Anda di halaman 1dari 12

Ajakan Seksual Secara Online Pada Remaja; Faktor Resiko

Sosiodemografi Dan Hubungannya Dengan Gangguan Mental, Terutama


Gangguan Stress Pasca Trauma

Perkembangan teknologi dan meningkatnya penggunaan internet mengakibatkan


beberapa risiko bagi remaja, seperti ajakan seksual secara online (ASSO). Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menguji faktor risiko sosiodemografi OSS dan hubungan antara
OSS dan gangguan mental pada sampel klinis psikiatrik. Penelitian dilakukan terhadap 189
remaja. Evaluasi psikiatrik dilakukan dengan menggunakan DSM-5 (Diagnostic and statistical
manual of Mental Disorders, 5th Ed) berdasarkan wawancara psikiatris dan juga digunakan
Strengths dan Difficulties Questionnaire. ASSO didefinisikan melalui pertanyaan-pertanyaan
yang digunakan pada penelitian sebelumnya dan pertanyaan tersebut memprediksi paparan
terhadap ASSO. Peserta dibagi menjadi dua kelompok dan dibandingkan. Selain itu, the Child
Post-Traumatic Stress Disorder Reaction Index dijawab oleh peserta yang terpapar OSS.
Prevalensi OSS ditentukan sebagai 21,1%. Gangguan depresi, gangguan kepribadian ambang,
dan diagnosis psikiatrik sekunder secara signifikan lebih tinggi pada remaja yang terpapar OSS.
Tingkat perkembangan gangguan stres pasca-trauma (PTSD) setelah paparan OSS ditentukan
57,8%. Hasil ini menunjukkan bahwa ASSO dapat menyebabkan trauma berat dan itu terkait
dengan masalah kejiwaan, terutama PTSD.
Kata kunci: Ajakan seksual secara online, PTSD, Trauma, Gangguan Depresi, Gangguan
Kepribadian Ambang, Remaja.

1. Pendahuluan
Salah satu akibat dari perkembangan teknologi adalah internet yang menjadi bagian dari
kehidupan. Meskipun semua teknologi telah berkembang, upaya membatasi telah dilakukan
untuk mengontrol penggunaan internet dan komponen yang berhubungan atau untuk
melindungi penggunanya. Meskipun internet memiliki banyak keuntungan, internet juga
memiliki outcome negatif, seperti ajakan seksual secara online.

ASSO merupakan ajak secara online kepada remaja untuk berpartisipasi dalam aktivitas
seksual, atau perbincangan seksual, atau memberikan informasi pribadi yang bersifat seksual
yang tidak diinginkan, atau diinginkan atau tidak, yang dilakukan oleh orang dewasa
(Finkelhor et al., 2000). Tindakan ini dilakukan antara anak-anak (seseorang yang belum
dewasa secara seksual dan belum bisa melakukan hubungan seksual) dengan orang dewasa
yang bertujuan untuk memenuhi hasrat seksual dan termasuk dengan menggunakan kekuatan,
ancaman atau kekerasan yang disebut juga Pelecehan Seksual oleh WHO 2003. Berdasarkan
jenis tindakannya, pelecehan seksual dapat terjadi dalam bentuk yang berbeda-beda dan Faller
telah mengidentifikasikan 7 kelompok: pelecehan seksual tanpa kontak, fondling, penetrasi
menggunakan objek atau digital, sex oral, penetrasi penis, eksploitasi seksual, dan pelecehan
seksual yang termasuk jenis pelecehan lainnya (Faller, 2003). Berdasarkan definisi oleh WHO
dan klasifikasi Faller, ASSO termasuk dalam bentuk pelecehan seksual tanpa kontak.

Prevalensi paparan orang dewasa terhadap ASSO yaitu antara 9% - 19%. Banyak penelitian
yang menjelaskan bahwa faktor resiko keluarga dan faktor resiko individual terhadap
terjadinya pelecehan seksual, tetapi jumlah penelitian yang berfokus pada faktor resiko ASSO
relatif rendah. Penelitian tentang ASSO, online grooming, penipuan secara online, percakapan
seksual melalui sms, dan subjek berhubungan lainnya yang mengungkapkan faktor resiko
individual, perubahan perilaku, keluarga, faktor resiko sosial. Jenis kelamin wanita, usia
remaja, masalah psikologis, kebiasaan untuk mengambil resiko, seringnya penggunaan
internet, konflik keluarga, hubungan keluarga yang tidak harmonis, isolasi sosial, dan masalah
disekolah merupakan beberapa dari faktor resiko diatas.

