung lama setelah pembiusan. Banyak kelainan kongenital dan gejala yang didapat ,
berhubungan dengan penyulit tatalaksana jalan napas.2
Pemeriksaan fisik
1. Metode LEMON
Salah satu alat yang dikembangkan untuk menentukan pasien mungkin menimbulkan
kesulitan manajemen jalan nafas adalah metode LEMON.
L = Look externally
Melihat adanya hal-hal yang menyebabkan pasien membutuhkan tindakan ventilasi atau
intubasi dan evaluasi kesulitan secara fisik, misalkan leher pendek, trauma facial, gigi
yang besar, kumis atau jenggot, atau lidah yang besar.
E = Evaluate 3 – 3 – 2 rule
3 – 3 – 2 rule adalah penentuan jarak anatomis menggunakan jari sebagai alat ukur untuk
mengetahui seberapa besar bukaan mulut.
M = Mallampati score
Mallampati score digunakan sebagai alat klasifikasi untuk menilai visualisasi hipofaring,
caranya pasien berbaring dalam posisi supine, membuka mulut sambil menjulurkan lidah.
O = Obstruction/Obesity
Menilai adanya keadaan yang dapat menyebabkan obstruksi misalkan abses peritonsil,
trauma.Obesitas dapat menyebabkan sulitnya intubasi karena memperberat ketika
melakukan laringoskop dan mengurangi visualisasi laring.
N = Neck deformity
Menilai apakah ada deformitas leher yang dapat menyebabkan berkurangnya range of
movement dari leher sehingga intubasi menjadi sulit. Leher yang baik dapat fleksi dan
ekstensi dengan bebas ketika laringoskopi atau intubasi, Ektensi leher "normal" adalah 35°
(The atlanto-oksipital/ A-O joint).21
2. Metode 4MS
a. Mallampati
Klasifikasi Mallampati/Samsoon-Young berdasarkan penampakan dari orofaring.

29
Gambar 19.A. Skor Mallampati B. Skor Smasoon and Young
Tabel 4. Klasifikasi Mallapati.
KlasifikasiMallampati Klinis
Kelas I Tampak uvula, pilar fausial dan palatum mole
Kelas II Pilar fausial dan palatum mole terlihat
Kelas III Palatum durum dan palatum mole masih
terlihat
Kelas IV Palatum durum sulit terlihat2,3
Tabel 5. Klasifikasi Samsoon Young
Klasifikasi Samsoon Young Klinis
Kelas I Visualisasi seluruh bukaan laring
Kelas II Visualisasi hanya komisura posterior dari bukaan laring
Kelas III Visualisasi hanya epiglotis
Kelas IV Visualisasi hanya soft palate

b. Measurements 3-3-2-1 or 1-2-3-3 Fingers


3 – Jari. Bukaan mulut.
3 – Jari. Jarak hypomental = dari manthus sampai leher
2 – Jari antara thypiod sampai dasar dari mandibula
1 - Jari. Subluksasi mandibula

30
c. Movement of the neck
Ektensi leher "normal" adalah 35° (The atlanto-oksipital/ A-O joint).
Keterbatasan ektensi sendi terdapat pada spondylosis, rheumatoid arthritis, halo-
jaketfiksasi, pasien dengan gejala yang menunjukkan kompresi saraf dengan ekstensi
servikal.

d. Malformation of the Skull (S), Teeth (T), Obstruction (O), Pathology (P) as STOP
S = Skull (Hidrocephalus dan mikrocephalus)
T = Teeth (Buck, protruded, & gigi ompong, makro dan mikro mandibula)
O = Obstruction (obesitas, leher pendek dan bengkak disekitar kepala and leher)
P =Pathologi (kraniofacial abnormal & Syndromes: Treacher Collins, Goldenhar’s, Pierre
Robin, Waardenburg syndromes).22
Tabel 6. Metode 4Ms
Jika score pasien 8 atau lebih, maka memungkinkan difficult airway.22

