Anda di halaman 1dari 47

BAB III

PEMBAHASAN
3.1 Model Konseptual dan Teori Keperawatan Roy (Adaptation Model)

3.1.1 Sejarah

Sister Calista Roy

(Galih Priambodo, 2013)

Sister Calista Roy adalah seorang perawat dari Saint Joseph of


Carondelet. Beliau dilahirkan pada tanggal 14 Oktober 1939 di Los Angeles
California. Roy menyelesaikan pendidikan Diploma Keperawatan pada tahun
1963 di Mount Saint Mary’s College Los Angeles dan menyelesaikan Master
Keperawatan di California University pada tahun 1966. Roy menyelesaikan
PhD Sosiologi pada tahun 1977 di Universitas yang sama (Yesi Ariani, 2011).

Dalam sebuah seminar dengan Dorrothy E. Johnson, Roy tertantang


untuk mengembangkan sebuah model konsep keperawatan. Roy memulai
pekerjaan dengan teori adaptasi keperawatan pada tahun 1964 ketika beliau
lulus dari University of California Los Angeles. Konsep adaptasi
mempengaruhi Roy dalam kerangka konsepnya yang sesuai dengan
keperawatan. Dimulai dengan pendekatan teori sistem, Roy menambahkan
kerja adaptasi dari Helsen (1964) seorang ahli fisiologis-psikologis untuk mulai

13
membangun pengertian konsepnya. Helsen mengartikan respon adaptif sebagai
fungsi dari datangnya stimulus sampai tercapainya derajat adaptasi yang
dibutuhkan individu. Derajat adaptasi di bentuk oleh dorongan tiga jenis
stimulus, yaitu fokal stimuli, konsektual stimuli, dan residual stimuli (Yesi
Ariani, 2011).

Roy mengkombinasikan teori adaptasi Helsen dengan definisi dan


pandangan terhadap manusia sebagai sistem yang adaptif. Selain konsep-
konsep tersebut, Roy juga mengadaptasi nilai “Humanisme” dalam model
konseptualnya yang berasal dari konsep A.H. Maslow untuk menggali
keyakinan dan nilai dari manusia. Menurut Roy, humanisme dalam
keperawatan adalah keyakinan terhadap kemampuan koping manusia yang
dapat meningkatkan derajat kesehatan (Yesi Ariani, 2011).

Sebagai model yang berkembang, Roy menggambarkan kerja dari ahli-


ahli lain di area adaptasi seperti Dohrenwend (1961), Lazarus (1966),
Mechanic (1970), dan Selye (1978). Setelah beberapa tahun, model ini
berkembang menjadi suatu kerangka kerja pendidikan keperawatan, praktek
keperawatan, dan penelitian. Tahun 1970, model adaptasi keperawatan
diimplementasikan sebagai dasar kurikulum sarjana muda keperawatan di
Mount Saint Mary’s College. Sejak saat itu lebih dari 1.500 staf pengajar dan
mahasiswa-mahasiswa terbantu untuk mengklarifikasi, menyaring, dan
memperluas model. Penggunaan model praktek juga memegang peranan
penting untuk klarifikasi lebih lanjut dan penyaringan model.

Sebuah studi penelitian pada tahun 1971 dan survey penelitian pada
tahun 1976-1977 menunjukkan beberapa penegasan sementara dari model
adaptasi. Perkembangan model adaptasi keperawatan dipengaruhi oleh latar
belakang Roy dan profesionalismenya. Secara filosofi, Roy mempercayai
kemampuan bawaan, tujuan, dan nilai kemanusiaan. Pengalaman klinisnya
telah membantu perkembangan kepercayaannya itu dalam keselarasan dari
tubuh manausia dan spiritual. Keyakinan filosofi Roy lebih jelas dalam
kerjanya yang baru pada model adaptasi keperawatan.

14
Ketika bekerja sebagai perawat anak, Roy melihat suatu perubahan besar
pada anak dan mereka berkemampuan untuk beradaptasi dalam respon yang
lebih besar terhadap perubahan fisik dan psikologis. Roy mengembangkan
dasar konsep keperawatannya pada tahun 1964-1966 dan baru
dioperasionalkan pada tahun 1968. Pada saat itu Mount Saint Mary’s College
mengadopsi teori adaptasi sebagai dasar filosofi kurikulum keperawatannya.
Roy menjabat sebagai asisten Professor pada Departemen Nursing di Mount
Saint Mary’s College pada tahun 1982.

3.1.2 Definisi dan Konsep Mayor

Konsep mayor yang membangun kerangka konseptual model adaptasi


Roy, antara lain yaitu:

1. Sistem, adalah kesatuan dari beberapa unit yang saling berhubungan dan
membentuk satu kesatuan yang utuh dengan ditandai adanya input, kontrol,
proses, output, dan umpan balik.
2. Derajat adaptasi, adalah perubahan tetap sebagai hasil dari stimulus fokal,
konstektual, dan residual dengan standar individual sehingga manusia
dapat berespon adaptif sendiri.
3. Problem adaptasi, adalah kejadian atau situasi yang tidak adekuat terhadap
penurunan atau peningkatan kebutuhan.
4. Stimulus fokal, adalah derajat perubahan atau stimulus yang secara
langsung mengharuskan manusia berespon adaptif. Stimulus fokal
merupakan presipitasi perubahan tingkah laku.
5. Stimulus konstektual, adalah seluruh stimulus lain yang menyertai dan
memberikan konstribusi terhadap perubahan tingkah laku yang disebabkan
atau di rangsang oleh stimulus fokal.
6. Stimulus residual, adalah seluruh faktor yang mungkin memberikan
konstribusi terhadap perubahan tingkah laku, akan tetapi belum dapat di
validasi.
7. Regulator, adalah subsistem dari mekanisme koping dengan respon
otomatik melalui saraf, kimia, dan proses endokrin.

15
8. Cognator adalah subsistem dari mekanisme koping dengan memproses
input melalui cara kognitif seperti persepsi, proses informasi, belajar,
keputusan, dan emosi.
9. Model efektor adaptif, adalah kognator yang terdiri atas fisiologikal, fungsi
peran, interdependensi, dan konsep diri.
10. Respon adaptif, adalah respon yang meningkatkan intergritas manusia
dalam mencapai tujuan manusia untuk mempertahankan kehidupan dan
pertumbuhan reproduksinya.
11. Fisiologis, adalah suatu kebutuhan dasar dimana proses adaptasi dilakukan
untuk mengatur cairan dan elektrolit, aktivitas dan istirahat, eliminasi,
nutrisi, sirkulasi dan pengaturan terhadap suhu, sensasi, dan proses
endokrin.
12. Konsep diri, adalah seluruh keyakinan dan perasaan yang dianut individu
dalam satu waktu berbentuk persepsi, partisipasi terhadap reaksi orang lain,
dan tingkah laku langsung, termasuk pandangan terhadap fisiknya (body
image dan sensasi diri).
13. Penampilan peran, adalah penampilan fungsi peran yang berhubungan
dengan tugasnya di lingkungan sosial.
14. Interdependensi, adalah hubungan individu dengan orang lain yang penting
dan sebagai support sistem. Di dalam model ini juga termasuk bagaimana
cara memelihara integritas fisik dengan pemeliharaan dan pengaruh belajar.

3.1.3 Asumsi Dasar Model Adaptasi Roy

Model adaptasi dari Roy ini dipublikasikan pertama kali pada tahun 1970
dengan asumsi dasar model teori ini, adalah sebagai berikut (Yesi Ariani,
2011):

1. Manusia adalah keseluruhan dari biopsikologi dan sosial yang terus-


menerus berinteraksi dengan lingkungan.
2. Manusia menggunakan mekanisme pertahanan untuk mengatasi
perubahan-perubahan biopsikososial.

16
3. Setiap orang memahami bagaimana individu mempunyai batas
kemampuan untuk beradaptasi. Pada dasarnya manusia memberikan respon
terhadap semua rangsangan baik positif maupun negatif.
4. Kemampuan adaptasi manusia berbeda-beda antara satu dengan yang
lainnya, jika seseorang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan maka ia
mempunyai kemampuan untuk menghadapi rangsangan baik positif
maupun negatif.
5. Sehat dan sakit merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari dari
kehidupan manusia.

Dalam asuhan keperawatan, menurut Roy (1984) sebagai penerima


asuhan keperawatan adalah individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat
yang dipandang sebagai “holistic adaptif system” dalam segala aspek yang
merupakan satu kesatuan. Sistem adalah suatu kesatuan yang dihubungkan
menjadi satu karena fungsinya sebagai kesatuan untuk beberapa tujuan dan
adanya saling ketergantungan dari setiap bagian-bagiannya. Sistem terdiri dari
proses input, output, kontrol, dan umpan balik (Roy, 1991).

1. Input
Roy mengidentifikasi bahwa input sebagai stimulus merupakan kesatuan
informasi, bahan-bahan, atau energi dari lingkungan yang dapat
menimbulkan respon. Input dibagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu:
a. Stimulus fokal, yaitu stimulus yang langsung berhadapan dengan
seseorang dan efeknya akan segera terjadi, contohnya adalah infeksi.
b. Stimulus konstektual, yaitu semua stimulus lain yang dialami
seseorang baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi situasi
dan dapat diobservasi, diukur, dan secara subyektif dilaporkan.
Rangsangan ini muncul secara bersamaan dimana dapat menimbulkan
respon negatif pada stimulus fokal seperti anemia atau isolasi sosial.
c. Stimulus residual, yaitu ciri-ciri tambahan yang ada dan relevan
dengan situasi yang ada tetapi sukar untuk diobservasi, yang meliputi
kepercayaan, sikap, dan sifat individu yang berkembang sesuai
pengalaman yang lalu. Semua hal ini memberikan suatu proses belajar

17
untuk toleransi. Misalnya pengalaman nyeri pada pinggang ada yang
toleransi tetapi ada yang tidak.
2. Kontrol
Proses kontrol seseorang menurut Roy adalah bentuk mekanisme koping
yang digunakan. Mekanisme kontrol ini dibagi atas regulator dan kognator
yang merupakan subsistem.
a. Subsistem regulator
Subsistem regulator mempunyai komponen-komponen yang terdiri
atas input-proses dan output. Input stimulus berupa internal atau
eksternal. Transmiter regulator sistem berupa kimia, neural, atau
endokrin. Refleks otonom adalah respon neural, brain system, dan
spinal cord yang diteruskan sebagai perilaku output dari regulator
sistem. Banyak proses fisiologis yang dapat dinilai sebagai perilaku
regulator subsistem.
b. Subsistem kognator
Stimulus untuk subsistem kognator dapat eksternal maupun internal.
Perilaku output dari regulator subsistem dapat menjadi stimulus umpan
balik untuk kognator subsistem. Kognator kontrol proses berhubungan
dengan fungsi otak dalam memproses informasi, penilaian, dan emosi.
Persepsi atau proses informasi berhubungan dengan proses internal
dalam memilih atensi, mencatat, dan mengingat. Belajar berkorelasi
dengan proses imitasi, reinforcement (penguatan), dan insight
(pengertian yang mendalam). Penyelesaian masalah dan pengambilan
keputusan adalah proses internal yang berhubungan dengan penilaian
atau analisa. Emosi adalah proses pertahanan untuk mencari
keringanan, mempergunakan penilaian, dan kasih sayang.
3. Output
Output dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat diamati, diukur, atau
secara subyektif dapat dilaporkan baik berasal dari dalam maupun dari luar.
Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem. Roy mengkategorikan
output sistem sebagai respon yang adaptif atau respon yang mal-adaptif.
Respon yang adaptif dapat meningkatkan integritas seseorang yang secara

