Anda di halaman 1dari 134

SKRIPSI

HUBUNGAN KESEHATAN LINGKUNGAN RUMAH DENGAN


KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA
BALITA DI DESA PULUNG MERDIKO PONOROGO

Oleh :
ARDHIN YUUL HAMIDAH
201403003

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2018

i
SKRIPSI
HUBUNGAN KESEHATAN LINGKUNGAN RUMAH DENGAN
KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA
BALITA DI DESA PULUNG MERDIKO PONOROGO
Diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan dalam mencapai gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM)

Oleh :
ARDHIN YUUL HAMIDAH
201403043

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN


PROGRAM STUDI KESEHATAN
MASYARAKAT STIKES BHAKTI HUSADA
MULIA MADIUN 2018

ii
iii
iv
LEMBAR PERSEMBAHAN

“Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil. Siapa yang bersabar akan

beruntung. Siapa yang menanam akan menuai”

Karya ini saya persembahkan untuk :

1. Kedua orang tua saya Bapak Nurhadi, S.Pd I dan Ibu Lasmi sebagai

inspirasi terhebat, yang mengutamakan pendidikan pada anak, motivator

terhebat selama ini.

2. Kakak-kakak ku Poppy, Niyan, Amien yang selalu bercanda tawa ketika aku

pulang.

3. Tiga sahabatku Shely, Zendy, & Resita yang setia menemani dalam situasi

apapun.

4. Teman-temanku team “Gadis Idaman” Anisa, Resita, Fatika, Ulul, Riayana,

Siti Fauziah, Yayuk, Inna, Dania, Elfira yang selalu mengingatkan tentang

kewajiban 5 waktu, mendongkrak semangat demi skripsi ini. Dan juga Arief,

Tri yang selalu menghibur dengan sikap humorisnya.

5. Teman-teman S1 Kesehatan Masyarakat angkatan 2014 yang sudah

memberikan bantuan

v
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Ardhin Yuul Hamidah

Tempat/Tanggal Lahir : Ponorogo, 15 Juli 1995

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jalan Raya Ponorogo-Pacitan No. 73 Desa Nailan

Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo

Email : ardhinyuulhamidah@gmail.com

Riwayat Pendidikan :

1. TK Bhayangkari 62 Ponorogo

2. SDN Nailan

3. SMP Negeri 2 Ponorogo

4. SMA Negeri 3 Ponorogo

vii
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN

ABSTRAK

Ardhin Yuul Hamidah

Hubungan antara Kesehatan Lingkungan Rumah dengan Kejadian Infeksi


Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Desa Pulung Merdiko
Ponorogo

114 Halaman + 23 tabel + 3 gambar + 10 lampiran

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab


utama kematian dengan membunuh ± 4 juta anak balita setiap tahun. Kasus
infeksi saluran pernapasan akut di Desa Pulung Merdiko tahun 2017 adalah 106
balita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kesehatan lingkungan
rumah dengan kejadian infeksi saluran pernapasan (ISPA) pada balita di Desa
Pulung Merdiko Ponorogo.
Jenis penelitian ini adalah survey analitik dengan pendekatan case control.
Teknik pengambilan sampel menggunakan simple random sampling, dimana 30
balita sebagai kasus dan 30 balita sebagai kontrol dengan total sampel sebanyak
60 responden. Teknik analisis data menggunakan uji statistik chi-square.
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara : kepadatan hunian
(p=0,002 ) jenis lantai (p= 0,020) jenis dinding (p=0,004) pencahayaan (p=0,010)
langit-langit rumah (p=0,010 ) dan anggota keluarga merokok (p= 0,001) dengan
infeksi saluran pernapasan akut pada balita.
Variabel yang paling berhubungan adalah anggota keluarga merokok.
Maka dari itu, disarankan responden selalu membersihkan lingkungan rumah,
dan tidak merokok didekat balita.

Kata Kunci : Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), Balita, Lingkungan


Rumah Kepustakaan : 43 (2009-2017)

viii
PUBLIC HEALTH PROGRAM
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN

ABSTRACT

Ardhin Yuul Hamidah

Relationship between Home Environmental Health with Acute Respiratory


Infection (ARI) Incidence in Toddlers in Pulung Merdiko Village Ponorogo

114 pages + 23 tables + 3 images + 10 enclosure

Background : Acute respiratory infection (ARI) was one of the leaded caused of
death by killed ± 4 million toddlers. Cases of acute respiratory infections (ARI) in
infants in Pulung Merdiko Village in 2017 was 106 toddlers. This study aims to
determined the relationship between home environmental health with the
incidence of acute respiratory infections (ARI) in toddlers in Pulung Merdiko
Village Ponorogo.
The methods of this research : This research type was analytic survey with case
control approach. The sampling technique used simple random sampling, where
30 toddlers as case and 30 toddlers as control with total sample counted 60
responder. The data analysis technique used chi-square statistical test.
The result : The results showed that there was a relationship between: density of
residence (p = 0.002) the type of floor (p = 0.020) the type of wall (p = 0.004)
lighting room (p = 0.010) house ceiling (p = 0.010) and family members smoked
(p = 0.001) with acute respiratory infections in toodlers.
Analysis : The most related variables was family members smoked.
Discus and Conclusion : Therefore, should always cleaned the home
environment, and don’t smoked near toddlers.

Keywords: Acute Respiratory Infection (ARI), Toddler, Home Environment


Literature : 43 (2009-2017)

ix
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan

petunjuksehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan

Kesehatan Lingkungan Rumah dengan Kejadian ISPA (Infeksi Saluran

Pernapasan Akut) pada Balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo”. Skripsi ini

disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program

Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun.

Dalam hal ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak,

untuk itu penulis menyampaikan rasa hormat dan trimakasih atas semua bantuan

dan dukungannya selama pelaksanaan dan penyusunan laporan skripsi ini kepada :

1. Zaenal Abidin, S.KM.,M.Kes (Epid) selaku Ketua STIKES Bhakti Husada

Mulia Madiun dan selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan,

pengarahan dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

2. Avicena Sakufa Marsanti, S.KM.,M.Kes, selaku Ketua Program Studi

Kesehatan Masyarakat STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun dan selaku

pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan masukan

dalam penyusunan skripsi ini.

3. Riska Ratnawati, S.KM.,M.Kes Selaku penguji skripsi yang telah memberikan

masukan yang bermanfaat dalam skripsi ini.

4. Dr. Indah Selaku Kepala UPTD Puskesmas Pulung Kabupaten Ponorogo.

x
5. Slamet Suryani Selaku Kepala Desa Pulung Merdiko beserta perangkat Desa,

bidan desa dan perawat desa yang telah membantu dalam penelitian

6. Serta semua pihak yang penulis tidak bisa menyebutkan satu persatu yang

telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata saya menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah

berperan serta dalam penyusunan skripsi ini dari awal sampai akhir, semoga Allah

SWT senantiasa maridhoi segala usaha kita, Amin

Wasalamualaikum Wr.Wb

Madiun, 16 Agustus 2018

Penulis

xi
DAFTAR ISI

Sampul Depan .................................................................................................. i


Sampul Dalam.................................................................................................. ii
Lembar Persetujuan.......................................................................................... iii
Lembar Pengesahan ......................................................................................... iv
Lembar Persembahan ....................................................................................... v
Lembar Pernyataan........................................................................................... vi
Abstrak...................................................................................................................vii
Kata Pengantar ................................................................................................. x
Daftar Isi................................................................................................................xii
Daftar Tabel..........................................................................................................xiv
Daftar Gambar........................................................................................................xv
Daftar Lampiran....................................................................................................xvi
Daftar Istilah dan Singkatan.................................................................................xvii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 5
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................. 6
1.5 Keaslian Penelitian............................................................................. 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)......................................................................................10
Pengertian Infeksi Saluran Pernapasan Akut............................................10
Penyebab Infeksi Saluran Pernapasan Akut.............................................10
Klasifikasi Infeksi Saluran Pernapasan Akut............................................11
Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut..................................................12
Pencegahan Infeksi Saluran Pernapasan Akut..........................................14
Pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut..........................................14
Rumah Sehat 15
Persyaratan Rumah Sehat.........................................................................16
Komponen Fisik Rumah Sehat.................................................................18
Faktor Risiko Infeksi Saluran Pernapasan Akut............................................................................21
Faktor Host 21
Faktor Agent 23
Faktor Lingkungan 24
Kerangka Teori 28

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN


Kerangka Konsep..........................................................................................................................29
Hipotesis Penelitian.......................................................................................................................30

BAB 4 METODE PENELITIAN


Desain Penelitian 31
Populasi dan Sampel 31

xii
Populasi 31
Sampel 31
Teknik Sampling 34
Kerangka Kerja Penelitian.............................................................................................................35
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel................................................................36
Variabel Bebas 36
Definisi Terikat 36
Definisi Operasional 36
Instrumen Penelitian 38
Observasi 38
Kuesioner 38
Pengukuran 39
Lokasi dan Waktu Penelitian.........................................................................................................40
Prosedur Penelitian 41
Analisa Data 43
Analisa Univariat 43
Analisa Bivariat 44

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN


Gambaran Umum 46
Karakteristik Responden...............................................................................................................48
Hasil Penelitian 50
Pembahasan 61
Keterbatasan Penelitian.................................................................................................................82

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan 83
Saran 84

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian...............................................................................7


Tabel 4.1 Kriteria Inklusi dan Ekslusi..................................................................33
Tabel 4.2 Definisi Operasional............................................................................36
Tabel 4.3 Waktu Pelaksanaan Penelitian.............................................................41
Tabel 4.4 Coding Variabel Penelitian..................................................................42
Tabel 5.1 Mata Pencaharian Penduduk................................................................47
Tabel 5.2 Aset Perumahan...................................................................................47
Tabel 5.3 Karakteristik Responden Tingkat Pendidikan.....................................48
Tabel 5.4 Karakteristik Responden Pekerjaan.....................................................49
Tabel 5.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur......................................49
Tabel 5.6 Karakteristik Balita Berdasarkan Umur..............................................50
Tabel 5.7 Gambaran ISPA di Desa Pulung Merdiko...........................................51
Tabel 5.8 Gambaran Kepadatan Hunian Kamar..................................................51
Tabel 5.9 Gambaran Jenis Lantai........................................................................52
Tabel 5.10 Gambaran Jenis Dinding...................................................................52
Tabel 5.11 Gambaran Pencahayaan.....................................................................53
Tabel 5.12 Gambaran Langit-langit Rumah........................................................53
Tabel 5.13 Gambaran Anggota Keluarga Merokok............................................54
Tabel 5.14 Hubungan Kepadatan Hunian Kamar Tidur dengan Kejadian Ispa. 55
Tabel 5.15 Hubungan Jenis Lantai dengan Kejadian Ispa...................................56
Tabel 5.16 Hubungan Jenis Dinding dengan Kejadian Ispa................................57
Tabel 5.17 Hubungan Pencahayaan dengan Kejadian Ispa.................................58
Tabel 5.18 Hubungan Langit-langit Rumah dengan Kejadian Ispa....................59
Tabel 5.19 Hubungan Anggota Keluarga Merokok Dengan Kejadian Ispa........60

xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Teori.............................................................................28


Gambar 4.1 Kerangka Kerja Penelitian............................................................35
Gambar 4.2 Luxmeter.......................................................................................40

xv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Ijin Penelitian............................................................................90


Lampiran 2 Surat Balasan DINKES Ponorogo.....................................................91
Lampiran 3 Surat Balasan BANGKESBANGPOL Ponorogo..............................92
Lampiran 4 Surat Keterangan Selesai Penelitian..................................................93
Lampiran 5 Form Komunikasi..............................................................................94
Lampiran 6 Lembar Persetujuan Menjadi Responden..........................................95
Lampiran 7 Kuesioner Penelitian..........................................................................96
Lampiran 8 Output Distribusi Frekuensi...............................................................98
Lampiran 9 Output Analisis Bivariat...................................................................100
Lampiran 10 Dokumentasi..................................................................................114

xvi
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Akut


WHO : World Health Organization
OR : Oods Ratio
PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
SPSS : Statistic Product and Service Solution
CO2 : Carbon Dioksida
O2 : Oksigen
Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar
SD : Sekolah Dasar
SMP : Sekolah Menengah Pertama
SMA : Sekolah Menengah Atas
TBC : Tuberculosis
BBLR : Berat bayi lahir rendah
Independen : Bebas
Dependen : Terikat
Editing : Penyuntingan
Coding : Pengkodean
Scoring : Skoring
Inform Consent : Lembar Persetujuan

xvii
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kesehatan adalah hak asasi manusia dan investasi untuk keberhasilan

pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan kesehatan

secara menyeluruh dan berkesinambungan. Tujuan Sistem Kesehatan Nasional

adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa,

baik masyarakat, swasta maupun pemerintah secara sinergis, berhasil-guna

dan berdayaguna, sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat yang

setinggi-tingginya (Depkes RI, 2009)

Penyakit berbasis lingkungan merupakan fenomena penyakit terjadi pada

sebuah kelompok masyarakat, yang berhubungan, berakar atau memiliki

kaitan erat dengan satu atau lebih komponen lingkungan pada sebuah ruang

dimana masyarakat tersebut tinggal atau beraktivitas dalam jangka waktu

tertentu (Achmadi, 2012).

Penyakit ISPA merupakan salah satu jenis penyakit menular berbasis

lingkungan. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang

menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai hidung

sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura)

(Depkes, 2012).

Menurut WHO kurang lebih 13 juta anak balita di dunia meninggal

setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di negara

1
berkembang, dimana ISPA merupakan salah satu penyebab utama kematian

dengan membunuh ± 4 juta anak balita setiap tahun (Rudianto, 2013).

Di Indonesia kasus ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab

kematian bayi. Berdasarkan Riskesdas 2013 prevalensi nasional ISPA

adalah 25,0%. Sebanyak lima provinsi dengan prevalensi ISPA tertinggi,

yaitu Nusa Tenggara Timur 41,7%, Papua 31,1%, Aceh 30,0%, Nusa

Tenggara Barat 28,3%, dan Jawa Timur 28,3%. Penduduk dengan ISPA

yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun 25,8%. (Data Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013).

Data Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo menunjukkan jumlah kasus

ISPA pada balita tahun 2016 sebanyak 2487 atau 4,45%. ISPA di kabupaten

Ponorogo menjadi tren penyakit setiap tahunnya. Puskesmas yang ada di

wilayah Ponorogo salah satunya adalah Puskesmas Pulung. Dari 30

Puskesmas yang ada di Kabupaten Ponorogo, Puskesmas Pulung dipilih

karena penyakit ISPA selalu masuk 10 besar angka kesakitan selama 2 tahun

berturut-turut (Dinkes Ponorogo, 2016). Berdasarkan data yang diperoleh pada

tahun 2016 kasus ISPA di Puskesmas Pulung sebanyak 1385 penderita.

Sedangkan kasus baru ISPA di tahun 2017 sebanyak 1599 penderita. Kasus

ISPA balita di Puskesmas Pulung tahun 2017 tersebut didominasi oleh balita

sebanyak 324 penderita. Puskesmas Pulung membawahi 11 desa, dari 11 desa

tersebut kasus ISPA balita tertinggi ada di Desa Pulung Merdiko, dengan

jumlah penderita ISPA sebanyak 109 balita (Puskesmas Pulung, 2017).

2
Secara umum faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan fisik,

faktor host/pejamu, faktor agent serta faktor lingkungan sosial. Faktor agent

yaitu bakteri, virus dan jamur. Faktor lingkungan fisik meliputi, pencemaran

udara dalam rumah, kondisi fisik rumah seperti kepadatan hunian, jenis lantai,

jenis dinding, pencahayaan rumah. Sedangkan faktor sosial meliputi pekerjaan

orangtua, pendidikan ibu, serta perilaku merokok anggota keluarga (Depkes

RI, 2010)

Kondisi lingkungan rumah sangat mempengaruhi kesehatan dari

penghuni rumah khususnya pada balita karena sistem kekebalan tubuh balita

sangat rentan terhadap penyakit. Rumah Sehat adalah bangunan rumah tinggal

yang memenuhi syarat kesehatan yang terdiri dari komponen rumah, sarana

sanitasi dan perilaku antara lain yaitu memiliki jamban sehat, tempat

pembuangan sampah, sarana air bersih, sarana pembuangan air limbah,

ventilasi baik, kepadatan hunian rumah sesuai dan lantai rumah tidak dari

tanah (Profil Indonesia, 2016).

Menurut data Puskesmas Pulung tahun 2016 cakupan rumah sehat masih

dibawah target, dari 8307 rumah yang diperiksa 3895 rumah belum memenuhi

syarat rumah sehat atau baru tercapai 53,11% dari target 100%. Kemudian di

tahun 2017 data rumah sehat masih sama yaitu 53,11%. Berdasarkan data

Puskesmas Pulung pada tahun 2017, di Desa Pulung Merdiko terdapat 26%

rumah yang belum memenuhi syarat, dibandingkan dengan desa lain

persentase tersebut masih tergolong tinggi (Puskesmas Pulung, 2017).

3
Persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat Kabupaten

Ponorogo tahun 2016 terdapat 19.919 (57,4%) dari 34,704 yang disurvei, hal

ini masih dibawah target yaitu 100% (Dinkes Ponorogo, 2016). Perilaku

manusia merupakan faktor yang besar pengaruhnya dalam menentukan derajat

kesehatan. Perilaku masyarakat yang buruk dapat menimbulkan berbagai

penyakit, meskipun sarana sanitasi dasar telah tersedia, misalnya terjadinya

penyakit ISPA. Salah satu contohnya yaitu perilaku merokok anggota keluarga

didalam rumah akan meningkatkan terjadinya kasus ISPA pada balita, hal

tersebut sesuai dengan penelitian William (2015) yang menyatakan bahwa

merokok dalam rumah merupakan salah satu faktor yang bermakna dalam

kejadian ISPA termasuk balita.

Dari penelitian Safrizal (2017) tentang hubungan ventilasi, lantai,

dinding, dan atap dengan kejadian ISPA pada balita di Blang Muko

menunjukkan bahwa ada hubungan antara ventilasi rumah (p=0,032), lantai

rumah (p=0,014), dinding rumah (p=0,000), atap rumah (0,022) dengan

kejadian ISPA pada balita.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh William (2015) tentang

hubungan antara kondisi lingkungan rumah dengan kejadian ISPA pada anak

balita di wilayah kerja Puskesmas Sario Manado menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian (p=0,0001) di

dalam rumah, keberadaan hewan peliharaan di dalam rumah (p=0,0001)

dan status merokok (p=0,0001) dengan kejadian ISPA pada anak balita.

4
Maka dari itu penting bagi setiap masyarakat untuk menjaga dan

memelihara sanitasi fisik rumah, menerapkan gaya hidup bersih dan sehat

dalam kehidupan sehari-hari untuk mengurangi resiko terkena penyakit yang

berhubungan dengan lingkungan terutama pada balita.

Berdasarkan uraian diatas, kejadian ISPA balita di Desa Pulung Merdiko

tergolong tinggi dan persentase rumah sehat masih dibawah target yang telah

ditentukan. Hal tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian

mengenai hubungan antara kesehatan lingkungan rumah dengan kejadian

ISPA pada balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo.

Rumusan Masalah

“Apakah ada hubungan antara kesehatan lingkungan rumah dengan kejadian

ISPA pada balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo?”

Tujuan

Tujuan Umum

Mengetahui adanya hubunganantara kesehatan lingkungan rumah dengan

kejadian ISPA pada balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo.

Tujuan Khusus

1. Mendeskripsikan kepadatan hunian, jenis lantai, jenis dinding, langit-

langit rumah, pencahayaan, anggota keluarga merokok di Desa Pulung

Merdiko Ponorogo

5
2. Menganalisis hubungan kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada

balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo

3. Menganalisis hubungan jenis lantai dengan kejadian ISPA pada balita di

Desa Pulung Merdiko Ponorogo

4. Menganalisis hubungan jenis dinding dengan kejadian ISPA balita di

Desa Pulung Merdiko Ponorogo

5. Menganalisis langit-langit rumah dengan kejadian ISPA pada balita di

Desa Pulung Merdiko Ponorogo

6. Menganalisis hubungan pencahayaan dengan kejadian ISPA pada balita

di Desa Pulung Merdiko Ponorogo

7. Menganalisis hubungan anggota keluarga merokok dengan kejadian ISPA

pada balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo

Manfaat

Bagi Masyarakat

Hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan kesadaran tentang

pentingnya menjaga lingkungan rumah agar tetap nyaman dan sehat, serta

sebagai bahan masukan bagi peningkatan pemberdayaan keluarga,

terutama ibu untuk meningkatkan kesehatan anak agar terhindar dari

faktor-faktor yang dapat menyebabkan ISPA balita.

6
Bagi Instansi Pemerintah dan Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah masukan untuk

program P2ISPA dan pemerintah desa agar lebih peduli dengan kesehatan

lingkungan masyarakat.

Keaslian Penelitian

Tabel 1.1 Keaslian penelitian

No Peneliti J Desain Variabel Hasil


(Tahun) u Bebas dan
d Terikat
u
l
1 Patmawati Faktor Cross sectional Ventilasi dan Ada hubungan antara
Dongky dan Kepadatan Hunian kepadatan hunian
Kadrianti dengan Kejadian (p=0,017)
Risiko
(2016) ISPA pada Balita dengan Kejadian ISPA
lingkungan
pada Balita
Fisik
dengan Kejadian
ISPA Balita di
Kelurahan
Polewali Mandar
2 William, Hubungan Cross sectional Keberadaan Ada hubungan antara
Jootje dan antara Kondisi peliharaan, keberadaan hewan
Joy (2015) Lingkungan Ventilasi kamar (p=0,0001)
Rumah dengan balita, status ventilasi (p=0,0001)
Kejadian Penyakit merokok, kepadatan status merokok
ISPA pada Anak hunian dengan (p=0,0001)
Balita di Wilayah Kejadian ISPA kepadatan hunian
Kerja Puskesmas pada Anak Balita (p=0,0001)
dengan Kejadian ISPA
Sario Kota pada Balita
Manado

7
3 Safrizal SA Hubungan Cross Ventilasi, Ada hubungan
(2017) Ventilasi, Lantai, sectional antara ventilasi
Dinding, dan Atap Lantai, Dinding, dan Atap (p=0,032)
dengan Kejadian dengan Kejadian ISPA lantai (p=0,014)
Ispa Pada Balita Di pada Balita dinding (p=0,000)
Blang Muko atap (p=0,022)
dengan Kejadian
ISPA pada Balita
4 Tri, Faktor Risiko Case Pengetahuan orangtua, Ada hubungan antara
Badar, Kejadian ISPA Control kebiasaan merokok, luas pengetahuan
dan pada Balita di ventilasi dengan kejadian orangtua (p=0,001),
Kusuma WilayahKerja ISPA kebiasaan
(2016) Puskesmas merokok
Sukoharjo (p=0,006),
luas ventilasi
(p=0,001)
dengan kejadian
ISPA
5 Cindi Hubungan Case Perilaku Ada hubungan
Astuti Perilaku Control antara perilaku
(2017) Keluargadengan keluarga
keluarga
Kejadian ISPA (p=0,0001)
mencegah
pada Balita di dengan kejadian
Desa Cijati dan menanggulangi ISPA ISPA pada Balita
Kecamatan dengan Kejadian ISPA
Cimanggu pada Balita
Kabupaten Cilacap

8
Beda penelitian ini adalah :

1. Variabel bebas berupa kepadatan hunian, jenis lantai, jenis dinding, langit-

langit rumah, pencahayaan, dan anggota keluarga merokok.

2. Lokasi & Waktu : Desa Pulung Merdiko Kecamatan Pulung

Kabupaten Ponorogo, 2018

3. Desain penelitian : Case Control

4. Populasi : 109 balita kasus ISPA

5. Sampel : 30 balita kasus dan 30 balita kontrol

6. Metode : Survey analitik

9
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Pengertian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

ISPA atau Infeksi Saluran Pernapasan Akut mengandung dua unsur,

yaitu infeksi dan saluran pernapasan atas. Pengertian infeksi adalah

masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan

berkembangbiak sehingga menimbulkan gejala penyakit (Gunawan, 2010)

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi yang terjadi

pada pernapasan bagian atas yang meliputi mulut, hidung, tenggorokan,

laring (kotak suara), dan trakea (batang tenggorokan). Gejala dari penyakit

ini antara lain ; sakit tenggorokan, beringus (rinorea), batuk, pilek, sakit

kepala, mata merah, suhu tubuh meningkat 4-7 hari lamanya (Mumpuni,

2016)

Penyebab Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Penyebab ISPA terdiri dari bakteri, virus, jamur, dan aspirasi.

Bakteri penyebab ISPA antara lain Diplococcus pneumoniae,

Pneumococcus, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, dan

Haemophilus influenza. Virus penyebab ISPA antara lain Influenza,

Adenovirus, dan Sitomegalovirus. Jamur yang dapat menyebabkan ISPA

antara lain Aspergillus sp., Candida albicans, dan Histoplasma. (Wahyono,

2008)

10
Klasifikasi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi (Depkes RI, 2012) adalah

sebagai berikut:

1. Infeksi Saluran Pernapasan atas Akut (ISPA)

Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek, otitis

media, faringitis.

2. Infeksi Saluran Pernapasan bawah Akut (ISPA)

Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai

dengan alveoli, dinamakan sesuai dengan organ saluran napas, seperti

epiglotitis, laringitis, laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis, pneumonia.

Klasifikasi berdasarkan umur (Kemenkes RI, 2011) sebagai berikut:

1. Kelompok umur < 2 bulan, diklasifikasikan atas:

a. Pneumonia berat: bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti

berhenti menyusu (jika sebelumnya menyusu dengan baik), kejang,

rasa kantuk yang tidak wajar atau sulit bangun, stridor pada anak yang

tenang, mengi, demam (38 ºC atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah

(di bawah 35,5oC), pernapasan cepat 60 kali atau lebih per menit,

penarikan dinding dada berat, sianosis sentral (pada lidah), serangan

apnea, distensi abdomen dan abdomen tegang.

b. Bukan pneumonia: jika anak bernapas dengan frekuensi kurang dari

60 kali per menit dan tidak terdapat tanda pneumonia seperti di atas.

11
2. Kelompok umur 2 bulan ≤ 5 tahun, diklasifikasikan atas:

a. Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan bernapas yang disertai dengan

sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding dada, anak

kejang dan sulit dibangunkan.

b. Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernapas dan penarikan dinding dada,

tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum.

c. Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernapas) dan pernapasan cepat tanpa

penarikan dinding dada.

d. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): batuk (atau kesulitan bernapas) tanpa

pernapasan cepat atau penarikan dinding dada.

e. Pneumonia persisten: anak dengan diagnosis pneumonia tetap sakit

walaupun telah diobati selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang

adekuat dan antibiotik yang sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding

dada, frekuensi pernapasan yang tinggi, dan demam ringan.

Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Tanda gejala ISPA menurut Depkes RI (2012) adalah:

1. Gejala dari ISPA Ringan

Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau

lebih gejala-gejala sebagai berikut:

a. Batuk

b. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misal

pada waktu berbicara atau menangis).

c. Pilek, yaitu mengeluarkan lender atau ingus dari hidung.

12
d. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370C atau jika dahi anak diraba.

2. Gejala dari ISPA Sedang

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari

ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:

a. Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang berumur kurang dari

satu tahun atau lebih dari 40 kali per menit pada anak yang berumur satu

tahun atau lebih. Cara menghitung pernafasan ialah dengan menghitung

jumlah tarikan nafas dalam satu menit.Untuk menghitung dapat digunakan

arloji.

b. Suhu lebih dari 39 oC (diukur dengan termometer).

c. Tenggorokan berwarna merah.

d. Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak.

e. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.

f. Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur).

g. Pernafasan berbunyi menciut-ciut.

3. Gejala dari ISPA Berat

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala

ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai

berikut:

a. Bibir atau kulit membiru.

b. Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas.

c. Anak tidak sadar atau kesadaran menurun.

d. Pernafasan berbunyi seperti orang mengorok dan anak tampak gelisah.

13
e. Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas.

f. Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba.

g. Tenggorokan berwarna merah.

Pencegahan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Secara umum infeksi saluran pernapasan akut pada balita dapat dicegah

dengan cara sebagai berikut (Ardinasari, 2016) :

a. Melakukan imunisasi sesuai usia anak yang disarankan, sehingga bayi,

balita dan anak memiliki kekebalan terhadap berbagai serangan penyakit

b. Menjaga asupan makanan dan nutrisi

c. Menjaga kebersihan lingkungan sekitar

d. Menjauhkan bayi, balita dan anak dari asap rokok, tembakau, dan polusi

udara lain

e. Menghindarkan bayi, balita, dan anak dari seseorang yang tengah

menderita ISPA.

Pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Pengobatan ISPA pada bayi, balita dan anak secara umum bisa dilakukan

dirumah. Berikut ini beberapa caranya: dengan memberikan obat yang sifatnya

aman dan alami pada balita, sedangkan bayi sebaiknya segera dibawa ke dokter.

Jika demam, bayi yang berusia 2bulan-5tahun dapat diobati dengan paracetamol

juga dikompres, sedangkan untuk bayi dibawah usia 2 bulan segera diperiksakan

ke dokter. Penderita ISPA memerlukan banyak asupan makanan yang

bergizi.balita perlu diberikan makanan sedikit demi sedikit, tetapi rutin dan

berulang, sedangkan untuk bayi yang masih menyusui dibutuhkan ASI ekslusif

14
dari ibu. Agar penderita ISPA tidak kekurangan cairan, berilah air yang lebih

banyak dari biasanya baik air putih maupun sari buah. Asupan minuman yang

banyak akan membantu mencegah dehidrasi dan mengencerkan dahak

(Ardinasari, 2016). Kemudian untuk penanganan ISPA bisa ditentukan

berdasarkan penyebab dari ISPA tersebut antara lain (Khrisna, 2013) :

a. ISPA yang disebabkan oleh alergi: cara yang paling tepat dengan

menghindari zat-zat yang menimbulkan alergi tersebut. Tablet anti alergi

biasanya diresepkan oleh dokter untuk menghentikan reaksi alergi

tersebut.

b. ISPA disebabkan oleh virus: biasanya ISPA yang disebabkan oleh virus ini

tidak memerlukan pengobatan. Yang diperlukan hanya istirahat, minum

yang banyak dan makan-makanan yang sehat. Dengan istirahat yang

secukupnya, biasanya gejala mulai berkurang setelah 2-3 hari berlalu.

c. ISPA disebabkan oleh bakteri dan jamur: ISPA jenis ini memerlukan

antibiotik atau anti jamur untuk membunuh kuman tersebut. Penggunaan

obat-obat tersebut harus menggunakan resep dokter untuk mendapatkan

hasil yang maksimal dan mengurangi resiko munculnya efek yang tidak

diinginkan.

Rumah Sehat

Rumah sehat adalah rumah harus dapat memenuhi kebutuhan baik jasmani

dan rohani bagi anggota keluarga dan rumah sebagai tempat perlindungan

terhadap penularan penyakit (Untari, 2017).

15
Rumah adalah pusat kesehatan keluarga karena rumah merupakan tempat

dimana anggota keluarga berkumpul dan saling berhubungan. Seluruh anggota

keluarga serta kebiasaan hidup sehari-harinya merupakan suatu ketentuan yang

berhubungan erat. Itulah sebabnya kesehatan harus dimulai dari rumah, untuk itu

rumah dan pengaturannya harus memenuhi syarat-syarat kesehatan (Koes Irianto,

2014)

Menurut Notoatmodjo (2011), faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam

membangun suatu rumah :

1. Faktor lingkungan, baik lingkungan fisik, biologis maupun lingkungan sosial.

Maksudnya dalam membangun suatu rumah harus memperhatikan tempat

dimana rumah itu didirikan.

2. Tingkat kemampuan ekonomi masyarakat

Hal ini dimaksudkan rumah dibangun berdasarkan kemampuan keuangan

penghuninya, untuk itu maka bahan-bahan setempat yang murah misal

bambu, kayu atap rumbia dan sebagainya adalah merupakan bahan-bahan

pokok pembuatan rumah. Perlu dicatat bahwa mendirikan rumah adalah

bukan sekedar berdiri pada saat itu saja, namun diperlukan pemeliharaan

seterusnya (Mundiatun, 2015)

Persyaratan Rumah Sehat

Berdasarkan hasil rumusan yang dikeluarkan oleh APHA di Amerika,

rumah sehat adalah rumah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut

(Mubarak, 2009):

16
1) Harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiologis.

2) Memenuhi kebutuhan-kebutuhan psikologis

3) Dapat terhindar dari penyakit menular

4) Terhindar dari kecelakaan-kecelakaan

Jika diteliti lebih lanjut, persyaratan yang diuraikan diatas adalah sama

dengan persyaratan seperti yang disebutkan berikut ini :

1) Persyaratan letak rumah

Letak rumah yang baik dapat menghindarkan dari bahaya timbulnya

penyakit menular, kecelakaan, dan kemungkinan gangguan-gangguan

lainnya. Persyaratan letak rumah merupakan persyaratan pertama dari

sebuah rumah sehat.

2) Persyaratan Fisik

Persyaratan fisik meliputi konstruksi dan luas bangunan. Konstruksi

rumah harus baik dan kuat, sehingga dapat mencegah kemungkinan

terjadinya kelembaban dan mudah diperbaiki bila ada kerusakan.

Persyaratan fisik menyangkut konstruksi rumah.

3) Persyaratan Fisiologis

Rumah sehat harus memenuhi kriteria ventilasi yang baik, pencahayaan

yang cukup, terhindar dari kebisingan.

4) Persyaratan Psikologis

Rumah sehat harus memiliki pembagian ruangan yang baik, penataan

perabot yang rapi. Penyebaran penyakit-penyakit menular dirumah yang

padat penghuninya cepat terjadi. Selain itu, didaerah yang seperti ini,

17
kesibukan dan kebisingan akan meningkat, yang akan menimbulkan

gangguan terhadap ketenangan, baik individu, keluarga, maupun

keseluruhan masyarakat disekitarnya.

5) Kelengkapan fasilitas sanitasi untuk menciptakan rumah yang higienis

Sebuah rumah sehat harus memiliki fasilitas-fasilitas sanitasi yang baik

atau memadai, seperti pembuangan kotoran, pembuangan sampah,

penyediaan air keperluan rumah tangga, tempat pengolahan, dan

penyimpanan makanan yang higienis atau bersih.

Komponen Fisik Rumah Sehat

Menurut Notoatmodjo (2011) komponen rumah harus memiliki

persyaratan fisik sebagai berikut:

1. Ventilasi

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk

menjaga agar aliran udara dalam rumah tersebut tetap sejuk. Hal ini berarti

keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap

terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 dalam rumah

yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi

meningkat. Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan

kelembaban udara dalam ruangan meningkat. Kelembaban ini merupakan

media yang baik untuk bakteri-bakteri, patogen (bakteri penyebab penyakit).

Fungsi kedua ventilasi untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-

18
bakteri, terutama bakteri patogen. Fungsi lainnya untuk menjaga agar ruangan

rumah selalu tetap dalam kelembaban (humidity) yang optimum.

2. Jenis lantai

Saat ini, ada berbagai jenis lantai rumah. Lantai rumah dari semen atau

ubin, keramik, atau cukup tanah biasa dipadatkan. Syarat yang penting disini

adalah tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak becek pada musim

hujan. Lantai yang basah dan berdebu merupakan sarang penyakit.

3. Jenis dinding

Dinding rumah yang baik menggunakan tembok, tetapi dinding rumah

daerah tropis khususnya dipedesaan banyak yang berdinding papan, kayu, dan

bambu. Hal ini disebabkan masyarakat pedesaan perekonomiannya kurang.

Rumah yang berdinding tidak rapat seperti papan, kayu, dan bambu dapat

menyebabkan penyakit pernapasan. Dinding di ruang tidur, ruang keluarga

dilengkapi dengan ventilasi untuk pengaturan sirkulasi udara. Kemudian

dinding di kamar mandi dan tempat cuci harus kedap air dan mudah

dibersihkan.

