A. DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan
luasnya (Wijaya, 2013).
Fraktur tulang terjadi apabila resistensi tulang terhadap tekanan
menghasilkan daya untuk menekan. Ketika terjadi fraktur pada sebuah tulang,
maka periosteum serta pembuluh darah di dalam korteks, sumsum tulang, dan
jaringan lunak di sekitarnya akan mengalami disrupsi. Hematoma akan terbentuk
diantara kedua ujung patahan tulang serta di bawah periosteum, dan akhirnya
jaringan granulasi menggantikan hematoma tersebut (Wong, 2009).
Fraktur didefinisikan sebagai suatu kerusakan morfologi pada kontinuitas
tulang atau bagian tulang, seperti lempeng epifisisatau kartilago (Chang, 2010).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan
epifisis baik yang bersifat total maupun parsial (Noor, 2016).
Berdasarkan beberapa pengertian menurut para ahli diatas, dapat
disimpulkan bahwa fraktur adalah kerusakan morfologi pada kontinuitas tulang
yang bersifat total atau parsial.
B. ANATOMI FISIOLOGI
Struktur Tulang
Tersusun oleh jaringan tulang kompakta (kortikal) dan kanselus
(trabekular atau spongiosa). Tulang kompakta terlihat padat. Akan tetapi jika
diperiksa dengan makroskop terdiri dari system havers. System havers terdiri
dari kanal havers. Sebuah kanal havers mengandung pembuluh darah, saraf,
dan pembuluh limfe, lamela (lempengan tulang yang mengelilingi kanal
sentral), kaluna (ruang diantara lamella yang mengandung sel-sel tulang atau
osteosit dan saluran limfe), dan kanalikuli (saluran kecil yang
menghubungkan lacuna dan kanal sentral). Saluran ini mengandung pembuluh
limfe yang membawa nutrient dan oksigen ke osteosit.
Sel-sel penyusun tulang terdiri dari:
a. Osteoblas berfungsi menghasilkan jarinagan osteosid dan menyekresi
sejumlah besar fosfatase alkali yang berperan penting dalam pengendapan
kalsium dan fosfat kedalam matriks tulang.
b. Osteosit adalah sel-sel tulang dewasa yang bertindak sebagai lintasan
untuk pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat.
c. Osteoklas adalah sel-sel berinti banyak yang memungkinkan mineral dan
matriks tulang dapat diabsorbsi. Sel-sel ini menghasilkan enzim
proteolitik yang memecah matriks dan beberapa asam yang melarutkan
mineral tulang, sehingga kalsium dan fosfat terlepas kedalam darah.
2. Sendi
Pergerakan tidak mungkin terjadi jika kelenturan dalam rangka tulang tidak
ada. Kelenturan dimungkinkan oleh adanya persendian. Sendi adalah suatu
ruangan, tempat satu atau dua tulang berada saling berdekatan. Fungsi utama
sendi adalah memberikan pergerakan dan fleksibilitas dalam tubuh. Bentuk
persendian ditetapkan berdasarkan jumlah dan tipe pergerakannya, sedangkan
klasifikasi sendi berdasarkan pada jumlah pergerakan yang dilakukan.
Menurut klasifikasinya, sendi terdiri dari:
a. Sendi sinartrosis (sendi yang tidak bergerak sama sekali). Contohnya
satura tulang tengkorak.
b. Sendi amfriartosis (sendi bergerak terbatas) contohnya pelvik, simfisis,
dan tibia.
c. Sendi diartrosis/sinoval (sendi bergerak bebas). Contohnya siku, lutut, dan
pergelangan tangan.
Berdasarkan strukturnya, sendi dibedakan atas:
a. Fibrosa
Sendi ini tidak memiliki lapisan tulang rawan, dan tulang yang satu
dengan yang lainnya dihubungkan oleh jaringan penyambung pibrosa.
Contohnya, sutura tulang tengkorak perlekatan tulang tibia dan fibula
bagian distal.
b. Kartilago
Sendi yang ujung-ujung tulungnya terbungkus oleh tulang rawan hialin,
disokong oleh ligament dan hanya dapat sedikit bergerak. Sendi ini terbagi
menjadi 2, yaitu:
1) Sinkondrosisàsendi-sendi yang seluruh persendiannya diliputi oleh
tulang rawan hialin. Contohnya, sendi-sendi kostokondral.
2) Simfisisàsendi yang tulang-tulangnya memiliki suatu hubungan
fibrokartilago dan selapis tipis tulang rawan hialin yang menyelimuti
permukaan sendi. Contohnya, simfisis pubis dan sendi tulang
punggung.
c. Sendi synovial
Sendi tubuh yang dapat digerakan serta memiliki rongga sendi dan
permukaan sendi yang dilapisi tulang rawan hialin. Sendi ini adalah jenis
sendi yang paling umum dalam tubuh dan berasal dari kata sinovium yang
merupakan membran yang menyekresi cairan synovial untuk lumbrikasi
dan absorpsi syok.
Kondrosit merupakan satu-satunya sel hidup di dalam tulang rawan
sendi. Kondrosit ini dipengaruhi oleh faktor anabolik dan faktor katabolik
dalam mempertahankan keseimbangan sintesis dan degradasi. Faktor
katabolik utama diperankan oleh sitoksin interkeukin 1 beta, dan tumor
nekrosis faktor alfa. Sedangkan faktor anabolik diperankan oleh
transforming growth factor (TGF beta) dan insulin-like growth factor 1
(IGF 1). Dalam menjaga keseimbangan atau homeostasis apabila terjadi
osteoarthritis kondrosit akan meningkatkan aktivitas sitokinin yang
menyebabkan dikeluarkannya mediator inflamasi dan matriks
metalloproteinase (MMP).
3. Otot
Otot skeletal secara volunter dikendalikan oleh system syaraf pusat dan
perifer. Penghubung antara saraf motorik perifer dan sel-sel otot dikenal
sebagai motor end-plate.
Otot dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Otot rangka (lurik)
Diliputi oleh kapsul jaringan ikat. Lapisan jaringan ikat yang
membungkus otot disebut fasia otot atau episium. Otot ini terdiri dari
berkas-berkas sel otot kecil yang dibungkus lapisan jaringan ikat yang
disebut perimisium. Sel otot ini dilapisi jaringan ikat yang disebut
endomisium.
C. ETIOLOGI
Jenis fraktur dibedakan menjadi:
1. Cedera Traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh:
a. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang
patah seacara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur
melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.
b. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur
klavikula.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang
kuat.
2. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma
minor dapat mengakibatkan fraktur, seperti:
a. Tumor tulang (jinak atau ganas), yaitu pertumbuhan jaringan baru yang
tidak terkendali atau progresif.
b. Infeksi seperti mosteomyelitis, dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut
atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan
sakit nyeri.
c. Rakhitis, suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi vitamin D.
d. Stress tulang seperti pada penyakit polio dan orang yang bertugas di
kemiliteran (Sugeng, 2012).
E. PATOFISIOLOGI
Fraktur dapat disebabkan oleh Traumatik (jatuh), patologis
(osteoporosis,tumor tulang, infeksi) sehingga dapat mengakibatkan terputusnya
kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya atau disebut fraktur.
Fraktur dapat mengakibtan terjadi beberapa gangguan seperti dapat
mengakibatkan cidera pada sel yang dapat mengakibatkan degranulasi selt mast
sehingga terjadi pelepasan mediator kimia dari sel yang akan mempengaruhi
medula spinalis dan korteks serebri sehingga dapat mengakibatkan timbulnya rasa
nyeri. Cedera juga mengakibatkan terjadinya gangguan mobilitas fisik pada
pasien.
Fraktur juga mengakibatkan terjadinya diskontinuitas fragmen tulang yang
mengakibatkan lebasnya lipid pada sumsum tulang sehingga terabsorpsi masuk ke
pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan terjadinya emboli yang
mengakibatkan oklusi jaringan paru yang mengakibatkan nekrosis jaringan paru
sehingga luas permukaan paru berkurang yang mengakibatkan penurunan laju
difusi sehingga terjadi gangguan pertukaran gas.
Apabila fraktur mengakibatkan terjadinya luka terbuka dapat menimbulkan
gangguan integritas kulit dan dapat juga menimbulkan terjadinya infeksi atau
resiko terjadi infeksi. Selain itu juga dapat menimbulkan peradangan atau reaksi
peradagangan yang mengakibatkan terjadinya udema sehingga terjadi penekanan
jaringan vaskuler sehingga aliran darah menurun sehingga timbul masalah
keperawatan resiko disfungsi neurovaskuler (Ignatavicius, 2012).
F. PATHWAY
Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis
Fraktur
Diskontinuitas tulang Pergeseran fragmen tulang Nyeri Akut
Perubahan jaringan sekitar Kerusakan fragmen tulang
Risiko Syok
G. KLASIFIKASI
Fraktur dapat dikategorikan berdasarkan
1. Jumlah garis
a. Simple fraktur: terdapat satu garis fraktur
b. Multiple fraktur: lebih dari satu garis fraktur
c. Comminutive fraktur: lebih banyak garis fraktur dan patah menjadi
fragmen kecil
2. Luas garis fraktur
a. Fraktur inkomplit: tulang tidak terpotong secara total
b. Fraktur komplikasi: tulang terpotong total
c. Hair line fraktur: garis fraktur tidak tampak
3. Bentuk fragmen
a. Green stick: retak pada sebelah sisi dari tulang (sering pada anak-anak)
b. Fraktur tranversal: fraktur fragmen melintang
c. Fraktur obligue: fraktur fragmen miring
d. Fraktur spiral: fraktur fragmen melingkar (Rasjad, 2012).
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG/DIAGNOSTIK
1. X-ray: untuk menentukan luas/lokasi fraktur.
2. Scan tulang untuk memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
4. Hitung darah lengkap, homokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada
perdarahan: peningkatan leukosit sebagai respon terhadap peradangan.
5. Kretinin: trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk klirens ginjal.
6. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi atau
cedera hati (Wijaya, 2013).
I. PENATALAKSAAN
Terdapat beberapa tujuan penatalaksanaan fraktur menurut Reksoprodjo (2012)
yaitu: Mengembalikan/memperbaiki bagian-bagian yang patah kedalam bentuk
semula (anatomis), imobilisasi untuk mempertahankan bentuk dan memperbaiki
fungsi bagian tulang yang rusak.
1. Fraktur Reduction
Manipulasi atau penurunan tertutup, manipulasi non bedah penyusunan
kembali secara manual dari fragmen-fragmen tulang terhadap posisi otonomi
sebelumnya. Penurunan terbuka merupakan perbaikan tulang terusan
penjajaran insisi pembedahan, seringkali memasukkan internal viksasi
terhadap fraktur dengan kawat, sekrup peniti plates batang intramedulasi, dan
paku. Type lokasi fraktur tergantung umur klien.
Jenis-jenis fraktur reduction yaitu:
a. Manipulasi/close red
Adalah tindakan non bedah untuk mengembalikan posisi, panjang dan
bentuk. Close reduksi dilakukan dengan local anesthesia ataupun umum.
b. Open reduksi
Adalah perbaikan bentuk tulang dengan tindakan pembedahan sering
dilakukan dengan internal fiksasi menggunakan kawat, screlus, pins, plate,
intermedullary rods atau nail. Kelemahan tindakan ini adalah
kemungkinan infeksi dan komplikasi berhubungan dengan ansesthesia.
Jika dilakukan open reduksi internal fiksasi pada tulang(termasuk sendi)
maka akan ada indikasi untuk melakukan ROM.
c. Traksi
Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur
untuk meluruskan bentuk tulang.
Ada 3 macam yaitu :
1) Skin traksi : adalah menarik bagian tulang yang fraktur
dengan menempel plester langsung pada kulit untuk mempertahankan
bentuk, membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang
cedera, dan biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam).
2) Skeletal Traksi: adalah traksi yang digunakan untuk
meluruskan tulang yang cedera dan sendi panjang untuk
mempertahankan traksi, memutuskan pins (kawat) kedalam tulang.
3) Maintenance traksi: merupakan lanjutan dari traksi,
kekuatan lanjutan dapat diberika secara langsung pada tulang dengan
kawat.
