Anda di halaman 1dari 41

Kebijakan Direktorat Jenderal Pajak dalam Upaya Peningkatan

Penerimaan Pajak Dengan Kebijakan Pengampunan Pajak (Tax Amnesty)

Oleh :

Husnaini Dwi Wanri

2016/16043043

Program Studi Akuntansi

Fakultas Ekonomi

Universitas Negeri Padang

2019

i
KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Puji syukur Penulis ucapkan atas limpahan rahmat dan karunia Allah SWT
sehingga Penulis bisa menyelesaikan laporan magang dengan judul Kebijakan
Direktorat Jenderal Pajak dalam Upaya Peningkatan Penerimaan Pajak
Dengan Kebijakan Pengampunan Pajak (Tax Amnesty). Laporan magang ini
disusun berdasarkan gambaran yang didapatkan setelah selesai melaksanakan
kegiatan magang keahlian di Direktorat Jenderal Pajak Kanwil DJP Sumatera
Barat dan Jambi selama empat puluh hari kerja, terhitung sejak tanggal 24 Juni
2019 sampai dengan 16 Agustus 2019.

Keberhasilan Penulis dalam melaksanakan magang keahlian dan


menyelesaikan laporan magang tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh
karena itu Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Almarhumah Ibunda tercinta atas semua kenangan kasih sayang dan semua
harapan beliau yang tetap hidup, sehingga penulis tetap bisa tabah dan
bersemangat sehingga laporan ini bisa diselesaikan;

2. Ayahanda tercinta atas do’a, semangat, dan dukungannya;

3. Adik-adik tersayang atas semangat dan kasih sayangnya;

4. Bapak Fefri Indra Arza, SE, M.Sc.Ak. sebagai Ketua Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang;

5. Ibuk Vita Vitria Sari, SE, M.Si. Sebagai Dosen Pembimbing;

6. Bapak Yansasmi sebagi pembimbing magang di Direktorat Jenderal Pajak


Kanwil DJP Sumatera Barat dan Jambi;

7. Seluruh pegawai di Direktorat Jenderal Pajak Kanwil DJP Sumatera Barat


dan Jambi atas keramahtamahan dan rasa kekeluargaan yang diberikan
kepada penulis;

i
8. Kepada para sahabat, Husnaini Dwi Wanri, Dwiky Pramana, dan Fakhrur
Razi;

9. Rekan-rekan mahasiswa, yang telah banyak membantu dalam penulisan


laporan ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hal-hal yang telah Penulis tuliskan


dalam laporan ini tentu masih jauh dari kesempurnaan. Dengan segala kerendahan
hati Penulis menerima kritik dan saran yang bermanfaat untuk kesempurnaan
penulisan di masa mendatang.
Akhirnya Penulis mengharapkan agar tulisan ini dapat memberikan
manfaat yang besar bagi Penulis khususnya dan para pembaca umumnya.

Padang, September 2019

Tari Julia Rahmah

NIM : 16043033

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Laporan : Analisis Kebijakan Direktorat Jenderal Pajak dalam Upaya


Peningkatan Penerimaan Pajak

Nama : Tari Julia Rahmah

BP/NIM : 2016/16043033

Program Studi : Akuntansi

iii
Keahlian : Akuntansi

Laporan ini telah diperiksa dan disetujui oleh Dosen Pembimbing

Padang, September 2019


Disetujui oleh,
Dosen Pembmbing

Vita Vitria Sari, SE, M.Si


NIP:198705152010122009

iv
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................ i

Lembar Pengesahan ......................................................................................... iii

Daftar Isi ........................................................................................................... iv

Daftar Gambar ................................................................................................. v

Daftar Tabel...................................................................................................... vi

A. LATAR BELAKANG ................................................................................. 1

B. PERMASALAHAN ..................................................................................... 4

C. KAJIAN TEORI ......................................................................................... 7

1. Direktorat Jenderal Pajak ........................................................................ 7

A. Kedudukan ........................................................................................ 7

B. Nilai-Nilai ......................................................................................... 8

C. Tugas dan Fungsi .............................................................................. 8

2. Penilaian/Evaluasi Kebijakan .................................................................. 12

3. Teori yang Mendukung Pemungutan Pajak ............................................ 13

4. Self Assessment System .......................................................................... 14

5. Kebijakan Perpajakan yang Pernah Dijalankan di Indonesia .................. 15

A. Tax Amnesty ................................................................................... 15

B. Sunset Policy ................................................................................... 16

C. Extra Effort ...................................................................................... 17

D. Voluntary Payment .......................................................................... 18

v
D. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 20

E. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 25

A. Kesimpulan ............................................................................................. 25

B. Saran ....................................................................................................... 26

F. DAFTAR BACAAN .................................................................................... 27

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kontribusi Rata-Rata Pajak Terhadap Pendapatan Dalam Negeri ....2

Gambar 2 Kedudukan Direktorat Jenderal Pajak ...............................................7

Gambar 3 Nilai-Nilai Diektorat Jenderal Pajak .................................................8

vii
viii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Realisasi dan Rasio Pertumbuhan Pajak ...............................................3

Tabel 2 Kebijakan Umum Perpajakan Tahun 2019 ...........................................5

Tabel 3 Kebijakan Teknis Perpajakan Tahun 2019 ...........................................5

ix
x
A. LATAR BELAKANG

Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang perubahan ke-empat atas


Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan pada pasal 1 ayat 1 mendefinisikan pajak sebagai kontribusi wajib
kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan pada landasan tersebut sistem perpajakan di Indonesia dilaksanakan.
Penerimaan pajak merupakan sumber penerimaan negara yang utama dan paling
besar, menyumbang sekitar 70% dari seluruh penerimaan negara. Menurut
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Penerimaan pajak
adalah semua penerimaan yang terdiri dari Pajak Dalam Negeri dan Pajak
Perdagangan Internasional. Pajak Dalam Negeri adalah semua penerimaan negara
yang berasal dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Jasa, Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan, Cukai, dan Pajak Lainnya. Pajak Perdagangan
Internasional adalah semua penerimaan yang berasal dari bea masuk dan pajak
ekspor.