4. Pencahayaan

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak

terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah,

terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media

atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit.

Sebaliknya terlalu banyak cahaya didalam rumah akan menyebabkan silau

19
dan akhirnya dapat merusakkan mata. Cahaya dapat dibedakan menjadi 2,

yakni :

1. Cahaya alamiah, yakni cahaya matahari. Cahaya ini sangat penting

karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen dalam rumah. Oleh

karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya

luasnya sekurang-kurangnya 15%-20% dari luas lantai yang terdapat

dalam ruangan rumah.

2. Cahaya buatan, yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah,

seperti lampu minyak tanah, listrik dan sebagainya.

Pencahayaan alami dan atau buatan minimal intensitasnya adalah 60 lux

serta tidak menyilaukan.

5. Kepadatan Hunian Kamar Tidur

Kepadatan hunian yang dimaksud perbandingan antara luas lantai kamar

dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan

kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m2 per

orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung kualitas bangunan

dan fasilitas yang tersedia, untuk perumahan sederhana, minimum 8 m 2 per

orang. Untuk kamar tidur diperlukan miminum 2 orang, kamar tidur

sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah

2 tahun.

6. Langit-langit Rumah

Langit-langit sangat mempengaruhi kenyamanan udara dalam ruang. Hal

ini dikarenakan langit-langit dapat menahan rembesan air dari atap rumah

20
dalam ruangan. Langit-langit juga dapat menahan panas yang berasal dari

atap rumah pada siang hari dan udara dingin yang ada pada malam hari.

Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan. Rumah

yang sehat menggunakan langit-langit rumah berupa plafon.

7. Atap

Atap genteng umum dipakai baik di daerah perkotaan maupun di

pedesaan. Atap genteng cocok untuk daerah tropis, juga dapat terjangkau oleh

masyarakat dan bahkan masyarakat bisa membuatnya sendiri. Atap seng atau

asbes tidak cocok untuk rumah pedesaan, disamping mahal juga

menimbulkan suhu panas di dalam rumah.

Faktor Resiko Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Faktor risiko adalah faktor atau keadaan yang mengakibatkan seorang

anak rentan menjadi sakit atau sakitnya menjadi berat. Faktor risiko yang

meningkatkan kejadian, beratnya penyakit dan kematian karena ISPA antara

lain :

Faktor Host

a. Jenis Kelamin

Meskipun secara fisik pria cenderung lebih kuat dibandingkan wanita,

wanita sejak bayi hingga dewasa memiliki daya tahan lebih kuat

dibandingkan laki-laki, baik itu daya tahan akan rasa sakit dan daya tahan

terhadap penyakit. Anak laki-laki lebih rentan terhadap berbagai jenis

penyakit dan cacat dibandingkan wanita. Selain itu, secara neurologis anak

21
perempuan lebih matang dibandingkan anak laki-laki sejak lahir hingga masa

remaja, dan pertumbuhan fisiknya pun lebih cepat. Wanita cenderung hidup

lebih lama daripada pria (Chandra, 2009)

b. Status Imunisasi

Program imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan

kematian dari penyakit. Imunisasi bermanfaat untuk mencegah beberapa jenis

penyakit, seperti polio, TBC, difteri, pertusis, tetanus, campak (Notoatmodjo,

2011). Dari hasil penelitian Heryanto (2016) ada hubungan yang bermakna

antara status imunisasi dengan kejadian penyakit ISPA pada balita. Balita

yang status imunisasinya tidak lengkap memiliki risiko lebih besar untuk

menderita penyakit ISPA dibandingkan dengan balita dengan status imunisasi

lengkap.

c. Umur

Umur menyebabkan adanya perbedaan penyakit yang diderita seperti usia

pada anak-anak yang cenderung mudah terserang oleh penyakit (Chandra,

2009). Menurut Dian Fitriawati (2013) kejadian ISPA atas lebih sering

terjadi pada anak berusia 2-5 tahun karena pada usia tersebut anak

sudah banyak terpapar dengan lingkungan luar dan kontak dengan penderita

ISPA lainnya sehingga memudahkan anak untuk menderita ISPA.

d. Status Gizi

Gizi yang baik umumnya akan meningkatkan resistensi tubuh terhadap

penyakit-penyakit infeksi (Notoatmodjo, 2011). Status gizi balita merupakan

hal penting yang harus diketahui oleh setiap orang tua. Parameter yang umum

22
digunakan untuk menentukan status gizi pada balita adalah berat badan, tinggi

badan dan lingkar kepala (Marimbi, 2010). Asupan gizi yang kurang

merupakan resiko untuk kejadian dan kematian balita dengan infeksi saluran

pernapasan. Berdasarkan penelitian Heryanto (2016) ada hubungan yang

bermakna status gizi dengan kejadian ISPA pada balita.

e. Pemberian ASI Ekslusif

Air Susu Ibu (ASI) eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi

sejak dilahirkan selama enam bulan, tanpa menambahkan dan/atau

mengganti dengan makanan atau minuman lain (kecuali obat, vitamin,

dan mineral). ASI mengandung kolostrum yang kaya akan antibodi

karena mengandung protein untuk daya tahan tubuh dan pembunuh kuman

dalam jumlah tinggi sehingga pemberian ASI eksklusif dapat mengurangi

risiko kematian pada bayi (Depkes RI, 2016). Menurut penelitian Heryanto

(2016) ada hubungan yang bermakna pemberian ASI Eksklusif dengan

kejadian ISPA pada balita

Faktor Agent

Bakteri penyebab ISPA antara lain Diplococcus pneumoniae,

Pneumococcus, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, dan

Haemophilus influenza. Virus penyebab ISPA antara lain Influenza,

Adenovirus, dan Sitomegalovirus. Jamur yang dapat menyebabkan ISPA

antara lainAspergillus sp., Candida albicans, dan Histoplasma. (Wahyono,

2008)

23
Faktor Lingkungan

Faktor Lingkungan

a. Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian yang dimaksud perbandingan antara luas lantai kamar

dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Menurut

keputusan menteri kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang

persyaratan rumah, untuk kamar tidur diperlukan mininum 2 orang, kamar

tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak

dibawah 2 tahun. Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah

penularan penyakit dan melancarkan aktivitas. Kepadatan hunian akan

meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas badan

yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernafasan tersebut.

Bangunan yang sempit dan tidak sesuai jumlah penghuninya akan

mempunyai dampak kurangnya oksigen dalam ruangan sehingga daya tahan

tubuh penghuninya menurun, kemudian mempercepat timbulnya penyakit

saluran pernapasan seperti ISPA (Ade, 2012). William (2015) menujukkan

bahwa tingkat kepadatan hunian berhubungan dengan kejadian ISPA pada

balita.

b. Pencahayaan

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang

Rumah menetapkan bahwa pencahayaan alami dan/atau buatan langsung

maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan minimal

24
intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan. Menurut Ronny (2015)

pencahayaan merupakan faktor risiko yang bermakna terhadap kejadian

ISPA pada balita

c. Jenis Lantai

Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak

lembab. Bahan lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, jadi paling

tidak lantai perlu diplester dan akan lebih baik kalau dilapisi ubin atau

keramik yang mudah dibersihkan (Ditjen, P2PL, 2011). Dari penelitian

Safrizal (2017) menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis lantai dengan

kejadian ISPA pada balita.

d. Jenis Dinding

Dinding rumah yang baik menggunakan tembok, tetapi dinding rumah

didaerah tropis khususnya di pedesaan banyak yang berdinding papan, kayu

dan bambu. Hal ini disebabkan masyarakat perekonomiannya kurang. Rumah

yang berdinding tidak rapat seperti papan, kayu dan bambu dapat

menyebabkan penyakit pernapasan yang berkelanjutan seperti ISPA, karena

angin malam yang langsung masuk ke dalam rumah (Notoatmodjo, 2011).

Jenis dinding mempengaruhi terjadinya ISPA, karena dinding yang sulit

dibersihkan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan

sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman. Berdasarkan

penelitian Safrizal (2017) menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis

dinding dengan kejadian ISPA pada balita.

25
e. Langit-langit Rumah

Langit-langit sangat mempengaruhi kenyamanan udara dalam ruang. Hal

ini dikarenakan langit-langit dapat menahan rembesan air dari atap rumah

dalam ruangan. Langit-langit juga dapat menahan panas yang yang berasal

dari atap rumah pada siang hari dan udara dingin yang ada pada malam hari.

Menurut keputusan menteri kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999

tentang persyaratan rumah langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak

rawan kecelakaan.

Menurut penelitian Safrizal (2017) rumah yang tidak ada langit-langit

(plafon) ada hubungan yang signifikan dengan kejadian ispa (p=0,002),

sehingga debu yang langsung masuk ke dalam rumah mengganggu

saluran pernafasan pada balita yang ada di desa tersebut.

Faktor Lingkungan Sosial

a. Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 tahun 2010 tentang

larangan merokok, dijelaskan bahwa merokok merupakan kegiatan

membakar rokok salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya

dapat dihirup lewat mulut pada lainnya. Rokok bukan hanya masalah

perokok aktif, tetapi juga masalah bagi perokok pasif. Asap rokok terdiri

dari 4000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan racun antara lain

Carbon Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic Hydrocarbons, dan lain-

lain (Kepmenkes RI, 2011). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI

Nomor 1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara

26
Dalam Ruang Rumah menetapkan bahwa bayi dan anak yang orang tuanya

perokok mempunyai resiko lebih besar terkena gangguan saluran

pernapasan dengan gejala sesak napas dan batuk. Dari hasil penelitian

William (2015) status merokok anggota keluarga berhubungan dengan

kejadian ISPA pada balita.

b. Pekerjaan Orang Tua

Penghasilan keluarga adalah pendapatan keluarga dari hasil pekerjaan

utama maupun tambahan. Tingkat penghasilan yang rendah menyebabkan

orang tua sulit menyediakan fasilitas perumahan yang baik, perawatan

kesehatan dan gizi anak yang memadai. Rendahnya kualitas gizi anak

menyebabkan daya tahan tubuh berkurang dan mudah terkena penyakit

infeksi termasuk ISPA.

c. Pendidikan Ibu

Tingkat pendidikan ibu yang rendah merupakan faktor risiko yang

meningkatkan angka kematian ISPA terutama pneumonia. Tingkat

pendidikan ibu akan berpengaruh terhadap tindakan perawatan oleh ibu

kepada anak yang menderita ISPA.Ibu yang berpendidikan tinggi

cenderung lebih mengetahu cara-cara mencegah penyakit (Notoatmodjo,

2012). Menurut penelitian Sulistyowati (2017) ada hubungan antara

pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada balita.

27
Kerangka Teori

Faktor Risiko Infeksi Saluran Pernapasan Akut

Faktor Host Faktor Agent Faktor Lingkungan Fisik


Kepadatan hunian
Jenis Kelamin Mikoplasma Pencahayaan
Status Imunisasi Bakteri Jenis lantai
Umur Streptoccocus, Staphylococcus, Haemophilus, Bordetella, Corynebacteri
Jenis dinding
Status gizi kurang Langit-langit
Pemberianasi ekslusif
Faktor Lingkungan Sosial
Pekerjaan orang tua
Pendidikan ibu
Kebiasaan merokok keluarga

Kejadian ISPA pada Balita

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Sumber : Teori Segitiga Epidemiologi (Notoatmodjo, 2011)

28
BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESA PENELITIAN

Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi konsep-konsep serta

variabel-variabel yang akan diukur (diteliti) (Notoatmodjo, 2012).Kerangka

konsep dalam penelitian ini adalah :

Variabel Bebas Variabel Terikat

Kepadatan Hunian

Jenis Lantai

Jenis Dinding Kejadian ISPA pada Balita

Langit-langit Rumah

Pencahayaan

Anggota Keluarga Merokok

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

29
Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian (Notoatmodjo, 2012).

Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Ha= Ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada

balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo

2. Ha = Ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian ISPA pada balita di

Desa Pulung Merdiko Ponorogo

3. Ha = Ada hubungan antara jenis dinding dengan kejadian ISPA balita di Desa

Pulung Merdiko Ponorogo

4. Ha = Ada hubungan antara langit-langit rumah dengan kejadian ISPA pada

balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo

5. Ha = Ada hubungan antara kebiasaan merokok anggota keluarga dengan

kejadian ISPA pada balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo

6. Ha = Ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian ISPA pada balita di

Desa Pulung Merdiko Ponorogo

30
BAB 4

METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian survey analitik. Menurut

Notoatmodjo (2012) survei analitik adalah survei atau penelitian yang

mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi.

Desain yang akan digunakan adalah metode penelitian analitik dengan

rancangan case control. Desain case control ialah suatu penelitian

menyangkut bagaimana faktor resiko dipelajari dengan menggunakan

pendekatan retrospective yaitu rancangan bangunan yang melihat ke belakang

dari suatu kejadian yang berhubungan dengan kejadian kesakitan yang di

teliti. Intinya penelitian case control ini adalah diketahui penyakitnya

kemudian ditelusuri penyebabnya (Notoatmodjo, 2012).

Populasi dan Sampel

Populasi

Populasi adalah kelompok subjek yang menjadi sasaran penelitian

(Rosjidi, 2015). Populasi kasus dalam penelitian ini adalah balita sebanyak

109 balita.

Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi yang mewakili suatu populasi

(Saryono, 2011).

31
Berikut rumus untuk menghitung proporsi paparan (Yasril, 2009) :

Keterangan :

P = Proporsi Paparan

OR = Prakiraan Odds Ratio = 3

(Hasanah, 2017)

Selanjutnya untuk menentukan besar sampel dengan desain case

control menggunakan rumus sebagai berikut (Yasril, 2009):

n = Besar Sampel
2
Zα = Kesalahan tipe α = 1,96

Zβ = Kesalahan tipe β = 0,842


2

= 29,16 = 30

Dengan nilai OR=3 yang didapat dari penelitian terdahulu (Hasanah,

2017), taraf kepercayaan sebesar 95% maka besar sampel pada penelitian ini

adalah 30 sampel. Dengan perbandingan 1 : 1 sehingga diperoleh kelompok

kasus sebanyak 30 balita ISPA dan kelompok kontrol sebanyak 30 balita

tidak ISPA (Yasril, 2009).

32
Supaya hasil penelitian sesuai dengan tujuan, maka penentuan sampel

yang dikehendaki harus sesuai dengan kriteria tertentu yang ditetapkan.

Kriteria ini berupa kriteria inklusi, merupakan batasan ciri/karakter umum

pada subyek penelitian, dikurangi karakter yang masuk dalam kriteria

eksklusi. Sebagian subyek yang memenuhi kriteria inklusi, harus

dikeluarkan dari penelitian karena berbagai sebab yang dapat

mempengaruhi hasil penelitian sehingga terjadi bias, hal ini disebut kriteria

eksklusi (Saryono, 2011).

Tabel 4.1 Kriteria inklusi dan eksklusi

Sampel Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Kasus 1. Balita dan ibu balita yang 1. Balita


tercatat tinggal di Desa pendatang/yang
Pulung Merdiko pindah rumah
2. Balita yang didiagnosis
selama < 6 bulan
menderita ISPA akut
3. Ibu balita bersedia menjadi 2. Balita dengan
responden komplikasi
pernapasan
3. Ibu yang tidak
komunikatif

Kontrol 1. Balita dan ibu balita yang 1. Balita


tinggal di Desa Pulung
pendatang/yang
Merdiko
2. Balita yang tidak didiagnosis pindah rumah
ISPA dan pernapasan lain
selama < 6 bulan
3. Ibu balita memahami bahasa
indonesia sehat jasmani 2. Ibu yang tidak
rohani
komunikatif
4. Ibu balita bersedia menjadi
responden

33
Teknik Sampling

Sampling adalah suatu cara yang ditempuh dengan pengambilan sampel

yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan obyek penelitian (Nursalam,

2008). Pengambilan sampel meliputi pengambilan sampel probabilistik

dan non probabilistik (Rosjidi, 2015). Pengambilan sampel dalam

penelitian ini adalah probabilistik dengan menggunakan teknik Simple

Random Sampling, yaitu pengambilan secara random atau acak. Berikut

ini cara menentukan sampel dengan undian (lottery technique)

(Notoatmodjo, 2012) :

1. Buat daftar urutan seluruh anggota populasi.

2. Buat kertas lintingan seperti arisan.

3. Tuliskan nama/nomor urut anggota populasi dalam satu kertas

lintingan, lalu di linting.

4. Undi sebanyak jumlah sampel yang diperlukan

34
Kerangka Kerja Penelitian

Kerangka kerja adalah pentahapan (langkah-langkah) dalam aktivitas

ilmiah mulai dari penetapan populasi, sampel dan seterusnya, yaitu kegiatan

sejak awal penelitian dilaksanakan (Nursalam, 2008).

Populasi
Balita sebanyak 109 balita

Sampel
60 responden terdiri dari 30 balita ISPA (kasus) dan 30 balita tidak ISPA (kontrol)

Pengumpulan Data

Pengumpulan data: Pengumpulan data menggunakan kuesioner & observasi & pengukuran

Jenis dan Desain Penelitian

Jenis dan Desain Penelitian analitik, desain case control

Pengolahan Data
Editing, Coding, Entry, Cleaning, Tabulating dan Analisis Data Uji Chi Square

Hasil dan Kesimpulan

Gambar 4.1 Kerangka Kerja Penelitian

35
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Variabel adalah obyek penelitian yang bervariasi. Variabel dibedakan

menjadi 2 yaitu variabel bebas dan variabel terikat (Saryono, 2011).

Variabel Bebas

Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau dianggap

menentukan variabel terikat. Variabel ini dapat merupakan factor resiko,

predictor, kausa/penyebab (Saryono, 2011).

Variabel bebas dalam penelitian ini kepadatan hunian, jenis lantai, jenis

dinding, langit-langit rumah, kebiasaan merokok, pencahayaan.

Variabel Terikat

Variabel terikat disebut juga kejadian, luaran, manfaat, efek atau dampak.

