Hubungan Kepemilikan Jamban Dengan Diare PDF
Hubungan Kepemilikan Jamban Dengan Diare PDF
SKRIPSI
Diajukan sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Dosen Pembimbing :
OLEH :
HERISMA YANTI
109101000045
Hubungan Lingkungan Dalam Ruang Kelas Dengan Kejadian ISPA Pada Siswa
Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
( xv+83 Hal+11 tabel+ 2 Bagan+ 12 Lampiran)
ABSTRAK
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyebab kesakitan
paling banyak pada anak-anak. Berdasarkan Data Dinkes Tangsel 2012, kejadian
ISPA pada anak usia 5-14 tahun mencapai 64.750 kasus. Tingginya kasus ISPA pada
anak usia sekolah dapat disebabkan faktor lingkungan dalam ruang kelas karenasiswa
menghabiskan sebagian besar waktu dalam kelas.
Kata Kunci: Kejadian ISPA, Faktor Lingkungan Kelas, Siswa Kelas 5 SDN
Daftar Bacaan : 84
ii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH
Undergratuated Thesis, May 2014
ABSTRACT
Acute Respiratory Infections (ARI) isthemostcause of illnessin children.Based
on Tangsel Health Department datain 2012,ARIincidencein children
agedmorethan5years reach64750caseswith thehighestcases atCiputat Health
Center.High incidence ofARIin childrenof schoolage maycaused by school
environment factors, especially classroom. Students spendmost oftheir times inthe
classroom.
The result showed there were three variables had association with ARI. Those
variables were temperature(p =0.000), humidity (p= 0.000), andstudents density
(p=0.001).In contrast, variables such as extensivenatural ventilation, natural
ventilation, artificialventilationandfloorwere negatively associated with Acute
Respiratory Infections (ARI).
iii
iv
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Agama : Islam
Golongan Darah : AB
No.Telp : 087808205540
Riwayat Pendidikan
vi
KATA PENGANTAR
Berkat rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang serta dorongan yang kuat, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “Hubungan Lingkungan Dalam Ruang Kelas Dengan Kejadian ISPA Pada
SiswaKelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013”. Shalawat serta
salam selalu terjunjung kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang
telah membawa umatnya dari zaman kegelapan akan iman dan pengetahuan ke zaman
terang benderang akan ilmu pengetahuan.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak
sangatlah sulit untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.Dibalik rasa syukur, dalam
penulisan skripsi ini penulis ingin mengucapakan terima kasih dengan tulus atas
bimbingan serta dukungan kepada:
1. Prof. Dr. (hc) dr. M.K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan.
3. Ibu Dewi Utami Iriani, SKM, M.Kes, Ph.D selaku Pembimbing I dan Dr.Ela
Laelasari, SKM, M.Kes selaku pembimbing II yang selalu memberi motivasi dan
dukungan morilserta menyempatkan waktu di tengah kesibukannya untuk
membimbing penyusunan skripsi ini.
4. Ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes, Ibu Catur Rosidati, SKM, MKM, dr.Gatot
Sudiro Husodo, Sp.P, selaku penguji skripsi atas kesempatannya menguji dan
mendukung penelitian ini.
vii
5. Pihak Dinas Kesehatan Tangerang Selatan, UPT Dinas Pendidikan Kecamatan
Ciputat, Kepala sekolah, Guru dan Siswa di SDN yang berada di Kecamatan
Ciputat yang bekerja sama dengan baik serta membantu dalam ketersediaan data
dan membantu menjalankan penelitian.
6. Orang tua (Bapak Heryadi dan Ibu Emi Suhaemi) serta adik-adik (Herisfani
Fauziah, Herisfina Fauziah dan Surandi Imam Syahputra) yang selalu
memberikan motivasi dan doa.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis
berharap skripsi ini dapat menjadi referensi yang berguna dan bermanfaat bagi
dan kelancaran serta kemampuan berpikir untuk mengejar masa depan yang lebih
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Lembar Pernyataan…………………………………………………………… i
Abstrak............................................................................................................... ii
Abstract.............................................................................................................. iii
Lembar Persetujuan……………………………………………………………iv
Lembar Pengesahan…………………………………………………………… v
Riwayat Hidup...................................................................................................vi
Daftar Isi............................................................................................................ ix
Daftar Lampiran…………………………………………………………………xvii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................... 5
C. Pertanyaan Penelitian.......................................................................... 6
D. Tujuan Penelitian................................................................................ 7
1. Tujuan Umun.................................................................................. 7
2. Tujuan Khusus................................................................................ 7
E. Manfaat Penelitian.............................................................................. 9
1. Bagi Pemerintah.............................................................................. 9
ix
2. Bagi Masyarakat.............................................................................. 9
3. Bagi Penulis.................................................................................... 10
1. Definisi........................................................................................... 11
2. Etiologi........................................................................................... 13
3. Epidemiologi.................................................................................. 14
4. Patogenesis..................................................................................... 17
2. Ventilasi Ruangan........................................................................... 23
3. Kepadatan Hunian.......................................................................... 29
4. Lantai.............................................................................................. 31
D. Studi Ekologi...................................................................................... 33
E. Kerangka Teori................................................................................... 34
x
BAB III: KERANGKA KONSEP & DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep............................................................................... 37
B. Definisi Operasional........................................................................... 40
C. Hipotesis.............................................................................................. 43
A. Desain Studi........................................................................................... 44
B. Lokasi Penelitian.................................................................................. 44
C. Populasi……………........................................................................... 44
D. Jenis Data............................................................................................ 48
E. Pengumpulan Data............................................................................. 46
F. Pengolahan Data................................................................................. 47
B. Analisis Univariat…………………………………………………… 51
SD……………………………...…………………............… 53
xi
C. Analisis Bivariat…………………………………………………… 55
A. Keterbatasan Penelitian……………………………………...……… 62
B. Kejadian ISPA………………………………………………………. 62
xii
BAB VII: SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan.............................................................................................. 79
B. Saran..................................................................................................... 81
1. Pihak Sekolah........................................................................... 81
3. Puskesmas…………………………………………………… 81
4. Penelitian Selanjutnya…………………………..…………… 82
xiii
DAFTAR TABEL
5.5 Analisis Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5
5.8 Analisis Hubungan Luas Ventilasi dengan Kejadian ISPA Pada Siswa
xiv
5.9 Analisis Hubungan Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA Pada
5.11 Analisis Hubungan Lantai Kelas dengan Kejadian ISPA Pada Siswa
xv
DAFTAR BAGAN
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
xvii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
(Stansfield, 2000). ISPA adalah penyakit akut yang menyerang salah satu bagian
dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli
prevalensi di atas angka nasional. Salah satu provinsi tersebut adalah Banten.
Prevalensi ISPA tertinggi terjadi pada balita (>35%) diikuti dengan usia 5-14
tahun sebesar 29% (Balitbangkes Depkes RI, 2008).Hasil analisa data kegiatan
surveilans ISPA berat di Indonesia (SIBI) (2013),dari 275 kasus ISPA berat
kota lebih besar daripada di desa. Hal ini mungkin disebabkan tingkat kepadatan
terjadi di semua usia. Anak-anak adalah golongan yang paling rentan terhadap
efek pajanan lingkungan, dengan proporsi kematian pada anak terkait dengan
fisik) terhadap ISPA pada siswa SDN di Depok menyatakan bahwa faktor
berpengaruh terhadap ISPA. Siswa yang berada di ruang kelas dengan suhu dan
kelembaban yang tidak memenuhi syarat akan beresiko 3,08 kali untuk terkena
gangguan ISPA dibandingkan dengan siswa yang berada di ruang kelas dengan
suhu dan kelembaban memenuhi syarat. Siswa yang berada di dalam ruang kelas
yang luas ruangannya < 2 m2/siswa akan beresiko 2,73 kali lebih besar terkena
gangguan ISPA dibandingkan siswa yang berada di ruangan kelas dengan luas
≥2 m2/siswa.
mengatakan bahwa hampir semua tipe sekolah di Amerika (sekolah baru atau
lama, besar atau kecil, sekolah dasar sampai sekolah menengah umum)
mengalami masalah dalam hal kualitas udara dalam ruangan. Kualitas udara di
ruang kelas akan mempengaruhi kemampuan siswa dalam belajar. Kualitas udara
kualitas udara di dalam ruang menjadi hal yang harus diperhatikan karena pada
saat ini banyak sekali orang yang lebih banyak menghabiskan waktu mereka di
perhatian penting karena anak usia sekolah menghabiskan jumlah waktu yang
penyakit(EPA, 2004).