Perpajakan Indonesia dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak)


sebagai unit eselon 1 di bawah Kementrian Keuangan. Tugasnya yaitu
merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
perpajakan. Tugas ini dijalankan Bersama dengan jajaran Unit kantor operasional
dibawah pimpinannya yang terdiri atas Kantor Wilayah DJP (Kanwil DJP),
Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi
Perpajakan (KP2KP), dan Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan
(PPDDP). Lingkup bidang perpajakan yang dikelola Ditjen Pajak meliputi
adminsitrasi pemungutan dan/atau pengumpulan pajak pusat, yaitu Pajak
Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan selain sektor perkotaan dan
pedesaan, serta Bea Meterai.

1
Sebagai badan yang bertanggung jawab terhadap penerimaan pajak negara
dan juga bertanggung jawab untuk memenuhi target kontribusi pajak dalam
APBN setiap tahunnya, Ditjen Pajak harus memiliki kebijakan-kebijakan yang
terstruktur agar target tersebut terpenuhi. Seperti halnya pada tahun 2019 ini,
dilansir dari Liputan6.com, Robert Pakpahan selaku Direktur Jenderal Pajak
(Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengatakan bahwa
Pemerintah menargetkan penerimaan pajak dalam APBN 2019 sebesar Rp 1.577,6
triliun. Target tersebut meningkat sebesar 20,1% dari realisasi penerimaan pajak
pada 2018. Untuk memenuhi target ini dia mengatakan bahwa Ditjen Pajak telah
mengupayakan perbaikan-perbaikan khusus guna mencapai target penerimaan
pajak 2019 tersebut. Perbaikan tersebut antara lain seperti peningkatan mutu
manajemen sehingga objek pajak yang diawasi tepat sasaran. Tidak hanya itu,
beberapa lembaga telah digandeng Ditjen Pajak untuk meningkatkan pengawasan
seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) serta Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) hingga yang terbaru
pada hari ini adalah Bursa Efek Indonesia (BEI).

Gambar 1 : Kontribusi Rata-rata Terhadap Pendapatan Dalam Negeri


2014-2018

Sumber: NK dan RAPBN 2019

2
Berbagai kebijakan yang telah dilakukan Ditjen Pajak bersama jajaran Unit
Kantor Operasionalnya menghasilkan realisasi penerimaan pajak sebagai berikut:

Rasio
Tahun Realisasi
Pertumbuhan

2015 1.240,4 T 8,2%

2016 1.285,0 T 3,6%

2017 1.472,7 T 14,6%

2018 1.618,1 T 10%

Sumber : Kementerian Keuangan

Dapat dilihat dari data yang disajikan oleh Kementrian Keuangan bahwa
setiap tahunnya realisasi penerimaan pajak rata-rata mengalami pertumbuhan, dan
rasio pertumbuhannya juga selalu bernilai positif dan berfluktuatif. Untuk
memenuhi target penerimaan pajak dalam APBN 2019 tersebut, dan atas semua
upaya yang telah dilakukan oleh Ditjen Pajak bersama unit jajaran Kantor
Operasionalnya pada tahun-tahun sebelumnya, penulis ingin mendeskripsikan
tentang kebijakan-kebijakan apa saja yang diterapkan untuk memenuhi target
penerimaan pajak dan untuk melihat apakah kebijakan tersebut sepenuhnya
berhasil dalam memenuhi target penerimaan pajak dalam RAPBN. Oleh karena
itu, penulis akan menuangkan deskripsi kebijakan Ditjen Pajak dalam upaya
penerimaan pajak tersebut pada laporan magang yang berjudul Analisis
Kebijakan Direktorat Jenderal Pajak dalam Upaya Peningkatan Penerimaan
Pajak.

3
B. PERMASALAHAN

Walaupun penerimaan pajak setiap tahunnya menunjukkan peningkatan


angka yang cukup signifikan, realisasi penerimaan pajak tersebut sebenarnya
masih jauh dari harapan. Dalam kurun waktu lima tahun ke belakang atau sejak
2013-2017 penerimaan pajak Indonesia tidak pernah tercapai.

a. Pada 2013, terjadi shortfall Rp 74 triliun dengan realisasi Rp 921 triliun


dari target Rp 995 triliun;

b. Pada 2014, terjadi shortfall Rp 43,22 triliun dengan realisasi Rp 985


triliun dari target sebesar Rp 1.072 triliun;

c. Pada 2015, terjadi shortfall Rp 198,23 triliun dengan realisasi Rp


1.095,77 triliun dari target Rp 1.294 triliun;

d. Pada 2016, terjadi shortfall Rp 213,55 triliun dengan realisasi Rp


1.141,45 triliun dari target Rp 1.355 triliun;

e. Pada 2017, terjadi shortfall Rp 513,3 triliun dengan realisasi Rp 770,7


triliun dari target Rp 1.284 triliun;

f. Sedangkan tahun 2018, sampai dengan Oktober realisasi penerimaan


pajak baru mencapai Rp 1.016,52 triliun dari target Rp 1.424,00 triliun.
Diperkirakan ada shortfall Rp 74 triliun.

(Sumber:https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4309946/penerim
aan-pajak-tak-pernah-tercapai-sejak -2013-begini-datanya)

Selain itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkirakan target pajak


akan meleset atau shortfall Rp 140 triliun dari yang telah dipatok dalam APBN
2019, sebesar Rp 1.577,56 triliun. Tata kelola pajak yang telah diatur oleh
Undang-Undang ternyata belum mampu untuk memenuhi target penerimaan pajak
dalam RAPBN. Padahal penerimaan terbesar dari Negara Indonesia berasal dari

4
penerimaan pajak yaitu menyumbang sebesar 70% untuk total RAPBN. Kebijakan
yang dilakukan oleh Ditjen Pajak untuk menggenjot penerimaan pajak juga sangat
beragam. Bahkan baru -baru ini Indonesia dihebohkan dengan kebijakan pajak
Tax Amnesti. Lalu juga telah dijalankan kebijakan perpajakan yang bernama
Sunset Policy jilid 1 dan jilid 2. Tidak hanya itu, bahkan kebijakan Extra Effort
juga dilakukan agar penerimaan pajak mencapai target selain dari kebijakn
Voluntary Payment yang sudah ada. Kebijakan lain juga sudah dilakukan oleh
Ditjen Pajak untuk memenuhi penerimaan pajak Negara. Seperti halnya untuk
rencana penerimaan pajak tahun 2019 ini, kebijakan yang dilakukan adalah :