18
keseluruhan dapat terlihat bila seseorang tersebut mampu melaksanakan
tujuan yang berkenaan dengan kelangsungan hidup, perkembangan,
reproduksi, dan keunggulan. Sedangkan respon yang mal-adaptif
merupakan perilaku yang tidak mendukung tujuan ini.
Roy telah menggunakan bentuk mekanisme koping untuk menjelaskan
proses kontrol seseorang sebagai adaptif sistem. Beberapa mekanisme
koping diwariskan atau diturunkan secara genetik (misal sel darah putih)
sebagai sistem pertahanan terhadap bakteri yang menyerang tubuh.
Mekanisme yang lain yang dapat dipelajari seperti penggunaan antiseptik
untuk membersihkan luka. Roy memperkenalkan konsep ilmu keperawatan
yang unik yaitu mekanisme kontrol yang disebut regulator dan kognator
dan mekanisme tersebut merupakan bagian sub sistem adaptasi.
Dalam memahami konsep model ini, Calista Roy mengemukakan konsep
keperawatan dengan model adaptasi yang memiliki beberapa pandangan
atau keyakinan serta nilai yang dimilikinya, diantaranya yaitu:
1) Manusia sebagai makhluk biologi, psikologi, dan sosial yang selalu
berinteraksi dengan lingkungannya.
2) Untuk mencapai suatu homeostatis atau terintegrasi, seseorang harus
beradaptasi sesuai dengan perubahan yang terjadi.
3.1.4 Teori Penegasan
Dalam teorinya, Sister Calista Roy memiliki dua model mekanisme
yaitu:
1. Fungsi atau proses kontrol, yang terdiri dari kognator dan regulator.
Subsistem regulator dan kognator adalah mekanisme adaptasi atau koping
dengan perubahan lingkungan dan diperlihatkan melalui perubahan
biologis, psikologis, dan sosial. Subsistem regulator adalah gambaran
respon yang berkaitan dengan perubahan pada sistem saraf, kimia tubuh,
dan organ endokrin. Sedangkan subsistem kognator adalah gambaran
respon yang berkaitan dengan perubahan kognitif dan emosi, termasuk di
dalamnya persepsi, proses informasi, pembelajaran, membuat alasan,
emosional, dan mempertahankan untuk mencari bantuan.

19
2. Efektor, mekanisme ini dibagi menjadi empat yaitu fisiologi, konsep diri,
fungsi peran, dan interpendensi. Regulator digambarkan sebagai aksi dalam
hubungannya terhadap empat efektor cara adaptasi tersebut.
a) Model fungsi fisiologi
Fungsi fisiologi berhubungan dengan struktur tubuh dan fungsinya.
Roy mengidentifikasi sembilan kebutuhan dasar fisiologis yang harus
dipenuhi untuk mempertahankan integritas, yang dibagi menjadi dua
bagian yaitu model fungsi fisiologis tingkat dasar yang terdiri dari 5
kebutuhan dan fungsi fisiologis dengan proses yang kompleks terdiri
dari 4 bagian, antara lain:
1) Oksigenasi, yaitu kebutuhan tubuh terhadap oksigen dan
prosesnya, seperti ventilasi, pertukaran gas, dan transport gas
(Vairo, 1984 dalam Roy, 1991).
2) Nutrisi, mulai dari proses ingesti dan asimilasi makanan untuk
mempertahankan fungsi, meningkatkan pertumbuhan, dan
mengganti jaringan yang rusak (Servonsky, 1984 dalam Roy,
1991).
3) Eliminasi, yaitu ekskresi hasil dari metabolisme dari instestinal
dan ginjal (Servonsky, 1984 dalam Roy, 1991).
4) Aktivitas dan istirahat, merupakan kebutuhan keseimbangan
aktivitas fisik dan istirahat yang digunakan untuk
mengoptimalkan fungsi fisiologis dalam memperbaiki dan
memulihkan semua komponen-komponen tubuh (Cho, 1984
dalam Roy, 1991).
5) Proteksi atau perlindungan, sebagai dasar pertahanan tubuh
termasuk proses imunitas dan struktur integumen (kulit, rambut,
dan kuku) dimana hal ini penting sebagai fungsi proteksi dari
infeksi, trauma, dan perubahan suhu (Sato, 1984 dalam Roy,
1991).
6) The sense (perasaan), meliputi penglihatan, pendengaran,
perkataan, rasa, dan bau memungkinkan seseorang berinteraksi

20
dengan lingkungan. Sensasi nyeri penting dipertimbangkan dalam
pengkajian perasaan (Driscoll, 1984 dalam Roy, 1991).
7) Cairan dan elektrolit, keseimbangan cairan dan elektrolit di
dalamnya termasuk air, elektrolit, asam basa dalam seluler,
ekstrasel, dan fungsi sistemik. Sebaliknya inefektif fungsi sistem
fisiologis dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit
(Parly, 1984 dalam Roy, 1991).
8) Fungsi syaraf atau neurologis, hubungan-hubungan neurologis
merupakan bagian integral dari regulator koping mekanisme
seseorang. Mereka mempunyai fungsi untuk mengendalikan dan
mengkoordinasi pergerakan tubuh, kesadaran, dan proses emosi
kognitif yang baik untuk mengatur aktivitas organ-organ tubuh
(Robertson, 1984 dalam Roy, 1991).
9) Fungsi endokrin, adalah untuk mengeluarkan hormon sesuai
dengan fungsi neurologis untuk menyatukan dan mengkoordinasi
fungsi tubuh. Aktivitas endokrin mempunyai peran yang
signifikan dalam respon stress dan merupakan regulator dari
mekanisme koping (Howard & Valentine dalam Roy, 1991).
b) Model konsep diri
Model konsep diri berhubungan dengan psikososial dan penekanan
spesifik pada aspek psikososial dan spiritual manusia. Kebutuhan dari
konsep diri ini berhubungan dengan integritas psikis antara lain
persepsi, aktivitas mental, dan ekspresi perasaan. Konsep diri menurut
Roy terdiri dari dua komponen, yaitu :
1) The physical self, yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya
berhubungan dengan sensasi tubuhnya dan gambaran tubuhnya.
Kesulitan pada area ini sering terlihat pada saat merasa
kehilangan, seperti setelah operasi, amputasi, atau kehilangan
kemampuan seksualitas.
2) The personal self, yaitu berkaitan dengan konsistensi diri, ideal
diri, moral-etik, dan spiritual diri orang tersebut. Perasaan cemas,

21
hilangnya kekuatan, atau takut merupakan hal yang berat dalam
area ini.
c) Model fungsi peran
Model fungsi peran mengenal pola-pola interaksi sosial seseorang
dalam hubungannya dengan orang lain yang dicerminkan dalam peran
primer, sekunder, dan tersier. Fokusnya pada bagaimana seseorang
dapat memerankan dirinya di masyarakat sesuai kedudukannya.
d) Model interdependensi
Model interdependensi adalah bagian akhir dari model yang dijabarkan
oleh Roy. Fokusnya adalah interaksi untuk saling memberi dan
menerima cinta/kasih sayang, perhatian, dan saling menghargai.
Interdependensi yaitu keseimbangan antara ketergantungan dan
kemandirian dalam menerima sesuatu untuk dirinya. Ketergantungan
ditunjukkan dengan kemampuan untuk afiliasi dengan orang lain.
Kemandirian ditunjukkan oleh kemampuan berinisiatif untuk
melakukan tindakan bagi dirinya. Interdependensi dapat dilihat dari
keseimbangan antara dua nilai ekstrim, yaitu memberi dan menerima.
3.1.5 Model Konseptual Adaptasi Roy
Model adaptasi Roy adalah sistem model yang esensial dan banyak
digunakan sebagai falsafah dasar dan model konsep dalam pendidikan
keperawatan. Roy menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk biopsikososial
sebagai satu kesatuan yang utuh. Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia
selalu dihadapkan dengan berbagai persoalan yang kompleks sehingga dituntut
untuk melakukan adaptasi. Penggunaan koping atau mekanisme pertahanan
diri merupakan respon dalam melakukan peran dan fungsi secara optimal untuk
memelihara integritas diri dari keadaan lingkungan sekitarnya.
Dalam proses penyesuaian diri, individu harus meningkatkan energi
agar mampu melaksanakan tujuan untuk kelangsungan kehidupan,
perkembangan, reproduksi, dan keunggulan sehingga proses ini memiliki
tujuan meningkatkan respon adaptasi. Teori adaptasi Callista Roy memandang
klien sebagai suatu sistem adaptasi. Sesuai dengan model Roy, tujuan dari
keperawatan adalah membantu seseorang untuk beradaptasi terhadap

22
perubahan kebutuhan fisiologis, konsep diri, fungsi peran, dan hubungan
interdependensi selama sehat dan sakit (Marriner-Tomery, 1994). Kebutuhan
asuhan keperawatan muncul ketika klien tidak dapat beradaptasi terhadap
kebutuhan lingkungan internal dan eksternal. Seluruh individu harus
beradaptasi terhadap kebutuhan berikut:
1) Pemenuhan kebutuhan fisiologis dasar.
2) Pengembangan konsep diri positif.
3) Penampilan peran sosial.
4) Pencapaian keseimbangan antara kemandirian dan ketergantungan.
Menurut Roy, terdapat 4 faktor penting dalam model adaptasi Roy,
yaitu (Yesi Ariani, 2011):
1. Manusia (individu yang mendapatkan asuhan keperawatan)
Roy menyatakan bahwa penerima jasa asuhan keperawatan yaitu individu,
keluarga, kelompok, atau komunitas. Masing-masing dilakukan oleh
perawat sebagai sistem adaptasi yang holistik dan terbuka. Sistem terbuka
tersebut berdampak terhadap perubahan yang konstan terhadap informasi,
kejadian, energi antar sistem, dan lingkungan. Interaksi yang konstan
antara individu dan lingkungan dicirikan oleh perubahan internal dan
eksternal. Dengan perubahan tersebut individu harus mempertahankan
intergritas dirinya, dimana setiap individu secara kontinu beradaptasi.
Menurut Roy, manusia adalah sebuah sistem adaptif. Sebagai sistem yang
adaptif manusia digambarkan secara holistik sebagai satu kesatuan yang
memiliki input, kontrol, output, dan proses umpan balik. Lebih khusus
manusia didefinisikan sebagai sistem adaptif dengan aktivitas kognator dan
regulator untuk mempertahankan adaptasi, empat cara adaptasinya yaitu
fungsi fisiologis, konsep diri, fungsi peran, dan interdependensi. Sebagai
sistem yang adaptif manusia digambarkan dalam istilah karakteristik, jadi
manusia dilihat sebagai satu kesatuan yang saling berhubungan antar unit
secara keseluruhan atau beberapa unit untuk beberapa tujuan.
2. Konsep sehat
Roy mendefinisikan sehat sebagai suatu kondisi dari meninggal sampai
tingkatan tertinggi yaitu sehat. Dia menekankan bahwa sehat merupakan

23
suatu keadaan dan proses dalam upaya menjadikan dirinya secara
terintegrasi secara keseluruhan baik fisik, mental, maupun sosial. Integritas
adaptasi individu dimanifestasikan oleh kemampuan individu untuk
memenuhi tujuan mempertahankan pertumbuhan dan reproduksi.
Sakit adalah suatu kondisi ketidakmampuan individu untuk beradaptasi
terhadap rangsangan yang berasal dari dalam dan luar individu. Kondisi
sehat dan sakit sangat individual dipersepsikan oleh individu. Kemampuan
seseorang dalam beradaptasi (koping) tergantung dari latar belakang
individu tersebut dalam mengartikan dan mempersepsikan sehat-sakit,
misalnya tingkat pendidikan, pekerjaan, usia, budaya, dan lain-lain.
3. Konsep lingkungan
Roy mendefinisikan lingkungan sebagai suatu kondisi yang berasal dari
internal dan eksternal yang mempengaruhi dan berakibat terhadap
perkembangan dari perilaku seseorang dan kelompok. Lingkungan
eksternal dapat berupa fisik, kimiawi, ataupun psikologis yang diterima
individu dan dipersepsikan sebagai suatu ancaman. Sedangkan lingkungan
internal adalah keadaan proses mental dalam tubuh individu (berupa
pengalaman, kemampuan emosional, kepribadian) dan proses stressor
biologis (sel maupun molekul) yang berasal dari dalam tubuh individu.
Manifestasi yang tampak akan tercermin dari perilaku individu sebagai
suatu respons. Dengan pemahaman yang baik tentang lingkungan akan
membantu perawat dalam meningkatkan adaptasi dalam merubah dan
mengurangi resiko akibat dari lingkungan sekitar.
4. Keperawatan
Keperawatan adalah bentuk pelayanan professional berupa pemenuhan
kebutuhan dasar dan diberikan kepada individu baik sehat maupun sakit
yang mengalami gangguan fisik, psikis, dan sosial agar dapat mencapai
derajat kesehatan yang optimal. Roy mendefinisikan bahwa tujuan
keperawatan adalah meningkatkan respon adaptasi berhubungan dengan
empat model respon adaptasi. Perubahan internal, eksternal, dan stimulus
input tergantung dari kondisi koping individu. Kondisi koping seseorang
atau keadaan koping seseorang merupakan tingkat adaptasi seseorang.

