Anda di halaman 1dari 176

SKRIPSI

FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN


KEJADIAN KUSTA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS WONOASRI KABUPATEN MADIUN

Oleh :

HETTY APRILIANA

NIM : 201503023

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2019
SKRIP

FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN


KEJADIAN KUSTA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS WONOASRI KABUPATEN MADIUN

Diajukan untuk memenuhi


Salah satu persyaratan dalam mencapai gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM)

Oleh :

HETTY APRILIANA

NIM : 201503023

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2019

i
i
i
LEMBAR PERSEMBAHAN

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala berkat, nikmat, dan rahmat-Nya
yang telah kekuatan, dan kesempatan menggenggam ilmu sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya kecil ini. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan maka apabila telah selesai (dari suatu urusan) kerjakanlah dengan
sungguh – sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada Tuhanlah hendaknya
kamu berharap (Qs. Alam Nasyrah: 7,9). Dengan seiring rasa
syukurku,kupersembahkan karya kecil ini kepada orang – orang tercinta dan rasa
terima kasih untuk:
1. Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya

kepada penulis, sehingg mampu menyelesaikan karya ini dengan baik.

2. Kedua orang tuaku tercinta yang tidak pernah hentinya selama ini

memberiku semangat, doa, dorongan, nasehat dan kasih saying yang tak

tergantikan hingga aku kuat menjalani setiap rintangan yang ada.

3. Untuk sahabat – sahabatku yang sama – sama berjuang yang tidak bosan

mengingatkan dan member semangat satu sama lain.

4. Untuk teman – temanku Kesehatan Masyarakat angkatan 2015 terima kasih

atas segala dukungannya, motivasi sehingga tersusunlah skripsi ini.

5. Untuk dosen pembimbing dan ilmunya yang telah memberikan coretan

terindah sehingga saya bisa menyelesaikan karya kecil ini dengan baik.

v
v
DAFTAR RIWAYAT

Nama : Hetty Apriliana


Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Madiun, 23 April 1997
Agama : Islam
Alamat : Jalan Kerto Manis No 33 Perumahan Maniserjo 1 Kota
Madiun
Email : Hetty.Apriliana@yahoo.com
Riwayat Pendidikan : 1. Lulusan TK Candra Switama Tahun 2003

2. Lulusan SD Negeri 02 Demangan Tahun 2009


3. Lulusan SMP Negeri 10 Kota Madiun Tahun
2012
4. Lulusan SMA Negeri 6 Kota Madiun Tahun 2015
5. STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun Tahun 2015-
sekarang

v
PROGRAM STUDI KESEHATAN
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN 2019

ABSTRAK
Hetty Apriliana
FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
KUSTA DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS WONOASRI KABUPATEN
MADIUN
113 halaman + 40 tabel + 8 gambar + 12 lampiran

Latar belakang:Indonesia menempati jumlah insiden kusta tertinggi nomor 3 di dunia


dengan jumlah kasus 16.826 penderita. Kasus di provinsi Jawa Timur pada tahun 2016
ditemukan kasus baru penderita kusta sebanyak 4.058 penderita. Dari data Dinas
Kesehatan Kabupaten Madiun untuk wilayah kerja Puskesmas Wonoasri diperoleh
jumlah kasus Kusta pada tahun 2018 jumlah kasus 35 penderita.

Tujuan penelitian: Mengetahui Faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian


kusta diwilayah kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

Metode penelitian: Desain penelitian ini menggunakan pendekatan case control dalam
menentukan sampel dengan menggunakan teknik Probabality Sampling dengan jenis
Simple Random Sampling. Jumlah sampel penelitian sejumlah 60 responden.

Hasil penelitian:Terdapat hubungan antara riwayat kontak p= 0,026 (95% CI= 1,320 –
14,504), kelembaban p= 0,006 (95% CI= 1,667 – 16,515), luas ventilasi p = 0,041 (95%
CI= 1,203 – 15,605), jenis dinding p= 0,004 (95% CI= 1,890 – 19,043), jenis lantai p=
0,030 (95% CI= 1,272 – 12,578), status ekonomi p= 0,009(1,612 – 15,071), status
pekerjaan p= 0,016 (95% CI= 1,452 – 14,389) dengan kejadian penyakit kusta.

Kesimpulan: Penyakit kusta dapat menular dengan sangat mudah terutama pada kondisi
rumah yang memenuhi syarat dan status ekonomi, pekerjaandan riwayat kontak yang
masih berisiko.

Kata Kunci:Kejadian Kusta,Jenis Dinding,Status Ekonomi

Kepustakaan: 43 (2007 – 2018)

vi
STUDY PROGRAM PUBLIC

ABSTRACT
Hetty Apriliana
THE RELATED FACTORS WITH LEPROSY IN WONOASRI PRIMARY
HEALTH CENTERS IN MADIUN REGENCY
113 pages+ 40 Tables + 8 Pictures + 12 Attachments

Background: Indonesia occupies the highest leprosy incidence number 3 in the


world by the number of cases of 16,826 sufferers. Cases in East Java province in
the year 2016 found new cases of 4,058 sufferers as much as lepers. From
Madison County health service data for work-area Clinics Wonoasri obtained the
number of cases of leprosy in 2018 the number of cases of 35 sufferers.

Research objectives: knowing the Factors – factors that are associated with the
incidence of leprosy relic in Madiun Regency Wonoasri public health work.

Research methods: the design of this research using an approach case-control in


determining the sample by using the technique of Sampling Probabality with this
type of Simple Random Sampling. The number of samples of research a number
of 60 respondents.

Research results: there is a relationship between the contact history p = 0.026


(95% CI = 1.320 – 14.504) humidity p = 0.006 (95% CI = 1.667 – 16.515),
extensive ventilation p = 0.041 (95% CI = 1.203 – 15.605), a type of wall p =
0.004 (95% CI = 1.890 – 19.043), a type of floor p = 0.030 (95% CI = 1.272 –
12.578), economic status p = 0.009 (1,612 – 15.071),employment status p = 0.016
(95% CI = 1.452 – 14.389) with the incidence of leprosy.
Conclusion: leprosy can be transmitted very easily especially on home conditions
and economic status, pekerjaandan the contact history is still risky.

Keywords: incidence of Leprosy, this type of wall, the Economic

Literature: 43 (2007 – 2018)

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
limpahan Rahmat, Ridho’ dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi dengan baik dan lancar.

Dalam penyusunan skripsi ini banyak pihak yang memberi dukungan sebagai
penyempurnaan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapakan terima kasih yang sebesarnya kepada :

1. Bapak Zaenal Abidin, S.KM., M.Kes (Epid) selaku Ketua STIKES Bhakti
Husada Mulia Madiun dan selaku Pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan dan motivasi dalam penyusunan skripsi.
2. Ibu Avicena Sakufa Marsanti, S.KM., M.Kes selaku Ketua Prodi S1
Kesehatan Masyarakat STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun yang telah
memberikan sarana dan prasarana untuk peneliti dan selaku Pembimbing I
yang telah memberikan bimbingan dan motivasi dalam penyusunan skripsi.
3. Ibu Hanifah Ardiani, S.KM., M.KM selaku Ketua Dewan Penguji skripsi.
4. Seluruh staf Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun yang telah menerima
dan membantu saya dalam melakukan pengumpulan data.
5. Teman-teman yang telah memberikan mendukung dan membantu dalam
menyelesaikanl skripsi ini.
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan
memberikan manfaat bagi pembaca serta perkembangan dunia pendidikan
kesehatan di masa yang akan datang.

Madiun, Juli 2019

Penulis

x
DAFTAR ISI

Sampul Depan...........................................................................................................i
Sampul Dalam..........................................................................................................ii
Lembar Persetujuan................................................................................................iii
Lembar Pengesahan................................................................................................iv
Lembar Persembahan...............................................................................................v
Halaman Pernyataan...............................................................................................vi
Daftar Riwayat Hidup............................................................................................vii
Abstrak..................................................................................................................viii
Kata Pengantar.........................................................................................................x
Daftar Isi.................................................................................................................xi
Daftar Tabel..........................................................................................................xiv
Daftar Gambar.......................................................................................................xvi
Daftar Lampiran...................................................................................................xvii
Daftar Singkatan.................................................................................................xviii
Daftar Istilah.........................................................................................................xix

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang..................................................................................1
1.2
Rumusan Masalah.............................................................................6
1.3
Tujuan Penelitian..............................................................................6
1.3.1 Tujuan Umum.......................................................................6
1.3.2 Tujuan Khusus......................................................................6
1.4 Manfaat Penelitian............................................................................8
1.5 Keaslian Penelitian...........................................................................9
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Kusta.............................................................................11
2.2 Proses Deteksi dan Identifikasi Penyakit Kusta.............................12
2.3 Klasifikasi Kusta.............................................................................13
2.4 Epidemiologi..................................................................................14
2.5 Cara Penularan................................................................................15

x
2.6
Tanda-tanda Gejala Kusta..............................................................16
2.7
Pengobatan dan Pengendalian Pengobatan.....................................17
2.7.1 Pengobatan..........................................................................17
2.7.2 Pengendalian Pengobatan...................................................19
2.8 Reaksi Kusta...................................................................................20
2.9 Upaya Pencegahan Kusta...............................................................21
2.9.1 Pencegahan Primer.............................................................21
2.9.2 Pencegahan Sekunder.........................................................22
2.9.3 Pencegahan Tersier.............................................................23
2.10 Faktor yang Menyebabkan Kejadian Kusta....................................26
2.10.1 Agent...................................................................................26
2.10.2 Host.....................................................................................27
2.10.3 Environment........................................................................28
2.11 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Kusta.............30
2.11.1 Faktor Host.........................................................................30
2.11.2 Faktor Agent........................................................................35
2.11.3 Faktor Environment............................................................35
2.12 Kondisi Fisik Rumah......................................................................41
2.12.1 Definisi Rumah Sehat.........................................................41
2.12.2 Syarat-syarat Rumah Sehat.................................................42
2.13 Kerangka Teori...............................................................................48
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL dan HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual.....................................................................49
3.2 Hipotesis Penelitian........................................................................50
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian............................................................................52
4.2 Populasi dan Sampel.......................................................................54
4.2.1 Populasi...............................................................................54
4.2.2 Sampel................................................................................54
4.3 Teknik Sampling.............................................................................57
4.4 Kerangaka Kerja Penelitian............................................................58
4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel..................60
4.5.1 Variabel Penelitian..............................................................60
4.5.2 Definisi Operasional Variabel............................................60
4.6 Instrumen Penelitian.......................................................................64
4.6.1 Kuesioner............................................................................64
4.6.2 Observasi............................................................................64
4.6.3 Wawancara.........................................................................64
4.6.4 Pengukuran.........................................................................65
4.6.5 Uji Validitas........................................................................66
4.6.6 Uji Reliabilitas....................................................................67
4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian..........................................................68
4.8 Jenis Data........................................................................................69
4.8.1 Data Primer.........................................................................69
4.8.2 Data Sekunder.....................................................................69

4.9 Teknik Pengolahan Data.................................................................69


x
4.10 Analisis Data...................................................................................71
4.10.1 Analisis Univariat...............................................................71
4.10.2 Analisis Bivariat.................................................................71
4.11 Etika Penelitian...............................................................................73
4.11.1 Lembar Persetujuan (Informed Consent)............................73
4.11.2 Tanpa Nama (Anonimity)....................................................73
4.11.3 Kerahasiaan (Confidentiality).............................................74
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum...........................................................................75
5.1.1 Letak dan Batas-Batas Wilayah..........................................75
5.1.2 Kependudukan/Demografi..................................................77
5.1.3 Taraf Tingkat Pendidikan...................................................78
5.2 Karakteristik Responden.................................................................78
5.2.1 Jenis kelamin......................................................................78
5.2.2 Pendidikan..........................................................................79
5.2.3 Kejadian Kusta....................................................................79
5.2.4 Umur...................................................................................79
5.3 Hasil penelitian...............................................................................80
5.3.1 Hasil Univariat....................................................................80
5.3.2 Hasil Bivariat......................................................................82
5.4 Pembahasan....................................................................................87
5.4.1 Hubungan Riwayat Kontak dengan Kejadian Kusta..........89
5.4.2 Hubungan Kelembaban dengan Kejadian Kusta................91
5.4.3 Hubungan Luas Ventilasi dengan Kejadian Kusta.............93
5.4.4 Hubungan Jenis Dinding dengan Kejadian Kusta..............96
5.4.5 Hubungan Jenis Lantai Dengan Kejadian Kusta................98
5.4.6 Hubungan Status Ekonomi Dengan Kejadian Kusta........101
5.4.7 Hubungan Status Pekerjaan Dengan Kejadian Kusta.......103
5.5 Keterbatasan Penelitian................................................................105

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN


6.1 Kesimpulan...................................................................................106
6.2 Saran.............................................................................................108

DAFTAR PUSTAKA

x
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian................................................................. 9


Tabel 2.1 Tanda Utama Kusta Pada Tipe PB dan MB ........................... 14
Tabel 2.2 Efek Samping Obat Multi Drug Therapy dan Penangannya.. 19
Tabel 2.3 Perbedaan Antara Reaksi Kusta Tipe I dan Tipe II................ 21
Tabel 4.1 Nilai Odds Ratio Beberapa Faktor Kejadian Kusta ............... 55
Tabel 4.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi.................................................. 56
Tabel 4.3 Definisi Operasional Variabel................................................ 61
Tabel 4.4 Data Validitas Instrumen Penelitian....................................... 67
Tabel 4.5 Nilai Alpha Cronbach’s......................................................... 67
Tabel 4.6 Data Reliabilitas Instrumen Penelitian ................................... 68
Tabel 4.7 Realisasi Penelitian ................................................................ 68
Tabel 4.8 Coding .................................................................................... 70
Tabel 4.9 Analisi Bivariat ...................................................................... 72
Tabel 5.1 Luas Wilayah dan Jumlah Dusun per Desa Tahun 2017 ........ 75
Tabel 5.2 Jumlah KK dan Jumlah penduduk per Desa ........................... 77
Tabel 5.3 Klasifikasi Keadaan Pendapatan masyarakat Miskin ............. 77
Tabel 5.4 Tingkat Pendidikan Penduduk Tahun 2017 ............................ 78
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Di UPT Puskesmas Wonoasri 2019 ....................................... 78
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan
Di UPT Puskesmas Wonoasri 2019 ...................................... 79
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian
Kusta di UPT Puskesmas Wonoasri 2019............................. 79
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur

xi
di UPT Puskesmas Wonoasri 2019 ........................................ 79
Tabel 5.9 Distribusi Riwayat Kontak Responden Berdasarkan Kejadian
Kusta di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun....... 80
Tabel 5.10 Distribusi Kelembaban Responden Berdasarkan Kejadian
Kusta di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun....... 80
Tabel 5.11 Distribusi Luas Ventilasi Responden Berdasarkan Kejadian
Kusta di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun....... 81
Tabel 5.12 Distribusi Jenis Dinding Responden Berdasarkan Kejadian
Kusta di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun...... 81
Tabel 5.13 Distribusi Jenis Lantai Responden Berdasarkan Kejadian
Kusta di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun....... 81
Tabel 5.14 Distribusi Status Ekonomi Responden Berdasarkan Kejadian
Kusta di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun...... 82
Tabel 5.15 Distribusi Status Pekerjaan Responden Berdasarkan Kejadian
Kusta di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun...... 82
Tabel 5.16 Hubungan Riwayat Kontak dengan Kejadian Kusta.............. 83
Tabel 5.17 Hubungan Kelembaban dengan Kejadian Kusta ................... 84
Tabel 5.18 Hubungan Luas Ventilasi dengan Kejadian Kusta ................ 84
Tabel 5.19 Hubungan Jenis Dinding dengan Kejadian Kusta.................. 85
Tabel 5.20 Hubungan Jenis Lantai dengan Kejadian Kusta .................... 86
Tabel 5.21 Hubungan Status Ekonomi dengan Kejadian Kusta .............. 86
Tabel 5.22 Hubungan Status Pekerjaan dengan Kejadian Kusta ............. 86

x
DAFTAR

Gambar 2.1 Model 1 Segitiga Epidemiologi......................................... 28


Gambar 2.2 Model 2 Segitiga Epidemiologi......................................... 29
Gambar 2.3 Model 3 Segitiga Epidemiologi......................................... 29
Gambar 2.4 Kerangka Teori .................................................................. 48
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ............................................. 49
Gambar 4.1 Skema Case Control.......................................................... 53
Gambar 4.2 Kerangka Kerja Penelitian ................................................ 59
Gambar 5.1 Peta Wilayah Kecamatan Wonoasri ................................... 76

x
DAFTAR

Lampiran 1 Surat Izin Pengambilan Data Awal


Lampiran 2 Surat Balasan Pengambilan Data
Awal Lampiran 3 Surat Izin Penelitian
Lampiran 4 Surat Balasan Izin Penelitian
Lampiran 5 Kwitansi Pembayaran Penelitian di Puskesmas
Wonoari Lampiran 6 From Bimbingan Penelitian
Lampiran 7 Lembar Persetujuan Menjadi Responden
Lampiran 8 Lembar Kuesioner
Lampiran 9 Lembar Observasi
Lampiran 10 Hasil Output Validitas dan Reliabilitas
Lampiran 11 Hasil Output Univariat dan Bivariat
Lampiran 12 Dokumentasi Penelitian

xv
DAFTAR

AC : Air Conditioner
APHA : The American Public Health Association
BCG : Bacil Calmatte Guerine
ENL : Erytheam Nodusom Leprosum
MB : Multi Basier atau Kusta Basah
MH : Morbus Hansen
ML : Mycobacterium Leprae

OR : Odd Ratio
PB : Pausi Basiler atau Kusta Kering
PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
RFC : Relase Froam Control
RFT : Relase From Treatment
UMR : Upah Minimum Regional
WHO : Word Health
Organization

xvi
DAFTAR

Agent : Pembawa
Environment : Lingkungan
Eritematosa : Kemerahan Pada Kulit
Fragmented : Bentuk Pecah
Granular : Bentuk Berbutir - Butir
Hiperpigmentasi : Warna Kulit Menjadi Lebih Gelap
Hipopigmentassi : Warna Kulit Menjadi Lebih
Terang Host : Penjamu
Leprosy : Kusta
Multi Basier : Kusta Basah
Pausi Basiler : Kusta Kering
Relaps : Kambuh
Solid : Bentuk Utuh

xi
BAB
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit berbasis lingkungan merupakan penyakit yang proses

kejadiannya pada sebuah kelompok masyarakat yang memiliki keterkaitan

erat dengan satu atau lebih komponen lingkungan dalam sebuah ruang.

Laporan WHO menunjukkan bahwa faktor lingkungan berpengaruh secara

signifikan terhadap lebih dari 80% penyakit. Masalah kesehatan dan

penyakit berbasis lingkungan yang disebabkan oleh kondisi lingkungan

yang disebabkan oleh kondisi lingkungan yang memadai, baik kualitas

maupun kuantitasnya dapat menyababkan bebagai penyakit salah satunya

adalah penyakit kusta (WHO, 2017).

Penyakit Kusta adalah penyakit menular menahun yang menimbulkan

masalah yang sangat kompleks. Penyakit tersebut akan berdampak pada

kelangsungan hidup keluarga (Depkes RI, 2015). Kusta disebut juga Morbus

Hansen (MH) merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

leprae yang menyerang kulit. Dikenal ada dua macam tipe kusta yaitu tipe

MB (Multi Basier atau Kusta Basah) dan tipe PB (Pausi Basiler atau Kusta

Kering). Kusta tipe MB merupakan sumber penularan penyakit kusta,

namun cara penularan yang pasti belum diketahui. Penularan kusta secara

jelas masih belum diketahui tetapi sebagai besar dari peneliti menyimpulkan

bahwa penularan utama kusta yaitu melewati kulit, namun perlu kontak

1
2

yang akrab dan lama dengan penderita kusta hingga dapat terinfeksi

penyakit kusta (Fitra, 2013).

Penyakit kusta masih menjadi masalah, baik skala global maupun

nasional. Insiden kusta di berbagai benua pada tahun 2016 antara lain di

benua Afrika sebesar (19.384 kasus), di benua Amerika sebesar (27.356

kasus), di Mediterania Timur sebesar (2.834 kasus), di benua Asia Tenggara

(161.263) kasus dan di Pasifik Barat sebesar (3.914 kasus). Selain itu WHO

juga melaporkan bahwa Indonesia menempati jumlah insiden kusta tertinggi

nomor 3 di dunia dengan jumlah kasus sebesar (16.826 kasus) setelah India

(385.485 kasus) dan Brazil (25.281 kasus) (WHO, 2017).

Di Indonesia penyakit kusta masih menjadi masalah. Angka kejadian

kusta di Indonesia masih bisa diturunkan meskipun relatif lambat. Angka

prevalensi kusta di Indonesia dilaporkan 15.910 kasus (6,1%/ 100.000

penduduk). Sedangkan pada Provinsi Jawa Timur pada tahun 2016 angka

prevalensi penyakit kusta mengalami kenaikan 4.058 kasus (1,04%/ 10.000

penduduk). Khususnya Kabupaten Madiun menduduki urutan ke-19 dari 54

kasus penyakit kusta di jawa timur. Pada tahun 2017 Kabupaten Madiun

mengalami kenaikan dengan angka prevalensi 23 kasus (0,34/ 10.000

penduduk).

Di Kabupaten Madiun 2 peringkat teratas yang menduduki kasus kusta

yang tertinggi Puskesmas Balerejo dan Puskesmas Wonoasri. Peringkat ke-1

diduduki oleh Puskesmas Balerejo dengan 28 kasus (15%) di tahun 2017

dan 39 kasus (25%) ditahun 2018. Sedangkan Puskesmas Wonoasri yang


3

menduduki peringkat ke – 2 mempunyai kasus kusta 22 kasus (13,7%) di

tahun 2017 dan 35 kasus (22,9%) di tahun 2018. Peneliti mengambil kasus

di wilayah kerja Puskesmas Wonoasri dikarenakan kusta basah lebih

banyak dibandingkan kusta kering. Sedangkan, di wilayah kerja Puskesmas

Balerejo kusta basah lebih sedikit dibandingkan kusta kering. Sehingga,

penularan kusta yang paling beresiko di wilayah kerja Puskesmas Wonoasri.

Faktor resiko yang berhubungan dengan penyakit kusta adalah faktor

perilaku individu, lingkungan, pendapatan keluarga, riwayat kontak.

Kondisi sehat dapat dicapai dengan mengubah perilaku tidak sehat dan

menciptakan lingkungan sehat dirumah tangga. Perilaku hidup bersih dan

sehat (PHBS) merupakan pola keluarga yang memperhatikan dan menjaga

kesehatan seluruah anggota keluarga (Shilvia, 2014).

Kondisi fisik rumah sangat mempengaruhi kesehatan bagi penghuninya.

Rumah sehat adalah bangunan rumah tinggal yang memenuhi syarat

kesehatan yang terdiri dari komponen rumah, sarana sanitasi dan perilaku

antara lain yaitu memiliki jamban sehat, tempat pembuangan sampah,

sarana air bersih, saranan pembuangan air limbah, ventilasi baik, dan lantai

rumah tidak dari tanah (Profil Kesehatan Indonesia, 2016).

