Anda di halaman 1dari 10

A.

Konsep Medis
1. Pengertian
Skull defect menjadi suatu masalah sejak awal periode kehidupan manusia.
Skull defect sudah dapat ditemukan pada jaman neolitikum. Skull defect adalah
kelainan pada kepala dimana tidak adanya tulang cranium/tulang tengkorak. Skull
deffect adalah adanya pengikisan pada tulang cranium yang disebabkan oleh adanya
pengikisan yang disebabkan massa ekstrakranial atau intrakranial, atau juga bisa
berasal dari dalam tulang. Skull defect dapat terjadi dari lahir atau kongenital pada
bayi yang biasanya disebut dengan anenchephaly dan juga skull defect yang
dilakukan secara sengaja untuk membantu pengeluaran cairan atau pendarahan atau
massa yang ada di kepala atau otak.

2. Penyebab
Penyebab terjadinya skull defect adalah:
1. Fraktur cranium
2. Tumor
3. Penipisan tulang
4. Kelainan kongenital (enchephalocele)
5. Pengikisan massa ekstrakranial atau intracranial
6. Post op trepanasi
7. Trauma parah pada tengkorak dan tulang wajah
8. Reseksi tumor tengkorak
9. Hilangnya tulang akibat osteomyelitis

3. Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2 proses
yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera otak primer adalah
cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma dan merupakan suatu
fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa
dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa
mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu
benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera
robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang
bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh.
Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau
berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai
akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral
dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal
diantanya, bila trauma ekstrakranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada
kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena
perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi
peningkatan volume darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasiarterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya
peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi namun bila trauma
mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga.
Cidera kepala intrakranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan
jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik
yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas.
Mekanisme yang paling umum dari trauma tumpul dada yaitu kecelakaan mobil
atau jatuh dari sepeda motor sedangkan untuk trauma tembus dada yaitu luka tusuk
dan luka tembak. Cedera pada dada sering mengancam jiwa dan mengakibatkan satu
atau lebih mekanisme patologi seperti hipoksemia akibat gangguan jalan nafas,
cedera pada parenkim paru, sangkar iga, otot-otot pernapasan, kolaps paru, dan
pneumothoraks. Hipovolemia juga sering timbul akibat kehilangan cairan masif dari
pembuluh besar, ruptur jantung, atau hemothoraks. Gagal jantung akibat tamponade
jantung yaitu kompresi pada jantung sebagai akibat terdapatnya cairan di dalam
sakus perikardial. Mekanisme ini seringkali mengakibatkan kerusakan ventilasi dan
perfusi yang mengarah pada gagal napas akut, syok hipovolemia, dan kematian.

4. Tanda dan Gejala


Gejala yang nampak pada pasien skull defect dapat berupa:
1. Bentuk kepala asimetris
2. Pada bagian yang tidak tertutup tulang teraba lunak
3. Pada bagian yang tidak tertutup tulang dapat dilihat adanya denyutan atau
fontanela.
Sedangkan manifestasi klinis dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya
cedera kepala yaitu berupa:
1. Perubahan kesadaran adalah merupakan indicator yang paling sensitive yang
dapat dilihat dengan penggunaan GCS (Glasgow Coma Scale). Pada cedera
kepala berat nilai GCS nya 3-8
2. Peningkatan TIK yang mempunyai trias klasik seperti: nyeri kepala karena
regangan dura dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan oleh tekanan
dan pembengkakan diskus optikus; muntah seringkali proyektil.
3. Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung
(bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
4. Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi,
stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi), gurgling.

5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan adanya skull defect yaitu dengan melakukan operasi
kraniotomi yang kemudian dilakukan cranioplasty. Cranioplasty adalah memperbaiki
kerusakan tulang kepala dengan menggunakan bahan plastik atau metal plate.
Cranioplasty adalah perbaikan defek kranial dengan menggunakan plat logam atau
plastik. Setelah dilakukan operasi cranioplasty perawatan selanjutnya adalah dengan
pemberian antibiotik selama 3 hingga 5 hari, dan memonitor drain untuk membantu
pengeluaran darah dan mencegah hematoma hingga cairan atau darah berkurang 2
hingga 3 cc. Instruksi penting selanjutnya adalah tidak melakukan dan tidak
memberikan tekanan pada area yang telah dioperasi selama 3 sampai 4 minggu.
Proses pembentukan dan penyambungan tulang akan terjadi selama 6 minggu hingga
satu tahun.