24
Tingkat adaptasi seseorang akan ditentukan oleh stimulus fokal,
kontekstual, dan residual. Fokal adalah suatu respon yang diberikan secara
langsung terhadap ancaman/input yang masuk. Penggunaan fokal pada
umumnya tergantung tingkat perubahan yang berdampak terhadap
seseorang. Stimulus kontekstual adalah semua stimulus baik yang berasal
dari internal maupun eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat
diobservasi, diukur, dan secara subjektif disampaikan oleh individu.
Stimulus residual adalah karakteristik/riwayat dari seseorang yang ada dan
timbul secara relevan dengan situasi yang dihadapi tetapi sulit diukur
secara objektif.
Model adaptasi Roy memberikan petunjuk untuk perawat dalam
mengembangkan proses keperawatan. Elemen dalam proses keperawatan
menurut Roy meliputi pengkajian tahap pertama dan kedua, diagnosa, tujuan,
intervensi, dan evaluasi. Langkah-langkah tersebut sama dengan proses
keperawatan secara umum.
a) Pengkajian
Roy merekomendasikan pengkajian dibagi menjadi dua bagian, yaitu
pengkajian tahap I dan pengkajian tahap II.
Pengkajian pertama, meliputi pengumpulan data tentang perilaku klien
sebagai suatu sistem adaptif yang berhubungan dengan masing-masing
model adaptasi yang meliputi fisiologis, konsep diri, fungsi peran, dan
ketergantungan. Oleh karena itu, pengkajian pertama diartikan sebagai
pengkajian perilaku, yaitu pengkajian klien terhadap masing-masing
model adaptasi secara sistematik dan holistik.
Setelah pengkajian pertama, perawat menganalisa pola perubahan
perilaku klien tentang ketidakefektifan respon atau respon adaptif yang
memerlukan dukungan perawat. Jika ditemukan ketidakefektifan
respon (mal-adaptif), perawat melaksanakan pengkajian tahap kedua.
Pada tahap ini, perawat mengumpulkan data tentang stimulus fokal,
kontekstual, dan residual yang berdampak terhadap klien.

25
b) Perumusan diagnosa keperawatan
Roy mendefinisikan 3 metode untuk menyusun diagnosa keperawatan,
antara lain yaitu:
1) Menggunakan tipologi diagnosa yang dikembangkan oleh Roy dan
berhubungan dengan 4 model adaptif. Contohnya yaitu, diagnosa Tn.
Smith adalah hypoxia.
2) Menggunakan diagnosa dengan pernyataan atau mengobservasi dari
perilaku yang tampak dan berpengaruh terhadap stimulusnya. Dengan
menggunakan metode diagnosa ini maka contoh diagnosa yang
mungkin muncul adalah “nyeri dada disebabkan oleh kekurangan
oksigen pada otot jantung berhubungan dengan cuaca lingkungan yang
panas”.
3) Menyimpulkan perilaku dari satu atau lebih adaptif model yang
berhubungan dengan stimulus yang sama. Misalnya jika seorang
petani mengalami nyeri dada, dimana ia bekerja di luar pada cuaca
yang panas. Pada kasus ini, diagnosa yang sesuai adalah “kegagalan
peran berhubungan dengan keterbatasan fisik (myocardial) untuk
bekerja di cuaca yang panas”.
c) Intervensi keperawatan
Intervensi keperawatan adalah suatu perencanaan dengan tujuan merubah
atau memanipulasi stimulus fokal, kontekstual, dan residual.
Pelaksanaannya juga ditujukan kepada kemampuan klien dalam koping
secara luas, supaya stimulus secara keseluruhan dapat terjadi pada klien
sehingga total stimuli berkurang dan kemampuan adaptasi meningkat.
Tujuan intervensi keperawatan adalah pencapaian kondisi yang optimal
dengan menggunakan koping yang konstruktif. Tujuan jangka panjang
harus dapat menggambarkan penyelesaian masalah adaptif dan
ketersediaan energi untuk memenuhi kebutuhan tersebut
(mempertahankan, pertumbuhan, reproduksi). Tujuan jangka pendek yaitu
mengidentifikasi harapan perilaku klien setelah manipulasi stimulus fokal,
kontekstual, dan residual.

26
d) Implementasi
Implementasi keperawatan direncanakan dengan tujuan merubah atau
memanipulasi fokal, kontekstual, dan residual stimuli serta memperluas
kemampuan koping seseorang pada zona adaptasi sehingga total stimuli
berkurang dan kemampuan adaptasi meningkat.
e) Evaluasi
Penilaian terakhir dari proses keperawatan berdasarkan tujuan keperawatan
yang ditetapkan. Penetapan keberhasilan suatu asuhan keperawatan
didasarkan pada perubahan perilaku dari kriteria hasil yang ditetapkan,
yaitu terjadinya adaptasi pada individu.

Sumber: Tomey and Alligood. 2006. Nursing theoriest, ultilization, and application.
Elsevier
3.1.6 Kelebihan dan Kelemahan Teori Calista Roy
Roy mampu mengembangkan dan menggabungkan beberapa teori
sehingga dapat mengembangkan model perpaduannya yang hingga kini masih
menjadi pegangan bagi para perawat. Keeksistensiannya tentu memiliki sifat
kuat atau memiliki kelebihan dalam penerapan konsepnya dibanding dengan
konsep lainnya. Kelebihan dari teori dan model konseptualnya adalah terletak
pada teori praktek dan model adaptasi yang dikemukakan oleh Roy sehingga

27
perawat bisa mengkaji respon perilaku pasien terhadap stimulus yaitu model
fungsi fisiologis, konsep diri, model fungsi peran, dan model interdependensi.
Selain itu, perawat juga bisa mengkaji stressor yang dihadapi oleh pasien yaitu
stimulus fokal, kontekstual, dan residual sehingga diagnosis yang dilakukan
oleh perawat bisa lebih lengkap dan akurat.
Dengan penerapan dari teori adaptasi Roy, perawat sebagai pemberi
asuhan keperawatan dapat mengetahui dan lebih memahami individu, tentang
hal-hal yang menyebabkan stress pada individu, proses mekanisme koping, dan
efektor sebagai upaya individu untuk mengatasi stress. Sedangkan kelemahan
dari model adaptasi Roy ini adalah terletak pada sasarannya. Model adaptasi
Roy ini hanya berfokus pada proses adaptasi pasien dan bagaimana pemecahan
masalah pasien dengan menggunakan proses keperawatan dan tidak
menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku cara merawat (caring) pada pasien
sehingga seorang perawat yang tidak mempunyai perilaku caring ini akan
menjadi stressor bagi para pasiennya.
3.1.7 Pengaplikasian Teori Adaptasi Roy dalam Keperawatan
Komunitas
APLIKASI MODEL KONSEP ADAPTASI ROY DALAM
PELAYANAN KOMUNITAS JAMAAH HAJI YANG BEROBAT KE
KLINIK SEKTOR DI KOTA MAKKAH, ARAB SAUDI
Dalam Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2008 Tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji, pasal 6 dinyatakan bahwa pemerintah berkewajiban
melakukan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dengan menyediakan layanan
administrasi, bimbingan ibadah haji, akomodasi, transportasi, pelayanan kesehatan,
keamanan, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh jemaah haji. Adapun pelayanan
kesehatan meliputi pemeriksaan, perawatan, dan pemeliharaan kesehatan jemaah
haji (Kusnadi Jaya, 2014).
Tantangan pelayanan kesehatan haji setiap tahun terus berubah dan
bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah jamaah calon haji risiko tinggi
tanpa disertai dengan penambahan kuota bagi tenaga kesehatan haji Indonesia,
beragamnya latar belakang pendidikan, etnis, dan sosial budaya serta kondisi fisik
yang kurang baik. Kondisi lingkungan Arab Saudi yang berbeda secara bermakna

28
dengan kondisi di tanah air, misalnya perbedaan musim (panas, dingin),
kelembaban udara yang rendah, perbedaan lingkungan sosial budaya, keterbatasan
waktu perjalanan ibadah haji, dan kepadatan populasi jemaah haji pada saat wukuf
di Arafah maupun melontarkan jumrah di Mina merupakan faktor yang berdampak
kurang baik terhadap kesehatan jemaah haji Indonesia (Kusnadi Jaya, 2014).
Perubahan-perubahan yang dialami jamaah haji tersebut merupakan stressor
tersendiri yang berdampak pada kejadian sakit bagi jamaah haji. Karena itulah
dibutuhkan kemampuan adaptasi yang baik bagi jamaah haji agar segala
pengorbanan yang mereka siapkan demi bisa berangkat haji dapat terbayar dengan
pelaksanaan ibadah yang nyaman. Keperawatan sebagai salah satu bagian integral
dalam pelayanan kesehatan haji memegang peranan penting demi membantu
meningkatkan kemampuan adaptasi jamaah haji tersebut (Kusnadi Jaya, 2014).
A. Gambaran Pelayanan Kesehatan Haji di Sektor F Tahun 2014 M/1435 H
Lingkungan perhajian bagi jamaah haji Indonesia secara teritorial adalah
Kota Makkah dan Kota Madinah. Tetapi puncak pelaksanaan ibadah haji sendiri
berada di Kota Makkah, Arab Saudi. Pelayanan kesehatan haji utamanya diberikan
oleh Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) yang mempunyai fasilitas perawatan
bagi para jamaah haji. Di Arab Saudi terdapat 3 BPHI yaitu Jeddah, Makkah, dan
Madinah. Selanjutnya dibawah BPHI terdapat Klinik Sektor/Sub BPHI yang
merupakan pusat kesehatan haji yang lebih kecil, dalam bentuk klinik yang
mempunyai fasilitas perawatan sementara (maksimum 3 hari) sebanyak 8-15
tempat tidur. Klinik sektor merupakan klinik perawatan yang melayani konsultasi
dan pengobatan selama 24 jam serta menerima rujukan dari Kloter. Pada musim
haji tahun 2014 M/ 1435 H di Daerah Kerja (Daker) Makkah dibagi atas 10 sektor
yang dimulai dari A sampai dengan J. Sektor merupakan sub klinik BPHI (Kusnadi
Jaya, 2014).
Masing-masing sektor membawahi sekitar 25-35 Kelompok Terbang
(Kloter), dan masing-maisng Kloter terdiri dari 350-450 orang jamaah haji. Petugas
Kesehatan yang berada dalam satu sektor terdiri dari 1 orang Dokter Umum, 1 orang
Dokter spesialis Penyakit Dalam, 1 orang Dokter Spesialis Paru, 3 orang perawat
dengan kualifikasi Ners, 1 orang Apoteker, 1 orang tenaga Sanitasi dan Surveilans,
2 orang Supir Ambulan, dan 1 orang Tenaga Pengantar Obat (Kusnadi Jaya, 2014).

29
Pelayanan kesehatan di Sektor dibagi menjadi pelayanan rawat inap,
pelayanan rawat jalan, pelayanan ambulans/mobile service, dan pelayanan darurat
di Muzdalifah serta pelayanan rujukan (balik ke BPHI Makkah maupun ke Rumah
Sakit Arah Saudi /RSAS) (Kusnadi Jaya, 2014).
Operasional pelayanan ibadah haji di daerah kerja Makkah dibagi atas
beberapa periode pelayanan, diantaranya (Kusnadi Jaya, 2014):
1. Pra kedatangan yang berlangsung antara tanggal 1 September 2014 sampai
dengan 9 September 2014.
2. Pra Arafah, Muzdalifah, Mina (Armina) yang berlangsung sejak 9 September
2014 sampai dengan 1 Oktober 2014.
3. Armina yang berlangsung sejak tanggal 1 Oktober 2014 sampai dengan 7
Oktober 2014.
4. Pasca Armina yang berlangsung sejak 7 Oktober 2014 sampai dengan 24
Oktober 2014.
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas penyambutan jamaah dan
pelayanan jamaah yang berhubungan dengan kesehatan dilakukan kegiatan
koordinasi, diantaranya (Kusnadi Jaya, 2014):
1. Rapat persiapan dengan tim Kementerian Agama.
2. Persiapan ruangan pelayanan dengan Tim Kesehatan Sektor.
3. Rapat koordinasi dengan BPHI.
4. Koordinasi pelaporan dan penatalaksanaan jamaah meninggal dengan BPHI
serta koordinasi tim penghubung kesehatan untuk RSAS.
5. Koordinasi persiapan formulir pelaksanan kegiatan dan pencatatan.
Tugas-tugas pelayanan kesehatan yang ada di sektor adalah bertujuan untuk
membantu petugas kesehatan kloter dengan cara mendekatkan pelayanan kesehatan
ke dalam kelompok atau sektor-sektor tertentu sehingga memudahkan proses
pengawasan, pembinaan, rujukan, dan lain-lain (Kusnadi Jaya, 2014).
Total rawat jalan di sektor sampai akhir pelaksanaan kegiatan sektor
sebanyak 136 jamaah yang berobat ke sektor. Adapun 10 besar penyakit yang
dirawat di klinik rawat jalan sebagaimana diagram I berikut:

30
Jumlah jamah yang paling banyak mengunjungi klinik rawat jalan di Sektor
F sebanyak 36 jamaah adalah J00 atau Influensa yang disusul I10 yaitu Hipertensi.
Rawat jalan di Sektor F jumlah wanita lebih banyak yaitu 75 jamaah dan laki-laki
61 jamaah dari total 136 jamaah. Usia jamaah yang melakukan kunjungan ke Sektor
F tertinggi adalah usia diatas 60 tahun dengan jumlah 42 jamaah yang disusul usia
41-50 tahun dengan jumlah 40 jamaah.
Data jamaah meninggal pada sektor F pelayanan haji tahun 2014 adalah
sebagai berikut :

31
B. Lingkungan Perhajian Tahun 2014 M/ 1435 H
1. Suhu dan kelembaban
Kegiatan pemantauan suhu, kelembaban, dan kecepatan angin di Arab
Saudi dilakukan karena adanya perbedaan yang signifikan antara daerah
asal jamaah haji Indonesia dengan suhu dan komponen lingkungan di Arab
Saudi. Hal ini yang mendasari dilakukannya pengukuran komponen
lingkungan tersebut yang selanjutnya disampaikan kepada jamaah haji asal
Indonesia yang berasal dari daerah tropis dengan tujuan jamaah mampu
mengatur waktu keluar untuk tidak pada kondisi suhu puncak untuk
menghindari terjadinya dehidrasi pada jamaah haji. Pengukuran suhu,
kelembaban, dan kecepatan angin dilakukan setiap hari melalui situs
http://www.accuweather.com yang di pantau secara berkala sehari 3 kali
pada jam 06.00 WAS, jam 13.00 WAS, dan jam 20.00 WAS. Selanjutnya
petugas mencatat dan mensosialisasikan pada jamaah untuk mengantisipasi
kegiatan sehubungan dengan perubahan suhu ekstrim (Kusnadi Jaya,
2014).
2. Tempat jajanan makanan
Tempat pedagang jajanan di sektor F ini tidak begitu menjamur karena
letaknya yang dekat dengan pasar Jakfaria dan konsentrasi jamaah tidak
terlalu banyak, dengan jumlah rata-rata 1 pondokan berkapasitas 600
jamaah dengan kedatangan yang tidak bersamaan kurang menarik
pedagang untuk berdagang di pondokan ini (Kusnadi Jaya, 2014).
3. Pelayanan pos mabit 6
Jamaah di pos mabit 6 terdiri dari jamaah maktab 36, 37, 38, dan 40.
Keempat maktab inilah yang mengisi Pos Mabit 6 di Musdalifah dengan
jumlah jamaah 23 kloter, yaitu sekitar 9.000 jamaah haji dari sektor F.
Kondisi kedatangan di mulai dari sesudah shalat maghrib. Awalnya kondisi
terkendali dan jamaah bisa diarahkan serta dikelompokkan sesuai
kloternya. Setelah jamaah datang separuh lebih, kondisi mulai krodit
karena lokasi area pos mabit mulai tersisa sedikit dan semakin sempit
sehingga tidak dapat menampung jamaah. Hal ini menyebabkan proses

32
penurunan agak beresiko dan kurang terkontrol apalagi kondisi hampir
menjelang tengah malam dan jamaah harus sudah berada di Mina semua.
Kondisi kesehatan selama di Mina adalah sebagai berikut (Kusnadi Jaya,
2014):
a. Saat kedatangan atau turun dari bus kondisi aman tidak ada
kecelakaan, walau ada resiko di saat-saat terakhir kedatangan.
b. Selama di Musdalifah, jamaah cenderung bisa recovery kondisi badan
karena posisi malam kebanyakan jamaah memanfaatkan untuk tidur
atau istirahat.
c. Pemakaian toilet pada saat puncak kedatangan cukup memfasilitasi
dan tidak ada antrian toilet. Kapasitas cukup untuk kondisi jamaah di
Musdalifah.
Evakuasi atau rujukan ke RSAS sampai jamaah terakhir diberangkatkan
dan petugas ikut dalam bus terakhir menuju ke Mina tidak ada jamaah yang
di rujuk atau di evakuasi. Semua kedatangan ke Musdalifah untuk Pos
Mabit 6 dapat diberangkatkan dengan selamat ke Mina dengan bus terakhir
sekitar pukul 07.30 WAS.
4. Selama di Pemondokan banyak jamaah haji yang merokok.
C. Analisis Situasi Perhajian Menurut Model Adaptasi Roy
Setiap individu jemaah haji memiliki tujuan utama yaitu dapat
melaksanakan ibadah dengan baik dan sesuai dengan syariat agama tanpa ada
masalah, termasuk masalah kesehatan yang dapat mengganggu peribadahan
tersebut. Ini merupakan goal utama yang ingin dicapai oleh seluruh jamaah haji
Indonesia, dan ini juga yang akan menjadi tujuan akhir dari layanan keperawatan
terutama dalam melaksanakan upaya promotif dan preventif terhadap jamaah haji
yang berada dalam naungan sektor (Kusnadi Jaya, 2014).
Adapun stimulus yang terpapar pada jamaah haji saat berada di Makkah
dapat dikategorikan sebagai berikut (Kusnadi Jaya, 2014):
1) Stimulus fokal, meliputi perubahan kondisi kesehatan selama berada di Makkah
(sakit, kelelahan, jet-lag serta stress fisik dan psikologis yang dialami oleh
jamaah).

33
2) Stimulus kontekstual, meliputi kondisi lingkungan yang dapat diuraikan
sebagai berikut:
a. Suhu lingkungan yang berkisar antara 25-43°C sepanjang hari.
b. Kelembaban udara yang berkisar antara 17-76% sepanjang hari.
c. Suhu kamar dengan alat pendingin yang berkisar antara 21-28°C.
d. Kondisi Arafah yang panas dengan fasilitas terbatas.
e. Kondisi Muzdalifah dimana jamaah tidur di alam terbuka di antara
banyaknya manusia dan berebut naik bus untuk diangkut ke Mina.
f. Kondisi Mina dengan jadwal melontar jamarat untuk jamaah haji Indonesia
pada malam hari antara pukul 00.00-03.00 WAS di antara banyaknya
manusia.
g. Tempat pemondokan dalam radius antara 1 km-3 km dari Masjid Al-
Haram.
h. Tempat Tawaf yang sempit akibat proyek pembangunan Masjid Al-Haram
dengan jumlah manusia yang sangat banyak.
i. Lintasan Sa’i yang cukup panjang.
j. Rekan sekamar yang tidak cocok, sering mendengkur sehingga
menyebabkan susah tidur.
k. Jadwal ziarah yang padat.
l. Terpisah dari rombongan.
m. Karakter jamaah haji negara lain yang multi etnis dan multi budaya.
3) Stimulus residual, meliputi nilai-nilai yang dianut jamaah, pengalaman berhaji
dari orang lain atau pengalaman berhaji sebelumnya, keyakinan jamaah untuk
tidak boleh memakai masker saat tawaf, karakter individual jamaah, motivasi,
dan semangat beribadah yang sangat tinggi.
Seluruh stimulus yang teridentifikasi tersebut di atas akan direspon oleh
jamaah dan diadaptasi dengan baik supaya tujuan ibadah haji dengan lancar dapat
tercapai. Respon individu terhadap stimulus tadi ada yang adaptif, yaitu menjalani
semuanya dengan gembira, bahagia, dan enjoy sehingga mereka bisa beribadah
dengan tenang. Namun, ada juga yang tidak efektif, misalnya menimbulkan konflik,
menyebabkan sakit dan dirawat, serta terhalangnya beribadah. Hal ini tidak lepas
dari mekanisme koping yang digunakan oleh jamaah tersebut (Kusnadi Jaya, 2014).

34
Jamaah yang sejak awal meniatkan perjalanannya sebagai ibadah yang
bermutu, serta mau mengikuti anjuran petugas kesehatan, minum banyak, memakan
kurma, mengatur jadwal istirahat-tidur dengan baik, serta memakai masker yang
dibasahi (masker lembab) maka mereka cenderung tidak mengalami sakit dan
kelelahan. Mereka yang menerima segala dinamika yang terjadi selama berhaji
sebagai sebuah bentuk ujian dan ikhlas menjalaninya akan menimbulkan respon
fisiologis yang cenderung meningkatkan imunitas mereka sebagaimana dijabarkan
dalam teori psikoneuroimunologi bahwa pikiran positif akan menurun hormon
kortisol (hormon stress) serta meningkatkan hormon endhorpin (hormon bahagia)
sehingga produksi immunoglobulin dan fungsi pertahanan diri sel-sel tubuh
meningkat (Kusnadi Jaya, 2014).
Sebaliknya jamaah haji yang mengeluhkan keadaan, tidak mengikuti
anjuran petugas untuk minum banyak dan makan kurma, serta tidak memakai
masker lembab, dan sering terlibat konflik baik dengan rekan sekamar, ketua
rombongan, ataupun ketua regu cenderung penuh dengan stress sehingga produksi
hormon stress meningkat dan hormon bahagia menurun. Akibatnya, imunitas
mereka rendah dan mudah mengalami sakit. Proses keperawatan yang digunakan
berorientasi pada pemecahan masalah pasien dengan mengkaji stimulus yang
dialami oleh jamaah dan fungsi adaptasi yang dipilih, dalam konteks upaya
kesehatan promotif dan preventif (Kusnadi Jaya, 2014).
D. Rancangan Aplikasi dan Agrerat
I. Pengkajian
1) Pengkajian tahap I
a. Pemeriksaan fisik-fisiologis :
- Apa yang dirasakan saat ini (batuk, susah tidur, pusing,
pandangan berkunang-kunang, lupa/pikun, sesak nafas,
demam, tidak bisa BAB, perih saat BAK, tidak ada selera
makan, jantung berdebar-debar).
- Apa yang pernah dialami (jatuh dan terluka, pingsan, kejang,
muntah, diare, oedema).
b. Konsep diri
- Persepsi tentang keadaan diri (sehat/sakit).

35
- Persepsi tentang bagaimana seharusnya jamaah haji bersikap
dan berperilaku.
- Persepsi tentang keabsahan ibadah yang dilakukan dengan
keadaan sekarang.
- Rekan sekamar yang dirasakan mengganggu dan rekan
sekamar yang dirasakan mendukung bagi jamaah.
- Persepsi tentang rekan-rekan sesama rombongan dan sesama
kloter.
- Perasaan saat berada dalam rombongan dan kloter.
- Persepsi terhadap petugas.
- Persepsi mengenai pemondokan.
- Persepsi mengenai hakikat ibadah haji yang dijalani.
c. Fungsi peran
- Persepsi tentang bagaimana semestinya dirinya beribadah.
- Persepsi tentang apa yang dirasakan mengganggu ibadahnya.
d. Interdependen
- Persepsi tentang apa yang dirasakan saat berada di antara
sekian banyak manusia (bahagia, sedih, takjub, luar biasa).
- Persepsi tentang rasa aman saat beribadah (takut terpisah dari
rombongan, takut dibawa kabur sopir taxi, takut dicopet saat
tawaf dan mencium hajar aswad).
2) Pengkajian tahap II
a. Pemeriksaan Buku Kesehatan Jamaah Haji (BKJH), faktor resiko,
dan riwayat kesehatan sebelumnya.
b. Pemeriksaan tanda-tanda vital (wajib dilakukan).
c. Pemeriksaan EKG (sesuai indikasi).
d. Pemeriksaan Pulse Oxymetri (sesuai indikasi).
e. Pengkajian luka (sesuai indikasi).
f. Pengkajian oedema (sesuai indikasi).
g. Penilaian hasil pengukuran suhu, kelembaban, dan angin oleh
petugas San-Sur.

36
II. Diagnosis
Diutamakan penegakan diagnosa keperawatan yang berkaitan dengan
masalah dalam pemenuhan kebutuhan : 1) oksigenasi, 2) nutrisi, 3)
eliminasi, 4) istirahat dan aktivitas, 5) proteksi, 6) perasaan, 7) cairan dan
elektrolit, 8) fungsi neurologis, dan 9) fungsi endokrin.
III. Intervensi
Bentuk-bentuk intervensi keperawatan yang dapat diaplikasikan,
diantaranya meliputi :
1. Terapi spiritual : mendengarkan bacaan Al-Qur’an/memberikan Al-
Qur’an untuk dibaca, diskusi tentang refleksi makna ibadah haji,
bantuan langsung untuk berwudhu dan shalat, mendiskusikan hikmah
sakit dan sehat, mendiskusikan makna takwa, serta mendiskusikan
makna kesabaran dan pengorbanan.
2. Terapi relaksasi : progressive muscle relaxation, calming tecnique.
3. Terapi tawa : tertawa sebagai penanda kebahagiaan dapat
meningkatkan ekspresi sel-sel tubuh menjadi aktivasi D4DR salah
satu sistem imun (Kazuo, 2003).
4. Pemenuhan kebutuhan dasar :
a. Oksigenasi : terapi oksigen, latihan batuk efektif, nebulasi.
b. Nutrisi : air zam-zam, kurma, diet dari ahli gizi, terapi cairan,
nutrisi parenteral.
c. Eliminasi : kateterisasi, penggunaan pispot/urinal.
d. Aktivitas/istirahat : latihan fisik ROM, pengaturan jadwal
suntikan yang tidak mengganggu jam tidur, konseling
pengaturan jadwal ibadah di Masjid Al-Haram, serta anjuran
mengurangi kegiatan di luar pemondokan saat 3 hari sebelum
tahap ARMINA.
e. Proteksi : penggunaan masker lembab, penggunaan payung saat
keluar pemondokan, kacamata hitam saat siang hari, krim anti
UV, krim pelembab kaki, anjuran tidak ikut antri mencium Hajar
Aswad saat kondisi penuh jamaah.

37
5. Terapi lingkungan : memisahkan ruang rawat laki-laki dan
perempuan, memilih ruangan yang akan digunakan untuk klinik
sekiranya agak jauh dari pusat kegiatan jamaah misalnya tidak dekat
lift dan tidak berada di loby pemondokan hotel, penerangan kamar
mandi/toilet harus baik.
IV. Implementasi
1. Tindakan perorangan (konseling, pendidikan kesehatan, nasehat,
bantuan).
2. Pemberdayaan support system (keluarga, ketua rombongan, ketua
kloter, tenaga kesehatan kloter, rekan sekamar).
3. Tindakan kolektif (pengajian, penyuluhan).
V. Evaluasi
1. Angka kesakitan (dilihat dari kunjungan ke klinik).
2. Angka kematian baik Pra Armina maupun Pasca Armina.
3. Jumlah jamaah yang dirujuk ke BPHI.
4. Jumlah jamaah yang dirujuk ke RSAS.
5. Jumlah jamaah yang tanazul.
6. Jumlah jamaah yang safari wukuf.

3.2 Model Konseptual dan Teori Keperawatan Betty Neuman

3.2.1 Sejarah

Betty Neuman

(https://www.neumansystemsmodel.org/new-page)

Betty Neuman lahir pada tahun 1924 di sebuah pemukiman pertanian di


Lowel, Ohio. Dia anak kedua dari 3 bersaudara dan merupakan anak

38
perempuan satu-satunya. Ketika berumur 11 tahun bapaknya meninggal setelah
6 tahun dirawat karena CRF. Pujian bapaknya terhadap perawat mempengaruhi
pandangan Neuman tentang perawat dan komitmennya menjadi perawat
terbaik yang selalu dekat dengan pasien. Setelah lulus SMA Neuman tidak
dapat melanjutkan pendidikan keperawatan. Dia bekerja sebagai teknisi pada
perusahaan pesawat terbang dan sebagai juru masak di Ohio dalam rangka
menabung untuk pendidikannya dan membantu ibu serta adiknya. Adanya
program wajib militer di keperawatan mempercepat masuknya Neuman ke
sekolah keperawatan. Neuman pertama kali memperoleh pendidikan di People
Hospital School of Nursing sekarang General Hospital Akron di Akron, Ohio
tahun 1947. Neuman menerima gelar BS pada keperawatan Kesehatan
Masyarakat tahun 1957 dan MS Kesehatan Masyarakat serta Konsultan
Keperawatan Jiwa tahun 1966 dari Universitas California LA. Tahun 1985
Neuman menyelesaikan PHD dalam bidang Clinical Psychology dari
Universitas Pasific Western (Tomey dan Alligood, 2002).

Neuman mempraktekkan bed side nursing sebagai staf kepala dan


Private Duty Nurse di berbagai rumah sakit. Pekerjaannya di komunitas
termasuk di sekolah-sekolah, perawat di perusahaan, sebagai kepala perawat di
klinik obstetrik suaminya, dan konseling intervensi krisis di keperawatan jiwa
di komunitas. Tahun 1967, 6 bulan setelah mendapat gelar MS dia menjadi
kepala fakultas dari program dimana ia lulus (Universitas California LA) dan
memulai konstribusinya sebagai dosen, penulis, dan konsultan dalam berbagai
disiplin ilmu kesehatan. Tahun 1973, Neuman dan keluarga kembali ke Ohio,
sejak itu dia sebagai konsultan kesehatan jiwa, menyediakan program
pendidikan berkelanjutan, dan melanjutkan perkembangan dari modelnya. Dia
orang yang pertama mendapatkan California Licensed Clinical Fellows of The
American Association of Marriage & Family Therapy dan tetap melakukan
praktek konseling (Neuman, 1995).

Model Sistem Neuman aslinya berkembang tahun 1970, ketika itu ada
permintaan lulusan Universitas California LA untuk pembukaan kursus yang
memberikan wawasan tentang aspek fisiologi, psikologi, sosiokultural, dan
aspek pengembangan dari kehidupan manusia (Neuman, 1995). Model

39
Neuman pertama kali dipublikasikan tahun 1972 pada penelitian keperawatan
“A Model for Teaching Total Person Approach to Patient Problems”. Model
ini dikembangkan untuk menyediakan struktur yang terintegrasi dari aspek-
aspek di atas secara holistik. Setelah 2 tahun dievaluasi model tersebut
dipublikasikan dalam 3 edisi (1982, 1989, dan 1995).

1. Neuman. B. (1982) adalah The Neuman systems model: Application to


nursing education and practice.
2. Neuman, B. (1989) adalah The Neuman systems model (2nd ed.).
3. Neuman, B. (1995) adalah The Neuman systems model (3rd ed.) (Tomey
dan Alligood, 2002).

Betty Neuman menemukan teori modelnya dari berbagai teori dan


disiplin ilmu. Teori ini juga merupakan hasil dari pengamatan dan pengalaman
selama ia bekerja di pusat kesehatan mental keperawatan.

3.2.2 Komponen Sentral Paradigma Keperawatan Betty Neuman

Terdapat empat komponen sentral dalam paradigma keperawatan


menurut Betty Neuman, antara lain yaitu:

1. Manusia
Model sistem Neuman menyatakan bahwa manusia sebagai sistem klien
yang dapat berupa individu, keluarga, kelompok, komunitas, atau
kelompok sosial tertentu. Sistem klien adalah gabungan hubungan yang
dinamik antara faktor fisiologi, psikologi, sosiokultural, perkembangan,
dan spiritual. Sistem klien digambarkan sebagai perubahan atau pergerakan
konstan yang hidup sebagai sistem terbuka dalam hubungan timbal balik
dengan lingkungan.
2. Kesehatan
Neuman memandang kesehatan sebagai kondisi yang terus-menerus dari
sehat menuju sakit yang secara alamiah dinamis dan secara konstan
berubah untuk mencapai kondisi sehat yang optimal atau stabil yang
diindikasikan ke seluruh kebutuhan sistem yang terpenuhi. Menurunnya
kondisi sehat merupakan akibat dari tidak terpenuhinya kebutuhan sistem.

40
Klien berada dalam kondisi dinamis baik sehat atau sakit dalam beberapa
tahap yang diberikan pada waktu itu.
3. Keperawatan
Neuman menyatakan bahwa keperawatan memperhatikan semua aspek
manusia. Dia juga menggambarkan bahwa keperawatan adalah profesi
yang unik yang memperhatikan semua variabel yang mempengaruhi respon
individu terhadap stres. Persepsi perawat mempengaruhi pelayanan yang
diberikan sehingga Neuman menyatakan bahwa persepsi antara pemberi
pelayanan dan pasien harus dikaji. Dia mengembangkan instrumen
pengkajian dan intervensi untuk membantu melakukan tugas tersebut.
4. Lingkungan.
Lingkungan dan manusia diidentifikasi sebagai dasar fenomena dari model
sistem Neuman, yang menyatakan bahwa hubungan manusia dengan
lingkungan adalah hubungan yang timbal balik. Lingkungan didefinisikan
sebagai semua faktor internal dan eksternal yang berada di sekeliling
manusia dan berinteraksi dengan manusia dan klien. Stresor (intrapersonal,
interpersonal, dan ekstrapersonal) adalah signifikan terhadap konsep
lingkungan dan digambarkan sebagai kekuatan lingkungan yang
berinteraksi secara potensial yang dapat mengubah stabilitas sistem.
Neuman mengidentifikasi tiga lingkungan yang relevan, yaitu sebagai
berikut :
 Lingkungan internal, adalah intrapersonal dengan semua interaksinya
yang terjadi pada klien.
 Lingkungan eksternal, adalah interpersonal atau ekstrapersonal dengan
semua interaksinya yang terjadi di luar klien.
 Lingkungan yang diciptakan, adalah perkembangan tidak sadar dan
digunakan klien untuk membantu mekanisme pertahanan. Hal ini
merupakan komponen utama pada intrapersonal. Lingkungan yang
diciptakan adalah kondisi dinamis yang diatur atau memobilisasi
variabel-variabel sistem untuk menciptakan efek yang ditentukan
sehingga dapat membantu klien mengatasi stresor lingkungan yang
mengancam dengan melakukan perubahan pada diri sendiri atau

41
situasi. Contohnya yaitu respon menolak (variabel fisiologi) dan
semangat untuk survife pada siklus kehidupan (variabel
perkembangan). Lingkungan yang diciptakan secara terus-menerus
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perubahan oleh keadaan sehat
yang dipersepsikan klien.

3.2.3 Sumber-Sumber dan Bukti Empiris dari Teori Betty Neuman

 Sumber-sumber teori Betty Neuman


Model Betty Neuman mempunyai beberapa kesamaan dengan
teori Gestalt. Teori Gestalt mempertahankan bahwa cara homeostatik
adalah suatu cara yang mana tubuh mempertahankan keseimbangan
dan sebagai akibat dari kesehatan mengubah kondisi sehat atau sakit.
Teori model Betty Neuman juga merupakan ide dari teori sistem
umum tentang sifat dasar kehidupan sistem terbuka yang merupakan
gabungan semua elemen yang berinteraksi dalam struktur organisasi
tubuh kita yang kompleks. Neuman juga memilah konsep G. Kaplan
tentang tingkatan tindakan pemecahan.
 Penggunaan bukti empiris dari teori model Neuman
Betty Neuman mengemukakan teori berdasarkan penelitian
yang ia lakukan untuk mengetahui kondisi mental atau psikologi.
Evaluasi yang ia lakukan juga turut membantu dalam membangun
suatu konsep tentang kombinasi antara tindakan dan respon mental.
Tetapi tidak selamanya hal diatas dapat dijadikan evaluasi dan bukti
statistik yang mendukung. Jadi empiris tidak terlalu diutamakan
dalam konsep ini.

3.2.4 Konsep Utama dan Definisi Teori Model Neuman

Definisi dalam sebuah teori berhubungan dengan arti umum konsep.


Definisi ini menggambarkan aktivitas penting untuk mengukur konsep,
hubungan, atau variabel dalam sebuah teori (Tomey dan Alligood, 2006 dalam
Potter dan Perry, 2009). Model sistem Neuman menggunakan sebuah sistem
pendekatan untuk menggambarkan bagaimana klien mengatasi tekanan
(stressor) dalam lingkungan internal atau eksternal mereka. Perawat yang

42
menggunakan teori Neuman dalam praktek pelayanan mereka berfokus pada
respons klien terhadap tekanan (Meleis, 2006 dalam Potter dan Perry, 2009).

Model sistem Neuman menyoroti bahwa keadaan sehat dan sakit


dari seseorang itu sebagai sistem yang holistik dan lingkungan mempengaruhi
kesehatan. Klien dengan perawat membuat tujuan dan mengidentifikasi
intervensi preventif yang sesuai. Individu, keluarga, kelompok lain, dan
komunitas atau jaringan sosial adalah sistem klien yang dilihat sebagai
gabungan dari interaksi fisiologis, psikologis, sosial budaya, perkembangan,
dan variabel spiritual (Tomey dan Alligood, 2002).

Konsep yang dikemukakan oleh Betty Neuman adalah konsep “Health


Care System”, yaitu model konsep yang menggambarkan aktifitas
keperawatan yang ditujukan kepada penekanan penurunan stress dengan
memperkuat garis pertahanan diri secara fleksibel atau normal maupun resisten
dengan sasaran pelayanan adalah komunitas. Betty Neuman mendefinisikan
manusia secara utuh sebagai gabungan dari konsep holistik (fisiologis,
psikologis, sosial budaya, perkembangan, dan variabel spiritual) dan
pendekatan sistem terbuka. Sebagai sistem terbuka, manusia berinteraksi dan
beradaptasi dengan lingkungan yang digambarkan sebagai stressor (Chinn dan
Jacobs, 1995 dalam Potter dan Perry, 2005).

Neuman menggunakan sejumlah orang untuk melakukan pendekatan


yang termasuk dalam konsep mayor menurutnya adalah :

1. Tekanan, yaitu rangsangan yang timbul yang diakibatkan oleh kondisi


sekitar yang terdiri dari :
a. Intrapersonal, secara individu atau perorangan.
b. Interpersonal, antara individu yang satu dengan yang lain.
c. Ekstrapersonal, di luar individu.
2. Struktur pokok sumber energi, merupakan penggerak untuk melakukan
aktifitas.
3. Tingkat ketahanan, merupakan faktor internal untuk menghadapi tekanan.
4. Garis normal pertahanan, merupakan tingkatan kemampuan adaptasi
individu untuk menghadapi tekanan di batas normal.

43
5. Gangguan pertahanan, merupakan kerusakan sistem pertahanan tubuh
akibat dari tekanan.
6. Tingkat reaksi, merupakan tindakan yang muncul akibat reaksi dari
pengaruh tekanan.
7. Intervensi, merupakan identifikasi tindakan sebagai akibat dari reaksi yang
timbul.
8. Tingkat-tingkat pencegahan
a. Pencegahan primer, merupakan pencegahan yang dilakukan sebelum
terjadi tindakan.
b. Pencegahan sekunder, merupakan pencegahan yang dilakukan ketika
terjadi tindakan.
c. Pencegahan tersier, merupakan pencegahan yang dilakukan pada saat
adaptasi atau terjadi pengaruh kerusakan.
9. Penyesuaian kembali, merupakan adaptasi dari tindakan yang berasal dari
sekitar baik interpersonal, intrapersonal, dan ekstrapersonal. Faktor yang
perlu diperhatikan adalah :
a. Fisiologi individu.
b. Psikologi individu.
c. Sosial kultural.
d. Perkembangan individu
3.2.5 Asumsi Teori Model Betty Neuman

Asumsi yang dikemukakan oleh Betty Neuman dalam memberikan


respon terhadap tekanan yaitu :

1. Manusia, merupakan suatu sistem terbuka yang selalu mencari


keseimbangan dari harmoni dan merupakan satu kesatuan dari fisiologis,
psikologis, sosiokultural, perkembangan, dan spiritual.
2. Lingkungan, meliputi semua faktor internal dan eksternal atau pengaruh-
pengaruh dari sekitar klien atau sistem klien.
3. Sehat, merupakan suatu kondisi terbebasnya dari gangguan pemenuhan
kebutuhan. Sehat merupakan keseimbangan yang dinamis sebagai dampak
dari keberhasilan menghindari atau mengatasi stresor.

44
4. Keperawatan, Neuman menyatakan bahwa keperawatan memperhatikan
manusia secara utuh dan keperawatan adalah sebuah profesi yang unik
yang mempertahankan semua variabel yang mempengaruhi respon klien
terhadap stresor. Melalui penggunaan model keperawatan dapat membantu
individu, keluarga, dan kelompok untuk mencapai dan mempertahankan
level maksimum dari total wellness. Keunikan keperawatan adalah
berhubungan dengan integrasi dari semua variabel yang mana mendapat
perhatian dari keperawatan. Neuman (1981) menyatakan bahwa, ia
memandang model sebagai sesuatu yang berguna untuk semua profesi
kesehatan dimana mereka dan keperawatan mungkin berbagi bahasa umum
dari suatu pengertian. Neuman juga percaya bahwa keperawatan dengan
perspektif yang luas dapat mengkoordinasi pelayanan kesehatan untuk
pasien agar fragmentasi pelayanan dapat dicegah.
Hubungan antar keempat konsep sentral tersebut, yaitu perawat dilihat
sebagai partisipan yang aktif dan sebagai faktor dalam lingkungan
interpersonal yang mempengaruhi klien. Kesehatan adalah keadaan dinamis
yang dipengaruhi oleh waktu dimana individu tersebut mencari cara untuk
mempertahankan beberapa bentuk stabilitas. Keadaan ini merupakan keadaan
yang harmonis pada semua aspek manusia. Keadaan yang tidak harmonis akan
menyebabkan keadaan kesehatan berkurang. Stressor di dapat dari lingkungan
internal dan eksternal dimana keduanya ada di dalam sistem klien. Sifat dari
stressor kebutuhan klien harus dikaji oleh perawat sebelum menetapkan
perencanaan. Salah satu kekuatan dalam model ini terletak pada hubungan
antara variabel klien dengan konsep yang termasuk dalam sistem. Empat
metaparadigma konsep keperawatan saat ini dan semuanya digunakan dalam
fungsi keperawatan.

Menurut Tomey (2006), terdapat beberapa dasar asumsi model Neuman,


diantaranya yaitu:

1. Klien sebagai individu atau kelompok merupakan sistem yang unik. Setiap
sistem adalah gabungan dari faktor-faktor yang umum diketahui atau
karakteristiknya normal.

45
2. Keberadaan stressor baik diketahui atau tidak, masing-masing memiliki
potensi untuk merusak tingkat stabilitas klien atau garis pertahanan normal
klien. Pada dasarnya hubungan antara klien dengan variabel-variabel seperti
fisiologis, psikologis, sosiokultural, perkembangan, dan spiritual kadang-
kadang mempengaruhi tingkat kemampuan klien untuk melindungi dalam
berespon terhadap stress.
3. Setiap individu atau klien sistem telah ditingkatkan respon rentang
normalnya terhadap lingkungan yang telah ditunjuk sebagai garis normal
pertahanan atau stabilitas kondisi sehatnya.
4. Perlindungan diri muncul saat menghadapi stressor.
5. Klien sebagai bagian dari status kesehatan atau kesakitan sebagai komposisi
dinamis ysng dipengaruhi oleh fisiologi, psikologi, sosiokultural,
perkembangan, dan spiritual.
6. Secara implisit faktor pengetahuan sebagai dasar mekanisme perlindungan.
7. Preventif primer berhubungan dengan sistem pengkajian, intervensi, dan
identifikasi dalam berespon terhadap stressor.
8. Preventif sekunder meliputi gejala terhadap stressor dan pengobatan.
9. Preventif tersier berhubungan dengan pengalaman sebelumnya.
10. Klien sebagai sistem dalam keadaan dinamis, terjadi pertukaran energi
dengan lingkungan.

3.2.6 Bentuk Logika dan Model Neuman dalam Intervensi Keperawatan

 Bentuk logika teori model Neuman


Bentuk Neuman menggunakan logika deduktif dan induktif
dalam mengembangkan teori modelnya yang telah dipertimbangkan
terlebih dahulu. Betty Neuman menemukan teori modelnya dari
berbagai teori dan disiplin ilmu. Teori ini juga merupakan hasil dari
pengamatan dan pengalaman selama ia bekerja di Pusat Kesehatan
Mental Keperawatan.
 Model Betty Neuman dalam intervensi keperawatan
Model konseptual dari Neuman memberikan penekanan pada
penurunan stress dengan cara memperkuat garis pertahanan diri

46
keperawatan yang ditujukan untuk mempertahankan keseimbangan
tersebut dengan terfokus pada empat intervensi yaitu:
1. Intervensi yang bersifat promosi, dilakukan apabila gangguan
terjadi pada garis pertahanan yang bersifat fleksibel yang berupa:
a. Pendidikan kesehatan.
b. Mendemonstrasikan keterampilan keperawatan dasar yang
dapat dilakukan klien di rumah atau komunitas yang
bertujuan untuk meningkatkan kesehatan.
2. Intervensi yang bersifat prevensi, dilakukan apabila garis
pertahanan normal terganggu, yang berupa:
a. Deteksi dini gangguan kesehatan, misalnya deteksi tumbuh
kembang balita, keluarga, dan lain-lain.
b. Memberikan zat kekebalan pada klien yang bersifat
individu, misalnya: konseling pranikah.
3. Intervensi yang bersifat kuratif, dilakukan apabila garis
pertahanan terganggu.
4. Intervensi yang bersifat rehabilitatif, dilakukan seperti pada
upaya kuratif yaitu apabila garis perubahan resisten yang
terganggu.
3.2.7 Model Konseptual Betty Neuman
Konsep utama yang terdapat pada model Betty Neuman, meliputi
(Fitzpatrick & Whall, 1989):
1. Tekanan/stressor
Stressor adalah kekuatan lingkungan yang menghasilkan ketegangan dan
berpotensial untuk menyebabkan sistem tidak stabil. Neuman
mengklasifikasikan stressor sebagai berikut (Potter dan Perry, 2005):
a) Stressor intrapersonal, yaitu stressor yang terjadi di dalam diri individu
dan berasal dari dalam diri klien, serta berhubungan dengan
lingkungan internal, misalnya respon autoimun.
b) Stressor interpersonal, yaitu lingkungan eksternal dan segala pengaruh
yang berasal dari luar diri klien. Stressor ini terjadi pada satu

47
individu/keluarga atau lebih yang memiliki pengaruh pada sistem,
misalnya ekspektasi peran.
c) Stressor ekstrapersonal, yaitu stressor yang juga terjadi di luar lingkup
sistem atau individu/keluarga tetapi lebih jauh jaraknya dari sistem
daripada stressor interpersonal, misalnya sosial politik.
2. Garis pertahanan dan perlawanan
 Garis pertahanan
a) Garis pertahanan normal (normal line of defense)
Garis pertahanan normal adalah lingkaran tebal di luar model.
Garis ini memperlihatkan sebuah stabilitas dari individu/sistem.
Hal tersebut di jaga sepanjang waktu dan diberikan sebagai
standar untuk menaksir dari kesejahteraan atau wellness klien. Hal
itu termasuk sistem variabel dan tingkah laku seperti pola koping,
pola hidup, dan tingkat perkembangan. Perluasan dari garis
pertahanan normal memperlihatkan peningkatan tahap
kesehatan/kesejahteraan.
b) Garis pertahanan fleksibel (flexible line of defense)
Garis pertahanan fleksibel adalah lingkaran putus di luar model.
Garis pertahanan fleksibel berperan memberikan respon awal atau
perlindungan pada sistem dari stressor. Garis ini bisa menjauh atau
mendekat pada garis pertahanan normal. Bila jarak antara garis
pertahanan meningkat maka tingkat proteksi pun meningkat. Oleh
sebab itu untuk mempertahankan keadaan stabil dari sistem klien,
maka perlu melindungi garis pertahanan normal dan bertindak
sebagai buffer. Kondisi ini bersifat dinamis dan dapat berubah
dalam waktu relatif singkat. Disamping itu, hubungan dari
berbagai variabel (fisiologis, psikologis, sosiokultur,
perkembangan, dan spiritual) dapat mempengaruhi tingkat
penggunaan garis pertahanan diri fleksibel terhadap berbagai
reaksi terhadap stressor
 Garis perlawanan hanya ada satu yaitu garis perlawanan resisten (lines
of resistance), yaitu rangkaian lingkaran putus-putus yang

48
mengelilingi struktur utama dasar. Lingkaran itu
memperlihatkan faktor sumber yang menolong klien melawan
serangan atau stressor. Sebagai contoh adalah sistem respon
imun/pertahanan tubuh. Ketika garis resisten itu efektif, sistem klien
dapat tersusun kembali, tetapi jika tidak efektif maka kematian dapat
terjadi atau dengan kata lain jika lines of resistance efektif dalam
merespon stressor tersebut, maka sistem depan berkonstitusi, jika tidak
efektif maka energi berkurang dan bisa timbul kematian. Jumlah
resisten terhadap sebuah stressor ditentukan oleh hubungan antar 5
variabel dalam sistem klien.

Gambar 2.1. Garis Pertahanan dan Perlawanan dalam Model Sistem


Neuman (Stepans & Knight, 2002)
3. Tingkatan pencegahan
Tingkatan pencegahan ini membantu memelihara keseimbangan yang
terdiri dari (Neuman, 1982 dalam Potter dan Perry, 2005) :
a) Pencegahan primer
Pencegahan primer berfokus pada peningkatan pertahanan tubuh
melalui identifikasi faktor-faktor resiko yang potensial dan aktual yang
terjadi akibat stressor tertentu. Pencegahan ini terjadi sebelum sistem
bereaksi terhadap stressor, seperti promosi kesehatan dan
mempertahankan kesehatan. Pencegahan primer mengutamakan pada
penguatan flexible lines of defense dengan cara mencegah stress dan
mengurangi faktor-faktor resiko. Intervensi dilakukan jika resiko atau
masalah sudah diidentifikasi tapi sebelum reaksi terjadi. Strateginya
mencakup imunisasi, pendidikan kesehatan, olahraga, dan perubahan
gaya hidup.

49
b) Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder berfokus pada penguatan pertahanan dan sumber
internal melalui penetapan prioritas dan rencana pengobatan pada
gejala-gejala yang tampak. Pencegahan ini meliputi berbagai tindakan
yang dimulai setelah ada gejala dari stressor. Pencegahan sekunder
mengutamakan pada penguatan internal lines of resistance,
mengurangi reaksi, dan meningkatkan faktor-faktor resisten sehingga
melindungi struktur dasar melalui tindakan-tindakan yang tepat sesuai
gejala. Tujuannya adalah untuk memperoleh kestabilan sistem secara
optimal dan memelihara energi. Jika pencegahan sekunder tidak
berhasil dan rekonstitusi tidak terjadi maka struktur dasar tidak dapat
mendukung sistem dan intervensi-intervensinya sehingga bisa
menyebabkan kematian.
c) Pencegahan tersier
Pencegahan tersier berfokus pada proses adaptasi kembali. Prinsip dari
pencegahan tersier adalah untuk memberikan penguatan pertahanan
tubuh terhadap stressor, dilakukan setelah sistem ditangani dengan
strategi-strategi pencegahan sekunder. Pencegahan tersier difokuskan
pada perbaikan kembali ke arah stabilitas sistem klien secara optimal.
Tujuan utamanya adalah untuk memperkuat resistensi terhadap
stressor dan untuk mencegah reaksi timbul kembali atau regresi,
sehingga dapat mempertahankan energi. Pencegahan tersier cenderung
untuk kembali pada pencegahan primer.
4. Sistem klien
Model sistem Neuman merupakan suatu pendekatan sistem yang terbuka
dan dinamis terhadap klien yang dikembangkan untuk memberikan suatu
kesatuan dan pemahaman terbaik dari interaksi klien dengan
lingkungannya. Stress dan reaksi terhadap stres merupakan komponen
dasar dari sistem terbuka (Tomey & Alligood, 2002). Klien sebagai suatu
sistem memberikan arti bahwa adanya keterkaitan antar aspek yang
terdapat dalam sistem tersebut. Kesehatan klien akan dipengaruhi oleh
keluarganya, kelompoknya, komunitasnya, bahkan lingkungan sosialnya.

50
Neuman meyakini bahwa klien sebagai suatu sistem memiliki lima variabel
yang membentuk sistem klien yaitu fisik, psikologis, sosiokultur,
perkembangan, dan spiritual. Selanjutnya juga dijelaskan oleh Neuman
bahwa klien merupakan cerminan secara holistik dan multidimensional
(Fawcett, 2005). Pernyataan tersebut membuktikan bahwa setiap orang itu
akan memiliki keunikan masing-masing dalam mempersepsikan dan
menanggapi suatu peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari- hari.
Neuman mengubah ejaan atau istilah dari “Holistic” menjadi “Wholistic”
dalam edisi keduanya untuk meningkatkan pengertian atau pemahaman
terhadap orang secara keseluruhan.
5. Struktur dasar (core)
Struktur dasar berisi seluruh variabel untuk mempertahankan hidup dasar
yang biasanya terdapat pada manusia sesuai karakteristik individu yang
unik. Variabel-variabel tersebut yaitu variabel sistem, genetik, dan
kekuatan atau kelemahan bagian-bagian sistem.
6. Intervensi
Intervensi merupakan tindakan-tindakan yang membantu untuk
memperoleh, meningkatkan, dan memelihara sistem keseimbangan yang
terdiri dari pencegahan primer, sekunder, dan tersier.
7. Rekonstitusi
Neuman (1995) mendefinisikan rekonstitusi sebagai peningkatan energi
yang terjadi berkaitan dengan tingkat reaksi terhadap stressor. Rekonstitusi
dapat dimulai dengan tindakan terhadap invasi stressor. Rekonstitusi
adalah suatu adaptasi terhadap stressor dalam lingkungan internal dan
eksternal. Rekonstitusi bisa memperluas normal line defense ke tingkat
sebelumnya, menstabilkan sistem pada tingkat yang lebih rendah, dan
mengembalikannya pada tingkat semula sebelum sakit. Yang termasuk
rekonstitusi adalah faktor-faktor interpersonal, intrapersonal,
ekstrapersonal, dan lingkungan yang berkaitan dengan variabel fisiologis,
psikologis, sosiokultural, perkembangan, dan spiritual.
Model sistem Neuman ini sangat sesuai untuk diterapkan pada
pengkajian di masyarakat, karena pendekatan yang dipergunakan adalah pada

51
komunitas sebagai sistem klien. Model konsep ini merupakan model konsep
yang menggambarkan aktivitas keperawatan yang ditunjukkan pada penekanan
penurunan stress dengan cara memperkuat garis pertahanan diri, baik yang
bersifat fleksibel, normal, maupun resistan dengan sasaran pelayanan
komunitas. Penerapan model konseptual keperawatan komunitas dan Betty
Neuman berfokus pada penurunan stress dengan memperkuat garis pertahanan
diri dan intervensi diarahkan pada ketiga garis pertahanan dan dikaitkan
dengan tiga level prevensi (Mubarak, 2011).
Sesuai dengan teori Neuman, komunitas dilihat sebagai klien yang
dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu (Mubarak, 2011):
1. Komunitas yang merupakan klien.
2. Penggunaan proses keperawatan sebagai pendekatan yang terdiri atas lima
tahapan, yaitu pengkajian, diagnose keperawatan, perencanaan intervensi,
implementasi, dan evaluasi.

Gambar 2.2 Model konseptual keperawatan komunitas menurut Betty


Neuman.

52
Asuhan keperawatan yang diberikan kepada komunitas atau kelompok
adalah sebagai berikut:
1. Pengkajian
Hal yang perlu dikaji pada komunitas atau kelompok, antara lain sebagai
berikut:
a. Inti (core), meliputi: data demografi kelompok atau komunitas yang
terdiri atas usia beresiko, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, agama,
nilai keyakinan, serta riwayat timbulnya kelompok atau komunitas.
b. Mengkaji delapan sub sistem yang mempengaruhi komunitas, antara
lain:
1) Perumahan, bagaimana penerangannya, sirkulasi, dan bagaimana
kepadatannya karena dapat menjadi stressor bagi penduduk.
2) Pendidikan komunitas, apakah ada sarana pendidikan yang dapat
digunakan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat.
3) Keamanan dan keselamatan, bagaimana keamanan dan
keselamatan di lingkungan tempat tinggal, apakah masyarakat
merasa nyaman atau tidak, dan apakah sering mengalami stres
akibat keamanan dan keselamatan yang tidak terjamin.
4) Politik dan kebijakan pemerintah terkait kesehatan, apakah cukup
menunjang sehingga memudahkan masyarakat mendapatkan
pelayanan di berbagai bidang termasuk kesehatan.
5) Pelayanan kesehatan yang tersedia, untuk melakukan deteksi dini,
merawat, atau memantau gangguan yang terjadi.
6) Sistem komunikasi, sarana komunikasi apa saja yang tersedia dan
dapat dimanfaatkan di masyarakat untuk meningkatkan
pengetahuan terkait dengan gangguan penyakit, misalnya media
televisi, radio, koran, atau leaflet yang diberikan kepada
masyarakat.
7) Sistem ekonomi, tingkat sosial ekonomi masyarakat secara
keseluruhan, apakah pendapatan yang diterima sesuai dengan
kebijakan Upah Minimum Regional (UMR) atau sebaliknya
dibawah upah minimum. Hal ini terkait dengan upaya pelayanan

53
kesehatan yang ditunjukkan pada anjuran untuk mengkonsumsi
jenis makanan sesuai kemampuan ekonomi masing-masing.
8) Rekreasi, apakah tersedia sarana rekreasi, kapan saja dibuka,
apakah biayanya dapat dijangkau oleh masyarakat. Rekreasi
hendaknya dapat digunakan masyarakat untuk membantu
mengurangi stressor.
2. Diagnosis keperawatan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tingkat reaksi komunitas terhadap
stressor yang ada. Selanjutnya dirumuskan dalam 3 komponen P (problem
atau masalah), E (etiology atau penyebab), dan S (symptom atau
manifestasi/data penunjang). Misalnya, resiko tinggi peningkatan
gangguan penyakit kardiovaskuler pada komunitas di RT 01 RW 01
Kelurahan Sowowinangun sehubungan dengan kurangnya kesadaran
masyarakat tentang hidup sehat ditandai dengan:
a. 0,15% ditemukan warga yang di rawat dengan gangguan
kardiovaskuler.
b. 50% RT 01 RW 02 mengkonsumsi lemak tinggi.
c. Didapatkan 20% saja yang memiliki kebiasaan berolahraga.
d. Rekreasi tidak teratur.
e. Informasi tentang gangguan kardiovaskuler kurang.
3. Perencanaan intervensi
Perencanan intervensi yang dapat dilakukan berkaitan dengan diagnosis
keperawatan komunitas yang muncul diatas adalah:
a. Lakukan pendidikan kesehatan tentang penyakit gangguan
kardiovaskuler.
b. Lakukan demonstrasi keterampilan cara menangani stress dan teknik
relaksasi.
c. Lakukan deteksi dini tanda-tanda gangguan penyakit kardiovaskuler
melalui pemeriksaan tekanan darah.
d. Lakukan kerja sama dengan ahli gizi untuk menetapkan diet yang tepat
bagi yang beresiko.

54
e. Lakukan olahraga secara rutin sesuai dengan kemampuan fungsi
jantung.
f. Lakukan kerja sama dengan petugas dan aparat pemerintah setempat
untuk memperbaiki lingkungan atau komunitas apabila ditemui ada
penyebab stressor.
g. Lakukan rujukan ke rumah sakit bila diperlukan.
4. Implementasi
Perawat bertanggung jawab untuk melaksanakan tindakan yang telah
direncanakan yang bersifat:
a. Bantuan untuk mengatasi masalah gangguan penyakit kardiovaskuler
di komunitas.
b. Mempertahankan kondisi yang seimbang, dalam hal ini berperilaku
hidup sehat dan melaksanakan upaya peningkatan kesehatan.
c. Mendidik komunitas tentang perilaku sehat untuk mencegah gangguan
penyakit kardiovaskuler.
d. Sebagai advokat komunitas yang sekaligus memfasilitasi terpenuhinya
kebutuhan komunitas.
5. Evaluasi/penilaian
a. Menilai respon verbal dan nonverbal komunitas setelah dilakukan
intervensi.
b. Menilai kemajuan yang dicapai oleh komunitas setelah dilakukan
intervensi keperawatan.
c. Mencatat adanya kasus baru yang di rujuk ke rumah sakit.

55
Gambar 2.3 Model System Neuman (Tomey and Alligood, 2002)
3.2.8 Kelebihan dan Kelemahan Model Konseptual Betty Neuman
1. Kekuatan
a. Kekuatan model ini terletak pada adanya pencegahan,
pendidikan kesehatan, dan kesejahteraan sebagaimana
mengelola sehat-sakit dan pendekatan interdisiplin.
b. Model keperawatan ini selama perkembangannya telah
banyak diterima dan diaplikasikan oleh beberapa pakar-pakar
keperawatan dan diaplikasikan pada berbagai tempat
perawatan meliputi intensive care, gawat darurat, perawatan
mental, perawatan anak, perawatan dewasa, dan perawatan
komunitas.
c. Model ini banyak digunakan di bidang penelitan dan
pendidikan keperawatan.

56
d. Model sistem Neuman lebih fleksibel sehingga dapat
digunakan pada area keperawatan, pendidikan, dan pelatihan
keperawatan.
e. Neuman menggunakan diagram yang jelas, diagram ini
digunakan dalam semua penjelasan tentang teori sehingga
membuat teori terlihat menarik. Diagram ini mempertinggi
kejelasan dan menyediakan perawat dengan tantangan-
tantangan untuk pertimbangan.
f. Tujuan mudah dicapai pada sistem yang sudah mantap dan
solid dan mekanisme sistem lebih jelas dan terarah.
g. Neuman mengemukakan bahwa lingkungan sebagai kekuatan
eksternal dan internal yang berada di sekitar klien. Dimana
lingkungan diciptakan untuk menjaga homeostasis.
Lingkungan sebagai sistem terbuka yang dipengaruhi oleh
stressor.
h. Adanya pengakuan bahwa individu mempunyai kemampuan
belajar dan berkembang.
i. Tingkat adaptasi klien tinggi dan adanya kontuinitas serta
peningkatan kualitas.
j. Model Neuman terus-menerus dikembangkan dan
mendapatkan umpan balik dari seluruh dunia sehingga model
Neuman terus-menerus mengalami perbaikan.
2. Kelemahan
a. Model Neuman berawal dari sintesis berbagai disiplin ilmu,
tidak berdasarkan riset empiris murni keperawatan sehingga
perlu teori keperawatan lain sebagai pendukung agar dapat
diterapkan di dalam keperawatan secara praktis.
b. Karena model teori Neuman dapat digunakan oleh semua
profesi kesehatan, teori ini gagal mengidentifikasi konstribusi
unik perawat terhadap pelayanan kesehatan

57
c. Hubungan antara perawat dan klien dianggap sebagai domain
keperawatan tidak teridentifikasi dan peran dari individu
sendiri kurang karena lebih banyak melibatkan sistem.
d. Intervensi keperawatan berfokus pada upaya pencegahan
(primer, sekunder, tersier) yang harus melibatkan orang
banyak, penanganannya multidimensional dan membutuhkan
biaya yang banyak.
e. Teori Neuman menganggap manusia lebih mengandalkan
kemampuan belajar, sedangkan manusia juga sebagai sistem
adaptif memiliki mekanisme koping atau dengan kata lain
manusia dipandang hanya sebagai elemen dalam pelayanan.
3.2.9 Penerapan Teori Betty Neuman pada Praktek Keperawatan
Model Neuman memberikan panduan pada tahap pengkajian bagi
perawat. Pengkajian tersebut difokuskan pada pengkajian garis pertahanan
normal atau mekanisme koping (Neal, 1981). Model ini juga dapat
diaplikasikan pada praktek keperawatan jiwa (Beitler, Tkachuck, Aamodt,
1980). Hasil diskusi yang didapatkan adalah stressor dapat diatasi pada tahap
primer, sekunder, dan tersier. Pada tahap pencegahan primer, dapat dilakukan
perawat dengan memberikan promosi tentang penerimaan kehidupan sebagai
suatu cara untuk mencegah terjadinya frustasi. Pada tahap sekunder, perawat
dapat berusaha untuk memberikan bantuan kepada pasien untuk
mengekspresikan perasaannya. Sedangkan pada tahap tersier, perawat
mengusahakan dengan memberikan dukungan lingkungan terhadap pasien
dengan krisis.
Model sistem dari Neuman juga sering digunakan dalam perawat
kesehatan masyarakat di Amerika dan Kanada karena luas dan struktur terbuka
cocok untuk individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat. Model ditunjang
oleh banyak teori dan mempunyai tujuan yang bermanfaat pada perawatan
kesehatan masyarakat untuk mengorganisasikan data dan bimbingan praktek.
Perawat kesehatan masyarakat menekankan pada peningkatan kesehatan dan
memperbaiki kesehatan pada kelompok yang luas untuk menghimpun individu
(Beddome, 1989). Model sistem dari Neuman didasarkan pada sistem teori

58
yang memungkinkan perawat kesehatan menjelaskan paradigma keperawatan
dalam istilah-istilah yang berlaku pada masyarakat seperti individu, keluarga,
kelompok, atau masyarakat yang dapat berperan sebagai target pelayanan
kesehatan. Lingkungan didefinisikan sebagai semua keadaan internal dan
eksternal atau pengaruh yang berdampak kepada masyarakat. Faktor negatif
biasanya merujuk pada stressor (Neuman, 1989). Kesehatan untuk masyarakat
adalah suatu nilai-nilai yang optimal atau tingkat yang stabil. Bila sistem dalam
masyarakat menyebabkan lebih bersemangat dari biasanya, maka status
kesehatan bergerak ke depan negentropy (kesehatan yang ideal). Bila energi
berlebihan digunakan dari produksi, maka masyarakat bergerak pada entropy
atau mati (Neuman, 1989 hal 33).
Berdasarkan dari teori tersebut, teori model Betty Neuman ini dapat
diterapkan di Indonesia pada keperawatan komunitas dan keperawatn jiwa. Hal
ini didukung dengan penelitian dan penerapan lebih lanjut. Penerapan teori
model Neuman adalah pada garis pertahanan diri pada komunitas yang
meliputi garis pertahanan fleksibel, yaitu ketersediaan dana, pelayanan
kesehatan, iklim, pekerjaan, dan lain-lain. Garis besar pertahanan normal yang
meliputi ketersediaan pelayanan, adanya perlindungan status nutrisi secara
umum, tingkat pendapatan, rumah yang memenuhi syarat kesehatan, dan sikap
masyarakat terhadap kesehatan. Garis pertahanan resisten yang meliputi
adanya ketersediaan pelayanan kesehatan, tingkat pendidikan masyarakat,
transportasi, tempat rekreasi, dan cakupan dari imunisasi di daerah yang ada.
Intervensi keperawatan diarahkan pada garis pertahanan dengan menggunakan
pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Dengan demikian stabilitas
kesehatan klien dan keluarga dalam lingkungan akan optimal.

59

Anda mungkin juga menyukai