Banyak penelitian telah menunjukkan remaja yang mengalami ASSO memiliki kesulitan
secara psikososial. Peneliti melaporkan remaja-remaja tersebut memiliki tingkat konflik
dengan orang tua maupun ketidakharmonisan dalam keluarga yang tinggi, gejala-gejala
depresi, tingkah laku yang agresif, dan sesuatu yang bersifat kekerasan. Selain itu penelitian
tentang online grooming, pajanan seksual online secara sadar, dan perilaku seksual secara
online menunjukkan beberapa kesulitan psikososial yang sama yang berhubungan dengan
kondisi ini. Penelitian tentang online grooming menunjukkan kepercayaan diri yang rendah,
isolasi sosial/kesepian, hubungan antar teman sebaya yang buruk, konflik dengan orang tua,
kesulitan disekolah, dan masalah kesehatan mental merupakan faktor resiko psikososial
terjadinya online grooming. Johnson dkk melaporkan perilaku seksual secara online dan
paparan seksual online secara sadar berhubungan dengan hubungan yang tidak harmonis
dengan orang tua dan kesehatan psikologik yang buruk, termasuk rendahnya keinginan untuk
berteman dan rendahnya kepercayaan diri pada remaja.

Seperti yang terlihat pada penelitian sebelumnya, banyak penelitian melaporkan kesulitan
psikososial dan gejala psikiatrik secara umum. Ditemukan penelitian dalam jumlah terbatas
yang mengevaluasi hubungan antara ASSO dan gangguan psikiatrik. Namun beberapa
penelitian telah menunjukkan hubungan antara kekerasan seksual (offline) dan beragam
gangguan psikiatrik.

Penelitian sebelunya telah mengkonfirmasi hubungan penyebab kekerasan seksual dan


PTSD pada populasi remaja. Karakteristik klinis pada remaja bergantung pada usia, dengna
psikopatologi terbanyak ditemukan pada anak-anak dan remaja yang mengalami kekerasan
seksual dahulu yang diikuti PTSD. Diterima sebagai masalah psikiatrik dengan progress yang
kronis yang dapat menyebabkan disabilitas, insiden PTSD telah dilaporkan sebanyak 44-71%
pada anak dan remaja yang pernah mengalami kekerasan seksual. Namun, hanya 1 penelitian
yang ditemukan pada literature yang menjelaskan hubungan antara ASSO dan PTSD.
Penelitian diatas dilakukan oleh MCHugh dan kawan-kawan, dan mereka melaporkan
pengalaman beresiko secara online (pajanan terhadap konten eksplisit, cyber bulling, dan ajak
seksual) menyebabkan gejala PTSD pada remaja. Namun, hasil tersebut tidak spesifik terhadap
ASSO, dan penelitian tersebut merupakan penelitian buku harian berdasarkan web.

Dengan meningkatnya penggunaan internet pada remaja, lebih banyak penelitian yang
dibutuhkan untuk memahami dampak yang berpotensi negatif terhadap terjadinya ASSO yang
merupakan bentuk kekerasan seksual tanpa kontak. Pada penelitian ini peneliti menjelaskan
faktor sosiodemografi ASSO dan hubungan antara ASSO dan gangguan psikiatrik. Melalui
penelitian ini, peneliti juga kemudian mempertanyakan hal-hal berikut: (1) bagaimana
prevalensi ASSO pada remaja yang menjadi sampel klinis?; (2) faktor sosiodemografi apa saja
yang berhubungan dengan ASSO? (3) Adakah hubungan antara ASSO dan gangguan
psikiatrik, khususnya PTSD.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas, peneliti mengikutsertakan 189 remaja


berusia 12-16 tahun secara sukarela. Evaluasi psikiatrik terhadap peserta, dimana karakteristik
sosiodemografi mereka dcatat, kemudian digunakan DSM-5 berdasarkan wawancara psikiatri
dan strength and difficulties questionnaire (SDQ). Peserta melengkapi lembar identifikasi
ASSO yang berisi pertanyaan yang digunakan dibeberapa penelitian pada literatur dan
memprediksi paparan terhadap ASSO. Peserta dibagi kedalam 2 kelompok: kelompok yang
telah terpapar ASSO dan kelompok yang tidak terpapar ASSO. Kedua kelompok dibandingkan
data sosiodemografi dan masalah psikiatrinya. Selain itu peserta yang telah terpapar ASSO
mengisi the Child Post-Traumatic Stress Disorder Reaction Index.

Pada sampel klinis, peneliti menemukan prevalensi ASSO sebesar 21,1% dan hal tersebut
berhubungan gangguan depresi, gangguan kepribadian borderline, dan diagnosis psikiatri
sekunder. Hal terpenting ialah tingkat berkembangnya PTSD setelah terpapar ASSO adalah
sekitar 57,8%.

