Anda di halaman 1dari 22

A.

PENGERTIAN
Hepatoma disebut juga kanker hati atau karsinoma hepatoseluler atau
karsinoma hepatoprimer. Hepatoma merupakan pertumbuhan sel hati yang
tidak normal yang ditandai dengan bertambahnya jumlah sel dalam hati yang
memiliki kemampuan membelah /mitosis disertai dengan perubahan sel hati
yang menjadi ganas.
Karsinoma Hepato Selular (KHS) atau disebut juga hepatoma atau
kanker hati primer adalah satu dari jenis kanker yang berasal dari sel hati.

B. ETIOLOGI
1. Virus Hepatitis B
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya hepatoma
terbukti kuat, baik secara epidemiologis, klinis maupun eksperimental.
Sebagian besar wilayah yang hiperendemik HBV menunjukkan angka
kekerapan hepatoma yang tinggi. Umur saat terjadinya infeksi
merupakan faktor resiko penting karena infeksi HBV pada usia dini
berakibat akan terjadinya kronisitas. Karsinogenitas HBV terhadap hati
mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan
proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel penjamu,
dan aktifitas protein spesifik-HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada
dasarnya, perubahan hepatosit dari kondisi inaktif menjadi sel yang
aktif bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel
dapat diaktifkan secara tidak langsung akibat dipicu oleh ekspresi
berlebihan suatu atau beberapa gen yang berubah akibat HBV. Infeksi
HBV dengan pajanan agen onkogenik seperti aflatoksin dapat
menyebabkan terjadinya hepatoma tanpa melalui sirosis hati.
2. Virus Hepatitis C
Di wilayah dengan tingkat infeksi HBV rendah, HCV merupakan
faktor resiko penting dari hepatoma. Infeksi HCV telah menjadi
penyebab paling umum karsinoma hepatoseluler di Jepang dan Eropa,
dan juga bertanggung jawab atas meningkatnya insiden karsinoma
hepatoseluler di Amerika Serikat, 30% dari kasus karsinoma
hepatoseluler dianggap terkait dengan infeksi HCV. Sekitar 5-30%
orang dengan infeksi HCV akan berkembang menjadipenyakit hati
kronis. Dalam kelompok ini, sekitar 30% berkembang menjadi sirosis,
dan sekitar 1-2% per tahun berkembang menjadi karsinoma
hepatoseluler. Resiko karsinoma hepatoseluler pada pasien dengan
HCV sekitar 5% dan muncul 30 tahun setelah infeksi. Penggunaan
alkohol oleh pasien dengan HCV kronis lebih beresiko terkena
karsinoma hepatoseluler dibandingkan dengan infeksi HCV saja.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penggunaan antivirus pada
infeksi HCV kronis dapat mengurangi risiko karsinoma hepatoseluler
secara signifikan.
3. Sirosis Hati
Sirosis hati merupakan faktor resiko utama hepatoma di dunia dan
melatarbelakangi lebih dari 80% kasus hepatoma. Penyebab utama
sirosis di Amerika Serikat dikaitkan dengan alkohol, infeksi hepatitis
C, dan infeksi hepatitis B. Setiap tahun, 3-5% dari pasien dengan
sirosis hati akan menderita hepatoma. Hepatoma merupakan penyebab
utama kematian pada sirosis hati. Pada otopsi pada pasien dengan
sirosis hati , 20-80% di antaranya telah menderita hepatoma.
4. Aflatoksin
Aflatoksin B1 (AFB1) meruapakan mikotoksin yang diproduksi oleh
jamur Aspergillus. Dari percobaan pada hewan diketahui bahwa AFB1
bersifat karsinogen. Aflatoksin B1 ditemukan di seluruh dunia dan
terutama banyak berhubungan dengan makanan berjamur.1
Pertumbuhan jamur yang menghasilkan aflatoksin berkembang subur
pada suhu 13°C, terutama pada makanan yang menghasilkan protein.
Di Indonesia terlihat berbagai makanan yang tercemar dengan
aflatoksin seperti kacang-kacangan, umbi-umbian (kentang rusak,
umbi rambat rusak,singkong, dan lain-lain), jamu, bihun, dan beras
berjamur.
Salah satu mekanisme hepatokarsinogenesisnya ialah kemampuan
AFB1 menginduksi mutasi pada gen supresor tumor p53. Berbagai
penelitian dengan menggunakan biomarker menunjukkan ada korelasi
kuat antara pajanan aflatoksin dalam diet dengan morbiditas dan
mortalitas hepatoma.
5. Obesitas
Suatu penelitian pada lebih dari 900.000 individu di Amerika Serikat
diketahui bahwa terjadinya peningkatan angka mortalitas sebesar 5x
akibat kanker pada kelompok individu dengan berat badan tertinggi
(IMT 35-40 kg/m2) dibandingkan dengan kelompok individu yang
IMT-nya normal. Obesitas merupakan faktor resiko utama untuk non-
alcoholic fatty liver disesease (NAFLD), khususnya non-alcoholic
steatohepatitis (NASH) yang dapat berkembang menjadi sirosis hati
dan kemudian berlanjut menjadi hepatoma.
6. Diabetes Mellitus
Tidak lama ditengarai bahwa DM menjadi faktor resiko baik untuk
penyakit hati kronis maupun untuk hepatoma melalui terjadinya
perlemakan hati dan steatohepatitis non-alkoholik (NASH). Di
samping itu, DM dihubungkan dengan peningkatan kadar insulin dan
insulin-like growth factors (IGFs) yang merupakan faktor promotif
potensial untuk kanker. Indikasi kuatnya aasosiasi antara DM dan
hepatoma terlihat dari banyak penelitian. Penelitian oleh El Serag dkk.
yang melibatkan173.643 pasien DM dan 650.620 pasien bukan DM
menunjukkan bahwa insidensi hepatoma pada kelompok DM lebih dari
dua kali lipat dibandingkan dengan insidensi hepatoma kelompok
bukan DM.

