TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman Mycobacterium
tuberculosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh
lainnya. Penyakit ini merupakan infeksi bakteri kronik yang ditandai oleh
pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan reaksi
hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell mediated hypersensitivity).
Penyakit tuberkulosis yang aktif bisa menjadi kronis dan berakhir dengan
kematian apabila tidak dilakukan pengobatan yang efektif (Daniel, 1999).
6
Gambar 2.1Mycobacterium tuberculosis pada pewarnaan tahan asam
Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+). Pada
waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
droplet (percikan dahak). Kuman yang berada di dalam droplet dapat
bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan dapat
menginfeksi individu lain bila terhirup ke dalam saluran nafas. Kuman
tuberkulosis yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan dapat
menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran limfe, saluran pernafasan, atau penyebaran langsung ke
bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2006).
7
2.4 Risiko penularan
8
inkubasi mulai dari seseorang terinfeksi sampai menjadi sakit,
membutuhkan waktu sekitar 6 bulan (Depkes RI, 2006).
9
kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik.
Pada TB paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi
dan retraksi otot-otot interkostal. Bila TB mengenai pleura, sering
terbentuk efusi pleura sehingga paru yang sakit akan terlihat tertinggal
dalam pernapasan, perkusi memberikan suara pekak, auskultasi
memberikan suara yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.
Dalam penampilan klinis TB sering asimtomatik dan penyakit baru
dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada
pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif (Bahar, 2007).
10
Sebagaimana gambar TB paru yang sudah lanjut pada foto rontgen
dada di bawah ini :
(Bahar, 2007)
Gambar 2.2
Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada
11
mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS. 1). Kalau hasil
SPS positif, didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis BTA
positif. 2). Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto
rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB.
Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai
penderita TB BTA negatif rontgen positif
Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut
bukan TB.
12
Berdasarkan diagnosis di atas WHO pada tahun 1991 memberikan
kriteria pada pasien TB paru menjadi : a). Pasien dengan sputum
BTA positif adalah pasien yang pada pemeriksaan sputumnya
secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang kurangnya pada 2
kali pemeriksaan/1 sediaan sputumnya positif disertai kelainan
radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif /1 sediaan
sputumnya positif disertai biakan yang positif. b). Pasien dengan
sputum BTA negatif adalah pasien yang pada pemeriksaan
sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali,
tetapi pada biakannya positif (Bahar, 2007).
b. Darah
Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit
yang sedikit meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke kiri.
Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah (LED)
mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit
kembali ke normal dan jumlah limfosit masih tinggi, LED mulai
turun ke arah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain juga
didapatkan: anemia ringan dengan gambaran normokrom
normositer, gama globulin meningkat, dan kadar natrium darah
menurun (Depkes RI, 2006).
c. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu
menegakkan diagnosis TB terutama pada anak-anak (balita).
Sedangkan pada dewasa tes tuberkulin hanya untuk menyatakan
apakah seorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi
Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium patogen lainnya
(Depkes RI, 2006).
13
Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Setelah 48-
72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi
kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi
persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen tuberkulin. Cara
penyuntikan tes tuberkulin dapat dilihat pada gambar di bawah ini
(Bahar, 2007):
(Bahar, 2007)
Gambar 2.4
Penyuntikan Tes Tuberkulin
Berdasarkan indurasinya maka hasil tes mantoux dibagi dalam
(Bahar, 2007): a). Indurasi 0-5 mm (diameternya) : Mantoux
negatif = golongan no sensitivity. Di sini peran antibodi humoral
paling menonjol. b). Indurasi 6-9 mm : Hasil meragukan =
golongan normal sensitivity. Di sini peran antibodi humoral masih
menonjol. c). Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif = golongan low
grade sensitivity. Di sini peran kedua antibodi seimbang. d).
Indurasi > 15 mm : Mantoux positif kuat = golongan
hypersensitivity. Di sini peran antibodi seluler paling menonjol.
14
malnutrisi, uremia, dan penyakit keganasan. Untuk pasien dengan
HIV positif, tes mantoux ± 5 mm, dinilai positif (Bahar, 2007).
15
d. Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out)
Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out) adalah pasien
yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau
lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut
kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
e. Gagal
Gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau pada akhir pengobatan. Atau penderita dengan hasil
BTA negatif rontgen positif pada akhir bulan kedua pengobatan.
f. Kasus kronis
Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA
positif setelah selesai pengobatan ulang kategori II dengan
pengawasan yang baik.
g. Tuberkulosis resistensi ganda
Tuberkulosis resistensi ganda adalah tuberkulosis yang menunjukkan
resistensi terhadap Rifampisin dan INH dengan/tanpa OAT lainnya
(Depkes RI, 2006).
16
bakterisid kecuali Etambutol dan Tiasetazon yang hanya bersifat
bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah resistensi
kuman terhadap obat. Rifampisin dan Pirazinamid mempunyai
aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan Streptomisin
menempati urutan lebih bawah (Bahar & Amin, 2007).