Kontribusi utama pada penelitian terbaru perlu diikuti. Penelitian terbaru tersebut
dilakukan dengan sampel klinis, dan penelitian tersebut menunjukkan prevalensi ASSO lebih
tinggi daripada penelitian berdasarkan sosial. ASSO dan kekerasan seksual lebih sering terjadi
pada populasi remaja, dan masih belum jelas apakah ASSO itu sendiri memiliki efek negatif.
Namun, korban kekerasan seksual (offline) tidak termasuk dalam oenelitian ini, dan efek
negatif ASSO tidak ditemukan. Selain itu, hubungan antara ASSO dan PTSD dievaluasi secara
spesifik.

2. Metodologi
Penelitian ini dilakukan di Klinik Psikiatri Anak dan Remaja dari Fakultas Kedokteran
Universitas Inonu antara bulan Juni 2016 dan Desember 2016. Persetujuan untuk penelitian
cross-sectional ini didapatkan dari Komite Etika Uji Coba Klinik Malatya.

2.1. Peserta
Sebuah analisis kekuatan yang dilakukan oleh biostatistik Departemen Fakultas Kedokteran
Universitas Inonu menemukan bahwa dengan asumsi prevalensi paparan OSS pada populasi
umum menjadi 10% dan perkiraan prevalensi OSS pada anak dan populasi pasien kejiwaan
remaja untuk menjadi 20%, dengan α = 0,05 dan 1-β (daya) = 0,95, setidaknya 155 anak-anak
akan diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Dalam rekomendasi ini, penelitian
dilakukan terhadap 189 remaja sukarelawan.