Tabel 2 : Kebijakan Umum Perpajakan Tahun 2019

No Kebijakan yang Akan Ditempuh


1 Optimalisasi penggalian potensi dan pemungutan perpajakan melalui
pendayagunaan data dan sistem informasi perpajakan yang up to date dan
terintegrasi
2 Meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak dan membangun kesadaran
pajak untuk menciptakan ketaatan membayar pajak (sustainable
compliance)
3 Memberikan insentif perpajakan secara selektif dan tepat sasaran untuk
mendukung daya saing industri nasional dan tetap mendorong hilirisasi
industri
4 Memengaruhi konsumsi masyarakat terutama terkait dengan Barang Kena
Cukai (BKC) untuk mengurangi eksternalitas negatif
5 Transparansi informasi di bidang perpajakan dengan mengoptimalkan
perjanjian perpajakan internasional dan mengefektifkan pelaksanaan
Automatic Exchange of Information (AEoI)
6 Melakukan redistribusi pendapatan dalam upaya menurunkan inequality
Sumber : RAPBN 2019

Tabel 3 : Kebijakan Teknis Perpajakan Tahun 2019

5
No Kebijakan yang Akan Ditempuh
1 Penguatan fungsi pelayanan (tax service) dalam rangka mendorong
terciptanya kepatuhan Wajib Pajak secara sukarela
2 Peningkatan efektivitas pengawasan dalam rangka meningkatkan kepatuhan
Wajib Pajak antara lain melalui implementasi Automatic Exchange of
Information (AEoI)
3 Ekstensifikasi dan peningkatan pengawasan sebagai tindak lanjut pasca
program tax amnesty
4 Peningkatan efektivitas fungsi ekstensifikasi melalui pendekatan
end-to-end, antara lain penanganan sektor informal (UMKM) melalui
pendekatan Bussiness Development Services (BDS)
5 Pelaksanaan penegakan hukum (law enforcement) secara berkeadilan
6 Melanjutkan reformasi perpajakan secara komprehensif baik menyangkut
SDM, peraturan perpajakan, teknologi informasi, maupun penyempurnaan
bisnis
Sumber: Nota Keuangan & RAPBN 2019

Walaupun sudah ditetapkan secara jelas kebijakan apa yang akan ditempuh
untuk tahun pajak 2019 ini, target penerimaan pajak sampai Juli 2019 baru
berjumlah Rp707,06 triliun (44,82%) atau hanya tumbuh 2,9% year-on-year.
Kerjasama dari berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk mewujudkan penerimaan
pajak ini. Apalagi dengan sistem pemungutan pajak Self Assessment System yang
dianut oleh Indonesia, pengawasan kepada rakyat harus sangat diutamakan agar
rakyat melakukan kewajiban perpajakannya seperti yang seharusnya. Maka
dengan adanya fenomena ini perlu dianalisa lebih jauh, apakah kebijakan dari
Ditjen Pajak belum mampu mengoptimalkan penerimaan pajak atau memang ada
faktor lain yang membuat penerimaan pajak belum optimal walaupun kebijakan
yang ada sudah memadai.

6
C. KAJIAN TEORI

1. Direktorat Jenderal Pajak

a. Kedudukan

Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) merupakan unit eselon I di bawah


Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan serta
melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perpajakan.
Lingkup bidang perpajakan yang dikelola Ditjen Pajak meliputi adminsitrasi
pemungutan dan/ atau pengumpulan pajak pusat, yaitu Pajak Penghasilan
(PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan selain sektor perkotaan dan pedesaan,
serta Bea Meterai.

Gambar 2 : Kedudukan Direktorat Jenderal Pajak

7
b. Nilai-Nilai

Sebagai bagian dari Kementerian Keuangan, Ditjen Pajak mengusung


Nilai-Nilai Kementerian Keuangan sebagai dasar dan fondasi bagi institusi,
pimpinan, dan seluruh pegawainya dalam mengabdi, bekerja, dan bersikap.

Gambar 3 : Nilai-nilai Direktorat Jenderal Pajak

8
c. Tugas dan Fungsi

Tugas Direktorat Jenderal Pajak sesuai amanat Peraturan Menteri Keuangan


Nomor 234/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Keuangan adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi
teknis di bidang perpajakan.

Dalam mengemban tugas tersebut, DJP menyelenggarakan fungsi:


a. perumusan kebijakan di bidang perpajakan;
b. pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan;
c. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang perpajakan;
d. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perpajakan; dan
e. pelaksanaan administrasi DJP.

Selain berlandaskan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.01/2015,


dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya Direktorat Jenderal Pajak juga
berlandaskan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.01/2017 dan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 212/PMK.01/2017.

9
Organisasi DJP terbagi atas unit kantor pusat dan unit kantor operasional.
Kantor pusat terdiri atas Sekretariat Direktorat Jenderal, direktorat, dan jabatan
tenaga pengkaji. Unit kantor operasional terdiri atas Kantor Wilayah DJP (Kanwil
DJP), Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan
Konsultasi Perpajakan (KP2KP), dan Pusat Pengolahan Data dan Dokumen
Perpajakan (PPDDP). Organisasi DJP, dengan jumlah kantor operasional lebih
dari 500 unit dan jumlah pegawai lebih dari 42.000 orang yang tersebar di seluruh
penjuru nusantara, merupakan salah satu organisasi besar yang ada dalam
lingkungan Kementerian Keuangan. Segenap sumber daya yang ada tersebut
diberdayakan untuk melaksanakan pengamanan penerimaan pajak yang beban
setiap tahunnya semakin berat.

Tugas Unit dan Jabatan di Kantor Pusat DJP:

1. Sekretariat Direktorat Jenderal


Melaksanakan koordinasi pelaksanaan tugas serta pembinaan dan pemberian
dukungan administrasi kepada semua unsur di DJP.

2. Direktorat Peraturan Perpajakan I


Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
peraturan terkait ketentuan umum dan tata cara perpajakan, penagihan pajak
dengan surat paksa, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah, serta Pajak Tidak Langsung Lainnya, dan Pajak Bumi dan
Bangunan.

3. Direktorat Peraturan Perpajakan II


Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
peraturan terkait pajak penghasilan, advokasi, pemberian bimbingan dan
pelaksanaaan advokasi, dan harmonisasi peraturan perpajakan.

4. Direktorat Pemeriksaan & Penagihan


Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
pemeriksaan dan penagihan pajak.

10
5. Direktorat Intelijen Perpajakan
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
intelijen perpajakan.

6. Direktorat Ekstensifikasi & Penilaian


Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
ekstensifikasi dan penilaian perpajakan.

7. Direktorat Keberatan & Banding


Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
keberatan dan banding.