Di wilayah kerja Puskesmas Wonoasri pada kondisi fisik rumah masih

banyak yang kurang memenuhi syarat kesehatan. Jumlah rumah tangga yang

berperilaku hidup bersih dan sehat 2016 sebanyak 899 (48,7%) dan 2017

sebanyak 907 (67%) rumah tangga yang dikatagorikan sebagai rumah

tangga yang sehat dari 9.570 rumah yang dipantau. Cakupan rumah pada
4

masyarakat di Wonoasri dalam katagori belum memenuhi syarat dan lebih

rendah dari target nasional yaitu 80% (Depkes RI, 2015). Dapat

disimpulkan bahwa pencapaian rumah sehat di Puskesmas Wonoasri belum

100%, Keadaan ini diduga menjadi perkembangbiakan kuman kusta di

dalam rumah dan memungkinkan penularan penyakit dapat berlangsung

(Profil Puskesmas Wonoasri, 2017).

Faktor lingkungan dan faktor perilaku merupakan faktor paling

dominan terhadap tinggi rendahnya derajatnya kesehatan, oleh karena itu

lingkungan sehat dan perilaku sehat perlu diupayakan dengan sebenar-

benarnya. Lingkungan merupakan salah satu faktor paling penting dan

berpengaruh positif terhadapnya terwujudnya statsus kesehatan masyarakat.

Lingkungan merupakan faktor determinan dalam menularkan dan

memunculkan suatu penyakit, baik penyakit menular maupun tidak menular

(Shilvia, 2014).

Faktor lingkungan di masyarakat Wonoasri dalam katagori belum

memenuhi syarat. Mayoritas rumah masyarakat Wonoasri masih berlantai

tanah, ventilasi dan aliran udara kurang lancar, jenis dinding batu bata,serta

jumlah penghuni rumah lebih dari lima orang. Faktor lingkungan yang tidak

baik dapat memunculkan suatu penyakit.

Selain faktor lingkungan dan faktor perilaku yang merupakan faktor

paling dominan. Riwayat kontak juga sangat berpengaruh terhadap penyakit

kusta. Bila seseorang yang berhubungan dengan penderita kusta baik

serumah maupun tidak serumah. Sumber penularan kusta adalah kusta utuh
5

yang berasal dari penderita kusta, jadi penularan kusta lebih mudah terjadi

jika ada kontak langsung dengan penderita kusta (Imam Wahjoedi, 2016).

Penderita kusta di Wonoasri mayoritas bertempat tinggal satu rumah

dengan mereka yang belum terdeteksi penyakit kusta. Sehingga, dengan

adanya kontak langsung dengan penderita bakteri Mycobacterium leprae

dengan mudah masuk ke tubuh anggota keluarga yang belum terdeteksi

penyakit kusta.

Faktor ekonomi dan status pekerjaan berperan dalam kejadian kusta, hal

ini terbukti pada Negara-negara eropa. Peningkatan sosial ekonomi

berdampak pada penurunan kasus kusta. Kondisi ekonomi keluarga rendah

mempunyai resiko lebih besar menderita kusta dibandingkan dengan

seseorang yang kondisi ekonominya keluarganya baik. Jenis pekerjaan

diduga dapat mempengaruhi kejadian kusta (Shilvia, 2014).

Masyarakat Wonoasri mayoritas pekerjaannya sebagai petani, buruh

tani dan penghasilnya masih kurang dibawah UMR Kabupaten Madiun. Hal

tersebut, dapat dikatakan status ekonominya masih rendah. Status ekonomi

keluarga yang rendah mempunyai resiko yang lebih besar menderita kusta

dibandingkan dengan keluarga yang kondisi ekominya baik.

Dari permasalahan diatas maka perlu memperhatikan mata rantai

penularan penyakit kusta, penyakit kusta dapat diputuskan penularannya

melalui intervensi yang sesuai dan hal ini dapat dilakukan jika proses

terjadinya infeksi penyakit tersebut diketahui. Penyakit kusta bisa

dihentikan bila kondisi lingkungan, riwayat kontak harus diperbaiki dengan


6

tepat. Untuk instansi kesehatan sebaiknya memberikan pelayanan promotif

yang berkaitan dengan penyakit kusta seperti memberikan penyuluhan

mengenai pentingnya menciptakan dan memelihara rumah sehat serta

kegiatan penyisiran untuk menemukan penderita kasus baru.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis ingin melakukan penelitian

mengenai Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Kusta di

Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah

sebagai berikut “Apakah Ada Faktor-faktor yang Berhubungan dengan

Kejadian Kusta di wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten

Madiun?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun,

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi jenis lantai rumah pada kejadian kusta di

Wilayah Kerja Puskemas Wonoasri Kabupaten Madiun.

2. Mengidentifikasi jenis dinding rumah pada kejadian kusta di

Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

3. Mengidentifikasi luas ventilasi pada kejadian kusta di Wilayah

Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.


7

4. Mengidentifikasi kelembaban pada kejadian kusta di Wilayah

Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

5. Mengidentifikasi riwayat kontak pada kejadian kusta diwilayah

kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

6. Mengidentifikasi status ekonomi pada kejadian kusta diwilayah

kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

7. Mengidentifikasi status pekerjaan pada kejadian kusta diwilayah

kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

8. Menganalisis hubungan jenis lantai rumah dengan kejadian

kusta diwilayah kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

9. Menganalisis hubungan jenis dinding rumah dengan kejadian

kusta diwilayah kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

10. Menganalisis hubungan luas ventilasi rumah dengan kejadian

kusta diwilayah kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

11. Menganalisis hubungan kelembaban dengan kejadian kusta

diwilayah kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

12. Menganalisis hubungan riwayat kontak penderita dengan

kejadian kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri

Kabupaten Madiun.

13. Menganalisis hubungan status ekonomi dengan kejadian kusta di

Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

14. Mengalisis hubungan status pekerjaan dengan kejadian kusta di

Wilayah Kerja di Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.


8

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran

masyarakat khususnya pada masyarakat penderita kusta tentang

pentingnya menjaga kondisi fisik rumah yang memenuhi standart.

Serta, masyarakat yang tidak terdeteksi penyakit kusta

memperhatikan menjaga kebersihan diri agar tidak tertular penyakit

tersebut.

1.4.2 Bagi Instansi Puskesmas Wonoasri

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan

kepada puskesmas wonoasri tentang hasil penelitian penyakit kusta

kondisi fisik lingkungan rumah, riwayat kontak, status ekonomi.

1.4.3 Bagi STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun

Menambah referensi tentang faktor resiko yang berhubungan

dengan penularan penyakit kusta, dan dapat dijadikan bahan

masukan bagi penelitian selanjutnya.

1.4.4 Bagi Peneliti

Sebagai sumber referensi dan mengembangkan wawasan bagi

peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitian. Khususnya,

meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit

kusta.

1.5 Keaslian Penelitian

Beberapa hal Keaslian penelitian-penelitian sebelumnya sebagai berikut:


9

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian


JUDUL, NAMA,
TEMPAT DAN VARIABEL
NO METODE HASIL PENELITIAN
TAHUN PENELITIAN
PENELITIAN
1 Faktor risiko Jenis penelitian Variabel Ada hubungan antara
lingkungan ini adalah Bebas: kepadatan hunian (p-
kejadian kusta analitik Kepadatan value= 0.002), luas
(Siswanti, Yuni observasional hunian, luas ventilasi (P-value= 0.015),
Wijayanti, Kota dengan ventilasi, riwayat kontak (P-value=
Semarang pendekatan kebiasaan 0.002) dan status ekonomi
Tahun 2018) kasus-control. membuka (Pvalue= 0.002)
Dengan desain jendela, jenis
chi-square lantai, jenis
dinding,
riwayat
kontak, status
ekonomi.

Variabel
Terikat:
Faktor risiko
kejadian kusta

2 Sebaran Kasus Jenis penelitian Variabel Ada hubungann antara


Baru ini adalah Bebas: jenis lantai (P-value=
Berdasarkan analitik Jenis lantai, 0.846), ventilasi (P-value=
Faktor observasional ventilasi, 0.00), pencahayaan (P-
Lingkungan dengan pencahayaan, value= 0.430)
Dan sosial pendekatan pendapatan, Kelembapan (P-value=
ekonomi di kasus – control kepadatan 0.176), sumber air (P-
Kecamatan Case Control hunian, waktu value= 0.00), pendidikan
Konang Dan tempuh (P-value= 0.391),
Geger terhadap pekerjaan (P-value=
Kabupaten pelayanan 0.026), pendapatan (P-
Bangkalan kesehatan value= 0.511)
(Sri Nurcahyati, Kepadatan hunian (P-
Hari basuki, Variabel value= 0.037)
Arief Wibowo, terikat: Waktu tempuh (P-value=
Kejadian kusta 0.00)
Lanjutan tabel 1.1
Bangkalan
, Tahun
3 Faktor Risiko Jenis penelitian Variabel Status ekonomi (P-value=
Kejadian Kusta ini adalah Bebas: 0.001), kepadatan hunian
di Kabupaten analitik Status (P-value= 0.001), kondisi
Lamongan observasional ekonomi, lantai (P-value= 0.051),
(Aprizal, Lutfan dengan kepadatan sumber air bersih (P-
Lazuardi, pendekatan hunian, value= 0.033), riwayat
Lamongan, kasus – control kondisi lantai, kontak (P-value= 0.001),
Tahun 2017) Case Control sumber air kebiasaan penggunaan
bersih, riwayat sabun (P-value= 0.022),
kontak, menggunakan alas kaki (P-
kebiasaan value= 0.004)
1

JUDUL, NAMA,
TEMPAT DAN VARIABEL
NO METODE HASIL PENELITIAN
TAHUN PENELITIAN
PENELITIAN
penggunaan
sabun,
menggunakan
alas kaki

Beberapa hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-

penelitian sebelumnya adalah sebagai berikut:

1. Tempat Penelitian : Wilayah Kerja Puskesmas wonoasri, Kabupaten

Madiun.

2. Waktu Penelitian : Pada Tahun 2019.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Kusta

Penyakit Kusta atau lepra (Leprosy) atau disebut juga Morbus Hansen

adalah sebuah penyakit infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri

Mycobacterium leprae. Indonesia dikenal sebagai satu dari tiga negara yang

paling banyak memiliki penderita kusta. Dua negara lainnya adalah India

dan Brazil (Ayu, 2015).

Bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seseorang ahli fisika

Norwegja bernama Gehard Armauer Hansen, pada tahun 1873 lalu.

Umumnya penyakit kusta terdapat dinegara yang sedang berkembang, dan

sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah (Ayu,

2015).

Istilah kusta berasal dari bahasa sanserketa, yakti Kustha berarti

kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit ini diduga berasal dari

Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar keseluruh dunia lewat

perpindahan penduduk. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada

abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang datang ke

Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang. Pada tahun 1995

Organisasi Kesehatan (WHO) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta

jiwa yang cacat permanen karena kusta (Ayu, 2015).

Saat ini penyakit Leprae lebih disebut sebagai penyakit Hansen, bukan

hanya untuk menghargai jerih payah penemuannya, melainkan juga karena

11
1

kata Leprosy dan Leper mempunyai konotasi yang begitu negatif, sehingga

penamaan yang netral lebih diterapkan untuk mengurangi stigma sosail yang

seharusnya diderita oleh pasien kusta (Ayu, 2015).

Penyakit ini adalah tipe penyakit Granulomatosa pada saraf tepi dan

mukosa dari saluran pernapasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang

bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif,

menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata.

Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan

pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah (Ayu, 2015).

2.2 Proses Deteksi dan Identifikasi Penyakit Kusta

Bakteri Mycobacterium leprae memiliki bentuk yang berbeda-beda.

Bentuknya tidak bisa dilihat dengan kasat mata/ mata telanjang, kecuali

menggunakan mikroskop. Bentuk-bentuk Mycobacterium leprae yang dapat

ditemukan dalam pemeriksaan mikroskop sebagai berikut: (Ramadhan,

2016)

1. Bentuk utuh (Solid): Dinding sel bakteri tidak terputus, mengambil zat

warna secara sempurna. Jika terdapat daerah kosong/ transparan

dibagian tengah, juga dapat dikatakan solid.

2. Bentuk globus: Bentuk solid yang membentuk kelompok dapat dibagi 2

yaitu, globus besar terdiri (200-300 bakteri), globus kecil terdiri (40-60

bakteri).

3. Bentuk pecah (Fragmented): Dinding bakteri biasanya terputus

sebagian atau seluruhnya, tidak menyerab zat warna secara merata.


1

4. Bentuk berbutir-butir (Granular): Tampak seperti titik-titik yang

tersusun.

5. Bentuk clump: Bentuk granular yang membentuk kelompok tersendiri,

biasanya lebih dari 500 bakteri.

Bakteri Mycobacterium leprae tidak memiliki warna khusus, yang

berarti bakteri ini mudah diwarnai. Akan tetapi, apabila mewarnai akan

tahan terhadap dekolarasi oleh asam atau alkohol sehingga dinamakan

sebagai basil “Tahan Asam”. Bentuk dari bakteri Mycobacterium leprae

adalah berbentuk batang, sedangkan media perkembangbiakan bakteri tidak

ada (Ramadhan, 2016).

2.3 Klasifikasi Kusta

Klasifikasi penyakit kusta dibagi menjadi tipe Paucibacillary (PB) dan

Multibacillary (MB). Tipe Paucibacillary atau tipe kering memiliki bercak

atau warna keputihan, ukurannya kecil dan besar, batas tegas, dan terdapat

di suatu atau beberapa tempat dibadan (pipi, punggung, dada, ketiak, lengan,

pinggang, patat, paha, betis atau pada punggung kaki), dan permukaan

bercak tidak berkeringat. Kusta tipe ini jarang menular tetapi apabila tidak

segera diobati menyebabkan kecacatan (Depkes RI, 2006).

Tipe yang kedua yaitu Multibacillary atau tipe basah memiliki ciri-ciri

berwana kemerahan, tersebar merata diseluruh badan, kulit tidak terlalu

kasar, terjadi penebalan kulit dengan warna kemerahan, dan tanda awal

terdapat pada telinga dan wajah.


1

Tabel 2.1 Tanda Utama Kusta Pada Tipe PB dan MB


PAUCIBACILLARY MULTIBACILLARY
TANDA UTAMA (PB)/ KUSTA KERING (MB)/ KUSTA BASAH
Bercak Kusta Jumlah -5 Jumlah >5
Penebalan Syaraf tepiHanya 1 syaraf Lebih dari 1 syaraf
disertai gangguan fungsi
(mati rasa atau kelemahan
otot, didaerah yang
dipersarafi saraf yang
bersangkutan)
Kerokan Jaringan Kulit BTA negative BTA positif
Sumber: (Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit kusta, 2012).

2.4 Epidemiologi

Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan. Cara penularnnya

hanya berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui kontak langsung

antar kulit. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab Mycobacterium

leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam dropet (Hendra, Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia).

Masa tunasnya sangat bervaraisi, umurnya beberapa tahun, ada yang

mengatakan anatara 40 hari-40 tahun. Penyebaran kusta dari suatu benua

negeri dan tempat ke benua negeri dan tempat lain. Masuknya kusta ke

pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia diperkirakan terbawa oleh

orang-orang cina dropet (Hendra, Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia).

Faktor-faktor yang dipertimbangkan adalah pathogenesis kuman

penyebabnya, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan

varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan-perubahan

imunitas dan kemungkinan-kemungkinan adanya reservoir luar manusia.

Kusta bukan penyakit keturunan. Dapat menyerang semua umur anak-anak

lebih rentan dari pada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak


1

dibawah umur 14 tahun ± 13%, tetapi anak dibawah umur 5 tahun jarang

sekali. Sekarang ada usaha mencatat penderita yang dibawah umur 1 tahun

untuk dicari kemungkinan ada tidaknya kusta congenital dropet (Hendra,

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia).

Frekuensi tertinngi pada kelompok umur antara 25-35 tahun. Faktor

sosial ekonomi kiranya memegang peranan. Makin rendah sosial

ekonominya makin subur kusta dan sebaliknya. Faktor sosial ekonominya

tinggi membantu penyembuhan. Penyakit ini kebanyakan terdapat di daerah

tropis dan subtropics yang panas dan lembab dropet (Hendra, Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia).

Beberapa jumlah penderita kusta di dunia belum dapat diketahui pasti,

diperkirakan sekitar 15 juta. Penderita yang lebih banyak adalah di India,

kurang lebih 4 juta yang lebih terpusat di India bagian Selatan. Prevalensi

yang tertinggi ada di Afrika Tropis, sekitar 20-50 per seribu. Di Amerika

Selatan yang bebas kusta adalah Chili dan yang terbanyak adalah Brazil. Di

Indonesia sendiri diperkirakan prevalensi rata-rata 0,8 per seribu, juga tidak

merata yang tertinggi antara lain di Sulawesi Selatan dropet (Hendra,

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia).

2.5 Cara Penularan

Meskipun cara penularan yang pasti belum diketahui dengan jelas,

penularan di dalam rumah tangga dan kontak atau hubungan dengat dalam

waktu yang lama tampaknya sangat berperan dalam penularan kusta.


1

Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan

tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh

penderita, yaitu selaput lender hidung. Tetapi, ada yang mengatakan bahwa

penularan penyakit kusta:

1. Melalui sekresi hidung, basil yang berasal dari sekresi hidung penderita

yang sudah mongering, diluar masih dapat hidup 2-7 × 24 jam.

2. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur

15 tahun, keduanya memiliki kontak yang lama.

2.6 Tanda-tanda Gejala Kusta

Tanda-tanda seseorang menderita kusta antara lain:

1. Kulit mengalami bercak putih seperti panu, pada awalnya hanya sedikit

tetapi lama kelamaan semakin lebar dan banyak.

2. Adanya bintil-bintil kemerahan yang tersebar pada kulit.

3. Ada bagian tubuh yang tidak berkeringat.

4. Rasa kesemutan pada anggota badan atau bagian raut muka.

5. Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka

singa).

6. Mati rasa karena kerusakan syaraf tepi.

Gejalanya memang tidak terlalu nampak, justru sebaiknya waspada jika

anggota keluarga yang menderita luka tak berujng sembuh dalam jangka

waktu lama dan juga bila luka ditekan dengan jari tidak terasa sakit.

Kusta dikenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena

menyebabkan cacat tubuh. Namun, pada tahap awal kusta gejala yang
1

timbul dapat hanya berupa kelainan warna kulit. Kelainan kulit yang

dijumpai dapat berupa perubahan warna seperti hipopigmentasi (warna kulit

menjadi lebih terang), hiperpigmentasi (warna kulit menjadi lebih gelap),

dan eritematosa (kemerahan pada kulit). Gejala-gejala umum pada kusta/

lepra, reaksi panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil, nyeri

kepala, kadang-kadang diseratai iritasi (Ayu, 2015).

2.7 Pengobatan dan Pengendalian Pengobatan

2.7.1 Pengobatan

Pengobatan penyakit kusta bertujuan untuk membunuh kuman

kusta sehinga dapat memutuskan mata rantai penularan,

menyembuhkan penyakit kusta, dan mencegah terjadinya cacat serta

bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pada

penderita patuh berobat menyebabkan Mycobacterium Leprae tidak

dapat merusak jaringan tubuh sehingga sumber penularan terutama

Multi Basieler terputus (Depkes RI, 2015).

Pengobatan penderita kusta dengan cacat permanen bertujuan

untuk mencegah cacat lebih lanjut. Penderita yang tidak minum obat

secara teratur dapat mengaktifkan kembalikan kuman kusta,

sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan sarat yang

memperburuk keadaan (Depkes RI, 2015).

Indonesia melakukan pengobatan kusta dengan kombinasi Multi

Drug Therapy yang sesuai dengan rekomendasi WHO. Multi Drug

Therapy adalah kombinasi dua obat kusta bersifat bakterisida kuat


1

dan obat anti kusta dan obat anti kusta lain yang bersifat

bakteriostatik. Multi Drug Therapy untuk kusta tipe Multi Basiler

terdiri 24 dosis sedangkan tipe Pausi Basiler terdiri dari 6 dosis.

Regimen Multi Drug Therapy yang dianjurkan WHO adalah

(Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta, 2012) :

1. Penderita Pausi Basiler (PB)

Rifampicin 600 mg (2 kapsul @ 300 mg) dan 1 tablet

Dapsone/ DDS 100 mg tiap bulan diminum di depan petugas

pada hari pertama. Pengobatan pada hari ke-2 sampai dengan

ke-28 adalah 1 tablet Dapsone/ DDS 100 mg, diminum dengan

pengawasan keluarga, satu blister untuk satu bulan dengan lama

pengobatan 6 blister di minum selama 6-9 bulan (Pedoman

Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta, 2012).

Penderita kusta tipe PB yang telah mendapatkan pengobatan

6 blister dinyatakan Relase From Treatment (RFT) dan diamati

selama dua tahun untuk mnemukan tanda-tanda reaksi atau

kambuh (relaps) secara dini (Depkes RI, 2015). Penderita yang

tidak kembali atau tidak memeriksakan diri pada waktunya

dinyatakan Relase Froam Contrrol (RFC) pada waktunya. Paska

RFT timbul lesi baru pada kulit. Maka terjadi relaps dan harus

dikonfirmasikan kepada dokter kusta yang memiliki

kemampuan klinis dalam mendiagnosa relaps.

2. Penderita Multi Basiler (MB)


1

Rifampicin 600 mg (2 kapsul @300 mg), Lamprene 300 mg

(3 tablet @100 mg), dan 1 tablet Dapsone/ DDS 100 mg tiap

bulan di minum di depan petugas pada hari pertama. Pengobatan

pada hari ke-2 sampai ke-28 adalah 1 tablet Lamprene dan 1

tablet Dapsone/ DDS 100 mg, 1 blister untuk satu bulan dengan

lama pengobatan 12 blister diminum selama 12-18 bulan (

Depkes RI, 2015). Penderita kusta tipe Multi Basiller yang telah

mendapatkan pengobatan 12 blister dinyatakan RFT dan diamati

selama 5 tahun untuk menemukan tanda-tanda reaksi atau

kambuh (relaps) secara dini (Pedoman Nasional Program

Pengendalian Penyakit Kusta, 2012).

2.7.2 Pengendalian Pengobatan

Pengendalian pengobatan diperlukan untuk mengurangi efek

samping obat yang tidak diinginkan karena dapat menambahkan

tingkat kecacatan pada penderita kusta. Efek samping obat Multi

Drug Therapy.

Tabel 2.2 Efek Samping Obat Multi Drug Therapy dan


Penanganannya
NO EFEK SAMPING NAMA OBAT PENANGANAN
1 Ringan
a. Urine Berwarna a. Rifampicin a. Menegakkan penderita
merah penjelasaan yang
b. Perubahan Warna b. Clofazimin benar
Kulit b. Konseling
c. Masalah c. MDT
Gastrointestinal c. Obat diminum dengan
d. Anemia d. Dapsone makanan atau setelah makan
d. Pemberian tablet Fe dan
asam folat
2
Lanjutan Tabel 2.2
NO EFEK SAMPING NAMA OBAT PENANGANAN
2 Serius
a. Ruam kulit a. Dapsone a. Hentikan Dapsone, Rujuk
gatal b. Dapsone dan b. Hentikan keduanya, rujuk
b. Alergi, Rifampicin c. Hentikan Rifampicin, rujuk
Urtikaria c. Rifampicin d. Hentikan Rifampicin, Rujuk
c. Ikterus d. Rifampicin
(Kuning)
d. Shock, purpura,
gagal ginjal
Sumber : (Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta, 2012).