Remaja berusia 12-16 tahun yang mengaku anak dan klinik psikiatri rawat jalan remaja
dengan gejala kejiwaan dan setuju untuk berpartisipasi dilibatkan dalam penelitian ini. Tujuan
dan metode penelitian dijelaskan secara rinci untuk remaja dan keluarga mereka, yang
keduanya menandatangani formulir persetujuan sebelum berpartisipasi dalam penelitian ini.
Individu dengan masalah kejiwaan yang menyebabkan penilaian terganggu, seperti cacat
intelektual (IQ <70 pada Skala Kecerdasan Wechsler untuk Anak-Revisi), gangguan psikotik,
atau gangguan bipolar tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Mereka yang pernah mengalami
kekerasan fisik, seksual, atau emosional selain OSS, atau yang memiliki riwayat trauma
lainnya, juga dikeluarkan dari penelitian.
2.2. Evaluasi dan Pengukuran
Individu yang berlaku untuk anak dan Rrmaja di Klinik Psikiatri Fakultas Kedokteran
Universitas Inonu untuk alasan apapun yang dinilai oleh anak dan psikiater remaja, dan
wawancara psikiatri selesai sesuai dengan DSM-5. Wawancara untuk diagnosa psikiatrik
peserta diselesaikan oleh anak dan psikiater remaja di klinik yang tidak secara khusus terlibat
dalam penelitian ini. Setelah penilaian kejiwaan awal ini, semua calon peserta diberi bentuk
data sosio-demografis, versi laporan diri dari SDQ, dan bentuk identifikasi ASSO. Para peserta
menyelesaikan formulir ini di bawah pengamatan peneliti studi. Peserta yang menjawab "ya"
untuk setidaknya satu dari tiga pertanyaan pada formulir identifikasi ASSO dianggap telah
terpapar ASSO. Peserta yang menjawab "tidak" untuk ketiga pertanyaan dianggap tidak
terpapar ASSO. The CPTS-RI diberikan kepada peserta yang telah terpapar ASSO.
Formulir Data Sosio-demografis: Disiapkan oleh para peneliti, bentuk tanya jawab tentang
jenis kelamin, usia, tempat tinggal, hubungan keluarga, struktur keluarga, tingkat ekonomi,
adanya penyakit yang membutuhkan perawatan terus menerus, dan riwayat penyakit kejiwaan
dalam keluarga.
Formulir Identifikasi ASSO: Formulir ini meminta pertanyaan tentang paparan ASSO dan
terdiri dari tiga pertanyaan berikut. 1) Dalam beberapa tahun terakhir, apakah ada seseorang di
internet yang pernah mencoba untuk mengajakmu berbincang tentang seks ketika kamu tidak
menginginkannya? 2) Dalam beberapa tahun terakhir, apakah ada seseorang di internet yang
meminta informasi seksual tentang diri anda ketika anda tidak ingin menjawab pertanyaan-
pertanyaan seperti itu? (yang dimaksud pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi, seperti
bagaimana bentuk tubuhmu atau hal-hal seksual yang pernah anda lakukan.) 3) Dalam
beberapa tahun terakhir, apakah ada seseorang di internet yang pernah memintamu untuk
melakukan hal-hal seksual yang kamu tidak ingin lakukan? Pertanyaan-pertanyaan ini diambil
dari literatur, terutama dari Survei Pemuda Internet Safety (YISS) studi yang meneliti ASSO
(Mitchell et al., 2013). Pertanyaan-pertanyaan itu diterjemahkan dari bahasa Inggris asli ke
Turki oleh para peneliti, menjaga agar jangan sampai merusak arti dari pertanyaan.
Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ): Bentuk ini dikembangkan oleh seorang
psikiater bernama Robert Goodman pada tahun 1997 (Goodman, 1997; Goodman et al., 1998).
Skala mencakup 25 pertanyaan menanyakan tentang kedua perilaku positif dan negatif.
Pertanyaan-pertanyaan ini dikelompokkan dalam lima judul sesuai dengan kriteria diagnostik
dan hasil analisis faktor. The sub-judul termasuk SDQ 1: gejala emosional, SDQ 2: masalah
perilaku, SDQ 3: berkurangnya perhatian dan hiperaktivitas, SDQ 4: masalah dengan teman
sebaya, dan SDQ 5: masalah perilaku sosial. Setiap sub judul dapat dinilai secara terpisah, atau
total dari lima sub judul dapat digunakan untuk menghitung skor total SDQ. Penelitian ini
menggunakan versi laporan diri yang dikembangkan oleh Goodman untuk usia 11-16, dan itu
diselesaikan oleh semua remaja. Sebuah adaptasi Turki dan studi validitas-reliabilitas SDQ
Turki telah diselesaikan oleh Güvenir et al., 2008 . Nilai dari Quosioner ditafsirkan
menggunakan situs website " www.sdqscore.com".
The Child Post Traumatic Stress Disorder Reaction Index (CPTS-RI): Dikembangkan
oleh Pynoos et al., Pada tahun 1987. Indeks ini digunakan untuk menilai reaksi stress tertentu
yang terjadi pada individu setelah mengalami trauma. Skala ini terdiri dari 20 item dan poin
diberikan pada lima poin jenis skala mulai dari “tidak pernah” hingga “selalu”. Hasil skor
diklasifikasikan sebagai berikut: 12-24 poin mengindikasikan PTSD ringan; 25-39 poin
menunjukkan PTSD sedang; 40-59 poin menunjukkan PTSD berat; dan 60 poin atau lebih
menunjukkan PTSD sangat berat. Skor 40 poin atau lebih diindikasikan sebagai PTSD klinis
(Pynoos et al., 1993). Kebenaran dan reliabilitas dari versi Turki yang CPTS-RI telah
dikonfirmasi oleh Erden et al., 1999. Semua item dalam CPTS- RI bertanya tentang peristiwa
traumatis tertentu, dan peristiwa traumatis untuk penelitian ini adalah ASSO. Tidak satupun
dari peserta memiliki sejarah trauma selain dari ASSO, sehingga CPTS-RI dijawab hanya oleh
mereka yang telah terpapar ASSO.

2.3. Desain Penelitian


Berdasarkan tanggapan yang diberikan oleh peserta Formulir identifikasi ASSO, peserta
dibagi kedalam dua kelompok: peserta yang telah terpapar ASSO (ASSO +) dan peserta yang
belum terpapar ASSO (ASSO -). Kelompok-kelompok tersebut dibandingkan secara statistik
dalam hal karakteristik sosio-demografis, diagnosis klinis psikiatri, dan skor SDQ. Hasil
CPTS-RI dari peserta ASSO + juga dievaluasi.

2.4. Analisis Statistik


Analisis statistik dilengkapi menggunakan SPSS versi 22.0. Data deskriptif yang
berhubungan dengan variabel kuantitatif diberikan dalam bentuk mean (x) ± standar deviasi
(SD) dan minimum-maksimum, sedangkan data yang terkait dengan variabel kualitatif
diberikan dalam bentuk angka dan persentasi. Menurut penilaian menggunakan uji normalitas
Shapiro-Wilk, variabel kuantitatif dengan distribusi yang normal dianalisis dengan
menggunakan sampel independen T-test, sementara mereka dengan distribusi yang tidak
normal di analisis dengan uji Mann-Whitney U. Penilaian dari variabel kualitatif dilakukan
dengan uji Pearson-Fisher chi-square. Koreksi Bonferroni digunakan untuk mengetahui tingkat
signifikan.
3. Hasil
3.1. Prevalensi Ajakan Seksual Secara Online
Ketika jawaban untuk tiga pertanyaan yang mengidentifikasi ASSO diteliti, didapatkan
9,0% (n: 17) peserta menjawab ya untuk salah satu pertanyaan, 3,7% (n: 7) menjawab ya untuk
dua pertanyaan, dan 8,4% (n: 16) menjawab ya untuk semua tiga pertanyaan. Jika peserta
menjawab ya untuk setidaknya satu dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, peserta dinilai sebagai
korban ASSO. Hasil dari bentuk-bentuk identifikasi ASSO menunjukkan bahwa prevalensi
paparan ASSO adalah 25,6% (n: 29) untuk anak perempuan, 14,4% (n:11) untuk anak laki-
laki, dan 21,1% (n: 40) untuk semua peserta.