31
Pemeriksaan Penunjang
Radiografi , CT-scan , fluoroskopi dapat mengidentifikasi berbagai keadaan yang didapat
atau bawaan pada pasien dengan kesulitan jalan napas.2

Penanganan Jalan Nafas Sulit


Persiapan Standar pada Managemen Kesulitan Jalan Napas
• Tersedianya peralatan untuk pengelolaan kesulitan jalan napas2 : Laryngoscope dengan
beberapa alternatif desain dan ukuran yang sesuai, Endotrakea tube berbagai macam
ukuran, Pemandu endotrakeal tube. Contohnya stylets semirigid dengan atau tanpa lubang
tengah untuk jet ventilasi, senter panjang, dan mangil tang dirancang khusus untuk dapat
memanipulasi bagian distal endotrakeal tube, Peralatan Intubasi fiberoptik, Peralatan
Intubasi retrograd, Perangkat ventilasi jalan nafas darurat nonsurgical. Contohnya sebuah
jet transtracheal ventilator, sebuah jet ventilasi dengan stylet ventilasi, LMA, dan
combitube, Peralatan yang sesuai untuk akses pembedahan napas darurat (misalnya,
cricothyrotomy), Sebuah detektor CO2 nafas (kapnograf).
• Menginformasikan kepada pasien atau keluarga tentang adanya atau dugaan kesulitan
jalan nafas, prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan kesulitan jalan nafas, dan risiko
khusus yang kemungkinan dapat terjadi
• Memastikan bahwa setidaknya ada satu orang tambahan sebagai asisten dalam manajemen
kesulitan jalan nafas,
• Melakukan preoksigenasi preanestesi dengan sungkup wajah sebelum memulai
manajemen kesulitan jalan nafas, kuran glebih selama 3 menit untuk mencapai hasil
saturasi oksigen yang baik
• Secara aktif memberikan oksigen tambahan di seluruh proses manajemen kesulitan jalan
nafas. Dapat menggunakan nasal cannule, facemask, LMA.2

Strategi Intubasi pada Kesulitan Jalan Napas


• Intubasi sadar.
Intubasi endotraea dalam keadaan pasien sadar dengan anestesi topikal, pilhan teknik
untuk mencegah bahaya aspirasi pada kasus trauma berat pada muka, leher, perdaraha,
usus, serta kesulitan jalan napas. Ketika intubasi endotrakeal direncanakan dalam keadaan
sadar di bawah anestesi topikal, kombinasi obat premedikasi digunakan untuk
menghilangkan kecemasan, memberikan jalan napas yang jelas dan kering, dan mencegah
aspirasi isi lambung.yaitu antara lain seperti diazepam, fentanyl atau petidin untuk

32
mempermudah kooperasi pasien tanpa harus menghilangkan refleks jalan napas atas (yang
harus mencegah apirasi). Boleh spray lidokain 2% pada lidah dan farings, tetapi jangan
kena plika vocalis. Midazolam dalam dosis 20 sampai 40 mg / kg iv, diulang setiap 5
menit yang diperlukan, yang digunakan untuk mencapai tingkat yang diinginkan sedasi
(dosis maksimal 100 sampai 200 mg / kg).8 Pada beberapa penelitian membuktikan
bahwa intubasi sadar pada pasien yang menderita kesulitan jalan napas memberikan hasil
yang memuaskan 88-100%.2
• Laringoskopi dengan bantuan video.
Meningkatkan visualisasi laring, frekuensi kesuksesan lebih tinggi dibanding intubasi
dengan laringoskop, dan frekuensi yang lebih tinggi dari intubasi upaya pertama; tidak ada
perbedaan dalam waktu untuk intubasi, trauma jalan nafas, bibir / trauma karet, trauma
gigi, atau sakit tenggorokan.
• Intubasi stylets atau tube-changer.
• SGA untuk ventilasi (LMA, laringeal tube)
• SGA untuk intubasi (ILMA),
• Laryngoscopic berbagai desain dan ukuran
• Intubasi dengan bantuan fiberoptik
Pada beberapa situasi, misalnya pasien dengan tulang servikal yang tidak stabil,
pergerakan yang terbatas pada sendi temporo mandibular, atau dengan kelainan kongenital
atau kelainan didapat pada jalan nafas atas- laringoskopi langsung dengan penggunakan
rigid laringoskop mungkin tidak dipertimbangkan atau tidak dimungkinkan.
• Stylets menyala atau Ligth Wand.2