2.8 Reaksi Kusta

Reaksi Kusta adalah suatu kejadian dalam perjalanan kronis penyakit

kusta yang merupakan reaksi kekebalan (celluar respons) atau reaksi

antigen antibody (humoral respon) dengan akibat merugikan penderita.

Reaksi ini dapat terjadi sebelum sesaat, maupun sesudah pengobatan.

Umumnya ditandai dengan bercak bertambah merah disertai dengan

peradangan akut pada kulit, syaraf, timbul benjolan kemerahan yang nyeri,

syaraf tepi menjadi sakit, nyeri dan bengkak, demam dan lesu, tangan dan

kaki mungkin membengkak. Paling sering terjadi pada 6 bulan sampai 1

tahun setelah selesai pengobatan. Reaksi kusta merupakan peristiwa awal

terjadinya kecacatan maka dideteksi dan diobati dengan obat dan dosis

khusus menggunakan prednisone.

Ada 2 macam reaksi kusta yaitu tipe I (Reversal Reakction) dan reaksi

tipe II (Erythema Nodusom Leprosum=ENL).


2

Tabel 2.3 Perbedaan Antara Reaksi Kusta Tipe I dan Tipe II


GEJALA/ TANDA REAKSI TIPE I REAKSI TIPE II
Keadaan Umum Demam ringan atau Ringan sampai berat disertai
tanpa demam kelemahan umum dan demam
tinggi
Peradangan Dikulit Bercak Kulit lama Timbul nodul (bintil-bintil) baru
kelamaan menjadi kemerahan lunak dan nyeri. Nodul
meradang (merah), dapat dapat pecah. Biasanya pada lengan
timbul bercak baru. dan tungkai.
Syaraf Sering terjadi umumnya, Jarang Terjadi
berupa nyeri tekanan
syaraf dan gangguan
fungsi.
Peradangan pada Hampir tidak pernah Terjadi pada mata, kelenjar getah
organ lain bening, sendi, ginjal
Waktu timbulnya Biasanya segera (setelah Biasanya setelah mendapatkan
pengobatan) pengobatan yang lama umumnya
lebih dari 6 bulan.
Tipe Kusta Dapat terjadi pada kusta Hanya pada kusta tipe MB
tipe PB maupun MB
Faktor pencetus Obat-obatan yang Emosi, kelelahan dan stress.
meningkatkan kekebalan
tubuh

Hal-hal yang dapat mempermudah terjadinya reaksi kusta atau

timbunya kembali penyakit kusta setelah pengobatan yaitu pada penderita

yang dalam kondisi lemah dan stress (Widyono, 2016).

2.9 Upaya Pencegahan Kusta

Pencegahan secara umum adalah mengambil tindakan terlebih dahulu

sebelum kajadian. Upaya pencegahan penyakit kusta dapat juga dibedakan

menjadi tiga jika ditinjau dari pandangan epidemiologi pencegahan penyakit

(Masriadi, 2018).

2.9.1 Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah pencegahan tingkat pertama,

tujuannya adalah untuk mengurangi insideni penyakit dengan cara

mengendalian penyebab penyakit dan faktor risikkonya. Pencegahan

ini terdiri dari:


2

1. Promosi kesehatan

Promosi kesehatan dilakukan dengan cara penyuluhan

tentang penularan, pengobatan dan pencegahan penyakit kusta,

serta pentingnya makanan sehat dan bergizi untuk meningkatkan

status gizi setiap individu menjadi baik.

Hutabarat (2008) menjelaskan bahwa pencegahan primer

dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena

penyakit kusta dan memilih risiko tertular karena berada

disekitar atau dekat dengan penderita dan tetangga penderita,

yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta (Masriadi,

2018).

2. Pemberian imunisasi

Hasil Penelitian di Malawai tahun 1996 didapatkan bahwa

pemberian vaksin BCG satu kali dapat member perlindungan

terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali

dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%.

Namun demikian, ini belum menjadi kebijakan program di

Indonesia karena, penelitian beberapa negara memberikan hasil

berbeda pemberian vaksin BCG tersebut (Masriadi,2018).

2.9.2 Pencegahan Sekunder

Pencegahan ini meliputi diagnosis dini dan pemberian

pengobatan (Prompi Teratment) yakni :


2

1. Diagnosis dini yaitu pada kusta dapat dilakukan dengan

pemeriksaan kulit, dan pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya

(Masriadi, 2018).

2. Pengobatan yang diberikan pada penderita kusta adalah DDS

(Diaminodifelsufon), Klofazimin, rifampisin, prednisone,

sulfatferrous dan vitamin A, pengobatan lain adalah Multi Drug

Treatment (MDT) yaitu gabungan pemberian obat rifampicin,

ofloxacindan minocyline sesuai dengan dosis dan tipe penyakit

kusta. Pengobatan kusta ini dilakukan secara teratur dan terus

menerus selama 6-9 bulan (Masriadi, 2018). Hubarat (2008),

pencegahan sekunder dilakukan dengan pengobatan pada

penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan.

Menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat

atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum

pengobatan pemberian multi drug therapy pada penderita kusta

terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan

sumber kuman menularkan kepada orang lain (Masriadi, 2018).

2.9.3 Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier dimaksudkan umtuk mengurangi kemajuan

atau komplikasi penyakit yang sudah terjadi, merupakan sebuah

aspekterapatika dan kedokteran rehabiltasi yang paling penting.

Pencegahan tersier merupakan usaha pencegahan terakhir yang

terdiri dari: (Masriadi, 2018).


2

1. Rehabilatasi medik

Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai

pengolahan yang baik dan benar. Untuk itulah diperlukan

pengetahuan rehabilitasi medik secara terpadu. Mulai dari

pengobatan, psikoterapi, fisioterapi, perawatan luka, bedah

rekontruksi dan bedah septic, pemberian alas kaki, serta terapi

okupasi (Masriadi, 2018).

Perawatan terhadap reaksi kusta mempunyai 4 tujuan

(Srinivasan H, 2004) (Masriadi, 2018), yaitu:

a. Mencegah kerusakan saraf, sehingga terhindar dari

gangguan sensorik, paralis dan kontruaktur.

b. Hentikan kerusakan mata untuk mencegahan bantuan.

c. Kontrol nyeri.

d. Pengobatan untuk memastikan basil lepradan mencegah

perburukan keadaan penyakit (Tjokronegoro, dkk, 2003)

menjelaskan bahwa bila kasus dini sudah mulai dilakukan

upaya rehabilitasi medis maka upaya tersebut lebih bersifat

pencegahan kecacatan. Bila kasus lanjut, upaya rehabilitasi

difokuskan pada pencegahan handicap dan

mempertahankan fungsi yang tersisa (Masriadi, 2018).

2. Rehabilitasi nonmedik

Meskipun penyakit kusta tidak banyak menyebabkan

kematian. Namun, penyakit ini termasuk penyakit yang paling


2

ditakuti diseluruh dunia. Penyakit kusta itu sendiri, keluarga,

dan masyarakat. Penyakit kusta ini dikenal 2 jenis cacat yaitu

cacat psikososial dan cacat fisik. Seringkali penyakit kusta di

identifikasi dengan cacat fisik yang menimbulkan rasa jijik atau

ngeri serta rasa takut yang berlebihan terhadap mereka yang

melihatnya (Masriadi, 2018).

3. Rehabilitasi mental

Penyuluhan Kesehatan berupa bimbingan mental, harus

diupayakan sedinimungkin pada setiap penderita, keluarganya,

dan masyarakat sekitarnya. Untuk memberikan dorongan dan

semangat agar mereka dapat menerima kenyataan ini. Selaian ini

juga agar penderita dapat segera mulai menjalani pengobatan

dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh secara

medis (Masriadi, 2018).

4. Rehabilitasi karya

Upaya rehabilitasi karya ini dilakukan agar penderita yang

sudah terlanjut cacat dapat kembali melakukan pekerjaan yang

sama, atau dapat melatih diri terhadap pekerjaan baru sesuai

dengan tingkat cacat, pendidikan dan pengalaman bekerja

sebelumnya. Penempatan di tempat kerja yang aman dan tepat

akan mengurangi risiko berlanjutnya cacat penderita kusta

(Masriadi, 2018).
2

5. Rehabilitasi sosial

Rehabilitasi sosial bertujuan memulihkan fungsi ekonomi

penderita. Hal tersebut sangat sulit dicapai oleh penderita sendiri

tanpa partisipasi aktif dari masyarakat di sekitarnya. Rehabilitasi

sosial bukanlah bantuan sosial yang harus diberikan secara terus

menerus melainkan upaya yang bertujuan untuk menunjungkan

kemandirian penderita (Masriadi, 2018).

2.10 Faktor yang Menyebabkan Kejadian Kusta

2.10.1 Agent

Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan

jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat. Kusta adalah

penyakit yang disebabkan oleh bateri Mycobacterium leprae yang

menyerang kulit, saraf tepi di tangan maupun kaki, dan selaput lendir

pada hidung, tenggorokan dan mata.

Kuman ini satu genus dengan kuman TB dimana di luar tubuh

manusia. Kuman kusta hidup baik pada lingkungan yang lembab

akan tetapi tidak tahan terhadap sinar matahari. Kuman kusta dapat

bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab, gelap tanpa sinar

matahari sampai bertahun-tahun lamanya. Kuman Tuberculosis dan

Leprae jika terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam.

Selain itu, seperti halnya bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh

dengan subur pada lingkungan dengan kelembapan yang tinggi.

Kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik


2

untuk bakteri-bakteri pathogen termasuk yang memiliki rentang suhu

yang disukai, merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam

rentang 25-40 ͦ C, tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu

31- 37 ͦ C.

Pengetahuan mengenai sifat-sifat agent sangat penting untuk

pencegahan dan penanggulangan penyakit, sifat-sifat tersebut

termasuk ukuran, kemampuan berkembangbiak, kematian agent atau

daya tahan terhadap pemanasan atau pendinginginan.

2.10.2 Host

Manusia merupakan reservoir untuk penularan kuman seperti

Mycobacterium leprae, kuman tersebut dapat menularkan pada 10-

15 orang. Menurut penelitian pusat ekologi penelitian tingkat

penularan kusta di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi,

dimana seseorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3

orang di dalan rumahnya. Di dalam rumah dengan ventilasi baik,

kuman ini dapat hilang terbawa angin dan akan lebih baik jika

ventilasi ruangannya menggunakan pembersih udara yang bisa

menangkap kuman. Hal yang perlu diketahui tentang host atau

penjamu meliputi karakteristik: Gizi atau dayan tahan tubuh,

pertahanan tubuh, hygiene pribadi, gejala dan tanda penyakit dan

pengobatan. Karakteristik host dapat dibedakan antara lain: umur,

jenis kelamin, pekerjaan, keturunan, pekerjaan, ras dan gaya hidup.


2

2.10.3 Environment

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host baik

benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak. Seperti, suasana yang

berbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang

lain. Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan non fisik,

lingkungan fisik terdiri dari: keadaan geografis (daratan tinggi atau

rendah, persawahan dan lain-lain), kelembapan udara, suhu,

lingkungan tempat tinggal. Adapun lingkungan non fisik meliputi:

sosial (pendidikan, pekerjaan), budaya (adat, kebiasaan turun

menurun), Ekonomi.

Dalam segitiga epidemiologi terdapat beberapa model hubungan

antara Host, Agen, Environment antara lain sebagai berikut:

1. Model 1 hubungan Host-Agent-Environment

Agent Host

Environment

Gambar 2.1 Model 1 Segitiga Epidemiologi


Sumber: (Koes Irianto, 2014)

Pada model ini, seseorang berada pada kondisi sehat,

dimana host, agent dan environment berada pada kondisi

seimbang.
2

2. Model hubungan Host-Agent-Environment

Host
Agent

Environment

Gambar 2.2 Model 2 Segitiga Epidemiologi


Sumber: (Koes Irianto,2014)

Pada model ini, seseorang berada pada kondisi tidak sehat,

dimana daya tahan penjamu (faktor host) berkurang.

3. Model 3 hubungan Host-Agent-Environment

Agent

Host

Environment

Gambar 2.3 Model 3 Segitiga Epidemiologi


Sumber: (Koes Irianto,2014)

Pada model ini, seseorang pada kondisi tidak sehat, dimana

kondisi lingkungan mengalami pergeseran atau perubahan dari

kondisi normal.
3

2.11 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Kusta

2.11.1 Faktor Host

1. Umur

Dalam Epidemiologi kusta, umur saat penularan kusta

adalah aspek yang sangat penting. Umur saat penularan terkena

kusta diketahui bervariasi di berbagai negara, di berbagai daerah

pada suatu negara, dan juga daerah yang sama dari waktu ke

waktu (Ramadhan, 2016).

2. Jenis kelamin

Beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa

proporsi penderita kusta berjenis kelamin laki-laki lebih tinggi

dibandingkan dengan perempuan.

3. Tingkat pendidikan

Masyarakat yang terdidik mungkin memperhatikan adanya

munculnya hipopigmentasi pada kulit dan melaporkan ke dokter

dengan segera. Sedangkan pada sisi yang lain, masyarakat yang

tinggal dirumah yang miskin mungkin tidak melaporkan untuk

memperoleh pendapat dari ahli dalam waktu yang lama karena

ketidaktahuan dan ketidak pedulian mereka.

4. Riwayat kontak

Kusta merupakan penyakit infeksius, tetapi derajat

inveksitanya rendah. Waktu inkubasinya panjang, mungkin


3

beberapa tahun,dan tampaknya kebanyakan pasien mendapatkan

infeksi sewakt masa anak-anak. Insiden yang rendah pada

pasien-pasien yang merupakan pasangan suami istri (kusta yang

diperoleh dari pasangannya). Penyakit ini timbul akibat kontak

fisik yang erat dengan pasien yang terinfeksi dan resiko ini jauh

lebih besar bila terjadi kontak dengan kasus kusta (Yessita,

2013).

Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui

dengan jelas, penularan di dalam rumah tangga dan kontak/

hubungan dekat dalam waktu yang lama tampaknya sangat

berperan dalam penularnnya (Yessinta, 2013).

Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-3 tahun,

akan tetapi dapat juga bertahun-tahun. Penularannya terjadi

apabila Mycobacterium leprae yang utuh (hidup) keluar dari

tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum

diketahui secara pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta.

Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak

yang lama dengan penderita (Depkes RI, 2017).

a. Kontak dengan penderita kusta

1) Kontak serumah dengan penderita kusta

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa

penularan kusta disebabkan oleh kontak serumah

dengan penderita kusta (Andy, 2014) melaporkan


3

proporsi penderita kusta sebesar 25% mempunyai

riwayat kontak serumah dengan penderita.

2) Kontak dengan tetangga yang menderita kusta

Penelitian (Andy, 2014) mendapatkan hasil

proporsi penderita kusta yang mempunyai riwayat

kontak dengan tetangga yang menderita sebesar 32,1%.

b. Tipe kusta pada kontak dengan penderita kusta

Kusta biasanya dinggap sebagai penyebab utama

infeksi. Menurut (Setyawan, 2015), risiko yang tinggi

secara bermakna untuk terkena kusta telah secara konsisten

dilaporkan oleh berbagai peneliti diantaranya mereka yang

mengalami kontak dengan penderita kusta lepromatosa

dibandingkan dengan yang mengalami kontak dengan

penderita kusta nonlepromatosa. Walaupun kasus

Lepromatosa secara nyata infeksius, tetapi penderita

nonlepromatosa tidak dapat diabaikan, karena sebagian

besar pasien selama periode tertentu penyakit mereka

terbukti infeksius untuk orang yang peka (Setyawan, 2015).

c. Keteraturan minum obat pada kontak dengan penderita

kusta

Penularan kusta juga dapat terjadi jika kontak dengan

penderita kusta yang minum obat tidak teratur maupun yang

tidak diobati karena masih banyak mengandung M.Leprae.


3

Penderita yang tidak teratur minum obat maupun yang tidak

diobati, kemungkinan diakibatkan karena tidak adanya

akses dalam mendapatkan obat maupun tidak tersedianya

obat tersebut pada unit pelayanan kesehatan di daerah.

5. Tingkat pekerjaan

Pekerjaan adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh

manusia. Dalam arti sempit, istilah pekerjaan digunakan untuk

suatu tugas atau kerja yang menghasilkan uang bagi seseorang.

Dalam pembicaraan sehari-hari istilah ini sering dianggap

sinonim dengan profesi.

Sebagian besar penderita kusta di dunia berada di negara

yang sedang berkembang termasuk Indonesia, sebagian besar

penduduk Indonesia mencari penghasilan dengan bercocok

tanam atau bertani. Hal ini sangat berpengaruh terhadap

terjadinya cacat pada kusta.

6. Tingkat ekonomi

Peran penting sosial ekonomi didukung oleh fakta bahwa

daerah-daerah endemis kusta biasanya di daerah negara yang

belum berkembang dan negara yang sedang berkembang,

masyarakat hidup dalam kondosi sosial ekonomi rendah dan

tidak higinis. Faktor sosial ekonomi kiranya memegang peranan,

semakin rendah sosial ekomoni semakin subur penyakit kusta.


3

Sebaliknya, faktor sosial ekonomi semakin tinggi akan

membantu penyembuhan penderita kusta.

7. Vaksin BCG

Pemakaian vaksin BCG (Bacil Calmette Guerine) untuk

menimbulkan kekebalan terhadap kusta. Karena, diharapkan

adanya reaksi silang antara antigen Mycobacterium leprae dan

Mycobacterium tuberculosis. Sampai saat ini telah dilakukan uji

lapangan di berbagai tempat yang berbeda di dunia dengan hasil

yang berbeda. Selain itu juga telah dilakukan percobaan

imunuterapi untuk penderita kusta tipe MB dengan campuran

BCG dan Mycobacterium leprae (Setyawan, 2015).

8. Gizi

Interaksi yang komplek anatara kurang gizi dan kusta telah

dilaporkan. Kurang gizi sangat berbahaya bagi kerusakan

imunitas dimana mempunyai pengaruh yang sangat dalam

terhadap seluruh sistem imun. Kekurangan gizi memainkan

peran penting tidak hanya memudahkan terjadinya kusta, tetapi

juga dalam meningkatkan angka penyakit kusta. Faktor-faktor

diet dilaporkan dapat memberikan pengaruh terhadap

etiopathogenis kusta adalah vitamin A, B, C, D, E, Fe, Ca, dan

ZN.
3

9. Status imunisasi

Imunisasi sesungguhnya adalah pemindahan atau transfer

antibody (immunoglobulin) secara pasif. Secara vaksinisasi

adalah pemberian vaksin atau antigen (kuman/ bagian kuman

yang dilemahkan) yang dapat merangsang pembentukan

imunitas (antibodi) dalam tubuh. Vaksiniasi disebut juga

imunisasi aktif. Pemberian imunisasi dapat menurunkan risiko

untuk terkena kusta. Imunisasi untuk mencegah penyakit kusta

sendiri belum ada imunisasi, hanya saja pemberian imunisasi

BCG untuk meningkatkan pembentukan kekebalan tubuh/

imunitas dalam tubuh seseorang.

2.11.2 Faktor Agent

Kuman infeksi yang dapat menyebabkan terjadinya suatu

penyakit. Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium

leprae dimana bakteri ini termasuk kuman aerob, tidak membentuk

spora, berbentuk batang, dikelilingi membrann sel lilin yang

merupakan cirri-ciri dari spesies Mycobacterium leprae.

2.11.3 Faktor Environment

Menurut keputusan menteri kesehatan RI No.829/ Menkes/ VIII/

1999 menjelaskan, rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai

tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga.

Hubungan antara perumahan dengan kesehatan telah dibuktikan

sejak lebih dari 60 tahun yang lalu oleh The American Public Health
3

Association (APHA). Kondisi rumah yang buruk memungkinkan

terjadinya penularan penyakit.

1. Jenis lantai

Lantai yang baik harus selalu kering, tinggi lantai harus

disesuaikan dengan kondisi setempat, lantai harus lebih tinggi

dari muka tanah. Ubin atau semen adalah baik. Syarat yang

penting disini adalah tidak berdebu pada musim kemarau dan

tidak basah pada musim hujan, sehingga dapat mencegah

terjadinya penularan penyakit terhadap penghuninya.

Lantai rumah sangat penting untuk diperhatikan terutama

dari segi kebersihan dan persyaratan. Lantai dari tanah lebih

tidak baik digunakan lagi karena jika musim hujan akan menjadi

lembab sehingga dapat menimbulkan gangguan terhadap

penghuninya dan merupakan tempat yang baik untuk

berkembang biak kuman penyakit.

2. Luas ventilasi

Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer

yang menyenangkan dan menyehatkan manusia. Berdasarkan

kejadiannya maka ventilsi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

a. Ventilasi alamiah

Ventilasi alamiah berdasarkan pada tiga kekuatan, yaitu

daya difusi dari gas-gas, gerakan angin dan gerakan masa di

udara karena perubahan temperature. Ventilasi alam


3

mengandalkan pergerakan udara bebas (angin), temperature

udara dan kelembapannya. Selain melalui jendela, pintu dan

lubang angin, maka ventilasi pun dapat diperoleh dari

pergerakan udara sebagai hasil sifat porous dinding

ruangan, atap dan lantai.

b. Ventilasi buatan

Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan

dengan menggunakan alat mekanis maupun elektrik. Alat-

alat tersebut antara lain: kipas angin dan AC (Air

Conditioner).

Persyaratan ventilasi yang baik adalah sebagai

berikut: luas lubang ventilasi tetap minimal 5% dari luas

lantai ruangan, sedangakn luas lubang ventilasi insidentil

(dapat dibuka dan ditutup) minimal 5% dari luas lantai.

Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai ruangan,

udara yang termasuk harus bersih, tidak dicemari asap atau

pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain-lain, aliran udara

disahakan cross ventilation dengan lubang ventilasi

berhadapan antara dua dinding. Aliran udara jangan sampai

terhalang oleh barang-barang besar, misalnya lemari,

dinding, sekat, dsb.

Secara umum, penilaian ventilasi dan luas lantai

rumah, dengan menggunakan roll meter. Menurut indikator


3

pengawasan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syararat

kesehatan adalah ≥10% luas lantai rumah dan luas ventilasi

yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah <10% luas

lantai rumah. Rumah dengan luas ventilasi yang tidak

memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi

pemghuninya. Salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga

aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar.

3. Kelembaban

Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air

dalam udara. Kelembapan terdiri dari 2 jenis, yaitu 1)

kelembaban absolute, yaitu uap air per unit volume udara, 2)

kelembapan nisbi (relatif), yaitu banyaknya uap air dalam udara

pada suatu temperature terhadap banyaknya uap air pada saat

udara jenuh dengan uap air pada temperature tersebut.

Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah dengan

menggunakan hygrometer. Menurut indikator pengawasan

perumahan, kelembapan udara yang memenuhi syarat kesehatan

dalam rumah adalah <40 atau >70%.

Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi

syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya.

Rumah yang lembab merupakan media yang baik bagi

pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket,

ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk


3

kedalam tubuh melalui udara. Selain itu kelembaban yang tinggi

dapat menyebabkan membrane mukosa hidung menjadi keringat

sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme.

Bakteri-bakteri pada umumnya akan tumbuh dengan subur pada

lingkungan dengan kelembapan tinggi karena air membentuk

lebih dari 80% volume sel bakteri dan merupakan hal yang

esensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri.

4. Pencahayaan

Rumah sehat memerlukan cahaya yang cukup khususnya

cahaya alam berupa cahaya matahari yang berisi antara lain ultra

violet. Cahaya matahari minimal masuk 60 lux dengan syarat

tidak menyilaukan. Pencahayaan rumah yang tidak memenuhi

syarat berisiko 2,5 kali terkena Tuberculose dan Kusta

dibandingkan penguin yang memenuhi persyaratan.

5. Jenis dinding

Dinding rumah yang baik menggunakan tembok,tetapi

dinding rumah daerah tropis. Khususnya dipedesaan banyak

yang berdinding papan, kayu. Hal ini disebabkan masyarakat

perdesaan perekomoninya kurang. Rumah yang berdinding tidak

rapat seperti papan, kayu dapat menyebabkan berbagai macam

penyakit. Untuk dinding di kamar mandi dan tempat cuci harus

kedap air dan mudah dibersihkan.


4

6. Kepadatan hunian

Kepadatan hunian adalah perbandingan antara luas lantai

rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah

tinggal. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan

bisa dinyatakan dalam m² per orang. Luas minimum per orang

sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas

yang tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum

4m²/orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 4m²/orang.

Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni >2 orang, kecuali untuk

suami dan istri dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada

anggota keluarga yang menjadi penderita kusta sebaiknya tidak

tidur dengan anggota keluarga lainnya.

Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan

menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan

penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil

bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni ≥4m² per orang

dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila

diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni

<4m² per orang.

Kepadatan hunian dalam satu rumah tinggal akan

memberikan pengaruh pagi penghuninya. Luas rumah yang

tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan

berjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena selain


4

kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota

keluarga terkena penyakit infeksi. Terutama tuberculosis dan

leprae akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain,

dimana seseorang penderita rata-rata dapat menularkan 2-3

orang di dalam rumahnya.

Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan

penyakit, semakin padat maka perpindahan penyakit khususnya

penyakit melalui udara akan semakin mudah dan cepat. Oleh

sebab itu, kepadatan hunian dalam rumah tempat tinggal

merupakan variabel yang berperan dalam kejadian kusta.

2.12 Kondisi Fisik Rumah

2.12.1 Definisi Rumah Sehat

Rumah sehat adalah bangunan rumah tinggal yang memenuhi

syarat kesehatan dari aspek fisik yaitu atap lantai dan dinding serta

dilengkapi fasilitas kesehatan lingkungan yaitu rumah yang memiliki

jamban yang sehat, sarana air bersih, tempat pembuangan sampah,

sarana pembuangan air limbah, ventilasi yang baik dan kepadatan

hunian rumah yang sesuai.

Rumah juga sebagai tempat terapi fisik dan mental seluruh

penghnianna. Kesejukan ruangan pada waktu siang hari dapat

membant melepas kepenatan, karena kemacetan jalan atau masalah

pekerjaan dikantor. Pada malam hari, kehangatan sebuah rumah


4

membantu kita beristirahat mempersiapkan fisik untuk bekerja

kembali keesokannya harinya (Rudiyanto, 2007).

2.12.2 Syarat-syarat Rumah Sehat

Rumah dan lingkungan sehat dapat terwujud apabila memenuhi

beberapa syarat tertentu. Adapun beberapa syarat rumah sehat

sebagai berikut: (Rudiyanto, 2007).

1. Bersih.

2. Kokoh.

3. Ventilasi atau aliran udara lancar.

4. Cahaya atau penerangan cukup.

5. Rumah tidak berjejal-jejal dengan rumah lain.

6. Rasio atau berbandingan antara jumlah penghuni dengan luas

ruangan rumah seimbang.

7. Memenuhi beberapa sistem kesehatan lingkungan.

8. Keindahan bentuk rumah dan ruangan.

Persyaratan Kesehatan Rumah Tinggal Menurut Keputusan

Menteri Kesehatan RI Nomor: 829 Menkes SK/VII/1999 adalah

sebagai berikut:

1. Bahan bangunan

Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan zat-zat

yang dapat membahayakan kesehatan, antara lain sebagai

berikut:

a. Debu total tidak lebih dari 150 µg m3.


4

b. Asbes bebas tidak melebihi 0,5 fiber/m3/4jam.

c. Timah hitam tidak melebihi 300 mg/kg.

d. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan

berkembangnya mikroorganisme pathogen.

2. Komponen dan penataan ruang rumah

a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan.

b. Dinding di ruang tidur ruang keluarga dilengkapi dengan

sarana ventilasi untuk pengaturan sirkulasi udara.

c. Kamar mandi dan tempat cuci harus kedap air dan mudah

dibersihkan.

d. Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan

kecelakaan.

e. Ruang didalam rumah harus ditata agar berfungsi sebagai

ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, ruang tidur,

ruang dapur, ruang mandi dan ruang bermain anak.

f. Ruang dapur harus dilengkapi dengan sarana pembuangan

asap.

3. Pencahayaan

Pencahayaan alam atau buatan langsung atau tidak langsung

dapat menerangi seluruh bagian ruangan minimal intesitasnya

60lux dan tidak menyilaukan.


4

4. Kualitas udara

Kualitas udara di dalam rumah tidak melebihi ketentuan

sebagai berikut:

a. Suhu udara nyaman berkisar antara 18 ͦ C sampai 30 ͦ C.

b. Kelembapan udara berkisar anatara 40% sampai 70%.

c. Konsentrasi gas SO2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam.

d. Konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8 jam.

e. Konsentrasi gas formal tidak melebihi 120 mg/m3.

5. Ventilasi

Luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen

minimal 10% dari luas lantai.

6. Air

Tersedia air bersih dengan kapasitas minimal 60 lt/ hari/

orang. Kualitas air harus memenuhi syarat kesehatan air bersih

dan air minum sesuai dengan peraturan undang-undang yang

berlaku.

7. Tersedianya sarana penyimpanan makanan yang aman dan

hygiene.

8. Limbah

a. Limbah cair berasal dari rumah, tidak mencemari sumber

air, tidak menimbulkan bau dan tidak mencemari

permukaan tanah.
4

b. Limbah padat harus dikelola agar tidak menimbulkan bau,

tidak menyebabkan pencemaran terhadap permukaan tanah

dan air tanah.

9. Kepadatan hunian ruang tidur

Luas ruang tidur minimal 8m² dan tidak dianjurkan

digunakan lebih dari dua orang tidur dalam saru ruang tidur,

kecuali anak dibawah umur 5 tahun.

Menurut (Imam, 2015) rumah sehat harus memenuhi syarat-

syarat sebagai berikut:

1. Memenuhi kebutuhan fisiologis

Rumah sehat harus memenuhi kebutuhan fisiologis,

misalnya adalah pencahayaan, suhu,kebisingan, ventilasi, bahan

bangunan, bebas dari vector penyakit, dan lain-lain.

a. Bahan bangunan

Bahan bangunan sebaiknya tidak terbuat dari bahan

yang dapat melepas zat-zat yang dapat membahayakan

kesehatan seperti asbes dan juga tidak terbuat dari bahan

yang dapat menjadi tumbuh kembangnya mikro organism

pathogen.

b. Ventilasi yang baik

1) Ventilasi yang memenuhi syarat sebaiknya tidak kurang

10% dari luas lantai.


4

2) Ventilasi yang baik akan memberikan udara segar dari

luar.

3) Suhu Optimun 22-24 ͦ C.

4) Kelembaban ruang 40% sampai70%.

c. Pencahayaan yang cukup

Memberi kesempatan cahaya matahari masuk yang

cukup. Jika diukur menggunakan luxmeter hasilnya tidak

kurang dari 60 lux dan tidak lebih dari 120 lux. Sehingga,

cahaya matahari mampu membunuh kuman-kuman

pathogen. Namun jika cahaya matahari kurang sempurna

akan mengakibatkan ketegangan pada mata.

d. Bebas dari kegaduhan dan kebisingan

1) Tingkat kebisingan maksimal di perumahan 55 dBA.

2) Tingkat kebisingan yang ideal di perumahan anatara

40-45 dBA.

3) Dampak kebisingan mengakibatkan gamgguan

kenyaman, gangguan aktivitas, dan keluhan stress.

e. Kepadatan hunian ruang tidur

Luas ruang tidur minimal m², dan tidak dianjurkan

lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak

dibawah umur 5 tahun.


4

2. Memenuhi kebutuhan psikologis

a. Kesempatan dan kebersamaan untuk kehidupan keluarga

secara normal.

b. Hubungan serasi antara orang tua dan anak.

3. Memberi pencegahan dan perlindungan terhadap penularan

penyakit dan pencemaran.

a. Vektor Penyakit

Vektor penyakit seperti tikus, kecoak, lalat dan nyamuk

tidak bersarang di dalam rumah sehingga dapat mencegah

terjadinya penularan penyakit.

b. Air

Tersedianya sarana air bersih dengan kapasitas

maksimal 60 liter/ orang/ hari. Penyedaiaan air bersih harus

memenuhi syarat kesehatan.

c. Limbah

Limbah cair yang berasal dari rumah tidak mencemari

sumber air, tidak menimbulkan bau dan tidak mencemari

permukaan tanah. Sedangkan, limbah padat harus dikelola

agar tidak menimbulkan bau, pencemaran terhadap

permukaan tanah serta air tanah


4

d. Tersedianya fasilitas untuk menyimpan makanan

Untuk menyimpan makanan sangat diperlukan

sehingga baik makanan mentah maupun makanan yang

sudah matang tidak mudah terkontaminasi dari luar.

2.13 Kerangka Teori

FAKTOR HOST JENIS KELAMIN

UMUR
STATUS IMUN
STATUS GIZI

VAKSIN BCG

RIWAYAT KONTAK

PENDIDIKAN

PEKERJAAN

EKONOMI

FAKTOR
AGENT KEJADIAN
Mycobacterium Leprae
PENYAKIT

FAKTOR LINGKUNGAN
JENIS LANTAI

LUAS VENTILASI

KELEMBABAN

PENCAHAYAAN

JENIS DINDING

KEPADATAN HUNIAN

Gambar 2.4 Kerangka Teori


Sumber: Segitiga Epidemiologi (Notoadmojo, 2018)
BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan kerangka fikir mengenai hubungan

antara variabel-variabel yang terlibat dalam penelitian atau hubungan antar

konsep dengan konsep lainnya dari masalah yang diteliti sesuai dengan apa

yang telah diuraikan pada studi kepustakaan (Nasir, 2011).

Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

Variabel Bebas
(independent)

Jenis Dinding

Jenis Lantai
Variabel Terikat
Kelembaban
Kejadian Penyakit Kusta
Luas Ventilasi

Riwayat Kontak Penderita

Status Ekonomi

Status Pekerjaan

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

49
5

3.2 Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap masalah penelitian

yang kebenarannya harus diuji secara empiris. Hipotesis menyatakan

hubungan apa yang kita cari atau ingin kita pelajari. Hipotesis adalah

keterangan sementara dari hubungan fenomena yang kompleks, oleh karena

itu hipotesis menjadi sangat penting dalam sebuah penelitian (Nasir, 2011).

Ditinjau dari operasi rumusannya, ada dua jenis hipotesis yaitu:

1. Hipotesis nol atau hipotesis nihil, hipotesis ini dituliskan dengan “H 0”

adalah hipotesis yang meniadakan perbedaan antar kelompok atau

meniadakan hubungan sebab akibat antar variabel.

2. Hipotesis Ha, hipotesis ini ditulis dengan “Ha”. Hipotesis ini digunakan

untuk menolak atau menerima hipotesis nihil (nol). Hipotesis ini

menyatakan adanya hubungan antar variabel.

Dari penjelasannya diatas dapat disimpulkan bahwa hipotesis penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Ha : Ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian kusta di

Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

2. Ha : Ada hubungan antara jenis dinding dengan kejadian kusta di

Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

3. Ha : Ada hubungan antara kelembaban dengan kejadian kusta di

Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.


5

4. Ha : Ada Hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian kusta di

Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

5. Ha : Ada hubungan antara riwayat kontak penderita dengan kejadian

kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

6. Ha : Ada hubungan antara status ekonomi dengan kejadian kusta di

Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

7. Ha : Ada hubungan antara status pekerjaan dengan kejadian kusta di

Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.


BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian pada hakekatnya merupakan suatu strategi untuk

mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan dan berperan sebagai

pedoman atau penuntun peneliti pada seluruh proses penelitian. Pemilihan

desain harus disesuaikan dengan topik penelitian, dengan menilih yang

paling efisien dan dengan hasil yang memuaskan (Rosjidi, 2017).

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kuantitatif dengan desain studi Case Control. Penelitian Kuantitatif yaitu

jenis penelitian yang diperoleh dengan menggunakan prosedur statistic atau

cara lain dari kuantifikasi (pengukuran), sedangkan case control merupakan

salah satu bentuk rancangan penelitian analitik yang mengikuti proses

perjalanan penyakit kearah belakang berdasarkan urutan waktu. Oleh karena

itu, rancangan penelitian ini disebut restrospektif. Karena penelitian kasus

control dilakukan sebab akibat maka penelitian diawali dengan kelompok

penderita sebagai kasus dan kelompok penderita sebagai kontrol. Lamanya

penelitian merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan. Karena,

lamanya penelitian membutuhkan biaya dan kelangsungan penelitian.

Ciri-ciri penelitian Case Control adalah sebagai berikut:

1. Pemilihan subjek berdasarkan status penyakitnya.

2. Dilakukan pengamatan apakah subjek mempunyai riwayat terpapar atau

tidak.

52
5

3. Subjek yang didiagnosis menderita kasus berupa insiden/prevalen dan

populasi.

4. Subjek yang tidak menderita disebut kontrol.

Tahap-tahap penelitian Case Control:

1. Identifikasi variabel-variabel penelitian (faktor resiko dan efek).

2. Menetapkan objek penelitian (populasi dan sampel).

3. Identifkasi kasus.

4. Melakukan pengukuran restropektif (melihat kebelakang untuk melihat

faktor resiko).

5. Melakukan analisis dengan membandingkan proporsi antara variabel-

variabel objek penelitian dengan variabel-variabel kontrol.

Rancangan penelitian case control dapat digambarkan sebagai berikut:


Ter-ekspos KASUS
(Penderita)
Tidak Ter-ekspos
Populasi (Sampel)

Ter-ekspos
KONTROL
(Bukan Penderita)
Tidak Ter-ekspos

Gambar 4.1 Skema Case Control

Pada penelitian ini dilakukan pendekatan restrospektif yang diawali

dengan mengamati pada kelompok kasus (Kusta), kemudian dilanjutkan

dengan kelompok pembanding kontrol (Tidak Kusta).

Untuk mencari perbedaan dalam pengalaman terpajan oleh faktor resiko

yang diduga sebagai penyebab timbulnya penyakit kejadian perbedaan


5

pengalaman kedua kelompok dibandingkan untuk menentukan ada tidaknya

hubungan sebab akibat.

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan jumlah yang terdiri atas objek atau

subjek yang mempunyai karakteristik dan kualitas tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk diteliti dan kemudian ditarik

kesimpulannya (Sujarweni, 2012). Populasi kasus ini dalam

penelitian ini yaitu semua penderita penyakit kusta yang terdaftar di

Puskesmas Wonoasri berjumlah 35 kasus dan untuk populasi yang

tidak terdiagnosis kusta berdasarkan pemeriksaan klinis

4.2.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah karakteristik yang dimiliki

oleh populasi tersebut (Sujarweni, 2012). Kriteria sampel yang

diambil sebagai responden adalah kriteria inklusi yaitu karakteristik

umum subjek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau

dan akan diteliti dan kriteria eksklusi yaitu menghilangkan atau

mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi

karena berbagai sebab. Besar sampel yang diperlukan untuk

pengujian dua sisi diperoleh dengan rumus (Lemeshow, 1997)

sebagai berikut:

(𝑍1− 𝛼/ √2 𝑃 2 (1− 𝑃 2) + 𝑍 1− 𝛽 √𝑃 1 (1− 𝑃 1 )+ 𝑃 2 (1− 𝑃 2 ))²


2
n=
(𝑃 1− 𝑃 2 )²
5

Keterangan:

n = Besar sampel minimum

𝑍1− 𝛼/ = Deviat baku alfa, nilai 1,96 (nilai 𝑍𝛼 pada CI 95%, 𝛼 =


2

0,05)

𝑍 1− 𝛽 = Deviat baku 𝛽, nilai 0,842 (nilai 𝑍𝛽 pada power 80%)

𝑃1 = Proporsi paparan kelompok kasus

𝑃2 = Proporsi paparan kelompok kontrol

𝑂𝑅 = Odds Ratio berdasarkan faktor resiko penelitian

sebelumnya

Jumlah sampel dalam penelitian ini dihitung berdasarkan tingkat

kepercayaan 95% (𝛼 = 0,05) sehingga 𝛼 sebsar 1,96 dengan power

sebesar 80% untuk 𝛽sebsar 0,842. Nilai OR dan 𝑃 2 diperoleh dari

beberapa penelitian sebelumnya, maka dapat dihitung besar sampel

yang berhubungan dengan gaya hidup. Perhitungan sampelnya

sebagai berikut:

𝑂𝑅 𝑥 𝑃 2
𝑃 1 = (𝑂𝑅 𝑥 𝑃 2 ) + (1− 𝑃 2)

Tabel 4.1 Nilai Odds Ratio Beberapa Faktor Kejadian Penyakit


Kusta
No Variabel Odd Ratio (OR) ∑ Sampel
1 Jenis Lantai 2,80 17
2 Pekerjaan 3,5 15
3 Status Ekonomi 5.4 12
4 Kelembapan 2,25 16
5 Luas Ventilasi 5.8 18
6 Jenis Dinding 5,8 13
7 Riwayat Kontak 7,0 30
5

Perhitungan sampel dilakukan pada jumlah OR yang paling

tinggi yaitu variabel Riwayat Kontok dengan nilai OR = 7,0

(berdasarkan penelitian Siswanti dkk Tahun 2018) sehingga

diperoleh perhitungan sebagai berikut.

𝑂𝑅 𝑥 𝑃
2
𝑃 1 = (𝑂𝑅 𝑥 𝑃 2 ) + (1− 𝑃 2)

7,0𝑥 40
𝑃1 ( 7,0𝑥 40) + (1− 40)

𝑃 1 = 25,6

Sehingga diketahui: 𝑃 2 = 40 𝑃 1 = 25,6

(𝑍1− 𝛼/ √2 𝑃 2 (1− 𝑃 2) + 𝑍 1− â √𝑃 1 (1− 𝑃 1 )+ 𝑃 2 (1− 𝑃 2 ))²


2
n =
(𝑃 1− 𝑃 2 )²

(1,96 √2. 40 (1− 40) + 0,842 √25,6 (1− 25,6)+ 40 (1− 40))²
=
(25,6− 40)²

= 29,5 = 30 (Dibulatkan)

Dari Perhitungan diatas didapatkan besar sampel minimum yang

harus diambil sebanyak 30 sampel, yaitu 30 sampel kasus dan 30

sampel kontrol dengan perbandingan 1:1 sehingga jumlah sampel

yang diteliti pada penelitian ini 60 sampel.

Setelah ditentukan besar sampel selanjutnya menentukan kriteria

sampel.

Tabel 4.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi


SAMPEL KRITERIA INKLUSI KRITERIA EKSKLUSI
Kasus 1. Warga yang tinggal di 1. Sudah Meninggal dunia
wilayah kerja Puskesmas 2. Melakukan renovasi
Wonoasri Kabupaten madiun rumah kurang dari 1
2. Warga yang telah terdiagnosa tahun
penyakit kusta dan terdaftar di
Puskesmas Wonoasri
Kabupaten Madiun
3. Bersedia menjadi responden
5
Lanjutan Tabel 4.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
SAMPEL KRITERIA INKLUSI KRITERIA EKSKLUSI
Kontrol 1. Warga yang tinggal di 1. Tidak dapat
wilayah kerja Puskesmas berkomunikasi dengan
Wonoasri Kabupaten Madiun baik.
2. Warga yang tidak terdiagnosa
kusta dan tidak terdaftar di
Puskemas Wonoasri
3. Bersedia menjadi responden

4.3 Teknik Sampling

Teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel (Sugiyono,

2010). Untuk menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian,

terdapat berbagai teknik sampling yang digunakan. Dalam penelitian ini

menggunakan probability sampling dengan jenis simple random sampling.

Probability sampling adalah adalah teknik pengambilan sampel yang

memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk

dipilih menjadi sampel (Sugiyono, 2014). Jenis Probability sampling yang

digunakan dalam pengambilan sampel pada penelitian ini adalah Simple

random sampling.

Menurut Sugiyono (2014) bahwa dikatakan simple (sederhana) karena

pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa

memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu. Cara demikian dilakukan

bila anggota populasi dianggap homogen. Pada penelitian ini dilakukan

teknik pengambilan sampel dengan menggunakan Simple random sampling,

hal ini dilakukan karena anggota populasi yakni penderita kusta yang

terdaftar di wilayah kerja puskesmas Kabupaten Madiun memiliki peluang

yang sama untuk dipilih menjadi sampel. Langkah-langkah Simple random

sampling yang dilakukan dengan cara undian, adalah sebagai berikut.


5

1. Peneliti mendaftar semua anggota populasi.

2. Setelah selesai didaftar, kemudian masing-masing anggota populasi

diberi nomor, masing-masing dalam satu kertas kecil-kecil.

3. Kertas-kertas kecil yang masing-masing telah diberi nomor tersebut

kemudian digulung atau dilinting.

4. Gulungan atau lintingan kertas yang telah berisi nomor-nomor tersebut,

kemudian dimasukkan ke dalam suatu tempat (misalnya kotak atau

kaleng) yang dapat digunakan untuk mengaduk sehingga tempatnya

tersusun secara acak (sembarang).

5. Setelah proses pengadukan dianggap sudah merata, kemudian peneliti

atau orang lain yang diawasi peneliti, mengambil lintingan kertas satu

per satu sampai diperoleh sejumlah sampel yang diperlukan.

Cara undian ini sangat sederhana dan mudah digunakan, cocok

digunakan untuk jumlah sampel yang kecil, namun untuk digunakan

terhadap jumlah populasi yang besar, akan menjadi tidak efisien.

4.4 Kerangka Kerja Penelitian

Kerangka kerja merupakan merupakan penahapan dalam suatu

penelitian pada kerangka kerja disajikan alur penelitian terutama variabel

yang akan digunakan dalam penelitian (Wiratna, 2014). Berikut

disampaikan kerangka kerja dari penelitian ini mulai awal hingga penarikan

kesimpulan:
5

Populasi
Semua penderita kusta yang terdaftar di Puskesmas
Wonoasri Kabupaten Madiun

Sampel
Berdasarkan perhitungan dengan rumus Lemeshow didapat besar sampel
berjumlah 30 orang, sehingga 30 sebagai kasus dan 30 orang sebagai kontrol
dengan perbandingan 1:1
Variabel Independent
Kondisi fisik rumah, Riwayat, Status Ekonomi, Status Pekerjaan
Variabel Dependent
Kejadian Kusta
Teknik Sampling
Probability sampling dengan jenis Simple random
sampling
Pengolahan Data
Uji Validitas dan Reliabilitas
Editing, Coding, Entry, Cleaning, Tabulating

Desain Penelitian
Desain penelitian analitik dengan pendekatan Case Control
Gambar 4.2 Analisis
Kerangka Data
Kerja Penelitian
Menggunakan uji Chi-

Hasil dan Kesimpulan


6

4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel

4.5.1 Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas (Variabel Independent)

Variabel bebas merupakan variabel yang dapat

mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau

timbulnya variabel terikat (dependent) (Wiratna, 2014). Variabel

bebas pada penelitian ini adalah jenis dinding, jenis lantai,

kelembapan, luas ventilasi, riwayat kontak, status ekonomi,

status pekerjaan.

2. Variabel Terikat (Variabel Dependent)

Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau

yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Wiratna,

2014). Variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian

penyakit kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri.

4.5.2 Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional variabel adalah pengertian variabel yang

diungkap dalam definisi konsep secara operasional, secara praktik

dan secara nyata dalam lingkup objek penelitian/ objek yang diteliti.

Mendefisikasi variabel secara operasioanl adalah menggambarkan

atau mendeskripsikan variabel penelitian sedemikian rupa,sehingga

orientasi pengertian definisi operasional terletak pada istilah yang

spesifik (tidak berinterpretasi ganda) dan terukur (observable atau

measurabele)
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa definisi operasional variabel penelitian ini adalah:

Tabel 4.3 Definisi Operasional Variabel


DEFINISI SKALA
NO VARIABEL OPERASIONAL ALAT UKUR DATA PARAMETER HASIL UKUR
1 Kejadian Semua penderita Wawancara , Nominal 1. Kasus, warga yang tercatat 0 = Penderita Kusta
Kusta yang didiagonosis ceklist (untuk sebagai penderita di (Kasus)
kusta diwilayah penderita kontrol) Puskesmas Wonoasri. 1 = Buka Penderita
kerja wonoasri & Melihat Kartu 2. Kontrol, warga yang tidak Kusta (Kontrol)
penderita Kusta menderita kusta yang
Berdasarkan
menjadi keluarga/ tetangga
anamnesis dan dari penderita kusta
pemeriksaan secara
klinis serta tercatat
dalam kartu
penderita.
2 Jenis Dinding Jenis bahan yang Lembar Observasi Nominal 1. Tidak memenuhi syarat bila 0 = Tidak Memenuhi
digunakan sebagai Dan Wawancara sebagian/ seluruh dinding Syarat
dasar sebuah ruangan terbuat dari papan dan 1 = Memenuhi Syarat
yang terbuat dari kayu.
semen 2. Memenuhi syarat,bila jenis
dinding terbuat dari
semen.
(Permenkes RI, 2011)
3 Jenis Lantai Jenis bahan yang Lembar Observasi Nominal 1. Tidak memenuhi syarat, 0 = Tidak Memenuhi
digunakan sebagai Dan Wawancara bila sebagian/ seluruh lantai Syarat
dasar sebuah ruangan terbuat dari tanah dan 1 = Memenuhi Syarat
yang terbuat dari dari plester yang retak.
semen/ubin/kramik 2. Memenuhi syarat, bila
Dan kondisi keadaan jenis lantai terbuat dari
lantai rumah semen/ ubin/ kramik.
penderita sekitar 2 (Permenkes RI, 2011)
tahun yang lalu

6
Lanjutan Tabel 4.3 Definisi Operasional
DEFINISI SKALA
NO VARIABEL OPERASIONAL ALAT UKUR DATA PARAMETER HASIL UKUR
kusta

4 Kelembaban Angka yang Hygrometer Nominal 1. Tidak memenuhi syarat, 0 = Tidak Memenuhi
menunjukkan bila kelembaban < 40-70%. Syarat
kelembaban ruangan 2. Memenuhi syarat,bila 1 = Memenuhi Syarat
(dalam%) kelembaban ≥ 40-70%.
(Permenkes RI, 2011).

5 Luas Ventilasi Mengukur panjang Rollmeter dan Nominal 1. Tidak memenhi syarat 0 = Tidak Memenuhi
dan lebar lantai serta lembar Observasi bila ventilasi <10% luas Syarat
ventilasi dengan lantai. 1 = Memenuhi Syarat
menggunkaan 2. Memenuhi syarat,bila
rollmeter dan kondisi ventilasi ≥10% luas lantai
fisik rumah penderita (Permenkes RI, 2011)
diukur berdasarkan
syarat rumah sehat
sekitar 2 tahun yang
lalu sebelum
didiagnosis kusta

6 Riwayat Riwayat penderita Lembar Nominal 1. Berisiko jika total skor 0 = Berisiko
Kontak kusta yang Kuesioner Dan ≥ 50% 1 = Tidak Berisiko
Penderita berhubungan Wawancara 2. Tidak Berisiko jika total
keluarga Dengan skor < 50%
perhitungan Skor (Sunyoto, Danang, 2012).
Dari Skala
Guttman Yaitu
Jawaban
Ya =1
Tidak =0

7 Status Keadaan sosial Lembar Observasi Nominal 1. < UMR Rp.1.763.267,65 0 = < UMR

6
Lanjutan Tabel 4.3 Definisi Operasional
DEFINISI SKALA
NO VARIABEL OPERASIONAL ALAT UKUR DATA PARAMETER HASIL UKUR
Ekonomi ekonomi penderita dan Wawancara 2. ≥ UMR Rp.1.763.267,65 1 = ≥ UMR
diukur dengan (https://www.dedyprastyo.com/
melihat pendapatan 2018/12/umr-jawa-timur-2019/)
rata – rata perbulan
sekitar 2 tahun yang
sebelum didiagnosis
kusta.

8 Status Jenis pekerjaan atau Lembar Observasi Nominal 1. Tidak Beresiko (tidak 0 = Berisiko
Pekerjaan mata pencarian yang dan Wawancara bekerja, pelajar, pegawai 1 = Tidak Berisiko
dilakukan responden kantor)
untuk memperoleh 2. Berisiko (pekerja
penghasilan baik dari bangunan, buruh, tukang
segi pekerjaan mapn batu, pekerja bengkel,
lingkungannya penjahit, petani)
kerjanya saat (Nur Laily, 2012)
didiagnosis menderita
kusta sekitar 2 tahun
yang lalu sebelum
didiagnosis kusta.

6
6

4.6 Instrumen Penelitian

4.6.1 Kuesioner

Kuesioner adalah metode pengumpulan data dengan cara

menggunakan daftar pertanyaan yang diajukan kepada responden

untuk dijawab dengan memberikan angket (Wiratna, 2014). Dalam

kuuesioner penelitian cukup banyak berisi jawaban dalam bentuk

kata sehingga diperlukan scoring untuk memudahkan penilaian dan

akan membantu dalam proses analisis data yang telah ditemukan.

Untuk penilaian ini menggunakan penilaian scoring dengan skala

pengukuran Gutman. Untuk hasil jawaban terhadap pertanyaan

kuesioner akan dilakukan penilaian berupa skor angka 0 untuk

jawaban tidak memenuhi syarat, sedangkan skor 1 untuk jawaban

memenuhi syarat.

4.6.2 Observasi

Observasi merupakan suatu metode yang digunakan untuk

peneliti dengan cara pengamatan langsung terhadap kegiatan yang

dilakukan oleh responden. Observasi dapat berisi sebuah daftar jenis

kegiatan yang mungkin timbul dan akan diamati oleh peneliti

(Wiratna, 2014).

4.6.3 Wawancara

Adalah suatu metode yang digunakan untuk mengumpulkan

data, dimana peneliti mendapatkan keterangan atau informasi secara


6

lisan dari responden, berhadapan atau tatap muka dengan orang

tersebut (face to face).

4.6.4 Pengukuran

Melakukan pengukuran yang meliputi pengukuran kelembaban

dan Luas Ventilasi:

1. Kelembaban

Kriteria tingkat kelembaban suatu ruangan yang memenuhi

syarat adalah jika prosentase kandungan air dalam udara adalah

40% - 70%. Tidak memenuhi syarat jika prosentase kandungan

air dalam udara di ruangan kurang dari 40% atau lebih dari 70%.

Alat yang digunakan adalah Hygrometer. Lokasi pengukuran

ditentukan dengan melihat ruang yang paling sering digunakan

beraktifitas anggota keluarga, dan terkeuali tempat menaruh air,

atau kamar mandi, untuk waktu juga konsisten di pukul 09.00 –

14.00 dengan cuaca diluar cerah, tidak mendung dan tidak hujan.

2. Luas ventilasi

Secara umum mengukur luas ventilasi yaitu dengan cara

membandingkan antara luas lantai dengan luas ventilasi. Luas

ventilasi yang memenuhi syarat bila ventilasi ≥10% luas lantai

dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat bila ventilasi

<10% luas lantai (Permenkes, 2011).

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan rollmeter,

berikut cara pengukurannya:


6

a. Luas ventilasi ruang tamu, dan ruang tidur diukur.

b. Luas lantai ruang tamu, dan ruang tidur diukur.

c. Luas ventilasi dibandingkan dengan luas lantai rumah

4.6.5 Uji Validitas

Untuk menguji validitas instrumen digunakan rumus korelasi

Product moment. Penentuan kevalidan suatu instrumen diukur

dengan membandingkan r-hitung dengan r-tabel. Adapun penentuan

disajikan sebagai berikut:

1. r-hitung > r-tabel atau nilai sig r < 0,05 : Valid

2. r-hitung < r-tabel atau nilai sig r > 0,05 : Tidak Valid

Jika ada butir yag tidak valid, maka butir yang tidak valid

tersebut dikeluarkan, dan proses analisis diulang untuk butir yang

valid saja

Hasil r hitng dibandingkan r tabel dimana df=n-2 dengan sig

5%. Jika r tabel < r hitung maka valid, dan jika r tabel > r hitung

maka tidak valid (Sujarweni,2014)

Dengan menggunakan jumlah responden sebanyak 30 uji

kuesioner dilakukan di puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun

dengan jumlah responden 30 (15 untuk responden kasus dan 15

untuk responden kontrol) maka nilai r tabel dapat diperoleh melalui

tabel r product moment pearson dengan df (degree of freedom) = n –

2, sehingga df= 30–2 = 28, maka R tabel = 0.312. Butir pertanyaan


6

dikatakan valid jika r hitung > r tabel. Dapat dilihat dari Corrected

Item Total Correlation. Analisis output bisa dilihat dibawah ini:

Tabel 4.4 Data Validitas Instrumen Penelitian


No Butir R hitung R table Keterangan
Pertanyaan 1 0,669 0.312 Valid
Pertanyaan 2 0.839 0.312. Valid
Pertanyaan 3 0.619 0.312 Valid
Pertanyaan 4 0.313 0.312 Valid
Pertanyaan 5 0.334 0.312 Valid
Pertanyaan 6 0.556 0.312 Valid
Pertanyaan 7 0.367 0.312 Valid
Pertanyaan 8 0.461 0.312 Valid
Pertanyaan 9 0.457 0.312 Valid
Sumber: Data primer Validitas Instrumen Penelitian

Disimpulkan dari tabel diatas bahwa 9 butir pertanyaan

dinyatakan valid karena melebihi R tabel ≥0,312.

4.6.6 Uji Reliabilitas

Menurut Sayuti dalam Saputri (2010), kuesioner dinyatakan

reliabel jika mempunyai nilai koefisien alpha, maka digunakan

ukuran kemantapan alpha yang diinterprestasikan sebagai berikut:

Tabel 4.5 Nilai Alpha Cronbach’s


Nilai Alpha Cronbach’s Kualifikasi Nilai
0,00- 0,20 Kurang reliabel
0,21- 0,40 Lumayan reliabel
0,41- 0,60 Cukup reliabel
0,61- 0,80 Reliabel
0,81- 1,00 Sangat reliabel

Uji reliabilitas dapat dilihat pada nilai α-Cronbach, jika nilai α-

Cronbach > 0,60 maka kontruk pertanyaan yang merupakan dimensi

variabel adalah reliable (Sujarweni,2015). Analsisi output bias

dilihat dibawah ini:


6

Tabel 4.6 Data Reliabilitas Insreumen Penelitian


Cronbach’s Alpha Keterangan
0,717 Reliabel
Sumber: Sumber Data Reliabelitas Instrumen Penelitian

Diperoleh r hitung > r tabel maka di nyatakan valid.

Berdasarkan uji reliabilitas didapatkan hasil Cronbach’s Alpha

sebesar 0,717 yang artinya reliabel. Sehingga kuesioner penelitian

ini dapat digunakan sebagai alat pengumpulan data pada sumber

penelitian.

4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian : Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas

Wonoasri Kabupaten Madiun.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dimuali pada bulan April - Mei 2019 dan perencanaan

(penyusunan proposal) sampai dengan penyusunan laporan akhir bulan

Agustus 2019 di Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten

Madiun.

Tabel 4.7 Realisasi Penelitian


No Kegiatan Tanggal Acc
1 Pembuatan dan Konsul Judul 1 Februari 2019
2 Penyusunan dan Bimbingan 12 Februari 2019 – 11 April
Proposal 2019
3 Ujian Proposal 23 April 2019
4 Revisi Proposal 27 April 2019
5 Pengambilan Data 27 Mei 2019 – 2 Juni 2019
6 Penyusun dan Konsul Skripsi 28 Juni 2019 -
7 Ujian skripsi 9 Juli 2019
8 Revisi Skripsi 19 Juli 2019
6

4.8 Jenis Data

4.8.1 Data Primer

Data primer adalah data asli yang dikumpulkan sendiri oleh

peneliti untuk menjawab masalah penelitiannya secara khusus. Pada

umumnya data primer ini belum tersedia, sehingga seseorang peniliti

harus melakukan pengumpulan data sendiri berdasarkan

kebutuhannya. Data primer dari penelitian ini meliputi wawancara

dengan menggunakan kuesioner, observasi yang dilakukan oleh

peneliti secara langsung serta pengukuran.

4.8.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil

pengumpulan sumber lain atau pihak lain yaitu dengan mengadakan

studi kepustakaan dengan objek penelitian atau dapat dilakukan

dengan menggunakan data yang diperoleh dari instansi yang terkait.

Data sekunder pada penelitian ini meliputi data yang diperoleh dari

Dinas Kesehatan Kabupaten Madiun, WHO, Puskesmas Wonoasri,

UMR Kabupaten Madiun 2019, menteri kesehatan RI No.829/

Menkes/VIII/1999 dan berbagai sumber lainnya.

4.9 Teknik Pengolahan Data

1. Editing

Editing yaitu meliputi kelengkapan dan kebenaran data serta

kuesioner yang dilakukan sebelum meninggalkan tempat yang


7

bertujuan untuk mengurangi kekurangan data maupun kesalahan data

pada saat data sudah terkumpul.

2. Coding

Coding yaitu mengartikan data yang sudah terkumpul selama

pelaksanaan penelitian dengan menggunakan kode numeric (angka)

agar dapat dengan mudah dianalisis oleh peneliti.

Tabel 4.8 Coding


No Variabel Coding
1 Kejadian kusta 0 = Kasus
1 = Kontrol
2 Jenis Dinding 0 = Tidak Memenuhi Syarat
1 = Memenuhi Syarat
3 Jenis Lantai 0 = Tidak Memenuhi Syarat
1 = Memenuhi Syarat
4 Kelembaban 0 = Tidak Memenuhi Syarat
1 = Memenuhi Syarat
5 Luas Ventilasi 0 = Tidak Memenuhi Syarat
1 = Memenuhi Syarat
6 Riwayat Kontak Penderita 0 = Berisiko
1 = Tidak Berisiko
7 Status Ekonomi 0 = < UMR
1 = ≥ UMR
8 Status Pekerjaan 0 = Berisiko
1 = Tidak Berisiko

3. Entry

Entry masing-masing jawaban responden dalam bentuk “kode”

(angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program atau “software”

computer (Notoatmodjo, 2011).

4. Cleaning

Cleaning yaitu apabila semua data dari setiap sumber semua data

atau responden selesai dimasukkan, peneliti melakukan pengecekkan

kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan


7

kode ketidak lengkapan dan sebagainnya. Kemudian dilakukan

pembentulan atau korelasi.

5. Tabulating

Tabulating yaitu penyusunan data yang dilakukan peneliti dalam

bentuk table, diagram, narasi mapun histogram dengan tujuan

mempermudah peneliti untuk membaca hasil, sehingga peniliti mudah

dalam pengambilan keputusan dan perencanaan dalam sebuah

penelitian.

4.10 Analisis Data

4.10.1 Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau

mendiskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Pada

umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi

dan presentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2012). Analis yang

dilakukan pada penelitian ini adalah mengidemtifikasi dari masing-

masing variabel, seperti variabel jenis dinding, jenis lantai,

kelembaban, luas ventilasi, riwayat kontak, status pekerjaan, status

ekonomi.

4.10.2 Analisis Bivariat

Data yang diperoleh akan dianalisis secara analitik untuk

mengetahui hubungan antar variabel dengan menggunakan uji

statistik. Analisa bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang

diduga berhungan atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2012).


7

Analisa penelitian ini menggunakan uji statistic Chi-Square dan

besarnya resiko dengan Odd Ratio (OR). Odd Ratio merupakan

perbandingan antara odd subjek sakit dengan odd Subjek tidak sakit.

Sedangkan untuk persyaratan uji chi-square antara lain:

1. Bila dalam tabel 2 x 2 dijumpai nilai E (harapan) <5, lebih dari

(20%), maka uji yang digunakan adalah fisher exact untuk

semua variabel yang ditetapkan signifikasi derajat penolakan 5%

9 (P-value 0,05).

2. Bila tabel 2 x 2 tidak dijumpai nilai E (harapan) <5 tidak lebih

dari (20%) maka uji yang dipakai sebaiknya continuity

correction.

Analisa bivariat dapat dibuat dalam bentuk tabel sebagai

berikut:

Tabel 4.9 Analisis Bivariat


EFEK
FAKTOR RISIKO KASUS KONTROL JUMLAH
YA a B a+b
TIDAK c D c+d
JUMLAH a+c b+d a+b+c+d

Keterangan:

a : Jumlah kasus dengan faktor risiko.

b : Jumlah kontrol dengan faktor risiko.

c : Jumlah kasus tanpa faktor risiko.

d : Jumlah kontrol tanpa faktor risiko.


7

Dasar pengambilan keputusan dengan tingkat signifikan adalah:

1. Apabila sig p > 0,05 maka H0 diterima, sehingga antara kedua

variabel tidak ada hubungan yang bermakna jadi H1 ditolak.

2. Apabila sig p ≤ 0,05 maka H0 ditolak, sehingga antara kedua

variabel ada hubungan yang bermakna jadi H1 diterima.

3. 95% CI tidak melewati angka 1 artinya berhubungan, 95% CI

melewati angka 1 artinya tidak berhubungan.

Syarat pembaca OR dalam SPSS sebagai berikut:

1. OR < 1, tidak merupakan faktor risiko.

2. OR = 1, merupakan faktor protektif.

3. OR > 1, merupakan faktor risiko.

4.11 Etika Penelitian

4.11.1 Lembar Persetujuan (Informed Consent)

Responden bersedia diteliti, setelah diberikan permintaan

menjadi responden harus mencantumkan tanda tangan. Jika

responden menolak untuk diteliti tidak boleh memaksa dan tetap

menghormati hak-hak responden.

4.11.2 Tanpa Nama (Anonimity)

Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak

mencantumkan nama responden. Peneliti hanya mencantumkan

nama insial responden. Subyek mempunyai hak untuk meminta

bahwa data yang diberikan harus dirahasiakan sehingga tidak perlu

mencamtumkan nama identitas subyek.


7

4.11.3 Kerahasiaan (Confidentiality)

Subyek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang

diberikan harus dirahasiakan. Kerahasiaan responden dan informasi

yang telah dikumpulkan dijamin oleh peneliti. Data tersebut hanya

disajikan dan dilaporkan kepada beberapa kelompok yang

berhubungan dengan penelitian.


BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Gambaran Umum

5.1.1 Letak dan Batas – Batas wilayah

Kecamatan Wonoasri terletak dengan ketinggian antara 55 meter

sampai dengan 68 meter di atas permukaan air laut dan keseluruhan

mempunyai topografi yang datar. Luas wilayah Kecamatan Wonoasri

adalah 33,93 km2 yang terbagi dalam 10 desa dengan rincian sebagai

berikut:

Tabel 5.1 Luas Wilayah dan Jumlah Dusun per Desa Tahun 2017
NO NAMA DESA JUMLAH DUSUN LUAS WILAYAH
(Ha)
1 Banyukambang 3 135,00
2 Bancong 3 187,00
3 Buduran 3 231,00
4 Jatirejo 3 137,00
5 Klitik 5 205,00
6 Ngadirejo 6 558,21
7 Plumpungrejo 4 667,73
8 Purwosar 5 194,63
9 Sidomulyo 4 945,43
10 Wonoasri 3 132.00
JUMLAH 39 3393,00
Sumber: Data Primer 2019

75
7

Gambar 5.1 Peta Wilayah Kecamatan Wonoasri


Sumber:Data Profil Puskesmas Wonoasri 2018

Kecamatan Wonoasri merupakan salah satu dari 15 kecamatan

diwilayah Kabupaten Madiun yang memiliki batas – batas Wilayah

sebagai berikut:

 Sebelah Utara : Kecamatan Pilangkenceng

 Sebelah Timur : Kecamatan Mejayan

 Sebelah Selatan : Kecamatan Wungu

 Sebelah Barat : Kecamatan Balerejo


7

5.1.2 Kependudukan/Demografi

Jumlah penduduk Kecamatan Wonoasri tahun 2017 adalah 36.567

jiwa. Distribusi penyebaran penduduk di tiap desa dapat dilihat tabel

berikut:

Tabel 5.2 Jumlah KK dan jumlah penduduk per Desa


JUMLAH PENDUDUK
NO DESA KK L P TOTAL
1 Banyukambang 624 854 901 1755
2 Bancong 788 1104 1108 2212
3 Buduran 1176 1640 1538 3178
4 Jatirejo 884 1231 1284 2515
5 Klitik 1182 1752 1742 3494
6 Ngadirejo 2241 3030 3054 6086
7 Plumpungrejo 1555 2356 2273 4629
8 Purwosari 1738 2405 2424 4829
9 Sidomulya 1867 2604 2571 5175
10 Wonoasri 979 1375 1330 2705
JUMLAH 13034 18351 18225 36576
Sumber: Data Primer 2019

Jumlah Rumah Tangga Sangat Miskin, Miskin, Hampir Miskin

pendapatan perlindungan social 2008 (PPSL08) perdesa Kec.Wonoasri

Tabel 5.3 Klasifikasi Keadaan Pendapatan Masyarakat Miskin


RT RT RT
SANGAT MISKIN HAMPI
NO DESA JUMLAH
MISKIN R
MISKIN
1 NGADIREJO 41 188 218 447
2 JATIREJO 9 77 70 156
3 BANYUKAMBANG 12 51 69 132
4 SIDOMULYA 9 74 250 333
5 PLUMPUNGREJO 81 338 199 618
6 WONOASRI 10 65 131 206
7 BANCONG 9 100 115 224
8 KLITIK 23 101 77 201
9 PURWOSARI 22 85 87 194
10 BUDURAN 30 136 159 325
JUMLAH 246 1215 1375 2836
Sumber: Data Primer 2019
7

5.1.3 Taraf Tingkat Pendidikan

Sebagian besar Penduduk Kecamatan Wonoasri berpendidikan rendah

menurut tingkat pendidikan per desa ( Data Akhir Tahun 2017)

Tabel 5.4 Tingkat Pendidikan Penduduk Tahun 2017


NO PENDIDIKAN L P JUMLAH %
1 TIDAK/BELUM 4387 4558 8954 24,46
SEKOLAH
2 TIDAK TAMAT 3321 3699 7020 19,19
SD
3 TAMAT SD 2541 2656 5197 14,21
4 TAMAT SLTP 4425 3587 8012 21,91
5 TAMAT SLTA 4425 3587 8012 21,91
6 D I / II 34 59 93 0,25
7 DIII 101 155 256 0,70
8 D IV /S 1 474 483 957 2,62
9 S2 27 19 46 0,13
10 S3 3 2 5 0.01
11 SLB 11 7 18 0,05
JUMLAH 18351 18225 36576 100,0
Sumber: Data Primer 2019

5.2 Karakteristik Responden

Karakteristik responden penelitian di UPT Puskesmas Wonoasri

Kabupaten Madiun yang tercakup dalam lembar pertanyaan penelitian

meliputi jenis kelamin,pendidikan,umur,kejadian kusta.