Variabel terikat juga disebut penyakit/outcome (Saryono, 2011).

Variabel terikat dalam penelitian ini kejadian ISPA pada Balita di Desa

Pulung Merdiko Ponorogo.

Definisi Operasional

Definisi Operasional adalah penjelasan tentang bagaimana suatu variabel

akan diukur serta alat ukur apa yang digunakan untuk mengukur (Rosjidi,

2015).

Tabel 4.2 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala data Skor Kriteria

1 Kepadatan Banyaknya penghuni Observasi Nominal 0 = Tidak 0 = Tidak memenuhi


hunian kamar dibanding Rollmeter 1= Ya syarat, jika luas
kamar tidur luas lantai kamar. <8m2 untuk 2 orang
Memenuhi syarat, 1 = Memenuhi
jika luas ≥8m2 untuk syarat, jika luas
2 orang >8m2 untuk 2 orang

36
(Kepmenkes No.
829 tahun 1999)
2 Jenis lantai Bagian alas bawah Observasi Nominal 0= Tidak 0 = Tidak memenuhi
(alas, dasar) suatu 1= Ya syarat, jika
ruangan atau sebagian/seluruh
bangunan. Lantai lantai terbuat dari
terbuat dari tanah
ubin/mester/keramik 1 = Memenuhi
(Kepmenkes No. syarat, jika lantai
829 tahun 1999) terbuat dari
ubin/mester/keramik

3 Jenis Salah satu elemen Observasi Nominal 0= Tidak 0 = Tidak memenuhi


dinding vertikal/tegak 1= Ya syarat, jika terbuat
bangunan dan dari kayu
berfungsi sebagai 1 = Memenuhi
penutup atau syarat, jika dari
pembatas ruangan. batubata/batako
Dinding terbuat dari
batubata/batako
(Kepmenkes No.
829 tahun 1999)
4 Langit-langit Merupakan Observasi Nominal 0= Tidak 0 = Tidak memenuhi
rumah pembatas antara atap 1= Ya syarat, jika tidak ada
dengan ruangan. plafon
Langit-langit rumah 1 = Memenuhi
menggunakan plafon syarat, dipasang
(Kepmenkes No. plafon
829 tahun 1999)
5 Pencahayaan Hasil pengukuran Observasi Nominal 0= Tidak 0 = Tidak memenuhi
pencahayaan rumah Luxmeter 1= Ya syarat, jika <60lux
dengan luxmeter. atau >60lux
Pencahayaan 1 = Memenuhi
memenuhi syarat syarat, jika = 60lux
jika = 60 lux
(Permenkes No.
1077 th 2011)
6 Kebiasaan Merokok merupakan Kuesioner Nominal 0= Merokok 0 = Merokok, jika
merokok kegiatan membakar 1= Tidak salah satu anggota
rokok salah satu merokok keluarga merokok
ujungnya dan 1 = Tidak Merokok,
dibiarkan membara jika tidak ada
agar asapnya dapat anggota keluarga
dihirup lewat mulut merokok/ telah
pada lainnya berhenti >= 6 bulan
(Hasanah, 2017)

37
7 ISPA balita Infeksi yang terjadi Kuesioner Nominal 0= Kasus 0= Kasus, Balita
pada pernapasan & data 1= Kontrol yang tercatat sebagai
bagian atas. Gejala rekam penderita ISPA
dari penyakit ini medis 1= Kontrol, Balita
antara lain: sakit yang tidak tercatat
tenggorokan, batuk, sebagai penderita
pilek, sakit kepala, ISPA
mata merah, suhu
tubuh meningkat 4-7
hari lamanya

Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti

dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih

baik (cermat, lengkap dan sistematis) sehingga lebih mudah diolah (Saryono,

2011). Adapun instrumen dalam penelitian ini ini adalah observasi, kuesioner dan

pengukuran.

Observasi (Pengamatan)

Pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang

tampak pada objek penelitian (Sujarweni, 2014). pengamatan dalam

penelitian ini dilakukan pada kepadatan hunian, jenis lantai, jenis dinding,

langit-langit rumah.

Kuesioner

Pentingnya kuesioner sebagai alat pengumpul data adalah untuk

memperoleh suatu data yang sesuia dengan tujuan penelitian tersebut. Oleh

karena itu, isi kuesioner adalah sesuai dengan hipotesis penelitian tersebut

(Notoadmodjo, 2012).

38
Pengukuran

Pengukuran Kepadatan Hunian Kamar

Menurut keputusan menteri kesehatan nomor

829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan rumah, kepadatan hunian

kamar diukur dengan membandingkan banyaknya penghuni kamar dengan

luas lantai kamar. Pengukuran menggunakan rollmeter. Berikut cara

menghitung kepadatan hunian kamar :

1. Hitung berapa penghuni kamar

2. Hitung luas lantai kamar dengan cara rentangkan rollmeter, ukur panjang

dan lebar kamar kemudian kalikan.

3. Bandingkan antara jumlah penghuni kamar dengan luas lantai kamar, jika

luas kamar ≥8m2 untuk 2 orang maka memenuhi syarat.

Pengukuran Pencahayaan

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1077/Menkes/Per/V/2011

tentang pedoman penyehatan udara dalam ruang rumah menunjukkan kriteria

pencahayaan yang memenuhi syarat adalah jika besarnya 60 lux dan tidak

menyilaukan. Alat yang digunakan untuk pengukuran pencahayaan adalah

luxmeter. Sesuai dengan SNI 16-7062-2004 mengenai pengukuran intensitas

penerangan dalam ruang, penentuan titik pengukurannya yaitu titik potong

garis horizontal panjang dan lebar pada setiap jarak tertentu setinggi 1m dari

lantai. Jarak tersebut dibedakan berdasarkan luas ruangan antara lain sebagai

berikut :

39
1. Luas ruangan <10 m2; titik potong garis horizontal panjang dan lebar

ruangan adalah pada jarak setiap 1m

2. Luas ruangan antara 10m2 – 100m2; titik potong garis horizontal panjang

dan lebar ruangan adalah pada jarak 3m

3. Luas ruangan >100m2; titik potong horizontal panjang dan lebar ruangan

pada jarak 6m

Selanjutnya untuk cara kerja luxmeter adalah sebagai berikut :

Gambar 4.2 Luxmeter (Cahyono, 2017)

1. Geser tombol “Off/on” kearah On.

2. Pilih kisaran Range yang akan diukur (2.000lux, 20.000 lux, atau

50.000lux) pada tombol Range.

3. Arahkan sensor cahaya dengan menggunakan tangan pada

permukaan daerah yang akan diukur kuat penerangannya.

4. Lihat hasil pengukuran pada layar panel.

Lokasi dan waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Pulung Merdiko Kecamatan Pulung

Kabupaten Ponorogo.

40
Tabel 4.3 Waktu pelaksanaan penelitian

No Kegiatan Waktu
1 Pengajuan judul (ACC) 22 Februari 2018
2 Penyusunan dan konsultasi 8 Maret 2018 - 18 Mei 2018
proposal skripsi
3 Seminar proposal skripsi 21 Mei 2018
4 Revisi ujian seminar proposal 28 Mei 2018
5 Pengambilan data primer 20 Juli 2018 – 28 Juli 2018
6 Pengolahan Data 29 Juli 2018 - 31 Juli 2018
7 Penyusunan dan konsultasi skripsi 3 Agustus 2018 – 16 Agustus 2018
8 Sidang skripsi 21 Agustus 2018
9 Revisi skripsi 22 Agustus 2018 – 28 September
2018

Prosedur Penelitian Pengumpulan Data

1. Sumber Data

a. Data Primer

Data primer adalah data yang secara langsung diambil dari obyek/obyek

penelitian oleh peneliti perorangan maupun organisasi (Liawati, 2015). Data

primer diperoleh langsung dari hasil kuesioner dan observasi serta

pengukuran. Kuesioner dilakukan kepada salah satu orang tua balita di Desa

Pulung Merdiko. Pengukuran yang dilakukan yaitu kepadatan hunian dan

pencahayaan. Serta observasi yang dilakukan mengenai lingkungan rumah

antara lain langit-langit rumah, kebiasaan merokok, jenis lantai, jenis

dinding.

41
b. Data Sekunder

Data sekunder disebut juga data tangan kedua. Data sekunder adalah data

yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari

subyek penelitiannya (Saryono, 2011). Data sekunder penyakit ISPA

diperoleh dari Dinas Kesehatan Ponorogo dan Puskesmas Pulung, data

jumlah balita diperoleh dari Polindes Pulung Merdiko.

2.Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner dan observasi oleh

peneliti secara langsung kepada ibu balita mengenai kondisi lingkungan

rumah antara lain langit-langit rumah, kebiasaan merokok, jenis lantai, jenis

dinding. Serta dilakukan pengukuran mengenai kepadatan hunian dan

pengukuran pencahayaan.

Pengolahan Data

Kegiatan dalam proses pengolahan data meliputi editing, coding, entry,

cleaning, dan tabulating (Notoadmodjo, 2012).

1. Editing, yaitu memeriksa kelengkapan, kejelasan makna jawaban,

konsistensi maupun kesalahan antar jawaban pada kuesioner.

2. Coding, yaitu memberikan kode-kode untuk memudahkan proses

pengolahan data.

Tabel 4.4 Coding Variabel Penelitian

No Variabel Kategori Kode


1 Kepadatan hunian Tidak memenuhi syarat 0
kamar Memenuhi syarat 1

2 Jenis lantai Tidak memenuhi syarat 0


Memenuhi syarat 1

42
3 Jenis dinding Tidak memenuhi syarat 0
Memenuhi syarat 1

4 Langit-langit rumah Tidak memenuhi syarat 0


Memenuhi syarat 1

5 Pencahayaan Tidak memenuhi syarat 0


Memenuhi syarat 1

6 Anggota keluarga Tidak merokok 0


merokok Merokok 1
3. Entry, memasukkan data untuk diolah menggunakan computer. Dalam

penelitian ini, peneliti menggunakan program Microsoft Excel dan

program aplikasi pengolah data dan statistik SPSS 16.0.

4. Cleaning, mengecek kembali data yang sudah dimasukkan untuk

melihat kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode,

kelengkapan, dan sebagainya kemudian dilakukan pembetulan atau

koreksi.

5. Tabulating, yang mengelompokkan data sesuai variabel yang akan

diteliti guna memudahkan analisis data.

Analisa Data

Analisa Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisis univariat tergantung

datanya (Notoatmodjo, 2012). Analisis yang dilakukan pada penelitian ini adalah

menggambarkan masing-masing variabel, baik variabel bebas berupa kepadatan

43
hunian kamar, jenis dinding, jenis lantai, langit-langit rumah, pencahayaan,

kebiasaan merokok serta karakteristik responden.

Analisa Bivariat

Data yang diperoleh akan dianalisis secara analitik untuk mengetahui

hubungan antar variabel dengan menggunakan uji statistik. Analisa bivariat

dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi

(Notoatmodjo, 2012)

Analisa bivariat dalam mengetahui atau mengidentifikasi hubungan

kesehatan lingkungan rumah dengan kejadian ISPA pada balita dianalisa

menggunakan uji statistic chi-square dan besarnya resiko dengan Ood Ratio (OR).

Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu kepadatan hunian, jenis lantai, jenis

dinding, langi-langit rumah, pencahayaan dan anggota keluarga merokok dengan

variabel terikat kejadian ISPA pada balita. taraf signifikan yang digunakan 95%

dengan nilai kemaknaan 5%. Apabila sig p> 0,05 maka H0 diterima, sehingga

antara kedua variabel tidak ada hubungan yang bermakna jadi H a ditolak. Apabila

sig p≤ 0,05 maka H0 ditolak, sehingga antara kedua variabel ada hubungan yang

bermakna jadi Ha diterima.

Syarat pembacaan OR dalam SPSS sebagai berikut :

1. OR < 1, artinya ada hubungan namun variabel tersebut tidak

merupakan faktor risiko.

2. OR >1, artinya ada hubungan dan variabel tersebut merupakan faktor

risiko.

3. OR = 1, artinya variabel bebas tersebut merupakan faktor protektif.

44
BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum

Secara geografis Desa Pulung Merdiko terletak pada posisi 7°31'0” Lintang

Selatan dan 111°54'0” Bujur Timur. Topografi ketinggian desa ini adalah berupa

daratan sedang yaitu sekitar 416 m di atas permukaan air laut. Berdasarkan data

BPS kabupaten Ponorogo tahun 2016, selama tahun 2016 curah hujan di Desa

Pulung Merdiko rata-rata mencapai 2000-3000 mm. Curah hujan terbanyak terjadi

pada bulan Desember hingga mencapai 405,04 mm. Secara administratif, Desa

Pulung Merdiko terletak di wilayah Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo

dengan posisi dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga. Batas wilayah desa

Pulung Merdiko antara lain sebagai berikut :

a. Sebelah utara : Desa Pulung

b. Sebelah selatan : Desa Pulung

c. Sebelah barat : Perhutani

d. Sebelah timur : Desa Pulung

Jarak tempuh Desa Pulung Merdiko ke ibu kota kecamatan (Kec. Pulung)

adalah 1 km, yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar 15 menit dengan

kendaraan bermontor. Sedangkan jarak tempuh ke ibu kota kabupaten adalah 18

km, yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar 30 menit.

Berdasarkan data Administrasi Pemerintahan Desa tahun 2017, jumlah

penduduk Desa Pulung Merdiko adalah terdiri dari 621 KK, dengan jumlah total

46
penduduk 2.109 jiwa, dengan rincian 1.053 laki-laki dan 1.056 perempuan.

Dari catatan yang ada dan menurut cerita sesepuh desa yang mengerti tentang

cikal bakal desa Pulung Merdiko yang dapat diingat sampai saat ini, bahwa desa

Pulung Merdiko telah mengalami pergantian 9 kali kepala Desa. Desa Pulung

Merdiko pembagunannya masih relatif tertinggal dibanding desa-desa lain maka

perlu lebih diperhatikan dari pemerintah. Berikut data mengenai mata pencaharian

penduduk Desa Pulung Merdiko disajikan dalam tabel :

Tabel 5.1 Mata Pencaharian Penduduk

No Sektor Mata Jumlah Pemilik Jumlah Pemilik Jumlah


Pencaharian Usaha Usaha perorangan Buruh/Karyawan
(Orang)
1 Pertanian 137 315 461
2 Perkebunan - - -
3 Peternakan - - -
4 Perikanan - - -
5 Kehutanan - - -
6 Pertambangan - - -
7 Perdagangan - - -
8 Montir 8 - -
9 Tukang batu 20 - -
Sumber: Daftar Isian Tingkat Perkembang Desa dan Kelurahan 2016

Dari tabel tersebut ditunjukkan bahwa sebagian besar penduduk

bermatapencaharian sebagai petani. Rata-rata jumlah pendapatan keluarga adalah

Rp 750.000,00.

Berikut ini tabel mengenai aset perumahan di Desa Pulung Merdiko

: Tabel 5.2 Aset Perumahan

No Jenis Rumah Jumlah


Rumah Menurut Dinding
1 Tembok 233
2 Kayu 76
3 Bambu 220

47
4 Tanah liat -
5 Pelepah kelapa/lontar/gebang -
6 Dedaunan -
Rumah Menurut Lantai
1 Keramik 52
2 Semen 231
3 Kayu -
4 Tanah 284
Sumber: Daftar Isian Tingkat Perkembang Desa dan Kelurahan 2016

Karakteristik Responden

Hasil analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan karakteristik

responden. Karakteristik responden dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Pulung

Merdiko

Adapun karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat

dilihat pada tabel 5.3 sebagai berikut :

Tabel 5.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pendidikan Responden Frekuensi Persentase (%)


SD 18 30.0
SMP/Sederajat 21 35.0
SMA/Sederajat 17 28.3
Perguruan Tinggi 4 6.7
Total 60 100.0
Sumber : Data Primer 2018

Berdasarkan tabel 5.3 diatas menunjukkan bahwa bahwa tingkat

pendidikan responden paling banyak adalah tamat SMP sebanyak 27 orang

(35,0%). Sedangkan paling sedikit responden adalah tamat perguruan tinggi

sejumlah 4 orang (6,7%).

48
Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan di Desa Pulung Merdiko Adapun

karakteristik responden berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pada

tabel 5.4 berikut :

Tabel 5.4 Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan

Pekerjaan Responden Frekuensi Persentase (%)


Petani 21 35.0
Wiraswasta/Swasta 6 10.0
Ibu Rumah Tangga 29 48.3
PNS 4 6.7
Total 60 100
Sumber : Data Primer 2018

Berdasarkan tabel 5.4 diatas menunjukkan bahwa pekerjaan responden

paling banyak adalah ibu rumah tangga sebanyak 29 orang (48,3%) dan

paling sedikit adalah PNS sejumlah 4 orang (6,7%).

Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di Desa Pulung Merdiko Adapun

karakteristik responden berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel

5.5 berikut :

Tabel 5.5 Karakteristik responden berdasarkan umur

Umur Responden Frekuensi Persentase (%)


20-30 tahun 37 61.7
31-40 tahun 23 38.3
Total 60 100
Sumber: Data Primer 2018

Berdasarkan tabel 5.5 diatas menunjukkan bahwa responden sebagian

besar berumur antara 20-30 tahun sebanyak 37 orang (61,7%).

49
Karakteristik Umur Balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo

Adapun karakteristik berdasarkan umur balita dapat dilihat pada tabel 5.6

berikut ini :

Tabel 5.6 Karakteristik balita berdasarkan umur

Umur Balita Frekuensi Persentase (%)


0-12 bulan 20 33.3
13-23 bulan 17 28.3
24-60 bulan 23 38.3
Total 60 100
Sumber: Data Primer 2018

Berdasarkan tabel 5.6 diatas menunjukkan bahwa umur balita terbanyak

yaitu antara 24-60 bulan sejumlah 23 balita (38.3%) dan umur balita paling

sedikit yaitu antara 13-23 bulan sejumlah 17 balita (28.3%).

Hasil Penelitian

Analisis dilakukan dalam dua tahap yaitu analisis univariat untuk mengetahui

distribusi frekuensi masing-masing variabel, baik variabel bebas maupun variabel

terikat. Kemudian dilanjutkan dengan analisis bivariat untuk mengetahui

hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat.

1. Analisa Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dari

bvariabel atau besarnya proporsi masing-masing variabel yang diteliti.

a. Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Gambaran kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) balita di

Desa Pulung Merdiko didapatkan dari data rekam medis polindes dan

50
hasil kuesioner terhadap responden. Adapun hasil yang diperoleh

mengenai ISPA tersebut dapat dilihat pada tabel 5.7 berikut ini :

Tabel 5.7 Gambaran ISPA di Desa Pulung Merdiko

ISPA Frekuensi Persentase (%)


ISPA 30 50.0
Tidak ISPA 30 50.0
Total 60 100.0
Sumber: Data Sekunder & Hasil Penelitian Bulan Juli

Berdasarkan tabel 5.7 diatas menunjukkan sebanyak 30 balita (50,0%)

mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan yang tidak

mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) juga sebanyak 30

balita (50,0%).

b. Kepadatan Hunian Kamar Tidur

Hasil penelitian mengenai kepadatan hunian di Desa Pulung Merdiko

diperoleh dari pengukuran luas tiap kamar lalu dibandingkan dengan

jumlah penghuni kamar. Adapun hasil yang diperoleh mengenai

kepadatan hunian dapat dilihat pada tabel 5.8 berikut ini :

Tabel 5.8 Gambaran Kepadatan Hunian Kamar Tidur di Desa Pulung

Merdiko

Kepadatan Hunian Frekuensi Persentase (%)


Tidak memenuhi syarat 31 51.7
Memenuhi syarat 29 48.3
Total 60 100.0
Sumber: Data Primer & Hasil Penelitian Bulan Juli

Berdasarkan tabel 5.8 dapat diketahui bahwa sebagian besar

kepadatan hunian kamar 31 responden (51,7%) tidak memenuhi syarat.

51
c. Jenis Lantai

Gambaran jenis lantai di Desa Pulung Merdiko diperoleh dari hasil

observasi. Adapun hasil yang diperoleh mengenai jenis lantai dapat

dilihat pada tabel 5.9 sebagai berikut :

Tabel 5.9 Gambaran Jenis Lantai di Desa Pulung Merdiko

Sumber: Data Primer & Hasil Penelitian Bulan Juli


Jenis Lantai Frekuensi Persentase (%)
Tidak memenuhi syarat 32 53.3
Memenuhi Syarat 28 46.7
Total 60 100.0

Berdasarkan tabel 5.9 diatas menunjukkan bahwa jenis lantai rumah

responden yang tidak memenuhi syarat sebanyak 32 rumah (53.3%).

d. Jenis Dinding

Gambaran jenis dinding di Desa Pulung Merdiko diperoleh dari hasil

observasi. Adapun hasil yang diperoleh mengenai jenis dinding dapat

dilihat pada tabel 5.10 sebagai berikut :

Tabel 5.10 Gambaran Jenis Dinding di Desa Pulung Merdiko

Jenis Dinding Frekuensi Persentase (%)


Tidak memenuhi syarat 34 56.7
Memenuhi Syarat 26 43.3
Total 60 100.0
Sumber: Data Primer & Hasil Penelitian Bulan Juli

Berdasarkan tabel 5.10 diatas menunjukkan bahwa jenis dinding

rumah responden yang tidak memenuhi syarat sebanyak 34 rumah

(56,7%).

52
e. Pencahayaan

Gambaran pencahayaan rumah di Desa Pulung Merdiko diperoleh dari

hasil pengukuran menggunakan luxmeter. Adapun hasil yang diperoleh

mengenai pencahayaan dapat dilihat pada tabel 5.11 berikut ini :

Tabel 5.11 Gambaran Pencahayaan Rumah di Desa Pulung Merdiko

Pencahayaan Frekuensi Persentase (%)


Tidak memenuhi syarat 29 48.3
Memenuhi Syarat 31 51.7
Total 60 100.0
Sumber: Data Primer & Hasil Penelitian Bulan Juli

Berdasarkan tabel 5.11 diatas menunjukkan bahwa pencahayaan

rumah yang tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 29 rumah (48,3%).

f. Langit-langit Rumah

Gambaran langit-langit rumah yang ada di Desa Pulung Merdiko

diperoleh dari observasi atau pengamatan. Adapun hasil yang diperoleh

mengenai langit-langit rumah dapat dilihat pada tabel 5.12 berikut ini :

Tabel 5.12 Gambaran Langit-langit Rumah di Desa Pulung Merdiko

Langit-langit Rumah Frekuensi Persentase (%)


Tidak memenuhi syarat 31 51.7
Memenuhi syarat 29 48.3
Total 60 100.0
Sumber: Data Primer & Hasil Penelitian Bulan Juli

Berdasarkan tabel 5.12 diatas menunjukkan bahwa langit-langit rumah

yang tidak memenuhi syarat sebanyak 31 rumah (51,7%).

53
g. Anggota Keluarga Merokok

Gambaran anggota keluarga merokok di Desa Pulung Merdiko

diperoleh dari jawaban kuesioner. Adapun hasil mengenai anggota

keluarga merokok dapat dilihat pada tabel 5.13 berikut ini :

Tabel 5.13 Gambaran Anggota Keluarga Merokok di Desa Pulung

Merdiko

Anggota Keluarga Frekuensi Persentase (%)


Merokok
Merokok 32 53.3
Tidak Merokok 28 46.7
Total 60 100.0
Sumber: Data Primer & Hasil Penelitian Bulan Juli

Berdasarkan tabel 5.13 menunjukkan bahwa anggota keluarga

responden yang merokok sebanyak 32 orang (53,3%).

2. Analisa Bivariat

Analisi bivariat merupakan lanjutan dari analisis univariat. Hasil penelitian

dimaksudkan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dan variabel

terikat dan besarnya nilai odd ratio faktor risiko, dengan uji satatistik yang

disesuaikan dengan skala data yang ada. Uji statistik yang digunakan Chi-Square

dan penentuan Odds Ratio (OR) dengan taraf kepercayaan (CI) 95 % dan tingkat

kemaknaan 0,05. Berikut adalah hasil analisis bivariat dibawah ini:

a. Hubungan antara Kepadatan Hunian Kamar Tidur dengan Kejadian ISPA

pada Balita di Desa Pulung Merdiko

Hasil penelitian mengenai hubungan antara kepadatan hunian dengan

kejadian ispa pada balita di Desa Pulung Merdiko sebagai berikut :

54
Tabel 5.14 Hubungan kepadatan hunian kamar tidur dengan kejadian ispa

Kepadatan Kejadian ISPA pada Balita P-Value OR (95%CI)


hunian kamar
Kasus Kontrol
N % N %
Tidak 22 73,3 9 30,0 0,002 6,417
memenuhi (2,084-19,755)
syarat
Memenuhi 8 26,7 21 70,0
syarat
Total 30 100,0 30 100,0
Sumber: Data Primer & Hasil Penelitian Bulan Juli

Berdasarkan tabel 5.14 menunjukkan bahwa kejadian ISPA pada

balita lebih banyak terjadi pada kelompok kasus daripada kelompok

kontrol, yang memiliki kepadatan hunian kamar yang tidak memenuhi

syarat sebanyak 22 responden (73,3%), sedangkan pada kelompok

kontrol hanya 9 responden (30,0%). Berdasarkan hasil uji Chi-Square

yang sudah dilakukan dilihat koreksi (continuity correction) dengan P-

Value 0,002 yang artinya ada hubungan antara kepadatan hunian kamar

tidur dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Pulung Merdiko. Dengan

nilai OR sebesar 6,417 > 1 yang artinya balita yang tinggal di kepadatan

hunian kamar pada kelompok kasus lebih berisiko 6,417 kali

dibandingkan dengan balita yang tinggal di kepadatan hunian kamar pada

kelompok kontrol.

b. Hubungan Jenis Lantai dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Pulung

Merdiko

Hasil penelitian mengenai hubungan antara jenis lantai dengan

kejadian ispa pada balita di Desa Pulung Merdiko sebagai berikut :

55
Tabel 5.15 Hubungan jenis lantai dengan kejadian ispa

Jenis Lantai Kejadian ISPA pada Balita P-Value OR (95%CI)

Kasus Kontrol
N % N %
Tidak 21 70,0 11 36,7 0,020 4,030
memenuhi (1,372-11,839)
syarat
Memenuhi 9 30,0 19 63,3
syarat
Total 30 100,0 30 100,0
Sumber: Data Primer & Hasil Penelitian Bulan Juli

Berdasarkan tabel 5.15 menunjukkan bahwa kejadian ISPA pada

balita lebih banyak terjadi pada kelompok kasus daripada kontrol, yang

memiliki jenis lantai tidak memenuhi syarat sebanyak 21 responden

(70,0%), sedangkan pada kelompok kontrol hanya 11 responden (36,7%).

Berdasarkan hasil uji Chi-Square yang sudah dilakukan dilihat koreksi

(continuity correction) dengan P-Value 0,020 yang artinya ada hubungan

antara jenis lantai dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Pulung

Merdiko. Dengan nilai OR sebesar 4,030 > 1 yang artinya balita yang

tinggal dengan jenis lantai tidak memenuhi syarat lebih berisiko 4,030

kali dibandingkan dengan balita yang tinggal pada jenis lantai rumah

yang memenuhi syarat.

c. Hubungan antara Jenis Dinding dengan Kejadian ISPA pada Balita di

Desa Pulung Merdiko

Hasil penelitian mengenai hubungan antara jenis dinding dengan

kejadian ispa pada balita di Desa Pulung Merdiko sebagai berikut :

56
Tabel 5.16 Hubungan jenis dinding dengan kejadian ispa

Jenis Dinding Kejadian ISPA pada Balita P-Value OR (95%CI)

Kasus Kontrol
N % N %
Tidak 23 76,7 11 36,7 0,004 5,675
memenuhi (1,841-17,494)
syarat
Memenuhi 7 23,3 19 63,3
syarat
Total 30 100,0 30 100,0
Sumber: Data Primer & Hasil Penelitian Bulan Juli

Berdasarkan tabel 5.16 menunjukkan bahwa kejadian ISPA pada

balita lebih banyak terjadi pada kelompok kasus daripada kelompok

kontrol, yang memiliki jenis dinding tidak memenuhi syarat sebanyak 23

responden (76,7%), sedangkan pada kelompok kontrol hanya 11

responden (36,7%). Berdasarkan hasil uji Chi-Square yang telah

dilakukan dilihat koreksi (continuity correction) dengan P-Value 0,004

yang artinya ada hubungan antara jenis dinding dengan kejadian ISPA

pada balita di Desa Pulung Merdiko. Dengan nilai OR sebesar 5,675 > 1

yang artinya balita yang tinggal dirumah dengan jenis dinding tidak

memenuhi syarat lebih berisiko 5,675 kali dibandingkan dengan balita

yang tinggal dirumah dengan jenis dinding memenuhi syarat.

d. Hubungan antara Pencahayaan dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa

Pulung Merdiko

Hasil penelitian mengenai hubungan antara pencahayaan dengan

kejadian ispa pada balita di Desa Pulung Merdiko sebagai berikut :

57
Tabel 5.17 Hubungan pencahayaan dengan kejadian ispa

Pencahayaan Kejadian ISPA pada Balita P-Value OR (95%CI)

Kasus Kontrol
N % N %
Tidak 20 66,7 9 30,00,010 4,667
memenuhi (1,571-13,866)
syarat
Memenuhi 10 33,3 21 70,0
syarat
Total 30 100,0 30 100,0
Sumber: Data Primer & Hasil Penelitian Bulan Juli

Berdasarkan tabel 5.17 menunjukkan bahwa kejadian ISPA pada

balita lebih banyak terjadi pada kelompok kasus daripada kelompok

kontrol, yang memiliki pencahayaan tidak memenuhi syarat sebanyak 20

responden (66,7%), sedangkan pada kelompok kontrol hanya 9

responden (30,0%). Berdasarkan hasil uji Chi-Square yang telah

dilakukan dilihat koreksi (continuity correction) dengan P-Value 0,010

yang artinya ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian ISPA

pada balita di Desa Pulung Merdiko. Dengan nilai OR sebesar 4,667 > 1

yang artinya balita yang tinggal dirumah dengan pencahayaan yang tidak

memenuhi syarat lebih berisiko 4,667 kali dibandingkan dengan balita

yang tinggal di rumah dengan pencahayaan rumah memenuhi syarat.

e. Hubungan antara Langit-langit Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita

di Desa Pulung Merdiko

Hasil penelitian mengenai hubungan antara langit-langit rumah

dengan kejadian ispa pada balita di Desa Pulung Merdiko sebagai

berikut:

58
Tabel 5.18 Hubungan langit-langit rumah dengan kejadian ispa

Langit-langit Kejadian ISPA pada Balita P-Value OR (95%CI)


Rumah
Kasus Kontrol
N % N %
Tidak 21 70,0 10 33,30,010 4,667
memenuhi (1,571-13,866)
syarat
Memenuhi 9 30,0 20 66,7
syarat
Total 30 100,0 30 100,0
Sumber: Data Primer & Hasil Penelitian Bulan Juli

Berdasarkan tabel 5.18 menunjukkan bahwa kejadian ISPA pada

balita lebih banyak terjadi pada kelompok kasus dibanding kelompok

kontrol, langit-langit rumah tidak memenuhi syarat sebanyak 21

responden (70,0%) sedangkan pada kelompok kontrol hanya 10

responden (33,3%). Berdasarkan hasil uji Chi-Square yang telah

dilakukan dilihat koreksi continuity correction) dengan P-Value 0,010

yang artinya ada hubungan antara langit-langit rumah dengan kejadian

ISPA pada balita di Desa Pulung Merdiko. Dengan nilai OR sebesar

4,667 > 1 yang artinya balita yang tinggal dengan langit-langit rumah

tidak memenuhi syarat berisiko 4,667 kali dibandingkan balita yang

tinggal dengan langit-langit rumah yang memenuhi syarat.

f. Hubungan antara Anggota Keluarga Merokok dengan Kejadian ISPA pada

Balita di Desa Pulung Merdiko

Hasil penelitian mengenai hubungan antara anggota keluarga merokok

dengan kejadian ispa pada balita di Desa Pulung Merdiko sebagai

berikut:

59
Tabel 5.19 Hubungan anggota keluarga merokok dengan kejadian ispa

Anggota Kejadian ISPA pada Balita P-Value OR (95%CI)


Keluarga
Merokok
Kasus Kontrol
N % N %
Merokok 23 76,7 9 30,0 0,0001 7,667
(2,424-24,245)

Tidak 7 23,3 21 70,0


Merokok
Total 30 100,0 30 100,0
Sumber: Data Primer & Hasil Penelitian Bulan Juli

Berdasarkan tabel 5.19 menunjukkan bahwa kejadian ISPA pada

balita lebih banyak terjadi pada kelompok kasus dibanding kelompok

kontrol, anggota keluarga responden yang merokok sebanyak 23

responden (76,7%) sedangkan pada kelompok kontrol hanya 9 responden

(30,0%). Berdasarkan hasil uji Chi-Square yang telah dilakukan dilihat

(continuity correction) dengan P-Value 0,001 yang artinya ada hubungan

antara anggota keluarga merokok dengan kejadian ISPA pada balita di

Desa Pulung merdiko. Dengan nilai OR sebesar 7,667 > 1 yang artinya

balita yang tinggal dengan anggota keluarga merokok berisiko 7,667 kali

dibandingkan dengan balita yang tinggal dengan anggota keluarga tidak

meokok.

60
Pembahasan

Kejadian ISPA

Berdasarkan data yang diberikan oleh Puskesmas Pulung jumlah penderita

ISPA balita di Desa Pulung Merdiko sebanyak 109 balita. Kemudian diambil 30

balita kasus secara acak dan 30 balita kontrol yang artinya sampel berjumlah 60

responden. Dari hasil penelitan yang dilakukan pada 60 responden, diperoleh

bahwa pekerjaan orang tua balita paling banyak 48,3% adalah ibu rumah tangga.

Kemudian sebagian besar dari mereka 61,7% berusia antara 20-30 tahun. Balita

yang pernah menderita ISPA paling banyak 38,3% berumur antara 24-60 bulan.

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi yang terjadi pada

pernapasan bagian atas yang meliputi mulut, hidung, tenggorokan, laring (kotak

suara), dan trakea (batang tenggorokan). Penyebab ISPA terdiri dari bakteri, virus,

jamur, dan aspirasi. Bakteri penyebab ISPA antara lain Diplococcus pneumoniae,

Pneumococcus, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, dan

Haemophilus influenza. Virus penyebab ISPA antara lain Influenza, Adenovirus,

dan Sitomegalovirus. Jamur yang dapat menyebabkan ISPA antara lain

Aspergillus sp., Candida albicans, dan Histoplasma. (Wahyono, 2008).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian ISPA pada balita masih

cukup banyak. Keadaan tersebut dikarenakan kondisi lingkungan rumah yang

sebagian besar tidak memenuhi syarat. Seperti kondisi kepadatan hunian yang

51,7% tidak memenuhi syarat, jenis lantai sebanyak 53,3% tidak memenuhi

syarat. Kemudian jenis dinding sebagian besar 56,7% tidak memenuhi syarat,

Namun pencahayaan hanya sebagian kecil yang tidak memenuhi syarat, selain itu

61
beberapa rumah tidak dipasangi plafon serta sebagian besar anggota keluarga

balita tersebut merokok. Sehingga akibat dari kondisi lingkungan rumah yang

buruk tersebut, kejadian ISPA pada balita yang terjadi di desa Pulung Merdiko

tinggi.

Kepadatan Hunian Kamar Tidur

Berdasarkan hasil penelitian univariat menunjukkan bahwa sebanyak 51,7%

kepadatan hunian kamar tidur tidak memenuhi syarat sehingga menyebabkan

balita pernah mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Hasil ini

didapatkan melalui pengukuran luas tiap kamar dibandingkan dengan jumlah

penghuni kamar. Sebagian besar kamar dihuni satu keluarga, dan terdapat 2-3

balita. Kepadatan hunian ini memungkinkan bakteri maupun virus dapat menular

melalui pernapasan dari penghuni rumah yang satu ke penghuni rumah yang

lainnya bahkan hingga ke anak-anak yang masih di bawah umur. Rata-rata luas

kamar yang dimiliki setiap keluarga yaitu 6m2.