Akibat dari kesulitan jalan napas


Akibat yang dapat terjadi dari kesulitan jalan napas, adalah:
• kematian,
• kerusakan otak,
• cardiac arrest,
• trauma jalan napas,
• kerusakan gigi.2

33
Bagan 2. Algoritma Difficult Airway Management.3

34
Ekstubasi
Anesthesiologist harus memiliki strategi tersendiri untuk ekstubasi pada jalan nafas yang
sulit. Strategi ini akan tergantung pada jenis tindakan operasi, kondisi pasien, dan
keterampilan serta pilihan dari anesthesiologist. Strategi ekstubasi pada pasien dengan jalan
nafas sulit yang direkomendasikan termasuk dengan pertimbangan dari:
• Ciri relatif dari awake extubation dengan ekstubasi sebelum kembali sadar
• Faktor klinis umum yang dapat menimbulkan efek samping dari ventilasi setelah pasien
diekstubasi
• Rencana manajemen jalan nafas dapat diimplementasikan jika pasien tidak dapat menjaga
ventilasi
• yang adekuat setelah ekstubasi.
• Alat yang digunakan dalam jangka pendek sebagai petunjuk jika akan diakukan intubasi
ulang secara cepat. Alat ini dapat berupa stylet atau kanal. Stylet biasanya dimasukkan
melalui lumen pipa trakeal dan kedalam trakeal sebelum pipa trakeal dilepaskan. Stylet
juga termasuk inti berongga yang dapat memfasilitasi oksigenasi dan ventilasi sementara.
Kanal yang digunakan dapat dimasukkan lewat mulut dan dapat digunakan untuk ventilasi
supraglotis dan intubasi. ILMA dan LMA adalah contoh dari kanal tersebut.
Ekstubasi pasien sadar berhubungan dengan batuk pada pipa endotrakeal. Reaksi ini dapat
meningkatkan laju jantung, tekanan vena sentral, tekanan darah arterial, tekanan intracranial,
tekanan intraabdominal, dan tekanan intraokular. Selain itu dapat juga meningkatkan
perdarahan. Pemasangan pipa endotrakeal pada pasien sadar dengan asma juga dapat memicu
terjadinya bronkospasme. Pencegahan yang dapat diberikan untuk hal tersebut adalah dengan
memberikan lidokain intravena 1.5 mg/kg sebelum melakukan suction dan ekstubasi.
Tindakan suction pada faring harus dilakukan untuk pasien sadar sebelum ekstubasi untuk
mengurangi aspirasi darah dan sekret. Pasien juga harus diberikan ventilasi oksigen 100%
jika terdapat kesulitan untuk mempertahankan jalan nafas setelah pipa endotrakeal dilepas. 3

Muscle Relaxant
Prinsip farmakologi pelumpuh otot adalah menghalangi transmisi impuls saraf di sambungan
saraf-otot (neuromuscular junction). Penggunaan klinis pelumpuh otot dalam bidang
anestesiologi adalahmenyediakan suatu kondisi relaksasi otot untuk memfasilitasi intubasi
endotrakeadan memudahkan kerja operator selama anestesi umum. Dosis
2xED95direkomendasikan untuk memfasilitasi intubasi endotrakea. Analgesia adalah