5.2.2 Jenis Kelamin

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasakan Jenis Kelamin di


UPT Puskesmas Wonoasri 2019
Jenis Kelamin Jumlah Presentase (%)
Laki – Laki 23 38,3
Perempuan 37 61,7
Total 60 100,0
Sumber: Data Primer 2019

Berdasarkan tabel 5.5 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar

responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 37 orang (61,7 %).


7

5.2.3 Pendidikan

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasakan Pendidikan di UPT


Puskesmas Wonoasri 2019
Pendidikan Jumlah Presentase (%)
SD 9 15
SMP 21 35
SMA 30 50
TOTAL 60 100,0
Sumber: Data Primer 2019

Berdasarkan tabel 5.6 diatas dapat diketahui bahwa presentase terbesar

responden SMA sebanyak 30 orang (50%).

5.2.4 Umur

Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasakan Umur di UPT


Puskesmas Wonoasri 2019.
Umur Jumlah Presentase (%)
≥ 35 Tahun 50 83,3
< 35 Tahun 10 16,7
Total 60 100 ,0
Sumber: Data Primer 2019

Berdasarkan tabel 5.8 diatas dapat diketahui bahwa presentase terbesar

responden yang berumur ≥ 35 tahn sebanyak 50 orang (83,3%).

5.3 Hasil Penelitian

Hasil penelitian dari penderita kusta di wilayah kerja UPT puskesmas

Wonoasri Kabupaten Madiun adalah sebagai berikut:

5.3.1 Hasil Univariat

Tabel 5.9 Distribusi Riwayat Kontak Responden Berdasarkan Kejadian


Kusta di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
Riwayat Kontak Jumlah Presentase
Berisiko 41 66,3
Tidak Berisiko 19 31,7
Total 60 100,0

Sumber: Data Primer


8

Berdasarkan tabel 5.9 diatas dapat diketahui bahwa presentase terbesar

Riwayat Kontak responden diwilayah kerja puskesmas Wonoasri dalam

katagori berisiko yaitu sebanyak 41 responden (66,3%).

Tabel 5.10 Distribusi Kelembaban Responden Berdasarkan Kejadian Kusta


di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
Kelembaban Jumlah Presntase (%)
Tidak Memenuhi Syarat 37 61,7
Memenuhi Syarat 23 38,3
Total 60 100,0
Sumber: Data Primer 2019

Berdasarkan tabel 5.10 diatas dapat diketahui bahwa presentase terbesar

kelembaban rumah responden diwilayah kerja puskesmas Wonoasri dalam

katagori tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 37 responden (61,7%).

Tabel 5.11 Distribusi Luas Ventilasi Responden Berdasarkan Kejadian


Kusta di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
Luas Ventilasi Jumlah Presentase (%)
Tidak Memenuhi Syarat 44 73,3
Memenuhi Syarat 16 26,7
Total 60 100,0
Sumber: Data Primer 2019

Berdasarkan tabel 5.11 diatas dapat diketahui bahwa presentase terbesar

Luas Ventilasi rumah responden diwilayah kerja puskesmas Wonoasri

dalam katagori tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 44 responden

(73,3%).

Tabel 5.12 Distribusi Jenis Dinding Responden Berdasarkan Kejadian Kusta


di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
Jenis Dinding Jumlah Presentase (%)
Tidak Memenuhi Syarat 36 60
Memenuhi Syarat 24 40
Total 60 100,0

Sumber: Data Primer


8

Berdasarkan tabel 5.12 diatas dapat diketahui bahwa presentase terbesar

Jenis Dinding rumah responden diwilayah kerja puskesmas Wonoasri dalam

katagori tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 36 responden (60%).

Tabel 5.13 Distribusi Jenis Lantai Responden Berdasarkan Kejadian Kusta


di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
Jenis Lantai Jumlah Presentase (%)
Tidak Memenuhi Syarat 39 65
Memenuhi Syarat 21 35
Total 60 100,0
Sumber: Data Primer 2019

Berdasarkan tabel 5.13 diatas dapat diketahui bahwa presentase terbesar

Jenis Lantai rumah responden diwilayah kerja puskesmas Wonoasri dalam

katagori tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 39 responden (66%).

Tabel 5.14 Distribusi Status Ekonomi Responden Berdasarkan Kejadian


Kusta di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
Status Ekonomi Jumlah Presentase (%)
< UMR 35 58,3
≥ UMR 25 41,7
Total 60 100,0
Sumber: Data Primer 2019

Berdasarkan tabel 5.14 diatas dapat diketahui presentase Status

Ekonomi responden diwilayah kerja puskesmas Wonoasri dalam katagori

<UMR sebanyak 35 responden (58,3%).

Tabel 5.15 Distribusi Status Pekerjaan Responden Berdasarkan Kejadian


Kusta di UPT Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
Status Pekerjaan Jumlah Presentase (%)
Berisiko 38 63,3
Tidak Berisiko 22 36,7
Total 60 100,0

Sumber: Data Primer


82

Berdasarkan tabel 5.15 diatas dapat diketahui bahwa presentase Status

Pekerjaan responden diwilayah kerja puskesmas Wonoasri dalam katagori

Berisiko (petani, buruh tani, dll) sebanyak 38 responden (63,3%).

5.3.2 Hasil Bivariat

Hasil penelitian dimaksudkan untuk mengetahui hubungan dan

besarnya nilai odds ratio faktor risiko, dan digunakan untuk mencari

hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat dengan uji statistic

yang disesuaikan dengan skala data yang ada. Uji statistic yang digunakan

Chi-Square dan penentuan odds ratio (OR) dengan taraf kepercayaan (CI)

95 % dan tingkat kemaknaan 0,05. Hasil uji Chi-Square dapat dilihat pada

tabel dibawah ini:

5.3.2.1 Hubungan Riwayat Kontak dengan Kejadian Kusta di UPT


Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

Tabel 5.16 Hubungan Riwayat Kontak dengan Kejadian Kusta di UPT


Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.
Kejadian kusta
Riwayat Kasus Kontrol OR 95% P-
Kontak CI Value
N % N %
Berisiko 25 83,3 16 43,3 4,375 1,320 – 0,026
Tidak 14,504
5 16,7 14 46,7
Berisiko
Total 30 100,0 30 100,0
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2019

Presentase responden yang berisiko pada kelompok kasus sebanyak 25

(76,7 %), lebih besar dari kelompok kontrol yang hanya 16 (43,3 %).

Berdasarkan uji Chi-Square yang sudah dilakukan dilihat (continuity

correction) dengan p Value 0.026 < 0.05 berarti ada hubungan antara

riwayat kontak dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas

Wonoasri Kabupaten Madiun. Jadi, responden yang terdapat anggota


8

keluarga yang menderita Kusta memiliki risiko 4,375 kali lebih besar

dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki anggota keluarga

yang menderita Kusta (95% CI = 1,320 – 14, 504).

5.3.2.2 Hubungan Kelembaban dengan Kejadian Kusta di UPT


Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

Tabel 5.17 Hubungan Kelembaban dengan Kejadian Kusta di UPT


Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun
Kejadian kusta
Kelembaba P-
Kasus Kontrol OR 95% CI
n Value
N % N %
Tidak 24 80 13 43,3 5,231 1,657 – 16,515 0,008
Memenuhi
Syarat
Memenuhi
6 20 17 56,7
Syarat
Total 30 100,0 30 100,0
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2019

Prosentase responden yang tidak memenuhi syarat pada kelompok

kasus sebanyak 24 (80 %), lebih besar dari kelompok kontrol yang hanya

13 (43,3 %). Berdasarkan uji Chi-Square yang sudah dilakukan dilihat

(continuity correction) dengan p Value 0.008 < 0.05 berarti ada hubungan

antara kelembaban dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas

Wonoasri Kabupaten Madiun. Jadi, responden yang kelembaban rumahnya

kurang baik memiliki risiko 5,231kali lebih besar dibandingkan dengan

responden yang kelembaban rumahnya baik (95% CI =1,657 – 16,515).


8

5.3.2.3 Hubungan Luas Ventilasi dengan Kejadian Kusta di UPT


Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

Tabel 5.18 Hubungan Luas Ventilasi dengan Kejadian Kusta di UPT


Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun
Kejadian kusta
P-
Luas Kasus Kontrol NOR 95% CI
Value
Ventilasi % N %
Tidak 26 86,7 18 60 4,333 1,203 – 0,041
Memenuhi 15,605
Syarat
Memenuhi
4 13,3 12 40
Syarat
Total 30 100,0 30 100 ,0
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2019

Prosentase responden yang tidak memenuhi syarat pada kelompok

kasus sebanyak 26 (86,7 %), lebih besar dari kelompok kontrol yang

hanya 18 (60 %). Berdasarkan uji Chi-Square yang sudah dilakukan

dilihat (continuity correction) dengan p Value 0.041 < 0.05 berarti ada

hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian kusta di wilayah kerja

Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun. Jadi, responden yang luas

ventilasi rumahnya kurang baik memiliki risiko 4,333 kali lebih besar

dibandingkan dengan responden yang luas ventilasi rumahnya baik (95%

CI =1,203 – 15,605).

5.3.2.4 Hubungan Jenis Dinding dengan Kejadian Kusta di UPT


Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

Tabel 5.19 Hubungan Jenis Dinding dengan Kejadian Kusta di UPT


Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun
Jenis Kejadian kusta
Dinding P-
Kasus Kontrol NOR 95% CI
Value
% N %
Tidak 24 80 12 40 6,000 1,890 – 0,004
Memenuhi 19,043
Syarat
Memenuhi
6 20 18 60
Syarat
Total 30 100,0 30 100,0
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2019
8

Prosentase responden yang tidak memenuhi syarat pada kelompok

kasus sebanyak 24 (80%), lebih besar dari kelompok kontrol yang hanya

12 (40 %). Berdasarkan uji Chi-Square yang sudah dilakukan dilihat

(continuity correction) dengan p Value 0.004 < 0.05 berarti ada hubungan

antara jenis dinding dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas

Wonoasri Kabupaten Madiun. Jadi, responden yang jenis dinding

rumahnya kurang baik memiliki risiko 6,000 kali lebih besar dibandingkan

dengan responden yang jenis dinding rumahnya baik (95% CI =1,890 –

19,043).

5.3.2.5 Hubungan Jenis Lantai dengan Kejadian Kusta di UPT


Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

Tabel 5.20 Hubungan Jenis Lantai dengan Kejadian Kusta di UPT


Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun
Jenis Kejadian kusta
lantai 95% P–
Kasus Kontrol OR CI Value
N % N %
Tidak 24 80 15 50 4,000 1,272 – 0,030
Memenuhi 12,578
Syarat
Memenuhi
6 20 15 50
Syarat
Total 30 100,0 30 100,0
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2019

Prosentase responden yang tidak memenuhi syarat pada kelompok

kasus sebanyak 24 (80%), lebih besar dari kelompok kontrol yang hanya

15 (50 %). Berdasarkan uji Chi-Square yang sudah dilakukan dilihat

(continuity correction) dengan p Value 0.030 < 0.05 berarti ada hubungan

antara jenis lantai dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas

Wonoasri Kabupaten Madiun. Jadi, responden yang jenis lantai rumahnya


8

kurang baik memiliki risiko 4,000 kali lebih besar dibandingkan dengan

responden yang jenis lantai rumahnya baik (95% CI =1,272 – 12,578).

5.3.2.6 Hubungan Status Ekonomi dengan Kejadian Kusta di UPT


Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

Tabel 5.21 Hubungan Status Ekonomi dengan Kejadian Kusta di UPT


Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun
Status Kejadian kusta
Ekonomi P-
kasus Kontrol OR 95% CI
Value
N % N %
< UMR 23 76,7 12 40 4,929 1,612 – 0,009
≥ UMR 7 23,3 18 60 15,071
Total 30 100,0 30 100,0
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2019

Prosentase responden yang < UMR pada kelompok kasus sebanyak 23

(76,7%), lebih besar dari kelompok kontrol yang hanya 12 (40 %).

Berdasarkan uji Chi-Square yang sudah dilakukan dilihat (continuity

correction) dengan p Value 0.009 < 0.05 berarti ada hubungan antara

status ekonomi dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas

Wonoasri Kabupaten Madiun. Jadi, responden yang status ekonominya <

UMR memiliki risiko 4,929 kali lebih besar dibandingkan dengan

responden yang status ekonominya ≥ UMR (95% CI =1,612 – 15,071).

5.3.2.7 Hubungan Status Pekerjaan dengan Kejadian Kusta di UPT


Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

Tabel 5.22 Hubungan Status Pekerjaan dengan Kejadian Kusta di UPT


Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun
Status Kejadian kusta
Pekerjaan P-
kasus Kontrol OR 95% CI
Value
N % N
%
Berisiko 24 80 14 46,7 4,571 1,452 – 0,016
Tidak 14,389
6 20 16 53,3
Berisiko
Total 30 100,0 30 100,0
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2019
8

Prosentase responden status pekerjaanya berisiko (petani, buruh tani,

dll) pada kelompok kasus sebanyak 24 (80%), lebih besar dari kelompok

kontrol yang hanya 14 (46,7 %). Berdasarkan uji Chi-Square yang sudah

dilakukan dilihat (continuity correction) dengan p Value 0.016 < 0.05

berarti ada hubungan antara status pekerjaan dengan kejadian kusta di

wilayah kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun. Jadi, responden

yang status pekerjaannya yang berisiko (petani, buruh tani, dll) memiliki

risiko 4,571 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang status

pekerjaanya tidak berisiko (pegawai kantor, pelajar) (95% CI=1,452 –

14,389).

5.4 Pembahasaan

5.4.1 Hubungan Riwayat Kontak dengan Kejadian Kusta

Hasil analisis bivariat menggunakan uji Chi-square untuk mengetahui

hubungan riwayat kontak dengan kejadian kusta diperoleh nilai p-value

0,026 < 0,05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara riwayat

kontak dengan kejadian kusta di wilayah kerja puskesmas Wonoasri.

Diketahui nilai OR sebesar 4,375 berarti bahwa responden yang riwayat

kontak rumah kurang baik pada kelompok kasus 4,375 kali lebih besar

berisiko terkena kusta dibandingkan dengan responden yang riwayat kontak

kurang baik pada kelompok kontrol.

Berdasarkan distribusi frekuensi sebanyak 25 (83,3%) responden yang

menderita kusta disebabkan karena tertular dari penderita lain yaitu keluarga

(lama kontak dengan penderita), hal ini sejalan dengan penelitian Benjamin
8

(2013) yang meneliti faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian

kusta menyatakan bahwa riwayat kontak merupakan faktor risiko kejadian

kusta, dikarenakan bahwa kontak dengan penderita yang lama berisiko

terhadap kejadian kusta dibandingkan dengan orang yang kontak dengan

penderita hanya singkat.

Berdasarkan hasil frekuensi 16 (53,3%) bahwa pada keluarga yang

terdapat penderita kusta namun responden tersebut tidak menderita kusta

tetapi memliki resiko yang tinggi. Dikarenakan responden memiliki daya

tahan tubuh yang baik. Sehingga tidak tertular penyakit kusta.

Kusta merupakan penyakit infeksius, tetapi derajat inveksitasnya

rendah.Kusta memiliki waktu inkubasi panjang, mungkin beberapa tahun

dan tampaknya kebanyakan responden mendapatkan infeksi sewaktu masa

anak – anak. Insiden yang tinggi pada pasien yang merupakan pasangan

suami istri (kusta yang diperoleh dari pasangannya). Penyakit ini timbul

akibat kontak fisik yang erat dengan pasien yang terinfeksi dan resiko ini

jauh lebih besar bila terjadi kontak dengan kasus kusta (Yessinta ,2013).

Berdasarkan hasil frekuensi 5 (16,7%) pada kelompok kasus tetapi

tidak berisiko dikarena penderita memiliki kontak fisik terhadap

keluarganya sangat sedikit Penderita kusta memiliki ruang tidur sendiri,

tempat cuci baju sendiri tidak campur dengan keluarga lain.

Sehingga,resikonya terpapar tertular penyakit kusta sangat kecil.

Peneliti menyarankan agar masyarakat meningkatkan kewasapadaan

terutama pada penyebaran penyakit kusta yang dapat dengan mudah


8

menular melalui kontak langsung yang sangat lama dengan penderita kusta

dan ruang tidur penderita kusta dengan keluarga diusahakan tidak jadi satu.

Karena, untuk menghindari penularan terhadap keluarga.

5.4.2 Hubungan Kelembaban dengan Kejadian Kusta

Hasil analisis bivariat menggunakan uji chi-square untuk mengetahi

hubungan antara kelembaban dengan kejadian kusta diperoleh nilai p-value

0,008 < 0,05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara kelembaban

dengan kejadian kusta diwilayah kerja puskesmas Wonoasri.Diketahui nilai

OR sebesar 5,231 berarti bahwa responden yang kelembabanya kurang baik

pada kelompok kasus 5,231 kali lebih besar berisiko terkena kusta

dibandingkan dengan responden yang kelembabanya rumah baik pada

kelompok kontrol.

Berdasarkan hasil observasi bahwa seberapa responden yang tidak kusta

didapatkan bahwa kelembaban dirumah tidak memenuhi syarat hal ini

dikarenakan rumah tersebut kurang mendapat sinar matahari secara

langsung. Hal ini didukung oleh peneliti yang melakukan pengukuran

kelembaban di rumah responden. Dari hasil pengukuran kelembaban

sebagian besar tidak memenuhi syarat. Hal ini dapat dilihat dari distribusi

frekuesi dengan kelompok kasus sebanyak 24 (80%) rumah responden yang

tidak memenuhi syarat kelompok kasus dan 13 ( 43.3%) rumah responden

yang tidak memenuhi syarat pada kelompok kontrol.

Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat

kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Pengaruh besar


9

terhadap penghuninya adalah bakteri didalam rumah akan mudah

berkembang biak dan dapat membat penghuni rumah sakit akibat tertapar

bakteri yang berkembang dirumahnya. Rumah merupakan media yang baik

pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri dan virus.

Mikrrorganisme dapat masuk ke dalam tubuh melalui tubuh melalui udara

(Benjamin,2013).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yuni (2018) mengenai faktor

risiko lingkungan yang berhubungan dengan kejadian kusta. Hasil uji

statistic chi – square menunjukkan p – value 0,032 yang artinya ada

hubungan bermakna antara kelembaban dengan kejadian kusta. Dimana

orang yang tinggal didalam rumah dengan kelembaban < 40% sampai 70%

memiliki risiko 5,29 kali untuk terkena kusta dibandingkan dengan orang

yang tinggal rumah dengan kelembaban antara > 40% - 70% (Sri

Nurcahyanti, 2016).

Berdasarkan distribusi frekuensi sebanyak 6 (20%) rumah responden

yang memenuhi syarat kelembaban rumah dan menderita kusta disebabkan

karena ada salah satu kondisi ruangan tidak sesuai dengan kriteria rumah

sehat, dimana pada ruangan tersebut jendela jarang dibuka setiap paginya.

Sehingga pertukaran udara tidak berjalan berjalan normal dan suhu ruangan

berada dibawah normal. Berdasarkan observasi yang dilakukan penelitian

ruangan yang kondisi udaranya lembab yaitu ruangan keluarga yang

biasanya digunakan untuk menonton tv dan dapur, kemungkinan ruangan

tersebut menjadi tempat berkembanya bakteri Mycobacterium leprae. Pada


9

ruangan tersebut tidak ada ventilasi sehingga berkembangnya bakteri dan

tertapaparnya bakteri terhadap penghuni sangat mudah.

Menurut hasil wawancara rumah responden yang tidak memenuhi

syarat dengan kejadian kusta yaitu disebabkan karena jendela pada ruang

keluarga dan ruang tidur jarang sekali dibuka, tidak ada waktu untuk

membuka jendela karena pekerjaan dan melakukan aktifitas lainnya. Seperti

yang telah diuraikan wijayanti (2018) bakteri Mycobacterium leprae seperti

halnya bakteri lain, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan

kelembaban tinggi karena air membentuk lebih dari 80% volume sel bakteri

dan merupakan hal enssensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup

sel bakteri.

Peneliti menyarankan sebaiknya pihak puskesmas memberikan

penyuluhan mengenai syarat rumah sehat yang memenuhi syarat antra 40%

- 60% agar kelembaban dalam rumah dapat memenuhi syarat dan tidak

menimbulkan rumah menjadi tempat berkembang biak bakteri. Cara

menurunkan tingkat kelembaban juga berkaitan dengan keberadaan ventilasi

yang cukup. Serta sering membuka pintu maupun jendela pada pagi hari,

agar udara dalam rumah dapat berganti.

5.4.3 Hubungan Luas Ventilasi dengan Kejadian Kusta

Hasil analisis bivariat menggunakan uji chi-square untuk mengetahi

hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian kusta diperoleh nilai p-value

0,041 < 0,05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara luas ventilasi

dengan kejadian kusta diwilayah kerja puskesmas Wonoasri. Diketahui nilai


9

OR sebesar 4,333 berarti bahwa responden yang luas ventilasi kurang baik

pada kelompok kasus 4,333 kali lebih besar berisiko terkena kusta

dibandingkan dengan responden yang luas ventilasi rumahnya baik pada

kelompok kontrol.

Berdasarkan hasil observasi bahwa rumah responden memiliki luas

ventilasi yang tidak memenuhi syarat dan ukuran ventilasi tidak memenuhi

standart. Karena, kebanyakan rumah responden memiliki ventilasi/jendela

tetapi tidak dibuka saat pagi hari dan siang hari. Ada juga rumah responden

yang tidak memiliki ventilasi tetapi dinding rumah responden terbuat dari

kayu yang memiliki celah – celah untuk udara masuk dalam rumah. Hal ini

dapat dilihat dari distribusi frekuesi dengan kelompok kasus sebanyak 26

(86,7%) rumah responden yang tidak memenuhi syarat dan 18 ( 60%)

rumah responden yang tidak memenuhi syarat pada kelompok kontrol.

Keberadaaan ventilasi dalam keadaaan terbuka pada siang hari

merupakan salah satu syarat yang menentukan kualitas udara agar tidak

pengap dan lembab yang menyebabkan berpontensinya hidupnya

mikrooganisme. Mikrooganisme di udara merupakan unsur pencemaran

sebagai penyebab gejala berbagai penyakit antara lain penyakit kulit

(Basuki, 2016).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yuni (2018) mengenai faktor

risiko lingkungan yang berhubungan dengan kejadian kusta. Hasil uji

statistik chi – square menunjukkan p – value 0,015 < 0,05 yang artinya ada

hubungan bermakna antara luas ventilasi dengan kejadian kusta. Penelitian


9

tersebut menyatakan bahwa sebagian besar responden yang menderita kusta

memiliki ventilasi yang tidak memenuhi syarat. Sebagian responden kasus

pada penelitian ini kurang dari 10% luas lantai. Ventilasi menjadi

persyaratan mutlak suatu rumah yang sehat, karena fungsinya sangat

penting.

