Anda di halaman 1dari 4

PRAKTIK MURABAHAH DALAM BANK SYARIAH

DISUSUN OLEH :
MIFTA HUL JANNAH (A031171310)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS HASANUDDIN
2019
AKAD MURABAHAH DAN PROBLEM IMPLEMETASINYA
DI BANK SYARIAH

DEFINISI MURABAHAH
Secara etimologi murabahah berasal dari kata kerja rabiha-yarbahu yang bermakna
untung. Sedangkan secara terminologi fiqh, murabahah adalah bentuk jual beli barang
dengan menyatakan harga perolehan barang dan keuntungan margin yang ditentukan. Sejalan
dengan fase perkembangan madzhab fiqh, para ulama-ulama madzhab mulai berusaha
mememberikan definisi murabahah secara tepat.
Madzhab Imam Maliki menjelaskan bentuk murabahah yang digambarkan, bahwa
pemilik barang atau penjual menjelaskan kepada pembeli, perihal harga pokok pembelian,
dan menjualnya kembali kepada pembeli dengan mengambil keuntungan yang ditentukan.
Berbeda dengan Madzhab Imam Hanafi, dimana mendefinisikan murabahah sebagai
perpindahan barang sesuai dengan kontrak dan harga yang disepakati diawal dengan
menambahkan keuntungan yang disepakati. Sedangkan madzhab Imam Syafi’i dan Imam
Hambali mendefinisikan Murabahah adalah sebagai proses jual-beli dengan harga pokok
dengan menambahkan keutungan, dengan menambahkan persyaratan tertentu yaitu antara
penjual dan pembeli harus mengetahui harga pokok awal.
Dalam jual beli jenis ini, penjual harus memberitahu harga barang yang ia beli dan
menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Dengan memperhatikan dari
pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh para ulama di atas, dapat dipahami bahwa
murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli
dan pembeli membayarnya dengan harga lebih sebagai margin (keuntungan).

PRAKTIK AKAD MURABAHAH DI BANK SYARIAH


Murabahah adalah perjanjian pembiayaan berupa transaksi jual beli suatu barang
sebesar harga perolehan barang ditambah margin yang disepakati oleh para pihak, dimana
penjual menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan kepada pembeli. Pada akad ini,
secara teori bank bertindak sebagai pedagang perantara, yaitu bank membeli barang dari
pabrik atau pedagang besar secara tunai setelah itu bank menjual kembali barang tersebut
kepada nasabah dengan cara cicilan, tentu disertai keuntungan yang telah disepakati bersama.
Murabahah sebagaimana yang diterapkan dalam perbankan syari’ah, pada prinsipnya
didasarkan pada 2 (dua) elemen pokok, yaitu harga beli serta biaya yang terkait dan
kesepakatan atas mark-up. Ciri dasar kontrak pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut:
1. Pembeli harus memiliki pengetahuan tentang biaya-biaya terkait dan harga pokok
barang dan batas mark-up harus ditetapkan dalam bentuk persentase dari total harga
plus biaya-biayanya;
2. Apa yang dijual adalah barang atau komoditas dan dibayar dengan uang;
3. Apa yang diperjualbelikan harus ada dan dimiliki oleh penjual dan penjual harus
mampu menyerahkan barang itu kepada pembeli;
4. Pembayarannya ditangguhkan.

Dalam hal prakteknya terjadi kesalahan mendasar (basic mistake) dalam pembiayaan
Murabahah, yaitu biasanya nasabah telah melakukan kontrak jual beli dengan supplier dan
telah menyerahkan DP (down payment), karena nasabah mengalami kesulitan likuiditas untuk
membayar komoditas tersebut, kemudian nasabah mengajukan pembiayaan kepada bank, jadi
komoditas yang dijadikan obyek transaksi telah menjadi milik nasabah terlebih dahulu,
terdapat beberapa langkah yang diskip (dilewati) oleh kedua belah pihak.
Dengan demikian ada beberapa kendala/permasalahan yang timbul dari pola transaksi
ini, yaitu:
1. Terkesan bahwa nasabah dan pihak bank bukan terjadi akad jual beli, tapi terjadi
pemberian pinjaman uang komoditas. Selanjutnya dikredit/dicicil oleh nasabah
sehingga nasabah tidak merasa berhutang pada bank secara langsung terhadap jual
beli komoditas tersebut.

2. Jika komoditas yang diakadkan antara nasabah dan bank dimiliki penuh, dibeli dulu
oleh pihak perbankan dan mengatasnamakan bank lalu dijual kembali kepada
nasabahnya, dengan demikian dua kali proses jual beli, maka hal ini akan terkena dua
kali pajak penjualan, dan harga komoditas/barang tersebut menjadi lebih mahal.

3. Dalam transaksi pambiayaan Murabahah bank melakukan akad wakalah dengan


pihak nasabah untuk mewakili bank dalam melaksanakan transaksi jual beli dengan
supplier. Dalam hal tersebut perbankan belum mampu tersedianya komoditas atau
barang pesanan para nasabah atau untuk menghindari pajak berganda.

4. Terkesan pihak bank menghindari tanggungjawab terhadap Risiko operasional, baik


pada penyimpanan ataupun biaya operasional.Oleh karena itu, pihak bank biasanya
mewakilkan proses pemesanan dan penyerahan barang kepada pihak nasabah.
5. Akad Murabahah merupakan akad transaksi jual beli, namun pada kenyataannya
digunakan untuk pembiayaan modal kerja secara berkesinambungan. Hal ini
menggeser pemaknaan tentang bentuk produk-produk perbankan syariah yang klasik.

6. Terkadang nasabah berkeinginan untuk melunasi angsuran lebih awal dari schedule
yang dijadwalkan dan biasanya menginginkan adanya diskon dari angsuran yang
wajib dibayarkan.

7. Kemudian jika nasabah mengalami default/tidak bisa membayar angsuran, maka nilai
angsuran tidak boleh berubah dan pihak bank tidak bisa mewajibkan nasabah untuk
membayar biaya pinalti.

Penyimpangan pada akad murabahah rentan sekali terjadi karena akad ini
menghasilkan jadwal angsur yang pasti karena dalam transaksi jual beli tangguh antara bank
dan nasabah, bank boleh mengambil keuntungan yang pasti. Jadi, angsuran totalnya adalah
angsuran pokok plus angsuran margin. Nasabah acapkali kesulitan membedakan perbedaanya
dengan riba, karena beberapa hal: tidak adanya penjual (supplier) barang kepada bank yang
seharusnya ada sehingga itu menjadikan ‘iwadh (alasan boleh mengambil untung) bagi bank
dan dalam pembuatan jadwal angsur margin yang diterapkan berupa margin efektif yang
memiliki karakteristik sama persis dengan suku bunga efektif di pasar.

Anda mungkin juga menyukai