Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman Mycobacterium
tuberculosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh
lainnya. Penyakit ini merupakan infeksi bakteri kronik yang ditandai oleh
pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan reaksi
hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell mediated hypersensitivity).
Penyakit tuberkulosis yang aktif bisa menjadi kronis dan berakhir dengan
kematian apabila tidak dilakukan pengobatan yang efektif (Daniel, 1999).

Klasifikasi penyakit tuberkulosis berdasarkan organ tubuh yang diserang


kuman Mycobacterium tuberculosis terdiri dari tuberkulosis paru dan
tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Sedangkan
tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru misalnya, pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium),
kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain (Depkes RI, 2006).

2.2 Kuman tuberkulosis

Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri batang tipis lurus berukuran


sekitar 0,4 x 3 µm (Brooks,et al 2004).

6
Gambar 2.1Mycobacterium tuberculosis pada pewarnaan tahan asam

Gambar di atas adalah Mycobacterium tuberculosis yang dilihat dengan


pewarnaan tahan asam dan berwarna merah. Sebagian besar bakteri ini terdiri
atas asam lemak (lipid), peptidoglikan dan arabinoman. Lipid inilah yang
menyebabkan kuman mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam
pada pewarnaan sehingga disebut pula sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA)
(Daniel, 1999).

Di dalam jaringan Mycobacterium tuberculosis hidup sebagai parasit


intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain bakteri ini adalah
aerob, sehingga bagian apikal merupakan tempat predileksi penyakit
tuberkulosis (Bahar, 2007).

2.3 Cara penularan

Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+). Pada
waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
droplet (percikan dahak). Kuman yang berada di dalam droplet dapat
bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan dapat
menginfeksi individu lain bila terhirup ke dalam saluran nafas. Kuman
tuberkulosis yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan dapat
menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran limfe, saluran pernafasan, atau penyebaran langsung ke
bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2006).

7
2.4 Risiko penularan

Risiko penularan tiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI)


di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada daerah
dengan ARTI sebesar 1% mempunyai arti bahwa pada tiap tahunnya diantara
1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang
terinfeksi tidak akan menderita tuberkulosis, hanya sekitar 10% dari yang
terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis (Depkes RI, 2006).

2.5 Patogenesis tuberkulosis

2.5.1 Infeksi primer


Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
kuman tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya,
sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan
terus berjalan sampai ke alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai
saat kuman tuberkulosis berhasil berkembang biak dengan cara
membelah diri di paru yang mengakibatkan radang dalam paru.
Saluran limfe akan membawa kuman ke kelenjar limfe di sekitar hilus
paru, dan ini disebut kompleks primer. Waktu terjadinya infeksi
sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu. Adanya
infeksi dapat dibuktikan dengan terjadi perubahan reaksi tuberkulin
dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer
tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh
(imunitas seluler). Pada umumnya respon daya tahan tubuh tersebut
dapat menghentikan perkembangan kuman tuberkulosis. Meskipun
demikian, ada beberapa kuman menetap sebagai kuman persisten atau
dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan kuman. Akibatnya dalam beberapa
bulan yang bersangkutan akan menjadi pasien tuberkulosis. Masa

8
inkubasi mulai dari seseorang terinfeksi sampai menjadi sakit,
membutuhkan waktu sekitar 6 bulan (Depkes RI, 2006).

2.5.2 Tuberkulosis pasca primer (post primary tuberculosis)


Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan
atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh
menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas
dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas
dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura (Depkes RI, 2006).

2.6 Diagnosis tuberkulosis

Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, dilanjutkan


dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
radiologis.

2.6.1 Diagnosis klinis


Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan ada
atau tidaknya gejala pada pasien. Pada pasien TB paru gejala klinis
utama adalah batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau
lebih. Gejala tambahan yang mungkin menyertai adalah batuk darah,
sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun,
berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat
malam walaupun tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari
sebulan (Depkes RI, 2006).

2.6.2 Pemeriksaan fisik


Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam
(subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan
fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan terutama pada

9
kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik.
Pada TB paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi
dan retraksi otot-otot interkostal. Bila TB mengenai pleura, sering
terbentuk efusi pleura sehingga paru yang sakit akan terlihat tertinggal
dalam pernapasan, perkusi memberikan suara pekak, auskultasi
memberikan suara yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.
Dalam penampilan klinis TB sering asimtomatik dan penyakit baru
dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada
pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif (Bahar, 2007).

2.6.3 Pemeriksaan radiologis


Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang
praktis untuk menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan
ini lebih memberikan keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak
dan TB milier yang pada pemeriksaan sputumnya hampir selalu
negatif. Lokasi lesi TB umumnya di daerah apex paru tetapi dapat
juga mengenai lobus bawah atau daerah hilus menyerupai tumor paru.
Pada awal penyakit saat lesi masih menyerupai sarang-sarang
pneumonia, gambaran radiologinya berupa bercak-bercak seperti
awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi
jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas
yang tegas dan disebut tuberkuloma (Depkes RI, 2006).

Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat


dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang
luas dengan penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu
lobus maupun pada satu bagian paru. Gambaran tuberkulosa milier
terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata
pada seluruh lapangan paru. Pada TB yang sudah lanjut, foto dada
sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus seperti
infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas maupun atelektasis
dan emfisema (Bahar, 2007).

10
Sebagaimana gambar TB paru yang sudah lanjut pada foto rontgen
dada di bawah ini :

(Bahar, 2007)
Gambar 2.2
Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada

2.6.4 Pemeriksaan bakteriologis


a. Sputum
Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA positif pada pemeriksaan dahak secara
mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila
sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-
Sewaktu) BTA hasilnya positif (Depkes RI, 2006).

Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan


lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen
SPS diulang. 1). Kalau hasil rontgen mendukung tuberkulosis,
maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. 2).
Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan
dahak SPS diulangi.

Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum


luas (misalnya, Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2
minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis

11
mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS. 1). Kalau hasil
SPS positif, didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis BTA
positif. 2). Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto
rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB.
 Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai
penderita TB BTA negatif rontgen positif
 Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut
bukan TB.

Diagnosis TB paru sesuai alur yang dibuat oleh Depkes RI (2006),


sebagaimana bisa dilihat di bawah ini :

Gambar 2.3. Alur Diagnosis TB Paru

12
Berdasarkan diagnosis di atas WHO pada tahun 1991 memberikan
kriteria pada pasien TB paru menjadi : a). Pasien dengan sputum
BTA positif adalah pasien yang pada pemeriksaan sputumnya
secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang kurangnya pada 2
kali pemeriksaan/1 sediaan sputumnya positif disertai kelainan
radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif /1 sediaan
sputumnya positif disertai biakan yang positif. b). Pasien dengan
sputum BTA negatif adalah pasien yang pada pemeriksaan
sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali,
tetapi pada biakannya positif (Bahar, 2007).

b. Darah
Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit
yang sedikit meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke kiri.
Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah (LED)
mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit
kembali ke normal dan jumlah limfosit masih tinggi, LED mulai
turun ke arah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain juga
didapatkan: anemia ringan dengan gambaran normokrom
normositer, gama globulin meningkat, dan kadar natrium darah
menurun (Depkes RI, 2006).

c. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu
menegakkan diagnosis TB terutama pada anak-anak (balita).
Sedangkan pada dewasa tes tuberkulin hanya untuk menyatakan
apakah seorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi
Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium patogen lainnya
(Depkes RI, 2006).

Tes tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 cc


tuberkulin P.P.D (Purified Protein Derivative) secara intrakutan.

13
Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Setelah 48-
72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi
kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi
persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen tuberkulin. Cara
penyuntikan tes tuberkulin dapat dilihat pada gambar di bawah ini
(Bahar, 2007):

(Bahar, 2007)
Gambar 2.4
Penyuntikan Tes Tuberkulin
Berdasarkan indurasinya maka hasil tes mantoux dibagi dalam
(Bahar, 2007): a). Indurasi 0-5 mm (diameternya) : Mantoux
negatif = golongan no sensitivity. Di sini peran antibodi humoral
paling menonjol. b). Indurasi 6-9 mm : Hasil meragukan =
golongan normal sensitivity. Di sini peran antibodi humoral masih
menonjol. c). Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif = golongan low
grade sensitivity. Di sini peran kedua antibodi seimbang. d).
Indurasi > 15 mm : Mantoux positif kuat = golongan
hypersensitivity. Di sini peran antibodi seluler paling menonjol.

Biasanya hampir seluruh penderita TB paru memberikan reaksi


mantoux yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini adalah adanya
positif palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi dengan
Mycobacterium lain, negatif palsu pada pasien yang baru 2-10
minggu terpajan tuberkulosis, anergi, penyakit sistemik serta
(Sarkoidosis, LE), penyakit eksantematous dengan panas yang akut
(morbili, cacar air, poliomielitis), reaksi hipersensitivitas menurun
pada penyakit hodgkin, pemberian obat imunosupresi, usia tua,

14
malnutrisi, uremia, dan penyakit keganasan. Untuk pasien dengan
HIV positif, tes mantoux ± 5 mm, dinilai positif (Bahar, 2007).

2.7 Komplikasi tuberkulosis

Tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan


komplikasi. Komplikasi dini antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura,
empiema, laringitis, usus Poncet’s arthropathy. Sedangkan komplikasi
lanjut dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru,
kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal napas
(sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB) (Bahar, 2007).

2.8 Tipe penderita tuberkulosis

Tipe penderita tuberkulosis berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya,


yaitu :
a. Kasus baru
Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT
atau sudah pernah mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan (30
dosis harian).
b. Kambuh (relaps)
Kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosa dan telah dinyatakan sembuh,
kemudian kembali lagi berobat dengan pemeriksaan dahak BTA
positif.
c. Pindahan (transfer in)
Pindahan (transfer in) adalah pasien yang sedang mendapat
pengobatan di suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke
kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan / pindah (form TB. 09).

15
d. Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out)
Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out) adalah pasien
yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau
lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut
kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
e. Gagal
Gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau pada akhir pengobatan. Atau penderita dengan hasil
BTA negatif rontgen positif pada akhir bulan kedua pengobatan.
f. Kasus kronis
Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA
positif setelah selesai pengobatan ulang kategori II dengan
pengawasan yang baik.
g. Tuberkulosis resistensi ganda
Tuberkulosis resistensi ganda adalah tuberkulosis yang menunjukkan
resistensi terhadap Rifampisin dan INH dengan/tanpa OAT lainnya
(Depkes RI, 2006).

2.9 Pengobatan Tuberkulosis Paru


2.9.1 Prinsip pengobatan
Terdapat 2 macam aktifitas/sifat obat terhadap TB yaitu aktivitas
bakterisid di mana obat bersifat membunuh kuman–kuman yang
sedang tumbuh (metabolismenya masih aktif) dan aktivitas
sterilisasi, obat bersifat membunuh kuman-kuman yang
pertumbuhannya lambat (metabolismenya kurang aktif). Aktivitas
bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat tersebut
membunuh/melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan
didapatkan hasil yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan).
Aktivitas sterilisasi diukur dari angka kekambuhan setelah
pengobatan dihentikan. Hampir semua OAT mempunyai sifat

16
bakterisid kecuali Etambutol dan Tiasetazon yang hanya bersifat
bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah resistensi
kuman terhadap obat. Rifampisin dan Pirazinamid mempunyai
aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan Streptomisin
menempati urutan lebih bawah (Bahar & Amin, 2007).

2.9.2 Kemoterapi TB
Program nasional pemberantasan TB di Indonesia sudah
dilaksanakan sejak tahun 1950-an. Ada 6 macam obat esensial yang
telah dipakai yaitu Isoniazid (H), Para Amino Salisilik Asid (PAS),
Streptomisin (S), Etambutol (E), Rifampisin (R) dan Pirazinamid
(Z). Sejak tahun 1994 program pengobatan TB di Indonesia telah
mengacu pada program Directly observed Treatment Short-course
(DOTS) yang didasarkan pada rekomendasi WHO, strategi ini
memasukkan pendidikan kesehatan, penyediaan OAT gratis dan
pencarian secara aktif kasus TB. Pengobatan ini memiliki 2 prinsip
dasar : Pertama, terapi yang berhasil memerlukan minimal 2
macam obat yang basilnya peka terhadap obat tersebut dan salah
satu daripadanya harus bakterisidik. Obat anti tuberkulosis
mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mencegah terjadinya
resistensi terhadap obat lainnya. Obat H dan R merupakan obat
yang paling efektif, E dan S dengan kemampuan mencegah,
sedangkan Z mempunyai efektifitas terkecil. Kedua, penyembuhan
penyakit membutuhkan pengobatan yang baik setelah perbaikan
gejala klinisnya, perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk
mengeleminasi basil yang persisten (Bahar & Amin, 2007).

Regimen pada pengobatan sekitar tahun 1950-1960 memerlukan


waktu 18-24 bulan untuk jaminan menjadi sembuh. Dengan metode
DOTS pengobatan TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari
berbagai jenis OAT, dalam jumlah yang cukup dan dosis tepat
selama 6-8 bulan, supaya semua kuman dapat dibunuh. Pengobatan

17
diberikan dalam 2 tahap, tahap intensif dan tahap lanjutan. Pada
tahap intensif penderita mendapat obat baru setiap hari dan diawasi
langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua
jenis OAT terutama Rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif
tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi
tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar
penderita tuberkulosis BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir
pengobatan intensif. Pengawasan ketat dalam tahap ini sangat
penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Pada tahap
lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit tetapi dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap ini bertujuan untuk
membunuh kuman persisten (dormant) sehingga dapat mencegah
terjadinya kekambuhan (Bahar & Amin, 2007; Depkes RI, 2006).

2.9.3 Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


Obat-obat TB dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis regimen, yaitu
obat lapis pertama dan obat lapis kedua. Kedua lapisan obat ini
diarahkan ke penghentian pertumbuhan basil, pengurangan basil
dormant dan pencegahan resistensi. Obat-obatan lapis pertama
terdiri dari Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol dan
Streptomisin. Obat-obatan lapis dua mencakup Rifabutin,
Ethionamid, Cycloserine, Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine,
Aminoglycosides di luar Streptomycin dan Quinolones. Obat lapis
kedua ini dicadangkan untuk pengobatan kasus-kasus multi drug
resistance. Obat tuberkulosis yang aman diberikan pada perempuan
hamil adalah Isoniazid, Rifampisin, dan Etambutol (Bahar & Amin,
2007).

Jenis OAT lapis pertama dan sifatnya dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:

18
Tabel 2.1 Jenis dan Sifat OAT
Jenis OAT Sifat Keterangan
Isoniazid (H) Bakterisid Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam
terkuat keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang
berkembang. Mekanisme kerjanya adalah
menghambat cell-wall biosynthesis pathway
Rifampisin bakterisid Rifampisin dapat membunuh kuman semi-dormant
(R) (persistent) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniazid.
Mekanisme kerjanya adalah menghambat
polimerase DNA-dependent ribonucleic acid (RNA)
M. Tuberculosis

Pirazinamid bakterisid Pirazinamid dapat membunuh kuman yang berada


(Z) dalam sel dengan suasana asam. Obat ini hanya
diberikan dalam 2 bulan pertama pengobatan.
Streptomisin bakterisid obat ini adalah suatu antibiotik golongan
(S) aminoglikosida dan bekerja mencegah pertumbuhan
organisme ekstraselular.
Etambutol (E) bakteriostatik -
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007).

2.9.4 Regimen pengobatan (metode DOTS)


Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan
agar dapat mencegah perkembangan resistensi obat, oleh karena itu
WHO telah menerapkan strategi DOTS dimana petugas kesehatan
tambahan yang berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum
obat untuk memastikan kepatuhannya. Oleh karena itu WHO juga
telah menetapkan regimen pengobatan standar yang membagi
pasien menjadi 4 kategori berbeda menurut definisi kasus tersebut,
seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini (Bahar & Amin, 2007) :

19
Tabel 2.2 Berbagai Paduan Alternatif Untuk Setiap Kategori Pengobatan
Kategori Paduan pengobatan TB alternatif
pengobatan TB Pasien TB Fase awal Fase lanjutan
(setiap hari / 3 x
seminggu)
I Kasus baru TB paru dahak 2 EHRZ (SHRZ) 6 HE
positif; kasus baru TB paru 2 EHRZ (SHRZ) 4 HR
dahak negatif dengan 2 EHRZ (SHRZ) 4 H3 R3
kelainan luas di paru; kasus
baru TB ekstra-pulmonal
berat

II Kambuh, dahak positif; 2 SHRZE / 1 5 H3R3E3


pengobatan gagal; HRZE 5 HRE
pengobatan setelah terputus 2 SHRZE / 1
HRZE

III Kasus baru TB paru dahak 2 HRZ atau 6 HE


negatif (selain dari kategori 2H3R3Z3
I); kasus baru TB ekstra- 2 HRZ atau 2 HR/4H
pulmonal yang tidak berat 2H3R3Z3
2 HRZ atau 2 H3R3/4H
2H3R3Z3
IV Kasus kronis (dahak masih TIDAK DIPERGUNAKAN
positif setelah menjalankan (merujuk ke penuntun WHO guna
pengobatan ulang) pemakaian obat lini kedua yang
diawasi pada pusat-pusat spesialis)
(Crofton, 2002; Bahar & Amin, 2007)

Sesuai tabel di atas, maka paduan OAT yang digunakan untuk


program penanggulangan tuberkulosis di Indonesia adalah (Bahar
& Amin, 2007):
Kategori I : 2HRZE (S) / 6HE.
Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2HRZE (S) setiap
hari selama 2 bulan obat H, R, Z, E atau S. Sputum BTA awal yang