35
hilangnya sensasi nyeri. Relaksan otot adalah obat yangmengurangi ketegangan otot dengan
bekerja pada saraf yang menuju otot (misalnyakurare, suksinilkolin). Pelumpuh otot
tidakmendepresi saraf pusat dan tidak memiliki sifat analgesik.Berdasarkan perbedaan
mekanisme kerja dandurasi kerjanya, obat-obat pelumpuh otot dapat dibagi menjadi obat
pelumpuh ototdepolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat pelumpuh
ototnondepolarisasi(mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh otot nondepolarisasi
dibagimenjadi 3grup lagi yaitu obat kerja lama, sedang, dan singkat. Obat-obat pelumpuhotot
dapat berupa senyawabenzilisokuinolin atau aminosteroid. Obat-obatpelumpuh otot
membentuk blokade saraf-otot fase Idepolarisasi, blokade saraf-ototfase II depolarisasi atau
nondepolarisasi. Penggunaan pelumpuhotot diluar ruang operasi juga luas diaplikasikan
seperti halnya pada pengelolaanpasien yang membutuhkan bantuan ventilasi mekanik di
ruang perawatanintensif.23,24

Fisiologi Transmisi Saraf Otot


Transmisi rangsang saraf ke otot terjadi melalui hubungan saraf otot. Hubungan ini terdiri
atas bagian ujung saraf motor yang tidak berlapis myelin dan membrane otot yang dipisah
oleh celah sinap. Pada bagian ujung saraf motor terdapat gudang persediaan kalsium, vesikel,
atau gudang asetilkolin, mitokondria, dan reticulum endoplasmik. Pada bagian membran otot
terdapat receptor asetilkolin.Asetilkolin merupakan bahan perangsang saraf (neuro
transmitter) yang dibuat di dalam ujung serabut saraf motor melalui proses asetilasi kolin
ekstra sel dan koenzim A. Untuk itu diperlukan enzim asetiltransferase. Asetilkolin disimpan
dalam kantung atau gudang yang disebut vesikel. Ada 3 bentuk asetilkolin, yaitu bentuk
bebas, bentuk cadangan belum siap pakai dan bentuk siap pakai. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi proses sintesis dan atau pelepasan asetilkolin, antara lain kalsium,
magnesium, nutrisi, oksigenisasi, suhu, anelgetik local, dan antibiotic golongan
aminoglikosida.1
Potensial istirahat membran ujung saraf motor (resting mebran potensial) terjadi karena
membran lebih mudah ditembus ion kalium ekstrasel daripada ion natrium. Potensial yang
terukur umumnya sebesar 85-90mV. Pada saat pelepasan asetilkolin, membrane tersebut
sebaliknya akan lebih permiabel terhadap ion natrium sehingga terjadi depolarisasi otot.
Influks ion kalsium memicu keluarnya asetilkolin sebagai transmitter saraf. Asetilkolin saraf
akan menyeberang dan melekat pada reseptor nikotinik dan kolinergik di otot. Kalau
jumlahnya cukup banyak, maka akan terjadi depolarisasi dan lorong ion terbuka. Ion natrium
dan kalsium masuk, sedangkan ion kalium keluar, terjadilah kontraksi otot. Asetilkolin cepat

36
dihidrolisa oleh asetilkolin-esterase (kolin-esterase khusus atau murni) menjadi asetil dan
kolin, sehingga lorong tertutup kembali maka terjadilah repolarisasi.1
Otot yang pertama kali dihambat adalah otot-otot kecil dengan gerakan yang cepat seperti
otot mata dan jari, kemudian otot trunkus dan abdomen, kemudian otot interkostal dan
akhirnya diafragma. Pemulihan terjadi sebaliknya,sehingga diafragma akan kembali
berfungsi pertama kali. Injeksi intravena pelumpuh otot non depol pada orang sadar pada
awalnya menimbulkan kesulitan memfokus dan kelemahan otot mandibula diikuti ptosis,
diplopia dan disfagi. Relaksasi otot telinga akan memperbaiki pendengaran. Kesadaran dan
sensoris utuh.
Karakteristik Blok Fase I
Karakteristik blok fase 1 berupa penurunan respon kontraksi pada stimulus twitch tunggal ,
penurunan amplitudo tapi responnya lama pada rangsang kontinyu rasio TOF > 0,7, tidak ada
post tetanik fasilitasi, hambatan bertambah dengan antikolinesterase. Blok fase I disertai
fasikulasi karena depolarisasi membran post sinaps.1
Karakteristik Blok Fase II
Respon mekanik blok fase II sama dengan yg ditimbulkan pelumpuh otot non depolarisasi.
blok fase II dapat direverse dengan antikolisterase bila blokade bukan karena SCh. Dapat
dicoba dengan Endrofonium (antikolinesterase) 0,1-0,2mg/kgBB iv, bila terdapat perbaikan
transmisi blokade bukan karena SCh.1

Muscle Relaxant Golongan Depolarizing


Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah sinapstidak dirusak
dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lamamenyebabkan terjadinya
depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang diikutirelaksasi otot lurik. Termasuk
golongan ini adalah suksinilkolin (diasetil-kolin) dandekametonium. Didalam vena, suksinil
kolin dimetabolisme oleh kolinesteraseplasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-
monokolin.Obat anti kolinesterase(prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat kerja
pseudokolinesterase.
A. Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat inimemiliki onset yang
cepat (30-60 detik) dan duration of action yang pendek (kurang dari 10 menit). Ketika
suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besardimetabolisme oleh pseudokolinesterase
menjadi suksinilmonokolin. Proses inisangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis
yang dinjeksikan yangmencapaineuromuscular junction. Duration of action akan memanjang

37
pada dosisbesar atau dengan metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendanya level
pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan padakehamilan,
penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapaorang juga ditemukan gen
pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkanblokade yang memanjang.25
B. Ciri Kelumpuhan
a. Ada fasikulasi otot.
b. Berpotensiasi dengan antikolinesterase.
c. Kelumpuhan berkurang dengan pemberian obat pelumpuh otot nondepolarisasi dan
asidosis.
d. Tidak menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal maupun
tetanik.
e. Belum diatasi dengan obat spesifik

Muscle Relaxant Golongan Non Depolarizing.


Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa menyebabkandepolarisasi,hanya
menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolintidak dapat bekerja.26
Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung setelahpemberian cepat
intravena.Rerata obat pelumpuh otot yang hilang dari plasmadicirikan dengan penurunan
inisial cepat (distribusi ke jaringan) diikuti penurunanyang lebih lambat (klirens). Meskipun
terdapat perubahan distribusi dalamalirandarah, anestesi inhalasi memiliki sedikit efek atau
tidak sama sekali padafarmakokinetik obatpelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh
anestesivolatil mencerminkan aksi farmakodinamik, seperti dimanifestasikan oleh penurunan
konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untukmenghasilkan tingkat blokade
saraf tertentu dengan adanya anestesi volatile. Bila volume distribusi menurun akibat
peningkatan ikatan protein, dehidrasi, atauperdarahanakut, dosis obat yang sama
menghasilkan konsentrasi plasma yang lebih tinggi dan potensi nyataakumulasi obat. Waktu
paruh eliminasi obatpelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan durasi kerjaobat-obat ini
saatdiberikan sebagai injeksi cepat intravena.27
Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot non depolarisasi digolongkanmenjadi:
1. Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurium, atrakurium,doksakurium,mivakurium.
2. Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium,rokuronium.
3. Eter-fenolik : gallamin.
4. Nortoksiferin : alkuronium.

38
Tabel 7. Obat Pelumpuh Otot.25

39
Ciri Kelumpuhan Otot
Non Depolarisasi
a. Tidak ada fasikulasi otot.
b. Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhalasi
(eter,halotan,enfluran, isofluran)
c. Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal atau tetanik.
d. Dapat diantagonis oleh antikolinesterase.

