Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

Peripheral Artery Disease

Disusun oleh:

Stephanie Maria Embula

112018128

Pembimbing: dr. Sri Nurbowo, Sp. BTKV

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN KRISTEN KRIDA WACANA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA JAKARTA

PERIODE 15 Juli- 21 September 2019

1
PENDAHULUAN

Peripheral artery disease (PAD) atau penyakit arteri perifer adalah suatu gangguan
dimana plak akan terbentuk di sepanjang arteri yang mengangkut darah ke otak, organ tubuh
dan tungkai. Plak yang terbentuk dari deposit lemak, kolesterol, kalsium, jaringan fibrosa
atau zat lainnya yang berada dalam darah. Plak yang terbentuk dan menumpuk di dalam arteri
dapat disebut sebagai arterosklerosis. Plak yang terbentuk akan mengeras dan membuat arteri
menjadi sempit, sehingga menghambat darah yang mengandung oksigen untuk seluruh organ
dalam tubuh terganggu. Peripheral artery disease biasanya mengganggu arteri-arteri yang
berada pada tungkai, tetapi selain tungkai keadaan tersebut juga dapat mengganggu aliran
darah arteri ke arah organ lain seperti jantung, otak, ekstremitas atas, ginjal maupun bagian
organ lainnya.1

Gambar 1. Ilustrasi yang menggambarkan bagaimana PAD mengganggu aliran arteri pada
tungkai.

Peripheral artery disease adalah penyakit ketiga tersering setelah penyakit jantung
koroner dan stroke. Faktor resiko yang berpengaruh terhadap timbulnya PAD sama seperti
faktor resiko yang memicu penyakit arterosklerosis yaitu merokok dan diabetes melitus yang
tersering. Untuk prevalensi pasien yang terkena PAD sama pada perbandingan jenis kelamin,
tetapi pada laki – laki gejala yang ditimbulkan lebih banyak dibandingkan pada perempuan.
Lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia dapat terkena PAD, kurang lebih sebanyak 8,5 juta
orang di Amerika terkena PAD.2,3

2
Berdasarkan epidemiologi dan masalah klinis, PAD dibagi menjadi 5 jenis yaitu4:

 PAD asimptomatik
 Klaudikasio klasik
 Nyeri kaki atipikal
 Acute limb ischemia (ALI)
 Critical limb ischemia (CLI)

Sekitar setengah dari pasien PAD tidak memberikan gejala pada kaki atau
asimptomatik, pada hasil pemeriksaan ankle brachial index (ABI) pada pasien seperti ini ada
pada kategori rendah (≤0,9). Klaudikasio adalah tanda atau gejala pasti dari penyakit
peripheral artery disease (PAD), sekitar 10-35% penderita PAD mengalami hal ini, gejala
yang terjadi adalah rasa tidak nyaman, nyeri dan lelah pada otot tungkai yang didahului
dengan aktivitas seperti berjalan, dan akan menghilang secara bertahap pada saat beristirahat.
Pada nyeri kaki atipikal dapat diartikan sebagai salah satu bukti objektif pada PAD dan yang
merasakan gejala ini tetapi berbeda dengan gejala klaudikasio klasik, sebanyak 30-50%
pasien PAD memiliki gejala nyeri atipikal. Acute limb ischemia (ALI) adalah memiliki gejala
klinis seperti menurunnya perfusi arteri secara tiba-tiba dan mengancam kelangsungan hidup
dari tungkai itu sendiri. ALI adalah kasus emergensi dari vaskular, akut yang dimaksud
adalah dalam waktu 2 minggu dari awal iskemik. ALI biasanya disebabkan oleh trombosis
atau emboli dan dapat diketahui dengan gejala ”6P” (pain, paresthesia, pallor, pulselessness,
poikilothermia, and paralysis). Gejala ini dialami oleh 0,1 – 1% dari pasien PAD dengan
episode ALI. Critical limb ischemia (CLI) adalah kategori yang kronik biasanya pasien
mengalami gejala diatas 2 minggu, nyeri pada saat beristirahat, ulkus yang tidak dapat
sembuh (gangren), dan dialami oleh 1-2% pasien PAD.4

PATOFISIOLOGI

PAD merupakan proses sistemik yang berpengaruh pada sirkulasi dari arteri oleh
karena ada penyakit degeneratif, kelainan vaskular, trombosis atau tromboemboli. Penyebab
utama yang paling sering untuk terjadinya PAD adalah arterosklerosis. Pada arterosklerosis
biasanya akan didahului oleh adanya disfungsi pada endotel arteri yang menyebabkan
terganggunya proses homeostasis pada pembuluh darah sehingga dapat menyebabkan
peningkatan terjadinya resiko penyakit kardiovaskular. Selain itu pada endotel arteri yang

3
normal dapat mengatur proses trombosis dengan pelepasan nitrite oxide yang dapat
menghambat aktivasi dari trombosis, adhesi dan agregasi serta mediator lain pada kegiatan
antitrombotik oleh karena zat tersebut dapat berperan dalam proses relaksasi dari pembuluh
darah, sehingga dapat mencegah proliferasi dari otot polos pembuluh darah dan mencegah
adanya penempelan leukosit pada dinding endotel untuk terbentuknya trombus.5

Patofisiologi yang terjadi pada pasien PAP meliputi keseimbangan suplai dan
kebutuhan nutrisi otot skeletal. Klaudikasio intermiten terjadi ketika kebutuhan oksigen
selama latihan atau aktivitas melebihi suplainya dan merupakan hasil dari aktivasi reseptor
sensorik lokal oleh akumulasi laktat dan metabolit lain. Pasien dengan klaudikasio dapat
mempunyai single atau multiple lesi oklusif pada arteri yang mendarahi tungkai. Pasien
dengan clinical limb ischemic biasanya memiliki multiple lesi oklusif yang mengenai
proksimal dan distal arteri tungkai sehingga pada saat istirahat pun kebutuhan oksigen dan
nutrisi tidak terpenuhi.5

Patofisiologi PAP terjadi karena tidak normalnya regulasi suplai darah dan
penggantian struktur dan fungsi otot skelet. Regulasi suplai darah ke tungkai dipengaruhi
oleh lesi yang membatasi aliran (keparahan stenosis, tidak tercukupinya pembuluh darah
kolateral), vasodilatasi yang lemah (penurunan nitrit oksida dan penurunan responsifitas
terhadap vasodilator), vasokonstriksi yang lebih utama (tromboksan, serotonin, angiotensin II,
endotelin, norepinefrin), abnormalitas reologi (penurunan deformabilitas eritrosit,
peningkatan daya adesif leukosit, agregasi platelet, mikrotrombosis, peningkatan
fibrinogen).5

Adanya stenosis pada pembuluh darah maka resistensi meningkat, selain itu pada saat
latihan tekanan intramuskuler meningkat sehingga diperlukan tekanan darah yang lebih tinggi
namun setelah melewati daerah stenosis tekanan darah menjadi rendah. Tercukupinya
kebutuhan oksigen dan nutrisi pada pasien dengan stenosis bergantung pada diameter lumen
dan adanya kolateral yang dapat menyuplai darah secara cukup pada saat istirahat namun
tetap tidak mencukupi kebutuhan saat latihan.5

GEJALA KLINIS

Pada pasien dengan PAD dapat diderita tanpa atau dengan gejala, gejala tersering
klaudikasio berupa rasa tidak nyaman pada anggota otot distal yang mengalami gangguan
pada arteri. Gejala klaudikasio intermiten termasuk nyeri otot atau kram dikaki atau lengan