3.2. Karakteristik Sosio-Demografis


Usia rata-rata dari kelompok ASSO + adalah 15,07 ± 1,18 (min: 12, max: 16),
1`sementara itu 14,21 ± 1,40 (min: 12, max: 16) untuk kelompok ASSO -. Usia rata-rata
dari kelompok ASSO (+) secara signifikan lebih tinggi daripada kelompok ASSO (-) (p
<0,001), hasil ini menunjukkan bahwa remaja dewasa yang lebih rentan terpapar ASSO
dari remaja muda. Meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik,
perempuan (25,7%) cenderung terpapar ASSO dari laki-laki (14,5%), ASSO sedikit lebih
meningkat di perkotaan (23,2%) dibandingkan di daerah pedesaan (19,5%), dan jauh lebih
tinggi pada remaja dengan penyakit fisik (31,2%) dibandingkan pada remaja tanpa penyakit
fisik (19,4). Selain itu, prevalensi ASSO sedikit lebih tinggi pada remaja dengan keluarga
yang terpisah, keluarga dengan penghasilan menengah, dan orang tua yang bercerai. Hasil
yang diperoleh dari perbandingan data sosio-demografis dari dua kelompok diberikan
dalam Tabel 1.

3.3. Penilaian Kejiwaan


Berdasarkan wawancara psikiatri dan evaluasi berdasarkan DSM 5, kelompok (+) ASSO
menunjukkan tingkat signifikan yang lebih tinggi dari gangguan depresi, gangguan kepribadian
borderline, dan diagnosis psikiatri sekunder dibandingkan dengan kelompok yang (-) ASSO.
Hasil yang diperoleh dari perbandingan evaluasi psikiatri dari dua kelompok diberikan dalam
Tabel 2.
Hasil SDQ menunjukkan bahwa SDQ 1 (gejala emosional) dan total skor SDQ pada
kelompok (+) ASSO secara signifikan lebih tinggi daripada kelompok (-) ASSO. Hasil SDQ
dari dua kelompok ditunjukkan pada Gambar 1.
Skor CPTS-RI dari 40 poin atau lebih diterima sebagai indikasi PTSD klinis (Pynoos et al.,
1993). Ketika skor CPTS-RI untuk peserta (+) ASSO diperiksa dalam kerangka ini, taksiran
perkembangan PTSD setelah paparan ASSO menjadi 57,8% (n: 22). Dua peserta (+) ASSO
yang tidak menyelesaikan CPTS-RI dikeluarkan dari penelitian.