puskesmas. Kejadian ISPA pada usia lebih dari 5 tahun di Kota Tangerang
Selatan pada tahun 2012 mencapai 64.750 kasus dengan kasus tertinggi pada
Puskesmas Ciputat yaitu sebesar 6.526 kasus (Dinkes Tangsel, 2012). Dari LB1
(data kesakitan) Puskesmas Ciputat, diketahui bahwa jumlah kasus ISPA pada
anak usia SD pada tahun 2012 sebesar 1321 kasus. Jumlah ini tidak jauh dengan
waktu sebagian besar di dalam ruang kelas. Faktor tersebut meliputi suhu,
ada penderita ISPA yang berada dalam satu ruangan maka pada saat batuk/bersin
4
udara yang tidak lancar akan mempengaruhi suhu udara menjadi rendah sehingga
Letak sekolah yang dekat dengan akses kendaraan motor juga merupakan
salah satu faktor resiko kejadian ISPA pada siswa. Sebuah studi cohort selama 3
pencemaran udara di DKI Jakarta oleh Djafri (2007) menyimpulkan dari 4 gejala
didapatkan lebih tinggi pada sekolah di daerah dengan pajanan pencemaran udara
bahwa 60% siswa SD mengalami batuk dan pilek selama 3-7 hari. Tiga puluh
persen siswa SD mengalami batuk dan pilek disertai sakit tenggorokan. Selain
pinggir jalan raya. Jendela di ruang kelas hanya sedikit yang dibuka dan lantai
ruang kelas berdebu. Beberapa jendela dan ventilasi kelas bahkan tertutup oleh
poster. Hal ini tentu akan mengganggu sirkulasi udara dalam kelas. Padahal
ketersediaan dan ukuran ventilasi yang tidak sesuai dengan standar merupakan
(60% siswa mengalami batuk dan pilek selama 3-7 hari dan 30% siswa
mengalami batuk dan pilek disertai sakit tenggorokan) serta letak sekolah dasar
yang sebagian besar berada di pinggir jalan membuat peneliti tertarik untuk
keluhan gejala ISPA pada siswa kelas 5 SDNbulan Juni tahun 2013.
determinannya antara grup. Studi ekologi digunakan jika data pada tingkat
individu tidak tersedia, data tingkat pengukuran pajanan individu tidak tersedia,
tetapi data pada tingkat grup/populasi tersedia (Goldberg, 2000). Penelitian ini
menggunakan studi ekologi karena unit analisis dalam peneitian ini adalah
populasi. Selain itu data tingkat pengukuran pajanandebu maupun faktor fisik
buatan dan lantai kelas) pada individu tidak tersedia dan data yang tersedia
B. Rumusan Masalah
ISPA tidak hanya rentan pada balita, tetapi juga pada anak-anak usia
udara dari transportasi yang cukup tinggi. Banyaknya siswa SD yang tercatat
6
ruang kelas yang tidak memenuhi syarat. Lingkungan sekolah (ruang kelas) yang
dan pilek selama 3-7 hari dan 30% siswa SDN mengalami batuk dan pilek
tentang hubungan lingkungan sekolah terhadap ISPA. Penelitian ini tidak hanya
melihat ada tidaknya hubungan, tetapi juga melihat derajat asosiasi (keeratan
hubungan) antara lingkungan dalam kelas dengan ISPA. Oleh karena itu
C. Pertanyaan penelitian
3. Apakah ada hubungan antara suhu dalam ruang kelas dengankejadian ISPA
pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
7
ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
9. Apakah ada hubungan antara lantai kelas dengankejadian ISPA pada siswa
D. Tujuan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun
2013
tahun 2013
ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun
2013
kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni
tahun 2013
pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
2013
E. Manfaat
1. Bagi Pemerintah
2. Bagi Masyarakat
beraktivitas
3. Bagi Penulis
10
di bangku perkuliahan
F. Ruang Lingkup
ruang kelas dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat
bulan Junitahun 2013. Lingkungan sekolah dalam ruang kelas meliputi suhu,
kelembaban, kepadatan hunian, luas ventilasi, ventilasi alami dan buatan, serta
lantai kelas. Penelitian ini menggunakan studi ekologi karena unit analisis dalam
ventilasi alami, ventilasi buatan dan lantai kelas) pada individu tidak tersedia dan
suhu dan kelembaban yaitu thermohygrometer dari laboratorium HES FKIK UIN
alami, ventilasi buatan dan lantai kelas diperoleh dari hasil observasi. Data-data
Ciputat, UPT Dinas Pendidikan Kecamatan Ciputat dan sekolah yang dijadikan
tempat penelitian.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
maju. Banyak dari anak-anak harus mendapat penanggulangan dari rumah sakit
masa bayi dan anak-anak dapat memberi kecacatan sampai pada masa dewasa
(Suprajitno, 2004).
1. Definisi
Infection (ARI). ISPA mulai diperkenalkan pada tahun 1984 setelah dibahas
memilih istilah ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) dan pendapat kedua
memilih istilah ISNA (Infeksi Saluran Nafas Akut). Pada akhir lokakarya
ISPA adalah penyakit akut yang menyerang salah satu bagian dan atau
lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli
tengah dan pleura (Depkes, 2002). Pengertian lain ISPA adalah infeksi
atas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan
dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah
berlangsung cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari.
Gejalanya meliputi demam, batuk, dan sering juga nyeri tenggorok, coryza
ringan sampai berat. ISPA yang mengenai jaringan paru-paru atau ISPA
Maluku, Papua Barat, dan Papua.Prevalensi ISPA tertinggi pada balita yaitu
lebih dari 35% diikuti dengan usia 5-14 tahun sebesar 29%. Artinya kejadian
ISPA pada anak usia sekolah juga cenderung tinggi (Riskesdas, 2007).
2. Etiologi
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia.
Bibit penyakit utama ISPA adalah virus, tetapi pada bakteri baik
yang lebih berbahaya. Kontak terhadap virus dapat mencapai 75-80% tetapi
3. Epidemiologi
kesehatan umum)
Beberapa hal yang diduga sebagai faktor resiko kejadian ISPA pada
a. Usia
tahun dan 30 persen pada anak berusia 5 sampai 12 tahun. Umur terkait
15
b. Jenis kelamin
0,15-1 kali lebih di atas anak laki-laki dalam hal tingkat kematian
7,7% dari jumlah balita yang ada (14.510) adalah anak balita laki-laki.
c. Status gizi
ISPA pada anak karena adanya gangguan respon imun. Risk ratio (RR)
buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya ISPA.
Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA
dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh
mengalami kondisi gizi yang buruk maka tubuhnya akan menjadi rentan
terhadap penyakit.
d. Lingkungan
Salah satu faktor resiko ISPA dari lingkungan yaitu polusi udara.
(Rahajoe, 2008).
karena itu maka penyakit ISPA termasuk golongan air borne disease.
4. Patogenesis
atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu tangkapan refleks
18
spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan
kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran
Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk
(Haddad, 2002).
timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi
dan malnutrisi
Menurut Tyrell (1980) virus yang menyerang saluran nafas atas dapat
macam tanda dan gejala, seperti batuk, bersin, serak, sakit tenggorokan, sakit
telinga, keluar cairan dari telinga, sesak nafas, pernafasan yang cepat, nafas
yang berbunyi, penarikan dada ke dalam, mual, muntah, tak mau makan,
1. ISPA ringan
Keluhan gejala ISPA ringan yaitu batuk, pilek, demam, tidak ada
nafas cepat 40 kali per menit tidak ada tarikan dinding ke dada dalam.
pilek (mengeluarkan lendir dari hidung), panas atau demam (suhu badan
2. ISPA sedang
Keluhan gejala ISPA sedang yaitu sesak nafas, suhu lebih dari
3. ISPA berat
cepat/tidak teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung jari membiru
gejala ISPA ringan atau sedang disertai satu atau lebih keluhan gejala
yaitu: bibir atau kulit membiru, lubang hidung kembang kempis pada
tertarik ke dalam pada waktu bernafas , nadi cepat lebih dari 60 kali per
Salah satu faktor resiko dan sumber penularan berbagai jenis penyakit
salah satu penyakit yang erat hubungannya dengan kondisi higiene bangunan
(Kemenkes, 2002).
mati, tapi pada suhu dan kelembaban tertentu dapat tumbuh dan
semakin sering anak berada dalam ruangan dengan kondisi tersebut dan
dalam jangka waktu yang lama maka anak terpapar faktor risiko tersebut.