20
positif setelah 2 bulan diharapkan menjadi negatif, dan kemudian
dilanjutkan ke fase lanjutan 4HR atau 4 H3 R3 atau 6 HE. Apabila
sputum BTA masih positif setelah 2 bulan, fase intensif
diperpanjang dengan 4 minggu lagi tanpa melihat apakah sputum
sudah negatif atau tidak.
Kategori II : 2HRZES/1HRZE/5H3R3E3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE yaitu R
dengan H, Z, E, setiap hari selama 3 bulan, ditambah dengan S
selama 2 bulan pertama. Apabila sputum BTA menjadi negatif fase
lanjutan bisa segera dimulai. Apabila sputum BTA masih positif
pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1 bulan
lagi. Bila akhir bulan ke-2 sputum BTA masih positif, semua obat
dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan kultur sputum untuk uji
kepekaan, obat dilanjutkan memakai fase lanjutan, yaitu 5H3R3E3
atau 5 HRE.
Kategori III : 2HRZ/2H3R3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H3R3, yang
dilanjutkan dengan fase lanjutan 2HR atau 2 H3R3.
Kategori IV : Rujuk ke ahli paru atau menggunakan INH seumur
hidup

Pada pasien kategori ini mungkin mengalami resistensi ganda,


sputumnya harus dikultur dan dilakukan uji kepekaan obat. Seumur
hidup diberikan H saja sesuai rekomendasi WHO atau
menggunakan pengobatan TB resistensi ganda (MDR-TB).
Selain 4 kategori di atas, disediakan juga paduan obat sisipan
(HRZE).
Obat sisipan akan diberikan bila pasien tuberkulosis kategori I dan
kategori II pada tahap akhir intensif pengobatan (setelah melakukan
pengobatan selama 2 minggu), hasil pemeriksaan dahak/sputum
masih BTA positif (Depkes RI, 2006).

21
2.9.5 Dosis obat
Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di
Indonesia secara harian maupun berkala dan disesuaikan dengan
berat badan pasien (Bahar & Amin, 2007):

Tabel 2.3 Dosis Obat yang Dipakai di Indonesia

Jenis Dosis

Isoniazid (H)  harian : 5mg/kg BB


 intermiten : 10 mg/kg BB 3x seminggu
Rifampisin (R) harian = intermiten : 10 mg/kgBB

Pirazinamid (Z)  harian : 25mg/kg BB


 intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu
Streptomisin (S)  harian = intermiten : 15 mg/kgBB
 usia sampai 60 th : 0,75 gr/hari
 usia > 60 th : 0,50 gr/hari
Etambutol (E)  harian : 15mg/kg BB
 intermiten : 30 mg/kg BB 3x seminggu
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)

2.9.6 Kombinasi obat


Pada tahun 1998 WHO dan IUATLD merekomendasikan
pemakaian obat kombinasi dosis tetap 4 obat sebagai dosis yang
efektif dalam terapi TB untuk menggantikan paduan obat tunggal
sebagai bagian dari strategi DOTS. Paduan OAT ini disediakan
dalam bentuk paket dengan tujuan memudahkan pemberian obat
dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai. Tersedia
obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) untuk paduan OAT
kategori I dan II. Tablet OAT-KDT ini adalah kombinasi 2 atau 4
jenis obat dalam 1 tablet. Dosisnya (jumlah tablet yang diminum)
disesuaikan dengan berat badan pasien, paduan ini dikemas dalam
1 paket untuk 1 pasien dalam 1 masa pengobatan. Dosis paduan

22
OAT-KDT untuk kategori I, II dan sisipan dapat dilihat pada tabel
di bawah ini (Depkes RI, 2006) :

Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT KDT Kategori I : 2(RHZE)/4(RH) 3


Berat badan Tahap Intensif tiap hari selama Tahap Lanjutan 3x seminggu selama
56 hari 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT
> 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT
(Depkes RI, 2006)
Tabel 2.5 Dosis Paduan OAT KDT Kategori II: 2(RHZE)S/(RHZE)/5(HR)3E3
Berat Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan3x seminggu
badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E (400)
Selama 58 hari Selama 28 hari Selama 2 Minggu
30 – 37 kg 2 tab 4KDT + 500mg 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab
Streptomisin inj Etambutol
38 – 54 kg 3 tab 4KDT + 750mg 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab
Streptomisin inj Etambutol
55 – 70 kg 4 tab 4KDT + 1000mg 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab
Streptomisin inj Etambutol
> 71 kg 5 tab 4KDT + 1000mg 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab
Streptomisin inj Etambutol
(Depkes RI, 2006)
Tabel 2.6 Dosis OAT untuk Sisipan
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT
(Depkes RI, 2006)

2.9.7 Efek samping pengobatan


Dalam pemakaian OAT sering ditemukan efek samping yang
mempersulit sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan,

23
mungkin OAT masih dapat diberikan dalam dosis terapeutik yang
kecil, tapi bila efek samping ini sangat mengganggu OAT yang
bersangkutan harus dihentikan dan pengobatan dapat diteruskan
dengan OAT yang lain (Bahar & Amin 2007).

Efek samping yang dapat ditimbulkan OAT berbeda-beda pada tiap


pasien, lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2.7 Efek Samping Pengobatan dengan OAT


Jenis Obat Ringan Berat
Isoniazid (H) tanda-tanda keracunan pada Hepatitis, ikhterus
syaraf tepi, kesemutan, nyeri
otot dan gangguan kesadaran.
Kelainan yang lain menyerupai
defisiensi piridoksin (pellagra)
dan kelainan kulit yang
bervariasi antara lain gatal-
gatal.

Rifampisin (R) gatal-gatal kemerahan kulit, Hepatitis, sindrom respirasi


sindrom flu, sindrom perut. yang ditandai dengan sesak
nafas, kadang disertai dengan
kolaps atau renjatan (syok),
purpura, anemia hemolitik yang
akut, gagal ginjal
Pirazinamid (Z) Reaksi hipersensitifitas : Hepatitis, nyeri sendi, serangan
demam, mual dan kemerahan arthritis gout

Streptomisin (S) Reaksi hipersensitifitas : Kerusakan saraf VIII yang


demam, sakit kepala, muntah berkaitan dengan keseimbangan
dan eritema pada kulit dan pendengaran
Etambutol (E) Gangguan penglihatan berupa Buta warna untuk warna merah
berkurangnya ketajaman dan hijau
penglihatan
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)

24
Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan
pemeriksaan kontrol, seperti (Bahar & Amin, 2007):
a. Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai Etambutol
b. Tes audiometri bagi pasien yang memakai Streptomisin
c. Pemeriksaan darah terhadap enzim hepar, bilirubin, ureum/kreatinin,
darah perifer dan asam urat (untuk pasien yang menggunakan
Pirazinamid)

2.10 Hasil pengobatan tuberkulosis

World Health Organization (1993) menjelaskan bahwa hasil pengobatan


penderita tuberkulosis paru dibedakan menjadi :
a. Sembuh: bila pasien tuberkulosis kategori I dan II yang BTA nya negatif
2 kali atau lebih secara berurutan pada sebulan sebelum akhir
pengobatannya.
b. Pengobatan lengkap: pasien yang telah melakukan pengobatan sesuai
jadwal yaitu selama 6 bulan tanpa ada follow up laboratorium atau hanya
1 kali follow up dengan hasil BTA negatif pada 2 bulan terakhir
pengobatan.
c. Gagal: pasien tuberkulosis yang BTA-nya masih positif pada 2 bulan dan
seterusnya sebelum akhir pengobatan atau BTAnya masih positif pada
akhir pengobatan.
Pasien putus berobat lebih dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dan BTA
terkhir masih positif.
Pasien tuberkulosis kategori II yang BTA menjadi positif pada bulan ke-
2 dari pengobatan.
d. Putus berobat/defaulter: pasien TB yang tidak kembali berobat lebih dari
2 bulan sebelum bulan ke-5 dimana BTA terakhir telah negatif.
e. Meninggal: penderita TB yang meninggal selama pengobatan tanpa
melihat sebab kematiannya.

25
2.11 Evaluasi pengobatan

Bayupurnama (2007) menjelaskan bahwa terdapat beberapa metode yang


bisa digunakan untuk evaluasai pengobatan TB paru :
a. Klinis: biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya 2
minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir
pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan
pasien seperti batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan
bertambah, berat badan meningkat dll.
b. Bakteriologis: biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA
mulai menjadi negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan
sekali sebulan. WHO (1991) menganjurkan kontrol sputum BTA
langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4 dan 6. Pemeriksaan
resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif
setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang mendapatkan
pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah negatif, sputum BTA tetap
diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut. Bila BTA positif
pada 3 kali pemeriksaan biakan (3 bulan), maka pasien yang sebelumnya
telah sembuh mulai kambuh lagi.
c. Radiologis: bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada
akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti
timbul kasus kambuh. Jika keluhan pasien tidak berkurang (misalnya
tetap batuk-batuk), dengan pemeriksaan radiologis dapat dilihat keadaan
TB parunya atau adakah penyakit lain yang menyertainya. Karena
perubahan gambar radiologis tidak secepat perubahan bakteriologis,
evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali (Bayupurnama, 2007).

2.12 Pembentukan Jejaring

Secara umum UPK seperti rumah sakit memiliki potensi yang besar dalam
penemuan pasien tuberkulosis (case finding), namun memiliki keterbatasan

26
dalam menjaga keteraturan dan keberlangsungan pengobatan pasien (case
holding) jika dibandingkan dengan Puskesmas.Untuk itu perlu
dikembangkan jejaring baik internal maupun eksternal.Suatu sistem jejaring
dapat dikatakan berfungsi secara baik apabila angka default < 5 % pada
setiap UPK.

a. Jejaring Internal
Jejaring internal adalah jejaring yang dibuat didalam UPK yang meliputi
seluruh unit yang menangani pasien tuberkulosis. Koordinasi kegiatan dapat
dilaksanakan oleh Tim DOTS. Tidak semua UPK harus memiliki tim DOTS
tergantung dari kompleksitas dan jumlah fasilitas yang dimilki oleh UPK.
Tim DOTS UPK mempunyai tugas dalam perencanaan, pelaksanaan,
monitoring serta evaluasi kegiatan DOTS di UPK.

b. Jejaring eksternal
Jejaring eksternal adalah jejaring yang dibangun antara Dinas Kesehatan,
rumah sakit, puskesmas dan UPK lainnya dalam penanggulangan
tuberkulosis dengan strategi DOTS.

2.13 Indikator Program TB

Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur


kemajuanprogram (marker of progress). Dalam menilai kemajuan atau
keberhasilan program pengendalian TB digunakan beberapa indikator.

1. Proporsi Pasien TB BTA Positif diantara Suspek


Adalah presentase pasien BTA positif yang ditemukan diantara seluruh
suspek yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari
proses penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan
kriteria suspek.

27
Rumus:
Jumlah pasien TB BTA Positif yang ditemukan
x
Jumlah seluruh suspek TB yang diperiksa
100

Angka ini sekitar 5-15%. Bila angka ini terlalu kecil (<5%) kemungkinan
%
disebabkan:
 Penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak
memenuhi kriteria suspek, atau
 Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu).
Bila angka ini terlalu besar (>15%) kemungkinan disebabkan:
 Penjaringan terlalu ketat atau
 Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu)
(Kemenkes RI,2014)

2. Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)


Adalah persentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan
dibanding jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam
wilayah tersebut.
Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien baru
BTA positif pada wilayah tersebut.
Rumus :

Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh berdasarkan


perhitungan angka insidens kasus TB paru BTA positif dikali dengan
jumlah penduduk.
Target Case Detection Rate Program Penanggulangan Tuberkulosis
Nasional minimal 90% tahun 2015 (Kemenkes RI,2014)

28
3. Angka Konversi (Conversion Rate)
Angka konversi adalah persentase pasien TB paru BTA positif yang
mengalami konversi menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan
intensif. Indikator ini berguna untuk mengetahui secara cepat hasil
pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung menelan
obat dilakukan dengan benar.

Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu
dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA positif yang mulai
berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya
yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan intensif (2 bulan).
Di tingkat kabupaten, provinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dihitung
dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%
(Kemenkes RI,2014).

4. Angka Kesembuhan (Cure Rate)


Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase pasien TB
BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien
TB BTA positif yang tercatat.
Angka kesembuhan dihitung juga untuk pasien BTA positif pengobatan ulang
dengan tujuan:
 Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap obat
terjadi di komunitas, hal ini harus dipastikan dengan surveilans kekebalan
obat.
 Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan obat
baris kedua (second-line drugs).
 Menunjukkan prevalens HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang
terjadi pada pasien dengan HIV.

29
Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu
dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA positif yang mulai
berobat dalam 9-12 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya
yang sembuh setelah selesai pengobatan.
Di tingkat kabupaten, provinsi dan pusat, angka ini dapat dihitung dari
laporan TB.08. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka
kesembuhan digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan (Kemenkes
RI,2014).

2.14 Puskesmas
1. Pengertian
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan
pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.
2. Tujuan
Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas
adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional
yakni meningkatkan kesadaran,kemauan dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap orang yang bertempat tingal di wilayah kerja puskesmas
agar terwujud derajat kesehatanyang setinggi-tingginya dalam rangka
mewujudkan Indonesia Sehat 2010.
3. Fungsi
a. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan
Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau
penyelenggaraan pembangunan lintas sektor termasuk oleh
masyarakat dan dunia usaha di wilayah kerjanya, sehingga
berwawasan serta mendukung pembangunan kesehatan. Disamping
itu puskesmas aktif memantau dan melaporkan dampak kesehatan
dari penyelenggaraan setiap program di wilayah kerjanya.

30
b. Pusat pemberdayaan masyarakat
Puskesmas selalu berupaya agar perorangan terutama pemuka
masyarakat, keluarga dan masyarakat termasuk dunia usaha
memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan melayani diri sendiri
dan masyarakat untuk hidup sehat, berperan aktif dalam
memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk sumber
pembiayaannya, serta ikut menerapkan, menyelenggarakan dan
memantau pelaksanaan program kesehatan.pemberdayaan
perorangan, keluarga dan masyarakat.
c. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama
Puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan
kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan.

Pelayanan kesehatan kesehatan tingkat pertama yang menjadi tanggung


jawab puskesmas meliputi :
1. Pelayanan kesehatan perorangan
Pelayanan kesehatan perorangan adalah pelayanan yang bersifat
pribadi dengan tujuan utama menyembuhkan penyakit dan
pemulihan kesehatan perorangan, tanpa mengabaikan pemeliharaan
kesehatan dan pencegahan penyakit.

2. Pelayanan kesehatan masyarakat


Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat
publik dengantujuan utama memelihara dan meningkatkan kesehatan
serta mencegah penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit
dan pemulihan kesehatan. Pelayanan kesehatan masyarakat tersebut
antara lain adalah promosi kesehatan,pemberantasan penyakit,
penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan
keluarga, keluarga berencana, kesehatan jiwa masyarakat serta
program kesehatan masyarakat lainnya.

31
3. Upaya penyelenggaraan kesehatan
Upaya kesehatan puskesmas dikelompokkan menjadi dua yakni :
1. Upaya kesehatan wajib
Upaya kesehatan wajib puskesmas adalah upaya yang ditetapkan
berdasarkan komitmen nasional, regional dan global serta
mempunyai daya ungkit tinggi untuk peningkatan derajat
kesehatan masyarakat.
2. Upaya kesehatan pengembangan
Upaya kesehatan pengembangan puskesmas adalah upaya yang
ditetapkan berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan
di masyarakat serta yang disesuaikan dengan kemampuan
puskesmas.

4. Klasifikasi puskesmas berdasarkan fungsi penanggulangan


tuberkulosis
 Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM): melatih para staf
laboratorium dan melakukan pembacaan sediaan apus dahak
untuk beberapa Puskesmas Satelit.
 Puskesmas Satelit (PS) : tidak memiliki fasilitas laboratorium
sendiri, dan hanya membuat sediaan apus dahak dan difiksasi,
kemudian dikirim ke PRM untuk dibaca hasilnya. Setelah
mendapatkan hasil, Puskesmas Satelit akan menentukan rencana
pengobatan.
 Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM): menyediakan layanan
diagnosis dan pengobatan TBC, tanpa bekerja sama dengan
Puskesmas Satelit

5. Kegiatan penanggulangan penyakit tuberkulosis di puskesmas


Menurut Dinas Kesehatan Republik Indonesia Kegiatan
penanggulangan penyakit tuberkulosis di puskesmas adalah :
1. Penyuluhan kesehatan

32
Penyuluhan kesehatan merupakan bagian dari promosi kesehatan
adalah rangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsip-prinsip
belajar untuk mencapai suatu keadaan dimana individu, kelompok
atau masyarakat secara keseluruhan dapat hidup sehat dengan
cara memelihara, melindungi dan meningkatkan kesehatannya.
Penyuluhan tuberkulosis perlu dilakukan karena masalah
tuberkulosis banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan
perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan dan peranserta masyarakat
dalam penanggulangan tuberkulosis (Depkes RI, 2006).

2. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung


Dalam program penanggulangan tuberkulosis, diagnosis
ditegakkan melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung. Diagnosis pasti tuberkulosis melalui pemeriksaan kultur
atau biakan dahak. Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu
lebih lama dan mahal. Pemeriksaan 3 spesimen sewaktu – pagi –
sewaktu (SPS) dahak secara mikroskopis langsung nilainya identik
dengan pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan (Depkes RI,
2006).

3. Pencatatan dan pelaporan


Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang
sangat penting dalam sistem penaggulangan tuberkulosis. Untuk itu
pencatatan dan pelaporan perlu dibakukan berdasarkan klasifikasi
dan tipe penderita. Semua unit pelaksana program penanggulangan
tuberkulosis harus melaksanakan suatu sistem pencatatan dan
pelaporan yang baku (Depkes RI, 2006)

33
34

Anda mungkin juga menyukai