4. Diskusi
Bila hasil penelitian tersebut diperiksa, prevalensi paparan ASSO pada populasi anak dan
remaja pasien psikiatri diidentifikasi sekitar 21,1%. Tidak didapatkan penelitian yang sejenis
dalam literatur yang menggambarkan prevalensi paparan OSS dalam sampel klinis. Namun,
terdapat penelitian sosial tentang masalah ini. Pada YISS-1 (2000), YISS-2 (2005), dan YISS-
3 (2010) penelitian dilakukan pada anak-anak antara usia 10 dan 17 di Amerika Serikat, dan
mereka telah diteliti secara lebih luas tentang ASSO. Dalam penelitian ini, tingkat paparan OSS
yaitu 19% (2000), 13% (2005), dan 9% (2010) untuk masing-masing (Jones et al., 2012).
Sebuah penelitian lengkap di Uni Eropa pada tahun 2013 melaporkan tingkat ASSO di
kalangan pemuda sekitar 13% (Livingstone et al., 2014).
Prevalensi paparan ASSO dilaporkan dalam penelitian ini lebih tinggi dibandingkan pada
data literatur. Sejak penelitian ini dilakukan terhadap anak dan remaja pada populasi pasien
kejiwaan, peneliti percaya bahwa sulit untuk membandingkan hasil ini dengan penelitian
berbasis sosial. Selain itu, karena data literatur tidak mencakup dalam tiga tahun terakhir,
meskipun teknologi internet telah berkembang dengan cepat, namun masih tetap sulit untuk
membandingkan hasil ini dengan data dari literatur. Faktanya adalah bahwa ASSO terjadi
dalam situasi sebagian besar tidak diketahui, dan perbedaan dalam masalah kejiwaan karena
seringkali remaja masih sulit untuk menggambarkan apa yang terjadi. Selain itu, keterlibatan
anak dan remaja diklinik psikiatri dalam memecahkan masalah kejiwaan dapat diidentifikasi
sebagai alasan untuk prevalensi yang lebih tinggi terhadap paparan ASSO pada anak dan
remaja pada kelompok pasien kejiwaan. Selain itu, tidak dapat dilupakan bahwa topik tersebut
mungkin melibatkan sosial budaya yang menggambarkan perbedaan, dan prevalensi ASSO
dapat bervariasi diantara masyarakat.
Ketika hasilnya dinilai dari segi jenis kelamin, prevalensi paparan ASSO adalah 25,6%
pada anak perempuan dan 14,4% anak laki-laki. Namun, bertentangan dengan yang
diharapkan, analisis statistik tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin.
Penelitian yang dijelaskan dalam literatur yang disetujui, dimana perempuan sebagai faktor
risiko paparan ASSO. Di Jerman, tingkat paparan ASSO adalah 5,6% untuk anak laki-laki dan
19,1% untuk anak perempuan (Baumgartner et al., 2010). Di Denmark, tingkat paparan ASSO
adalah 5% untuk anak laki-laki dan 16% untuk anak perempuan (Helweg-Larsen et al., 2012).
Hasil penelitian ini berbeda dari data literatur, dan peneliti percaya bahwa pasti ada alasan
dimana tidak ada perbedaan statistik yang signifikan antara jenis kelamin, mungkin
berhubungan dengan rendahnya jumlah individu dalam kelompok (+) ASSO.
Dalam penelitian saat ini, peneliti menemukan bahwa usia rata-rata dari kelompok (+)
ASSO secara statistik lebih tinggi dari kelompok (-) ASSO. Hal yang sama terjadi pada kasus
penelitian YISS, dimana prevalensi paparan ASSO meningkat sesuai dengan perkembangan
usia (Jones et al, 2012.; Mitchell et al., 2013). Peningkatan prevalensi paparan ASSO menurut
usia dapat dijelaskan oleh peningkatan frekuensi dan durasi penggunaan internet sesuai usia,
peningkatan perilaku pengambilan risiko pada periode remaja, dan berbagai karakteristik yang
terkait dengan pelaku. Namun dalam penelitian ini, penyebab peningkatan paparan ASSO
sesuai usia pun tidak diperiksa, dan tidak ada penilaian pada pelaku yang lebih lengkap.
Hasil penelitian ini terkait dengan data sosio-demografis yang menunjukkan bahwa ASSO
terjadi secara bebas dan dapat diamati di hampir setiap tingkat sosial budaya dan ekonomi. Ada
berbagai penelitian tentang faktor-faktor risiko sosial-demografis untuk ASSO didalam
literatur. Penelitian-penelitian ini telah melaporkan bahwa riwayat hidup terpisah dari keluarga,
tingkat pendidikan yang tinggi dirumah, dan penyalahgunaan alkohol dalam keluarga
meningkatkan risiko paparan ASSO (Helweg-Larsen et al, 2012.; Mitchell et al., 2007). Selain
itu, faktor risiko keluarga dan sosial telah diidentifikasi dalam penelitian online grooming,
sebuah subjek yang berkaitan erat dengan ASSO. Faktor risiko ini adalah sebagai berikut: satu
orang tua dalam keluarga, kepuasan dalam keluarga yang rendah, penyalahgunaan sikap dari
orang tua, hubungan keluarga yang tidak baik, pengasingan diri dari sosial, dan lemahnya atau
terbatasnya dukungan dari teman sebaya (Whittle et al., 2013). Meskipun belum ada
persetujuan penuh dalam penelitian yang berhubungan dengan pelecehan atau kekerasan
seksual (SA), telah diakui bahwa SA terjadi secara bebas pada karakteristik sosio-demografis
dan dapat diamati di hampir semua tingkat sosial-budaya dan ekonomi (Westcott dan Jones,
1999; Balogh et al., 2001). Hasil penelitian ini terkait dengan karakteristik sosio-demografis
yang tampaknya sejalan dengan penelitian SA.
Ketika peserta-peserta tersebut dibandingkan dalam hal diagnosis kejiwaan mereka,
tampak bahwa gangguan depresi, gangguan kepribadian borderline, dan diagnosis psikiatri
sekunder secara signifikan lebih tinggi pada kelompok (+) ASSO. Penelitian melaporkan
bahwa kaum muda yang terpapar ASSO memiliki beberapa masalah psikologis. Hal ini
termasuk gejala depresi (Ybarra 2004), Perilaku agresif (Ybarra dan Mitchell, 2007),
Penyalahgunaan zat, dan masalah disekolah (misalnya, pembolosan, membawa senjata ke
sekolah; Ybarra et al., 2007a ). Penelitian tentang "online grooming" dan "tampilan seksual
secara online yang dilakukan secara sengaja" sama dengan menunjukkan bahwa anak-anak
yang telah terpapar kondisi ini memiliki kesehatan psikologi yang tidak baik (Whittle et al,
2013.; Jonsson et al., 2014). Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa masalah psikologis
(seperti gangguan afektif, depresi, dan masalah perilaku) dapat beresiko terhadap perilaku
seksual secara online, faktor risiko paparan ASSO (Mitchell et al., 2007; Ybarra et al, 2007c.;
Baumgartner et al, 2010.; Livingstone dan Smith, 2014).
Ketika penelitian yang berhubungan dengan SA diperiksa, ditemukan bahwa 62% dari
anak-anak yang terpapar SA memiliki setidaknya satu diagnosis psikiatri, sementara 29%
memiliki dua atau lebih diagnosis psikiatri (McLeer et al., 1998). Seringkali diidentifikasi
masalah kejiwaan pada individu-individu yang PTSD, reaksi stres akut, gangguan depresi,
gangguan kecemasan, dan gangguan perilaku. Dalam penelitian ini, diagnosis psikiatri
sekunder dan gangguan depresi keduanya ditemukan secara signifikan tinggi pada kelompok
(+) ASSO, dan hasil ini sesuai dengan literatur tentang SA. Tidak ada penelitian ditemui dalam
literatur tentang hubungan antara yang telah terpapar ASSO selama masa remaja dan gangguan
kepribadian, meskipun penelitian ini berkaitan dengan pelecehan/kekerasan seksual. Sejumlah
penelitian telah mengungkapkan bahwa anak-anak dan remaja yang terpapar SA cenderung
memiliki resiko terjadinya peningkatan developing borderline, anti sosial, dan gangguan
kepribadian paranoid selama masa remaja. Alasan untuk pembatasan literatur mungkin karena
individu di bawah usia 18 tahun belum sepenuhnya matang dalam pengembangan kepribadian,
dan karena itu gangguan kepribadian jarang didiagnosis sebelum usia ini. Namun, masalah
pada kehidupan yang terjadi dan trauma dapat menyebabkan gangguan kepribadian, dan gejala-
gejala gangguan kepribadian dapat diamati sebelum usia 18 tahun (Bierer dkk., 2003; Sar et
al., 2006).
Bila hasil SDQ memberikan indikasi masalah kejiwaan, dilakukan investigasi, kita dapat
mengatakan bahwa individu yang terpapar ASSO memiliki masalah emosional. Ketika
penelitian mendefinisikan efek emosi dan perilaku pada anak-anak yang terkena
pelecehan/kekerasan seksual diperiksa, dapat dilihat bahwa anak-anak ini telah terbukti
memiliki reaksi takut, marah, permusuhan, rasa bersalah, rendah diri, dan masalah dalam
berhubungan (Friedrich et al., 1988; Finkelhor et al., 1990; Thakkar dkk., 2000; Kaplan dan
Klinetob, 2000; Heffernan dan Cloitre, 2000; Roma et al., 2001). Dalam penelitian ini, karena
tidak ada penilaian sebelumnya yang dibuat untuk memungkinkan kita dapat menentukan
apakah remaja yang terpapar ASSO dapat berkembang secara signifikan lebih tinggi dari
masalah kejiwaan yang dialami setelah mengalami ASSO, sulit untuk menarik kesimpulan
tentang topik ini. Sebagai hasilnya, kami percaya bahwa ada yang dibutuhkan untuk penelitian
lebih lanjut untuk mengidentifikasi hubungan sebab-akibat antara masalah-masalah kejiwaan
dan ajakan seksual secara online.
Penelitian yang terkait dengan pelecehan/kekerasan seksual telah menyatakan bahwa
masalah kejiwaan yang paling umum terjadi setelah SA adalah PTSD ( Kaplan, 2002; Glaser
et al., 2002 ). Namun, hanya ada satu penelitian dalam literatur yang memeriksa hubungan
antara ajakan seksual secara online (ASSO) dan gangguan stress pasca trauma (PTSD).
McHugh et al. melakukan penelitian berbasis web diary selama 2 bulan terhadap 75 remaja
(usia 13-17 tahun) yang melaporkan pengalaman online yang merugikan bagi mereka
(pelanggaran informasi, konten paparan eksplisit, cyberbullying, dan ajakan seksual) setiap
minggu. Dalam penelitian tersebut, para remaja dilaporkan tentang 222 kejadian yang beresiko
secara online (11% dari kejadian tersebut adalah ajakan seksual) dan gejala PTSD diukur
dengan menggunakan Children’s Revised Impact of Event Scale. Para penulis melaporkan
bahwa pengalaman beresiko selama online menimbulkan gejala PTSD dan 36,4% dari insiden
merugikan selama online menghasilkan diagnose klinis PTSD (McHugh et al., 2018). Namun,
hasil ini tidak spesifik untuk ajakan seksual secara online. Mengingat masih kurangnya literatur
yang ada, salah satu tujuan paling penting dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki
hubungan antara ajakan seksual secara online dengan gangguan stress pasca trauma. Dalam
penelitian ini, para peserta menjawab CPTS-RI khususnya dalam kaitannya dengan kejadian
paparan ASSO yang terjadi selama 1 tahun sebelumnya, sehingga hasilnya langsung
mencerminkan efek dari trauma seksual secara online. Ketika skor CPTS-RI untuk individu
yang terpapar ajakan seksual secara online diperiksa, hasilnya mencolok. Skor CPTS-RI
menunjukkan berbagai tingkat PTSD di 35 dari 40 peserta yang terpapar ASSO. Skor CPTS-
RI dari 40 poin atau lebih dianggap konsisten dengan PTSD klinis (Pynoos et al., 1993). Dalam
hal ini, tingkat perkembangan PTSD setelah terpapar ASSO diidentifikasi di 57,8%. PTSD
telah dilaporkan pada tingkat yang bervariasi 44-71% pada anak-anak dan remaja yang telah
terkena pelecehan/kekerasan seksual (Kaplan, 2002; Glaser et al., 2002). Dalam penelitian ini
dari ajakan seksual secara online, yang merupakan bentuk dari pelecehan seksual non-kontak,
tingkat PTSD adalah sama dengan yang terlihat pada penelitian tentang pelecehan seksual.
Namun, sampel penelitian yang terbaru diambil dari populasi pasien psikiatri anak dan remaja
yang sudah mencari bantuan. Para peserta mungkin menunjukkan gejala yang lebih buruk dari
gejala PTSD mereka, dan karena itu, tingkat gangguan stress pasca trauma setelah terpapar
ASSO mungkin lebih tinggi untuk populasi secara secara umum.
Penelitian ini memiliki keterbatasan potensial. Penelitian menggunakan cross-sectional,
jumlah individu yang terpapar ASSO rendah, dan PTSD dievaluasi dengan menggunakan
angket. Namun, penelitian ini juga memiliki berbagai kekuatan. Hal ini dilakukan dengan
sampel klinis, dan ditemukan bahwa prevalensi ASSO lebih tinggi pada penelitian berbasis
sosial. Para korban pelecehan seksual (offline) tidak dimasukkan dalam penelitian ini, dan efek
negatif dari ajakan seksual secara online yang terisolasi. Juga, hubungan antara ASSO dan
PTSD diteliti secara khusus. Kami percaya itu akan bermanfaat untuk melakukan penelitian
ulang dengan interval usia dan sampel yang jauh lebih luas.

5. Kesimpulan
Dalam 12 hingga 16 tahun populasi anak dan remaja pasien kejiwaan dari penelitian ini,
prevalensi ajakan seksual secara online sekitar 21,2%. Gangguan depresi, gangguan
kepribadian borderline, dan diagnosis psikiatri sekunder secara signifikan lebih tinggi pada
remaja yang terpapar ajakan seksual secara online (ASSO). Tingkat gangguan stres pasca-
trauma (PTSD) berkembang setelah terpapar ASSO ditentukan berkisar 57,8%. Hasil ini
menunjukkan bahwa ajakan seksual secara online (ASSO) dapat mengakibatkan trauma berat,
dan harus dilakukan evaluasi pada psikiatri, terutama karena kaun muda lebih sering enggan
untuk menceritakan informasi ini. Sebagai hasilnya, kami percaya bahwa ahli psikiatri anak
dan remaja agar lebih memperhatikan pasien-pasien ASSO. Ini akan sangat penting dan
bermanfaat dalam mempertimbangkan faktor-faktor resiko untuk terjadinya ASSO dan
probabilitas PTSD dalam praktek klinis.

Anda mungkin juga menyukai