2012).
syarat jika suhu udara dalam ruangan berkisar antara 180C-280C. Suhu udara
yang tinggi akan menyebabkan tubuh semakin banyak kehilangan garam dan
22
dapat berpengaruh pada kondisi udara yang kering dan mengakibatkan iritasi
membran mukosa. Hal ini menjadi faktor penting yang harus diperhatikan
70 persen dan dikatakan tidak memenuhi syarat bila <40 persen dan >70
sirkulasi udara yang tidak lancar akan mempengaruhi suhu udara dalam
pernafasan.
karena ventilasi alami yang terdapat dalam ruang kelas tidak dipergunakan
secara maksimal. Jendela yang tersedia dalam ruang kelas banyak, namun
banyak juga dari jendela tersebut yang tidak dapat dibuka. Sehingga tidak
2. Ventilasi Ruangan
pengeluaran udara kotor dari suatu rungan tertutup baik secara alamiah
segar ke dalam dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup
proses memasukkan dan menyebarkan udara luar, dan/atau udara daur ulang
yang telah diolah dengan benar ke dalam gedung atau ruangan (WHO,
2007).
yang baik, yaitu menjamin agar udara dalam ruang aman untuk keperluan
a) Ventilasi alami
ruang yang terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu, serta lubang
atap dan lantai. Ventilasi alam berdasarkan pada tiga kekuatan, yaitu:
daya difusi dari gas-gas, gerakan angin dan gerakan massa di udara
b) Ventilasi buatan
ber AC, yaitu antara 3 -15 koloni (< 20 koloni) per cawan petri.
teridentifikasi pada cawan petri tidak banyak. Oleh karena itu ruangan
minimal 5% dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas
lantai ruangan.
b. Udara yang masuk ke dalam ruangan harus bersih, tidak dicemari asap
ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah ≥10 persen dari luas lantai
1999 adalah minimal 10% dari luas lantai. Ruangan yang ventilasinya
Terdapatnya bakteri di udara disebabkan adanya debu dan uap air. Jumlah
bakteri udara akan bertambah jika penghuninya ada yang menderita penyakit
lain dari debu yang bertebaran. Debu ini dapat berasaldari tanah, kotoran
hewan atau manusia yang mengering serta bahan lainya. Debu yang
Sehingga jika tidak terdapat ventilasi, debu yang berada di udara dan
tidak mempunyai sistem ventilasi yang baik dan over crowded maka akan
proses sirkulasi udara dalam ruangan berjalan tidak normal, serta membuat
ruangan menjadi terasa panas. Kondisi tersebut bisa menjadi lebih buruk
Ventilasi yang kurang baik juga mengakibatkan rumah menjadi lembab dan
basah.Rumah yang lembab dan basah karena banyak air yang terserap pada
proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam
28
rumah mengakibatkan kuman yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar
dan ikut terhisap bersama udara pernafasan. Hal ini juga mempermudah
tubuh dari kulit. Jika udara kurang mengandung uap air, maka udara terasa
uap air akan menjadi udara basah dan apabila dihirup dapat menyebabkan
Fungsi lain dari ventilasi adalah untuk menjaga agar ruangan rumah
udara dalam rumah menjadi buruk. Kurangnya luas ventilasi juga dapat
proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan
(Widianingtias, 2004).
udara yang baik akan mengurangi kadar partikulat, dan sebaliknya apabila
dalam ruangan. Selain itu, ventilasi yang baik dapat membebaskan udara
ventilasi maka akan selalu terjadi pertukaran aliran udara yang terus menerus
(Notoatmodjo, 2003).
Sirkulasi yang baik yaitu udara dapat bergerak atau bertukar akan
relatif tidak bergerak atau ada pergerakan tetapi sedikit dan tidak mampu
3. Kepadatan Hunian
droplet dari saluran pernafasan dan lebih sering terjadi pada kontak yang
30
suatu ruang kelas terasa pengap atau seperti terasa sesak, penyebab kondisi
2012).
inhalasi individu ataupun kekerapan terkena droplet dari siswa yang sedang
4. Lantai
Jenis lantai atau kondisi lantai sangat penting. Lantai yang tidak
penyebab ISPA. Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering
dan tidak lembab. Lantai harus padat atau stabil sehingga mudah dibersihkan
dan dapat cepat kering bila terkena air. Lantai perlu diplester dan akan lebih
baik jika dilapisi ubin atau keramik yang mudah dibersihkan (Ditjen PPM
Syarat yang penting disini adalah tdak berdebu pada musim kemarau
dan tidak basah pada musim hujan. Untuk memperoleh lantai tanah yang
hubungan signifikan antara suhu dan kelembaban dengan gangguan ISPA. Siswa
yang berada di ruang kelas dengan kondisi suhu dan kelembaban yang tidak
memenuhi syarat, maka akan beresiko 3,08 kali lebih tinggi untuk terkena
bahwa balita yang tinggal di rumah dengan kelembaban tidak memenuhi syarat
akan mengalami resiko terkena gangguan ISPA 11,2 kali lebih tinggi
bahwa suhu memiliki pengaruh terhadap munculnya gangguan ISPA. Balita yang
berada dalam rumah tinggal dengan suhu tidak memenuhi syarat maka akan
dengan balita yang tinggal dalam rumah dengan suhu yang memenuhi syarat.
dalam kelas dengan gangguan ISPA. Siswa yang berada di ruang kelas dengan
33
luas <2m2/siswa akan mengalami gangguan ISPA 2,73 kali lebih tinggi
terjadinya gangguan pernafasan pada balita, dimana balita yang berada di dalam
rumah yang tidak memenuhi batas hunian beresiko 4,3 kali lebih tinggi
Namun tidak hanya pada pengukuran luas ventilasi tetapi juga diukur dari laju
laju udara dari luar ruangan ke dalam ruangan dari 1,3 menjadi 11,5 liter/detik
mampu menurunkan risiko gejala asma dan gangguan saluran pernafasan pada
D. Studi Ekologi
variabel pada suatu situasi atau sekelompok subjek. Hal ini dilakukan untuk
melihat hubungan antara gejala satu dengan gejala yang lain atau variabel satu
dengan variabel yang lain (Notoatmojo, 2010). Studi ekologi adalah salah satu
penelitian yang unit analisisnya adalah kelompok. Ciri analisis primer studi
ekologi adalah tidak diketahuinya joint distribution faktor studi dan penyakit di
desain studi ini adalah tidak dapat dipakain untuk menganalisis hubungan sebab
akibat karena tidak mampu menjembatani kesenjangan status pajanan dan status
penyakit pada tingkat populasi dan individu, seta tidak mampu engontrol faktor
E. Kerangka Teori
resiko dan sumber penularan berbagai jenis penyakit. ISPA merupakan salah satu
organisme patogen maupun organisme yang bersifat alergen. Virus, bakteri dan
jamur dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan baik pada kondisi optimum
35
penderita ISPA yang berada dalam satu ruangan, maka pada saat batuk/bersin
maka kuman penyakit dapat menyebar melalui udara dan akan mempercepat
dalam mengontrol suhu dan kelembaban dalam ruang. Lantai yang tidak
memenuhi standar adalah media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri atau
kejadian ISPA. Karakteristik individu tersebut meliputi umur, jenis kelamin, dan
status gizi. Berdasarkan umur, balita lebih rentan terkena ISPA karena daya tahan
tubuh yang masih rentan terhadap penyakit. Berdasarkan jenis kelamin, anak
laki-laki lebih rentan karena lebih banyak beraktivitas di luar sehingga pajanan
faktor resiko ISPA lebih besar. Status gizi berpengaruh terhadap daya tahan
tubuh. Status gizi kurang maupun buruk akan meyebabkan daya tahan tubuh
Jumlah
Kondisi Lingkungan
Kuman
Fisik Ruangan
- Suhu
- Kelembaban Kejadian ISPA
Pertumbuhan Kuman
- Kepadatan hunian
- Ventilasi Alami
- Ventilasi Buatan
- Lantai
Karakteristik Individu
- Umur
- Jenis kelamin
- Status gizi
Bagan 2.1
Kerangka Teori
37
BAB III
DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Konsep
lingkungan dalam ruang kelas dapat menyebabkan ISPA pada siswa kelas 5
tidak cukup. Ventilasi yang kurang dalam ruang dapat menyebabkan debu yang
penyakit antara lain ISPA. Ruangan juga memerlukan ventilasi buatan (fan
sirkulasi udara.
38
pernafasan yang disebabkan oleh virus disebarkan melalui individu lainnya dan
dihantarkan melalui udara. Selain itu lantai yang tidak memenuhi standar
adalah media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri atau virus penyebab
ISPA.Lantai yang baik adalah lantai yang dilapisi ubin atau keramik dan tidak
berdebu.
Karakteristik individu meliputi umur, jenis kelamin, status gizi, status merokok.
Penelitian ini merupakan studi ekologi dimana objek penelitian adalah populasi
penelitian ini.
39
Suhu
Kelembaban
Kepadatan Hunian
Ventilasi Alami
Ventilasi Buatan
Lantai
Bagan 3.1
Kerangka Konsep
40
B. Definisi Operasional
Skala
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Ukur
1. Angka Jumlah siswa ISPA yang mengalami Wawancara Kuesioner Rasio Incidence Rate/IR (%)
Kejadian gejala ISPA berdasarkan keluhan yang
ISPA dirasakan dibagi total siswa yang
menghuni kelas 5 SDN di Kecamatan
Ciputat
0
2. Suhu Hasil pengukuran derajat panas atau Pengukuran Thermo Rasio C
dingin udara dalam ruang kelas di titik hygro
(Kepmenkes No.1405, 2002 tentang episentrum meter
persyaratan kesehatan lingkungan kerja ruang kelas
perkantoran dan industri)
3. Kelem- Hasil pengukuran persentase kandungan Pengukuran Thermo Rasio %
baban uap air udara dalam ruang kelas di titik hygro
(Kepmenkes No.1405, 2002 tentang episentrum meter
persyaratan kesehatan lingkungan kerja ruang kelas
kantoran)
41
Skala
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Ukur
4. Kepadatan Kepadatan siswa dalam kelas yang Pengukuran Meteran Rasio m2/siswa
Hunian diperoleh dari hasil perhitungan luas
lantai ruang kelas dibagi jumlah siswa
dalam ruang kelas (Permendiknas,
2007)
5. Luas Luas jendela dan lubang angin ruangan Pengukuran Meteran Rasio luas ventilasi (m2) : luas lantai
Ventilasi kelas yang berfungsi untuk aliran udara (m2)
Alami dari luar kelas ke dalam kelas atau
sebaliknya
6. Ventilasi Keadaan ventilasi alami (jendela dan Observasi Lembar Ordinal 1. Tidak baik jika aliran udara
Alami lubang angin) dalam ruang kelas Observasi terhalang barang besar atau
kurang dari 4 jendela terbuka
saat belajar
2. Baik jika aliran udara tidak
terhalang barang besar atau
minimal 4 jendela terbuka saat
belajar (Kepmenkes, 2011)
42
Skala
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Ukur
7. Ventilasi Pemakaian alat mekanis maupun Observasi Lembar Ordinal 1. Tidak baik jika tidak ada kipas
Buatan elektrik, seperti kipas angin, exhauster Observasi angin atau ada kipas angin
dan pendingin ruangan (Air tetapi kipas angin tidak
Conditioner) digunakan saat kegiatan
belajar berlangsung
2. Baik jika ada kipas angin dan
kipas angin digunakan saat
kegiatan belajar berlangsung
(Moerdjoko, 2004)
8. Lantai Jenis dan kondisi lantai ruang kelas saat Observasi Lembar Ordinal 1. Tidak baik jika dalam keadaan
Kelas siswa belajar Observasi lembab, tidak dilapisi
ubin/keramik, berdebu
2. Baik jika dalam keadaan
kering/tidak lembab, dilapisi
ubin/keramik, tidak berdebu
(Notoatmodjo, 2007)
43
C. Hipotesis
1. Ada hubungan antara suhu dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN
5. Ada hubungan antara ventilasi alami dengan kejadian ISPA pada siswa
6. Ada hubungan antara ventilasi buatan dengan kejadian ISPA pada siswa
7. Ada hubungan antara lantai dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Studi
Desain studi dalam penelitian ini adalah desain penelitian studi ekologi
dimana unit analisis dalam peneitian ini adalah populasi. Data tingkat
pengukuran pajanan pada individu tidak tersedia, tetapi data pada tingkat
B. Lokasi Penelitian
ISPA tertinggi dari data sekunder Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan.
C. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas 5 yang ada di
ditelitiadalah SDN yang memilik satu ruang kelas 5. Sehingga dari 30 SDN
Sebagian besar dari SDN tersebut terletak di pinggir jalan raya yang
merupakan pusat kemacetan. Pada saat proses belajar, walau terdapat banyak
jendela, namun hanya sedikit yang dibuka. Beberapa jendela maupun lubang
angin terhalang papan tulis, lemari maupun poster. Selain itu walaupun terdapat
kipas angin dalam kelas, namun tidak dihidupkan selama proses belajar.
D. Jenis Data
Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.
langsung. Data primer dalam penelitian ini terdiri dari data pengukuran suhu,
dan lantai kelas. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari data
ISPA pada anak usia sekolah tahun 2012 dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang
Selatan sebanyak 64.750 kasus dan data SDN di Kecamatan Ciputat serta
E. Pengumpulan Data
pada siswa kelas 5 SDN yang mengalami gejala ISPA berdasarkan keluhan
yang berisi pertanyaan terkait keluhan gejala ISPA. Hal ini dilakukan karena
tidak terdapat data kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SD di Puskesmas maupun
UKS sekolah.
pada mereka seputar keluhan gejala ISPA. Selain itu siswa kelas 5 lebih dapat
memusatkan pehatian dan memiliki memori jangka panjang lebih baik sehingga
untuk memastikan ada tidaknya murid yang tidak masuk kelas saat penelitian
maupun ada tidaknya murid yang pindah selama periode bulan Juni tahun 2013.
Data luas ventilasi diperoleh dari hasil pengukuran lubang angin dan jendela
47
dengan rollmeter. Data ventilasi alami, ventilasi buatan dan lantai kelas
F. Pengolahan Data
meliputi:
1. Data Editing
untuk melihat apakah ada hal-hal yang masih meragukan dari jawaban
2. Data Coding
3. Data Structure
4. Data Entry
fasilitas analisis data. Program untuk analisis data yang digunakan dalam
5. Data Cleaning
atau rasio) dapat dilihat sebarannya untuk melihat ada tidaknya outliers.
G. Analisis
parameter frekuensi dan persentase. Hasil yang disajikan adalah mean, median,
nilai pada variabel independen. Sebelum melakukan uji analisis bivariat, uji
data yang nantinya akan menentukan jenis uji korelasi yang akan digunakan. Uji
Spearman. Pada penelitian ini data kejadian ISPA tidak berdistribusi normal.
Sehingga uji yang digunakan untuk suhu, kelembaban, kepadatan hunian dan
luas ventilasi adalah uji korelasi Spearman. Sedangkan untuk variabel ventilasi
nilai korelasi (r). Kisaran nilai r adalah antara +1 dan -1, dengan r +1
yang kuat (Morton, 2009). Menurut Colton dalam Sabri (2006), nilai r dan
r derajat asosiasi
0,00 tidak ada hubungan
>0,0-0,25 hubungan lemah
0,26-0,50 hubungan sedang
0,51-0,75 hubungan kuat/baik
0,76-1,00 hubungan sangat baik/sempurna
50
BAB V
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan data sensus tahun 2006, jumlah penduduk yang ada di wilayah
Ciputat yaitu 192.200 orang dengan luas wilayah 15,43 km2. Sehingga kepadatan
kelembaban udara dan intensitas matahari sekitar 78,3% dan 59,3 %. Keadaan
curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari yaitu 486 mm, sedangkan rata-
rata curah hujan dalam setahun adalah 177,3 mm. Rata-rata kecepatan angin
dalam setahun adalah 3,8 m/detik dan kecepatan maksimum 12,6 m/detik.
51
B. Analisis Univariat
Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013. Insidensi kejadian ISPA pada
berikut :
Tabel 5.1
Insidensi Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN
di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
gejala ISPA berdasarkan keluhan pada bulan Juni tahun 2013 dan IR
2Ciputat yaitu sebesar 85,11% pada bulan Juni tahun 2013 dan terendah
terdapat di SDN 5 Ciputat yaitu sebesar 25% pada bulan Juni tahun 2013.
53
Tabel 5.2
Distribusi Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN
di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Variabel Rata-rata Standar Deviasi Min-Max
Kejadian ISPA 60,14 17,267 25-85,11
Tabel 5.3
Distribusi Suhu, Kelembaban, Kepadatan Hunian, Luas Ventilasi
SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Variabel Rata-rata Standar Deviasi Min-Max
Suhu 30,58 2,24 26-34
Kelembaban 61,50 2,187 57-65
Kepadatan Hunian 1,181 0,220 0,95-2,01
Luas Ventilasi 9,963 2,680 4,34-13,74
2013 adalah 30,580C dengan standar deviasi 2,24. Suhu tertinggi sebesar
340C di 4 SD yaitu SDN 2 Ciputat, SDN 3 Cipayung, SDN 5 Serua dan SDN
Juni tahun 2013 adalah 61,50% dengan standar deviasi 2,187. Kelembaban
54
bulan Juni tahun 2013 adalah 1,181 m2/siswa dengan standar deviasi 0,220.
Nilai kepadatan hunian kelas paling tinggi yaitu 2,01m2/siswa yaitu di SDN
SDN 1 Serua.
bulan Juni tahun 2013 adalah 9,963 m2 dengan standar deviasi 2,680. Nilai
luas ventilasi tertinggi sebesar 13,74 m2 di SDN 5 Ciputat dan SDN 3 Serua
Sawah Baru.
Tabel 5.4
Distribusi Ventilasi Alami, Ventilasi Buatan, Lantai Kelas
SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Variabel Kategori Frekuensi Persentase
Tidak baik 13 54,2
Ventilasi Alami
Baik 11 45,8
Tidak baik 16 66,7
Ventilasi Buatan
Baik 8 33,3
Tidak baik 17 70,8
Lantai
Baik 7 29,2
tidak baik. Ventilasi alami kelas dikatakan baik jika aliran udara tidak
terhalang dan minimal terdapat 4 jendela yang dikuba saat siswa sedang
55
belajar. Selain itu 16 SDN (66,7%) memiliki ventilasi buatan tidak baik.
Ventilasi buatan kelas dikatakan baik jika terdapat kipas angin dalam
Terdapat 17 SDN (70,8%) yang memiliki lantai kelas tidak baik. Lantai
yang baik dan memenuhi syarat adalah lantai yang dalam keadaan
kering dan tidak lembab, dilapisi ubin atau keramik yang mudah
musim penghujan.
C. Analisis Bivariat
kelembaban, luas ventilasi dan kepadatan hunian dengan kejadian ISPA adalah
uji Korelasi Spearman. Sedangkan hubungan ventilasi alami, ventilasi buatan dan
lantai kelas dengan kejadian ISPA adalah uji Mann-Whitney yang hasilnya akan
ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
Tabel 5.5
Analisis Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA
Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat
Bulan Juni Tahun 2013
Variabel Dependen (ISPA)
Variabel Independen p value
r
Suhu 0,653 0,001
menunjukkan hubungan yang kuat (r=0,653) dan berpola positif yang artinya
dengan hipotesis penelitian yaitu ada hubungan antara suhu dengan kejadian
ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013.
Tabel 5.6
Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA
Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat
Bulan Juni Tahun 2013
Variabel Dependen
Variabel Independen (ISPA) p value
r
Kelembaban 0,487 0,016
57
dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan
Tabel 5.7
Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA
Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat
Bulan Juni Tahun 2013
Variabel Dependen (ISPA)
Variabel Independen p value
r
Kepadatan Hunian -0,510 0,011
ISPA menunjukkan hubungan yang kuat (r=0,510) dan berpola negatif yang
artinya semakin tinggi nilai kepadatan hunian maka insidensi kejadian ISPA
kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni
Tabel 5.8
Hubungan Luas Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA
Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat
Bulan Juni Tahun 2013
Variabel Dependen (ISPA)
Variabel Independen p value
r
Luas Ventilasi Alami 0,131 0,540
Dari grafik 5.8 terlihat hubungan luas ventilasi dengan kejadian ISPA
artinya semakin tinggi nilai luas ventilasi maka insidensi kejadian ISPA
hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5
Tabel 5.9
Analisis Hubungan Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA
Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat
Bulan Juni Tahun 2013
Baik 11 52 20,645
siswa kelas 5 SDN yang berada di ruang kelas dengan ventilasi alami tidak
baik adalah 65,31 dengan standar deviasi sebesar 15,745, sedangkan rata-
rata kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN yang berada di ruang kelas
ventilasi alami dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan
ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputatbulan Juni tahun 2013
Tabel 5.10
Analisis Hubungan Ventilasi Buatan dengan Kejadian ISPA
Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat
Bulan Juni Tahun 2013
Baik 8 55 24,178
siswa kelas 5 SDN yang berada di ruang kelas dengan ventilasi buatan tidak
baik adalah 61,31 dengan standar deviasi sebesar 16,304, sedangkan rata-
rata kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN yang berada di ruang kelas
Tabel 5.11
Analisis Hubungan Lantai Kelasdengan Kejadian ISPA
Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat
Bulan Juni Tahun 2013
siswa kelas 5 SDN yang berada di ruang kelas dengan keadaan lantai tidak
baik adalah 60,06 dengan standar deviasi sebesar 18,552, sedangkan rata-
rata kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN yang berada di ruang kelas
dengan keadaan lantai baik adalah 57,14 dengan standar deviasi 21,381.
lantai kelas dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu tidak diukurnya besar PM10 dalam
ruang kelas selama siswa belajar di kelas karena keterbatasan alat pengukur.
Sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajanan debu yang merupakan penyebab
terjadinya ISPA. Data kejadian ISPA diperoleh dari siswa kelas 5 SD yang
masuk sekolah saat penelitian dilakukan. Sehingga tidak meliputi siswa yang
B. Kejadian ISPA
Ukuran angka kejadian ISPA dalam penelitian ini adalah insidensi kejadian
ISPA yaitu IR. IR kejadian ISPA diperoleh dari jumlah siswa yang mengalami
gejala ISPA berdasarkan keluhan yang dirasakan dibagi total siswa yang
Kecamatan Cipayung Kota Depok tahun 2012 juga menunjukkan bahwa jumlah
siswa yang mengalami gangguan ISPA lebih banyak dibanding dengan jumlah
siswa yang tidak mengalami gangguan ISPA yaitu 75 siswa (62,5%) mengalami
Hal ini dapat terjadi karena kondisi ruang kelas SDN yang tidak
sekolah khususnya di dalam kelas. Kondisi ruang kelas tersebut meliputi suhu,
Menurut Hasil laporan EPA (2002), kondisi ruang kelas dan kualitas
seringkali menjadi hal yang terlupakan oleh masyarakat. Kualitas udara ruang
Suhu adalah derajat panas atau dingin udara dalam ruang kelas
kehilangan garam dan air. Selain itu, peningkatan suhu dapat mempercepat
reaksi kimia perubahan polutan udara (WHO, 1997). Suhu menjadi faktor
penting yang harus diperhatikan karena dapat memicu terjadinya infeksi saluran
kelembaban, sehingga dapat berpengaruh pada kondisi udara yang kering dan
(Yusnabeti, 2010).
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara suhu dengan
kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun
2013, dengan p value sebesar 0,001. Selain itu adanya hubungan yang kuat
ruang kelas dengan kondisi suhu yang tidak memenuhi syarat maka akan
beresiko 3,08 kali lebih tinggi untuk terkena gangguan ISPA dibandingkan
dengan siswa SD yang berada di ruang kelas dengan suhu yang memenuhi
ISPA. Balita yang berada dalam rumah dengan suhu tidak dalam rentang yang
dtentukan oleh kementrian kesehatan maka akan mengalami resiko 18 kali lebih
menunjukkan 8 sekolah dengan suhu ruang kelas memenuhi syarat. Selain itu,
dan jamur yang menyebabkan ISPA. Virus, bakteri dan jamur dapat tumbuh
dan berkembangbiak dengan baik pada kondisi optimum (suhu yang optimal).
bahkan tidak tumbuh sama sekali atau mati (dalam rentang suhu 18-280C), tapi
pada suhu tertentu dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan sangat cepat
yaitu pada suhu lebih dari 290C. Hal ini yang membahayakan karena semakin
sering anak berada dalam ruangan dengan kondisi tersebut dan dalam jangka
waktu yang lama maka anak terpapar faktor risiko tersebut. Akibatnya makin
serta gangguan sinus. Semakin tinggi kelembaban dalam ruangan maka dapat
2007).
66
dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan
Juni tahun 2013, dengan p value sebesar 0,016. Selain itu adanya hubungan
ruang kelas dengan kondisi suhu dan kelembaban yang tidak memenuhi syarat
maka akan beresiko 3,08 kali lebih tinggi terkena gangguan ISPA dibandingkan
dengan siswa SD yang berada di ruang kelas dengan suhu dan kelembaban
memenuhi syarat akan mengalami resiko terkena gangguan ISPA 11,2 kali
Kelembaban dalam ruang kelas yang tinggi dalam penelitian ini dapat
yang tersedia dalam ruang kelas termasuk cukup banyak, namun banyak dari
67
jendela tersebut yang tidak dapat dibuka, sehingga tidak dapat membantu
sirkulasi udara berjalan dengan baik dan hanya dengan mengandalkan lubang
bakteri dan jamur penyebab ISPA. Virus, bakteri dan jamur dapat tumbuh dan
dapat terhambat bahkan tidak tumbuh sama sekali atau mati (kelembaban 40-
60%), tapi pada suhu dan kelembaban tertentu dapat tumbuh dan
berkembangbiak dengan sangat cepat (kelembaban di atas 65%). Hal ini yang
kondisi tersebut dan dalam jangka waktu yang lama maka anak terpapar faktor
risiko tersebut. Akibatnya makin besar peluang anak untuk terjangkit ISPA
bakteri akan bertahan lebih lama. Dalam kondisi rumah yang tidak dilengkapi
68
atau tidak memenuhi syarat dapat terjadi karena keadaan ventilasi rumah.
sampel laboratorium.
dan prasarana sekolah adalah sebesar ≥2m2/siswa. Jika dirasakan dalam suatu
ruang kelas terasa pengap atau seperti terasa sesak, penyebab kondisi ini karena
bahwa semakin banyak jumlah penghuni rumah maka semakin cepat udara
oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh peningkatan CO2 ruangan dan
dampak dari peningkatan CO2 ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam
kekerapan terkena droplet dari siswa yang sedang sakit kepada siswa lainnya
(Pramayu, 2012).
hunian dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat
bulan Juni tahun 2013, dengan p value sebesar 0,011. Selain itu adanya
hubungan yang kuat antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA, dengan
(r=0,510).
gangguan ISPA. Siswa yang berada di ruang kelas dengan luas <2m2/siswa
akan mengalami gangguan ISPA 2,73 kali lebih tinggi dibandingkan siswa yang
kejadian ISPA pada balita dengan nilai p sebesar 0,001. Penelitian Wattimena
(2004) juga mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
70
Balita yang tinggal di dalam rumah yang tidak memenuhi syarat batas hunian
jumlah, dan ukuran ruangan harus disesuaikan dengan jumlah orang yang akan
menempati rumah tersebut agar tidak terjadi kelebihan jumlah penghuni rumah.
crowded. Hal ini akan mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan serta
penularan penyakit infeksi. Jika penghuni terlalu padat, bila ada penghuni yang
terhadap terjadinya cross infection. Ketika ada penderita ISPA yang berada
dalam satu ruangan, maka pada saat batuk/bersin melalui udara akan
menyatakan bahwa kepadatan hunian tidak terlepas dari faktor penularan suatu
melalui udara akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan hunian
dalam tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian ISPA.
pemasukan udara bersih dan pengeluaran udara yang berkualitas kurang baik
dari dalam ruangan. Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar ke dalam
dan pengeluaran udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah ataupun
merupakan salah satu risiko untuk terjadi penyakit ISPA (Ranuh, 1997).
Luas ventilasi penting untuk suatu rumah karena berfungsi sebagai sarana
untuk menjamin kualitas dan sirkulasi masuk keluarnya udara dalam ruangan.
Luas ventilasi juga berfungsi menjaga agar aliran udara di dalam ruangan tetap
baik dan over crowded akan menimbulkan keadaan yang dapat merugikan
tidak dapat berlangsung dengan baik. Tidak tersedianya ventilasi atau ventilasi
dalam ruangan tidak dapat dikeluarkan dan tidak dapat digantikan dengan udara
72
yang berkualitas baik. Kondisi ini akan meningkatkan risiko terjadinya ISPA
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara luas
ventilasi alami dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan
Ciputat bulan Juni tahun 2013, dengan p value sebesar 0,541. Selain itu adanya
hubungan yang lemah antara luas ventilasi alami dengan kejadian ISPA
(r=0,131).
ada hubungan yang bermakna antara variabel luas ventilasi dengan kejadian
Timur dan penelitian Pramayu (2012) di Kota Depok juga menunjukkan tidak
ada hubungan yang signifikan antara ventilasi kelas dengan gangguan ISPA dan
fungsi paru pada anak sekolah dasar. Penelitian Millatin (2011) menunjukkan
Tidak adanya hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian ISPA dalam
penelitian ini disebabkan karena seluruh kelas memiliki luas ventilasi yang
cukup memadai dan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan yaitu 10% dari
73
luas lantai. Handajani (2004) dan Millatin (2011) menyatakan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara luas ventilasi dengan gangguan ISPA karena
semua responden berada di ruangan dengan ventilasi yang memadai dan sesuai
dengan standar. Sehingga sebagian besar sampel homogen pada jenis ruang
yang sama.
Selain itu, luas ventilasi yang diukur dalam penelitian ini hanya meliputi
Beberapa kelas menggunakan pintu sebagai aliran udara, seperti pada SDN 4
Ciputat. Oleh karena itu tidak diukurnya pintu menjadi salah satu penyebab
tidak adanya hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian ISPA pada siswa
SD negeri.
ISPA dalam penelitian ini adalah laju udara dari ventilasi tidak diperhitungkan.
Sehingga tidak diketahui apakah laju udara tersebut memenuhi syarat atau
pernafasan tidak hanya dipengaruhi oleh luas ventilasi tetapi juga dari laju
laju udara dari luar ruangan ke dalam ruangan dari 1,3 menjadi 11,5 liter/detik
mampu menurunkan risiko gejala asma dan gangguan saluran pernafasan pada
anak sekolah.
74
Ventilasi dalam penelitian ini terdiri dari ventilasi alami dan ventilasi
buatan. Ventilasi alami meliputi jendela, lubang angin dan pintu. Ventilasi
alami berfungsi untuk mengalirkan udara di dalam ruang yang terjadi secara
alamiah dan untuk menggerakkan udara sebagai hasil dari sifat porous dinding
mekanis maupun elektrik, seperti kipas angin, exhauster dan pendingin ruangan
mikroorganisme(Notoatmodjo, 2007).
baik dan memenuhi syarat jika aliran udara cross ventilation. Disamping itu,
aliran udara tersebut tidak terhalang oleh barang-barang besar seperti dinding,
lemari, sekat rumah. Udara yang masuk ke dalam ruangan harus bersih, tidak
dicemari asap kendaraan bemotor, asap pembakaran sampah serta debu. Selain
itu adanya kipas angin yang digunakan dalam ruangan penting untuk
basah.Rumah yang lembab dan basah karena banyak air yang terserap pada
Terhalangnya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke
dalam rumah mengakibatkan kuman yang ada di dalam rumah tidak dapat
75
keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan. Hal ini juga mempermudah
Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara ventilasi alami
dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN, dengan pvalue 0,124. Hasil uji
statistik juga menunjukkan tidak ada hubungan antara ventilasi buatan dengan
kejadian ISPA pada balita. Balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang
tidak memenuhi standar beresiko 1,853 kali terkena ISPA dibandingkan dengan
balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang memenuhi standar. Hasil
penelitiannya juga menunjukkan bahwa balita yang terkena ISPA lebih banyak
balita yang tidak ISPA lebih banyak tinggal di rumah dengan ventilasi yang
memenuhi standar.
kadar CO2 yang bersifat racun akan meningkat. Ventilasi yang tidak memenuhi
karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Hal ini
untuk berkembang. Kualitas udara dalam ruangan yang buruk dan banyak
76
menunjukan tidak adanya perbedaan persentase kejadian ISPA pada siswa yang
belajar di kelas dengan ventilasi yang baik dan siswa yangbelajar di kelas
dengan ventilasi yang tidakbaik.Selain itu dapat disebabkan kualitas udara yang
sama baik di ruangan dengan ventilasi baik maupun ventilasi tidak baik. Jika
dilihat berdasarkan luas ventilasi, semua ruang kelas memiliki luas ventilasi
yang cukup. Sehingga dapat diasumsikan aliran udara dalam kelas baik dengan
ventilasi yang cukup. Walaupun jendela yang dibuka saat kegiatan belajar
berlangsung sedikit.
udara yang baik akan mengurangi kadar partikulat, dan sebaliknya apabila
dalam ruangan. Selain itu, ventilasi yang baik dapat membebaskan udara
maka akan selalu terjadi pertukaran aliran udara yang terus menerus
(Notoatmodjo, 2007).
pada siswa yang berada di ruang yang memiliki kipas angin maupun yang tidak
memiliki kipas angin. Selain itu juga tidak ada perbedaan kejadian ISPA pada
siswa yang berada di kelas yang memiliki kipas dan digunakan dengan siswa
77
yang berada di kelas yang memiliki kipas tetapi tidak digunakan. Sehingga
pada uji statistik tidak menunjukkan adanya hubungan antara ventilasi (alami
maupun buatan) dengan kejadian ISPA. Luas ventilasi yang cukup sehingga
Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat menjadi perantara atau media
atau virus penyebab ISPA.Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan
kering dan tidak lembab. Lantai harus padat atau stabil sehingga mudah
dibersihkan dan dapat cepat kering bila terkena air. Lantai perlu diplester dan
akan lebih baik jika dilapisi ubin atau keramik yang mudah dibersihkan (Ditjen
dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN, dengan pvalue 0,924. Hasil
bahwa ada hubungan antara lantai dengan kejadian ISPA pada balita. Frekuensi
yang menderita ISPA lebih banyak pada balita dengan kondisi lantai yang tidak
memenuhi syarat.
Tidak ada hubungan antara lantai kelas dengan kejadian ISPA dalam
penelitian ini karena tidak ada perbedaan jumlah siswa yang mengalami
78
kejadian ISPA pada lantai yang memenuhi syarat maupun pada lantai yang
tidak memenuhi syarat. Selain itu, semua lantai ruang kelas terbuat dari
dengan mudah disingkirkan karena lantai terbuat dari keramik. Semua lantai
kelas juga kedap air sehingga kelas tidak lembab dan lantai dalam keadaan
kering.
Handajani mengelompokkan lantai menjadi lantai yang kedap air dan lantai
yang tidak kedap air. Semua lantai kelas adalah lantai yang kedap air, sehingga
semua lantai memenuhi syarat. Oleh karena itu hasil uji statistik menunjukkan
hubungan yang tida bermakna antara jenis lantai dengan gangguan pernafasan.
bersifat langsung dapat terjadi karena lantai yang terbuat dari tanah. Rumah
dengan lantai tanah akan menyebabkan kondisi dalam rumah menjadi berdebu.
Keadaan berdebu ini sebagai salah satu bentuk terjadinya polusi udara dalam
ruang (indoor air pollution). Debu dalam udara apabila terhirup akan menempel
BAB VII
A. Simpulan
a. Ada hubungan antara suhu dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5
e. Tidak ada hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian ISPA pada
f. Tidak ada hubungan antara ventilasi alami dengan kejadian ISPA pada
h. Tidak hubungan antara lantai kelas dengan kejadian ISPA pada siswa
B. Saran
1. Pihak Sekolah
81
3. Puskesmas
4. Penelitian Selanjutnya
82
dan adanya studi lanjutan dengan fokus studi individu yang mengukur
Alsagaff, H. and Mukty, H.A. 2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Cetakan
keempat. Surabaya: Erlangga University Press.
Balitbangkes Depkes RI. 2008. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta:
Balitbangkes Depkes RI.
Bernard, S.M., et.al. 2001.The Potential Impacts Of Climate Variability And Change
On Air Pollution-Related Health Effects In The United States, Environmental
Health Perspectives, vol.109, no.2, pp.199-209.
Buletin Surveilans ISPA Berat di Indonesia (SIBI). 2013. Jakarta: RS sentinel SIBI.
Breysse, P.N.,et.al. 2010. Indoor Air Pollution and Asthma in Children. Proceedings
of American Thoracic Society, vol.7, pp 102-106.
Cissy, B.K. 2010. Pneumonia Pembunuh pada Balita. Buletin Jendela Epidemiologi,
Vol.3.
Depkes RI. 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Akut. Dirjen PPM & PLP
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Kejadian ISPA di Kota Tangerang Selatan
tahun 2012.
EPA. 2004. Air Quality Criteria for Particulate Matter. Center for Environmental
Research Information Office of Research and Development.
http://ofmpub.epa.gov. Unduh pada 13 Februari 2013.
Gamble, J.F. and Lewis, R.J. 1996. Health And Respirable Particulate (PM10) Air
Pollution: A Causal Or Statistical Association?, Environmental Health
Perspectives, vol.104, no.8, pp.838-850.
Hamidi, P. 2002. Pajanan Debu dengan Kejadian Gangguan Pernafasan Studi Terhadap
Bayi dan Balita Pada Pemukiman di Jalan Transportasi Batubara, Kecamatan
Mataram, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. [Tesis]. Magister Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Holopainen, R. et. al. 2010. Mitigating The Adverse Impact of Particulates on Indoor
Air . Helsinki.
, Direktorat Jendral P2M dan PL. 2007. Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat.
Jakarta.
, No.1077 Tahun 2011 Mengenai Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang Rumah.
, No.1995 Tahun 2010 Mengenai Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak.
Kleinman, M.T. 2000. The Health Effects of Air Pollution on Children. University of
California.http://www.aqmd.gov/forstudents/health_effects_on_children. Unduh
pada tanggal 12 Januari 2013.
Lameshow. 1997. Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan. Hari kusnanto (Ed),
Dibyo Pramono (penerjemah). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Lee, SC & Chang M. 1999. Indoor Air Quality Investigations at Five Classroom.
Indoor Air Journal,vol. 9, pp.134-138.
Lubis, A., dkk. 2000. Hubungan Kondisi Perumahan Dengan Penularan Penyakit
ISPA dan TB Paru. Artikel Media Litbang Kesehatan, vol.10, no. 2, pp: 27-31.
Martono,H., et.al. 2003. Kandungan TSP dan PM10 di Udara Jakarta dan Sekitarnya.
Jurnal Ekologi Kesehatan, vol.2,no.3, pp. 255-262.
Millatin, K, dkk. 2011. Hubungan Antara Ventilasi dengan Kejadian ISPA pada
Balita di WilayahKerja Puskesmas Pabelan Kabupaten Semarang. Jurnal Gizi
dan Kesehatan, vol.3, no.1, pp. 16-28.
Moerdjoko. 2004. Kaitan Sistem Ventilasi Bangunan Dengan Keberadaan
Mikroorganisme Udara. Dimensi Teknik Arsitektur, vol. 32, no. 1, pp.89-94.
http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/
Morton, Richard F. 2009. Panduan Studi Epidemiologi & StatistikaI. Jakarta: EGC.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar: Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.
Naria, E., dkk. 2008. Hubungan Kondisi Rumah Dengan Keluhan Ispa PadaBalita Di
Wilayah Kerja Puskesmas TuntunganKecamatan Medan Tuntungan Tahun 2008.
Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Sumatera Utara.
Pudjiastuti, L, dkk. 1998. Kualitas Udara Dalam Ruang. Ditjen Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Jakarta.
Rahajoe, N.N., dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: IDAI.
Sabri, L & Hastono, S.P. 2006. Satistik Kesehatan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Sastrawijaya, A. Tresna. 2009. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta.
Stansfield S., Shepard, D. 2000. Acute respiratory infection. In: Jameson D, Mosley
W, Measham A, Bobadilla J, eds. Disease control priorities in developing
countries. Oxford: Oxford University Press, 1993: 67–90.
Suprajitno. 2004. Asuhan Keperawatan Keluarga Aplikasi dan Praktik. Jakarta: EGC
Supriasa, et.al. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Sutrisna, B. 1999. Polusi Udara Indoor (IAP) Sebagai Faktor Resiko ISPA, Majalah
Kesehatan Masyarakat Indonesia, no.6.
Tangsel Raya. 2011. Polusi Debu Udara Tangsel Dapat Rapor Merah.
http://www.tangselraya.com/hot-news/47-home.html. Unduh pada 28 Desember
2012.
Tugaswati, T.A., dkk. 1996. Pemantauan Kualitas Udara di Daerah Rawasari dan
Pulo Gadung. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. vol. 24,no.1,
pp.2-5.
Widianingtias, R., dkk. 2004. Survei Cepat Gambaran Kondisi Fisik Rumah Kaitanya
denganKejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Kebumen 2 Kabupaten Kebumen. 3 (2): 33-37.
. 2002. Health Impact Assessment of Air Pollution in The Eight Major Italian Cities.
WHO EUROPEAN Centre for Environment and Health, Rome Operational
Division, WHO Regional Office for Europe.
Yusnabeti, dkk. 2010. PM10 dan Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Pekerja
Industri Mebel. Makara Kesehatan, nol. 14, no.1, pp.25-30.
Yusup, N.A & Sulistyorini, L. 2005. Hubungan Sanitasi Rumah Secara Fisik dengan
Kejadian ISPA Pada Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan, vol.1, no.2, pp:110-
119.
Kuesioner
Nomor Responden :
Tanggal Wawancara :
Pewawancara :
A. Data Umum
Nama :
Nama Sekolah :
Jenis Kelamin :
B. Gejala ISPA
No Pertanyaan Ya Tidak
Lembar Observasi
1. Analisis Univariat
Descriptive Statistics
Valid N (listwise) 24
Valid N (listwise) 24
Descriptive Statistics
Valid N (listwise) 24
Descriptive Statistics
Valid N (listwise) 24
e. Gambaran Luas Ventilasi Alami Kelas
Descriptive Statistics
Valid N (listwise) 24
f. Ventilasi Alami
Statistics
ventilasi_alami
N Valid 24
Missing 0
Mean .46
Median .00
Std. Deviation .509
Minimum 0
Maximum 1
Ventilasi_alami
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid tidak baik 13 54.2 54.2 54.2
baik 11 45.8 45.8 100.0
Total 24 100.0 100.0
g. Ventilasi Buatan
Statistics
ventilasi_buatan
N Valid 24
Missing 0
Mean .33
Median .00
Std. Deviation .482
Minimum 0
Maximum 1
ventilasi_buatan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid tidak baik 16 66.7 66.7 66.7
baik 8 33.3 33.3 100.0
Total 24 100.0 100.0
h. Lantai Kelas
Statistics
keadaan_lantai
N Valid 24
Missing 0
Mean .29
Median .00
Std. Deviation .464
Minimum 0
Maximum 1
keadaan_lantai
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid tidak baik 17 70.8 70.8 70.8
baik 7 29.2 29.2 100.0
Total 24 100.0 100.0
2. Analisis Bivariat
a. Uji Normalitas
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
ispa .146 24 .199 .911 24 .038
suhu .147 24 .191 .946 24 .217
kelembaban .132 24 .200* .961 24 .451
kepadatan_hunian .134 24 .200* .065 24 .000
*
luas_ventilasi .118 24 .200 .954 24 .324
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
b. Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA
Correlations
ispa suhu
Spearman's rho ispa Correlation Coefficient 1.000 .653**
Sig. (2-tailed) . .001
N 24 24
suhu Correlation Coefficient .653** 1.000
Sig. (2-tailed) .001 .
N 24 24
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Correlations
kepadatan_
ispa hunian
Spearman's rho ispa Correlation
1.000 -.510*
Coefficient
Sig. (2-tailed) . .011
N 24 24
kepadatan_hunian Correlation
-.510* 1.000
Coefficient
Sig. (2-tailed) .011 .
N 24 24
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Correlations
ispa luas_ventilasi
Spearman's rho ispa Correlation
1.000 .131
Coefficient
Sig. (2-tailed) . .541
N 24 24
luas_ventilasi Correlation
.131 1.000
Coefficient
Sig. (2-tailed) .541 .
N 24 24
f. Hubungan Ventilasi Alami Kelas dengan Kejadian ISPA
Ranks
Test Statisticsa
ispa
Mann-Whitney U 45.000
Wilcoxon W 111.000
Z -1.538
Asymp. Sig. (2-tailed) .124
a. Grouping Variable: ventilasi_alami
Ranks
ventilasi_buatan N Mean Rank Sum of Ranks
ispa tidak baik 16 13.03 208.50
Baik 8 11.44 91.50
Total 24
Test Statisticsa
ispa
Mann-Whitney U 55.500
Wilcoxon W 91.500
Z -.522
Asymp. Sig. (2-tailed) .602
a. Grouping Variable: ventilasi_buatan
Ranks
keadaan_lantai N Mean Rank Sum of Ranks
ispa tidak baik 17 12.59 214.00
Baik 7 12.29 86.00
Total 24
Test Statisticsa
ispa
Mann-Whitney U 58.000
Wilcoxon W 86.000
Z -.095
Asymp. Sig. (2-tailed) .924
a. Grouping Variable: keadaan_lantai
Descriptives
Median 66.00
Variance 247.897
Minimum 29
Maximum 85
Range 56
Interquartile Range 24
Median 55.00
Variance 426.200
Minimum 26
Maximum 85
Range 59
Interquartile Range 41
Median 63.50
Variance 265.829
Minimum 29
Maximum 79
Range 50
Interquartile Range 25
Median 59.50
Variance 584.571
Minimum 26
Maximum 85
Range 59
Interquartile Range 50
Median 61.00
Variance 344.184
Minimum 26
Maximum 85
Range 59
Interquartile Range 24
Median 65.00
Variance 457.143
Minimum 30
Maximum 79
Range 49
Interquartile Range 48
Kelembaban Kelembaban
No Sekolah No Sekolah
(%) (%)
1. SDN 2 Ciputat 65 13. SDN 2 Serua Indah 60
2. SDN 3 Ciputat 63 14. SDN 3 Serua Indah 61
3. SDN 4 Ciputat 63 15. SDN 1 Sawah 61
4. SDN 5 Ciputat 57 16. SDN 3 Sawah 63
5. SDN 7 Ciputat 58 17. SDN 4 Sawah 62
6. SDN 8 Ciputat 60 18. SDN 1 Sawah Baru 61
7. SDN 9 Ciputat 62 19. SDN 2 Sawah Baru 64
8. SDN 3 Cipayung 63 20. SDN 3 Jombang 65
9. SDN 4 Cipayung 58 21. SDN 4 Jombang 60
10. SDN 1 Serua 59 22. SDN 5 Jombang 63
11. SDN 3 Serua 62 23. SDN 6 Jombang 62
12. SDN 5 Serua 60 24. SDN 11 Jombang 64
Lampiran 7
Besar Kepadatan Hunian Kelas SDN di Kecamatan Ciputat
Bulan Juni Tahun 2013
Kepadatan Kepadatan
No Nama Sekolah Hunian No Nama Sekolah Hunian
(m2/siswa) (m2/siswa)
1. SDN 2 Ciputat 1,15 13. SDN 2 Serua Indah 1,11
2. SDN 3 Ciputat 1,04 14. SDN 3 Serua Indah 1,41
3. SDN 4 Ciputat 0,98 15. SDN 1 Sawah 1,32
4. SDN 5 Ciputat 2,01 16. SDN 3 Sawah 1,13
5. SDN 7 Ciputat 1,36 17. SDN 4 Sawah 0,97
6. SDN 8 Ciputat 1,36 18. SDN 1 Sawah Baru 1,14
7. SDN 9 Ciputat 0,97 19. SDN 2 Sawah Baru 1,21
8. SDN 3 Cipayung 1,10 20. SDN 3 Jombang 1,14
9. SDN 4 Cipayung 1,25 21. SDN 4 Jombang 1,01
10. SDN 1 Serua 0,95 22. SDN 5 Jombang 1,20
11. SDN 3 Serua 1,08 23. SDN 6 Jombang 1,31
12. SDN 5 Serua 1,04 24. SDN 11 Jombang 1,14
Lampiran 8
Besar Luas Ventilasi Alami Kelas SDN di Kecamatan Ciputat
Bulan Juni Tahun 2013
Luas Luas
No Nama Sekolah Ventilasi No Nama Sekolah Ventilasi
Alami (m2) Alami (m2)
1. SDN 2 Ciputat 11,06 13. SDN 2 Serua Indah 9,73
2. SDN 3 Ciputat 9,53 14. SDN 3 Serua Indah 13,74
3. SDN 4 Ciputat 8,67 15. SDN 1 Sawah 6,65
4. SDN 5 Ciputat 13,74 16. SDN 3 Sawah 12,43
5. SDN 7 Ciputat 7,97 17. SDN 4 Sawah 5,72
6. SDN 8 Ciputat 9,37 18. SDN 1 Sawah Baru 4,34
7. SDN 9 Ciputat 13,50 19. SDN 2 Sawah Baru 10,08
8. SDN 3 Cipayung 10,05 20. SDN 3 Jombang 12,88
9. SDN 4 Cipayung 7,20 21. SDN 4 Jombang 5,98
10. SDN 1 Serua 10,05 22. SDN 5 Jombang 12,53
11. SDN 3 Serua 9,35 23. SDN 6 Jombang 11,04
12. SDN 5 Serua 10,44 24. SDN 11 Jombang 13,08
Lampiran 9
Ventilasi Alami Kelas SDN di Kecamatan Ciputat
Bulan Juni Tahun 2013
Dokumentasi Lapangan