Penawar Pelumpuh Otot


Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehinggaasetilkolin dapat
bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalahneostigmin (dosis 0,04-0,08
mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4 mg/kg) danedrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan
fisostigmin yang hanya untuk penggunaanoral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar pelumpuh
otot bersifat muskarinik sehinggamenyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang
bronkus, hipermotilitasusus dan pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai
vagolitik sepertiatropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis 0,005-0,01 mg/kg
sampai0,2-0,3 mg pada dewasa).25

40
Kesimpulan
Pengelolaan jalan nafas atau airway management adalah prosedur medis yang dilakukan
untuk mencegah obstruksi jalan napas untuk memastikan jalur nafas terbuka antara paru-paru
pasien dan udara luar. Hal ini dilakukan dengan membuka jalan nafas atau mencegah
obstruksi jalan napas yang disebabkan oleh lidah, saluran udara itu sendiri, benda asing, atau
bahan dari tubuh sendiri, seperti darah dan cairan lambung yang teraspirasi.Hilangnya tonus
otot jalan nafas bagian atas (misalnya kelemahan dari otot genioglosus) pada pasien yang
dianestesi menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding posterior faring.
Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan penekanan refleks jalan nafas dan
kadang-kadang dengan menekan lidah dengan spatel lidah. Pengelolaan jalan nafas dengan
teknik manual yaitu head-tilt chin lift untuk pasien non trauma servikal dan jaw thrust untuk
pasien yang mengalami trauma servikal; pengelolaan jalan nafas dengan bantuan alat
sederhana yaitu Oropharyngeal airway (OPA) dan Nasopharyngeal Airway; pengelolaan
jalan nafas dengan alat lanjutan yaitu bag valve mask, Laryngeal Mask Airway (LMA),
intubasi dengan ETT. Lalu jika prosedur invasif tersebut tidak berhasil, maka akan dilakukan
tindakan pembedahan untuk membuka jalan nafas, yaitu dengan krikotiroidektomi dan
trakeostomi. Manajemen jalan napas bedah sering dilakukan sebagai upaya terakhir dalam
kasus di mana Orotracheal dan intubasi nasotrakeal tidak mungkin atau
kontraindikasi.Penggunaan klinis pelumpuh otot dalam bidang anestesiologi
adalahmenyediakan suatu kondisi relaksasi otot untuk memfasilitasi intubasi endotrakeadan
memudahkan kerja operator selama anestesi umum.Berdasarkan mekanismekerjanya obat
pelumpuh otot diklasifikasikan menjadi pelumpuh otot depolarisasidan non-
depolarisasi.Prinsip farmakologi pelumpuh otot adalah menghalangi transmisi impuls saraf di
sambungan saraf-otot (neuromuscular junction).Pelumpuh otot tidakmendepresi saraf pusat
dan tidak memiliki sifat analgesik. Penggunaan pelumpuhotot diluar ruang operasi juga luas
diaplikasikan seperti halnya pada pengelolaanpasien yang membutuhkan bantuan ventilasi
mekanik di ruang perawatanintensif.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton. Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta, 2007.