Berdasarkan distribusi frekuensi sebanyak 4 (13,3%) rumah responden

yang memenuhi syarat luas ventilasi rumah dan menderita kusta disebabkan

karena ada salah satu kondisi rumah yang tidak sesuai dengan kriteria

rumah sehat, dimana jendela pada setiap paginya jarang dan ada salah satu

ruangnnya tidak memiliki ventilasi yang terbuka. Sehingga pertukaran udara

tidak berjalan berjalan normal. Berdasarkan observasi yang dilakukan

penelitian terdapat yang kondisi udaranya lembab yaitu ruangan keluarga

atau tempat tidur kemungkinan ruangan tersebut menjadi tempat

berkembanya bakteri Mycobacterium leprae.

Menurut hasil wawancara rumah responden yang tidak memenuhi

syarat dengan kejadian kusta yaitu disebabkan karena jendela pada ruang

keluarga dan ruang tidur jarang sekali dibuka, tidak ada waktu untuk

membuka jendela karena pekerjaan dan melakukan aktifitas lainnya. Seperti

yang telah diuraikan Yuni (2018) ventilasi menjadi persyaratan mutlak suatu

rumah yang sehat karena fungisnya sangat penting.pertama, untuk menjaga

agar aliran udara di dalam rumah tetap segar. Jika ventilasi kurang, maka

ruangan akan mengalami kekurangan O2. Kedua, aliran udara yang terus

meningkat dapat membebaskan udara dalam ruangan dari bakteri penyebab


9

kusta. Selain itu, luas ventilasi rmah yang tidak memenuhi syarat

mengakibatkan terhalangnya proses masuknya cahaya matahari yang masuk

kedalam rumah. Akibatnya, kuman kusta tidak bisa mati dan berkembang

dengan baik di tubuh penderita.

Peneliti menyarankan sebaiknya puskesmas memberikan penyuluhan

mengenai syarat rumah sehat yang memenuhi syarat khususnya luas

ventilasi harus memenuhi syarat minimal 10% dari luas lantai agar

kebutuhan luas ventilasi untuk sirkulasi udara cukup. Maka dari itu ventilasi

rumah sangat perlu untuk ditambahkan jumlahnya.

5.4.4 Hubungan Jenis Dinding Dengan Kejadian Kusta

Hasil analisis bivariat menggunakan uji chi-square untuk mengetahi

hubungan antara jenis dinding dengan kejadian kusta diperoleh nilai p-value

0,004 < 0,05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara jenis dinding

dengan kejadian kusta diwilayah kerja puskesmas Wonoasri. Diketahui nilai

OR sebesar 6,000 berarti bahwa responden yang jenis dinding kurang baik

pada kelompok kasus 4,333 kali lebih besar berisiko terkena kusta

dibandingkan dengan responden yang jenis dinding rumahnya baik pada

kelompok kontrol.

Berdasarkan hasil observasi bahwa rumah responden memiliki jenis

dinding yang tidak memenuhi syarat .Karena, kebanyakan rumah responden

memiliki dinding rmahnya masih terbuat dari papan tanpa ventilasi yang

cukup. Kondisi dinding yang tidak memenuhi syarat dapay menyebabkan

rumah tidak sehat. Hal ini dapat dilihat dari distribusi frekuesi dengan
9

kelompok kasus sebanyak 24 (80%) rumah responden yang tidak memenuhi

syarat dan 12 (40%) rumah responden yang tidak memenuhi syarat pada

kelompok kontrol

Jenis dinding yang tidak kedap air lebih bersifat lembab dan menjadi

tempat yang baik untuk pertumbuhan kusta. Jenis dinding rumah sebainya

dibuat dari tembok, tetapi dengan ventilasi yang cukup.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yuni (2018) mengenai faktor

risiko lingkungan yang berhubungan dengan kejadian kusta. Hasil uji

statistic chi – square menunjukkan p – value 0,004 < 0,05 yang artinya ada

hubungan bermakna antara jenis dinding dengan kejadian kusta. Penelitian

tersebut menyatakan bahwa sebagian besar responden yang menderita kusta

memiliki jenis dinding yang tidak memenuhi syarat. Hal ini karena dinding

tidak kedap air lebih bersifat lembab dan menjadi pertumbuhnya kuman

kusta. Dinding harus terbuat dari dari bahan yang kedap air dan mudah

dibersihkan. Hal ini untuk mencegah agar dinding rumah tidak kotor dan

lembab sehingga menjadi tempat tumbuh dan bekembangnya bakteri

penyebab kusta.

Berdasarkan distribusi frekuensi sebanyak 6 (20%) rumah responden

yang memenuhi syarat jenis rumah dan menderita kusta disebabkan karena

penderita yang tertular bakteri kusta berasal dari riwayat kontak orang lain

bukan dari lingkungan rumahnya. Mungkin saat bekerja penderita terpapar

oleh bakteri kusta dan daya tahan tubuhnya tidak baik. Sehingga sangat

mudah tertapapar penyakit kusta.


9

Menurut hasil wawancara rumah responden yang tidak memenuhi

syarat dengan kejadian kusta yaitu disebabkan karena jenis dinding yang

tidak kedap air dan bersifat lembab. Seperti yang telah diuraikan Yuni

(2018) jenis dinding menjadi persyaratan mutlak suatu rumah yang sehat

karena fungisnya sangat penting.pertama, mencegah pertumbuhnya kuman

kusta didalam rumah agar tidak menularkan anggota keluarga lainnya.

Kedua, jenis dinding harus mudah dibersihkan. Hal ini untuk mencegah agar

dinding rumah tidak cepat kotor dan tidak lembab sehingga tidak menjadi

tempat tumbuh dan berkembangnya bakteri kusta.

Peneliti menyarankan sebaiknya puskesmas memberikan penyuluhan

tentang jenis dinding yang memenuhi syarat adalah dinding yang kedap air

seperti tembok, bukan dinding kayu yang dapat mempunyai karekteristik

lembab. Karena, jenis dinding juga memiliki peran terhadap proses

perkembangbiakan bakteri, melalui kelembaban dindingnya.

5.4.5 Hubungan Jenis Lantai Dengan Kejadian Kusta

Hasil analisis bivariat menggunakan uji chi-square untuk mengetahi

hubungan antara jenis lantai dengan kejadian kusta diperoleh nilai p-value

0,030 < 0,05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara jenis lantai

dengan kejadian kusta diwilayah kerja puskesmas Wonoasri. Diketahui nilai

OR sebesar 4,000 berarti bahwa responden yang jenis lantai kurang baik

pada kelompok kasus 4,000 kali lebih besar berisiko terkena kusta

dibandingkan dengan responden yang jenis lantai rumahnya baik pada

kelompok kontrol.
9

Berdasarkan hasil observasi bahwa rumah responden memiliki jenis

lantai yang tidak memenuhi syarat. lantai responden masih terbuat dari

tanah. Tanah merupakan media yang baik untuk perkembangbiakan

Mycobacterium leprae. Hal ini disebabkan karena bakteri Mycobacterium

leprae dapat bertahan hidup ditanah hingga 46 hari. Hal ini dapat dilihat dari

distribusi frekuesi dengan kelompok kasus sebanyak 24 (80%) rumah

responden yang tidak memenuhi syarat dan 15 (50%) rumah responden

yang tidak memenuhi syarat pada kelompok kontrol.

Lantai rumah memiliki risiko tinggi kejadian terhadap kejadian kusta

karena lantai yang tidak memenuhi syarat atau lantai yang terbuat dari tanah

dan plester yang retak merupakan media yang baik untuk

perkembangbiakan Mycobacterium leprae. Hal ini disebabkan karena

bakteri Mycobacterium leprae dapat bertahan hidup ditanah hingga 46 hari.

Mycobacterium leprae mamp hidup di luar tubuh manusia dan dapat

ditemukan pada tanah dan debu (Benjamin, 2013).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yuni (2018) mengenai faktor

risiko lingkungan yang berhubungan dengan kejadian kusta. Hasil uji

statistic chi – square menunjukkan p – value 0,030 < 0,05 yang artinya ada

hubungan bermakna antara jenis lantai dengan kejadian kusta. Penelitian

tersebut menyatakan bahwa sebagian besar responden yang menderita kusta

memiliki jenis lantai yang tidak memenuhi syarat. Hal ini berbagai jenis

penyakit akan muncul. Karena, lingkungan yang buruk. Rumah yang sehat

akan memberikan kesehatan bagi penghuninya. Apabila lantai rumah terbuat


9

dari bahan tidak kedap air dapat menyebabkan meresapnya air ke dalam

rumah. Sehingga, rumah menjadi tidak sehat dan lingkungan sekitar buruk.

Berdasarkan distribusi frekuensi sebanyak 6 (20%) rumah responden

yang memenuhi syarat jenis lantai rumah dan menderita kusta disebabkan

karena penderita yang tertular bakteri kusta berasal dari lingkungan kerjanya

bukan dari lingkungan rumahnya. Mungkin saat bekerja penderita terpapar

oleh bakteri kusta dan daya tahan tubuhnya tidak baik. Sehingga sangat

mudah tertapapar penyakit kusta. Terpapar bakteri kusta tidak hanya

didalam rumah, tetapi bisa terpapar dilingkungan rumah.

Menurut hasil wawancara rumah responden yang tidak memenuhi

syarat dengan kejadian kusta yaitu disebabkan karena jenis lantai yang tidak

kedap air . Seperti yang telah diuraikan Yuni (2018) jenis lantai menjadi

persyaratan mutlak suatu rumah yang sehat. Karena, lantai merupakan

bahan bangunan fisik rumah yang sebaiknya dibuat dari bahan kedap air dan

dibuat agak tinggi agar tidak bersentuhan langsung dengan tanah. Bakteri

Mycobacterium leprae suka hidup pada tempat yang sanitasi lingkunganya

buruk.

Peneliti menyarankan sebaiknya puskesmas memberikan penyuluhan

tentang jenis lantai yang memenuhi syarat adalah jenis lantai yang kedap air

seperti keramik atau marmer, rata tak licin serta mudah dibersihkan. Bukan

lanti yang lembab atau lantai dari tanah, karena lantai yang lembab atau

mudah basah dapat menyebabkan media untuk tumbuh mikrooganisme.


9

5.4.6 Hubungan Status Ekonomi Dengan Kejadian Kusta

Hasil analisis bivariat menggunakan uji chi-square untuk mengetahi

hubungan antara status ekonomi dengan kejadian kusta diperoleh nilai p-

value 0,009 < 0,05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara status

ekonomi dengan kejadian kusta diwilayah kerja puskesmas Wonoasri.

Diketahui nilai OR sebesar 4,000 berarti bahwa responden yang memiliki <

UMR pada kelompok kasus 4,000 kali lebih besar berisiko terkena kusta

dibandingkan dengan responden yang ≥ UMR pada kelompok kontrol.

Berdasarkan hasil observasi keluarga penderita kusta diwilayah kerja

puskesmas Wonoasri yang terdiri 4 – 6 anggota keluarga dengan satu tulang

punggung yang bekerja sebagai petani, buruh dan tukang becak. Status

ekonomi yang rendah berpengaruh pada kemampuan responden untuk

mengakses pelayanan kesehatan, pemenuhan gizi dan kondisi fisik rumah.

Sebagian, besar responden kasus dalam penelitian ini memiliki ekonomi

dengan penghasilan perbulan < UMR ( Rp.1.763.267,65). Hal ini dapat

dilihat dari distribusi frekuesi dengan kelompok kasus sebanyak 23 (86,7%)

perhasilan perbulan < UMR ( Rp.1.763.267,65) dan kelompok kontrol 12 (

40%) perhasilan perbulan <UMR ( Rp.1.763.267,65).

Status ekonomi atau pendapatan merupakan salah satu faktor yang

mempunyai peran dalam mewujudkan kondisi kesehatan seseorang.

Pendapatan yang diterima seseorang akan mempengaruhi daya beli barang –

barang kebutuhan pokok dan barang – barang kebutuhan lainnya seperti

sandang, papan dan pelayanan kesehatan (Siswanti, 2018).


10

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Yuni (2018) mengenai faktor

risiko lingkungan yang berhubungan dengan kejadian kusta. Hasil uji

statistic chi – square menunjukkan p – value 0,009 < 0,05 yang artinya ada

hubungan bermakna antara status ekonomi dengan kejadian kusta.

Penelitian tersebut menyatakan bahwa sebagian besar responden yang

menderita kusta memiliki penghasilan perbulan < UMR( Rp.1.763.267,65).

Dengan, distribusi pekerjaan responden terbanyak petani dan buruh

cenderung hanya cukup untuk kebutuhan makan sehari – hari, sehingga

mereka tidak bias mengakses layanan kesehatan dan tidak bias memperbaiki

kondisi rumah sehat. Ketika, responden mengalami gejala penyakit kusta,

mereka tidak mampu memperiksa diri ke fasilitas pelayanan kesehatan.

Berdasarkan distribusi frekuensi sebanyak 7 (23,3%) responden yang

penghasilnnya ≥UMR dan menderita kusta disebabkan karena penderita

terpapar bakteri kusta berasal dari lingkungan kerjanya. Rata – rata

penderita kusta yaitu bekerja sebagai petani. Saat bekerja di ladang mereka

tidak memakai alas kaki. Sehingga, tanah diladang langsung bersentuhan

dengan kaki penderita dengan mudah bakteri kusta dapat masuk melalui

kulit kaki dan selesai bekerja mereka jarang langsung membersihkan diri.

Sehingga dengan tidak menjaga kebersihan diri, bakteri mudah bekembang

biak di dalam tubuh penderita.

Menurut hasil wawancara responden dengan penghasilan perbulan

<UMR dengan kejadian kusta yaitu disebabkan karena status ekonomi yang

rendah. Seperti yang telah diuraikan Yuni (2018) penyakit kusta terdapat di
10

Negara yang sedang berkembang dari sebagian besar penderitanya adalah

golongan ekonomi lemah. Negara atau masyarakat berstatus ekonomi

rendah, pengetahuan tentang kesehatan dan lingkungan rendah, sehingga

keadaan kesehatannya lingkungan buruk. Hal ini mengakibatkan adanya

populasi berisiko tinggi terhadap penyakit menular dan siklus kusta sering

terjadi.

Peneliti menyarankan sebaiknya puskesmas memberikan pemberdayaan

masyarakat kepada ibu – ibu atau bapak – bapak. Mendapatkan

pengahasilan sendiri. Sehingga, dapat membantu perekonomian rumah

tangga. Bila ada penghasilan lebih perekonomian rumah tangga akan lebih

baik dan kesejahteraan semakin terpenuhi.

5.4.7 Hubungan Status Pekerjaan Dengan Kejadian Kusta

Hasil analisis bivariat menggunakan uji chi-square untuk mengetahi

hubungan antara status pekerjaan dengan kejadian kusta diperoleh nilai p-

value 0,016 < 0,05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara jenis

status pekerjaan dengan kejadian kusta diwilayah kerja puskesmas

Wonoasri. Diketahui nilai OR sebesar 4,571 berarti bahwa responden yang

memiliki status pekerjaan yang berisiko pada kelompok kasus 4,571 kali

lebih besar berisiko terkena kusta dibandingkan dengan responden yang

status pekerjaanya tidak berisiko kelompok kontrol.

Berdasarkan hasil observasi pada wilayah kerja puskesmas wonoasri

didominisi oleh pekerja petani, buruh yang tanpa kenal lelah bekerja

mengeluarkan tenaga berlebihan yang akan berdampak pada penurunan


10

stamina sehingga penderita kusta dapat mengalami stress fisik dan terjadi

perubahan respon imun yang dapat memicu terjadina ENL (Entrhema

Nodosum Leprosum) Hal ini dapat dilihat dari distribusi frekuesi dengan

kelompok kasus sebanyak 24 (80%) status pekerjaan yang berisiko dan 14 (

46,7%) status pekerjaan yang berisiko pada kelompol kontrol.

Kejadian pada penderita kusta diduga lebih banyak terjadi pada pekerja

kasar/berisiko yang banyak mengeluarkan tenaga dan mengalami kelelahan

fisik. Kelelahan fisik dan stress akibat bekerja pada penderita kusta

menyebabkan gangguan umum yang dapat memicu meningkatnya respon

imun dan dapat terjadi reaksi kusta. Hasil ini sejalan dengan penelitian

Pagolori (2015) mengatakan bahwa kelelahan fisik akibat bekerja

merupakan faktor risiko penyakit kusta.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Benjamin (2013) mengenai

faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian kusta. Hasil uji statistic chi

– square menunjukkan p – value 0,016 < 0,05 yang artinya ada hubungan

bermakna antara status pekerjaan dengan kejadian kusta. Penelitian tersebut

menyatakan bahwa sebagian besar responden yang menderita kusta

memiliki pekerjaan resiko (petani, buruh tani). Responden lebih banyak

pekerja kasar yang banyak mengeluarkan tenaga dan mengalami kekelahan.

Sehingga,daya tahan tubuh menurun dan mudah terkena virus/bakteri.

Berdasarkan distribusi frekuensi sebanyak 6 (20%) responden

pekerjaanya tidak berisiko dan menderita kusta disebabkan karena kondisi

lingkungan rumah tidak memenuhi syarat sehingga mereka mudah terpapar


10

bakteri kusta. Bila kondisi lingkungan rumahnya lembab bakteri kusta dapat

berkembang biak lebih cepat.

Menurut hasil wawancara responden dengan pekerjaan yang berisiko

Seperti yang telah diuraikan benjamin (2013) salah satu faktor risiko

kejadian kusta adalah jenis pekerjaan. Pekerjaan sebagai petani dan buruh

berisiko 3,5 kali terhadap kejadian kusta dibanding dengan orang yang

pekerjaanya pns/guru bermakna secara statistic terhadap kejadian kusta.

5.5 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang mungkin dapat

mempengaruhi hasil penelitian, yaitu sebagai berikut:

5.5.1 Kemungkinan terjadi bias informasi karena responden menjawab

kuesioner tidak jujur.

5.5.2 Kuesioner dalam penelitian ini disusun sendiri oleh peneliti

berdasarkan teori tentang penyakit kusta, dikarenakan belum ada

kuesioner yang baku. Maka penelitian ini melakukan uji validitas

dan reliabilitas kuesioner untuk membuktikan ketepatan dan

kelayakan kuesioner untuk mengukur variabel yang diteliti.


BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian

faktor–faktor yang berhubungan dengan kejadian kusta di wilayah kerja

puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun adalah sebagai berikut:

6.1 Kesimpulan

1. Identifikasi jenis lantai rumah pada responden yang tidak memenuhi

syarat bila sebagian / seluruh lantai terbuat dari tanah dan plester yang

retak (65%).

2. Identifikasi jenis dinding rumah responden yang tidak memenuhi syarat

bila sebagian / seluruh dinding terbuat dari papan dan kayu (60%).

3. Identifikasi luas ventilasi rumah responden yang tidak memenuhi syarat

<10% luas lantai (73,3%).

4. Identifikasi kelembaban rumah responden yang tidak memenuhi syarat

<40 – 70% (61,7%).

5. Identifikasi riwayat kontak yang berisiko (68,3%).

6. Identifikasi status ekonomi <UMR Rp.1.763.267,65 (58,3%).

104
10

7. Identifikasi status pekerjaan berisiko yang bekerja sebagai petani, buruh

tani,bengkel (63,3%).

8. Ada hubungan antara riwayat kontak dengan kejadian kusta di wilayah

kerja puskemas Wonoasri Kabupaten madiun karena nilai p – Value

0,026, OR= 4,375 (95% CI = 1,320 – 14,504).

9. Ada hubungan antara kelembaban dengan kejadian kusta di wilayah

kerja puskemas Wonoasri Kabupaten madiun karena nilai p – Value

0,008, OR= 5,231 (95% CI = 1,657 – 16,515).

10. Ada hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian kusta di wilayah

kerja puskemas Wonoasri Kabupaten madiun karena nilai p – Value

0,041, OR= 4,333 (95% CI = 1,203 – 15,605).

11. Ada hubungan antara jenis dinding dengan kejadian kusta di wilayah

kerja puskemas Wonoasri Kabupaten madiun karena nilai p – Value

0,004, OR= 6,000 (95% CI = 1,890 – 19,043).

12. Ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian kusta di wilayah

kerja puskemas Wonoasri Kabupaten madiun karena nilai p – Value

0,030, OR= 4,000 (95% CI = 1,272 – 12,578).

13. Ada hubungan antara status ekonomi dengan kejadian kusta di wilayah

kerja puskemas Wonoasri Kabupaten madiun karena nilai p – Value

0,009, OR= 4,929 (95% CI = 1,612 – 15,071).

14. Ada hubungan antara status pekerjaan dengan kejadian kusta di wilayah

kerja puskemas Wonoasri Kabupaten madiun karena nilai p – Value

0,016, OR= 4,571 (95% CI = 1,452 – 14,389).


10

6.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka peneliti dapat mengajukan saran

antara lain sebagai berikut:

1. Bagi Instansi Kesehatan

a. Diharapkan dapat memberikan informasi atau penyuluhan tentang

penularan penyakit kusta dikarenakan kondisi fisik rumah yang

tidak memenuhi syarat terutama pada kelompok kasus sehingga

dapat menekan penularan kusta pada orang lain.

2. Bagi Masyarakat

b. Selalu menjaga kebersihan dan lingkungan fisik rumah.

a. Menambah jumlah genting kaca agar pencahayaan dalam rumah

menjadi cukup.

b. Membuka jendela disaat pagi hari untuk mengurangi kelembaban

di dalam rumah.

c. Memisahkan kamar tidur antara penderita kusta dengan keluarga

lain untuk menghindari penularan bakteri kusta.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan dapat menggunakan jumlah sampel yang lebih besar,

sehingga dapat menghasilkan hasil penelitian yang lebih baik. Serta

dapat melengkapi variabel penelitian yang belum sempat diteliti oleh

peneliti yaitu variabel kepadatan hunian, personal hygiene,

pencahayaan. Bisa menggunkan metode lain untuk

mengaplikasikannya.
10

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsini. 2013. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:


Rineka Cipta.

Basuki, Hari. 2016. Sebaran Kasus Kusta Baru Berdasarkan Faktor Lingkungan Dan
Sosial Ekonomi Di Kecamatan Konang Dan Geger Kabupaten
Bangkalan.Jurnal Penelitian.Diakses pada Tanggal 30 Januari 2019.

Bhratara. 2016. Penjagaan Kesehatan. Jakarta: Karya Aksara.

Departemen Kesehatan RI. 2015. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit


Kusta. Dirjen Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Nasional. Jakarta.

Dinas Kesehatan Indonesia. 2017. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta.

Dinas Kesehatan Jawa Timur. 2016. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
Surabaya.

Dinas Kesehatan Kabupaten Madiun. 2017. Profil Penyakit Kusta.Pemberantas


Penyakit Menular Dinkes Kabupaten Madiun.

Djuanda, Adhi. 2015. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Sukses


Sejahtera.

Enjang, Indan. 2016. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Irianto, Koes. 2014. Epidemiologi Penyakit Menular Dan Penyakit Tidak Menular.
Bandung: Alfabeta.

Kholifah, Siti. 2017. Hubungan jarak tempat tinggal dan tingkat pendidikan terhadap
tingkat kunjungan masyarakat ke puskesmas Gadirejo (studi pada msyarakat
Pekon Wonodadi dan pekan Klaten Kecamatan Gadingrejo Kabupaten
Pringsewu. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung, Bandar
Lampung.

kompasiana. 2016. penyakit kusta dan gizi buruk di indonesia. Jakarta.

Kusnanto, Hari. 2018. Analisis Spasial Kejadian Kusta Di Kabupaten Blora. Jurnal
Penelitian. Diakses Pada Tanggal 30 Januari 2019.
10

Lazuardi, Luftan. 2017. Faktor Risiko Kejadian Kusta Di Kabupaten Lamongan.


Jurnal Penelitian. Diakses Pada Tanggal 30 Januari 2019.
Machfoedz, Irchman. 2004. Menjaga Kesehatan Rumah Dari Berbagai
Penyakit.Yogyakarta: Fitramaya.

Magnus, Manya. 2011. Epidemiologi Penyakit Menular.Jakarta. Buku Kedokteran.

Maharani, Ayu. 2015. Penyakit Kulit. Yogyakarta. Pustaka Baru Press.

Masriadi. 2018. Surveilans. Jakarta. CV.Trans Info Media.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 71 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Pada jaminan
Kesehatan Nasional.

Muharry, Andy. 2017. Faktor Risiko Kejadian Kusta.Jurnal Penelitian.Diakses Pada


Tanggal 30 Januari 2019.

Nasir, Abd, Abdul Muthin, M.E.Ideputri. 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan:


Konsep Pembuatan Karya Tulis dan Thesis Untuk Mahasiswa Kesehatan.
Yogyakarta. Nuha Medika.

Notoatmodjo, S. 2010. Metedeologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam. 2010. Konsep dan penerapan Metedologi Penelitian Ilmu keperawatan.


Jakarta: Selemba Medika.

Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. 2012. Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1077. Tentang Pedoman


penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah. http://www.hukor.kemenkes.go.id.
Diakses Pada Tanggal 1 April 2019.

Reformasi Indonesia. 2018. Kusta Bukan Penyakit Kutukan. Jakarta.

Rosjidi, Cholik Harun, Laily Isro’in dan Nurul Sri Wahyuni. 2017. Penyusun
Proposal Dan Laporan Penelitian Step By Step. Yogyakarta. Unmuh Ponorogo
Press.

Rudiyanto. 2007. Lingkungan Sehat. Jakarta: Sunda Kelapa Pustaka.


10

Rulianti, Luh Putu. 2018. Studi Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Penyakit Kusta Pada Wilayah Kerja Puskesmas Bakunase Kota Kupang Tahun
2017. Jurnal Info Kesehatan. Diakses Pada Tanggal 11 Maret 2019.

Ryadi, Slamet. 2015. Kesehatan Lingkungan. Surabaya: Karya Anda.


Santoso, Imam. 2015. Kesehatan LIngkungan Permukiman Perkotaan. Yogyakarta:
Gosyen Publishing.

Saryono, Mekar Dwi Anggraeni. 2013. Metedeologi Penelitian Kualitatif dan


Kuantitatif Dalam Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Sudarmanto. 2010. Kemiskinan Dan Kebutuhan Pokok.Surabaya: C.V Rajawali.

Sujarweni, V.Wiratna. 2014. Metode penelitian Keperawatan. Yogyakarta: Gawa


Medika.

Sujarweni, Wiratna. 2014. Metodologi Penelitian Keperawatan. Yogyakarta: Gava


Medika.

Suntoyo, Danang. 2011. Analisis Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Suntoyo, Danang. 2013. Teori, Kuesioner, dan Analisi Data Sumber Daya Manusia
(Praktik Penelitian). Yogyakarta: Center Of Academic Publising Service.

Tjahyono, Suhodo. 2007. Membangun Rumah Sederhana Yang Aman Dan Sehat.
Yogyakarta: Saka Mitra Kompetensi.

Tosepu,Ramadhan. 2016. Epidemiologi Lingkungan Teori dan Aplikasi. Jakarta:


Sinar Grafika. Offset.

Untari, Ida. 2017. 7 Pilar Utama Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta: Thema
Pusblishing.

Wahjoedi, Imam. 2017. Prevalensi Kusta Pausibasiler Dan Multibasiler


Berdasarkan Karakteristik Kepadatan Hunian, Riwayat Kontak, Sosial
Ekonomi Di Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tengga Timur. Jurnal Penelitian.
Diakses Pada Tanggal 30 Januari 2019.

Widoyono. 2016. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan Dan


Pemberantasan. Jakarta : Erlangga.

Wijayanti, Yuni. 2018. Faktor Risiko Lingkungan Kejadian Kusta. Jurnal Penelitian.
Diakses Pada Tanggal 30 Januari 2019.
11
11
11

Lampiran 1 Surat Izin Pengambilan Data Awal


11
11
11

Lampiran 2 Surat balasan pengambilan Data Awal


11
11
11

Lampiran 3 Surat Izin Penelitian


11

Lampiran 4 Surat balasan Izin Penelitian


12
12
12
12

Lampiran 5 Kwintasi Pembayaran Penelitian di Puskesmas Wonoasri


12

Lampiran 6 Form Bimbingan Penelitian


12

Lampiran 7 Lembar Persetujuan Menjadi Responden

Saya yang bertanda tangan dibawah ini,saya :

Nama :

Umur :

Alamat :

Memberikan Persetujuan dan bersedia menjadi responden dalam penelitian


yang dilakukan oleh Hetty Apriliana sebagai mahasiswa calon Sarjana Kesehatan
Masyarakat dari STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun dengan judul penelitian
“Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Kusta diWilayah Kerja
Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun”.
12

Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan penuh kesadaran tanpa ada
paksaan dari pihak lain.

Madiun,………2019

Peneliti Responden

(Hetty Apriliana) ( )

Lampiran 8 Lembar Kuesioner


KUESIONER PENELITIAN
FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEJADIAN KUSTA DIWILAYAH KERJA WONOASRI
IDENTITAS RESPONDEN

Umur :

Jenis Kelamin :

Ceklist Pemilihan Responden

NO ASPEK YANG DIOBSERVASI KEMUNCULAN


ADA TIDAK
1 Kelainan Kulit yang merah atau putih yang
12

mati rasa
2 Syaraf mata rusak, sehingga susah melakukan
buka tutup mata
3 Kehilangan rasa pada bercak
4 Terjadi penebalan atau pembekangkakan pada
bercak
5 Kulit yang kering dan retak

No.Responden :
Status : Kasus (Pasien yang terdaftar di puskesmas
Wonoasri dan menunjukkan buku berobat
di puskesmas wonoasri)
Kontrol

1. Identitas Responden
Umur : Thn
JenisKelamin :L/P
Pendidikan :SD / SMP / SMA / S1 / S2 / S3

2. Pertanyaan
A. RiwayatKontak
NO PERTANYAAN YA TIDAK
1 Apakah anda pernah berhubungan atau kontak langsung dengan
penderita kusta
2 Apakah anda pernah bersentuhan langsung lebih dari 1 kali dengan
penderita kusta
3 Apakah anda pernah tidur bersama dengan keluarga penderita kusta
4 Apakah ada anggota keluarga serumah yang menderita kusta
12

Lampiran 9 Lembar Observasi

LEMBAR OBSERVASI
FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEJADIAN KUSTA DIWILAYAH KERJA WONOASRI

No.Responden:
Status : Kasus
Kontrol
12

NO VARIABEL HASIL PENGUKURAN KETERANGAN


1 Kelembaban (%)

2 Luas Ventilasi Luas Ventilasi Luas Lantai

( m) ( m)

NO VARIABEL HASIL PENGAMATAN KETERANGAN


1 JenisDinding a. Tembok
b. Papan
c. Kayu
2 JenisLantai a. Tanah
b. Plaster
c. Semen
d. Ubin
e. Keramik
3 Ekonomi Gaji Perbulan :Rp. (…...................)

Berikan tanda (√)pada kolom dibawah ini

JENIS PEKERJAAN CEKLIST (√)


Tidak Bekerja
Pelajar
Pegawai Kantor
PEKERJAAN Pekerja Bangunan
Buruh
Petani
Pekerja Bengkel
Buruh
Tukang Batu
dll
13

Lampiran 10 HASIL OUTPUT VALIDITAS DAN RELIABILITAS

1. UJI VALIDITAS
13

NO BUTIR TOTAL
NO
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 7
2 1 1 1 0 1 0 1 0 1 6
3 1 0 0 0 1 0 0 0 1 3
4 1 0 0 0 1 0 1 0 1 4
5 1 1 1 0 `1 1 1 0 1 7
6 1 1 1 0 1 1 1 1 1 8
7 1 0 0 1 1 0 0 1 1 5
8 1 0 0 1 1 0 0 0 1 4
9 1 1 1 0 1 1 1 1 1 8
10 1 1 1 0 1 1 1 0 1 7
11 1 0 0 0 1 0 0 0 1 3
12 1 0 0 1 1 0 0 1 1 5
13 1 1 1 1 0 1 1 0 1 7
14 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9
15 0 0 0 0 1 0 1 0 0 2
16 0 0 0 0 0 1 0 1 1 3
17 0 0 1 0 0 0 1 0 0 2
18 0 0 1 1 0 1 1 1 1 6
19 1 1 0 0 1 1 0 1 0 5
20 1 1 0 0 1 1 0 0 1 5
21 1 1 1 0 1 1 1 0 1 7
22 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9
23 1 1 1 0 1 1 1 1 1 8
24 1 1 0 1 0 1 0 1 1 6
25 0 0 0 0 1 1 0 0 1 3
26 0 0 1 1 0 0 1 0 0 4
27 0 0 1 0 0 0 1 0 0 2
28 0 0 0 0 0 1 0 0 1 2
29 0 0 0 0 0 1 1 0 1 3
30 1 1 1 0 1 1 1 0 1 7
13

Hasil Uji Validitas Kuesioner dengan 9 butir pertanyaan yang diberikan kepada 30 responden:

Correlations
p1 p2 p3 p4 p5 p6 p7 p8 p9 total
p1 Pearson Correlation 1 .655 **
.117 .154 .617 **
.106 -.089 .132 .488 **
.669**
Sig. (2-tailed) .000 .539 .416 .000 .578 .640 .486 .006 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
p2 Pearson Correlation .655 **
1 .535 **
.000 .283 .623 **
.272 .202 .268 .839**
Sig. (2-tailed) .000 .002 1.000 .130 .000 .146 .285 .152 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
p3 Pearson Correlation .117 .535 **
1 .094 -.094 .259 .736 **
.144 -.060 .619**
Sig. (2-tailed) .539 .002 .619 .619 .167 .000 .448 .754 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
p4 Pearson Correlation .154 .000 .094 1 -.250 -.049 -.144 .523 **
.126 .313
Sig. (2-tailed) .416 1.000 .619 .183 .797 .447 .003 .505 .093
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
p5 Pearson Correlation .617 **
.283 -.094 -.250 1 -.098 .000 -.095 .253 .334
Sig. (2-tailed) .000 .130 .619 .183 .607 1.000 .617 .177 .071
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
p6 Pearson Correlation .106 .623 **
.259 -.049 -.098 1 .085 .247 .402 *
.556**
Sig. (2-tailed) .578 .000 .167 .797 .607 .656 .189 .028 .001
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
p7 Pearson Correlation -.089 .272 .736 **
-.144 .000 .085 1 -.110 -.183 .367*
Sig. (2-tailed) .640 .146 .000 .447 1.000 .656 .563 .334 .046
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
p8 Pearson Correlation .132 .202 .144 .523 **
-.095 .247 -.110 1 .030 .461*
Sig. (2-tailed) .486 .285 .448 .003 .617 .189 .563 .875 .010
13

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
p9 Pearson Correlation .488 **
.268 -.060 .126 .253 .402 *
-.183 .030 1 .457*
Sig. (2-tailed) .006 .152 .754 .505 .177 .028 .334 .875 .011
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
total Pearson Correlation .669 **
.839 **
.619 **
.313 .334 .556 **
.367 *
.461 *
.457 *
1
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .093 .071 .001 .046 .010 .011
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Dari hasil analisis di dapat nilai skor item dengan skor total. Nilai ini kemudian kita bandingkan dengan nilai R tabel. R tabel dicari pada signifikan 5%
dengan n=30 (df=n-2= 28), maka di dapat R tabel sebesar 0.312. Penentuan kevalidan suatu instrumen diukur dengan membandingkan r-hitung dengan r-
tabel. Adapun penentuan disajikan sebagai berikut:

 r-hitung > r-tabel atau nilai sig r < 0,05 : Valid


 r-hitung < r-tabel atau nilai sig r > 0,05 : Tidak Valid
Jika ada butir yag tidak valid, maka butir yang tidak valid tersebut dikeluarkan, dan proses analisis diulang untuk butir yang valid saja
Tabel rangkuman hasil uji validitas

No Butir R hitung Keterangan Interpretasi


1 0,669 ≥0.312 Valid
2 0.839 ≥0.312. Valid
3 0.619 ≥0.312 Valid
4 0.313 ≥0.312 Valid
5 0.334 ≥0.312 Valid
6 0.556 ≥0.312 Valid
7 0.367 ≥0.312 Valid
8 0.461 ≥0.312 Valid
9 0.457 ≥0.312 Valid

2. UJI RELIABILITAS

Case Processing Summary


N %
Cases Valid 30 100.0
Excluded a
0 .0
Total 30 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the
procedure.

Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.717 10

Item-Total Statistics
Cronbach's
Scale Mean if Scale Variance Corrected Item- Alpha if Item
Item Deleted if Item Deleted Total Correlation Deleted
p1 9.77 17.220 .604 .680
p2 9.97 16.240 .799 .656
p3 9.93 17.237 .541 .683
p4 10.13 18.671 .211 .716
p5 9.80 18.579 .234 .714
p6 9.83 17.592 .472 .691
p7 9.87 18.395 .265 .711
p8 10.03 17.964 .364 .701
p9 9.63 18.378 .386 .704
total 5.23 4.944 1.000 .652

Dari hasil analisis di dapat nilai Alpha sebesar 0.717 > 0,60 maka dapat disimpulkan
bahwa butir-butir instrument penelitian tersebut reliable
Lampiran 11 HASIL OUTPUT UNIVARIAT DAN BIVARIAT

1. HASIL OUTPUT UNIVARIAT

Jenis_Kelamin

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Laki-Laki 23 38.3 38.3 38.3

Perempuan 37 61.7 61.7 100.0

Total 60 100.0 100.0

Pendidikan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid SD 9 15.0 15.0 15.0

SMP 21 35.0 35.0 50.0

SMA 30 50.0 50.0 100.0

Total 60 100.0 100.0

Kejadian_Kusta

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Kasus 30 50.0 50.0 50.0

Kontrol 30 50.0 50.0 100.0

Total 60 100.0 100.0

Riwayat_Kontak

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Berisiko 41 68.3 68.3 68.3

Tidaak Berisiko 19 31.7 31.7 100.0

Total 60 100.0 100.0

Kelembapan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Memenuhi Syarat 37 61.7 61.7 61.7

Memenuhi Syarat 23 38.3 38.3 100.0

Total 60 100.0 100.0


Luas_Ventilasi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Memenuhi Syarat 44 73.3 73.3 73.3

Memenuhi Syarat 16 26.7 26.7 100.0

Total 60 100.0 100.0

Jenis_Dinding

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Memenuhi Syarat 36 60.0 60.0 60.0

Memenuhi Syarat 24 40.0 40.0 100.0

Total 60 100.0 100.0

Jenis_Lantai

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Memenuhi Syarat 39 65.0 65.0 65.0

Memenuhi Syarat 21 35.0 35.0 100.0

Total 60 100.0 100.0

Status_Ekonomi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid < UMR 35 58.3 58.3 58.3

>= UMR 25 41.7 41.7 100.0

Total 60 100.0 100.0

Status_Pekerjaan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Berisiko 38 63.3 63.3 63.3

Tidak Berisiko 22 36.7 36.7 100.0

Total 60 100.0 100.0

Umur

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid ≥ 35 tahun 50 83.3 83.3 83.3


< 35 tahun 10 16.7 16.7 100.0

Total 60 100.0 100.0

2. HASIL OUTPUT BIVARIAT


 Riwayat Kontak dengan Kejadian Kusta

Crosstab

Kejadian_Kusta

Kasus Kontrol Total

Riwayat_Kontak Berisiko Count 25 16 41

% within Kejadian_Kusta 83.3% 53.3% 68.3%

Tidaak Berisiko Count 5 14 19

% within Kejadian_Kusta 16.7% 46.7% 31.7%

Total Count 30 30 60

% within Kejadian_Kusta 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 6.239a 1 .012

Continuity Correctionb 4.929 1 .026

Likelihood Ratio 6.431 1 .011

Fisher's Exact Test .025 .013

Linear-by-Linear Association 6.135 1 .013

N of Valid Cases 60

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.50.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for 4.375 1.320 14.504


Riwayat_Kontak (Berisiko /
Tidaak Berisiko)

For cohort Kejadian_Kusta = 2.317 1.050 5.112


Kasus
For cohort Kejadian_Kusta = .530 .332 .845
Kontrol

N of Valid Cases 60

 Kelembaban dengan Kejadian Kusta

Crosstab

Kejadian_Kusta

Kasus Kontrol Total

Kelembapan Tidak Memenuhi Syarat Count 24 13 37

% within Kejadian_Kusta 80.0% 43.3% 61.7%

Memenuhi Syarat Count 6 17 23

% within Kejadian_Kusta 20.0% 56.7% 38.3%

Total Count 30 30 60

% within Kejadian_Kusta 100.0% 100.0% 100.0%


Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 8.531a 1 .003

Continuity Correctionb 7.051 1 .008

Likelihood Ratio 8.803 1 .003

Fisher's Exact Test .007 .004

Linear-by-Linear Association 8.389 1 .004

N of Valid Cases 60

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.50.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for Kelembapan 5.231 1.657 16.515


(Tidak Memenuhi Syarat /
Memenuhi Syarat)

For cohort Kejadian_Kusta = 2.486 1.201 5.148


Kasus
For cohort Kejadian_Kusta = .475 .288 .784
Kontrol

N of Valid Cases 60

 Luas Ventilasi dengan Kejadian Kusta

Crosstab

Kejadian_Kusta

Kasus Kontrol Total

Luas_Ventilasi Tidak Memenuhi Syarat Count 26 18 44

% within Kejadian_Kusta 86.7% 60.0% 73.3%

Memenuhi Syarat Count 4 12 16

% within Kejadian_Kusta 13.3% 40.0% 26.7%


Total Count 30 30 60

% within Kejadian_Kusta 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 5.455a 1 .020

Continuity Correctionb 4.176 1 .041

Likelihood Ratio 5.649 1 .017

Fisher's Exact Test .039 .020

Linear-by-Linear Association 5.364 1 .021

N of Valid Cases 60

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.00.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk
Estimate
95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for 4.333 1.203 15.605


Luas_Ventilasi (Tidak
Memenuhi Syarat /
Memenuhi Syarat)

For cohort Kejadian_Kusta = 2.364 .977 5.719


Kasus

For cohort Kejadian_Kusta = .545 .346 .859


Kontrol

N of Valid Cases 60

 Jenis Dinding dengan Kejadian Kusta

Crosstab

Kejadian_Kusta

Kasus Kontrol Total

Jenis_Dinding Tidak Memenuhi Syarat Count 24 12 36

% within Kejadian_Kusta 80.0% 40.0% 60.0%

Memenuhi Syarat Count 6 18 24

% within Kejadian_Kusta 20.0% 60.0% 40.0%

Total Count 30 30 60

% within Kejadian_Kusta 100.0% 100.0% 100.0%


Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 10.000a 1 .002

Continuity Correctionb 8.403 1 .004

Likelihood Ratio 10.357 1 .001

Fisher's Exact Test .003 .002

Linear-by-Linear Association 9.833 1 .002

N of Valid Cases 60

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.00.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for 6.000 1.890 19.043
Jenis_Dinding (Tidak
Memenuhi Syarat /
Memenuhi Syarat)

For cohort Kejadian_Kusta = 2.667 1.285 5.536


Kasus

For cohort Kejadian_Kusta = .444 .265 .745


Kontrol

N of Valid Cases 60

 Jenis Lantai dengan Kejadian Kusta

Crosstab

Kejadian_Kusta

Kasus Kontrol Total

Jenis_Lantai Tidak Memenuhi Syarat Count 24 15 39

% within Kejadian_Kusta 80.0% 50.0% 65.0%


Memenuhi Syarat Count 6 15 21

% within Kejadian_Kusta 20.0% 50.0% 35.0%

Total Count 30 30 60

% within Kejadian_Kusta 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 5.934a 1 .015

Continuity Correctionb 4.689 1 .030

Likelihood Ratio 6.081 1 .014

Fisher's Exact Test .029 .015

Linear-by-Linear Association 5.835 1 .016

N of Valid Cases 60

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.50.

b. Computed only for a 2x2 table


Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for Jenis_Lantai 4.000 1.272 12.578


(Tidak Memenuhi Syarat /
Memenuhi Syarat)

For cohort Kejadian_Kusta = 2.154 1.048 4.426


Kasus

For cohort Kejadian_Kusta = .538 .333 .871


Kontrol

N of Valid Cases 60

 Status Ekonomi dengan Kejadian Kusta

Crosstab

Kejadian_Kusta

Kasus Kontrol Total

Status_Ekonomi < UMR Count 23 12 35

% within Kejadian_Kusta 76.7% 40.0% 58.3%

>= UMR Count 7 18 25

% within Kejadian_Kusta 23.3% 60.0% 41.7%

Total Count 30 30 60
% within Kejadian_Kusta 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 8.297a 1 .004

Continuity Correctionb 6.857 1 .009

Likelihood Ratio 8.526 1 .004

Fisher's Exact Test .008 .004

Linear-by-Linear Association 8.159 1 .004

N of Valid Cases 60

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.50.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for 4.929 1.612 15.071


Status_Ekonomi (< UMR /
>= UMR)

For cohort Kejadian_Kusta = 2.347 1.198 4.598


Kasus

For cohort Kejadian_Kusta = .476 .283 .801


Kontrol

N of Valid Cases 60

 Status Pekerjaan dengan Kejadian Kusta


Crosstab

Kejadian_Kusta

Kasus Kontrol Total

Status_Pekerjaan Berisiko Count 24 14 38

% within Kejadian_Kusta 80.0% 46.7% 63.3%

Tidak Berisiko Count 6 16 22

% within Kejadian_Kusta 20.0% 53.3% 36.7%

Total Count 30 30 60

% within Kejadian_Kusta 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 7.177a 1 .007

Continuity Correctionb 5.813 1 .016

Likelihood Ratio 7.379 1 .007

Fisher's Exact Test .015 .007

Linear-by-Linear Association 7.057 1 .008

N of Valid Cases 60

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.00.

b. Computed only for a 2x2 table


Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for 4.571 1.452 14.389


Status_Pekerjaan (Berisiko /
Tidak Berisiko)

For cohort Kejadian_Kusta = 2.316 1.122 4.778


Kasus

For cohort Kejadian_Kusta = .507 .311 .826


Kontrol

N of Valid Cases 60
Lampiran 12 Dokumentasi

Gambar 1.Wawancaradenganrespondenkelompokkasus&kontrol

Gambar 2.WAWANCARA DENGAN RESPONDEN KELOMPOK KASUS & KONTROL


Gambar 3.MengukurKelembaban

Gambar 4.MengukurVentilasi Gambar 5.MengukurKamarTidur


Gambar 6.Keadaanrumahrespondenkelompokkasus&kontrol

Anda mungkin juga menyukai