Anda di halaman 1dari 21

TINJAUAN TEORI

FRAKTUR

A. DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan
luasnya (Wijaya, 2013). Fraktur tulang terjadi apabila resistensi tulang
terhadap tekanan menghasilkan daya untuk menekan. Ketika terjadi fraktur
pada sebuah tulang, maka periosteum serta pembuluh darah di dalam korteks,
sumsum tulang, dan jaringan lunak di sekitarnya akan mengalami disrupsi.
Hematoma akan terbentuk diantara kedua ujung patahan tulang serta di bawah
periosteum, dan akhirnya jaringan granulasi menggantikan hematoma tersebut
(Wong, 2009). Fraktur didefinisikan sebagai suatu kerusakan morfologi pada
kontinuitas tulang atau bagian tulang, seperti lempeng epifisisatau kartilago
(Chang, 2010). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan
sendi, tulang rawan epifisis baik yang bersifat total maupun parsial (Noor,
2016).

Berdasarkan beberapa pengertia menurut para ahli diatas, dapat disimpulkan


bahwa fraktur adalah kerusakan morfologi pada kontinuitas tulang yang
bersifat total atau parsial.
B. ANATOMI FISIOLOGI

Sistem muskuloskeletal terdiri dari tulang, sendi, otot dan struktur pendukung
lainnya (tendon, ligament, fasia dan bursae). Pertumbuhan dan perkembangan
struktur ini terjadi selama masa kanak-kanak dan remaja (Apley.A, 2010).
1. Tulang
Struktur tulang dan jaringan ikat menyusun kurang lebih 25% berat badan
dan otot menyusun kurang lebih 50%. Kesahatan dan fungsi sistem
musculoskeletal sangat bergantung pada sistem tubuh lain. Struktur tulang
memberi perlindungan terhadap organ vital, termasuk otak, jantung dan
paru-paru. Kerangka tulang merupakan kerangka yang kuat untuk
menyangga struktur tubuh. Otot yang melekat ke tulang memungkinkan
tubuh bergerak. Jenis tulang, yaitu:
a. Tulang Panjang
Tulang panjang (missal: femur, humerus) bentuknya silindris dan
berukuran panjang seperti batang (diafisis) tersusun atas tulang
kompakta, dengan kedua ujungnya berbentuk bulat (epifisis) tersusun
atas tulang kanselus. Tulang diafisis memiliki lapisan luar berupa
tulang kompakta yang melindungi sebuah rongga tengah yang disebut
kanal medulla yang mengandung sumsum kuning. Sumsum kuning
terdiri dari lemak dan pembuluh darah, tetapi suplai darah atau
eritrositnya tidak banyak. Tulang epifisis terdiri dari tulang spongiosa
yang mengandung sumsum merah yang isinya sama seperti sumsum
kuning dan dibungkus oleh selapis tipis tulang kompakta. Bagian luar
tulang panjang dilapisi jaringan fibrosa kuat yang disebut periosteum.
Lapisan ini kaya dengan pembuluh darah yang menembus tulang.
Periostenum memberi nutrisi tulang dibawahnya melalui pembuluh
darah. Jika periostenum robek, tulang di bawahnya akan mati.
Periostenum berperan untuk pertambahan kekebalan tulang melalui
kerja osteoblas. Periostenum berfungsi protektif dan merupakan tempat
pelekatan tendon.Periostenum tidak ditemukan pada permukaan sendi.
b. Tulang Pendek
Tulang pendek (misal: ruas-ruas tulang belakang, tulang
pergelangan tangan, tulang pergelangan kaki) bentuknya hampir sama
dengan tulang panjang, tetapi bagian distal lebih kecil dari pada bagian
proksimal, serta berukuran pendek dan kecil. Berfungsi sebagai tempat
pembentukan sel darah merah dan sel darah putih.
c. Tulang Pipih
Tulang pipih (misal: sternum, kepala, scapula, panggul, tulang
dada, tulang belikat) bentuknya gepeng, berisi sel-sel pembentuk darah
merah dan putih, dan melindungi organ vital dan lunak dibawahnya.
Tulang pipih terdiri dari 2 lapis tulang kompakta dan di bagian
tengahnya terdapat lapisan spongiosa. Tulang ini juga dilapisi oleh
periostenum yang dilewati oleh dua kelompok pembuluh darah
menembus tulang untuk menyuplai tulang kompakta dan tulang
spongiosa.
d. Tulang Tidak Beraturan
Tulang tidak beraturan (misal: vertebra, telinga tengah) mempunyai
bentuk yang unik sesuai fungsinya. Tulang tidak beraturan terdiri dari
tulang spongiosa yang dibungkus oleh selapis tipis tulang kompakta.
Tulang ini diselubungi periostenum kecuali pada permukaan sendinya
seperti tulang pipih. Periostenum ini memberi dua kelompok pembuluh
darah untuk menyuplai tulang kompakta dan spongiosa.
e. Tulang Sesamoid
Tulang sesamoid (misal: patella) merupakan tulang kecil yang
terletak disekitar tulang yang berdekatan dengan persendian,
berkembang bersama tendon dan jaringan fasia.
f. Tulang Pipa
Tulang pipa bentuknya bulat, panjang, dan tengahnya berongga.
Contoh tulang pipa yaitu: tulang paha, tulang lengan atas, tulang jari
tangan. Fungsi tulang ini adalah sebai tempat pembentukan sel darah
merah.