4
yang dipicu oleh aktivitas, namun menghilang setelah beberapa menit istirahat.Lokasi nyeri
tergantung pada lokasi dari arteri tersumbat atau menyempit. Nyeri betis biasa merupakan
lokasi nyeri yang paling umum. Tingkat keparahan klaudikasio intermiten sangat bervariasi,
dari ketidaknyamanan ringan hingga nyeri yang melemahkan. Klaudikasio intermiten yang
berat bisa menyulitkan untuk berjalan atau melakukan jenis lain dari kegiatan fisik.2

Gejala yang timbul pada PAD yaitu hilangnya pulsasi pada bagian distal dari tungkai,
lalu adanya ”bruits” pada arteri, pengisian kapiler menurun, akral dingin pada bagian tungkai,
tungkai akan mengalami perubahan warna kulit menjadi pucat pada saat tungkai diangkat
lebih tinggi dari tubuh. Pada kasus yang parah, pasien juga dapat mengalami ulkus yang tidak
dapat sembuh dalam waktu yang cukup panjang lalu akan mengalami nekrosis dan terbentuk
gangren. Pasien yang memiliki resiko tinggi terkena PAD pada ektremitas bawah adalah
sebagai berikut:1,2,5

 Usia kurang dari 50 tahun dengan penyakit diabetes atau memiliki faktor resiko
terjadinya arterosklerosis (merokok, dislipidemia, hipertensi, hiperhomosisteinemia)
 Usia 50 tahun sampai dengan 69 tahun dan dengan riwayat merokok dan diabetes
 Usia diatas 70 tahun
 Pasien yang memiliki gejala pada ektremitas bawah pada saat beraktivitas (sugestif
dari klaudikasio) atau nyeri iskemik pada saat beristirahat.
 Pulsasi yang abnormal pada ekstremitas bawah
 Penderita arterosklerosis koroner, karotis atau penyakit arteri renalis.

Faktor resiko dapat terjadinya Peripheral Artery Disease, yaitu:

 Pasien dengan riwayat merokok berpotensi tinggi terkena PAD oleh karena adanya
penurunan aliran darah kearah tungkai, pada kasus parah pasien dapat mengalami
gangren pada bagian tungkai bawah.
 Usia tua menjadi salah satu faktor resiko karena peningkatan penimbunan plak pada
arteri, sehingga dapat menghambat aliran darah yang berjalan ke seluruh tubuh,
terutama pada bagian tungkai.
 Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan peningkatan terkena PAD, yaitu:
diabetes melitus, hipertensi, dislipidemia, penyakit jantung koroner, stroke, dan
sindroma metabolik.

5
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sofian N, dkk. untuk faktor resiko yang
berhubungan dengan angka kejadian PAD dengan klaudikasio intermiten di daerah kabupaten
Sikka, Flores yaitu dengan subjek perempuan, tidak bekerja, tidak menikah, merokok,
mengkonsumsi NSAID, atau mengalami hiperkolesterolemia maupun proteinuria memiliki
resiko lebih tinggi terhadap kejadian PAD.6

Terdapat klasifikasi untuk PAD adalah Fontaine Classification dan Rutherford


Classification, pada Fontaine classification memiliki sistem tingkatan berdasarkan gejala
klinis dari pasien PAD, dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis tanpa pemeriksaan
diagnostik lainnya, tetapi pada klasifikasi ini hanya digunakan untuk penelitian, tidak
digunakan untuk perawatan pasien pada umumnya. Rutherford classification klasifikasi
gejala yang membagi PAD menjadi dua jenis yaitu iskemia akut dan kronik, dengan jenis
yang berbeda memiliki tatalaksana yang berbeda juga. Untuk klasifikasi iskemia kronik pada
Rutherford classification sama seperti klasifikasi yang ada pada Fontaine Classification
dengan tambahan data non invasif.7

Tabel 1. Fontaine Classification7

Grade Symptoms
I Asimptomatik, obstruksi pembuluh darah inkomplit
II Klaudikasio ringan pada tungkai
IIA Klaudikasio pada jarak diatas 200m
IIB Klaudikasio pada jarak dibawah 200m
III Nyeri saat istirahat, terutama pada telapak kaki
IV Nekrosis dan/atau gangren pada tungkai

Tabel 2. Rutherford classification pada acute limb ischemia7

Kategori Deskripsi Penemuan Doppler


Kehilangan Lemah otot Arteri Vena
sensorik
Viabel Tidak mengancam Tidak ada Tidak ada Terdengar Terdengar
segera

6
Mengancam
Sedikit Bisa diselamatkan Minimal Tidak ada Tidak Terdengar
jika segera diobati (ibu jari terdengar
kaki) atau
tidak ada
Langsung Bisa diselamatkan Melebihi Ringan Tidak Terdengar
jika dilakukan ibu jari hingga terdengar
revaskularisasi kaki, nyeri sedang
segera saat
istirahat
Ireversibel Kerusakan saraf Luas Luas sampai Tidak Tidak
secara permanen, hingga lumpuh terdengar terdengar
kerusakan jaringan mati rasa
yang luas

Tabel 3. Rutherford classification pada chronic limb ischemia7

Grade Category Gejala Klinis Kriteria Objektif


0 0 Asimptomatik Hasil treadmill normal atau
hiperemia reaktif
1 Klaudikasio ringan Treadmill komplit; tekanan
pergelangan kaki (AP) >
50mmHg, atau sedikitnya
20mmHg lebih rendah
dibandingkan saat istirahat
I 2 Klaudikasio sedang Diantara kategori 1 dan 3
3 Klaudikasio berat Tidak dapat menyelesaikan
treadmill standard, dan AP
setelah treadmill <50mmHg
II 4 Nyeri iskemi saat istirahat AP saat istirahat <40mmHg,
pulsasi pada pergelangan kaki
hampir tidak dapat diraba,
tekanan ibu jari kaki <30mmHg

7
III 5 Hilang jaringan minor: ulkus yang AP saat istirahat <60mmHg,
tidak sembuh, fokal gangren dengan pulsasi pada pergelangan kaki
iskemia pada telapak kaki hampir tidak dapat diraba,
tekanan ibu jari kaki <40mmHg
6 Hilang jaringan mayor: penyebaran Sama seperti kategori 5
sampai diatas dari metatarsal,
tungkai sudah tidak dapat digunakan

TATALAKSANA

Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi dan mengobati
pasien dengan PAD, baik secara non-invasif maupun invasif. Pengukuran non invasif
meliputi pengukuran tekanan darah pada kaki (tekanan darah segmental) dan pengukuran
tekanan darah pada segmen dari brakial indeks (termasuk dalam ankle brachial index), serta
dengan analisis gelombang doppler. Evaluasi pada pemeriksaan non invasif meliputi
pemeriksaan ankle brachialis index (ABI) yaitu perbandingan tekanan sistolik pada
pergelangan kaki dengan tekanan sistolik pada lengan. Pada pemeriksaan ABI seseorang
dapat diperkirakan menderita PAD apabila pada pemeriksaan didapatkan nilai ≤0,90 (nilai
normal 1,00 – 1,30; 0,91 – 0,99 dikategorikan sebagai pembatas angka rendah) atau pada saat
istirahat pemeriksaan ABI bernilai normal, namun pada saat setelah beraktivitas nilai ABI
menjadi ≤0,90 atau adanya penurunan niali ABI ≥20%. Jika ada peningkatan ABI >1,40
dapat diperkirakan adanya penekanan pada arteri yang berat.2,5 Untuk derajat keparahan dari
PAD dijelaskan pada Gambar 2.

