Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPOSPADIA

A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Hipospadia berasal dari dua kata yaitu hypo
yang berarti di bawah dan spadon yang berarti
keratan yang panjang. Hipospadia adalah suatu
kelainan bawaan dimana meatus uretra eksterna berada
di bagian permukaan ventral penis dan lebih ke
proksimal dari tempatnya yang normal (ujung glanss
penis) (Arif Mansjoer, 2000).
Hipospadia merupakan kelainan abnormal dari
perkembangan uretra anterior dimana muara dari
uretra terletak ektopik pada bagian ventral dari
penis proksimal hingga glands penis. Muara dari
uretra dapat pula terletak pada skrotum atau
perineum. Semakin ke proksimal defek uretra maka
penis akan semakin mengalami pemendekan dan
membentuk kurvatur yang disebut “chordee”
(Ngastiyah, 2005).

2. Etiologi
Penyebabnya sebenarnya sangat multifaktor dan
sampai sekarang belum diketahui penyebab pasti dari
hipospadia. Namun, ada beberapa factor yang oleh
para ahli dianggap paling berpengaruh antara lain :
a. Gangguan dan ketidakseimbangan hormon
Hormone yang dimaksud di sini adalah hormon
androgen yang mengatur organogenesis kelamin
(pria). Atau bias juga karena reseptor hormon
androgennya sendiri di dalam tubuh yang kurang
atau tidak ada. Sehingga walaupun hormon androgen
sendiri telah terbentuk cukup akan tetapi apabila
reseptornya tidak ada tetap saja tidak akan
memberikan suatu efek yang semestinya. Atau enzim
yang berperan dalam sintesis hormon androgen
tidak mencukupi pun akan berdampak sama.
b. Genetika
Terjadi karena gagalnya sintesis androgen.
Hal ini biasanya terjadi karena mutasi pada gen
yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga
ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi.
c. Lingkungan
Biasanya faktor lingkungan yang menjadi
penyebab adalah polutan dan zat yang bersifat
teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi

3. Tanda Dan Gejala


Gejala dan tanda yang biasanya di timbulkan
antara lain :
a. Lubang penis tidak terdapat di ujung penis,
tetapi berada di bawah penis
b. Penis melengkung ke bawah
c. Penis tampak seperti kerudung karena kelainan
pada kulit di depan penis.
d. Ketidakmampuan berkemih secara adekuat dengan
posisi berdiri
e. Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan
yang dangkal di bagian bawah penis yang
menyerupai meatus uretra eksternus.
f. Preputium tidak ada dibagian bawah penis,
menumpuk di bagian punggung penis
g. Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang
mengelilingi meatus dan membentang hingga ke
glans penis, teraba lebih keras dari jaringan
sekitar
h. Kulit penis bagian bawah sangat tipis
i. Tunika dartos, fasia buch dan korpus spongiosum
tidak ada
j. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus
pada dasar dari glans penis
k. Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga
penis menjadi bengkok
l. Sering disertai undescended testis (testis tidak
turun ke kantung skrotum)
m. Kadang disertai kelainan congenital pada ginjal
n. Ketidaknyamanan anak saat BAK karena adanya
tahanan pada ujung uretra eksterna.

4. Klasifikasi
a. Tipe hipospadia yang lubang uretranya didepan
atau di anterior:
1) Hipospadia Glandular yaitu lubang kencing sudah
berada pada kepala penis hanya letaknya masih
berada di bawah kepala penisnya
2) HipospadiaSubcoronal yaitu lubang kencing
berada pada sulcus coronarius penis (cekungan
kepala penis).
b. Tipe hipospadia yang lubang uretranya berada di
tengah:
1) Hipospadia Mediopenean yaitu lubang kencing
berada di bawah bagian tengah dari batang
penis.
2) Hipospadia Peneescrotal yaitu lubang kencing
terletak di antara buah zakar (skrotum) dan
batang penis.
c. Tipe hipospadia yang lubang uretranya berada di
belakang atau posterior
Hipospadia Perineal yaitu lubang kencing berada
di antara anus dan buah zakar (skrotum).
5. Clinical Pathway
Terlampir
6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik berupa pemeriksaan
fisik. Jarang dilakukan pemeriksaan tambahan untuk
mendukung diagnosis hipospadi. Tetapi dapat
dilakukan pemeriksaan ginjal seperti USG mengingat
hipospadi sering disertai kelainan pada ginjal.
7. Penatalaksanaan Medis
a. Tujuan utama dari penatalaksanaan bedah
hipospadia adalah merekomendasikan penis menjadi
lurus dengan meatus uretra ditempat yang normal
atau dekat normal sehingga aliran kencing arahnya
ke depan dan dapat melakukan coitus dengan
normal.
b. Operasi harus dilakukan sejak dini, dan sebelum
operasi dilakukan bayi atau anak tidak boleh
disirkumsisi karena kulit depan penis digunakan
untuk pembedahan nanti.
c. Dikenal banyak teknik operasi hipospadia yang
umumnya terdiri dari beberapa tahap yaitu :
1) Operasi Hipospadia satu tahap (ONE STAGE
URETHROPLASTY)
“Adalah tekhnik operasi sederhana yang
sering digunakan, terutama untuk hipospadia
tipe distal. Tipe distal ini meatusnya letak
anterior atau yang middle. Meskipun sering
hasilnya kurang begitu bagus untuk kelainan
yang berat. Sehingga banyak dokter lebih
memilih untuk melakukan 2 tahap. Untuk tipe
hipospadia proksimal yang disertai dengan
kelainan yang jauh lebih berat, maka one stage
urethroplasty nyaris dapat dilakukan. Tipe
hipospadia proksimal seringkali di ikuti dengan
kelainan-kelainan yang berat seperti korda yang
berat, globuler glans yan bengkok kearah
ventral (bawah) dengan dorsal; skin hood dan
propenil bifid scrotum. Intinya tipe hipospadia
yang letak lubang air seninya lebih kearah
proksimal (jauh dari tempat semestinya)
biasanya diikuti dengan penis yang bengkok dan
kelainan lain di scrotum atau sisa kulit yang
sulit di tarik pada saat dilakukan operasi
pembuatan uretra ( saluran kencing ). Kelainan
yang seperti ini biasanya harus dilakukan 2
tahap.
2) Operasi Hipospadia 2 tahap
“Tahap pertama operasi pelepasan chordee
dan tunelling dilakukan untuk meluruskan penis
supaya posisi meatus (lubang tempat keluar
kencing) nantinya letaknya lebih proksimal
(lebih mendekati letak yang normal),
memobilisasi kulit dan preputium untuk menutup
bagian ventral/bawah penis. Tahap selanjutnya
(tahap kedua) dilakukan uretroplasty (pembuatan
saluran kencing buatan/uretra) sesudah 6 bulan.
Dokter akan menentukan tekhnik operasi yang
terbaik. Satu tahap maupun dua tahap dapat
dilakukan sesuai dengan kelainan yang dialami
oleh pasien.
8. Komplikasi
a. Pseudohermatroditisme (keadaan yang ditandai
dengan alat-alat kelamin dalam 1 jenis kelamin
tetapi dengan satu beberapa ciri sexsual tertentu
)
b. Psikis ( malu ) karena perubahan posisi BAK.
c. Kesukaran saat berhubungan sexsual, bila tidak
segera dioperasi saat dewasa.
Komplikasi paska operasi yang terjadi :
a. Edema/pembengkakan yang terjadi akibat reaksi
jaringan besarnya dapat bervariasi, juga
terbentuknya hematom/kumpulan darah dibawah
kulit, yang biasanya dicegah dengan balut tekan
selama 2 sampai 3 hari paska operasi.
b. Striktur, pada proksimal anastomosis yang
kemungkinan disebabkan oleh angulasi dari
anastomosis.
c. Rambut dalam uretra, yang dapat mengakibatkan
infeksi saluran kencing berulang atau pembentukan
batu saat pubertas.
d. Fitula uretrokutan, merupakan komplikasi yang
sering dan digunakan sebagai parameter untuyk
menilai keberhasilan operasi. Pada prosedur satu
tahap saat ini angka kejadian yang dapat diterima
adalah 5-10 %.
e. Residual chordee/rekuren chordee, akibat dari
rilis korde yang tidak sempurna, dimana tidak
melakukan ereksi artifisial saat operasi atau
pembentukan skar yang berlebihan di ventral penis
walaupun sangat jarang.
f. Divertikulum, terjadi pada pembentukan neouretra
yang terlalu lebar, atau adanya stenosis meatal
yang mengakibatkan dilatasi yang lanjut.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Masalah Keperawatan Yang Perlu Dikaji
a. Kaji biodata pasien
b. Kaji riwayat masa lalu: Antenatal, natal,
c. Kaji riwayat pengobatan ibu waktu hamil
d. Kaji keluhan utama
e. Kaji skala nyeri (post operasi)
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi kelainan letak meatus uretra
b. Palpasi adanya distensi kandung kemih.
3. Diagnosa Keperawatan
a. Pre Operasi
1) Kecemasan orang tua berhubungan dengan prosedur
pembedahan
2) Kurangnya pengetahuan orang tua berhubungan
dengan diagnosa, prosedur pembedahan dan
perawatan setelah operasi.
b. Post Operasi
1) Kesiapan dalam peningkatan manajemen regimen
terapeutik berhubungan dengan petunjuk
aktivitas adekuat.
2) Nyeri akut berhubungan dengan post prosedur
operasi
3) Resiko tingggi infeksi berhubungan dengan
invasi kateter
4) Perubahan eliminasi urine (retensi urin)
berhubungan dengan trauma operasi
4. Rencana Tindakan Keperawatan
Pre Operasi
a. Diagnosa keperawatan: Kecemasan orang tua
berhubungan dengan prosedur pembedahan.
1) Tujuan : mengurangi kecemasan orang tua
terlihat tenang
2) Intervensi :
 Evaluasi tingkat pemahaman keluarga tentang
diagnosa
 Akui masalah pasien dan dorong
mengekspresikan masalah
 Berikan kesempatan untuk bertanya dan jawab
dengan jujur.
 Catat komentar atau perilaku yang
menunjukkan penerimaan
 Libatkan pasien dan keluarga dalam
perencanaan keperawatan dan berikan
kenyamanan fisik pasien.
 Anjurkan keluarga untuk lebih mendekatkan
diri kepada tuhan
b. Diagnosa keperawatan: Kurangnya pengetahuan orang
tua berhubungan dengan diagnosa, prosedur
pembedahan dan perawatan setelah operasi.
1) Tujuan: menyatakan pemahaman diagnosa dan
program pengobatan.
2) Intervensi:
 Diskusikan diagnosa, rencana terapi dan
hasil yang diharapkan
 Diskusikan perlunya perencanaan untuk
mengevaluasi perawatan saat pulang
 Identivikasi tanda atau gejala yang
memerlukan evaluasi medis seperti perubahan
penampilan, insisi, terjadinya kesulitan
pernafasan, demam, peningkatan nyeri dada
Post Operasi
a. Diagnosa keperawatan: Kesiapan dalam peningkatan
manajemen regimen terapeutik berhubungan dengan
petunjuk aktivitas adekuat.
1) Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan
diharapkan kesiapan peningkatan regimen
terapeutik baik.
2) Intervensi:
 Anjurkan kunjungan anggota keluarga jika
perlu
 Bantu keluarga dalam melakukan strategi
menormalkan situasi
 Bantu keluarga menemukan perawatan anak yang
tepat
 Identifikasi kebutuhan perawatan pasien di
rumah dan bagaimana pengaruh pada keluarga
 Buat jadwal aktivitas perawatan pasien di
rumah sesuai kondisi
 Ajarkan keluarga untuk menjaga dan selalu
menngawsi perkembangan status kesehatan
keluarga.
b. Diagnosa keperawatan: Nyeri akut berhubungan
dengan post prosedur operasi
1) Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan
diharapkan nyeri berkurang.
2) Intervensi:
NIC 1 : Manajemen nyeri
Intervensi :
 Kaji secara komperhensif mengenai lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas, dan faktor pencetus nyeri
 Observasi keluhan nonverbal dari
ketidaknyamanan
 Ajarkan teknik nonfarmakologi (relaksasi)
 Bantu pasien & keluarga untuk mengontrol
nyeri
 Beri informasi tentang nyeri (penyebab,
durasi, prosedur antisipasi nyeri)
NIC 2 : Monitor tanda vital
Intervensi :
 Monitor TD, RR, nadi, suhu pasien
 Monitor keabnormalan pola napas pasien
 Identifikasi kemungkinan perubahan TTV
 Monitor toleransi aktivitas pasien
 Anjurkan untuk menurunkan stress dan banyak
istirahat
NIC 3 : Manajemen lingkungan
Intervensi :
 Cegah tindakan yang tidak dibutuhkan
 Posisikan pasien dalam posisi yang nyaman
c. Diagnosa keperawatan: Resiko tingggi infeksi
berhubungan dengan invasi kateter
1) Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan
diharapkan tidak terjadi infeksi.
2) Intervensi:
NIC 1 : Kontrol infeksi
Intervensi :
 Ajarkan pasien & kelurga cara mencucitangan
yang benar
 Ajarkan pada pasien & keluarga tanda gejala
infeksi & kapan harus melaporkan kepada
petugas
 Batasi pengunjung
 Bersihkan lingkungan dengan benar setelah
digunakan pasien
NIC 2 : Perawatan luka
Intervensi :
 Catat karakteristik luka, drainase
 Bersihkan luka dan ganti balutan dengan
teknik steril
 Cuci tangan dengan benar sebelum dan sesudah
tindakan
 Ajarkan pada pasien dan kelurga cara
prosedur perawatan luka
NIC 3 : Perlindungan infeksi
Intervensi :
 Monitor peningkatan granulossi, sel darah
putih
 Kaji faktor yang dapat meningkatkan infeksi.
d. Diagnosa keperawatan: Perubahan eliminasi urine
(retensi urin) berhubungan dengan trauma operasi
1) Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan
diharapkan retensi urin berkurang.
2) Intervensi:
 Melakukan pencapaian secara komperhensif
jalan urin berfokus kepada inkontinensia
(ex: urin output, keinginan BAK yang paten,
fungsi kognitif dan masalah urin)
 Menjaga privasi untuk eliminasi
 Menggunakan kekuatan dari keinginan untuk
BAK di toilet
 Menyediakan waktu yang cukup untuk
mengosongkan blader (10 menit)
 Menyediakan perlak di kasur
 Menggunakan manuver crede, jika dibutuhkan
 Menganjurkan untuk mencegah konstipasi
 Monitor intake dan output
 Monitor distensi kandung kemih dengan
papilasi dan perkusi
 Berikan waktu berkemih dengan interval
reguler, jika diperlukan .
DAFTAR PUSTAKA
Johnson, Marion dkk. (2000). Nursing outcomes
classification (NOC). Mosby

Suriadi SKp, dkk. (2001). Asuhan keperawatan pada anak.


Jakarta : Fajar Interpratama

Mansjoer, Arif, dkk. (2000).Kapita Selekta Kedokteran.


Jilid 2, Jakarta : Media Aesculapius.

McCloskey, Joanne C. (1996). Nursing interventions


classification (NIC). Mosby

Price, Sylvia Anderson. (2000). Pathofisiologi. Jakarta:


EGC

Purnomo, B Basuki. (2000). Dasar – dasar urologi. Jakarta :


Infomedika

Santosa, Budi. (2005-2006). NANDA. Prima Medika

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2000). Buku Kuliah


Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta :EGC.

Anda mungkin juga menyukai