C. PATOFISIOLOGI
Inflamasi, nekrosis, fibrosis, dan regenerasi dari sel hati yang terus
berlanjut merupakan proses khas dari cirrhosis hepatic yang juga merupakan
proses dari pembentukan hepatoma walaupun pada pasien-pasien dengan
hepatoma, kelainan cirrhosis tidak selalu ada.
Sementara pada proses cirrhosis terjadi pembentukan nodul-nodul di
hepar, baik nodul regeneratif maupun nodul diplastik. Penelitian prospektif
menunjukan bahwa tidak ada progresi yang khusus dari nodul-nodul diatas
yang menuju kearah hepatoma tetapi, pada nodul displastik didapatkan bahwa
nodul yang terbentuk dari sel-sel yang kecil meningkatkan proses
pembentukan hepatoma. Sel sel kecil ini disebut sebagai stem cel dari hati.
Sel-sel ini meregenerasi sel-sel hati yang rusak tetapi sel-sel ini juga
berkembang sendiri menjadi nodul-nodul yang ganas sebagai respons dari
adanya penyakit yang kronik yang disebabkan oleh infeksi virus, nodul-nodul
inilah yang pada perkembangan lebih lanjut akan menjadi hepatoma.
Stadium Hepatoma
1) Stadium I : Satu fokal tumor berdiameter < 3 cm
2) Stadium II : Satu fokal tumor berdiameter > 3 cm. Tumor terbatas pada
segment I atau multi-fokal tumor terbatas padlobus kanan atau lobus kiri
hati.
3) Stadium III : Tumorpada segment I meluas ke lobus kiri (segment IV) atau
ke lobus kanan segment V dan VIII atau tumordengan invasi peripheral ke
sistem pembuluh darah (vascular) atau pembuluh empedu (biliary duct)
tetapi hanya terbatas pada lobus kanan atau lobus kiri hati.
4) Stadium IV : Multi-fokal atau diffuse tumor yang mengenai lobus kanan
dan lobus kiri hati. atau tumor dengan invasi ke dalam pembuluh darah
hati (intra hepaticvaskuler ) ataupun pembuluh empedu (biliary duct) atau
tumor dengan invasi ke pembuluh darah di luar hati (extra hepatic vessel)
seperti pembuluh darah vena limpa (vena lienalis) atau vena cava inferior-
atau adanya metastase keluar dari hati (extra hepatic metastase).
D. PATHWAY

Virus hepatitis B Virus hepatitis C Aflatoksin Alkohol, steroid


anabolic,
androgen yang
berlebihan, Bahan
Integrasi DNA Mutasi gen kontrasepsi oral,
Infeksi sel hati
virus ke DNA sel Penimbunan zat
Inflamasi kronik besi yang
berlebihan dalam
Peningkatan hati
poliferasi hepatosit Sirosis hepatik

Hepatoma

Anoreksia, Asites

Gangguan nutrisi Dinding perut menegang Diafragma


kurang dari kebutuhan tertekan
Gangguan rasa nyaman Gangguan
nyeri ventilasi

Pembedahan
Diskontinuitas
Insisi bedah jaringan

Luka post operasi

Resiko infeksi Gangguan rasa


nyaman nyeri
E. MANIFESTASI KLINIK
1. Gangguan nutrisi
2. Penurunan berat badan yang baru saja terjadi
3. Kehilangan kekuatan
4. Anoreksia
5. Anemia
6. Nyeri abdomen dapat ditemukan, disertai dengan pembesaran hati
yang cepat serta permukaan yang teraba ireguler pada palpasi.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Biopsi
Biopsi aspirasi dengan jarum halus (fine needle aspiration
biopsy) terutama ditujukan untuk menilai apakah suatu lesi yang
ditemukan pada pemeriksaan radiologi imaging dan laboratorium AFP
itu benar pasti suatu hepatoma.
Cara melakukan biopsi dengan dituntun oleh USG ataupun CT
scan mudah, aman, dan dapat ditolerir oleh pasien dan tumor yang
akan dibiopsi dapat terlihat jelas pada layar televisi berikut dengan
jarum biopsi yang berjalan persis menuju tumor, sehingga jelaslah
hasil yang diperoleh mempunyai nilai diagnostik dan akurasi yang
tinggi karena benar jaringan tumor ini yang diambil oleh jarum biopsi
itu dan bukanlah jaringan sehat di sekitar tumor.
2. Radiologi
Untuk mendeteksi kanker hati stadium dini dan berperan sangat
menentukan dalam pengobatannya. Kanker hepato selular ini bisa
dijumpai di dalam hati berupa benjolan berbentuk kebulatan (nodule)
satu buah, dua buah atau lebih atau bisa sangat banyak dan diffuse
(merata) pada seluruh hati atau berkelompok di dalam hati kanan atau
kiri membentuk benjolan besar yang bisa berkapsul.
3. Ultrasonografi
Dengan USG hitam putih (grey scale) yang sederhana
(conventional) hati yang normal tampak warna ke-abuan dan texture
merata (homogen). USG conventional hanya dapat memperlihatkan
benjolan kanker hatidiameter 2 cm – 3 cm saja. Tapi bila USG
conventional ini dilengkapi dengan perangkat lunak harmonik sistem
bisa mendeteksi benjolan kanker diameter 1 cm – 2 cm13, namun nilai
akurasi ketepatan diagnosanya hanya 60%.
4. CT scan
CT scan sebagai pelengkap yang dapat menilai seluruh segmen
hati dalam satu potongan gambar yang dengan USG gambar hati itu
hanya bisa dibuat sebagian-sebagian saja. CTscann dapat membuat
gambar kanker dalam tiga dimensi dan empat dimensi dengan sangat
jelas dan dapat pula memperlihatkan hubungan kanker ini dengan
jaringan tubuh sekitarnya.
5. Angiografi
Angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker yang sebenarnya.
Kanker yang kita lihat dengan USG yang diperkirakan kecil sesuai
dengan ukuran pada USG bisa saja ukuran sebenarnya dua atau tiga
kali lebih besar. Angigrafi bisa memperlihatkan ukuran kanker yang
sebenarnya.
6. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI yang dilengkapi dengan perangkat lunak Magnetic
Resonance Angiography (MRA) sudah pula mampu menampilkan dan
membuat peta pembuluh darah kanker hati ini.
7. PET (Positron Emission Tomography)
Positron Emission Tomography (PET) yang merupakan alat
pendiagnosis kanker menggunakan glukosa radioaktif yang dikenal
sebagai flourine18 atau Fluorodeoxyglucose (FGD) yang mampu
mendiagnosa kanker dengan cepat dan dalam stadium dini. Caranya,
pasien disuntik dengan glukosa radioaktif untuk mendiagnosis sel-sel
kanker di dalam tubuh. Cairan glukosa ini akan bermetabolisme di
dalam tubuh dan memunculkan respons terhadap sel-sel yang terkena
kanker. PET dapat menetapkan tingkat atau stadium kanker hati
sehingga tindakan lanjut penanganan kanker ini serta pengobatannya
menjadi lebih mudah. Di samping itu juga dapat melihat metastase
(penyebaran).

G. KOMPLIKASI
1. Gagal Hati, jaringan kanker menyebabkan kerusakan pada hati pasien.
2. Gagal Ginjal, kanker hati menyebabkan gagal ginjal yang
melumpuhkan kemampuan pasien untuk membuang limbah hasil
pencernaan dalam tubuh.
3. Metastasis Tumor, sel-sel tumor bisa bermetastasis ke paru-paru dan
tulang.

H. PENATALAKSANAAN
1. Tindakan Bedah Hati Digabung dengan Tindakan Radiologi
Terapi yang paling ideal untuk kanker hati stadium dini adalah
tindakan bedah yaitu reseksi (pemotongan) bahagian hati yang terkena
kanker dan juga reseksi daerah sekitarnya. Pada prinsipnya dokter ahli
bedah akan membuang seluruh kanker dan tidak akan menyisakan lagi
jaringan kanker pada penderita, karena bila tersisa tentu kankernya
akan tumbuh lagi jadi besar, untuk itu sebelum menyayat kanker
dokter ini harus tahu pasti batas antara kanker dan jaringan yang sehat.
Dilakukan CT angiography sekaligus membuat peta pembuluh
darah kanker sehingga jelas terlihat pembuluh darah mana yang
bertanggung jawab memberikan makanan (feeding artery) yang
diperlukan kanker untuk dapat tumbuh subur. Sesudah itu barulah
dilakukan tindakan radiologi Trans Arterial Embolisasi (TAE) yaitu
suatu tindakan memasukkan suatu zat yang dapat menyumbat
pembuluh darah (feeding artery) itu sehingga menyetop suplai
makanan ke sel-sel kanker dan dengan demikian kemampua hidup
(viability) dari sel-sel kanker akan sangat menurun sampai
menghilang.
Sebelum dilakukan TAE dilakukan dulu tindakan Trans
Arterial Chemotherapy (TAC) dengan tujuan sebelum ditutup feeding
artery lebih dahulu kanker-nya disirami racun (chemotherapy)
sehingga sel-sel kanker yang sudah kena racun dan ditutup lagi suplai
makanannya maka sel-sel kanker benar-benar akan mati dan tak dapat
berkembang lagi dan bila sel-sel ini nanti terlepas pun saat operasi tak
perlu dikhawatirkan, karena sudah tak mampu lagi bertumbuh.
Tindakan TAE digabung dengan tindakan TAC yang dilakukan
olehdokter spesialis radiologi disebut tindakan Trans Arterial
Chemoembolisation (TACE). Selain itu TAE ini juga untuk tujuan
supportif yaitu mengurangi perdarahan pada saat operasi dan juga
untuk mengecilkan ukuran kanker dengan demikian memudahkan
dokter ahli bedah.
Setelah kanker disayat, seluruh jaringan kanker itu harus
diperiksakan pada dokter ahli patologi yaitu satu-satunya dokter yang
berkompentensi dan yang dapat menentukan dan memberikan kata
pasti apakah benar pinggir sayatan sudah bebas kanker. Bila benar
pinggir sayatan bebas kanker artinya sudahlah pasti tidak ada lagi
jaringan kanker yang masih tertinggal di dalam hati penderita.
Kemudian diberikan chemotherapy (kemoterapi) yang bertujuan
meracuni sel-sel kanker agar tak mampu lagi tumbuh berkembang
biak.
2. TindakanNon-bedah Hati
Tindakan non-bedah merupakan pilihan untuk pasien yang datang pada
stadium lanjut. Termasuk dalam tindakan non-bedah ini adalah:
a) Embolisasi Arteri Hepatika (Trans Arterial Embolisasi =
TAE)
Pada prinsipnya sel yang hidup membutuhkan makanan dan
oksigen yang datangnyabersama aliran darah yang menyuplai
sel tersebut. Pada kanker timbul banyak sel-sel baru sehingga
diperlukan banyak makanan dan oksigen, dengan demikian
terjadi banyak pembuluh darah baru (neo-vascularisasi) yang
merupakan cabang-cabang dari pembuluh darah yang sudah
ada disebut pembuluh darah pemberi makanan (feeding
artery) Tindakan TAE ini menyumbat feeding artery.
Caranya dimasukkan kateter melalui pembuluh darah di paha
(arteri femoralis) yang seterusnya masuk ke pembuluh nadi
besar di perut (aorta abdominalis) dan seterusnya
dimasukkan ke pembuluh darah hati (artery hepatica) dan
seterusnya masuk ke dalam feeding artery. Lalu feeding
artery ini disumbat (di-embolisasi) dengan suatu bahan
seperti gel foam sehingga aliran darah ke kanker dihentikan
dan dengan demikian suplai makanan dan oksigen ke sel-sel
kanker akan terhenti dan sel-sel kanker ini akan mati.
Apalagi sebelum dilakukan embolisasi dilakukan tindakan
trans arterial chemotherapy yaitu memberikan obat
kemoterapi melalui feeding artery itu maka sel-sel kanker
jadi diracuni dengan obat yang mematikan.
Bila kedua cara ini digabung maka sel-sel kanker benar-benar
terjamin mati dan tak berkembang lagi.Dengan dasar inilah
embolisasi dan injeksi kemoterapi intra-arterial
dikembangkan dan nampaknya memberi harapan yang lebih
cerah pada penderita yang terancam maut ini. Angka harapan
hidup penderita dengan cara ini per lima tahunnya bisa
mencapai sampai 70% dan per sepuluh tahunnya bisa
mencapai 50%.

b) Infus Sitostatika Intra-arterial


Menurut literatur 70% nutrisi dan oksigenasi sel-sel hati yang
normal berasal dari vena porta dan 30% dari arteri hepatika,
sehingga sel-sel ganas mendapat nutrisi dan oksigenasi
terutama dari sistem arteri hepatika. Bila Vena porta tertutup
oleh tumor maka makanan dan oksigen ke sel-sel hati normal
akan terhenti dan sel-sel tersebut akan mati. Dapatlah
dimengerti kenapa pasien cepat meninggal bila sudah ada
penyumbatan vena porta ini. Infus sitostatika intra-arterial ini
dikerjakan bila vena porta sampai ke cabang besar tertutup
oleh sel-sel tumor di dalamnya dan pada pasien tidak dapat
dilakukan tindakan transplantasi hati oleh karena ketiadaan
donor, atau karena pasien menolak atau karena
ketidakmampuan pasien. Sitostatika yang dipakai adalah
mitomycin C 10 – 20 Mg kombinasi dengan adriblastina 10-
20 Mg dicampur dengan NaCl (saline) 100 – 200 cc. Atau
dapat juga cisplatin dan 5FU (5 Fluoro Uracil).
Metoda ballon occluded intra arterial infusion adalah
modifikasi infus sitostatika intra-arterial, hanya kateter yang
dipakai adalah double lumen balloncatheter yang di-insert
(dimasukkan) ke dalam arteri hepatika. Setelah ballon
dikembangkan terjadi sumbatan aliran darah, sitostatika
diinjeksikan dalam keadaan ballon mengembang selama 10 –
30 menit, tujuannya adalah memperlama kontak sitostatika
dengan tumor. Dengan cara ini maka harapan hidup pasien
per lima tahunnya menjadi 40% dan per sepuluh tahunnya
30% dibandingkan dengan tanpa pengobatan adalah20% dan
10%.

c) Injeksi Etanol Perkutan (Percutaneus Etanol Injeksi = PEI)


Pada kasus-kasus yang menolak untuk dibedah dan juga
menolak semua tindakan atau pasien tidak mampu
membiayai pembedahan dan tak mampu membiayai tindakan
lainnya maka tindakan PEI-lah yang menjadi pilihan satu-
satunya.
Tindakan injeksi etanol perkutan ini mudah dikerjakan,
aman, efek samping ringan, biaya murah, dan hasilnya pun
cukup memberikan harapan. PEI hanya dikerjakan pada
pasien stadium dini saja dan tidak pada stadium lanjut.
Sebagian besar peneliti melakukan pengobatan dengan cara
ini untuk kanker bergaris tengah sampai 5 cm, walaupun
pengobatan paling optimal dikerjakan pada garis tengah
kurang dari 3 cm. Pemeriksaan histopatologi setelah tindakan
membuktikan bahwa tumor mengalami nekrosis yang
lengkap. Sebagian besar peneliti menyuntikkan etanol
perkutan pada kasus kanker ini dengan jumlah lesi tidak lebih
dari3 buah nodule, meskipun dilaporkan bahwa lesi tunggal
merupakan kasus yang paling optimal dalam pengobatan.
Walaupun kelihatannya cara ini mungkin dapat menolong
tetapi tidak banyak penelitian yang memadai dilakukan
sehingga hanya dikatakan membawa tindakan ini memberi
hasil yang cukup baik.
d) Terapi Non-bedah Lanilla
Terapi non-bedah lainnya saat ini sudah dikembangkan dan
hanya dilakukan bila terapi bedah reseksi dan Trans Arterial
Embolisasi (TAE) ataupun Trans Arterial
Chemoembolisation ataupun Trans Arterial Chemotherapy
tak mungkin dilakukan lagi. Di antaranya yaitu terapi Radio
Frequency Ablation Therapy (RFA),Proton Beam Therapy,
Three Dimentional Conformal Radiotherapy (3DCRT),
Cryosurgery yang kesemuanya ini bersifat palliatif
(membantu) bukan kuratif (menyembuhkan) keseluruhannya.
e) Tindakan Transplantasi Hati
Bila kanker hati ini ditemukan pada pasien yang sudah ada
sirrhosis hati dan ditemukan kerusakan hati yang
berkelanjutan atau sudah hampir seluruh hati terkena kanker
atau sudah ada sel-sel kanker yang masuk ke vena porta
(thrombus vena porta) maka tidak ada jalan terapi yang lebih
baik lagi dari transplantasi hati. Transplantasi hati adalah
tindakan pemasangan organ hati dari orang lain ke dalam
tubuh seseorang. Langkah ini ditempuh bila langkah lain
seperti operasi dan tindakan radiologi seperti yang disebut di
atas tidak mampu lagi menolong pasien.
Akan tetapi, langkah menuju transplantasi hati tidak mudah,
pasalnya ketersediaan hati untuk di-transplantasikan sangat
sulit diperoleh seiring kesepakatan global yang melarang jual
beli organ tubuh. Selain itu, biaya transplantasi tergolong
sangat mahal. Dan pula sebelum proses transplantasi harus
dilakukan serangkaian pemeriksaan seperti tes jaringan tubuh
dan darah yang tujuannya memastikan adanya
kesamaan/kecocokan tipe jaringan tubuh pendonor dan
pasien agar tidak terjadi penolakan terhadap hati baru.
Penolakan bisa berupa penggerogotan hati oleh zat-zat dalam
darah yang akan menimbulkan kerusakan permanen dan
mempercepat kematian penderita. Seiring keberhasilan
tindakan transplantasi hati, usia pasien setidaknya akan lebih
panjang lima tahun.
I. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, suku, bangsa, no.
Registrasi
2. Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama: klien biasanya mengeluh mual, muntah,
nyeri perut kanan atas, pembesaran perut, BAB hitam
b) Riwayat penyakit sekarang: biasanya klien awalnya
mengalami mual, nyeri perut kanan atas, berak hitam,
kemudian perut klien membesar dan sesak nafas.
c) Riwayat penyakit dahulu: biasanya klien pernah mengalami
penyakit hepatitis B atau C atau D. Dan mengalami sirosis
hepatic
d) Riwayat penyakit keluarga: biasanya salah satu atau lebih
keluarga klien menderita penyakit hepatitis B atau C atau D.
Biasanya ibu klien menderita hepatitis B atau C atau D yang
diturunkan kepada anaknya pada waktu hamil.
e) Riwayat imunisasi: biasanya klien tidak diimunisasi untuk
penyakit hepatitis B
3. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
Biasanya klien terlihat lemah, letih, dengan perut membesar
dan sesak nafas, penurunan BB.
b) TTV
TD: >120/80 mmHg
N: >100 x/mnt
RR: <16 x/mnt
S: >37,5oC

c) Kepala dan leher


Biasanya terjadi pernafasan cuping hidung, ikterus, muntah
d) Thoraks
Biasanya terjadi retraksi dada dikarenakan kesulitas
bernafas, penggunaan otot-otot bantu pernafasan
e) Abdomen
Biasanya terjadi pembesaran hati (hepatomegali),
permukaan hati terasa kasar, asites, nyeri perut bagian kanan
atas dengan skala 7-10, splenomegali
f) Ekstremitas
Biasanya terjadi gatal-gatal, kelenahan otot
g) Breath
Biasanya klien mengalami sesak nafas
h) Blood
Biasanya klien anemi dikarenakan adanya perdarahan
i) Brain
Jika sudah metastase akan terjadi enselofaty hepatik
j) Bowel
Biasanya klien mengalami anoreksia, mual, muntah, melena,
bahkan mungkin terjadi hematomesis. Terjadi penurunan
BB, turgor kulit lebih dari 2 detik, rambut kering, mukosa
oral kering, penurunan serum albumin.
k) Blader
Biasanya klien mengeluarkan urin berwarna seperti teh
pekat
l) Bone
Jika terjadi metastase ke tulang akan terjadi nyeri tulang

4. Pola fungsi kesehatan


a) Pola aktivitas
Biasanya klien mengalami gangguan dalam beraktivitas
dikarenakan nyeri, kelemahan otot, mual, dan muntah
b) Pola nutrisi
Biasanya klien mengalami anoreksia, mual dan muntah
c) Pola eliminasi
Biasanya klien mengeluarkan urin berwarna seperti teh dan
pekat.
d) Pola istirahat
Biasanya klien mengalami insomnia
e) Pola seksual
Biasanya klien mengalami penurunan libido
f) Pola spiritual
Biasanya klien terganggu dalam menjalani ibadah

J. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Pre operasi
a) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya asites dan
penekanan diafragma.
b) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
anoreksia, mual.

2. Post operasi
a) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan luka post operasi.
b) Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi.

K. INTERVENSI
Pre operasi
Dx 1: Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya asites dan
penekanan diafragma.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam pernafasan klien
kembali normal
KH:
- Tidak mengeluh sesak napas,
- RR 16 – 24 X/menit.
- Hasil Lab BGA Normal
- Tidak ada pernafasan cuping hidung
- Tidak ada penggunaan otot-otot bantu pernafasan
Intervensi Rasional
1. Pertahankan Posisi semi fowler 1. Posisi ini memungkinkan tidak terjadinya
penekanan isi perut terhadap diafragma
sehingga meningkatkan ruangan untuk
ekspansi paru yang maksimal dan
mengurangi peningkatan volume darah paru
sehingga memperluas ruangan yang dapat
diisi oleh udara
2. Observasi gejala kardinal dan monitor 2. Pemantau lebih dini pada perubahan
tanda-tanda ketidakefektifan pola sehingga dapat diambil tindakan penanganan
napas segera.
3. Pengertian klien akan mengundang
3. Berikan penjelasan tentang penyebab partispasi klien dalam mengatasi
sesak dan motivasi utuk membatasi permasalahan yang terjadi
aktivitas 4. Untuk mengurangi asites dan cairan dalam
4. Kolaborasi dengan tim medis (dokter) cavum peritoneum sehingga pola nafas
dalam pemberian diuretik, batasi kembali normal (16-24x/menit)
asupan cairan, dan aspirasi asites.

Dx 2: Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


anoreksia, mual
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam kebutuhaan nutrisi
klien terpenuhi
KH:
- BB klien naik
- Serum albumin normal
- Makanan 1 porsi habis
- Klien tidak terlahat lemas
Intervensi Rasional
1. Kolaborasi dengan dokter dalam 1. Dengan pemberian vitamin membantu proses
pemberian vitamin. metabolisme, mempertahankan fungsi
berbagai jaringan dan membantu
pembentukan sel baru.
2. Jelaskan pada klien tentang pentingnya 2. Pengertian klien tentang nutrisi mendorong
nutrisi bagi tubuh dan diit yang di klien untuk mengkonsumsi makanan sesuai
tentukan dan tanyakan kembali apa diit yang ditentukan dan umpan balik klien
yang telah di jelaskan. tentang penjelasan merupakan tolak ukur
penahanan klien tentang nutrisic.
3. Bantu klien dan keluarga 3. Dengan mengidentifikasi berbagai jenis
mengidentifikasi dan memilih makanan yang telah di tentukan Diharapkan
makanan yang mengandung kalori dan klien kooperatif
protein tinggi
4. Sajikan makanan dalam keadaan 4. Dengan penyajian yang menarik diharapkan
menarik dan hangat. dapat meningkatkan selera makan
5. Anjurkan pada klien untuk menjaga 5. Dengan kebersihan mulut menghindari rasa
kebersihan mulut. mual sehingga diharapkan menambah rasa
6. Monitor kenaikan berat badan 6. Dengan monitor berat badan merupakan
sarana untuk mengetahui perkembangan
asupan nutrisi klien

Post operasi
Dx 1: Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan luka post operasi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan manejemen nyeri selama 3 x
24 jam diharapkan nyeri klien berkurang
KH:
- Klien terlihat tenang
- Skala nyeri 0-3
- TD 120/80 mmHg
- Nadi 60-100 x/mnt
Intervensi Evaluasi
1. Observasi cemas, mudah terangsang, 1. Petunjuk non verbal ini dapat
menangis, gelisah, gangguan tidur menindikasikan adanya/ derajat nyeri yang
dialami
2. Pantau tanda-tanda vita 2. Kecepatan jantung biasanya meningkat
karena nyeri. TD mungkin meningkat karna
ketidaknyamanan insisi tetapi dapat
l menurun atau tkidak stabil.
3. Berikan tindakan nyaman, bantu 3. Dapat meningkatkan relaksasi atau
aktivitas perawatan diri dan dorong perhatian tak langsung dan menurunkan
aktvitas senggang sesuai indikasi. frekuensi/ kebutuhan dosis analgesic.
4. Beritahu pasien bahwa wajar saja, 4. Adanya nyeri menyebabkan tegangan otot
meskipun lebih baik, untuk meminta yang mengganggu sirkulasi, memperlambat
analgesic segera setelah penyembuhan, dan memperberat nyeri
ketidaknyamanan menjadi dilaporkan
5. Kolaborasikan pemberian obat sesuai 5. Biasanya diberikan untuk control nyeri
indikasi seperti profiksene dan adekuat dan menurunkan tegangan otot,
asetaminofen yang memperbaiki kenyamanan pasien dan
meningkatkan penyembuhan

Dx 2: Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi


Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan
klien dapat melaporkan factor resiko yang berkaitan dengan infeksi dan
kewaspadaan yang diperlukan
KH:
- Klien dapat menhidentifikasi factor-faktor resiko dan intervensi untuk
mengurangi infeksi
- Klien dapat mempertahankan lingkungan aseptic yang aman
- Tidak ada tanda-tanda infeksi
Intervensi Rasional
1. Control infeksi, sterilisasi dan 1. Mekanisme yang dirancang untuk mencegah
prosedur/kebijakan aseptic infeksi
2. Periksa kulit untuk memeriksa adanya 2. Gangguan pada integritas kulit atau dekat
infeksi yang terjadi. dengan lokasi operasi adalah sumber
kontaminasi luka.
3. Identifikasi gangguan pada tehnik 3. Kontaminasi dengan lingkungan/ kontak
aseptic dan atasi dengan segera pada personal akan menyebabkan daerah yang
waktu terjadi. steril menjadi tidak steril sehingga dapat
meningkatkan resiko infeksi.
4. Kolaborasikan pemberian antibiotic 4. Dapat diberikan secara profilaksis bila
jika perlu. dicurigai terjadinya infeksi atau
kontaminasi.
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Doenges, Marilynn. E. 2000. Rencana asuhan keperawatan. Edisi III. Jakarta :


Penerbit Buku kedokteran EGC

Misnadiarly. 2007. Penyakit Hati (Liver) Edisi 1. Jakarta : Pustaka Obor Populer.

Price S. A., Wilson L.A., 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Jakarta : EGC.

Sjamsuhidayat, R. & Jong, W. D. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2006. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth (8 ed. Vol. 3). Jakarta: EGC.

Sudoyo A, et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI.

Sudoyo, Aru W.2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV.Jakarta:
FKUI. 1495-1499

Anda mungkin juga menyukai