Struktur Tulang
Tersusun oleh jaringan tulang kompakta (kortikal) dan kanselus
(trabekular atau spongiosa). Tulang kompakta terlihat padat. Akan tetapi
jika diperiksa dengan makroskop terdiri dari system havers. System havers
terdiri dari kanal havers. Sebuah kanal havers mengandung pembuluh
darah, saraf, dan pembuluh limfe, lamela (lempengan tulang yang
mengelilingi kanal sentral), kaluna (ruang diantara lamella yang
mengandung sel-sel tulang atau osteosit dan saluran limfe), dan kanalikuli
(saluran kecil yang menghubungkan lacuna dan kanal sentral). Saluran ini
mengandung pembuluh limfe yang membawa nutrient dan oksigen ke
osteosit.
Sel-sel penyusun tulang terdiri dari:
a. Osteoblas berfungsi menghasilkan jarinagan osteosid dan menyekresi
sejumlah besar fosfatase alkali yang berperan penting dalam
pengendapan kalsium dan fosfat kedalam matriks tulang.
b. Osteosit adalah sel-sel tulang dewasa yang bertindak sebagai lintasan
untuk pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat.
c. Osteoklas adalah sel-sel berinti banyak yang memungkinkan mineral
dan matriks tulang dapat diabsorbsi. Sel-sel ini menghasilkan enzim
proteolitik yang memecah matriks dan beberapa asam yang melarutkan
mineral tulang, sehingga kalsium dan fosfat terlepas kedalam darah.
2. Sendi
Pergerakan tidak mungkin terjadi jika kelenturan dalam rangka tulang
tidak ada. Kelenturan dimungkinkan oleh adanya persendian. Sendi adalah
suatu ruangan, tempat satu atau dua tulang berada saling berdekatan.
Fungsi utama sendi adalah memberikan pergerakan dan fleksibilitas dalam
tubuh. Bentuk persendian ditetapkan berdasarkan jumlah dan tipe
pergerakannya, sedangkan klasifikasi sendi berdasarkan pada jumlah
pergerakan yang dilakukan.
Menurut klasifikasinya, sendi terdiri dari:
a. Sendi sinartrosis (sendi yang tidak bergerak sama sekali). Contohnya
satura tulang tengkorak.
b. Sendi amfriartosis (sendi bergerak terbatas) contohnya pelvik, simfisis,
dan tibia.
c. Sendi diartrosis/sinoval (sendi bergerak bebas). Contohnya siku, lutut,
dan pergelangan tangan.
Berdasarkan strukturnya, sendi dibedakan atas:
a. Fibrosa
Sendi ini tidak memiliki lapisan tulang rawan, dan tulang yang satu
dengan yang lainnya dihubungkan oleh jaringan penyambung pibrosa.
Contohnya, sutura tulang tengkorak perlekatan tulang tibia dan fibula
bagian distal.
b. Kartilago
Sendi yang ujung-ujung tulungnya terbungkus oleh tulang rawan
hialin, disokong oleh ligament dan hanya dapat sedikit bergerak. Sendi
ini terbagi menjadi 2, yaitu:
1) Sinkondrosisàsendi-sendi yang seluruh persendiannya diliputi
oleh tulang rawan hialin. Contohnya, sendi-sendi kostokondral.
2) Simfisisàsendi yang tulang-tulangnya memiliki suatu hubungan
fibrokartilago dan selapis tipis tulang rawan hialin yang
menyelimuti permukaan sendi. Contohnya, simfisis pubis dan
sendi tulang punggung.
c. Sendi synovial
Sendi tubuh yang dapat digerakan serta memiliki rongga sendi dan
permukaan sendi yang dilapisi tulang rawan hialin. Sendi ini adalah
jenis sendi yang paling umum dalam tubuh dan berasal dari kata
sinovium yang merupakan membran yang menyekresi cairan synovial
untuk lumbrikasi dan absorpsi syok.
Kondrosit merupakan satu-satunya sel hidup di dalam tulang rawan
sendi. Kondrosit ini dipengaruhi oleh faktor anabolik dan faktor
katabolik dalam mempertahankan keseimbangan sintesis dan
degradasi. Faktor katabolik utama diperankan oleh sitoksin interkeukin
1 beta, dan tumor nekrosis faktor alfa. Sedangkan faktor anabolik
diperankan oleh transforming growth factor (TGF beta) dan insulin-
like growth factor 1 (IGF 1). Dalam menjaga keseimbangan atau
homeostasis apabila terjadi osteoarthritis kondrosit akan meningkatkan
aktivitas sitokinin yang menyebabkan dikeluarkannya mediator
inflamasi dan matriks metalloproteinase (MMP).
3. Otot
Otot skeletal secara volunter dikendalikan oleh system syaraf pusat dan
perifer. Penghubung antara saraf motorik perifer dan sel-sel otot dikenal
sebagai motor end-plate.
Otot dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Otot rangka (lurik)
Diliputi oleh kapsul jaringan ikat. Lapisan jaringan ikat yang
membungkus otot disebut fasia otot atau episium. Otot ini terdiri dari
berkas-berkas sel otot kecil yang dibungkus lapisan jaringan ikat yang
disebut perimisium. Sel otot ini dilapisi jaringan ikat yang disebut
endomisium.

b. Otot visceral (polos)


Terdapat pada saluran pencernaan, saluran perkemihan, dan pembuluh
darah. Otot ini dipersarafi oleh sistem saraf otonom dan kontraksinya
tidak dibawah kontrol keinginan.
c. Otot jantung
Ditemukan hanya pada jantung dan kontraksinya diluar kontrol atau
diluar keinginan. Otot berkontraksi jika ada rangsangan dari adenosine
trifosfat (ATP) dan kalsium.

Fungsi Otot Skeletal


Fungsi otot skeletal adalah mengontrol pergerakan, mempertahankan
postur tubuh dan menghasilkan panas.
a. Eksitabilitas adalah kesanggupan sel untuk menerima dan merespons
stimulus. Stimulus biasanya dihantarkan oleh nuerotransmiter yang
dikeluarkan oleh neuron dan respons yang distransmisikan dan
dihasilkan oleh potensial aksi pada membran plasma dari sel otot.
b. Kontraktibilitas adalah kesanggupan sel untuk merespons stimulus
dengan memendek secara paksa.
c. Ekstensibilitas adalah kesanggupan sel untuk merespons stimulus
dengan memperpanjang dan memperpendek serat otot saat relaksasi
ketika berkontraksi dan memanjang jika rileks.
Elastisitas adalah kesanggupan sel untuk menghasilkan waktu istirahat
yang lama setelah memendek dan memanjang (Dudley, 2013).

C. ETIOLOGI
Jenis fraktur dibedakan menjadi:
1. Cedera Traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh:
a. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang patah seacara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan
fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.
b. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan
fraktur klavikula.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot
yang kuat.

2. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan
trauma minor dapat mengakibatkan fraktur, seperti:
a. Tumor tulang (jinak atau ganas), yaitu pertumbuhan jaringan baru yang
tidak terkendali atau progresif.
b. Infeksi seperti mosteomyelitis, dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut
atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan
sakit nyeri.
c. Rakhitis, suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
vitamin D.
d. Stress tulang seperti pada penyakit polio dan orang yang bertugas di
kemiliteran (Sugeng, 2012).