6. Pemeriksaan Penunjang
Selain dari gejala-gejala klinik, keluhan pasien maupun dari hasil pemeriksaan
fisik dan psikis, untuk keperluan skull defect perlu dilakukan pemeriksaan-
pemeriksaan penunjang yaitu:
1. CT-Scan
Fungsi CT Scan ini adalah untuk mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Untuk mengetahui adanya
infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri. Pada pasien
dnegan skull defect diperoleh hasil CT scan sebagai berikut:
Gambar 4. CT scan skull defect
2. Foto polos kepala (X-ray)
Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan
kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan.
Jadi indikasi pelaksanaan foto polos kepala meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka
tembus (tembak/tajam), adanya corpus alineum, deformitas kepala (dari inspeksi
dan palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis, gangguan
kesadaran. Hasil yag diperoleh pada foto kepala pasien dengan skull defect
adalah sebagai berikut:

Gambar 5. X-ray skull defect


3. MRI (Magnetik Resonance Imaging)
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif. 4) EEG
(Elektroensepalogram) digunakan untuk melihat perkembangan gelombang
yang patologis

7. Komplikasi
Komplikasi skull defect dapat meliputi:
1. Edema serebral
2. Perdarahan
3. Syok hipovolemik
4. Hydrocephalus
5. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
6. Infeksi
7. Kerusakan integritas kulit

B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
a. Anamnesis
1) Identitas pasien
2) Riwayat penyakit sekarang
Umumnya pasien dengan skull defect yang terjadi sejak lahir (enchephalocele)
tidak memiliki keluhan apapun, kecuali pada skull defect akibat trauma, tumor
atau yang lainnya, biasanya pasien mengeluhkan nyeri bagian kepala hingga
diikuti penurunan kesadaran.
3) Riwayat penyakit dahulu
Merupakan riwayat penyakit yang pernah diderita pasien dan berhubungan
dengan sistem persarafan. Pasien dengan skull defect biasanya pernah mengalami
craniopasty, tumor otak, atau penyakit infeksi otak.
4) Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus skull defect adalah penurunan tingkat
kesadaran (GCS 9-12), pusing, sakit kepala, gangguan motorik, kejang, gangguan
sensorik dan gangguan kesadaran. Format PQRST dapat digunakan untuk
mempermudah pengumpulan data, penjabaran dari PQRST adalah:
P (provokatif/paliatif): Apa yang menjadi hal-hal yang meringankan dan
memperberat nyeri? Apa saja yang telah dilakukan untuk mengobati nyeri?
Q (quality/quantity): Seberapa berat keluhan, bagaimana rasanya? Seberapa
sering terjadinya?
R (regio/radiasi) : Dimanakah lokasi keluhan? Bagaimana penyebarannya?
S (skala/severity): Dengan menggunakan GCS untuk gangguan kesadaran, skala
nyeri untuk keluhan nyeri.
T (Timing) : Kapan keluhan itu terasa? Seberapa sering keluhan itu terasa?
5) Riwayat penyakit keluarga
6) Meliputi susunan anggota keluarga khususnya yang kemungkinan bisa
berpengaruh pada kesehatan anggota keluarga yang lain penyakit infeksi yang
pernah di derita ibu pasien ketika hamil, penyakit genetik seperti kanker.
b. Pemeriksaan fisik
Pada dasarnya dalam pemeriksaan fisik menggunakan pendekatan secara
sistematik yaitu: inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi.
1) Keadaan umum
Pada pasien skull defect yang disertai dengan cedera kepela biasanya pasien tidak
sadar, apabila pasien sadar pasien akan mengeluhkan nyeri di bagian kepalanya.
2) Kesadaran
Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS)
a) Respon membuka mata (E)
 Membuka mata dengan spontan (4)
 Membuka mata dengan perintah (3)
 Membuka mat dengan rangsangan nyeri (2)
 Tidak reaksi reaksi apapun (1)
b) Respon motorik (M)
 Mengikuti perintah (6)
 Melokalisir nyeri (5)
 Menghindar nyeri (4)
 Fleksi abnormal (3)
 Ekstensi abnormal (2)
 Tidak ada reaksi apapun (1)
c) Respon verbal (V)
 Orientasi baik dan sesuai (5)
 Disorienasi tempat dan waktu (4)
 Bicara kacau (3)
 Mengerang (2)
 Tidak ada reaksi apapaun (1)
Kesadaran pasien dengan skull defect tergantung dari seberapa berat cedera
kepala yang dialaminya, GCS: 14-15 = CKR (Cidera kepala ringan), GCS: 9-13 =
CKS (Cidera kepala sedang) dan GCS: 3-8 = CKB (Cidera kepala berat).
c. Pemeriksaan head to toe
1) Kepala dan rambut
Kepala pasien tidak simetris, pada bagian kepala yang tidak tertutup oleh tulang
teraba lunak dan dapat dilihat adanya denyutan atau fontanel. Rambut bisa
berdistribusi tidak rata apabila pasien telah mengalami operasi/ cranioplasty.
2) Wajah
Wajah pasien dengan skull defect akibat trauma dapat tidak simetris dan bisa
terdapat lesi pada wajah.
3) Mata
Apabila skull defect dikarenakan trauma, maka akan terjadi odema pada papil,
rakun eyes, atau bahkan pupil anisokor.
4) Hidung
Pada skull defect dengan trauma bisa dijumpai perdarahan pada hidung,
5) Telinga
Tidak ada gangguan pada telinga pasien dengan skul defect
6) Mulut dan bibir
Mulut kering, bibir sianosis dikarenakan kekurangan cairan tubuh akibat muntah
proyektil.
7) Gigi
Tidak ada kelainan pada gigi pasien dengan skull defect
8) Leher
Bisa terdapat jejas pada leher.
9) Integumen
Meliputi warna, kebersihan, turgor, tekstur kulit, dan kelembaban, perubahan
bentuk dan warna pada kulit. Pada pasien skull defect akibat trauma bisa terdapat
odema, atau lesi pada kulit yang terkena.
10) Thorax
Dikaji kesemetrisannya, ada tidaknya suara redup pada perkusi, kesemetrisan
ekspansi dada, ada tidaknya suara ronchi dan whezzing. Pada pasien dengan skull
defect dengan cedera kepala bisa terjadi penyumbatan jalan nafas oleh sekret
sehingga apabila dilakukan auskultasi terdengar suara ronchi.
11) Abdomen
Tidak ada lesi pada abdomen, dan terdapat rasa tidak nyaman pada bagian perut,
biasanya keinginan untuk muntah.
12) Ektremitas atas dan bawah
Ekstremitas bawah simetris, dan tidak ada kelainana pada pasien skull defect.
2. Diagnosis Keperawatan
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan gangguan neurologis
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
c. Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer
d. Kerusakan Integritas kulit berhubungan dengan proses pembedahan
e. Gangguan citra tubuh behubungan dengan perubahan struktur/bentuk tubuh

3. Intervensi Keperawatan
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan gangguan neurologis
1. Monitor pola napas
2. Monitor bunyi napas
3. Monitor sputum
4. Pertahankan kepatenana jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift
5. Posisikan semi-fowler
6. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
7. Berikan oksigen, jika perlu
8. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hati, jika tidak kontraindikasi
9. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. Identitas skala nyeri
3. Identitas respons nyeri non verbal
4. Berikan teknik farmakologi untuk mengurangi rasa nyeri
5. Fasilitasi istirahat dan tidur
6. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemeliharaan strategi
meredakan nyeri
7. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
8. Jelaskan strategi meredakan nyeri
9. Anjurkan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
10. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
c. Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer
1. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
2. Batasi jumlah pengunjung
3. Berikan perawatan kulit pada area edema
4. Pertahankan teknik aseptik
5. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
6. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
7. Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
d. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan proses pembedahan
1. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
2. Ubah posis tiap 2 jam jika tirah baring
3. Gunakan produk berbahan ringan/alami dan hipoalergik pada kulit sensitif
4. Anjurkan menggunakan pelembab
5. Anjurkan minum air yang cukup
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, dkk. 2015. Nursing Intervension Classification. Jakarta: EGC.


Burgener, Francis A & Kormano, Martti. 1997. Bone And Joint Disorder. New York:
Thieme.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. Jakarta: EGC.
Heather, Herdman. 2015. Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC
Moorhead, dkk. 2015. Nursing Outcomes Classification. Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
EGC.
Ramamurthi, Ravi, et al. 2007. Textbook of Operative Neurosurgery. New Delhi: BI
Publications.
Smeltzer & Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai