Anda di halaman 1dari 29

BAB II

PEMBAHASAN

 Konsep Psikoneuroimunologi Pada Kebugaran


2.1 Modulator Versus Stressor
A. Definisi Modulator
Modulator adalah suatu rangkaian yang berfungsi melakukan proses
modulasi, yaitu proses “menumpangkan” data pada frekuensi gelombang
pembawa (carrier signal) ke sinyal informasi/ pesan agar bisa dikirim ke
penerima melalui media tertentu (kabel atau udara), biasanya berupa
gelombang sinus. (Wikipedia)
B. Definisi Imuno
Sistem kekebalan (immune system) adalah sistem pertahanan
manusia sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing
atau serangan organisme, termasuk virus, bakteri, protozoa, dan parasit.
Sistem kekebalan juga berperan dalam perlawanan terhadap protein tubuh
dan molekul lain seperti yang terjadi pada autoimunitas, dan melawan sel
yang teraberasi menjadi tumor.
C. Definisi Imunomodulator
Imunomodulator adalah obat atau bahan yang memiliki efek pada
respon imun untuk melakukan pengaturan (penyesuaian) respon imun
sehingga mencapai tingkat yang dikehendaki. Imunomodulator berfungsi
meningkatkan kekebalan spesifik dan non-spesifik.
1. Sistem Imun Non-Spesifik/ Innate/ Non-Adaptif
Sistem imun non-spesifik adalah sistem imun yang melawan
penyakit dengan cara yang sama kepada semua jenis penyakit. Sistem
imun ini tidak membeda-bedakan responnya kepada setiap jenis
penyakit, oleh karena itu disebut non-spesifik. Sistem imun ini bekerja
dengan cepat dan selalu siap jika tubuh didatangkan suatu penyakit.
Sistem imun non-spesifik punya 4 jenis pertahanan:
a. Pertahanan Fisik/ Mekanis
Pertahanan fisik dapat berupa kulit, lapisan mukosa/ lendir, silia atau
rambut pada saluran nafas, mekanisme batuk dan bersin. Pertahanan

4
fisik ini umumnya melindungi tubuh dari penyakit yang berasal dari
lingkungan atau luar tubuh kita. Pertahanan ini merupakan
pelindung pertama pada tubuh kita.
b. Pertahanan Biokimia
Pertahanan biokimia ini adalah pertahanan yang berupa zat-zat kimia
yang akan menangani mikroba yang lolos dari pertahanan fisik.
Pertahanan ini dapat berupa pH asam yang dikeluarkan oleh kelenjar
keringat, asam lambung yang diproduksi oleh lambung, air susu, dan
saliva.
c. Pertahanan Humoral
Pertahanan ini disebut humoral karena melibatkan molekul-molekul
yang larut unutk melawan mikroba. Biasanya molekul yang bekerja
adalah molekul yang berada di sekitar daerah yang dilalui oleh
mikroba. Contoh molekul larut yang bekerja pada pertahanan ini
adalah Interferon (IFN), Defensin, Kateisidin, dan Sistem
Komplemen.
d. Pertahanan Selular
Pertahanan ini melibatkan sel-sel sistem imun dalam melawan
mikroba. Sel-sel tersebut ada yang ditemukan pada sirkulasi darah
dan ada juga yang di jaringan. Neutrofil, Basofil, Eusinofil, Monosit,
dan sel NK adalah sel sistem imun non-spesifik yang biasa
ditemukan pada sirkulasi darah. Sedangkan sel yang biasa
ditemukan pada jaringan adalah sel Mast, Makrofag, dan sel NK.
2. Sistem Imun Spesifik/ Adaptif
Sistem Imun Spesifik adalah sistem imun yang membutuhkan
pajanan atau bisa disebut harus mengenal dahulu jenis mikroba yang
akan ditangani. Sistem imun ini bekerja secara spesifik karena respon
terhadap setiap jenis mikroba berbeda. Karena membutuhkan pajanan,
sistem imun ini membutuhkan waktu yang agak lama untuk
menimbulkan respon. Namun jika sistem imun ini sudah terpajan oleh
suatu mikroba atau penyakit, maka perlindungan yang diberikan dapat

5
bertahan lama karena sistem imun ini mempunyai memori terhadap
pajanan yang didapat.
Sistem imun ini dibagi menjadi 2:
a. Sistem Imun Spesifik Humoral
Yang paling berperan pada sistem imun spesifik humoral ini ada Sel
B atau Limfosit B. Sel B ini berasal dari sumsum tulang dan akan
menghasilkan sel Plasma lalu menghasilkan Antibodi. Antibodi
inilah yang akan melindungi tubuh kita dari infeksi ekstraselular,
virus dan bakteri, serta menetralkan toksinnya.
b. Sistem Imun Spesifik Selular
Pada sistem imun ini, sel T atau Limfosit T yang paling berperan.
Sel ini juga berasal dari sumsum tulang, namun dimatangkan di
Timus. Fungsi umum sistem imun ini adalah melawan bakteri yang
hidup intraseluler, virus, jamur, parasit, dan tumor. Sel T nantinya
akan menghasilkan berbagai macam sel, yaitu sel CD4+ (Th1, Th2),
CD8+, dan Ts (Th3).
D. Definisi Stressor
Stressor adalah suatu keadaan atau peristiwa yang tidak
mengenakkan bagi seseorang, oleh karena mengharuskan seseorang untuk
beradaptasi.
Bentuk dari stressor diantaranya:
1. Frustasi
Frustasi adalah suatu akibat dari kehilangan sesuatu yang dicintai.
Contoh:
o Usaha yang bangkrut.
o Gagal jadi Kepala Desa
2. Konflik
Konflik terjadi bila kita tidak dapat memilih antara dua atau lebih
macam kebutuhan atau tujuan. Contoh:
o Mau sekolah atau nikah?
o Menjadi ibu rumah tangga atau bekerja?

6
3. Tekanan
Tekanan sehari-hari biarpun kecil, tetapi bila bertumpuk-tumpuk dapat
menjadi stres yang hebat, bisa berasal dari dalam ataupun dari luar.
Contoh:
o Dalam: cita-cita yang terlalu tinggi dan kita mengerjanya tanpa
ampun.
o Luar : orang tua menuntut nilai rapot yang bagus.
4. Kritis
Kritis adalah suatu keadaan yang mendadak menimbulkan stres pada
seseorang individu atau kelompok. Contoh:
o Kematian.
o Kecelakaan.
o Penyakit yang memerlukan operasi, dan sebagainya.
E. Konsep Stressor
Menurut Mojan (1997) stresor dapat menghambat profelirasi
limfosit. Penelitian lain menunjukkan bahwa stres dapat menurunkan
jumlah subset sel-T, terutama CD-4 dan IL-2 (Batuman, 1990 ; Altman,
1990). Berkurangnya IL-2 akan mengurangi aktivitas dan mengakibatkan
sel T lebih toleran (Altman, 1990).
Produksi ACTH meningkat pada keadaan stres. Peningkatan ACTH
dapat mengaktifkan korteks adrenal untuk mensekresi hormon
glukokortikoid, terutama kortisol (hidrokortison). Kortisol beredar dalam
plasma, dalam bentuk bebasdan terikat padaprotein. Protein utama yang
mengikat kortisol disebut transkortin atau globulin pengikat
kortikostreroid. Kortisol berperan dalam memobilisasi zat yang diperlukan
untuk metabolisme sel; menekan sintesis protein, termasuk sintesis
immunoglobulin; menurunan populasi eusinofil, basofil, limfosit dan
makrofag dalam darah tepi. Dosis kortisol yang tinggi dapat menimbulkan
atrofi jaringan limfosit dalam timus, limfa, dan kelenjar limfe
(Mc.Cance,1996)
Bila immunogen memasuki tubuh, maka immunogen tersebut
ditangkap oleh makrofag. Makrofag memberian antigen (Imunogen) epada

7
limfosit T, yang secara bersamaan menghasilkan dan melepaskan IL-1,
yaitu limfokin protein yang mengaktifkan subset sel-T, ang mempunyai
peran pembantu (T-Helper) . Sel Th mensekresikan IL-2 (suatu protein
yang mengaktifkan proliferasi sel T menjadi lebih banyak). Sel Th dapat
mengaktifkan sel B untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma (sel B
efektor). Kemudian sel plasma akan menghasilkan antibodi terhadap
antigen (imunogen) yang memasuki sistem imun tersebut. Menurut Bear
(1996) keberadaan antibodi akan menurunkan efek kortisol terhadap
degredasi dan reaksi spesifik pada molekul antigen.
Jadi modulator versus stressor merupakan suatu hubungan
keterkaitan antara Imunomodulator yang mempunyai fungsi sebagai obat atau
bahan yang memiliki efek pada respon imun dengan stressor yaitu suatu
keadaan atau peristiwa yang tidak mengenakkan bagi seseorang, oleh karena
mengharuskan seseorang untuk beradaptasi. Dari keterkaitan itu
imunomodulator dapat menghambat stress masuk ke dalam sistem tubuh
yaitu dengan melakukan pengaturan (penyesuaian) respon imun sehingga
mencapai tingkat yang dikehendaki (tidak melampaui batas).
2.2 Regulator Faal Sel
Sejauh ini diyakini bahwa kerja sel T regulator terjadi melalui
mekanisme kontak antar sel. Kontak antar sel ini memberikan sinyal yang
dapat mengaktifkan sel T reg melalui jalur TCR (T cell receptor). Semua
penelitian yang menggunakan hewan dan manusia sebagai bahan percobaan
telah melaporkan bahwa meknisme kerja sel T reg memerlukan kontak antara
sel T reg dengan sel responder. Sel responder yang dikultur tanpa kehadiran
T reg akan berproliferasi sangat cepat, namun dengan adanya T reg proliferasi
dapat dihentikan secara sempurna. Para ilmuwan menduga kontak antar sel
yang menimbulkan sinyal melalui TCR akan mempengaruhi sel T reg
mengekspresikan molekul pada permukaannya yang digunakan untuk
melakukan supressor. Namun, meskipun para ilmuwan berusaha dengan
untuk mengetahui molekul yang terkspresi pada permukaan sel, sejauh ini
masih belum diketahui jawabannya. Sementara ini diyakini T reg
menghambat aktivasi dan proliferasi sel responder dengan menekan sintesis

8
IL-2 sel. Sel T regulator diyakini mempunyai asal yang berbeda-beda. Salah
satu sel T regulator yang disebut sebagai ”natural atau profesional” diketahui
terbentuk di dalam organ timus dan mempunyi molekul yang ditandai dengan
CD4+CD25+Foxp3+. CD25 merupakan rantai α dari reseptor IL-2.
Thymectomy yang dilakukan pada mencit yang berumur kurang dari tiga hari
akan kehilangan T reg pada darah maupun organ limfoid periferal. Ketiadaan
sel T reg ini akan mengakibatkan munculnya penyakit autoimun yang
ditandai dengan kerusakan auto aggressive. Hilangnya sel T reg dari sirkulasi
juga menimbulkan hilangnya homeostasis dan rusaknya mekanisme
kekebalan.
Sel T regulator yang dibentuk oleh timus ini mempunyai karakter yang
sangat berbeda dengan sel konvensional yang umumnya mempunyai TCR
dengan sifat autoreaktif. Sel T regulator mempunyai proporsi 5-10% pada
populasi CD4 yang berada pada sirkulasi darah maupun yang homing pada
organ limfoid sekunder. Secara morfologi sel T regulator tidak menunjukkan
perbedaan yang besar dibanding sel T konvensional yang lain, namun secara
umum sel T reg mempunyai ukuran sedikit lebih kecil dari sel limfosit
lainnya. Foxp3 mempunyai peran sebagai faktor perkembangan sel T
regulator dan sekaligus mengendalikan fungsinya. Mencit yang dihapus gen
Foxp3-nya akan mengalami autoimun yang parah meskipun ekspresi molekul
CD25 dalam keadaan normal. Mencit Foxp3-/- akan mati pada umur 4-5
minggu setelah kelahiran oleh adanya autoimun yang sangat parah yang
ditandai dengan hilangnya homeostasis dan terjadi proliferasi sel-sel limfosit
yang melebihi keadaan normal.
Cacat genetik yang terkait dengan Foxp3 adalah IPEX
(immunodysregulation, poly-endocrinopathy, Enteropati, sindrom X-linked)
merupakan penyakit langka pada manusia. IPEX terpaut oleh kromosom X
(X-linked). Cacat genetik IPEX ada anak-anak, dicirikan oleh penyakit
autoimun yang disebabkan oleh mutasi gen Foxp3. Analisis yang sangat teliti
pada pasien IPEX dan mencit knockout gen Foxp3 menunjukkan bukti
kurangnya sel T regulator dari dua model tersebut. Kurangnya sel T regulator
mengakibatkan hilangnya daya penekanan (suppression) terhadap sel-sel

9
autireaktif. Mencit Foxp3-/- dapat disembuhkan dengan mentransfer sel T
regulator CD4+CD25+Foxp3+ yang berasal dari mencit normal. Secara
eksklusif, Foxp3 pada mencit dipresentasikan oleh sel T CD4+CD25+ dan
mempunyai daya tekan terhadap sel T konvensional CD4+CD25-. Pada
mencit, Foxp3 penting untuk perkembangan sel T regulator sekaligus
menentukan adanya fungsi sebagai sel repressor. Temuan Foxp3 ini
membedakan sel T regulator dari sel T konvensional, karena penanda lain
berupa molekul CD25 maupun GITR tidak hanya diekspresikan oleh sel T
regulator namun juga sel lain yang mengalami aktivasi. Dari data penelitian
sekarang telah diketahui bahwa ekspresi Foxp3 pada mencit berbeda
dibandingkan dengan yang ada pada manusia. Foxp3 pada mencit tidak dapat
diinduksi oleh aktivasi melalui TCR, tetapi pada manusia Foxp3 dapat
diinduksi oleh aktivasi TCR. Penemuan ini menjadi informasi penting
sebagai strategi untuk memperoleh sel T regulator in vitro. Perkembangan
dan mekanisme kerja sel T reg pada manusia dapat dilihat pada Gambar 2.

Keterangan:
Sel T regulator dapat terbentuk dengan berbagai cara. T reg dapat
terbentuk dari perkembangan sel T pada organ timus. T reg yang
berkembang pada timus dikenal dengan nama “professional regulatory
T cell” atau “natural accuring regulatory T cell”, sedangkan yang

10
terbentuk di daerah periferal disebut induced regulatory T cells. a) T
reg mempunyai potensi melakukan supresi terhadap sel efektor. Salah
satu mekanisme supresi adalah mencegah produksi IL-2 disamping
menghambat proliferasi sel target atau responder. T reg dapat secara
langsung melakukan regulasi melalui kontak antar sel tanpa intervensi
APC. b) T reg mencegah sekresi IL-2 oleh efektor dengan intervensi sel
dendritik. c) Sel dendritik yang telah berinteraksi dengan T reg
mempunyai daya supresi terhadap sel efektor sehingga disebut sel
dendritik ”tolerogenik”.
Jadi dapat disimpulkan regulator faal Sel merupakan Sel T regulator
yang ditandai dengan CD4+CD25+Foxp3 memegang peranan kunci pada
sistem toleran tubuh. Sel T regulator ini diperlukan untuk mengendalikan sel
efektor yang teraktivasi. Sel T regulator melakukan fungsinya sebagai
pengendali sel efektor dan pembentuk sistem toleran dengan cara tidak hanya
sebagai supresor namun juga pengatur sistem homeostasis. Sel T regulator
mempunyai daya kendali terhadap sel lain yang terlibat pada sistem imun.
Kemampuan mengendalikan sel lain ini mutlak diperlukan untuk
menghindari terjadinya penyakit autoimun dan penolakan transplantasi. Kerja
sel T regulator mempengaruhi respon imun terhadap alergen namun
melemahkan sel efektor melawan sel tumor dan patogen. Di samping itu pada
beberapa kasus diketahui bahwa sel T regulator juga menyebabkan sel efektor
kehilangan fungsinya. Sampai sekarang mekanisme kerja sel T regulator
secara seluler dan molekuler belum sepenuhnya diketahui, namun ada bukti
tentang pentingnya sel ini dari banyak aspek biologi. Pengetahuan tentang
adanya strategi mengaktifkan dan menginduksi munculnya sel T regulator
dari sel T konvensional membuka kemungkinan untuk melakukan rerkayasa
in vivo sebagai langkah imunoterapi khususnya pada model penyakit
autoimun. Bahasan saat ini merangkum pengetahuan tentang sel T regulator
sebagai imunoterapi dan harapan dimasa depan terhadap pemanfaatan sel ini.

11
2.3 Kebugaran dan Respon Imun
A. Kebugaran
 Definisi
Kebugaran jasmani adalah kesanggupan dan kemampuan tubuh
melakukan penyesuaian ( adaptasi ) terhadap pembebasan fiisk yang
diberikan kepadanya ( dari kerja yang dilakukan sehari-hari ) tanpa
menimbulkan kelelahan yang berlebihan. Tidak menimbulkan
kelelahan yang berarti maksudnya ialah setelah seseorang melakukan
suatu kegiatan / aktivitas, masih mempunyai cukup semangat dan
tenaga untuk menikmati waktu senggangnya dan untuk keperluan-
keperluan lainnya yang mendadak.
 Jenis-Jenis Kebugaran
o Health related fitness : kesegaran jasmani yang berhubungan dengan
kesehatan.
o Motor related fitness : kesegaran jasmani yang berhubungan dengan
ketrampilan.
 Komponen-Komponen
1. Komponen kebugaran yang berhubungan dengan kesehatan
a. Daya tahan paru jantung ( cardiorespiratory endurance)
b. Kekuatan otot (muscle strength)
c. Daya tahan otot (muscle endurance)
d. Fleksibelitas/kelentukan (flexibility)
e. Lomposisi tubuh (body composition)
2. Komponen kebugaran yang berhubungan dengan ketrampilan
a. Kecepatan (speed)
b. Daya ledak (power)
c. Keseimbangan (balance)
d. Kelincahan (agility)
e. Koordinasi (coordination)
f. Dan ditambah komponen kebugaran yang berhubungan dengan
kesehatan.

12
B. Respon Imun
Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian
yang kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut.
Respons imun ini dapat melibatkan berbagai macam sel dan protein,
terutama sel makrofag, sel limfosit, komplemen, dan sitokin yang saling
berinteraksi secara kompleks. Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas
mekanisme pertahanan non spesifik dan mekanisme pertahanan spesifik.
Mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga komponen
nonadaptif atau innate, atau imunitas alamiah, artinya mekanisme
pertahanan yang tidak ditujukan hanya untuk satu jenis antigen, tetapi
untuk berbagai macam antigen. Imunitas alamiah sudah ada sejak bayi
lahir dan terdiri atas berbagai macam elemen non spesifik. Jadi bukan
merupakan pertahanan khusus untuk antigen tertentu.
Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen
adaptif atau imunitas didapat adalah mekanisme pertahanan yang
ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, karena itu tidak dapat
berperan terhadap antigen jenis lain. Bedanya dengan pertahanan tubuh
non spesifik adalah bahwa pertahanan tubuh spesifik harus kontak atau
ditimbulkan terlebih dahulu oleh antigen tertentu, baru ia akan terbentuk.
Sedangkan pertahanan tubuh non spesifik sudah ada sebelum ia kontak
dengan antigen
Jadi dapat disimpulkan hubungan antara kebugaran dengan
respon imun adalah kortisol mempunyai dampak negatif terhadap sistem
kekebalan tubuh, karena kortisol akan menekan peredaran darah T-sel yang
diproduksi oleh kelenjaubuh dar tymus dan B-sel yang dihasilkan oleh sum-
sum tulang belakang. Kedua sel ini bertangung jawab atas kekebalan tubuh
dan melindungi tubuh dari bakteri, virus atau infeksi-infeksi yag akan
menimbulkan penyakit. Olahraga juga sangat mempengaruhi hampir seluruh
fungsi kekebalan tubuh dan membantu merangsang pertumbuhanjenis sel
kekebalan tubuh. Cytokine yang paling umum yaitu interleukin yang akan
meningkat akibat olahraga. Cytokine ini sangat erat kaitannya dengan daya

13
tahan tubuh terhadap infeksi virus dan tumor. Hal inilah yang merupakan
peran penting olahraga dalam menurunkan tingkat stress
2.4 Pola Hidup Sehari-Hari dan Psikoneuroimunologi
Sesuatu yang merupakan akibat pasti memiliki penyebab atau yang
disebut stressor, begitu pula dengan stress, seseorang bisa terkena stress
karena menemui banyak masalah dalam kehidupan sehari-harinya.
Psikoneuroimunologi mendefinisikan bagaimana stress dapat
dipengaruhi oleh pola hidup sehari-hari terutama stressor yang dipicu
dari segi psikologis. Menurut Grant Brecht (2000), penyebab dari stress
dibedakan menjadi dua macam:
1. Penyebab makro, yaitu menyangkut peristiwa besar dalam kehidupan,
seperti kematian, perceraian, pensiun, luka batin, dan kebangkrutan.
2. Penyebab mikro, yaitu menyangkut peristiwa kecil sehari-hari, seperti
pertengkaran rumah tangga, beban pekerjaan, masalah apa yang akan
dimakan, dan antri.
Seperti yang telah diungkapkan di atas, stress dipicu oleh stressor.
Tentunya stressor tersebut berasal dari berbagai sumber, yaitu:
1. Lingkungan
Yang termasuk dalam stressor lingkungan di sini yaitu:
a. Sikap lingkungan, seperti yang kita ketahui bahwa lingkungan itu
memiliki nilai negatif dan positif terhadap prilaku masing-masing
individu sesuai pemahaman kelompok dalam masyarakat tersebut.
Tuntutan inilah yang dapat membuat individu tersebut harus selalu
berlaku positif sesuai dengan pandangan masyarakat di lingkungan
tersebut.
b. Tuntutan dan sikap keluarga, contohnya seperti tuntutan yang sesuai
dengan keinginan orang tua untuk memilih jurusan saat akan kuliah,
perjodohan dan lain-lain yang bertolak belakang dengan keinginannya
dan menimbulkan tekanan pada individu tersebut.
c. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), tuntutan
untuk selalu update terhadap perkembangan zaman membuat sebagian
individu berlomba untuk menjadi yang pertama tahu tentang hal-hal

14
yang baru, tuntutan tersebut juga terjadi karena rasa malu yang tinggi
jika disebut gaptek.
2. Diri sendiri
a. Kebutuhan psikologis yaitu tuntutan terhadap keinginan yang ingin
dicapai
b. Proses internalisasi diri adalah tuntutan individu untuk terus-menerus
menyerap sesuatu yang diinginkan sesuai dengan perkembangan.
3. Pikiran
a. Berkaitan dengan penilaian individu terhadap lingkungan dan
pengaruhnya pada diri dan persepsinya terhadap lingkungan.
b. Berkaitan dengan cara penilaian diri tentang cara penyesuaian yang
biasa dilakukan oleh individu yang bersangkutan.
Penyebab-penyebab stress di atas tentu tidak akan langsung membuat
seseorang menjadi stress. Hal tersebut dikarenakan setiap orang berbeda
dalam menyikapi setiap masalah yang dihadapi, selain itu stressor yang
menjadi penyebab juga dapat mempengaruhi stress. Menurut Kozier & Erb,
1983 dikutip Keliat B.A., 1999, dampak stressor dipengaruhi oleh berbagai
faktor yaitu:
1. Sifat stressor. Pengetahuan individu tentang bagaimana cara mengatasi
dan darimana sumber stressor tersebut serta besarnya pengaruh stressor
pada individu tersebut, membuat dampak stress yang terjadi pada setiap
individu berbeda-beda.
2. Jumlah stressor yaitu banyaknya stressor yang diterima individu dalam
waktu bersamaan. Jika individu tersebut tidak siap menerima akan
menimbulkan perilaku yang tidak baik. Misalnya marah pada hal-hal yang
kecil.
3. Lama stressor, maksudnya seberapa sering individu menerima stressor
yang sama. Semakin sering individu mengalami hal yang sama maka akan
timbul kelelahan dalam mengatasi masalah tersebut.
4. Pengalaman masa lalu, yaitu pengalaman individu yang terdahulu
mempengaruhi cara individu menghadapi masalahnya.

15
5. Tingkat perkembangan, artinya tiap individu memiliki tingkat
perkembangan yang berbeda.
Selain itu adapula beberapa faktor yang juga ikut mempengaruhi stress,
yaitu:
a. Faktor biologis-herediter, kondisi fisik, neurofisiologik dan
neurohormonal.
b. Faktor psikoedukatif/ sosio cultural, perkembangan kepribadian,
pengalaman dan kondisi lain yang memengaruhinya.
2.5 Pengaruh Opiad Tubuh Terhadap Imunitas Tubuh
A. Defenisi Opiad dan Reseptornya
Opiad adalah obat-obat yang berasal dari opium, meliputi bahan
alam morfin, kodein, tebain dan banyak senyawa sejenis semisintetik yang
diturunkan dari obat-obat tersebut.
Opium adalah getah papaver somniferum yang telah dikeringkan
yang banyak ditemukan di Turki dan India. Istilah digunakan untuk
semua obat baik alami maupun sintetik yang dapat menduduki reseptor
opiad di tubuh manusia. istilah opiat digunakan untuk semua obat yang
diekstrak dari tumbuhan opium yang menempati dan bekerja pada reseptor
opioid. Tepung opium terdiri dari berbagai unsur tetapi unsur farmakologi
aktif adalah alkaloid (25 jenis) yang pertama kali diisolasi oleh Sturner
(1803). Alkaloid yang diperoleh dari opium dapat digolongkan kedalam
dua grup yaitu grup fenantren dan benzili isoquinolin. Morfin adalah
alkaloid utama grup fenantren sedangkan papaverin mewakili
isoquoinolin. Istilah endomorfin bersinonim dengan peptide opioid
endogen,tetapi juga menunjuk pada opioid endogenspesifik yaitu Β -
endorfin. Tiga kelompok peptida opioid klasik yang berbeda telah
diidentifikasi yaitu: enkefalin, endorfin dan dinorfin. Masing-masing
kelompok berasal dari suatu prekursor polipeptida yang berbeda dan
memiliki distribusi anatomis yang khas (Goodman &Gilman. 2001).
Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat
berikatan dengan reseptor morfin, misalnya. Opioid disebut juga sebagai
analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk

16
mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan.
Istilah opioid digunakan untuk semua senyawa yang berkaitan dengan
opium. Opioid merupakan senyawa alami atau sintetik yang menghasilkan
efek sepertimorfin. Istilah opioid dicadangkan untuk obat-obatan seperti
morfin dan kodein, yang didapat dari sari buah popi opium. Semua obat
dalam kategori ini bekerja dengan jalan mengikat reseptor spesifik pada
SSP. Untuk menghasilkan efek meniru neurotransmitter peptide endogen,
opiopeptin. Opioid berinteraksi secara stereospesifik dengan reseptor
protein pada membranesel sel tertentu pada ssp, pada ujung saraf perifer
dan pada sel-sel saluran cerna. Efek utama opioid diperantarai oleh 4 famili
reseptor yang ditunjukkan dengan huruf yunanikuno μ, δ, к dan σ. Pada
umumnya kuatnya ikatan berkorelasi dengan analgesia. Sifat-sifat anlgesik
diperantarai oleh reseptor μ, tetapi reseptor к pada kornu dorsalis juga
menyokong enkefalin berinteraksi lebih selektif dengan reseptor δ di
perifer. Reseptor σkurang spesifik, reseptor ini juga mengikat obat-obat
nonopioid seperti halusinogen fensiklidin. Distribusi reseptor opioid
densitas tinggi terdapat pada lima daerah umum ssp yang diketahui terlibat
dalam mengintegrasi pembentukan nyeri. Jalan ini menurun dari
periaquaduktus abu-abu (PAG) menuju kornu dorsalis medulla spinalis.
reseptor ini juga dapat di identifikasikan di perifer.
o Reseptor Opioid dan Endogen
Di dalam tubuh, ternyata ada senyawa opioid endogen. Peptida
opioid endogen merupakan ligan alami untuk reseptor opioid. Pada tahun
1975 diidentifikasi suatu faktor endogen mirip-opiat dan disebut enkefalin.
Segera setelah itu diidentifikasi dinorfin dan endorfin. Peptida opioid
memiliki urutan amino-ujung yang sama yaitu Tyr-Gly-Gly-Phe- (Met
atau Leu) yang disebut “motif opioid”. Dengan ditemukannya ligan
endogen, maka tidak mengherankan jika berikutnya ditemukan reseptor
opioid. Hasil studi mengenai ikatan reseptor dan kloning, diidentifikasi
tiga reseptor opiat utama yaitu µ, δ, κ. Anggota keempat yaitu reseptor
nosiseptin/orfanin FQ (N/OFQ) atau NOP (diidentifikasi tahun 1994).
Keempat reseptor opioid termasuk dalam kelompok reseptor tergandengan

17
protein G (GPCR), dan sama-sama memiliki homologi urutan yang
ekstensif. Hal yang perlu diketahui yaitu reseptor N/OFQ memiliki
struktur yang sangat homolog dengan reseptor opioid klasik, tetapi
memiliki afinitas yang sangat rendah atau tidak memiliki afinitas terhadap
ligan opioid konvensional. Kemiripan struktur reseptor N/OFQ dan ketiga
reseptor opioid klasik paling tinggi di daerah transmembran serta domain
sitoplasma dan paling rendah pada domain ekstrasel yang sangat penting
untuk selektivitas ligan.
Reseptor opioid tersebar di SSP dari konsentrasi paling tinggi
sampai paling rendah adalah globus palidus, substansia abu-abu
periakuaduktal, medial thalamus, amigdala, area pontine, medulla
oblongata, caudatus, putamen, lateral thalamus, hipothalamus, cerebellum
dan girus hipokampus. Menurut Jacquet ada dua reseptor utama di SSP:
1) Reseptor endorfin yang punya affinitas streospesifik untuk opiat yang
memediasi efek analgesi dan katatoni dan sensitif terhadap naloxon
dikenal sebagai reseptor mu.
2) Reseptor yang punya afinitas non streospesifik opiat berhubungan
dengan explosive motor behaviour tetapi insensitif terhadap naloxon
oleh Lord dan Kosterlitz dikenal sebagai reseptor delta.
Reseptor endorfin punya affinitas terhadap morfin dan endorfin bila
ditempati opiat akan menginhibisi aktifitas reseptor kedua. Kebanyakan
opioid yang digunakan secara klinis relatif selektif untuk reseptor µ,
mencerminkan kemiripannya dengan morfin. Namun, perlu diingat bahwa
obat yang relatif selektif pada dosis standar akan berinteraksi dengan
subtipe reseptor lain bila diberikan dalam dosis yang cukup besar, yang
memungkinkan menyebabkan perubahan profil farmakologisnya. Hal ini
terutama berlaku jika dosis ditingkatkan untuk mengatasi toleransi.
Beberapa obat, terutama yang bersifat campuran agonis-antagonis,
berinteraksi dengan lebih dari satu golongan reseptor pada dosis klinis
yang biasa. Kerja obat ini sangat menarik, karena dapat bekerja sebagai
suatu agonis pada satu reseptor dan antagonis pada reseptor lainnya.

18
B. Kandungan Opium
Opium digunakan dengan dihirup atau dengan cara ditusukkan pada
kulit yang akan memberikan efek analgesia, selain itu juga akan
menyebabkan depresi pernafasan dan kematian sesuai dengan derajat
absorbsi yang diberikan. Opium merupakan campuran bahan kimia yang
mengandung gula, protein, lemak, air, lilin nabati alami, lateks, dan
beberapa alkaloid. Adapun alkaloid yang terkandung antara lain morfin
(10%-15%), kodein (1%-3%), noskapin (4%-8%), papaverin (1%-3%),
dan thebain (1%-2%). Beberapa dari alkaloid-alkaloid tersebut banyak
digunakan untuk pengobatan diantaranya: untuk nyeri (morfin dan
kodein), untuk batuk (kodein dan noskapin) dan untuk mengobati spasme
visceral (papaverin). Morfin berhasil diisolasi oleh Seturner pada tahun
1803, kemudian dilanjutkan dengan kodein tahun 1832 lalu papaverin
tahun 1848.
C. Klasifikasi Senyawa Opioid
1. Agonis Reseptor µ
 Alkaloid
1) Morfin
Morfin adalah hasil olahan dari opium/candu mentah.
Morfin merupaakan alkaloida utama dari opium (C17H19NO3).
Morfin rasanya pahit, berbentuk tepung halus berwarna putih atau
dalam bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya dengan cara
dihisap dan disuntikkan. Morfin merupakan agonis reseptor
opioid, dengan efek utama mengikat dan mengaktivasi reseptor
µ-opioid pada sistem saraf pusat. Aktivasi reseptor ini terkait
dengan analgesia, sedasi, euforia, physical dependence dan
respiratory depression. Morfin juga bertindak sebagai agonis
reseptor κ-opioid yang terkait dengan analgesia spinal dan miosis.
Morfin juga mengaktivasi reseptor δ, yang mana memegang
peranan dengan menimbulkan depresi pernafasan seperti opioid.
Efek awal dari Morfin termasuk waktu reaksi melambat,
mengantuk, kesadaran depresi, kinerja yang buruk pada perhatian

19
dibagi dan tugas psikomotor. Para efek akhir dari Morfin
termasuk tidak perhatian, waktu reaksi melambat, konsentrasi
yang buruk, tingkat kesalahan yang lebih besar dalam tes,
kelelahan, gangguan mudah dll. Penyalahgunaan jangka panjang
dari hasil Morfin efek mematikan seperti kerusakan otak karena
efek neurotoksik obat. Ini adalah proses yang panjang dan
menyakitkan untuk mengatasi ketergantungan psikologis pada
Morfin. Ada kemungkinan besar kambuh di penyalahguna
Morfin setelah menghentikan penggunaannya. Tingkat tinggi
kambuh bersaksi karakteristik adiktif Morfin. Oleh karena itu,
penting untuk tidak menderita dari semua masalah ini dengan
mendapatkan kecanduan Morfin. Ini hanya memberikan sedikit
kesenangan tapi kemudian membunuh seperti racun lambat.
2) Hidromorfon
Hidromorfon adalah derivat morfin dengan potensi 5 kali lebih
besar jika dibandingkan dengan morfin. Jika dibandingkan
dengan morfin, hidromorfon mempunyai efek sedasi yang lebih
besar, efek euphoria yang lebih kecil serta durasi kerja yang lebih
pendek.
3) Kodein
Kodein merupakan obat antitusif kuat yang sering digunakan
pada praktek medis sehari-hari. Sekitar 10% kodein dimetilasi di
hepar menjadi morfin. Hal ini membuat kodein efektif sebagai
analgesik oral. Jika diberikan im efek analgesia 120 mg kodein
setara dengan 10 mg morfin. Pemberian kodein secara iv tidak
disarankan oleh karena kejadian hipotensi yang dikaitkan dengan
efek pelepasan histaminnya cukup besar.
4) Oksikodon
Oksikodon adalah opioid derivat dari thebain yang ditemukan di
Jerman tahun 1916 sebagai salah satu opioid semi sintetik. Terapi
oksikodon untuk nyeri sedang hingga berat sudah terbukti dan
oleh European Association for Palliative Care, oksikodon

20
digunakan sebagai second line alternative drug setelah morfin.
Gejala withdrawal sering didapatkan pada pengguna oksikodon
jangka panjang yang mengalami henti obat seketika. Oleh karena
itu disarankan untuk menghentikan oksikodon bertahap.
5) Hidrokodon
Hidrokodon adalah opioid semisintetik derivat dari kodein dan
thebain. Pertama disintesis di Jerman tahun 1920 yang kemudian
digunakan secara luas sebagai terapi nyeri sedang hingga berat.
Opioid ini selain mempunyai kekuatan analgesik juga
mempunyai efek antitusif yang cukup kuat.
6) Dihidrokodein
Dihidrokodein adalah opioid semisintetik yang ditemukan di
Jerman tahun 1908 yang memiliki struktur kimia menyerupai
kodein. Selain analgesik, obat ini juga memiliki efek antitusif
yang cukup kuat.
7) Heroin (Putaw)
Heroin atau juga dikenal sebagai diasetilmorfin adalah opioid
sintetik sebagai hasil asetilasi dari morfin. Penetrasi cepat ke otak
adalah salah satu keistimewaan obat ini oleh karena kelarutan
lemak serta struktur kimianya yang unik. Heroin sudah tidak
beredar lagi di AS oleh karena potensi ketergantungan fisiknya
yang cukup tinggi. Heroin (diasetilmorfin) termasuk golongan
opioid agonis dan merupakan derivat morfin yang terbuat dari
morfin yang mengalami asetilasi pada gugus hidroksil pada
ikatan C3 dan C6. Heroin mempunyai kekuatan yang dua kali
lebih kuat dari morfin dan merupakan jenis opiat yang paling
sering disalahgunakan orang di Indonesia pada akhir - akhir ini .
Heroin, yang secara farmakologis mirip dengan morfin
menyebabkan orang menjadi mengantuk dan perubahan mood
yang tidak menentu. Walaupun pembuatan, penjualan dan
pemilikan heroin adalah ilegal, tetapi diusahakan heroin tetap

21
tersedia bagi pasien dengan penyakit kanker terminal karena efek
analgesik dan euforik-nya yang baik.
Efek yang timbul akibat penggunaan heroin
Menurut national Institute Drug Abuse (NIDA), dibagi menjadi
efek segera (shortterm) dan efek jangka panjang (long term)
Efek segera (short term) Efek jangka panjang
(long term)
Gelisah HIV, hepatitis
Depresi pernafasan Kolaps vena
Fungsi mental trganggu Infeksi bakteri
Mual dan muntah Penyakit paru
Menekan nyeri (pneumonia, TBC)
o Abortus spontan o Infeksi jantung dan
katupnya
Pengaruh heroin terhadap wanita hamil:
o Menimbulkan komplikasi serius, abortus spontan, lahir
prematur.
o Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik memiliki resiko
tinggi untuk terjadinya SIDS (Sudden Infant Death
Syndrome).
o Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik dapat mengalami
gejala with drawl dalam 24-36 jam setelah lahir. Gejalanya
bayi tambah gelisah, agitasi, sering menguap, bersin dan
menangis, gemetar, muntah, diare dan pada beberapa kasus
terjadi kejang umum.
 Opioid Sintetik
1) Derivat Fenil Piperidin
o Fentanyl
Fentanyl adalah opioid sintetik yang secara struktur mirip dengan
meperidin. Potensial analgesiknya 75-125 kali lebih besar
daripada morfin. Mempunyai onset dan durasi yang lebih cepat
jika dibandingkan dengan morfin hal ini dikarenakan kelarutan

22
lemak fentanyl yang tinggi. Fentanyl dimetabolisme dengan cara
metilasi menjadi norfentanyl, hydroksipropionil-fentanyl dan
hidroksinorpropionil-fentanyl. Diekskresi melalui urin dan dapat
dideteksi 72 jam setelah pemberian iv. Namun <10% tetap tidak
termetabolisme dan diekskresikan melalui urin. Setelah
pemberian bolus iv, fentanyl tersebar terutama pada organ yang
kaya vaskularisasi seperti otak, paru-paru dan jantung. Fentanyl
juga diberikan transdermal dengan sediaan 12,5-100 µg yang
ditujukan terutama pasien postoperatif serta pasien dengan nyeri
kanker. Jika dibandingkan dengan morfin, fentanyl kurang
menyebabkan pelepasan histamin namun lebih sering
mencetuskan bradikardi. Pemberian fentanyl iv secara cepat
dapat mencetuskan otot rigid, batuk bahkan kejang. Fentanyl juga
dapat meningkatkan tekanan intrakranial hingga 6-9 mmHg oleh
karena efek vasodilatasi.
o Sufentanyl
Sufentanyl merupakan analog dari fentanyl dan mempunyai
kekuatan analgesi 5-10 kali lebih besar daripada fentanyl.
Dimetabolisme terutama di hepar melalui proses N-dealkilasi dan
O-demetilasi. Ekskresi terutama di urine dan faeses dengan <1%
dari sufentanyl tidak berubah. Pada pemberian sufentanyl dengan
dosis 0,1-0,4 µg/kgBB memberikan waktu yang lebih lama serta
efek depresi pernafasan yang lebih rendah jika dibandingkan
dengan dosis fentanyl 1-4 µg/kgBB. Jika dibandingkan dengan
opioid yang lain, sufentanyl mempunyai beberapa kelebihan
terutama penurunan kebutuhan oksigen metabolisme di otak serta
aliran darah otak cenderung menurun atau hampir tidak
mengalami perubahan yang berarti.
o Remifentanyl
Remifentanyl adalah agonis selektif reseptor opioid u dengan
potensi analgesi menyerupai fentanyl (15-20 kali lebih poten
daripada alfentanyl). Struktur kimia remifentanyl tergolong unik

23
karena meskipun tergolong derivat fenilpiperidin, remifentanyl
mempunyai gugus ester. Sehingga metabolism remifentanyl juga
terjadi oleh hidrolisis enzim esterase di plasma maupun jaringan
yang lain menjadi metabolit yang inaktif. Onset yang cepat,
waktu pulih yang singkat dan efek yang relative non kumulatif
menjadikan remifentanyl opioid yang sering dipakai intraop di
negara-negara maju saat ini. Hasil metabolisme remifentanyl
adalah asam remifentanyl, yang juga agonis reseptor u dengan
potensi 1/300-1/4600 dari asalnya. Hasil metabolit yang lain
adalah N-dealkilasi remifentanyl yang juga diekskresikan
terutama melalui urin. Dosis 0,25-1 µg/kgBB memberikan efek
analgesia yang memuaskan. Namun pemberian remifentanyl
intratekal tidak disarankan oleh karena adanya glisin pada
vehikulum obat ini. Glisin mempunyai efek menginhibisi
neurotransmitter pada medulla spinalis.
o Petidin
Meperidin atau petidin merupakan opioid sintetik yang bekerja
agonis terhadap reseptor u dan k sebagai derivat dari
fenilpiperidin. Secara struktur, meperidin mempunyai bentuk
menyerupai atropin sehingga beberapa efek atropine juga dimiliki
oleh atropine ini seperti takikardi, midriasis dan antispasmodic.
Morfin mempunyai potensi 1/10 morfin dengan durasi kerja 2-4
jam. Meperidin diabsorbsi baik pada GIT tapi mempunyai
efektifitas ½ jika dibandingkan dengan pemberian IM.
Normeperidin mempunyai waktu paruh eliminasi 15 jam dan
dapat dideteksi di urin 3 hari setelah pemakaian. Normeperidin
mempunyai potensi ½ meperidin sebagai analgesik dan
menstimulasi sistem saraf pusat. Kejang, mioklonus, delirium dan
halusinasi yang dapat terjadi setelah pemberian meperidin adalah
sebagai akibat efek stimulasi saraf pusat oleh normeperidin.
Sekitar 60% meperidin terikat pada protein, sehingga pada pasien
tua terjadi peningkatan jumlah obat bebas pada plasma dan

24
mencetuskan terjadinya peningkatan sensitifitas pada opioid.
Konsentrasi plasma 0,7µg dianggap mampu secara efektif
meghilangkan nyeri post operatif. Selain sebagai analgesia yang
poten, meperidin juga mempunyai efek anti menggigil
postoperatif yang jika dibiarkan lama dapat meningkatkan
konsumsi oksigen pada tubuh. Efek anti menggigil postoperatif
dari meperidin didapatkan sebagai salah satu kerjanya pada
reseptor k2. Selain itu klonidin, ondansetron, dan butorfanol juga
merupakan obat-obatan yang dipakai untuk mengatasi menggigil
setelah operasi. Pemberian meperidin dengan obat-obatan
antidepresan dapat mencetuskan sindrom serotonin yaitu suatu
ketidakstabilan sistem saraf otonom yang ditandai hipertensi,
takikardi, diaphoresis, hipertermi, perubahan perilaku, agitasi dan
perasaan bingung.
2) Derivat Difenilheptan
o Methadon
Methadon merupakan agonis opioid sintetik yang digunakan
untuk penanganan nyeri kronik berat terutama penanganan
ketergantungan opioid oleh karena efek ketergantungannya yang
rendah, penyerapan lewat oral yang bagus, onsetnya relatif cepat
dan durasinya lama. Methadone 20mg iv dapat menghasilkan
analgesia hingga >24jam. Dimetabolisme terutama di hepar
menjadi metabolit inaktif yang selanjutnya akan diekskresikan
melalui urin dan empedu.
o Propoksifen
Struktur propoksifen secara umum sama dengan methadone
sebagai salah satu agonis opioid yang poten. Dimana dosis oral
90-120 mg menghasilkan efek analgesia setara dengan 60 mg
kodein atau 650 mg aspirin. Propoksifen diserap dengan baik
melalui GIT yang kemudian dimetabolisme terutama di hepar.
Efek samping yang utama adalah vertigo, sedasi, mual dan
muntah.

25
2. Agonis-Antagonis Campuran
 Alkaloid Semi Sintetik
Nalbufin adalah agonis-antagonis opioid yang secara kimia mirip
dengan oksimorfon dan nalokson. Nalbufin dimetabolisme terutama
di hepar. Efek samping yang paling sering adalah sedasi pada
pemberian nalbufin. Tidak seperti pentazosin dan butorfanol,
nalbufin tidak menyebabkan pelepasan katekolamin sehingga
hemodinamik pasien relatif stabil. Oleh karena itu nalbufin
merupakan pilihan yang tepat untuk digunakan pada pasien dengan
gangguan jantung, seperti pada tindakan kateterisasi jantung.
 Opioid Sintetik
1) Derivat Benzomorfan
Pentazocin
Pentazosin merupakan agonis dan antagonis reseptor opioid yang
lemah pada reseptor k dan d dengan potensi sekitar 1/5 dari obat
nalorfin. Pentazosin diserap baik melalui rute oral maupun
perenteral yang kemudian dimetabolisme di hepar melui proses
oksidasi menjadi glukoronid inaktif yang akan diekskresikan
terutama melalui urin dan kemudian empedu. Dengan dosis 10-
30mg iv atau 50mg oral, setara dengan kodein 60 mg, mampu
mengatasi nyeri sedang. Efek samping yang sering dari
pentazosin adalah sedasi yang kemudian diikuti dengan
diaphoresis dan pusing. Pentazosin menyebabkan pelepasan
katekolamin pada tubuh kita sehingga Pentazosin sebesar 20-30
mg im mempunyai efek analgesia, sedasi dan depresi pernafasan
yang setara dengan 10 mg morfin. Tidak seperti morfin,
pentazosin tidak memiliki efek miosis pada pupil mata.
2) Derivat Morfinian
Butorfanol
Butorfanol adalah agonis dan antagonis opioid yang menyerupai
pentazosin. Efek agonisnya 20 kali lebih besar dan efek
antagonisnya 10 hingga 30 kali lebih besar jika dibandingkan

26
dengan pentazosin. Butorfanol memiliki afinitas yang lemah
sebagai antagonis pada reseptor u dan afinitas yang sedang pada
reseptor k untuk menghasilkan analgesia dan efek anti menggigil.
Pada prakteknya butorfanol 2-3 mg im menghasilkan efek
analgesia dan depresi pernafasan setara dengan morfin 10 mg.
Butorfanol terutama dimetabolisme menjadi metabolit inaktif
hidroksibutorfanol yang diekskresi terutama di empedu dan
sebagian kecil pada urin. Efek samping yang paling sering adalah
sedasi, mual dan diaphoresis. Efek pelepasan katekolamin yang
dimiliki pentazosin juga dimilikioleh butorfanol ini sehingga
akan didapat peningkatan laju nadi dan tekanan darah pada
pasien.
3. Antagonis Reseptor µ
o Nalokson
Nalokson adalah antagonis nonselektif pada ketiga reseptor opioid.
Dengan dosis 1-4mg/kgBB iv dapat membalikkan efek overdosis akibat
obat-obatan opioid. Durasi kerja nalokson sekitar 30-45 menit,
sehingga pemberian continuous 5 mg/kgBB iv/jam perlu dilanjutkan
untuk mendapatkan efek yang maksimal. Nalokson dimetabolisme
terutama di hepar melalui proses konjugasi dengan asam glukoronat
menjadi nalokson-3-glukoronid. Pemberian nalokson iv yang cepat
dapat menimbulkan kejadian mual dan muntah. Oleh karena itu
pemberian bolus harus pelan yaitu 2-3 menit. Efek stimulasi
kardiovaskuler juga sering ditemukan pada pemberian nalokson ini
sebagai akibat dari meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatis dan
rangsangan nyeri yang kembali terasa. Peningkatan aktifitas sistem
saraf simpatis ini dimanifestasikan dengan takikardi, hipertensi, edema
paru serta disritmia jantung.
o Nalmefen
Nalmefen adalah antagonis reseptor opioid 6-methilen analog dan
equipoten dengan naltrekson. Dosis yang direkomendasikan 15-25mg
iv yang diberikan titrasi tiap 2-5 menit hingga efek sesuai dengan yang

27
diinginkan denga dosis total tidak boleh melebihi 1 mg/kgBB.
Kelebihan nalmefen jika dibandingkan dengan naltrekson adalah durasi
kerjanya yang lebih lama. Nalmefen dimetabolisme di hepar melalui
proses konjugasi dan diekskresikan terutama di urin.
4. Opioid Endogen
Selain opioid yang berasal dari luar (eksogen) yang telah
diterangkan diatas sebelumnya, di tubuh kita juga mengasilkan
senyawa opioid yang secara alami terbentuk yang biasa disebut opioid
endogen. Ada beberapa struktur opioid endogen yang telah ditemukan
yaitu: Golongan Enkefalin adalah salah satu jenis opioid endogen yang
merupakan derivat dari prekursornya yaitu proenkefalin. Setiap
molekul proenkefalin mengandung empat rantai met-enkefalin, satu
rantai leu-enkefalin dan beberapa peptide yang menyerupai enkefalin
namun dengan molekul yang lebih besar. Golongan enkefalin ini secara
umum bekerja seletif pada reseptor δ. Senyawa ini ditemukan di
medulla kelenjar adrenal dan di ujung saraf yang mengandung
katekolamin. Golongan enkefalin bekerja di reseptor opioid presinaps
pada neuron nosiseptif yang mengandung neurotransmitter seperti
substansi P. Secara alami golongan enkefalin dihidrolisa oleh dengan
cepat oleh enzim peptidase di plasma darah kita.
Prodinorfin yang juga biasa disebut sebagai proenkefalin B
mengandung senyawa dinorfin A dan dinorfin B. Keluarga dinorfin
terutama berikatan dengan reseptor κ dan distribusi lokasinya hamper
sama dengan enkefalin. Dinorfin yang meningkat ini juga dapat
mencetuskan hiperalgesia yang lama. Hal ini dsisebabkan oleh karena
dinorfin A juga dapat mengaktivasi NMDA reseptor kompleks.
Proopiomelanocortin (POMC) merupakan salah satu prekursor
yang banyak ditemukan di hipotalamus dan kelenjar pituitari, dimana
dalam satu molekulnya terdapat peptida opioid dan nonopioid. Struktur
N-terminal POMC menyerupai met-enkefalin namun POMC tidak
berubah menjadi met-enkefalin. 31 asam amino pada rantai terakhir dari
POMC akan berubah menjadi β-endorfin yang merupakan opioid

28
endogen yang sangat penting yang berikatan dengan reseptor µ. POMC
juga berubah menjadi beberapa hormon nonopioid seperti
adrenokortikotropik hormon (ACTH), melanosit-stimulating hormon
(MSH) dan lipotropin.
Proorphanin akan berubah menjadi orphanin FQ (yang disebut
juga sebagai nosiseptin), sebuah peptide yang mengandung 17 jenis
asam amino. Meskipun proorphanin mempunyai struktur yang homolog
dengan ketiga jenis yang lainnya namun orphanin tidak berikatan
dengan reseptor µ, κ, atau δ. Orphanin berikatan dengan reseptor
coupling protein-G (NOP). Dan menyebabkan respon seluler yang
menyerupai opioid yang lain, termasuk hambatan pada adenil siklase,
terbukanya gerbang Kalium serta blokade gerbang Kalsium tipe-N.
Orfanin FQ ditemukan di tempat yang tidak biasa seperti di
hippocampus dan korteks sensoris. Orphanin FQ mempunyai efek
antianalgesik ketika memproduksi analgesia spinal.
Golongan Endomorfin merupakan opioid agonis yang
mempunyai afinitas tinggi dan selektifitas yang tinggi pada reseptor µ.
Molekul prekursor dari endomorfin masih belum dapat ditemukan.
Terdapat 2 macam endomorfin dibedakan menurut struktur kiminya,
endomorfin 1 dan endomorfin 2. Pada studi in vivo diketahui bahwa
endomorfin 1 bekerja melalui stimulasi reseptor µ2 sementara
endomorfin 2 titik tangkap kerjanya melalui reseptor µ dan κ. Keduanya
baik endomorfin 1 maupun endomorfin 2 bekerja menurunkan potensial
aksi pada medulla daerah rostral ventrolateral, daerah yang menjadi
pusat pengatur tekanan darah. Sementara di perifer endomorfin
menurunkan noreprinefrin yang dilepaskan neuron simpatis vaskuler.
D. Mekanisme Opium Pada Tubuh
Kondisi sehat dapat dipertahankan karena individu mempunyai
ketahanan tubuh yang baik. Stres terjadi karena tidak adekuatnya
kebutuhan dasar manusia yang akan dapat bermanifes pada perubahan
fungsi fisiologis, kognitif, emosi dan perilaku. Paradigma yang banyak
dianut pada saat ini adalah memfokuskan pada hubungan antara perilaku,

29
sistem saraf pusat (SSP), fungsi endokrin dan imunitas. Mekanisme
hubungan tersebut diperantarai oleh mediator kimiawi seperti
glukokortikoid, zat golongan amin dan berbagai polipeptida melalui aksis
limbik hipotalamus-hipofisis-adrenal yang dapat menurunkan respon imun
seperti aktifitas sel natural killer (NK), interleukin (IL-2R mRNA), TNF-
dan produksi interferon gama (IFN).
Pemakaian kronis opium dapat menyebabkan kelainan SSP berupa
bertambahnya jumlah reseptor opiat yang menjadi aktif diotak sesuai
dengan jumlah opiat yang ada dalam darah. Dengan PET Scan (Positron
Emission Tonografi) dapat diketahui topografi struktur otak yang
mengandung reseptor opiat dan kaitannya dengan efek obat pada tubuh.
Dengan PET Scan dapat pula diketahui bahwa penggunaan opiat secara
kronis dapat merangsang penambahan jumlah reseptor opiat diotak.
Jumlah reseptor yang banyak ini mengakibatkan timbulnya craving
(Sugesti rasa rindu pada narkotik). Pemakaian opiat yang terus menerus
akan menimbulkan kerusakan sistem keseimbangan alami opiat endogen
yang dihasilkan otak yang pada gilirannya menyebabkan kelainan SSP
berupa distres fisis dan aspek sekunder psikologis. Telah diketahui bahwa
sel noradrenergik lokus Sereleus (LS) (Nucleus pigmentosus) yang berada
didasar ventrikel IV adalah satu sistem noradrenergik utma otak yang
berperan dalam respons stress perilaku seseorang.
Bila opioid dipakai secara kronis maka sel sel LS beradaptasi
terhadap opiat dengan menaikkan jumlah CAMP dan protein kinase intra
sel sehingga sel menjadi aktif kembali dan menunjukkan toleransi terhadap
pemberian berikutnya. Jadi opiat dikeluarkan dari reseptor dengan cara
menmberi antagonis (naloxon, naltreon) maka sel-sel LS menjadi
hiperaktif dan banyak melepaskan hormon stress nor adrenalin otak yang
akan memicu gejala putus obat (withdrawal) dikenal dengan istilah Cold
Turkey oleh karena spasmo dari otot otot polos rambut (merinding).
Bagaimana proses adaptasi selseol LS bisa terjadi pada penggunaan opiat
kronis belum sepenuhnya diketahui, diduga adanya neuropeptida
kolesistokinin dan N metil D Aspartat (NMDA) sebagai reseptor glutamat

30
yang berperan sebagai sistem neurotransmitter anti opiat yang
menimbulkan toleransi opiat. Kemungkinan lain adalah pengaruh negatif
penggabungan reseptor glutamat metabotropik grup II dan III dan produksi
cAMP memberi kontribusi peningkatan cAMP. Berdasarkan analisis ligan
radio isotop seperti Naloxon H3, fentanil isotiosinat, diinditifikasi adanya
reseptor pada permukaan limposit. Dan makrofag/ monosit manusia.
Diketahui fungsi makrofag antara lain mensekrei sitokin interleukin I(II-I)
sebagai substansi aktif pengatur fungsi tubuh penting melalui hormon
pelepas kortikotropin maupun sel LS dalam sirkuit saraf komplex yang
nengatur suhu badan, makanan, pola tidur, dan perilaku seseorang.
Morfin sendiri dapat menghambat proliferasi makrofag sehingga
dapat dipahami kekurangan sitokin interleukin (II-I) akan menimbulkan
gangguan terhadap respons stress melalui mekanisme seperti diatas. Jadi
ketergantungan obat merupkan gangguan fisiologi yang meliputi
desensitisasi dan penambahan reseptor Mu desensitisasi rseptor asam
amino glutamat bahkan termasuk supressi sistem imun sitokin II-I. Dalam
hal ketergantungan dan toleransi tampaknya ada perbedaan antara masing-
masing reseptor opioid. Pada reseptor Mu agonis selalu memudahkan
toleransi dan ketergantungan, pada reseptor K toleransi ada tetapi
ketergantungan kurang menonjol, sementara reseptor delta agonis juga
kurang ketergantungan.
E. Efek Samping Opiad yang Ditimbulkan
Mengalami pelambatan dan kekacauan pada saat berbicara,
kerusakan penglihatan pada malam hari, mengalami kerusakan pada liver
dan ginjal, peningkatan resiko terkena virus HIV dan hepatitis dan
penyakit infeksi lainnya melalui jarum suntik dan penurunan hasrat dalam
hubungan sex, kebingungan dalam identitas seksual, kematian karena
overdosis.
1. Gejala Intoksitasi (Keracunan) Opioid
Konstraksi pupil (atau dilatasi pupil karena anoksia akibat
overdosis berat) dan satu (atau lebih) tanda berikut, yang berkembang

31
selama, atau segera setelah pemakaian opioid, yaitu mengantuk atau
koma bicara cadel, gangguan atensi atau daya ingat.
Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna
secara klinis misalnya: euforia awal diikuti oleh apatis, disforia, agitasi
atau retardasi psikomotor, gangguan pertimbangaan, atau gangguan
fungsi sosial atau pekerjaan yang berkembang selama, atau segera
setelah pemakaian opioid.
2. Gejala Putus Obat
Gejala putus obat dimulai dalam enam sampai delapan jam
setelah dosis terakhir. Biasanya setelah suatu periode satu sampai dua
minggu pemakaian kontinu atau pemberian antagonis narkotik.
Sindroma putus obat mencapai puncak intensitasnya selama hari kedua
atau ketiga dan menghilang selama 7 sampai 10 hari setelahnya. Tetapi
beberapa gejala mungkin menetap selama enam bulan atau lebih lama.
3. Gejala Putus Obat Dari Ketergantungan Opioid
Kram otot parah dan nyeri tulang, diare berat, kram perut, rinorea
lakrimasipiloereksi, menguap, demam, dilatasi pupil, hipertensi
takikardia disregulasi temperatur, termasuk pipotermia dan hipertermia.
Seseorang dengan ketergantungan opioid jarang meninggal akibat
putus opioid, kecuali orang tersebut memiliki penyakit fisik dasar yang
parah, seperti penyakit jantung.

32

Anda mungkin juga menyukai