2. ASA. 2013. Practice Guidelines for Management of the Difficult Airway. The American
Society of Anesthesiology. V 118. No. 2.
3. Butterworth IV JF, Mackey DC, Wasnick JD. Airway Management . IMorgan &
Mikhail’s Clinical Anesthesiology. 5th ed. New York: Mc Graw Hill, 2013. p 309-41
4. Rosenblatt WH. Airway Management. In: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical
Anesthesia. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006. p 595-642
5. Martini FH, Nath JL, Bartholomew EF. The Respiratory System. In: Fundamentals of
Anatomy & Physiology. 9th ed. San Francisco: Pearson Benjamin Cummings, 2012. p
813-61
6. Stackhouse RA, Infosino A. Airway Management. In: Miller RD, Pardo MC. Basics of
Anesthesia. 6th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011. p 219-51
7. Walls, M.H., 2010. Airway. In: Walls, M.H., ed. Rosen’s Emergency Medicine Concept
and Clinical practice. 7th ed. Philadelphia: Elsevier, 28-47.
8. Arifin, H., 2012. Airway Management. Dalam: Hakim, A.A., et al.Modul Keterampilan
klinik. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, 8-14.
9. Peter F Dunn. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital.
Lippincot Williams & Wilkins. 2007 : 213 -217
10. Hafen, B.Q., Ph.D., Karren, K.J., Ph.D. 1992. Patient Assessment. In: Hafen, B.Q.,
Ph.D., Karren, K.J., Ph.D., ed. Prehospital Emergency Care and Crisis Intervention. 4th
ed. New Jersey: Prentice Hall.
11. Zeleznik MW, Dunn PF. Airway Evaluation and Management. In: Dunn PF. Clinical
Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital. 7th Ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins, 2007. p 208-27
12. Klock PA, Ovassapian A. Airway Management. In: Longnecker DE, Brown DL,
Newman MF, Zapol WM. Anesthesiology. New York: The McGraw-Hill Companies,
2008. p 685-717
13. Reynolds SF, Heffner J. Airway Management of the Critically Ill Patient: Rapid-
Sequence Intubation. Chest. 2005;127(4):1397-412.
14. Deem SA, Bishop MJ, Bedford RF. Physiologic and Pathophysiologic Responses to
Intubation. In: Hagberg CA. Benumof’s Airway Management: Principles and Practice.
2nd ed. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2007. p 193-212

42
15. Sener EB, Ustun E, Ustun B, Sarihasan B. Hemodynamic responses and upper airway
morbidity following tracheal intubation in patients with hypertension: Coventional
laryngoscopy versus an intubating laryngeal mask airway. Clinics (Sao Paulo).
2012;67(1):49-54
16. Safavi M, Honarmand A. Attenuation of cardiovascular responses to laryngoscopy and
tracheal intubation. M.E.J Anest. 2008;19(6):134960
17. Mort TC. Complications of emergency tracheal intubation: Hemodynamic Alterations –
Part I. J Intensive Care Med. 2007;22(3):157-65.
18. Butterworth IV JF, Mackey DC, Wasnick JD. Anesthesia for patients with cardiovascular
disease. In: Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology. 5th ed. New York: Mc Graw
Hill, 2013. p 375-434
19. Miller RD. Choice of Anesthetic Technique. In: Miller RD, Pardo MC. Basics of
Anesthesia. 6th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011. P 190-97
20. Ollerton, JE. 2007. Adult Trauma Clinical Practice Guidelines, Emergency Airway
Management in the Trauma Patient. NSW Institute of Trauma and Injury Management.
21. Birnbaumer DM. Airway Assessment Using "LEMON" Score Predicts Difficult ED
Intubation. Emerg Med J 2005 Feb; 22:99-102.
22. Reed MJ, Dunn MJG, McKeown DW. Can an airway assessment score predict difficulty
at intubation in the emergency department? Emerg Med J 2005;22:99-102.
23. Rachmat, L., Sunatrio S., 2004. Obat pelumpuh otot. Anestesiologi. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta;
15: 81-86.
24. Stoelting RK, Hillier SC. Neuromuscular Blocking Agents. In: Pharmacology &
Phisiology in Anesthetic Practice. 4th edition. Lippincott William & Wilkins, 2006. P.
208-50.
25. Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An., 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan
Reanimasi. Jakarta: PT. Indeks.
26. Latief, S,A, Surjadi K, Dachlan R., 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Pertama.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. h 41 – 9.
27. Lunn JN., 2004. Farmakologi Terapan Anestesi Umum. Catatan Kuliah Anestesi. Edisi
4. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC; 4: 86-93.

43

Anda mungkin juga menyukai