8
Gambar 2. Kriteria diagnosa berdasarkan pengukuran ABI saat istirahat dan setelah
beraktivitas2

Gambar 3. Pemeriksaan analisis gelombang Doppler tekanan darah segmental brachial


index.2

9
Untuk melakukan bedah vaskular, dibedakan berdasarkan gejala pasien yang dibagi atas
3 kategori: keparahan luka pada kaki, perfusi jaringan yang diukur dengan ABI atau oximetri
transkutaneus, dan ada atau tidaknya infeksi pada tempat tersebut. Klasifikasi ini disebut
dengan WIfI (Wound, Ischemia, foot Infection).7

Gambar 4. Klasifikasi WIfI (Wound, ischemia, foot infection).7

Terapi Farmakologi dapat diberikan untuk menurunkan faktor resiko yang ada seperti
menurukan tekanan darah, kadar kolesterol dan untuk mengobati diabetes. Selain itu, terapi
farmakologis juga diberikan untuk mencegah terjadinya thrombus pada arteri yang dapat
menyebabkan serangan jantung, stroke, serta untuk mengurangi rasa nyeri pada pasien ketika
berjalan. 2,5

 Anti kolesterol

10
Terapi penurun lipid mengurangi risiko baru atau memburuknya gejala klaudikasio
intermiten. Statin menjadi terapi penurun lipid lini pertama. HMG-Co A reductase inhibitor
(Simvastatin) secara signifikan mengurangi tingkat kejadian kardiovaskular iskemik sebesar
23%. Beberapa laporan telah menunjukkan bahwa statin juga meningkatkan jarak berjalan
bebas rasa sakit dan aktivitas rawat jalan
 Anti hipertensi
Pemilihan obat antihipertensi harus individual. Diuretik thiazide, beta blocker,
angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEIs), angiotensin receptor blocker (ARB), dan
calcium channel blockers semua efektif. Penggunaan beta blockers aman dan efektif;
mengurangi kejadian koroner baru sebesar 53% pada mereka dengan MI sebelumnya dan
gejala PAD yang bersamaan.
 Anti platelet
Telah terbukti manfaatnya dalam menurunkan resiko terjadinya MI, stroke dan kematian
vascular pada pasien PAD. ACC/AHA guidelines telah merekomendasikan penggunaan
antiplatelet (aspirin [ASA], 75 to 325 mg daily, or clopidogrel, 75 mg daily) pada pasien
PAD dengan aterosklerosis pada ekstrimitas bawah. Cilostazol (Pletal), adalah reversible
phosphodiesterase inhibitor yang menghambat agregasi platelet, pembentukan thrombin dan
proliferasi otot polos pembuluh darah, memicu vasodilatasi dan meningkatkan HDL dan
menurunkan kadar TG. Pedoman ACC / AHA telah memberikan cilostazol sebagai
rekomendasi grade IA kelas untuk pasien dengan klaudikasio intermiten dengan dosis 100 mg
dua kali sehari (diminum pada saat perut kosong setidaknya ½ jam sebelum atau 2 jam
setelah sarapan dan makan malam). Efek samping yang umum dari cilostazol termasuk sakit
kepala (30% pasien), diare dan gangguan lambung (15%), dan palpitasi (9%). Efek samping
hanya berjangka pendek dan jarang dilakukan penghentian obat. Kontraindikasi obat ini
adalah pasien dengan gagal jantung. 2,5

Tatalaksana secara farmakologis diberikan berdasarkan masing – masing klasifikasi dari


PAD5:

Klasifikasi Terapi
Class I Cilostazol (2x 100mg per oral) dengan
indikasi untuk meningkatkan jarak untuk
jalan dari pasien PAD, dengan diikuti dengan
perubahan gaya hidup

11
Class II b Pentoxifylline (3x 400mg per oral) sebagai
lini kedua setelah cilostazol, fungsi yang
sama untuk meningkatkan jarak jalan pada
pasien dengan klaudikasio intermiten
Class III Vasodilator prostaglandin oral seperti
Beraprost dan Iloprost tidak efektif pada
pasien dengan klaudikasio intermiten

Untuk penanganan lebih lanjut dilakukan revaskularisasi untuk mengurangi gejala


serta untuk indikasi pada kasus iskemik tungkai yang berat. Pada umumnya prosedur
revaskularisasi untuk PAD dapat dilakukan pemasangan stent dan angioplasti aortoiliaka
yang memiliki angka keberhasilan yang tinggi (sekitar 96% kasus). Angiografi konvensional
adalah salah satu indikasi pada pasien yang akan melakukan revaskularisasi. Sebelum
melakukan revaskularisasi dilakukan Computed tomography (CT) atau magnetic resonance
angiography, CT angiografi dilakukan dengan waktu yang singkat dan menghasilkan resolusi
gambar yang baik sampai dapat dibuat menjadi rekonstruksi tiga-dimensi, sehingga sering
digunakan. Sedangkan untuk penggunakan magnetic resonance angiography dilakukan untuk
menghindari paparan radiasi dan menyediakan resolusi ruangan yang baik, tetapi lebih sulit
dilakukan daripada CT angiografi dan tidak dapat digunakan pada pasien yang memiliki
implan metal atau elektronik, dan efek samping yang dapat ditimbulkan yaitu resiko
nefrogenik sistemik fibrosis pada pasien dengan gagal ginjal kronik, saat gadolinium
digunakan untuk kontras pada vaskularisasinya.2,8

Tatalaksana revaskularisasi adalah terapi endovaskular untuk acute limb ischemic


(ALI) dibagi menjadi 4 tingkatan yaitu: diagnostik angiografi, pemeriksaan bagian lesi,
pengendalian trombus yaitu dapat dilakukan dengan eliminasi atau eksklusi, dan pendekatan
lesi yang bersangkutan (angioplasti atau pemasangan ”stent”). Tujuannya untuk
mengembalikan perfusi jaringan yang tungkai yang terpengaruh, yang pada umumnya
bergantung pada penggunaan obat-obatan trombolitik. Risiko yang akan dihadapi pada
tatalaksana yang akan dilakukan ini adalah perdarahan pada bagian yang dilakukan tindakan,
cedera vaskular, dan embolisasi pada bagian distal.9

12
Gambar 5. Prosedur endovaskular intervensi pada arteri tungkai untuk pasien PAD.2

13
Daftar Pustaka

1. National Heart, Lung and Blood Institute. Peripheral Artery Disease. Diunduh dari:
https://www.nhlbi.nih.gov/health-topics/peripheral-artery-disease. Pada tanggal 22
April 2018.
2. Kullo IJ, Rooke TW. Peripheral artery disease. The New England Journal of
Medicine.Massachusetts Medical Society. 2016; 374:861-71.
3. Fowkes FGR, Rudan D, Rudan I, et al. Comparison of global estimates of prevalence
and risk factors for peripheral artery disease in 2000 and 2010: a systematic review
and analysis. Lancet: 2013; 382:1329-40.
4. Mohler, Emile R. Peripheral artery disease. 2nd Ed. 2017. John Wiley & Sons Ltd.
Philadelphia. h. 1-3.
5. American college of cardiology foundation. Management of patients with peripheral
artery disease (lower extremity, renal, mesenteric, and abdominal aortic). American
Heart Association. 2011. p. 1-66.
6. Sofian N, Prasetyo G, Wibisono S. Penyakit arteri perifer diserta klaudikasio
interminten di daerah terpencil kabupaten Sikka, Flores – studi potong lintang dengan
metode palpasi nadi dan faktor risikonya. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. 2017:4
(3): p. 137-45.
7. Hardman RL, Jazaeri O, Yi J, et al. Overview of classification systems in peripheral
artery disease. Seminars in interventional radiology. 2014; 31(4): 378-87.
8. Tukkhani A K, Kinlay S. Endovascular Intervention for Peripheral Artery Disease.
Peripheral Artery Disease Compendium. 2015;116: 1599-1613.
9. Boyle L. Interventional cardiology clinics. Elsevier. Philadelphia. 2017; 6(2).

14

Anda mungkin juga menyukai