D. TANDA DAN GEJALA


Menurut Henderson (2012) tanda dan gejala fraktur diantaranya:
1. Deformitas
Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari
tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti:
a. Rotasi pemendekan tulang
b. Penekanan tulang
2. Bengkak
Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam
jaringan yang berdekatan dengan fraktur
3. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
4. Tenderness/keempukan
5. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
6. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya
saraf/perdarahan)
7. Pergerakan abnormal
8. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
9. Krepitasi

E. PATOFISIOLOGI
Fraktur dapat disebabkan oleh Traumatik (jatuh), patologis
(osteoporosis,tumor tulang, infeksi) sehingga dapat mengakibatkan
terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya atau
disebut fraktur. Fraktur dapat mengakibtan terjadi beberapa gangguan seperti
dapat mengakibatkan cidera pada sel yang dapat mengakibatkan degranulasi
selt mast sehingga terjadi pelepasan mediator kimia dari sel yang akan
mempengaruhi medula spinalis dan korteks serebri sehingga dapat
mengakibatkan timbulnya rasa nyeri. Cedera juga mengakibatkan terjadinya
gangguan mobilitas fisik pada pasien.
Fraktur juga mengakibatkan terjadinya diskontinuitas fragmen tulang
yang mengakibatkan lebasnya lipid pada sumsum tulang sehingga terabsorpsi
masuk ke pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan terjadinya emboli
yang mengakibatkan oklusi jaringan paru yang mengakibatkan nekrosis
jaringan paru sehingga luas permukaan paru berkurang yang mengakibatkan
penurunan laju difusi sehingga terjadi gangguan pertukaran gas.
Apabila fraktur mengakibatkan terjadinya luka terbuka dapat
menimbulkan gangguan integritas kulit dan dapat juga menimbulkan
terjadinya infeksi atau resiko terjadi infeksi. Selain itu juga dapat
menimbulkan peradangan atau reaksi peradagangan yang mengakibatkan
terjadinya udema sehingga terjadi penekanan jaringan vaskuler sehingga aliran
darah menurun sehingga timbul masalah keperawatan resiko disfungsi
neurovaskuler (Ignatavicius, 2012).

F. PATHWAY
Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis

Fraktur
Diskontinuitas tulang Pergeseran fragmen tulang Nyeri Akut
Perubahan jaringan sekitar Kerusakan fragmen tulang

Pergeseran fragmen tulang Spasme otot Tekanan sumsum tulang


tekanan kapiler lebih tinggi dari kapiler
Deformitas Melepaskan katekolamin
Pelepasan histamin
Gg. fungsi ekstremitas Metabolisme as. lemak
Protein plasma hilang
Hambatan Mobilitas Fisik Bergabung dengan trombosit
Laserasi Kulit Edema
Penekanan pemb. darah Emboli
Menyumbat pemb. darah

Kerusakan Risiko Infeksi


Ketidakefektifan Perfusi
Integritas Kulit
Putus vena/arteri Jaringan Perifer

Risiko Perdarahan Perdarahan

Kehilangan volume cairan

Risiko Syok
G. KLASIFIKASI
Fraktur dapat dikategorikan berdasarkan
1. Jumlah garis
a. Simple fraktur: terdapat satu garis fraktur
b. Multiple fraktur: lebih dari satu garis fraktur
c. Comminutive fraktur: lebih banyak garis fraktur dan patah menjadi
fragmen kecil
2. Luas garis fraktur
a. Fraktur inkomplit: tulang tidak terpotong secara total
b. Fraktur komplikasi: tulang terpotong total
c. Hair line fraktur: garis fraktur tidak tampak
3. Bentuk fragmen
a. Green stick: retak pada sebelah sisi dari tulang (sering pada anak-anak)
b. Fraktur tranversal: fraktur fragmen melintang
c. Fraktur obligue: fraktur fragmen miring
d. Fraktur spiral: fraktur fragmen melingkar (Rasjad, 2012).

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG/DIAGNOSTIK
1. X-ray: untuk menentukan luas/lokasi fraktur.
2. Scan tulang untuk memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler.
4. Hitung darah lengkap, homokonsentrasi mungkin meningkat, menurun
pada perdarahan: peningkatan leukosit sebagai respon terhadap
peradangan.
5. Kretinin: trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk klirens ginjal.
6. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi
atau cedera hati (Wijaya, 2013).

I. PENATALAKSAAN
Terdapat beberapa tujuan penatalaksanaan fraktur menurut Reksoprodjo
(2012) yaitu: Mengembalikan/memperbaiki bagian-bagian yang patah
kedalam bentuk semula (anatomis), imobilisasi untuk mempertahankan bentuk
dan memperbaiki fungsi bagian tulang yang rusak.
1. Fraktur Reduction
Manipulasi atau penurunan tertutup, manipulasi non bedah penyusunan
kembali secara manual dari fragmen-fragmen tulang terhadap posisi
otonomi sebelumnya. Penurunan terbuka merupakan perbaikan tulang
terusan penjajaran insisi pembedahan, seringkali memasukkan internal
viksasi terhadap fraktur dengan kawat, sekrup peniti plates batang
intramedulasi, dan paku. Type lokasi fraktur tergantung umur klien.
Jenis-jenis fraktur reduction yaitu:
a. Manipulasi/close red
Adalah tindakan non bedah untuk mengembalikan posisi, panjang dan
bentuk. Close reduksi dilakukan dengan local anesthesia ataupun
umum.
b. Open reduksi
Adalah perbaikan bentuk tulang dengan tindakan pembedahan sering
dilakukan dengan internal fiksasi menggunakan kawat, screlus, pins,
plate, intermedullary rods atau nail. Kelemahan tindakan ini adalah
kemungkinan infeksi dan komplikasi berhubungan dengan ansesthesia.
Jika dilakukan open reduksi internal fiksasi pada tulang(termasuk
sendi) maka akan ada indikasi untuk melakukan ROM.
c. Traksi
Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang
fraktur untuk meluruskan bentuk tulang.
Ada 3 macam yaitu :
1) Skin traksi : adalah menarik bagian tulang yang
fraktur dengan menempel plester langsung pada kulit untuk
mempertahankan bentuk, membantu menimbulkan spasme otot
pada bagian yang cedera, dan biasanya digunakan untuk jangka
pendek (48-72 jam).
2) Skeletal Traksi: adalah traksi yang digunakan untuk
meluruskan tulang yang cedera dan sendi panjang untuk
mempertahankan traksi, memutuskan pins (kawat) kedalam tulang.
3) Maintenance traksi: merupakan lanjutan dari traksi,
kekuatan lanjutan dapat diberika secara langsung pada tulang
dengan kawat.
2. Fraktur Immobilisasi
a. Eksternal Fiksasi
b. Internal Fiksasi
c. Pemilihan Fraksi
3. Fraksi terbuka
a. Pembedahan debridement dan irigrasi
b. Imunisasi tetanus
c. Terapi antibiotic prophylactic
d. Immobilisasi

Cara operatif/pembedahan:
Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak keunggulannya
mungkin adalah pembedahan. Metode perawatan ini disebut fiksasi interna
dan reduksi terbuka. Pada umumnya insisi dilakukan pada tempat yang
mengalami cedera dan diteruskan sepanjang bidang anatomik menuju tempat
yang mengalami fraktur. Hematoma fraktur dan fragmen-fragmen tulang yang
telah mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian direposisi dengan tangan agar
menghasilkan posisi yang normal kembali. Sesudah direduksi, fragmen-
fragmen tulang ini dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa pen,
skrup, pelat, dan paku..
Keuntungan perawatan fraktur dengan pembedahan antara lain:
1. Ketelitian reposisi fragmen tulang yang patah
2. Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf yang berada
didekatnya
3. Dapat mencapai stabilitas fiksasi yang cukup memadai
4. Tidak perlu memasang gips dan alat-alat stabilisasi yang lain
5. Perawatan di RS dapat ditekan seminimal mungkin, terutama pada kasus-
kasus yang tanpa komplikasi dan dengan kemampuan mempertahankan
fungsi sendi dan fungsi otot hampir normal selama penatalaksanaan
dijalankan.
ASUHAN KEPERAWATAN SECARA TEORITIS
FRAKTUR

A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan
untuk mengumpulkan informasi atau data tentang klien, agar dapat
mengidentifikasi, mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan
keperawatan klien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan.
1. Identitas
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
b. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c. Region: radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien,
bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa
sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit Paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun
kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis
yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang
cenderung diturunkan secara genetik.

Pola-Pola Fungsi Kesehatan


1. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan
hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu
metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
2. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu
proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa
membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium
atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.

3. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau
feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak.
4. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
5. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh
orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk
terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain.
6. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena
klien harus menjalani rawat inap.
7. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image).
8. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada
kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur.

9. Pola Reproduksi Seksual


Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bias melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa
nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
10. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
11. Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan
baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri
dan keterbatasan gerak klien.
Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi (look)
Adanya deformitas dari jaringan tulang, namun tidak menembus kulit.
Anggota tubuh tidak dapat digerakkan.
2. Palpasi (feel)
a. Teraba deformitas tulang jika dibandingkan dengan sisi yang sehat
b. Nyeri tekan
c. Bengkak
d. Mengukur panjang anggota gerak lalu dibandingkan dengan sisi yang
sehat
3. Gerak (move)
Umumnya tidak dapat digerakkan.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleran aktivitas
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan pada tonjolan tulang
3. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik (Herdman, 2018).
C. INTERVENSI
No Diagnosa Keperawatan NOC NIC
1. Hambatan mobilitas fisik Setelah diberikan asuhan keperawatan NIC Label: Terapi Latihan Ambulasi
a. Dorong ambulasi independen dalam batas aman
berhubungan dengan asuhan keperawatan selama …x 24 jam,
b. Monitor penggunaan kruk pasien atau alat bantu
intoleran aktivitas nyeri yang dirasakan pasien berkurang
berjalan lainnya
dengan kriteria hasil: c. Bant pasien untuk perpindahan
NOC Label: Pergerakan d. Bantu pasien dengan ambulasi awal
a. Keseimbangan (5) tidak terganggu e. Bantu pasien untuk berdiri dan ambulasi dengan
b. Cara berjalan (5) tidak terganggu
jarak tertentu
c. Gerakan otot (5) tidak terganggu
f. Bantu pasien untuk membangun pencapaian yang
d. Berjalan (5) tidak terganggu
e. Bergerak dengan mudah (5) tidak realistis untuk ambulasi jarak
terganggu

2. Kerusakan integritas kulit Setelah diberikan asuhan keperawatan NIC Label: Pengecekan kulit
berhubungan dengan asuhan keperawatan selama …x 24 jam, a. Periksa kulit dan selaput lendir terkait dengan
tekanan pada tonjolan nyeri yang dirasakan pasien berkurang adanya kemerahan, kehangatan ekstrem, edema,
tulang dengan kriteria hasil: atau drainase
NOC Label: Integritas jaringan : kulit & b. Amati warna, kehangatan, bengkak, pulsasi, tekstur,
membran mukosa dan ulserasi pada ekstremitas
a. Suhu kulit (5) tidak terganggu. c. Periksa kondisi luka oprasi
b. Sensasi (5) tidak terganggu. d. Monitor warna dan suhu kulit
c. Elastisitas (5) tidak terganggu. e. Monitor kulit untuk adanya ruam dan lecet
d. Hidrasi (5) tidak terganggu. f. Monitor kulit untuk adanya kekeringan yang
e. Tekstur (5) tidak terganggu.
berlebihan dan kelembaban
f. Perfusi jaringan (5) tidak terganggu.
g. Monitor sumber tekanan dan gesekan
g. Integritas kulit (5) tidak terganggu.
h. Pigmentasi abnormal (5) tidak ada. h. Lakukan langkah- langkah untuk mencegah
i. Lesi pada kulit (5) tidak ada.
kerusakan lebih lanjut
Ajarkan anggota keluarga pemberian asuhan
mengenai tanda- tanda kerusakan kulit.
3. Nyeri akut berhubungan Setelah diberikan asuhan keperawatan NIC Label: Pemberian analgesik
a. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, keparahan
dengan agens cedera fisik asuhan keperawatan selama …x 24 jam,
nyeri sebelum mengobati pasien
nyeri yang dirasakan pasien berkurang
b. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan
dengan kriteria hasil:
frekuensi obat analgesic yang diresepkan
NOC Label: Kontrol nyeri c. Cek adanya riwayat alergi obat
a. Mengenali kapan terjadi nyeri (5) secara d. Pilih analgesic atau kombinasi analgesic yang sesuai
konsisten menunjukkan. ketika lebih dari satu diberikan
b. Menggambarkan factor penyebab (5) e. Dokumentasikan respon terhadap pemberian
secara konsisten menunjukkan. analgesic dan adanya efek samping
c. Menggunakan tindakan pengurangan
NIC Label: Manajemen nyeri
(nyeri) tanpa analgesik (5) secara
a. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang
konsisten menunjukkan.
d. Menggunakan analgetik yang di meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
rekomendasikan (5) secara konsisten kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan factor
menunjukkan. pencetus
e. Melaporkan perubahan terhadap gejala
b. Pastikan perawatan analgesic bagi pasien dilakukan
nyeri pada professional kesehatan (5)
dengan pemantauan yang ketat
secara konsisten menunjukkan.
c. Gali pengetahuan dan kepercayaan pasien mengenai
f. Melaporkan nyeri yang terkontrol (5)
nyeri
secara konsisten menunjukkan.
d. Berikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab
nyeri, berapa lama nyeri akan dirasakan dan
antisipasi akibat ketidaknyamanan akibat prosedur
e. Kendalikan factor lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon pasien terhadap
ketidaknyamanan
f. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri
g. Kolaborasi dengan pasien, orang terdekat dan tim
kesehatan lainnya untuk memilih dan
mengimplementasikan tindakan penurunan nyeri
nonfarmakologi dan farmakologi.
Bulechek, 2013 dan Moorhead, 2013
D. EVALUASI
1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleran aktivitas
a. Keseimbangan (5) tidak terganggu
b. Cara berjalan (5) tidak terganggu
c. Gerakan otot (5) tidak terganggu
d. Berjalan (5) tidak terganggu
e. Bergerak dengan mudah (5) tidak terganggu
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan pada tonjolan
tulang
a. Suhu kulit (5) tidak terganggu
b. Sensasi (5) tidak terganggu
c. Elastisitas (5) tidak terganggu
d. Hidrasi (5) tidak terganggu
e. Tekstur (5) tidak terganggu
f. Perfusi jaringan (5) tidak terganggu
g. Integritas kulit (5) tidak terganggu
h. Pigmentasi abnormal (5) tidak ada
i. Lesi pada kulit (5) tidak ada.
3. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik
a. Mengenali kapan terjadi nyeri (5) secara konsisten menunjukkan
b. Menggambarkan factor penyebab (5) secara konsisten menunjukkan
c. Menggunakan tindakan pengurangan (nyeri) tanpa analgesik (5) secara
konsisten menunjukkan
d. Menggunakan analgetik yang di rekomendasikan (5) secara konsisten
menunjukkan
e. Melaporkan perubahan terhadap gejala nyeri pada professional
kesehatan (5) secara konsisten menunjukkan
f. Melaporkan nyeri yang terkontrol (5) secara konsisten menunjukkan.

DAFTAR PUSTAKA

Apley, A. Graham. 2010. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Jakarta:
Widya Medika.

Bulechek, Gloria. M, et al. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC).


Sixth Edition. United States of America: Elsevier.

Chang, E., Daly, J., dan Elliott, D., 2010, Patofisiologi Aplikasi Pada Praktik
Keperawatan, 112-113, Jakarta, EGC.
Dudley, Hugh AF. 2013. Ilmu Bedah Gawat Darurat. Edisi II. FKUGM.

Henderson, M.A, 2012. Ilmu Bedah untuk Perawat, Yogyakarta: Yayasan Essentia
Medika.

Herdman, T. Heather. 2018. Nanda International Diagnosis Keperawatan:


Definisi dan Klasifikasi 2018-2020, Edisi 10. Jakarta: EGC.

Ignatavicius, Donna D, 2012. Medical Surgical Nursing : A Nursing Process


Approach, W.B. Saunder Company.

Moorhead, Sue. et al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). Fifth


Edition. United States of America: Elsevier.

Noor, Zairin. 2016. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal, Edisi 2. Jakarta:


Salemba Medika.

Rasjad, Chairuddin. 2012. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi, Edisi 3. Yogyakarta:


Yarsif Watampone.

Reksoprodjo, Soelarto, 2012 Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI/RSCM. Jakarta:


Binarupa Aksara.

Sugeng, Jitowiyono dan Weni Kristiyanasari. 2012. Asuhan Keperawatan Post


Operasi, Yogyakarta: Nuha Medika.

Wijaya A.S & Putri. 2013.KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah (keperawatan


dewasa) Yogyakarta: Nuha Medika.

Wong, L. Donna. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Vol. 1. Edisi 6.


Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai