Di Susun Oleh
Kelompok 3 :
1. Kiki Nia Hastuti N (S16160) 8. Muhammad Al Fauzi (S16168)
2. Latifatul Isnaini (S16161) 9. Nanda Yusril Rizal M (S16169)
3. Listia Aprilia Obay (S16162) 10. Niluh Putu Erikawati (S16170)
4. Mawar Isndaruwati (S16163) 11. Novita Juniati (S16172)
5. Merlyn Rapikasari (S16165) 12. Okta Fiyanti (S16173)
6. Minarty Panjukang (S16166) 13. Puput Istu Widodo (S16174)
7. Mita Pupitaningrum (S16167) 14. Putri Tiara Elsaby (S16175)
A. DEFINISI
MRSA (Methicillin-resistant Staphylococcus aureus) merupakan kuman
Staphylococcus aureus yang telah resisten terhadap methicillin. Staphylococcus aureus
adalah kokus Gram-positif yang bersifat katalase positif dan oksidase negatif. Di bawah
mikroskop bakteri ini berbentuk seperti sekumpulan buah anggur.
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri Staphylococcus
aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik jenis metisilin. MRSA mengalami
resistensi karena perubahan genetik yang disebabkanoleh paparan terapi antibiotik yang
tidak rasional. Transmisi bakteri berpindah dari satu pasien ke pasien lainnya melalui alat
medis yang tidak diperhatikan sterilitasnya. Transmisinya dapat pula melalui udara
maupun fasilitas ruangan, misalnya selimut atau kain tempat tidur (Nurkusuma, 2009).
MRSA merupakan bakteri patogen yang menjadi penyebab berbagai macam infeksi,
misalnya infeksi kulit dan struktur kulit, infeksi tulang dan sendi, pneumonia,
bakteremia, endokarditis, sistem saraf pusat, dan sindrom sepsis. MRSA banyak
ditemukan di rumah sakit dan unit perawatan kesehatan lainnya. Pada tahuntahun
terakhir terjadi peningkatan jumlah infeksi olah MRSA di luar rumah sakit, dan
berkembang menjadi penyebab umum dari infeksi tertentu (community acquired
MRSA). Laporan-laporan menunjukkan bahwa telah terjadi S.aureus yang resisten
terhadap antibiotik dan banyak obat lainnya (multi-drug resistant S.aureus-MDRSA)
sehingga pilihan antibiotik untuk mengobati MRSA makin berkurang.
B. ETIOLOGI
MRSA adalah Staphylococcus aureus yang sudah kebal terhadap antibiotik lini-
pertama yang sudah sering digunakan selama ini. Untuk menentukan terjadinya resistensi
terhadap obat beta laktam, maka glikopeptida, misalnya vancomycin, ditetapkan sebagai
standard emas (gold standard) resistensi sejak tahun 1960an.
Resistensi terhadap glikopeptida terjadi karena pemakaiannya yang meningkat.
Pada tahun 1996, terjadinya kekebalan tingkat sedang (intermediate) S.aureus terhadap
vancomycin dilaporkan untuk pertama kalinya dari Jepang, dan pada tahun 2002
dilaporkan terjadi S.aureus yang resisten terhadap vancomycin di USA.
Hambatan dalam mengobati infeksi MRSA terjadi karena bakteri mampu
membentuk lapisan tipis (biofi lm) pada permukaan benda dimana S.aureus membentuk
koloni, sehingga bakteri dapat berkembang di permukaan benda-benda, meningkatkan
resistensi dan menghambat penetrasi antibiotik.
Infeksi MRSA tidak hanya terjadi rumah sakit (HC-MRSA: health care-associated
MRSA), tetapi juga mulai dilaporkan dari masyarakat di luar rumah sakit (CA-MRSA:
community-associated MRSA). Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya CA-MRSA
antara lain adalah:
Keadaan kulit yang memungkinkan terjadinya infeksi
Higiene yang buruk
Terdapatnya tempat kontak, misalnya di pusat perawatan kesehatan, penjara,
asrama dan fasilitas olahraga bersama
Penderita mengalami risiko mendapatkan infeksi MRSA karena:
C. MANIFESTASI KLINIS
Staphylococcus aureus membentuk koloni pada kulit terutama di hidung,
tenggorok, dan kulit daerah lainnya. MRSA biasanya menular dengan secara langsung
dari orang-ke-orang atau secara tidak langsung karena terpapar MRSA yang mencemari
permukaan benda dan lingkungan.
CA-MRSA umumnya menginfeksi kulit, dalam bentuk furunkel, folikulitis, atau
selulitis. Infeksi ini sering dikira adalah “gigitan laba-laba”, menunjukkan gambaran
klinis berupa warna merah, bengkak dan nyeri dan dapat mengeluarkan nanah. Luka ini
bisa menyerupai luka terbakar. Gejala ini akan terjadi jika kulit diiris atau digaruk
sehingga memberi kesempatan bakteri MRSA tersebar ke luar. Gejala ini juga lebih
sering terjadi di daerah yang berambut lebih lebat karena adanya folikel rambut.
Infeksi MRSA dapat kambuh dan memerlukan waktu panjang untuk sembuh
sempurna. Jika tidak diobati, infeksi akan menyebar ke jaringan yang lebih dalam dan
merusak jaringan lebih luas. Dalam keadaan normal, pada orang sehat dapat dijumpai
koloni MRSA pada kulitnya. Meskipun koloni MRSA ini tidak menimbulkan gejala
klinis, tetapi dapat ditularkan ke orang lain.
D. PENULARAN MRSA
Sebagian besar penularan MRSA terjadi melalui jalur paparan kulit-ke-kulit
(dengan sentuhan). Dokter, perawat, petugas perawatan lainnya, atau pengunjung dari
luar dapat membawa bakteri pada tubuhnya, dan menularkannya pada penderita. Sekali
kuman Staphylococcus berhasil masuk ke dalam tubuh, ia akan menyebar ke tulang,
sendi, darah, dan organ-organ misalnya paru, jantung, atau otak. Infeksi berat akan
terjadi pada orang yang sistem imun tubuhnya lemah, yaitu:
Penderita rumah sakit yang menggunakan alat-alat bantu perawatan dalam waktu
lama,
Penderita dengan dialisis ginjal (hemodialisis)
Penderita kanker yang mendapatkan pengobatan yang melemahkan sistem imun
Pengguna suntikan obat terlarang
Pernah mengalami pembedahan.
Infeksi MRSA dapat juga dialami oleh orang sehat yang tidak pernah masuk rumah
sakit. Umumnya infeksi MRSA ini terjadi di kulit dan jarang terjadi melalui infeksi paru.
Orang-orang sehat yang berisiko tertular infeksi MRSA adalah:
Atlit dan orang-orang yang menggunakan alat secara bersama, misalnya handuk dan
pisau cukur
Anak-anak yang dirawat di rumah perawatan anak
Anggota militer
Orang yang melakukan tato badannya.
E. PENATALAKSANAAN
MRSA dapat menginfeksi berbagai jenis jaringan secara invasif atau secara non-
invasif. Antibiotik diberikan, karena biasanya masih ada antibiotik yang masih peka
terhadap MRSA, misalnya trimethoprim-sulfamethoxazole. Antibiotik yang umum
dipakai untuk mengobati infeksi kulit Staphyllococcus aureus, misalnya cephalexin,
dicloxacillin, atau quinolon (ciprofl oxacine) biasanya sudah tidak mampu memberantas
MRSA.
Infeksi MRSA sukar diobati, karena methicillin merupakan obat pilihan terbaik
untuk memberantas infeksi S.aureus. Di rumah sakit MRSA biasanya telah resisten
terhadap berbagai jenis antibiotik disamping terhadap methicillin dan antibiotik beta-
laktam lainnya. Vancomycin merupakan satu-satunya obat untuk mengobati MRSA.
Karena itu jika terjadi vancomycin-resistant S.aureus (VRSA) keadaan ini merupakan
keadaan yang menjadi masalah kesehatan yang besar.
MRSA yang menular secara invasif memerlukan pengobatan yang cepat dengan
antibiotik intravenus. Jika tidak terjadi komplikasi, infeksi CA-MRSA dapat ditangani
dengan cara melakukan incisi dan pengeluaran cairan nanah dan pembersihan luka.
Anti MRSA oral hanya diberikan sebagai cadangan, dan tidak dianjurkan untuk
diberikan pada pengobatan infeksi berat MRSA. Antibiotuik oral, misalnya TMP-SMX,
tetrasiklin, dan klindamisin, kadang-kadang secara klinis berhasil mengatasi MRSA.
Vancomycin. Obat ini merupakan obat pilihan untuk mengobati infeksi MRSA
invasif. Cara kerja antibiotik glikopeptida ini adalah dengan menghambat sintesis
dinding sel bakteri. Dengan dosis 15-20 mcg/mL vancpmycin dianjurkan untuk
mengobati infeksi MRSA invasif, misalnya bakteremia, endokarditis, pneumonia dan
meningitis. Meskipun masih digunakan untuk mengobati banyak infeksi MRSA, jika
terjadi resistensi terhadap vancomycin, obat ini dapat diganti dengan daptomycin,
linezolid dan tigecycline.
Penatalakasanaan yang dapat dilakukan :
1. Isolasi
2. Penutupan bangsal
3. Pengobatan pada karier MRSA
4. Eradikasi pada hidung, mulut, kulit utuh dan lesi kulit
5. Tindakan Aseptik
6. Terapi sistemik :
a. Fluorokuinolon
b. Linezolid
c. Tigesiklin
d. Quinupristin/Dalfopristin
e. Karbemenem
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
H. KOMPLIKASI
DAFTARPUSTAKA
Cooper BS, Stone SP, Kibber CC, et al. Isolation Measures in the Hospital Management
of Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA). IIMJ, Vol 129, 2004:1-8
Crowe M, Cunney R, Devitt E, et al. The Control and Prevention of MRSA in Hospital
and in the Community. SARI Infection Control Subcomitee, Ireland, 2008 : 25-33.