8. Direktorat Potensi, Kepatuhan & Penerimaan


Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
potensi, kepatuhan, dan penerimaan.

9. Direktorat Penyuluhan, Pelayanan & Hubungan Masyarakat


Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
penyuluhan, pelayanan dan hubungan masyarakat.

10. Direktorat Data dan Informasi Perpajakan


Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
data dan informasi perpajakan.

11. Direktorat Kepatuhan Internal & Transformasi Sumber Daya Aparatur


Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
kepatuhan internal dan transformasi sumber daya aparatur.

12. Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi


Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
teknologi informasi dan komunikasi.

13. Direktorat Transformasi Proses Bisnis


Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
transformasi proses bisnis.

11
14. Direktorat Perpajakan Internasional
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
perpajakan internasional.

15. Direktorat Penegakan Hukum


Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
penegakan hukum perpajakan.

16. Tenaga Pengkaji Bidang Ekstensifikasi & Intensifikasi Pajak


Mengkaji dan menelaah masalah di bidang ekstensifikasi dan intensifikasi
pajak, serta memberikan penalaran pemecahan konsepsional secara keahlian.

17. Tenaga Pengkaji Bidang Pengawasan & Penegakan Hukum Perpajakan


Mengkaji dan menelaah masalah di bidang pengawasan dan penegakan
hukum perpajakan, serta memberikan penalaran pemecahan konsepsional
secara keahlian.

18. Tenaga Pengkaji Bidang Pembinaan & Penertiban SDM Sumber Daya
Manusia.
Mengkaji dan menelaah masalah di bidang pembinaan dan penertiban sumber
daya manusia, serta memberikan penalaran pemecahan konsepsional secara
keahlian.

19. Tenaga Pengkaji Bidang Pelayanan Perpajakan


Mengkaji dan menelaah masalah di bidang pelayanan perpajakan, serta
memberikan penalaran pemecahan konsepsional secara keahlian.

Tugas unit Kanwil DJP adalah melaksanakan koordinasi, bimbingan,


pengendalian, analisis, dan evaluasi atas pelaksanaan tugas KPP, serta penjabaran
kebijakan dari kantor pusat. Unit ini dapat dibedakan atas:

1. Kanwil DJP Wajib Pajak Besar dan Kanwil DJP Jakarta Khusus yang
berlokasi di Jakarta; dan

12
2. Kanwil DJP selain Kanwil DJP Wajib Pajak Besar dan Kanwil DJP
Jakarta Khusus yang lokasinya tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Jumlah Kanwil DJP sebanyak 34 unit.

Unit KPP mempunyai tugas melaksanakan penyuluhan, pelayanan, dan


pengawasan kepada wajib pajak. Unit ini dapat dibedakan berdasarkan segmentasi
wajib pajak yang diadministrasikannya, yaitu:

1. KPP Wajib Pajak Besar, khusus mengadministrasikan wajib pajak besar


nasional;
2. KPP Madya, khusus mengadministrasikan wajib pajak besar regional dan
wajib pajak besar khusus yang meliputi badan dan orang asing,
penanaman modal asing, serta perusahaan masuk bursa; dan
3. KPP Pratama, menangani wajib pajak lokasi.

Untuk menjangkau masyarakat yang tinggal di daerah-daerah terpencil yang


tidak terjangkau oleh KPP maka pelaksanaan pelayanan, penyuluhan, dan
konsultasi perpajakan dilaksanakan oleh unit KP2KP. Sampai saat ini terdapat
empat Unit Pelaksana Teknis (UPT) terdiri dari Pusat Pengolahan Data dan
Dokumen Perpajakan (PPDDP), Kantor Pengolahan Data dan Dokumen
Perpajakan (KPDDP), dan Kantor Layanan Informasi dan Pengaduan (KLIP).
PPDDP adalah unit yang berpusat di Jakarta dan mempunyai kantor operasional
di Jambi dan Makasar (KPDDP) yang mempunyai tugas melaksanakan
penerimaan, pemindaian, perekaman, dan penyimpanan dokumen perpajakan
dengan memanfaatkan teknologi informasi perpajakan. KLIP adalah UPT DJP di
bidang layanan pemberian informasi perpajakan, penanganan pengaduan, dan
pemberian imbauan kepada wajib pajak dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung
kepada Direktur Jenderal Pajak.

2. Penilaian/Evaluasi Kebijakan

Ada beberapa teori tentang kebijakan diantaranya yaitu:

13
a) Menurut Ealau dan Pewitt (1973) kebijakan adalah sebuah ketetapan
yang berlaku, dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang baik
dari yang membuat atau yang melaksanakan kebijakan tersebut.

b) Titmuss (1974) mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang


mengatur tindakan dan diarahkan pada tujuam tertentu

c) Edi Suharto (2008:7) menyatakan bahwa kebijakan adalah suatu


ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara
bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai
tujuan tertentu.

Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang


menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi,
implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi dipandang sebagai suatu
kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap
akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan
demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah
kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah
kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan. Ada dua akibat yang
timbul dari penetapan kebijakan, yaitu:

a. kebijakan yang berorientasi pada pelayanan publik dalam arti sesuai


dengan makna demokrasi;

b. kebijakan yang meracuni publik/kebijakan yang ditetapkan hanya untuk


kepentingan beberapa kalangan saja, dan hal dampak yang kedua ini
sangatlah kontraproduktif terhadap nilai-nilai demokrasi.

Kebijakan dapat diwujudkan dengan cara Pembuatan peraturan UU, Perencanaan


kegiatan, dan aneka intervensi terhadap ekonomi/social masyarakat. Karena
kebijakan itu merupakan tindakan dan keputusan pemerintah maka kebijakan
tersebut dicirikan dengan kekuasaan yang didominasi oleh pemerintah serta sesuai
hukum dan wewenang pemerintah.

3. Teori-Teori yang Mendukung Pemungutan Pajak

14
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi
pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak. Teori-teori tersebut antara
lain:

a. Teori Asuransi

Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak


rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang
diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan
perlindungan tersebut.

b. Teori Kepentingan

Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan


(misalnya perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar
kepentingan seseorang terhadapa negara, semakin tinggi pajak yang
harus dibayar.

c. Teori Daya Pikul

Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus
dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur
daya pikul dapat digunakan dua pendekatan, yaitu:

1. Unsur Objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan


yang dimiliki oleh sesorang.

2. Unsur Subjektif, dengan memerhatikan besarnya kebutuhan materiil


yang harus dipenuhi.

d. Teori Bakti

Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan


negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu
menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.

e. Teori Asas Daya Beli

Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya


memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat

15
untuk rumah tangga negara. Salnjutnya negara akan menyalurkannya
kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih
diutamakan.

4. Self Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada


wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak terutang. Ciri-cirinya:

a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajka terutang ada pada Wajib


Pajak sendiri

b. Wajib Pajak bersifat aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan


melaporkan sendiri pajak yang terutang

c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi

Sejak perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan pada tahun


1983 (reformasi perpajakan Indonesia) menggantikan peraturan perpajakan yang
dibuat oleh kolonial Belanda (ordonansi PPs 1925 dan ordonansi PPd 1944),
Indonesia telah mengganti sistem pemungutan pajaknya pula dari sistem Official
Assessment menjadi sistem Self Assessment. Kepercayaan diberikan kepada wajib
pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri
jumlah pajak yang seharusnya terutang berdasarkan peraturan yang tertera dalam
Undang-Undang perpajakan.

5. Kebijakan Perpajakan yang Pernah Dijalankan di Indonesia

a. Tax Amnesty

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2016 tentang


Pengampunan Pajak pasal 1 ayat 1 menjelaskan yang dimaksud dengan
Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak
dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan,

16
dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini. Pengampunan Pajak dilaksanakan berdasarkan asas:

a. kepastian hukum;

b. keadilan;

c. kemanfaatan; dan

d. kepentingan nasional.

Pengampunan Pajak bertujuan untuk:

a. mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan


harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik,
perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi;

b. mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih


berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif,
dan terintegrasi; dan

c. meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk


pembiayaan pembangunan.

Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi


pengampunan atas kewajiban perpajakan sampai dengan akhir Tahun Pajak
Terakhir, yang belum atau belum sepenuhnya diselesaikan oleh Wajib Pajak.
Kewajiban perpajakan yang dimaksud terdiri atas kewajiban Pajak Penghasilan;
dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah.

b. Sunset Policy

Sunset Policy adalah kebijakan pemberian fasilitas perpajakan, yang berlaku


hanya pada tahun 2008 pada awalnya, dalam bentuk penghapusan sanksi
administrasi perpajakan berupa bunga yang diatur dalam Pasal 37A
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007). Undang-Undang KUP Tahun 2008 memberikan

17
kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk menghimpun data
perpajakan dan mewajibkan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi dan pihak
lainnya untuk memberikan data kepada Direktorat Jenderal Pajak. Ketentuan ini
memungkinkan Direktorat Jenderal Pajak mengetahui ketidakbenaran pemenuhan
kewajiban perpajakan yang telah dilaksanakan oleh masyarakat. Untuk
menghindarkan masyarakat dari pengenaan sanksi perpajakan yang timbul apabila
masyarakat tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya secara benar, Direktorat
Jenderal Pajak pada tahun 2008 ini memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada masyarakat untuk mulai memenuhi kewajiban perpajakannya secara
sukarela dan melaksanakannya dengan benar.

Penerima yang dapat memanfaatkan Sunset Policy adalah:

 Orang Pribadi yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),
yang dalam tahun 2008 secara sukarela mendaftarkan diri untuk
memperoleh NPWP dan menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk tahun
pajak 2007 dan tahun-tahun pajak sebelumnya paling lambat 31 Maret
2009.
 Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang telah memiliki NPWP
sebelum tahun 2008, yang menyampaikan pembetulan SPT Tahunan PPh
Tahun Pajak 2006 dan tahun-tahun pajak sebelumnya untuk melaporkan
penghasilan yang belum diperhitungkan dalam pelaporan SPT Tahunan
PPh yang telah disampaikan.

c. Extra Effort

Extra Effort adalah usaha ekstra untuk mencari penerimaan pajak di luar
penerimaan pajak rutin agar tercapai terget penerimaan pajak. Bentuk kegiatannya
adalah penggalian potensi. Strategi penggalian potensi perpajakan antara lain
dilakukan sebagai berikut:

1. Mapping

Mapping adalah pemetaan kondisi Wajib Pajak berdasarkan wilayah/lokasi,


subjek dan onjek pajak, sektoral/jenis usaha, potensi ekonomi, pembayaran pajak,

18
dan lain-lain. Hasil dari mapping inilah yang kemudian dijadikan acuan untuk
menentukan skala prioritas terhadap kegiatan penggalian potensi dan untuk
menentukan program kerja agar potensi tersebut dapat terealisasi. Mapping untuk
menentukan skala prioritas akan mengelompokkan wajib pajak didasarkan kepada
jumlah pembayaran pajaknya, sehingga didapat wajib pajak 100 besar, 400 besar,
dan 1500 besar. Prioritas tersebut digunakan karena wajib pajak besar mempunyai
proporsi yang sangat signifikan terhadap total penerimaan pajak. Mapping
berdasarkan sektoral/jenis usaha wajib pajak juga sangat penting digunakan. Dari
hasil mapping ini kita akan mendapat sektor dominan apa yang sangat
berpengaruh dalam jalannya roda perekonomian di suatu daerah, contoh sektor
besar misalnya wajib pajak pertambangan batubara, industri & perkebunan kelapa
sawit, real estate, jasa profesi, otomotif, lembaga keuangan, bendaharawan
pemerintah.

2. Profiling

Setelah melakukan mapping, langkah selanjutnya adalah melakukan


pendalaman terhadap wajib pajak. Profiling adalah kegiatan mengumpulkan data
dan informasi masing-masing wajib pajak. Data dan informasi yang diperlukan
misalnya identitas, jenis usaha, proses bisnis, laporan keuangan, transaksi dengan
pihak suplier dan customer, dan data-data lain yang berhubungan dengan wajib
pajak. Data memegang peranan sangat penting untuk menjadi dasar penghitungan
potensi pajak, yang selanjutnya digunakan untuk menjadi dasar surat himbauan
yang disampaikan kepada wajib pajak untuk memperbaiki laporan pajaknya dan
menambah setoran pajaknya sesuai dengan keadaan yang sebnarnya.

3. Benchmarking Ratio

Total benchmarking digunakan sebagai alat bantu untuk menilai kewajaran


kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh wajib pajak. Ratio
total benchmarking memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Disusun berdasarkan kelompok usaha

b. Benchmarking dilakukan atas rasio-rasio yang berkaitan dengan tingkat laba


dan input-input perusahaan

19
c. Ada keterkaitan antar rasio benchmark

d. Fokus pada penilaian kewajarankinerja keuangandan pemenuhan kewajiban


perpajakan

Wajib Pajak yang kinerja keuangannya dibawah angka benchmark tidak selalu
berarti bahwa wajib pajak tersebut tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya
dengan benar. Perlu diagnosa yang lebih mendalam untuk dapat menentukan
wajib pajak tersebut benar-benar tidak patuh atau terdapat faktor-faktor lain yang
menyebabkan wajib pajak memiliki kinerja keuangan yang berbeda dengan
benchmark.

d. Voluntary Payment

Dalam peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 67


/PMK.04/2016 Tentang Deklarasi Inisiatif (Voluntary Declaration) atas Nilai
Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk Pasal 1 ayat 10 yang dimaksud dengan
Pembayaran Inisiatif (Voluntary Payment) adalah pembayaran Bea Masuk, Cukai,
dan/ atau PDRI (Pajak Dalam Rangka Impor) atas harga yang seharusnya dibayar
dan/ atau biaya-biaya dan/ atau nilai-nilai yang harus ditambahkan pada nilai
transaksi pada saat telah dapat ditentukan oleh Importir (settlement date) dalam
rangka pemenuhan kewajiban atas Deklarasi Inisiatif ( Voluntary Declaration).
Sedangkan Voluntary Declaration itu sendiri adalah pemberitahuan Importir
dalam PIB (Pemberitahuan Impor Barang) dalam rangka memberitahukan dan
memperkirakan atas harga yang seharusnya dibayar dan/ atau biaya-biaya dan/
atau nilai-nilai yang harus ditambahkan pada nilai transaksi yang belum dapat
ditentukan nilainya pada saat pengajuan PIB.

20
D. HASIL DAN PEMBAHASAN

21
Untuk mengukur kinerja penerimaan perpajakan suatu negara bisa dilihat dari
Tax Gap. Tax gap merupakan selisih antara jumlah potensi pajak yang dapat
dipungut (taxes owed) dengan jumlah realisasi penerimaan pajak (taxes paid). Tax
gap menunjukkan potensi penerimaan yang belum berhasil direalisasikan oleh
otoritas pajak suatu negara. Dengan memakai tax gap, kinerja otoritas pajak suatu
negara diukur dengan kemampuannya mengumpulkan penerimaan pajak
dibandingkan dengan yang seharusnya dikumpulkan. Ukurannya adalah seberapa
mampu otoritas pajak suatu negara membuat para pembayar pajaknya patuh
melaksanakan kewajiban pajaknya sesuai dengan ketentuan perpajakan yang
berlaku.

Tax Amnesty adalah salah satu kebijakan yang pernah diterapkan dalam
perpajakan Indonesia. Tax Amnesty menjadi sarana bagi pemerintah untuk
meningkatkan pendapatan dari pajak serta kepatuhan wajib pajak guna
memperkecil tax gap itu sendiri. Di dunia, ada beberapa negara yang pernah
menerapkan tax amnesty selain Indonesia di antaranya Australia, Belgia, Kanada,
Jerman, Yunani, Italia, Portugal, Rusia, Afrika Selatan, Spanyol, dan Amerika
Serikat. Tax Amnesty dilakukan untuk menarik “uang” dari para wajib pajak yang
disinyalir menyimpan secara rahasia di negara-negara bebas pajak. Dengan
tersimpannya “uang” di negara-negara bebas pajak tersebut, hilang pula potensi
penerimaan negara dari pajak. Oleh karena itu, untuk menarik hati para wajib
pajak, pemerintah menerapkan program tax amnesty dengan harapan para wajib
pajak yang menyimpang “uang” mereka di luar negeri dapat mengalihkan
simpanannya ke dalam negeri. Dengan demikian, pemasukan negara dari pajak
dapat meningkat dan dapat berkontribusi secara siginfikan terhadap pembangunan
ekonomi dalam negeri.

Tax amnesty adalah kesempatan bagi wajib pajak untuk membayar pajak
dengan jumlah tertentu termasuk penghapusan bunga dan dendanya tanpa takut
akan dipidana. Pemerintah memberikan beberapa kemudahan kepada wajib pajak
yang ingin mengikuti program tax amnesty. Kemudahan-kemudahan yang
diberikan berupa tarif pajak yang rendah dan beberapa fasilitas seperti:

22
1. Dihapuskannya sanksi administratif;
2. Ditiadakannya pemeriksaan pajak untuk penindakan dengan tujuan pidana;
3. Penghapusan segala pajak-pajak yang terutang;
4. Penghentian pemeriksaan pajak bagi yang sedang diperiksa;
5. Tidak dikenakannya PPh Final untuk pengalihan harta berupa saham,
bangunan, atau tanah.

Khusus bagi wajib pajak yang menyimpan hartanya di negara lain, mereka harus
merepatriasi hartanya atau menyalurkan hartanya yang selama ini tersimpan di
luar untuk diinvestasikan di Indonesia selama tiga tahun. Investasi tersebut dapat
berbentuk obligasi BUMN, investasi keuangan pada bank dalam negeri, obligasi
perusahaan-perusahaan dalam negeri, kerjasama dengan pemerintah atau badan
usaha sebagai investasi pada pembangunan infrastruktur, obligasi lembaga
pembiayaan pemerintah, dan investasi lain yang sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan. Intinya, mereka diwajibkan untuk berinvestasi pada
saluran-saluran sah yang telah disediakan pemerintah. Selain itu, setelah surat
keterangan atas harta-harta itu terbit, wajib pajak selama 3 tahun tidak
diperbolehkan menginvestasikan kembali hartanya ke luar negeri. Tax amnesty di
Indonesia dilakukan melalui tiga periode. Periode pertama tax amnesty
berlangsung dari 28 Juni 2016 sampai 30 September 2016, dilanjutkan periode
kedua yang mulai dari 1 Oktober 2016 sampai 31 Desember 2016. Periode ketiga
dan terakhir dari kebijakan ini berlangsung pada 1 Januari 2017 sampai 31 Maret
2017.

Mengutip pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati


pada tanggal 31 Maret 2017 yang di posting pada website resmi Sekretariat
Kabinet Republik Indonesia, beliau mengatakan bahwa pelaksanaan pengampuan
pajak atau Tax Amnesty yang berakhir pada Jumat (31 Maret 2017) pukul 24.00
telah berlangsung cukup baik. Penerimaan uang tebusan tax amnesty mencapai
Rp130 triliun, yang terdiri dari Rp90,36 triliun dari WP Pribadi non Usaha Mikro
Kecil dan Menengah (UMKM), Rp7,56 trliun dari OP UMK, Rp4,31 triliun WP
badan non UMKM, dan Rp0,62 triliun WP badan UKM. Sedangkan deklarasi
harga mencapai Rp4.813,4 triliun, terdiri atas Rp3.633,1 triliun deklarasi harta di

23
dalam negeri, dan repatriasi Rp146,6 triliun. Namun diakui Menkeu, jika dilihat
dari jumlah peserta yang ikut tax amnesty sebanyak 974.058 pelaporan SPH
(Surat Pernyataan Harta), dari 921.744 wajib pajak, jumlah tersebut masih kecil
dibandingkan dengan potensi wajib pajak di tanah air.

Artinya, realisasi penerimaan Tax Amnesty selama tiga periode


pelaksanaanya di Indonesia masih belum 100% dari yang ditargetkan. Meskipun
banyak kemudahan yang diberikan kepada Wajib Pajak melalui kebijakan ini,
masih banyak Wajib Pajak yang enggan untuk melakukan kewajiban
perpajakannya. Melalui fenomena ini dapat disimpulkan bahwa tidak tercapainya
penerimaan pajak negara bukan dikarenakan oleh lemahnya kebijakan pihak yang
berwenang melaikan oleh Wajib Pajak itu sendiri.

Sunset Policy juga pernah diterapkan di Indonesia. Program Tax Amnesty


berbeda dengan Sunset Policy. Dalam Sunset Policy, yang dihapuskan adalah
sanksi denda administrasi sedangkan pokok pajaknya wajib dibayar penuh sesuai
tarif umum yang berlaku bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan. Tidak
terdapat ketentuan mengenai pembebasan atas tuntutan pidana pajak dalam hal ini.
Sunset Policy ini erat kaitannya dengan tax ratio. Rasio pajak atau tax ratio adalah
perbandingan atau persentase penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto
(PDB) dimana hal itu juga merupakan salah satu indikator untuk menilai kinerja
penerimaan pajak. Tax ratio digunkan untuk menilai tingkat kepatuhan
pembayaran pajak oleh masyarakat dalam sautu negara. Tax ratio juga
mengukur kemampuan pemerintah mengumpulkan pajak dari total perekonomian,
dalam arti total produk domestik bruto. Sehingga, ukuran tax ratio itu
menunjukkan seberapa mampu pemerintah membiayai keperluan-keperluan yang
menjadi tanggung jawab negara. Jadi, kalau tax ratio rendah berarti pemerintah
tidak terlalu mampu banyak berbuat. Kalau tax ratio tinggi berarti pemerintah
lebih banyak mampu berbuat melalui APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara).

Sunset policy pertama kali diberlakukan di Indonesia pada tahun 2018, yang
dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan Desember 2008, dan diperpanjang
hingga Februari 2009. Realisasi pajak pada pelaksanaan sunset policy mencapai

24
571,1 triliun, yaitu 108% melebihi target penerimaan. Selanjutnya pada tahun
2015 kebijakan sunset policy kembali dijalankan. Yang menjadi konsep dasar
sunset policy adalah prinsip Self Assessment, yaitu Wajib Pajak mendaftarkan diri,
menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang
terutang. Dengan kata lain pemerintah dalam hal ini aparat pajak tidak lagi
menetapkan jumlah pajak terutang, tetapi berfungsi untuk melakukan pembinaan,
sosialisasi, penelitian dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban
perpajakan. Hal ini dimaksudkan agar dapat menggerakkan peran serta semua
lapisan subjek pajak dalam meningkatkan penerimaan dalam negeri. Untuk itu
Wajib Pajak diberi kemudahan-kemudahan dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya. Sunset Policy di sini hadir sebagai fasilitas/kemudahan yang
diberikan kepada Wajib Pajak/Subjek Pajak untuk memenuhi kewajiban
perpajakannya.

Akan tetapi, prinsip self assessment ini sendiri menjadi boomerang bagi
pelaksanaan perpajakan di Indonesia. Karena dengan kebebasan yang diberikan
kepada rakyat untuk melakukan kewajiban perpajakannya sendiri, pemerintah
tidak bisa sepenuhnya mengontrol aktifitas perpajakan rakyatnya sehingga risiko
terjadinya kecurangan cukup besar. Selain itu, pelaksanaan sunset policy yang
lebih dari satu kali mengindikasikan tidak tercapainya target penerimaan pajak
seperti yang telah dianggarkan oleh pemerintah bersama dengan Direktorat
Jenderal Pajak. Hal ini juga mengindikasikan bahwa tingkat kesadaran rakyat
terhadap kewajiban perpajakannya masih dikategorikan cukup rendah, walaupun
segala sesuatunya tentang perpajakan itu sendiri telah diatur dalam
Undang-Undang.

Bahkan, setiap tahunnya Direktorat Jenderal Pajak di bawah Menteri


Keuangan masih harus melakukan Extra Effort agar penerimaan pajak bisa
mencapai target. Seperti pada tahun 2019 ini, otoritas pajak mulai merancang
strategi untuk memburu wajib pajak (WP) tak patuh seiring dengan meningkatnya
risiko shortfall penerimaan pajak tahun 2019. Dilansir dari Bisnis.com, saat ini
Direktorat Jenderal Pajak telah menggenggam data berupa rekening keuangan
saldo akhir per 31 Desember 2017. Data itu telah dianalisis dan siap digunakan

25
untuk mengejar target penerimaan pajak tahun 2019. Salah satu penekanan
otoritas pajak terkait hal itu yakni dengan peningkatan aktivitas extra effort.
Peningkatan aktivitas ini perlu dilakukan karena kinerja extra effort utama belum
cukup baik. Effort di pengawasan misalnya tercatat tumbuh negatif 28,8% dan
secara total effort juga negatif 15,5%. Oleh karena itu, otoritas pajak telah
membentuk satuan tugas atau task force yang bertugas menganalisa dan
mengevaluasi tindak lanjut pelaksanaan optimalisasi data rekening keuangan yang
sebelumnya telah diteliti dan diidentifikasi. Dikutip dari CNN Indonesia, Robert
Pakpahan selaku Ditjen Pajak mengatakan bahwa Voluntary payment dan effort
sektor tambang dan sawit minus 10,11 persen. Hal tersebut menjadi salah satu
penyebab lemahnya pergerakan perpajakan di tahun 2019 ini.

E. KESIMPULAN DAN SARAN

26
Kesimpulan

Kinerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dinilai dari 2 hal, yaitu Realisasi
Penerimaan Pajak dan Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak. Agar hasil kinerja
tersebut dapat terwujud dengan baik, DJP melakukan tiga macam fungsi, yaitu
pelayanan, pengawasan, dan penegakan hukum (law enforcement), dimana ketiga
fungsi tersebut akan saling mendukung dan mempengaruhi target kinerja yang
akan dicapai. Penerimaan dari Pajak merupakan tumpuan Pemerintah untuk
Penerimaan Negara. Dari tahun ke tahun, Pemerintah pasti selalu menaikkan
target penerimaan pajak untuk memperkecil angka tax gap. Potensi-potensi pajak
masih besar dan banyak yang belum terealisasikan. Hal inilah yang menjadi tugas
dan tantangan bagi DJP, bagaimana cara untuk meningkatkan penerimaan pajak
dengan terus mencari, menggali, dan merealisasikan potensi-potensi pajak yang
masih tersembunyi dan belum optimal. Realisasi penerimaan pajak diperoleh dari
pembayaran rutin masa (bulanan), hasil himbauan, hasil pemeriksaan, hasil
penagihan utang pajak, serta hasil ekstensifikasi, dimana proporsi sumber
penerimaan yang paling besar adalah dari pembayaran rutin dan hasil himbauan.
Untuk mengamankan pembayaran rutin dari Wajib Pajak diperlukan pengawasan
ketat, sementara himbauan dilakukan untuk menggali potensi pajak yang bisa
direalisasikan. Dua pekerjaan inilah yang menjadi tugas utama seorang Account
Representativ di Kantor Pelayanan Pajak.

Dari fenomena perpajakan Indonesia yang telah dijabarkan, dapat ditarik


kesimpulan bahwa dijalankannya beberapa kebijakan perpajakan di Indonesia
dilatarbelakangi oleh tidak tercapainya target penerimaan pajak seperti yang telah
direncanakan. Kebijakan-kebijakan biasa tidak mampu mencapai target
penerimaan pajak. Direktorat Jenderal Pajak dalam hal ini telah menjalankan
tugasnya dengan baik. Hanya saja rakyat indonesia yang belum sepenuhnya
menyadari kewajiban sebagai warga negara dalam bidang perpajakan. Self
Assesment System bisa menjadi salah satu penyebabnya, karena kebebasan yang
diberikan kepada rakyat untuk melakukan sendiri kewajiban perpajakannya
membuat rasa tanggung jawabnya menjadi berkurang. Selain itu ketidakpatuhan

27
rakyat dalam perpajakan juga disebabkan oleh hal-hal seperti apa yang didapat
dari hasil penelitian Jaime V.caro di Chile, Amerika Latin yang berjudul “why I
don’t pay my tax”, yaitu:

1. Karena saya tidak menerima manfaat;

2. Karena tetangga saya juga tidak membayar pajak;

3. Karena jumlah pajaknya terlalu besar;

4. Karena mereka mencuri uang saya;

5. Karena saya tidak tahu bagaimana pelaksanaannya;

6. Karena saya telah mencoba tapi saya tidak mampu;

7. Karena jika mereka menangkap saya, maka saya akan dapat


menyelesaikannya;

8. Walaupun saya tidak bayar, tidak akan terjadi apa-apa.

Asumsi-asumsi diatas bisa menjadi faktor yang sangat relevan kenapa realisasi
penerimaan pajak di Indonesia tidak mencapai target yang diharapkan.

Saran

Agar pelaksanaan perpajakan di Indonesia menjadi lebih baik dan sesuai


harapan, disarankan agar :

1. Pemerintah tidak menetapkan target penerimaan pajak yang terlalu tinggi.


Artinya dalam menetapkan target, pemerintah harus mampu melihat dan
meramalkan kondisi perekonomian Indonesia, seperti pertumbuhan ekonomi
Indonesia dan juga tingkat inflasi. Karena hal tersebut memiliki kaitan yang
erat dengan perpajakan.

2. Direktorat Jenderal Pajak bersama unit jajaran kantor operasionalnya lebih


meningkatkan mutu kualitas pelayanan perpajakan agar tidak ada lagi
masyarakat yang takut untuk berurusan dengan pajak.

28
3. Bagi masyarakat Indonesia, diharapkan untuk tidak berpersepsi buruk
terhadap pemerintah dalam megelola pajak.

4. Ditjen Pajak melakukan sosialisasi rutin terkait penyelesaian prosedur


perpajakan karena masih banyak masyarakat yang tidak paham mengenai alur
prosedur perpajakan tersebut.

F. DAFTAR BACAAN

(https://www.pajak.go.id/)

Mardiasmo. (2016). Perpajakan (Edisi terbaru 2016). Yogyakarta: Andi

Fitri, Hikmatul. (2019). Perkembangan Realisasi Penerimaan Perpajakan Periode


2013-2018 dan Target dalam RAPBN 2019. Diakses dari
berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/referensi-apbn/public-file/referensi-apbn-pu
blic-17.pdf

https://setkab.go.id/realisasi-tax-amnesty-menkeu-tebusan-rp130-triliun-deklarasi-
rp4-8134-triliun-dan-repatriasi-rp146-triliun/

https://www.online-pajak.com/tax-amnesty-dan-tujuannya-di-indonesia

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190827102723-532-424925/lesu-pene
rimaan-perpajakan-baru-capai-45-persen

https://bppk.kemenkeu.go.id/id/publikasi/artikel/148-artikel-bea-dan-cukai/23276-
voluntary-declaration-harapan-dan-tantangan-dalam-penghitungan-bea-masuk

https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/mengenal-rasio-pajak-indonesia/

29
https://bppk.kemenkeu.go.id/id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/12589-memaha
mi-sunset-policy-dalam-undang-undang-kup Oleh: Agus Suharsono (Widyaiswara
Madya Pusdiklat Pajak)

https://www.academia.edu/7299556/Sunset_Policy

https://www.kemenkeu.go.id

https://www.liputan6.com/

30

Anda mungkin juga menyukai