2.9.2 Kemoterapi TB
Program nasional pemberantasan TB di Indonesia sudah
dilaksanakan sejak tahun 1950-an. Ada 6 macam obat esensial yang
telah dipakai yaitu Isoniazid (H), Para Amino Salisilik Asid (PAS),
Streptomisin (S), Etambutol (E), Rifampisin (R) dan Pirazinamid
(Z). Sejak tahun 1994 program pengobatan TB di Indonesia telah
mengacu pada program Directly observed Treatment Short-course
(DOTS) yang didasarkan pada rekomendasi WHO, strategi ini
memasukkan pendidikan kesehatan, penyediaan OAT gratis dan
pencarian secara aktif kasus TB. Pengobatan ini memiliki 2 prinsip
dasar : Pertama, terapi yang berhasil memerlukan minimal 2
macam obat yang basilnya peka terhadap obat tersebut dan salah
satu daripadanya harus bakterisidik. Obat anti tuberkulosis
mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mencegah terjadinya
resistensi terhadap obat lainnya. Obat H dan R merupakan obat
yang paling efektif, E dan S dengan kemampuan mencegah,
sedangkan Z mempunyai efektifitas terkecil. Kedua, penyembuhan
penyakit membutuhkan pengobatan yang baik setelah perbaikan
gejala klinisnya, perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk
mengeleminasi basil yang persisten (Bahar & Amin, 2007).
17
diberikan dalam 2 tahap, tahap intensif dan tahap lanjutan. Pada
tahap intensif penderita mendapat obat baru setiap hari dan diawasi
langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua
jenis OAT terutama Rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif
tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi
tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar
penderita tuberkulosis BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir
pengobatan intensif. Pengawasan ketat dalam tahap ini sangat
penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Pada tahap
lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit tetapi dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap ini bertujuan untuk
membunuh kuman persisten (dormant) sehingga dapat mencegah
terjadinya kekambuhan (Bahar & Amin, 2007; Depkes RI, 2006).
Jenis OAT lapis pertama dan sifatnya dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:
18
Tabel 2.1 Jenis dan Sifat OAT
Jenis OAT Sifat Keterangan
Isoniazid (H) Bakterisid Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam
terkuat keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang
berkembang. Mekanisme kerjanya adalah
menghambat cell-wall biosynthesis pathway
Rifampisin bakterisid Rifampisin dapat membunuh kuman semi-dormant
(R) (persistent) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniazid.
Mekanisme kerjanya adalah menghambat
polimerase DNA-dependent ribonucleic acid (RNA)
M. Tuberculosis
19
Tabel 2.2 Berbagai Paduan Alternatif Untuk Setiap Kategori Pengobatan
Kategori Paduan pengobatan TB alternatif
pengobatan TB Pasien TB Fase awal Fase lanjutan
(setiap hari / 3 x
seminggu)
I Kasus baru TB paru dahak 2 EHRZ (SHRZ) 6 HE
positif; kasus baru TB paru 2 EHRZ (SHRZ) 4 HR
dahak negatif dengan 2 EHRZ (SHRZ) 4 H3 R3
kelainan luas di paru; kasus
baru TB ekstra-pulmonal
berat
20
positif setelah 2 bulan diharapkan menjadi negatif, dan kemudian
dilanjutkan ke fase lanjutan 4HR atau 4 H3 R3 atau 6 HE. Apabila
sputum BTA masih positif setelah 2 bulan, fase intensif
diperpanjang dengan 4 minggu lagi tanpa melihat apakah sputum
sudah negatif atau tidak.
Kategori II : 2HRZES/1HRZE/5H3R3E3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE yaitu R
dengan H, Z, E, setiap hari selama 3 bulan, ditambah dengan S
selama 2 bulan pertama. Apabila sputum BTA menjadi negatif fase
lanjutan bisa segera dimulai. Apabila sputum BTA masih positif
pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1 bulan
lagi. Bila akhir bulan ke-2 sputum BTA masih positif, semua obat
dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan kultur sputum untuk uji
kepekaan, obat dilanjutkan memakai fase lanjutan, yaitu 5H3R3E3
atau 5 HRE.
Kategori III : 2HRZ/2H3R3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H3R3, yang
dilanjutkan dengan fase lanjutan 2HR atau 2 H3R3.
Kategori IV : Rujuk ke ahli paru atau menggunakan INH seumur
hidup
21
2.9.5 Dosis obat
Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di
Indonesia secara harian maupun berkala dan disesuaikan dengan
berat badan pasien (Bahar & Amin, 2007):
Jenis Dosis
22
OAT-KDT untuk kategori I, II dan sisipan dapat dilihat pada tabel
di bawah ini (Depkes RI, 2006) :
23
mungkin OAT masih dapat diberikan dalam dosis terapeutik yang
kecil, tapi bila efek samping ini sangat mengganggu OAT yang
bersangkutan harus dihentikan dan pengobatan dapat diteruskan
dengan OAT yang lain (Bahar & Amin 2007).
24
Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan
pemeriksaan kontrol, seperti (Bahar & Amin, 2007):
a. Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai Etambutol
b. Tes audiometri bagi pasien yang memakai Streptomisin
c. Pemeriksaan darah terhadap enzim hepar, bilirubin, ureum/kreatinin,
darah perifer dan asam urat (untuk pasien yang menggunakan
Pirazinamid)
25
2.11 Evaluasi pengobatan
Secara umum UPK seperti rumah sakit memiliki potensi yang besar dalam
penemuan pasien tuberkulosis (case finding), namun memiliki keterbatasan
26
dalam menjaga keteraturan dan keberlangsungan pengobatan pasien (case
holding) jika dibandingkan dengan Puskesmas.Untuk itu perlu
dikembangkan jejaring baik internal maupun eksternal.Suatu sistem jejaring
dapat dikatakan berfungsi secara baik apabila angka default < 5 % pada
setiap UPK.
a. Jejaring Internal
Jejaring internal adalah jejaring yang dibuat didalam UPK yang meliputi
seluruh unit yang menangani pasien tuberkulosis. Koordinasi kegiatan dapat
dilaksanakan oleh Tim DOTS. Tidak semua UPK harus memiliki tim DOTS
tergantung dari kompleksitas dan jumlah fasilitas yang dimilki oleh UPK.
Tim DOTS UPK mempunyai tugas dalam perencanaan, pelaksanaan,
monitoring serta evaluasi kegiatan DOTS di UPK.
b. Jejaring eksternal
Jejaring eksternal adalah jejaring yang dibangun antara Dinas Kesehatan,
rumah sakit, puskesmas dan UPK lainnya dalam penanggulangan
tuberkulosis dengan strategi DOTS.
27
Rumus:
Jumlah pasien TB BTA Positif yang ditemukan
x
Jumlah seluruh suspek TB yang diperiksa
100
Angka ini sekitar 5-15%. Bila angka ini terlalu kecil (<5%) kemungkinan
%
disebabkan:
Penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak
memenuhi kriteria suspek, atau
Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu).
Bila angka ini terlalu besar (>15%) kemungkinan disebabkan:
Penjaringan terlalu ketat atau
Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu)
(Kemenkes RI,2014)
28
3. Angka Konversi (Conversion Rate)
Angka konversi adalah persentase pasien TB paru BTA positif yang
mengalami konversi menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan
intensif. Indikator ini berguna untuk mengetahui secara cepat hasil
pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung menelan
obat dilakukan dengan benar.
Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu
dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA positif yang mulai
berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya
yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan intensif (2 bulan).
Di tingkat kabupaten, provinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dihitung
dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%
(Kemenkes RI,2014).
29
Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu
dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA positif yang mulai
berobat dalam 9-12 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya
yang sembuh setelah selesai pengobatan.
Di tingkat kabupaten, provinsi dan pusat, angka ini dapat dihitung dari
laporan TB.08. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka
kesembuhan digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan (Kemenkes
RI,2014).
2.14 Puskesmas
1. Pengertian
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan
pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.
2. Tujuan
Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas
adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional
yakni meningkatkan kesadaran,kemauan dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap orang yang bertempat tingal di wilayah kerja puskesmas
agar terwujud derajat kesehatanyang setinggi-tingginya dalam rangka
mewujudkan Indonesia Sehat 2010.
3. Fungsi
a. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan
Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau
penyelenggaraan pembangunan lintas sektor termasuk oleh
masyarakat dan dunia usaha di wilayah kerjanya, sehingga
berwawasan serta mendukung pembangunan kesehatan. Disamping
itu puskesmas aktif memantau dan melaporkan dampak kesehatan
dari penyelenggaraan setiap program di wilayah kerjanya.
30
b. Pusat pemberdayaan masyarakat
Puskesmas selalu berupaya agar perorangan terutama pemuka
masyarakat, keluarga dan masyarakat termasuk dunia usaha
memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan melayani diri sendiri
dan masyarakat untuk hidup sehat, berperan aktif dalam
memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk sumber
pembiayaannya, serta ikut menerapkan, menyelenggarakan dan
memantau pelaksanaan program kesehatan.pemberdayaan
perorangan, keluarga dan masyarakat.
c. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama
Puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan
kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan.
31
3. Upaya penyelenggaraan kesehatan
Upaya kesehatan puskesmas dikelompokkan menjadi dua yakni :
1. Upaya kesehatan wajib
Upaya kesehatan wajib puskesmas adalah upaya yang ditetapkan
berdasarkan komitmen nasional, regional dan global serta
mempunyai daya ungkit tinggi untuk peningkatan derajat
kesehatan masyarakat.
2. Upaya kesehatan pengembangan
Upaya kesehatan pengembangan puskesmas adalah upaya yang
ditetapkan berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan
di masyarakat serta yang disesuaikan dengan kemampuan
puskesmas.
32
Penyuluhan kesehatan merupakan bagian dari promosi kesehatan
adalah rangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsip-prinsip
belajar untuk mencapai suatu keadaan dimana individu, kelompok
atau masyarakat secara keseluruhan dapat hidup sehat dengan
cara memelihara, melindungi dan meningkatkan kesehatannya.
Penyuluhan tuberkulosis perlu dilakukan karena masalah
tuberkulosis banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan
perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan dan peranserta masyarakat
dalam penanggulangan tuberkulosis (Depkes RI, 2006).
33
34