Menurut peraturan Kepmenkes No. 829 tahun 1999 untuk kamar tidur

sebaiknya tidak dihuni >2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah 2

tahun. Luas kamar yang semestinya yaitu ≥8m2 untuk 2 orang. Apabila kepadatan

hunian terlalu tinggi maka akan menyebaban kurangnya konsumsi oksigen

sehingga ruangan dapat menjadi media hidup agent infeksi saluran pernapasan

akut (ISPA).

Untuk itu perlu diperhatikan ketika luas kamar tidak memenuhi syarat, dan

ada salah satu anggota keluarga yang sakit ISPA lebih baik untuk tidak tidur

dalam satu kamar, demi mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas.

62
Kondisi kamar yang sempit dan terlalu banyak penghuni bahkan terisi oleh 2-3

balita akan mempercepat penularan ISPA, sehingga balita satu dan lainnya harus

dipisah.

Jenis Lantai

Berdasarkan hasil penelitian univariat menunjukkan 53,3% jenis lantai rumah

responden tidak memenuhi syarat sehingga menyebabkan balita pernah menderita

infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Kondisi yang ada jenis lantai berupa

tanah, sebagian sudah ada yang diplester namun banyak yang rusak. Untuk lantai

yang dikeramik masih sedikit, karena kondisi perekonomian di desa tersebut

masih kurang.

Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab.

Bahan lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, jadi paling tidak lantai perlu

diplester dan akan lebih baik kalau dilapisi ubin atau keramik yang mudah

dibersihkan (Ditjen, P2PL, 2011). Syarat yang penting disini adalah tidak berdebu

pada musim kemarau dan tidak becek pada musim hujan. Lantai yang basah dan

berdebu merupakan sarang penyakit.

Berdasarkan hasil tersebut, maka peneliti berpendapat bahwa lantai rumah

responden yang bertempat tinggal di Desa Pulung Merdiko yaitu rata-rata berupa

lantai dari tanah dan dari plester yang sudah rusak. Lantai yang terbuat dari semen

rata-rata sudah rusak dan tidak kedap air, sehingga lantai menjadi berdebu dan

lembab. Kondisi lantai tersebut tidak kedap air sehingga memudahkan agent ISPA

untuk hidup. Maka dari itu responden harus selalu menjaga kebersihan lantai

63
tersebut, untuk meminimalisir keberadaan virus atau bakteri ISPA yang mudah

menyerang balita.

Jenis Dinding

Berdasarkan hasil penelitian univariat menunjukkan 56,7% jenis dinding

rumah responden tidak memenuhi syarat sehingga menyebabkan balita pernah

mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Masih banyak ditemukan

dinding yang terbuat dari kayu. Kondisi ini karena banyaknya responden yang

memiliki pendapatan rendah sehingga tidak memungkinkan jika menggunakan

jenis dinding berupa batubata atau batako.

Dinding rumah yang baik menggunakan tembok, tetapi dinding rumah

didaerah tropis khususnya di pedesaan banyak yang berdinding papan, kayu dan

bambu. Rumah yang berdinding tidak rapat seperti papan, kayu dan bambu dapat

menyebabkan penyakit pernapasan yang berkelanjutan seperti ISPA, karena angin

malam yang langsung masuk ke dalam rumah (Notoatmodjo, 2011).

Berdasarkan hasil tersebut, maka peneliti berpendapat bahwa dinding rumah

responden yang bertempat tinggal di Desa Pulung Merdiko yaitu rata-rata berupa

dinding kayu. Jenis dinding ini mempengaruhi terjadinya ISPA, karena dinding

yang menyebabkan penumpukan debu, sehingga harus sering dibersihkan.

Pencahayaan

Berdasarkan hasil penelitian univariat menunjukkan 48,3% tidak memenuhi

syarat sehingga dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada

balita. Hasil ini didapatkan melalui pengukuran dengan menggunakan luxmeter..

Pencahayaan rumah tersebut jika tidak memenuhi syarat intensitas bisa

64
menjadikan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-

bibit penyakit.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang

Rumah menetapkan bahwa pencahayaan alami dan/atau buatan langsung maupun

tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan

tidak menyilaukan. Kualitas pencahayaan alami siang hari antara lain ditentukan

oleh lubang cahaya minimum sepersepuluh luas lantai ruangan dan sinar matahari

langsung dapat masuk ruangan minimum satu jam sehari.

Berdasarkan hasil tersebut peneliti berpendapat bahwa pencahayaan rumah

responden tidak memenuhi syarat atau tidak sesuai intensitas, disebabkan karena

karena tidak adanya atau tidak dipasangi genteng kaca dan ventilasi yang selalu

tertutup. Disarankan responden untuk membuka ventilasi agar pencahayaan alami

dapat masuk ke dalam rumah.

Langit-langit Rumah

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa langit-langit rumah 51,7%

tidak memenuh syarat yang menyebabkan balita pernah mengalami infeksi

saluran pernapasan akut (ISPA). Sebagian besar rumah tidak dipasangi plafon, hal

ini disebabkan karena tingkat perekonomian masyarakat desa yang masih kurang

dan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Kondisi rumah yang tidak

dipasangi plafon ini terlihat banyak sekali kotoran seperti sarang laba-laba dan

gumpalan-gumpalan debu. Hal tersebut bisa menjadi tempat berkembangbiaknya

bibit penyakit.

65
Menurut keputusan menteri kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999

langit-langit sangat mempengaruhi kenyamanan udara dalam ruang. Hal ini

dikarenakan langit-langit dapat menahan rembesan air dari atap rumah dalam

ruangan. Langit-langit juga dapat menahan panas yang berasal dari atap rumah

pada siang hari dan udara dingin yang ada pada malam hari. Langit-langit harus

mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan. Rumah yang sehat menggunakan

langit-langit rumah berupa plafon.

Berdasarkan hasil tersebut peneliti berpendapat bahwa rumah yang ada di

Desa Pulung Merdiko sebagian besar tidak dipasangi plafon. Padahal langit-langit

rumah (plafon) ini dapat menahan panas yang berasal dari atap rumah pada siang

hari dan udara dingin yang ada pada malam hari. Untuk meminimalisir tempat

berkembangbianyaknya penyakit maka perlu dipasang plafon sederhana misalnya

dari triplek. Dan selalu menjaga kebersihan dari langit-langit rumah itu sendiri.

Anggota Keluarga Merokok

Berdasarkan hasil penelitian univariat menunjukkan sebagian besar 53,3%

responden anggota keluarganya merokok, sehingga menyebabkan balita pernah

mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Banyak ditemukan ayah dan

kakek balita yang merokok didalam rumah ketika diwawancarai. Sebenarnya

mereka menyadari bahaya mengenai rokok tetapi tetap merokok karena mereka

berpendapat lebih baik tidak makan daripada tidak merokok, dan mereka

berpendapat bahwa bukan lelaki namanya jika tidak merokok. Selain itu merokok

juga sering dilakukan di dekat balita.

66
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang

Rumah menetapkan bahwa bayi dan anak yang orang tuanya perokok mempunyai

resiko lebih besar terkena gangguan saluran pernapasan dengan gejala sesak napas

dan batuk. Asap rokok yang ada diruangan akan tetap ada selama hampir 5 jam

meski tak kasat mata. Asap tersebut akan menempel di furniture, karpet, pakaian

dan perlengkapan lain yang ada didalam rumah. Secara tidak langsung hal inilah

yang membuat balita terpapar asap rokok. Balita dikategorikan lebih berisiko

terkena dampak buruk asap rokok bila dibandingkan engan orang dewasa, karena

saluran pernafasan balita yang masih kecil dan sistem imun yang masih belum

sempurna.

Berdasarkan hasil tersebut peneliti berpendapat bahwa sebagian besar

anggota keluarga responden di Desa Pulung Merdiko merokok. Setiap selesai

makan anggota keluarga tersebut selalu merokok, dan satu hari bisa

menghabiskan 3-5 batang rokok. Hal tersebut tentunya berbahaya bagi kesehatan

dirinya sendiri dan khususnya bagi balita, apalagi merokok dapat menyebabkan

balita pernah mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Sehingga

keluarga perlu penerapan perilaku hidup bersih dan sehat khususnya tidak

merokok didalam rumah apalagi didekat balita.

Hubungan Kepadatan Hunian Kamar Tidur dengan Kejadian ISPA pada

Balita

Hasil uji statistik diperoleh kesimpulan bahwa kepadatan hunian kamar tidur

mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian infeksi saluran pernapasan

67
akut (ISPA) pada balita (p=0,002), dimana sebagian besar balita (73,3%) pernah

mengalami infeksi saluran pernapasan akut. Besarnya resiko ISPA dapat dilihat

dari nilai OR = 6,4 artinya balita yang tidur di kamar dengan kepadatan hunian

yang tidak memenuhi syarat memiliki resiko terkena ISPA sebesar 6,4 kali lebih

besar dibandingkan balita yang tidur di kamar dengan kepadatan hunian yang

memenuhi syarat.

Kepadatan hunian yang dimaksud adalah perbandingan antara luas kamar

dengan jumlah anggota keluarga dalam satu kamar. Menurut keputusan menteri

kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan rumah untuk

kamar tidur diperlukan mininum 2 orang, kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2

orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah 2 tahun. Ruangan yang sempit

akan membuat nafas sesak dan mudah tertular penyakit oleh anggota keluarga

lain. Kepadatan hunian akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh

pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari

pernafasan tersebut. Bangunan yang sempit dan tidak sesuai jumlah penghuninya

akan mempunyai dampak kurangnya oksigen dalam ruangan sehingga daya tahan

tubuh penghuninya menurun, kemudian mempercepat timbulnya penyakit saluran

pernapasan seperti ISPA (Ade, 2012). Kepadatan hunian dapat mempengaruhi

kualitas udara kamar, dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan

semakin cepat udara dalam kamar mengalami pencemaran, oleh karena CO2

dalam kamar akan meningkat dan akan menurunkan kadar O2 di ruangan, dan

kepadatan hunian sangat berhubungan terhadap jumlah agent penyebab penyakit

menular.

68
Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Patmawati Dongky (2016)

mengenai hubungan antara lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA pada

balita di Kelurahan Takatidung Polewali Mandar. Kondisi kepadatan hunian

dilokasi penelitian sebagian besar masih dihuni 3-5 kepala keluarga masing-

masing terdiri 4-5 orang anggota keluarga, menempati ruang tidur yang sama

kurang dari 9m2. Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian William

(2015) mengenai hubungan antara kondisi lingkungan rumah dengan kejadian

penyakit ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Sario Kota Manado. Hasil

penelitian tersebut menunjukkan ada hubungan antara kepadatan hunian dengan

kejadian ISPA pada balita. Luas bangunan rumah yang sempit dengan jumlah

anggota keluarga yang banyak dapat menyebabkan rasio penghuni dengan luas

rumah tidak seimbang. Kepadatan hunian ini memungkinkan bakteri maupun

virus dapat menular melalui pernapasan dari penghuni rumah yang satu dengan

yang lainnya bahkan hingga ke balita.

Hal tersebut didukung ketika peneliti melakukan observasi dan pengukuran

terhadap kamar responden. Sebagian kecil responden kepadatan hunian kamar

memenuhi syarat. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis kelompok kasus

sebanyak 8 responden (26,7%) kepadatan hunian kamar memenuhi syarat, dan

pada kelompok kontrol sebanyak 9 responden (30,0%) kepadatan hunian kamar

tidak memenuhi syarat.

Hasil penelitian menunjukkan kepadatan hunian kamar sebanyak 8 responden

(26,7%) memenuhi syarat namun pernah mengalami ISPA disebabkan karena

kondisi kamar yang kurang dirawat, tidak dibersihkan setiap hari, sehingga kamar

69
terlihat berantakan dan dapat menjadi tempat berkembangbiaknya agent penyakit

ISPA. Kurangnya kepedulian orangtua untuk memelihara lingkungan rumah

khususnya kamar dapat menyebabkan timbulnya virus atau bakteri yang dapat

dengan mudah menyerang balita.

Kepadatan hunian kamar tidak memenuhi syarat sebanyak 9 responden

(30,0%) namun tidak pernah mengalami ISPA dikarenakan dari keluarga tersebut

apabila salah satu keluarga menderita sakit ISPA memilih untuk tidak tidur dalam

satu kamar apalagi dengan balita. Karena sistem imun yang dimiliki balita masih

lemah. Sehingga lebih memilih untuk tidur menjauh dari balita.

Dari hasil penelitan sebagian besar luas kamar yang diukur hanya seluas 6m2.

Kamar tersebut rata-rata di huni orangtua dengan 2-3 balita. Apabila dalam satu

keluarga terdapat penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), maka

kemungkinan tertular itu sangat besar. Dengan demikian untuk meminimalisir

kejadian tersebut, jika salah satu keluarga menderita penyakit ISPA, sebaiknya

balita tidak di tidurkan dalam 1 kamar atau dipisah.

Hubungan Jenis Lantai dengan Kejadian ISPA pada Balita

Hasil uji statistik diperoleh kesimpulan bahwa jenis lantai mempunyai

hubungan yang bermakna dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)

pada balita (p=0,020). Besarnya risiko menderita infeksi saluran pernapasan akut

(ISPA) dapat dilihat dari nilai OR = 4,0 yang artinya balita yang tinggal dirumah

dengan jenis lantai yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko menderita infeksi

saluran pernapasan akut (ISPA) sebesar 4,0 kali lebih besar dibanding balita yang

tinggal dirumah dengan jenis lantai yang memenuhi syarat.

70
Lantai rumah dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA karena lantai

yang tidak memenuhi standar merupakan media yang baik untuk

perkembangbiakan bakteri atau virus penyebab ISPA. Lantai yang baik adalah

lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Lantai rumah yang tidak

memenuhi syarat adalah lantai rumah yang terbuat dari tanah, semen atau belum

berubin. Bahan lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, jadi paling tidak

lantai perlu diplester dan akan lebih baik kalau dilapisi ubin atau keramik yang

mudah dibersihkan (Ditjen, P2PL, 2011).

Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Safrizal (2017) mengenai

hubungan ventilasi, lantai, dinding dan atap dengan kejadian ISPA pada balita

digampong Bang Muko. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna

antara jenis lantai dengan kejadian ISPA pada balita. Rata-rata berupa lantai

semen yang tidak di plaster dan lantai dari tanah, sehingga pada saat musim

kemarau akan menghasilkan debu. Lantai yang terbuat dari semen rata-rata sudah

rusak dan tidak kedap air, sehingga lantai menjadi berdebu dan lembab.

Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Marten (2017) mengenai

hubungan antara kondisi hubungan antara kondisi fisik rumah dan tingkat

pendapatan keluarga dengan kejadian ispa pada balita. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan ada hubungan signifikan antara jenis lantai dengan kejadian ispa

pada balita di Desa Marinsow dan Pulisan. Sebagian besar masyarakat desa

Marinsow dan Pulisan masih memiliki rumah dengan jenis lantai tidak

permanen (tanah dan semen) jenis lantai ini akan mempermudah timbul dan

berkembangnya penyakit terutama penyakit pernapasan.

71
Hal tersebut didukung ketika peneliti melakukan observasi jenis lantai di

Desa Pulung Merdiko. Dari hasil observasi sebagian kecil jenis lantai rumah

responden memenuhi syarat. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis kelompok

kasus sebanyak 9 responden (30,0%) jenis lantai rumah memenuhi syarat, dan

pada kelompok kontrol sebanyak 11 responden (36,7%) jenis lantai rumah tidak

memenuhi syarat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 9 responden (30,0%) jenis

lantai rumah memenuhi syarat namun pernah mengalami ISPA disebabkan karena

tidak dilakukannya pembersihan lantai setiap pagi dan sore, jarang mengepel

lantai, sehingga lantai terlihat kotor berdebu apalagi desa tersebut berada disekitar

pegunungan. Kondisi lantai yang kotor menjadi tempat berkembangbiaknya

bakteri penyebab penyakit.

Jenis lantai rumah sebanyak 11 responden (36,7%) tidak memenuhi syarat

tetapi balita tidak pernah menderita ISPA dikarenakan orang tua balita yang sudah

memiliki kebiasaan untuk membersihkan rumah, khususnya lantai yang selalu

disapu setiap pagi dan sore. Selain itu untuk lantai yang dari tanah biasanya

disiram agar ketika angin tidak terlalu berdebu. Sehingga dapat meminimalisir

agent penyakit yang dapat menyerang balita.

Sebagian besar jenis lantai rumah responden banyak yang tidak memenuhi

syarat dikarenakan masih terbuat dari tanah dan semen. Lantai dari semen tersebut

tidak diplester dan sudah banyak yang rusak. Sebagian besar dari responden juga

tidak memeperhatikan kondisi kebersihan lantai rumah. Maka dari itu responden

perlu membiasakan diri untuk menjaga kebersihan rumah khususnya lantai.

72
Dengan menyapu lantai namun disarankan tidak sambil menggendong balita.

Responden juga dapat menggunakan masker untuk meminimalisir debu terhirup.

Hubungan Jenis Dinding dengan Kejadian ISPA pada Balita

Hasil uji statistik diperoleh kesimpulan bahwa kondisi dinding rumah

mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian infeksi saluran pernapasan

akut (ISPA) pada balita (p=0,004). Besarnya risiko menderita infeksi saluran

pernapasan akut (ISPA) dapat dilihat dari nilai OR= 5,6 yang artinya balita yang

tinggal dirumah dengan kondisi dinding rumah tidak memenuhi syarat memiliki

risiko terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) 5,6 kali lebih besar

dibandingkan dengan balita yang tinggal dirumah dengan kondisi dinding rumah

yang memenuhi syarat.

Dinding rumah yang baik menggunakan tembok, tetapi dinding rumah daerah

tropis khususnya dipedesaan banyak yang berdinding papan, kayu, dan bambu.

Hal ini disebabkan masyarakat pedesaan perekonomiannya kurang. Rumah yang

berdinding tidak rapat seperti papan, kayu, dan bambu dapat menyebabkan

penyakit pernapasan. Dinding di ruang tidur, ruang keluarga dilengkapi dengan

ventilasi untuk pengaturan sirkulasi udara. Beberapa ketentuan konstruksi

dinding diantaranya bahan bangunan tidak boleh terbuat dari bahan yang mudah

melepas, zat -zat yang dapat membahayakan kesehatan serta tidak terbuat dari

bahan yang dapat menjadi tempat tumbuh kembangnya mikroorganisme pathogen

seperti ISPA (Notoatmodjo, 2011)

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Safrizal (2017) mengenai hubungan

ventilasi, lantai, dinding dan atap dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil

73
penelitian ada hubungan yang bermakna antara jenis dinding dengan kejadian

ISPA pada balita. Dinding rumah di Gampong Blang Muko masih banyak

yang berdinding bambu, papan atau kayu, selain itu juga pada saat peneliti

melihat langsung kelapangan, bahwa dinding rumah responden setengah terbuat

dari semen dan setengahnya lagi terbuat dari papan, Hal ini disebabkan karena

penghasilan keluarga yang kurang, sebagian dari responden yaitu IRT dan juga

sebagai dari orang tua laki-laki/ayah orang tua bekerja sebagai petani/tukang

bangunan. Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Nasihatun (2016)

mengenai hubungan kondisi fisik rumah dan praktik merokok orangtua dengan

kejadian ISPA pada anak balita. Hasil uji penelitian menunjukkan ada hubungan

signifikan antara jenis dinding dengan kejadian ispa pada balita.

Hal tersebut didukung ketika peneliti melakukan observasi di rumah

responden mengenai jenis dinding. Sebagian kecil jenis dinding yang memenuhi

syarat. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis kelompok kasus sebanyak 7

responden (23,3%) jenis dinding memenuhi syarat, dan pada kelompok kontrol 11

responden (36,7%) jenis dinding rumah tidak memenuhi syarat.

Hasil penelitian menunjukkan 7 responden (23,3%) jenis dinding rumah

memenuhi syarat namun pernah menderita ISPA ini dikarenakan beberapa rumah

responden sudah terbuat dari tembok batubata namun terlihat kotor berdebu

seperti tidak pernah dibersihkan. Kondisi dinding yang kotor dan berdebu tersebut

dapat meningkatkan bibit penyakit berkembang biak. Sehingga dapat

menyebabkan kesehatan balita menurun akibat terserang penyakit.

74
Jenis dinding rumah sebanyak 11 responden (36,7%) tidak memenuhi syarat

tetapi tidak pernah menderita ISPA dikarenakan beberapa keluarga tersebut

meskipun jenis dinding hanya terbuat dari kayu tetapi dirawat. Dinding rumah

dicat dengan warna terang sehingga debu yang menempel bisa terlihat dan dapat

segera dibersihkan.

Dari hasil penelitian sebagian besar jenis dinding tidak memenuhi syarat. Hal

ini dikarenakan masih banyak terbuat dari kayu daripada batubata atau batako.

Maka dari itu untuk meminimalisir dinding agar tidak menjadi media penyakit,

responden diharapkan memelihara dinding agar tidak cepat rusak. Dinding harus

selalu dibersihkan minimal 1 minggu sekali. Dengan membersihkan dinding dapat

meminimalisir agent penyakit. Sehingga balita dapat terhindar dari penyakit

ISPA.

Hubungan Pencahayaan dengan Kejadian ISPA pada Balita

Hasil uji statistik diperoleh kesimpulan bahwa ada hubungan antara

pencahayaan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita

(p=0,010). Besarnya risiko infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dapat dilihat

dari nilai OR = 4,6 artinya balita yang tinggal dirumah dengan pencahayaa tidak

memenuhi syarat memiliki risiko terkena infeksi saulran pernapasan sebesar 4,6

kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang tinggal dirumah dan

pencahayaannya memenuhi syarat.

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak

terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama

cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat

75
yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu

banyak cahaya didalam rumah akan menyebabkan silau dan akhirnya dapat

merusakkan mata (Notoatmodjo, 2011). Pencahayaan alami penting untuk

mengurangi kelembaban udara dan membunuh mikroorganisme patogen.

Secara umum, bakteri dan mikroorganisme lainnya termaksud penyebab ISPA

dapat hidup dengan baik pada paparan cahaya normal. Pencahayaan alami

dan atau buatan minimal intensitasnya adalah 60 lux serta tidak menyilaukan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ronny (2016) tentang suhu,

kelembaban, dan pencahayaan sebagai faktor risiko kejadian ISPA pada balita.

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian

ISPA pada balita. Pencahayaan yang kurang dapat memperpanjang masa hidup

kuman dalam droplet nuklei di udara. Penelitian lain yang mendukung adalah

penelitian Julia (2017) mengenai hubungan kondisi lingkungan fisik rumah dan

kebiasaan orangtua dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil menunjukkan ada

hubungan signifikan antara pencahayaan dengan kejadian ISPA pada balita. Salah

satu penyebab kurangnya pencahayaan alami yang masuk ke dalam rumah

terutama kamar balita adalah daerah pemukimannya yang termasuk padat

penduduk sehingga jarak antara rumah yang satu dengan rumah yang lain

sangat sempit sehingga memperkecil cahaya matahari masuk ke dalam

rumah.

Hal tersebut didukung ketika peneliti melakukan pengukuran pencahayaan

menggunakan luxmeter. Hasil pengukuran sebagian kecil pencahayaan rumah

memenuhi syarat. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis dari kelompok kasus

76
sebanyak 10 responden (33,3%) pencahayaan rumah memenuhi syarat dan pada

kelompok kontrol 9 responden (30,0%) pencahayaan rumah tidak memenuhi

syarat.

Hasil penelitian menunjukkan pencahayaan rumah 10 responden (33,3%)

memenuhi syarat namun pernah mengalami ISPA dikarenakan pencahayaan

bukan satu-satunya faktor risiko dari penyakit tersebut. Pencahayaan yang baik

memang bisa membunuh bakteri atau agent penyakit, tetapi meskipun

pencahayaan baik jika faktor lingkungan fisik rumah yang kurang dijaga bisa saja

masih ada beberapa bibit penyakit yang bisa timbul. Selain itu bisa juga karena

faktor host atau dari keluarga itu sendiri.

Pencahayaan rumah sebanyak 9 responden (30,0%) yang tidak memenuhi

syarat namun tidak pernah mengalami ISPA dikarenakan keluarga balita yang

selalu menjaga kondisi lingkungan rumah dengan baik. Meskipun pencahayaan

rumah kurang baik, namun keluarga selalu mengutamakan kebersihan rumah.

Sehingga dengan menjaga kondisi lingkungan agent penyakit akan berkurang dan

tidak menyebabkan balita terserang ISPA.

Dari hasil penelitian sebagian besar pencahayaan rumah kurang baik. Kurang

dari intensitas yaitu 60 lux. Maka dari itu diharapkan responden untuk selalu

membuka ventilasi agar cahaya dapat masuk melalui ventilasi, atau membuka

pintu dan menambahkan genteng kaca agar cahaya alami yang masuk bisa sesuai

intensitas.

77
Hubungan Langit-langit Rumah dengan ISPA pada Balita

Hasil uji statistik diperoleh kesimpulan bahwa langit-langit rumah

mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian infeksi saluran pernapasan

akut (ISPA) pada balita (p=0,010). Besarnya risiko infeksi saluran pernapasan

akut (ISPA) dapat dilihat dari nilai OR = 4,6 artinya balita yang tinggal dengan

kondisi langit-langit rumah tidak memenuhi syarat memiliki risiko terkena infeksi

saluran pernapasan akut (ISPA) 4,6 kali lebih besar dibandingkan dengan balita

yang tinggal dengan kondisi langit-langit rumah sudah memenuhi syarat.

Langit-langit sangat mempengaruhi kenyamanan udara dalam ruang. Hal ini

dikarenakan langit-langit dapat menahan rembesan air dari atap rumah dalam

ruangan. Langit-langit juga dapat menahan panas yang yang berasal dari atap

rumah pada siang hari dan udara dingin yang ada pada malam hari. Menurut

keputusan menteri kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang

persyaratan rumah langit-langit harus mudah dibersihkan. Rumah yang sehat

menggunakan langit-langit rumah berupa plafon. Rumah yang tidak terdapat

plafon bisa menimbulkan agent ISPA lebih mudah menjangkit balita.

Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Safrizal (2017) tentang

hubungan ventilasi, lantai, dinding, dan atap dengan kejadian ISPA pada balita.

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara langit-langit rumah dengan

kejadian ISPA pada balita. Ada sebagian dari rumah responden yang terbuat dari

dari seng, yang tidak ada plapon, hal ini dapat menyebabkan masuknya debu ke

dalam rumah, selain itu sebagian atap rumah juga ada yang bocor, dan

dapat mempengaruhi terjadinya kejadian penyakit ISPA, serta dapat

78
memperburuk kondisi tempat tinggal responden, jika ada dari anak

responden yang mengalami ISPA. Rata-rata atap kondisinya tidak terdapat langit-

langit rumah, sehingga debu yang langsung masuk ke dalam rumah mengganggu

saluran pernafasan pada balita yang ada di desa tersebut.

Hal tersebut didukung ketika peneliti melakukan observasi terhadap langit-

langit rumah. Sebagian kecil langit-langit rumah yang memenuhi syarat. Hal ini

dapat dilihat dari hasil analisis kelompok kasus sebanyak 9 responden (30,0%)

memenuhi syarat dan pada kelompok kontrol sebanyak 10 responden (33,3%)

tidak memenuhi syarat.

Hasil penelitian menunjukkan langit-langit rumah 9 responden (30,0%)

memenuhi syarat namun pernah mengalami ISPA hal ini disebabkan karena faktor

lain, seperti kondisi lingkungan. Secara daerah tersebut merupakan daerah

pegunungan sehingga cuaca yang tidak menentu dapat memengaruhi timbulnya

agent ISPA, meskipun rumah sudah terdapat langit-langit rumah (plafon).

Langit-langit rumah 10 responden (33,3%) tidak memenuhi syarat namun

tidak pernah menderita ISPA dikarenakan orangtua balita terbiasa membersihkan

bagian bawah genteng. Biasanya rumah yang tidak terdapat langit-langit rumah

bagian bawah genteng akan dihuni oleh hewan seperti laba-laba yang membuat

sarang sehingga terlihat kotor. Namun jika sarang tersebut segera dibersihkan

maka dapat meminimalisir berkembangnya bibit penyakit.

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar langit-langit rumah tidak

memenuhi syarat. Maka diharapkan responden memasang plafon sederhana dari

bahan triplek untuk mencegah debu/kotoran/agent yang terdapat pada genteng

79
jatuh kedalam rumah. Serta anggota keluarga harus rajin membersihkan bagian

bawah genteng agar tidak menjadi sarang hewan-hewan tertentu.

Hubungan Riwayat Anggota Keluarga Merokok dengan Kejadian ISPA

pada Balita

Hasil uji statistik diperoleh bahwa anggota keluarga merokok mempunyai

hubungan yang bermakna dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)

pada balita (p=0,001). Besarnya risiko ISPA dapat dilihat dari nilai OR = 7,6 yang

artinya balita yang tinggal dengan anggota keluarga yang merokok memiliki

risiko 7,6 kali lebih besar dibandingkan balita yang tinggal dirumah dengan

anggota keluarga tidak merokok.

Rokok bukan hanya masalah perokok aktif, tetapi juga masalah bagi perokok

pasif. Asap rokok terdiri dari 4000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan

racun antara lain Carbon Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic Hydrocarbons,

dan lain-lain (Kepmenkes RI, 2011). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan

RI Nomor 1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam

Ruang Rumah menetapkan bahwa bayi dan anak yang orang tuanya perokok

mempunyai resiko lebih besar terkena gangguan saluran pernapasan.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sofia (2017) tentang faktor risiko

lingkungan dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Ingin

jaya Aceh Besar. Hasil penelitian ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan

kejadian ISPA pada balita. Banyaknya jumlah perokok akan sebanding dengan

banyaknya penderita gangguan kesehatan. Asap rokok tersebut akan

meningkatkan risiko pada balita untuk mendapat serangan ISPA. Asap rokok

80
bukan hanya menjadi penyebab langsung kejadian ISPA pada balita, tetapi

menjadi faktor tidak langsung yang diantaranya dapat melemahkan daya

tahan tubuh balita. Penelitian lain yang mendukung adalah William (2015)

mengenai hubungan antara kondisi lingkungan rumah dengan kejadian

penyakit ispa pada balita. Hasil penelitian ada hubungan signifikan antara

keluarga merokok dengan kejadian ISPA pada balita. asap rokok dari perokok

aktif memang bukan menjadi penyebab langsung kejadian penyakit ISPA pada

anak balita, tetapi menjadi faktor tidak langsung yang diantaranya dapat

menimbulkan penyakit paru-paru yang akan melemahkan daya tahan tubuh

balita.

Hal tersebut didukung ketika peneliti menyebar kuesioner kepada responden

mengenai anggota keluarga yang merokok. Sebagian kecil anggota keluarga yang

tidak merokok. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis pada kelompok kasus

sebanyak 7 responden (23,3%) tidak merokok dan pada kelompok kontrol

sebanyak 9 responden (30,0%) yang merokok.

Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 7 responden (23,3%) tidak merokok

namun pernah mengalami ISPA dikarenakan anggota keluarga yang masih belum

menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Meskipun keluarga tersebut tidak

merokok tetapi kondisi hygiene dan sanitasi rumah masih kurang baik. Sehingga

dapat menjadi tempat berkembangbiaknya bibit penyakit. Lingkungan rumah

yang kotor akan mendukung agent penyakit untuk hidup.

Anggota keluarga balita sebanyak 9 (30,0%) merokok namun tidak pernah

menderita ISPA hal tersebut dikarenakan anggota keluarga biasanya merokok

81
diluar rumah. Dengan merokok diluar rumah dan menjauh dari balita akan

mengurangi balita terserang ISPA.

Dari hasil penelitian sebagian besar anggota keluarga responden di Desa

Pulung Merdiko merokok. Sehingga banyak penderita ISPA balita. Maka dari itu,

diharapkan kepada responden untuk tidak merokok didalam rumah dan tidak

merokok disekitar balita.

Keterbatasan Penelitian

1. Penelitian untuk menggunakan kuesioner merokok kemungkinan terjadi

bias informasi karena jawaban responden tidak jujur. Namun peneliti

mengatasi bias dengan melakukan crosscek dengan tetangga responden.

82
BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 60 responden di desa Pulung

Merdiko diketahui bahwa :

1. Kepadatan hunian kamar sebagian besar 51.7% tidak memenuhi syarat. Jenis

lantai 53.3% tidak memenuhi syarat. Jenis dinding 56.7% tidak memenuhi

syarat. Pencahayaan sebagian kecil 48.3% tidak memenuhi syarat. Langit-

langit rumah sebagian besar 51.7% tidak memenuhi syarat. Serta anggota

keluarga merokok sebanyak 53.3% merokok.

2. Ada hubungan antara kepadatan hunian kamar tidur dengan kejadian infeksi

saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di Desa Pulung Merdiko

Ponorogo (p=0,002 ; OR = 6,41 ; CI95% = 2,08 – 19,7).

3. Ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian infeksi saluran pernapasan

akut (ISPA) pada balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo (p= 0,020 ; OR =

4,03 ; CI95% = 1,37 – 11,83)

4. Ada hubungan antara jenis dinding dengan kejadian infeksi saluran

pernapasan akut (ISPA) pada balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo

(p=0,004 ; OR = 5,6 ; CI95% = 1,84 – 17,49)

5. Ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian infeksi saluran

pernapasan akut (ISPA) pada balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo

(p=0,010 ; OR = 4,6 ; CI95% = 1,57 – 13,86)

83
6. Ada hubungan antara langit-langit rumah dengan kejadian infeksi saluran

pernapasan akut (ISPA) pada balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo

(p=0,010 ; OR = 4,6 ; CI95% = 1,57 – 13,86)

7. Ada hubungan antara anggota keluarga merokok dengan kejadian infeksi

saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di Desa Pulung Merdiko

Ponorogo (p= 0,001 ; OR = 7,6 ; 95%CI = 2,42 – 24,24)

Saran

1. Bagi Responden / Masyarakat

Untuk mencegah terjadinya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada

balita hal-hal berikut ini dapat dilakukan :

a. Balita satu dengan balita lain dipisahkan antar kamar

b. Selalu memelihara, membersihkan dinding dan lantai

c. Menambahkan genting kaca dan selalu membuka ventilasi

d. Tidak merokok didalam rumah dan didekat balita

2. Bagi Instansi Pemerintah dan Kesehatan

Melakukan penyuluhan kesehatan dengan mengikutsertakan kader, bagian

kesehatan lingkungan, kader posyandu, perangkat desa, dll sebagai tujuan

untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat di dibidang kesehatan

lingkungan. Khususnya tentang penyehatan lingkungan pemukiman/

perumahan/ sanitasi rumah, terutama pencegahan infeksi saluran pernapasan

(ISPA) pada balita.

84
3. Bagi Peneliti Lain

Diharapkan peneliti selanjutnya untuk menambahkan variabel seperti

ventilasi, kelembaban, suhu, penggunaan kayu bakar, penggunaan obat

nyamuk bakar. Kemudian menggunakan analisis multivariat dengan metode

penelitian case control atau cohort.

85
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi.UF 2012.Dasar-dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta: Rajawali


Pers

Ardianasari, Eiyta. 2016. Buku Pintar Mencegah dan Mengobati Penyakit Bayi &
Anak.Jakarta: Bestari

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan


Dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI

Cahyono, Tri. 2017. Penyehatan Udara. Yogyakarta: ANDI

Chandra, Budiman. 2009. Ilmu Kedokteraan Pencegahan dan Imunitas. Jakarta:


Buku Kedokteran EGC

Cindi Astuti. 2017. Hubungan Perilaku Keluarga dengan Kejadian ISPA pada
Balita di Desa Cijati Kecamatan Cimanggu Kabupaten Cilacap. Universitas
Muhammadiyah Purwokerto

Departemen Kesehatan RI. 1999. Kepmenkes RI No.829 Tahun 1999 tentang


Persyaratan Kesehatan Perumahan. Jakarta

Moh, Toyib. 2016. Daftar Isian Tingkat Perkembang Desa Pulung Merdiko dan
Kelurahan. Desa Pulung Merdiko

Fitriawati D. 2013. Hubungan antara tingkat keparahan ISPA pada balita usia 0-
5 tahun dengan persepsi orang tua terhadap kerentanan anak (prental
perception of child vulnerability) di Puskesmas Porong Kabupaten Sidoarjo
(skripsi). Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Gunawan. 2010. Pencegahan dan Penanggulangannya. Semarang: Dinkes


Provinsi Jawa Tengah

Heryanto Eko. 2016. Hubungan Status Imunisasi, Status Gizi, Dan Asi Eksklusif
dengan Kejadian Ispa Pada Anak Balita Di Balai Pengobatan Uptd Puskesmas
Sekar Jaya Kabupaten Ogan Kom Ering Ulu. Stikes Al-Ma’arif Baturaja

Irianto, Koes. 2014. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: Alfabeta

Julia, dkk. 2017. Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Kebiasaan Orang Tua
dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah kerja Puskesmas Traji
Kabupaten Temanggung. Universitas Pekalongan

86
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia tahun
2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia tahun


2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia tahun


2016. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten


Ponorogo Tahun 2016. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. RISKESDAS 2013. Jakarta: Badan


Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang


Persyaratan Rumah

Khrisna, A. 2013.Mengenali Keluhan Anda. Jakarta: Informasi Medika

Liawati, Eulis. 2015. Modul Kuliah Statistik Deskriptif. Stikes Bhakti Husada
Mulia Madiun

Marimbi, Hanum. 2010. Tumbuh Kembang, Status Gizi & Imunisasi Dasar pada
Balita. Yogyakarta: Nuha Medika

Marten dkk. 2017. Hubungan antara Kondisi Fisik Rumah dan Tingkat
Pendapatan Keluarga dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Marinsouw
dan Pulisan Kabupaten Minahasa Utara. Universitas Sam Ratulangi

Mubarak, Wahit Iqbal, Chayatin, Nurul. 2009. Ilmu Kesehatan Masyarakat :


Teori dan Aplikasi. Jakarta. Salemba Medika

Mundiatun dan Daryanto. 2018. Sanitasi Lingkungan (Pendidikan Lingkungan


Hidup). Yogyakarta: Gava Media

Mumpuni, Yekti. 2016. 45 Penyakit yang Sering Hinggap pada Anak.


Yogyakarta: Rapha Publishing

Nasihatun, Ika. 2016. Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Praktek Merokok
Orang Tua dengan Kejadian ISPA pada Anak Balita. Universitas
Muhammadiyah Semarang

Notoatmodjo, Soekidjo. 2011. Kesehatan MasyarakatIlmu dan Seni.Jakarta:


Rineka Cipta

87
Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta

Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan. Jakarta: Salemba

Patmawati D dan Kadrianti.2016. Faktor Risiko lingkungan Fisik Rumah dengan


Kejadian ISPA Balita di Kelurahan Polewali Mandar. Universitas Al Asyariah
Mandar

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1077/Menkes/Per/V/2011 tentang


Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah

Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo. Profil Puskesmas Pulung 2017. Ponorogo:


Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo

Rosjidi, CH. 2015. Panduan Penyusunan Proposal dan laporan Penelitian untuk
Mahasiswa Kesehatan
.
Ronny dan Dedi MS. 2015.Suhu,Kelembaban dan Pencahayaan sebagai Faktor
Risiko Kejadian Penyakit ISPA pada Balita di Kecamatan Balaesang
Kabupaten Donggala. Politeknik Kesehatan Palu

Rudianto. 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gejala Infeksi Saluran


Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di 5 Posyandu Desa Tamansari
Kecamatan Pangkalan Karawang Tahun 2013. Skripsi.FKIK Universitas
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Safrizal, SA. 2017. Hubungan ventilasi, dinding, dan atap dengan kejadian ISPA
pada balita di Blang Muko. Universitas Teuku Umar

Saryono. 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jogjakarta: Mitra Cendikia

Sofia. 2017. Faktor Risiko Lingkungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar. Politeknik
Kesehatan Kemenkes Aceh

Standar Nasional Indonesia. Pengukuran Intensitas Penerangan di Tempat Kerja


SNI 16-7062-2004. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional (BSN)

Tri, Badar, dan Kusuma. 2016. Faktor Risiko Kejadian ISPA pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Sukoharjo. Universitas Muhammadiyah Surakarta

Untari, Ida. 2017. 7 Pilar Utama Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta:


Thema Publising

88
Yasril dan Heru.2009. Teknik Sampling untuk Penelitian Kesehatan.Yogyakarta:
Graha Ilmu

Wantania JM, Naning R, Wahani A. 2012. Infeksi respiratori akut. Dalam:


Buku ajar respirologi anak IDAI. Jakarta: EGC

Widjaja, Anton. 2003. Penanganan ISPA pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara
Berkembang. Jakarta: Kedokteran EGC

William Winardi. 2015. Hubungan Antara Kondisi Lingkungan Rumah


Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja
Puskesmas Sario Kecamatan Sario Kota Manado. Universitas Sam Ratulangi

Wahyono.2008. Pola Pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut Anak Usia


Dibawah Lima Tahun (Balita) Rawat Jalan di Puskesmas Purwareja Klampok
Kabupaten Banjarnegara. Majalah Farmasi Indonesia

89
LAMPIRAN 1 IJIN PENELITIAN

90
LAMPIRAN 2 BALASAN DINAS KESEHATAN PONOROGO

91
LAMPIRAN 3 BALASAN KESBANGPOL PONOROGO

92
LAMPIRAN 4 KETERANGAN SELESAI PENELITIAN

93
LAMPIRAN 5 FORM KOMUNIKASI

94
LAMPIRAN 6 INFORMED CONSENT

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

(Informed Consent)

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Umur :

Jenis kelamin :

Alamat :

Setelah mendapat kejelasan serta mengetahui manfaat penelitian dengan

judul “Hubungan antara kesehatan lingkungan rumah dengan kejadian infeksi

saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di desa Pulung Merdiko Ponorogo”.

Saya menyatakan setuju diikutsertakan dalam penelitian ini dengan catatan bila

sewaktu-waktu dirugikan dalam bentuk apapunberhak membatalkan persetujuan.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa tekanan pihak

manapun.

Ponorogo, 2018

Responden

95
LAMPIRAN 7 KUESIONER

KUESIONER PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA KESEHATAN LINGKUNGAN RUMAH DENGAN

KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA

BALITA DI DESA PULUNG MERDIKO PONOROGO

No. Responden :
Status : Kasus Kontrol
Identitas Anak :
1. Umur balita : Bulan
2. Jenis Kelamin : L/P
Identitas Responden :
1. Umur : Tahun
2. Pendidikan :
a. SD
b. SMP/Sederajat
c. SMA/Sederajat
d. Perguruan tinggi
3. Pekerjaan :
Petunjuk : Isilah pertanyaan dibawah ini dengan tanda silang (x) sesuai

dengan kondisi yang sebenarnya!

I. Kejadian ISPA

1. Apakah anak ibu pernah sakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA)?

a. Ya

b. Tidak

II. Anggota Keluarga Merokok

1. Apakah ada anggota keluarga ibu yang merokok?

96
a. Ya

b. Tidak

2. Jika ya, sudah berapa lama anda merokok?..............Bulan

3. Berapa batang rokok yang dikonsumsi setiap hari?.............Batang

LEMBAR OBSERVASI

I. Kepadatan Hunian Kamar Tidur

Variabel Kriteria

1. Ukuran kamar................m2 ≥ 8 m2 untuk 2 orang

2. Jumlah penghuni.........orang <8 m2 untuk 2 orang

II. Jenis Lantai

Tanah Keramik Ubin Plester

III. Jenis Dinding

Kayu Batubata Batako

IV. Pencahayaan

Hasil pengukuran pencahayaan =.................lux

V. Langit-Langit Rumah (Plafon)

Ada Tidak

97
LAMPIRAN 8 OUTPUT DISTRIBUSI FREKUENSI

kejadian_ispa

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Kasus 30 50.0 50.0 50.0

Kontrol 30 50.0 50.0 100.0

Total
60 100.0 100.0

kepadatan_hunian_kamar

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid tidak memenuhi syarat 31 51.7 51.7 51.7

memenuhi syarat 29 48.3 48.3 100.0

Total
60 100.0 100.0

jenis_lantai

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid tidak memenuhi syarat 32 53.3 53.3 53.3

memenuhi syarat 28 46.7 46.7 100.0

Total
60 100.0 100.0

jenis_dinding

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid tidak memenuhi syarat 34 56.7 56.7 56.7

memenuhi syarat 26 43.3 43.3 100.0

Total
60 100.0 100.0

98
Pencahayaan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid tidak memenuhi syarat 29 48.3 48.3 48.3

memenuhi syarat 31 51.7 51.7 100.0

Total
60 100.0 100.0

langit_langit_rumah

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid tidak memenuhi syarat 31 51.7 51.7 51.7

memenuhi syarat 29 48.3 48.3 100.0

Total
60 100.0 100.0

kebiasaan_merokok

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid merokok 32 53.3 53.3 53.3

tidak merokok 28 46.7 46.7 100.0

Total
60 100.0 100.0

99
LAMPIRAN 9 ANALISIS BIVARIAT

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

kepadatan_hunian_kamar
60 100.0% 0 .0% 60 100.0%

* kejadian_ispa

kepadatan_hunian_kamar * kejadian_ispa Crosstabulation

kejadian_ispa

kasus kontrol Total

kepadatan_hunian_kama r tidak memenuhi syarat Count 22 9 31

Expected Count 15.5 15.5 31.0

%
73.3% 30.0% 51.7%
within
kejadian_ispa

memenuhi syarat Count 8 21 29

Expected Count 14.5 14.5 29.0

%
26.7% 70.0% 48.3%
within
kejadian_ispa

Total Count 30 30 60

Expected Count 30.0 30.0 60.0

%
100.0% 100.0% 100.0%
within
kejadian_ispa

Chi-Square Tests

100
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)

101
Pearson Chi-Square
11.279a 1 .001

Continuity Correctionb
9.611 1 .002

Likelihood Ratio
11.664 1 .001

Fisher's Exact Test


.002 .001
Linear-by-Linear Association
11.091 1 .001

N of Valid Casesb
60

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.50.

b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures

Value Approx. Sig.

Nominal by Nominal Contingency Coefficient .398 .001


N of Valid Cases
60

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for


kepadatan_hunian_kamar (tidak
6.417 2.084 19.755
memenuhi syarat /
memenuhi syarat)

102
For cohort kejadian_ispa =
2.573 1.368 4.836
kasus
For cohort kejadian_ispa =
.401 .221 .726
kontrol

N of Valid Cases
60

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

jenis_lantai * kejadian_ispa 60 100.0% 0 .0% 60 100.0%

jenis_lantai * kejadian_ispa Crosstabulation

kejadian_ispa

kasus kontrol Total

jenis_lantai tidak memenuhi syarat Count 21 11 32

Expected Count 16.0 16.0 32.0

% within kejadian_ispa 70.0% 36.7% 53.3%

memenuhi syarat Count 9 19 28

Expected Count 14.0 14.0 28.0

% within kejadian_ispa 30.0% 63.3% 46.7%

Total Count 30 30 60

Expected Count 30.0 30.0 60.0

% within kejadian_ispa 100.0% 100.0% 100.0%

103
Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square
6.696a 1 .010

Continuity Correctionb
5.424 1 .020

Likelihood Ratio
6.829 1 .009

Fisher's Exact Test


.019 .010
Linear-by-Linear Association
6.585 1 .010

N of Valid Casesb
60

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.00.

b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures

Value Approx. Sig.

Nominal by Nominal Contingency Coefficient .317 .010


N of Valid Cases
60

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for jenis_lantai


(tidak memenuhi syarat / 4.030 1.372 11.839
memenuhi syarat)

104
For cohort kejadian_ispa =
2.042 1.128 3.697
kasus
For cohort kejadian_ispa =
.507 .295 .871
kontrol

N of Valid Cases
60

105
Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

jenis_lantai * kejadian_ispa 60 100.0% 0 .0% 60 100.0%

jenis_lantai * kejadian_ispa Crosstabulation

kejadian_ispa

kasus kontrol Total

jenis_lantai tidak memenuhi syarat Count 21 11 32

Expected Count 16.0 16.0 32.0

% within kejadian_ispa 70.0% 36.7% 53.3%

memenuhi syarat Count 9 19 28

Expected Count 14.0 14.0 28.0

% within kejadian_ispa 30.0% 63.3% 46.7%

Total Count 30 30 60

Expected Count 30.0 30.0 60.0

% within kejadian_ispa 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square
6.696a 1 .010

Continuity Correctionb
5.424 1 .020

Likelihood Ratio
6.829 1 .009

106
Fisher's Exact Test
.019 .010

Linear-by-Linear Association
6.585 1 .010

N of Valid Casesb
60

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.00.

b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures

Value Approx. Sig.

Nominal by Nominal Contingency Coefficient .317 .010


N of Valid Cases
60

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for jenis_lantai


(tidak memenuhi syarat / 4.030 1.372 11.839
memenuhi syarat)
For cohort kejadian_ispa =
2.042 1.128 3.697
kasus

For cohort kejadian_ispa =


.507 .295 .871
kontrol

N of Valid Cases
60

107
Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

pencahayaan
60 100.0% 0 .0% 60 100.0%
*
kejadian_ispa

pencahayaan * kejadian_ispa Crosstabulation

kejadian_ispa

kasus kontrol Total

pencahayaan tidak memenuhi syarat Count 20 9 29

Expected Count 14.5 14.5 29.0

% within kejadian_ispa 66.7% 30.0% 48.3%

memenuhi syarat Count 10 21 31

Expected Count 15.5 15.5 31.0

% within kejadian_ispa 33.3% 70.0% 51.7%

Total Count 30 30 60

Expected Count 30.0 30.0 60.0

% within kejadian_ispa 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square
8.076a 1 .004

Continuity Correctionb
6.674 1 .010

108
Likelihood Ratio
8.268 1 .004

Fisher's Exact Test


.009 .005

Linear-by-Linear Association
7.941 1 .005

N of Valid Casesb
60

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.50.

b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures

Value Approx. Sig.

Nominal by Nominal Contingency Coefficient .344 .004


N of Valid Cases
60

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for pencahayaan


(tidak memenuhi syarat / 4.667 1.571 13.866
memenuhi syarat)
For cohort kejadian_ispa =
2.138 1.214 3.764
kasus

For cohort kejadian_ispa =


.458 .253 .830
kontrol

N of Valid Cases
60

109
Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

langit_langit_rumah
60 100.0% 0 .0% 60 100.0%

* kejadian_ispa

langit_langit_rumah * kejadian_ispa Crosstabulation

kejadian_ispa

kasus kontrol Total

langit_langit_rumah tidak memenuhi syarat Count 21 10 31

Expected Count 15.5 15.5 31.0

% within kejadian_ispa 70.0% 33.3% 51.7%

memenuhi syarat Count 9 20 29

Expected Count 14.5 14.5 29.0

% within kejadian_ispa 30.0% 66.7% 48.3%

Total Count 30 30 60

Expected Count 30.0 30.0 60.0

% within kejadian_ispa 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square
8.076a 1 .004

Continuity Correctionb
6.674 1 .010

110
Likelihood Ratio
8.268 1 .004

Fisher's Exact Test


.009 .005

Linear-by-Linear Association
7.941 1 .005

N of Valid Casesb
60

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.50.

b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures

Value Approx. Sig.

Nominal by Nominal Contingency Coefficient .344 .004


N of Valid Cases
60

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for


langit_langit_rumah (tidak
4.667 1.571 13.866
memenuhi syarat /
memenuhi syarat)
For cohort kejadian_ispa =
2.183 1.205 3.955
kasus

For cohort kejadian_ispa =


.468 .266 .823
kontrol

N of Valid Cases
60

111
Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

kebiasaan_merokok
60 100.0% 0 .0% 60 100.0%

* kejadian_ispa

kebiasaan_merokok * kejadian_ispa Crosstabulation

kejadian_ispa

kasus kontrol Total

kebiasaan_merokok merokok Count 23 9 32

Expected Count 16.0 16.0 32.0

% within kejadian_ispa 76.7% 30.0% 53.3%

tidak merokok Count 7 21 28

Expected Count 14.0 14.0 28.0

% within kejadian_ispa 23.3% 70.0% 46.7%

Total Count 30 30 60

Expected Count 30.0 30.0 60.0

% within kejadian_ispa 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square
13.125a 1 .000

112
Continuity Correctionb
11.317 1 .001

Likelihood Ratio
13.663 1 .000

Fisher's Exact Test


.001 .000
Linear-by-Linear Association
12.906 1 .000

N of Valid Casesb
60

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.00.

b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures

Value Approx. Sig.

Nominal by Nominal Contingency Coefficient .424 .000


N of Valid Cases
60

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for


kebiasaan_merokok 7.667 2.424 24.245
(merokok / tidak merokok)
For cohort kejadian_ispa =
2.875 1.461 5.659
kasus

For cohort kejadian_ispa =


.375 .207 .679
kontrol

N of Valid Cases
60

113
LAMPIRAN 10. DOKUMENTASI

Gambar 1. Pengisian kuesioner oleh responden

Gambar 2. Pengisian kuesioner oleh peneliti

114
Gambar 3. Pengukuran pencahayaan

Gambar 4. Salah satu hasil pengukuran pencahayaan

115
Gambar 5. Pengukuran luas kamar

Gambar 6. Kondisi jenis lantai rumah

116
Gambar 7. Kondisi jenis dinding

Gambar 8. Kondisi langit-langit rumah

117
118

Anda mungkin juga menyukai