2. Fraktur Immobilisasi
a. Eksternal Fiksasi
b. Internal Fiksasi
c. Pemilihan Fraksi
3. Fraksi terbuka
a. Pembedahan debridement dan irigrasi
b. Imunisasi tetanus
c. Terapi antibiotic prophylactic
d. Immobilisasi
Cara operatif/pembedahan:
Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak keunggulannya
mungkin adalah pembedahan. Metode perawatan ini disebut fiksasi interna dan
reduksi terbuka. Pada umumnya insisi dilakukan pada tempat yang mengalami
cedera dan diteruskan sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang
mengalami fraktur. Hematoma fraktur dan fragmen-fragmen tulang yang telah
mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian direposisi dengan tangan agar
menghasilkan posisi yang normal kembali. Sesudah direduksi, fragmen-fragmen
tulang ini dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa pen, skrup, pelat, dan
paku..
Keuntungan perawatan fraktur dengan pembedahan antara lain:
1. Ketelitian reposisi fragmen tulang yang patah
2. Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf yang berada
didekatnya
3. Dapat mencapai stabilitas fiksasi yang cukup memadai
4. Tidak perlu memasang gips dan alat-alat stabilisasi yang lain
5. Perawatan di RS dapat ditekan seminimal mungkin, terutama pada kasus-
kasus yang tanpa komplikasi dan dengan kemampuan mempertahankan fungsi
sendi dan fungsi otot hampir normal selama penatalaksanaan dijalankan.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN SECARA TEORITIS
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
b. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c. Region: radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien,
bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa
sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit Paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun
kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.
Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi (look)
Adanya deformitas dari jaringan tulang, namun tidak menembus kulit.
Anggota tubuh tidak dapat digerakkan.
2. Palpasi (feel)
a. Teraba deformitas tulang jika dibandingkan dengan sisi yang sehat
b. Nyeri tekan, bengkak
c. Mengukur panjang anggota gerak lalu dibandingkan dengan sisi yang
sehat
3. Gerak (move)
Umumnya tidak dapat digerakkan.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleran aktivitas
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan pada tonjolan tulang
3. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik (Herdman, 2018).
C. INTERVENSI
Diagnosa NOC NIC
No
Keperawatan
1. Hambatan Setelah diberikan asuhan NIC Label: Terapi Latihan
mobilitas fisik keperawatan asuhan Ambulasi
a. Dorong ambulasi
berhubungan keperawatan selama …x
independen dalam batas
dengan intoleran 24 jam, nyeri yang
aman
aktivitas dirasakan pasien
b. Monitor penggunaan
berkurang dengan
kruk pasien atau alat
kriteria hasil:
bantu berjalan lainnya
NOC Label:
c. Bant pasien untuk
Pergerakan
perpindahan
a. Keseimbangan (5)
d. Bantu pasien dengan
tidak terganggu
ambulasi awal
b. Cara berjalan (5)
e. Bantu pasien untuk
tidak terganggu
berdiri dan ambulasi
c. Gerakan otot (5)
dengan jarak tertentu
tidak terganggu
f. Bantu pasien untuk
d. Berjalan (5) tidak
membangun pencapaian
terganggu
e. Bergerak dengan yang realistis untuk
mudah (5) tidak ambulasi jarak
terganggu
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. Graham. 2010. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Jakarta:
Widya Medika.
Chang, E., Daly, J., dan Elliott, D., 2010, Patofisiologi Aplikasi Pada Praktik
Keperawatan, 112-113, Jakarta, EGC.
Dudley, Hugh AF. 2013. Ilmu Bedah Gawat Darurat. Edisi II. FKUGM.
Henderson, M.A, 2012. Ilmu Bedah untuk Perawat, Yogyakarta: Yayasan Essentia
Medika.
Herdman, T. Heather. 2018. Nanda International Diagnosis Keperawatan: Definisi
dan Klasifikasi 2018-2020, Edisi 10. Jakarta: EGC.
Moorhead, Sue. et al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). Fifth Edition.
United States of America: Elsevier.
Noor, Zairin. 2016. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal, Edisi 2. Jakarta: Salemba
Medika.
Wong, L. Donna. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Vol. 1. Edisi 6. Jakarta:
EGC.