Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Resusitasi adalah suatu tindakan untuk mengembalikan fungsi tubuh kepada
keadaan fisiologis. Kehilangan cairan dapat berupa kehilangan yang normal
(keringat, penguapan, urine ) atau kehilangan yang patologis. Kehilangan
cairan yang patologis bisa disebabkan oleh karena perdarahan atau non
perdarahan (dehidrasi). Resusitasi cairan adalah tindakan mengganti
kehilangan cairan tubuh yang hilang oleh sebab patologis kembali menjadi
normal.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa definisi resusitasi cairan?
b. Apa dasar terapi cairan?
c. Apa saja komposisi cairan tubuh?
d. Apa saja derajat dehidrasi resusitasi cairan?
e. Apa saja kebutuhan normal untuk rumatan?
f. Apa saja fase terapi resusitasi cairan?
g. Bagaimana konsep asuhan keperawatan Resusitasi cairan?

1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui apa definisi resusitasi cairan
b. Untuk mengetahui dasar terapi resusitasi cairan
c. Untuk mengetahui apa saja komposisi cairan tubuh resusitasi cairan
d. Untuk mengetahui apa saja derajat dehidrasi resusitasi cairan
e. Untuk mengetahui berapa kebutuhan normal untuk rumatan resusitasi cairan
f. Untuk mengetahui apa saja terapi resusitasi cairan
g. Untuk Mengetahui bagaimana konsep asuhan keperawatan Resusitasi cairan

1
1.4 Manfaat
Dalam pembahasan makalah ini dapat memberikan manfaat dalam
memahami lebih lanjut mengenai resusitasi cairan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Dasar Terapi Cairan


1. Terapi cairan  resusitasi dan rumatan.
2. Resusitasi dapat dilakukan dengan cairan kristalloid atau kolloid.
3. Rumatan dilakukan dengan kristalloid.

2.2 Komposisi cairan tubuh.


Total body water : 60% dari BB.
1. Intraselular (ICF) : 40%
2. Extraseluler (ECF) : 20%
3. Intersitial (ISF) : 15%
4. Intravascular (IVF) : 5%
Contoh :
A. Laki laki , BB : 60 kg  TBW = 60% dari 60 kg 36 liter
B. Dari 36 liter TBW  ICF = 24 liter & ECF = 12 liter
C. ECF = 12 liter  ISF = 9 liter & IVF = 3 liter
Tabel Persentase Total Body Water

Pria Wanita
Kurus 65% 55%
Sedang 60% 50%
Gemuk 55% 45%
Kehilangan cairan non-perdarahan (dehidrasi)
2.3 Derajat Dehidrasi

Tanda-tanda klinis Ringan Sedang Berat


Hemodinamik Takikardi Takikardi, Takikardi,sianosis,
hipotensi ortostatik, nadi sulit diraba,
nadi lemah, vena akral dingin
kolaps
3
Jaringan Mukosa lidah Lidah lunak, Atonia, mata
Kering Keriput cekung/corong
Turgor kulit < << <<<
Urin Pekat Pekat, jumlah Oliguria
menurun
Kesadaran Normal Apatis, gelisah Koma
Defisit 3-5% BB 6-8% BB 10% BB

Penggantian Cairan :
1. Tentukan derajat dehidrasi pasien
2. Hitung kekurangan / defisit cairan, berdasarkan derajat dehidrasi dikali dengan
BB
3. Bila dehidrasi ringan dan sedang langsung ke rehidrasi tahap lambat, namun
bila dehidrasi berat dimulai dengan rehidrasi tahap cepat kemudian dievaluasi
dilanjutkan ke tahap rehidrasi lambat bila rehidrasi cepat berhasil.
4. Tahap cepat : 20 – 40 ml/kgBB  guyur dalam waktu ½ -1 jam
Tahap lambat : 50% sisa defisit cairan + rumatan, diberikan dalam 8 jam
pertama 50% sisa defisit cairan + rumatan diberikan dalam 16 jam kedua
Dehidrasi tahap cepat untuk mengembalikan fungsi hemodinamik menuju
normal ditandai dengan membaiknya fungsi hemodinamik ( MAP , HR,
perfusi perifer), membaiknya perfusi organ (urine mulai keluar, jernih)

2.4 Kebutuhan normal untuk rumatan


Dalam keadaan tidak ada masukan melalui oral, maka defisit cairan dan
elektrolit dengan segera dapat terjadi sebagai akibat produksi urine, sekresi
gastrointestinal, keringat dan insesible waterlossdari kulit dan paru. Kebutuhan
normal untuk rumatan dapat dilihat dari table di bawah ini.

Berat Badan Jumlah Cairan


0-10 kg 4 mL / kg/jam
10-20 kg berikutnya tambahkan 2 mL/kg/jam
Untuk setiap kg diatas 20 kg tambahkan 1 mL/kg/jam

4
Sebagai contoh : kebutuhan cairan rumatan untuk berat badan 60 kg
adalah:
10x4 + 10x2 + 40x1= 100 mL/jam
CAIRAN PENGGANTI
Kristaloid : Ringer laktat, Ringer Asetat, NaCl 0.9%
Koloid : HES 6%, Gelatin, Albumin5%

Kehilangan cairan oleh karena perdarahan :

Estimated Fluid and Blood Losses Based on Patient’s Initial Presentation

(tabel ini digunakan untuk menentukan derajad perdarahan yang sudah terjadi
berdasarkan hasil pemeriksaan pada saat ini)

Class I Class II Class III Class IV

Blood-Loss[ml] < 750 750-1500 1500-2000 >2000

Blood-loss [%EBV] <15% 15-30% 30-40% >40%

Pulse-Rate [x/min.] <100 >100 >120 >140

Blood-Pressure Normal Normal Decreased Decreased

Pulse-Pressure N or increased Decreased Decreased Decreased

Respiratory Rate 14-20 20-30 30-35 >35

Urine out- >30 20-30 5-15 Negligible


put[ml/hour]
Mental status/CNS Slightly Midly anxious Anxious and Confused and
anxious confused lethargic

EBV : 70 ml/kg BB  contoh BB 60 kg , maka EBV = 50 x


70 = 4200 mL Perdarahan 25 % EBV = 25 % x 4200 = 1000
mL

5
2.5 Fase terapi cairan
Kebutuhan cairan untuk pasien dalam kondisi kritis tidak tetap melainkan
sesuai dengan fase dari kondisi akut tersebut. Sebuah kerangka konseptual
menguraikan 4 fase berbeda yang berhubungan dengan resusitasi. Fase
tersebut adalah rescue, optimization, stabilization, dan de- escalation (Rewa
dan Bagshaw, 2015). Hubungan antara keseimbangan cairan dan fase–fase
pada resusitasi ditunjukkan oleh
1. Rescue
Fase ini adalah fase penyelamatan yang memiliki ciri-ciri terdapat syok
yang mengancam jiwa, hipotensi dan perfusi organ yang lemah. Pada fase
ini, pasien mendapat terapi cairan bolus cepat sebagai perawatan untuk
mengganti volume syok dan memperbaiki perfusi organ. Dalam waktu
yang bersamaan, juga dilakukan identifikasi kemungkinan terjadinya
trauma mayor, sepsis, atau pendarahan gastrointestinal (Rewa dan
Bagshaw, 2015).
2. Optimization
Fase ini tidak berada lama dari syok yang mengancam jiwa tetapi sering
membutuhkan terapi cairan untuk mengoptimalkan fungsi jantung,
memperpanjang perfusi jaringan dan mengurangi disfungsi organ. Selama
optimisasi, terapi cairan menggunakan volume cairan 250-500 ml lebih
dari 15-20 menit sering diberikan untuk mengevaluasi efek penambahan
terapi cairan pada target akhir resusitasi (Rewa dan Bagshaw, 2015).
3. Stabilization
Tujuan utama dari fase ini adalah memberikan support organ secara terus
menerus, mencegah disfungsi organ yang memburuk dan menghindari
komplikasi iatrogenic. Kebutuhan cairan selama fase ini sebagian untuk
mempertahankan hemostasis volume intravaskular dan menggantikan
secara terus-menerus cairan yang keluar (Rewa dan Bagshaw, 2015).
4. De-escalation
Pada fase final ini terjadi penyembuhan secara terus menerus untuk pasien
yang mulai melepaskan ventilatori dan mendukung vasoaktif serta
akumulasi dari cairan dimobilisasi dan dihilangkan. Deresuscitation

6
bermaksud untuk mencapai keseimbangan cairan negatif dan mengurangi
atau mencegah toksisitas dari terapi cairan. Strategi konservasi manajemen
cairan yang terlambat dan tercapainya keseimbangan cairan negatif
berhubungan dengan perbaikan hasil dari pengobatan (Rewa dan Bagshaw,
2015).

2.6 Dosis dan Volume


Persyaratan respon untuk cairan resusitasi amat bermacam-macam selama
perjalanan berbagai keadaan sakit kritis. Belum ada fisiologi tunggal dan
pengukuran biokimia yang adekuat merefleksikan kekompleksitisitas
kehilangan cairan atau respon untuk resusitasi cairan pada keadaan
sakit akut. Bagaimanapun, hipotensi sistolik dan terutama oligouri digunakan
secara luas sebagai pemicu untuk mengganti cairan yang berkisar antara 200
sampai 1000 ml kristalloid atau kolloid pada pasien dewasa.
Rekomendasi Resusitasi Cairan pada Pasien Sakit Akut.
Cairan seharusnya diadministrasi dengan perhatian yang sama ketika
menggunakan obat intravena lainnya
1. Pertimbangkan tipe, dosis, indikasi, kontraindikasi, dan potensi toksisitas
serta biaya. Cairan resusitasi adalah komponen sebuah proses kompleks
fisiologi
2. Identifikasi cairan yang kemungkinan besar hilang dan ganti cairan yang
hilang dengan volume yang sama.
3. Pertimbangkan sodium serum, osmolaritas, dan status asam basa ketika
memilih cairan resusitasi.
4. Pertimbangkan keseimbangan kumulatif cairan dan berat badan aktual
ketika memilih dosis cairan resusitasi.
5. Pertimbangkan penggunaan cepat katekolamin sebagai pengobatan syok
Persyaratan cairan pengganti melebihi waktu pada pasien sakit kritis
6. Dosis kumulatif cairan resusitasi dan pemeliharaan berkaitan dengan
edema interstisial.
7. Edema patologis berkaitan dengan hasil yang merugikan

7
8. Oliguria adalah respon normal untuk hipovolemia dan seharusnya tidak
digunakan semata-mata sebagai pemicu atau titik akhir untuk resusitasi
cairan, terutama pada periode post-resusitasi.
9. Penggunaan cairan dalam periode post resusitasi (> 24 jam) itu diragukan.
10. Penggunaan cairan resusitasi hipotonik untuk pemeliharaan diragukan
ketika dehidrasi dikoreksi. Mempergunakan pertimbangan spesifik untuk
pasien kategori berbeda
11. Pasien dengan perdarahan perlu mengontrol perdarahnnya dan transfusi
dengan sel darah merah dan komponen darah sebagai indikasi.
12. Isotonis, larutan garam seimbang adalah cairan resusitasi awal yang
dipandang cocok untuk kebanyakan pasien sakit akut.
13. Pertimbangkan salin cocok untuk pasien hipovolemia dan alkalosis
14. Pertimbangkan albumin selama resusitasi awal pasien dengan sepsis berat.
15. Salin atau kristalloid isotonik diindikasikan pada pasien dengan cedera
trauma otak.
16. Albumin tidak diindikasikan pada pasien dengan cedera trauma otak.
17. HES tidak diindikasikan pada pasien dengan sepsis atau pada yang
beresiko gagal ginjal akut.
18. Keamanan kolloid semi sintetik lain tidak stabil, jadi penggunaan larutan
tersebut tidak direkomendasikan.
19. Keamanan salin hipertonik tidak stabil.
20. Tipe dan dosis tepat cairan resusitasi pada pasien luka bakar tidak di
determinasikan.

Penggunaan kristalloid dan kolloid sebagai cairan resusitasi sering


ditentukan oleh kebanyakan anggota junior pada tim klinis, sebagai tambahan
untuk mempertahankan cairan hipotonik, hasilnya adalah peningkatan dosis
kumulatif sodium dan air melebihi waktu. 46 Peningkatan ini berkaitan
dengan perkembangan edema interstisial dengan dihasilkannya disfungsi
organ. Kaitan antara peningkatan kumulatif keseimbangan positif cairan dan
hasil jangka panjang merugikan telah dilaporkan pada pasien dengan sepsis.
48 Pada percobaan liberal versus goal-directed atau strategi restriksi cairan
pada pasien dengan sindrom distress pernafasan (terkhusus pasien

8
perioperatif), 49, 50 strategi restriksi cairan berkaitan dengan penurunan
morbiditas. Akan tetapi, sejak tidak ada definisi konsensus pada strategi ini,
percobaan kualitas tinggi pada populasi pasien spesifik diperlukan. Meskipun
penggunaan resusitasi cairan adalah satu-satunya intervensi umum dalam
kedokteran, sekarang ini belum tersedia cairan resusitasi yang dianggap ideal.
Pada bukti kualitas tinggi terbaru, sebuah penilaian kembali bagaimana cairan
resusitasi digunakan pada pasien sakit akut itu diperlukan. Pemilihan,
waktu dan dosis cairan intravena seharusnya dievaluasi secara hati-hati,
layaknya pada kasus obat intravena lainnya, dengan maksud memaksimalkan
keefisienan dan meminimalkan toksisitas iatrogenik.

9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Syok hipovolemik merupakan kondisi gawat darurat yang perlu ditangani


segera, karena bila tidak, bisa menyebabkan kematian. Bila kamu melihat orang
yang mengalami gejala-gejala syok hipovolemik, sebaiknya segera hubungi rumah
sakit terdekat untuk minta pertolongan medis. Syok hipovolemik didiagnosis
ketika ditemukan tanda berupa ketidak-stabilan hemodinamik dan ditemukan
adanya sumber pendarahan. Diagnosis akan sulit bila pendarahan tidak ditemukan
dengan jelas atau berada dalam traktus gastrointestinal atau hanya terjadi
penurunan jumlah plasma darah. Setelah pendarahan maka biasanya hemoglobin
dan hematokrit tidak langsung turun sampai terjadi gangguan kompensasi atau
terjadi penggantian cairan dari luar. Jadi kadar hematokrit di awal tidak menjadi
pegangan sebagai adanya pendarahan. Kehilangan plasma ditandai dengan
hemokonsentrasi, kehilangan cairan bebas ditandai dengan hipernatremia. Temuan
terhadap hal ini semakin meningkatkan kecurigaan adanya hipovolemia .

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa :

1. Syok merupakan suatu keadaan gawat darurat yang sering terjadi pada
anak akibat adanya kegagalan sirkulasi dalam memenuhi kebutuhan oksigen dan
nutrisi jaringan.

2. Pada keadaan kegawatdaruratan, lakukan PAT dan periksa tanda-tanda


vital untuk mengetahui jenis syok serta derajat syok.

3. Syok harus segera ditatalaksana sesuai dengan jenis syok

4. Resusitasi cairan merupakan salah satu tatalaksana syok

5. Pemberian obat-obatan inotropik dapat meningkatkan kontraktilitas


miokard dan memiliki berbagai macam efek pada resisten vaskular perifer pada
pasien syok dan tidak terkompensasi

10
3.2 Saran

Bila kamu melihat orang yang mengalami gejala-gejala syok hipovolemik,


sebaiknya segera hubungi rumah sakit terdekat untuk minta pertolongan medis.
Sambil menunggu bantuan medis tersebut datang, berikut penanganan sementara
yang bisa kamu lakukan pada pengidap syok hipovolemik:

Jangan memberikan air minum atau cairan apapun kepada pengidap. Namun,
bila syok hipovolemik terjadi karena dehidrasi (seperti akibat diare dan muntah),
maka pengidap harus diberikan minum air putih.Bila kamu melihat ada cedera di
bagian kepala, tungkai, leher atau punggung pengidap, jangan ubah posisinya.
Biarkan pengidap tetap berbaring pada posisinya saat itu dan tunggu sampai
petugas medis datang untuk membawanya. Namun, bila pengidap berada dalam
posisi yang cukup berbahaya, misalnya dekat dengan benda yang mudah meledak,
kamu perlu memindahkan posisi pengidap.Bila pengidap syok hipovolemik tidak
mengalami cedera apapun, kamu bisa memposisikan tubuh pengidap pada
permukaan yang rata, yaitu kepala sejajar dengan tungkai. Bila memungkinkan,
angkat kaki pengidap sekitar 30 sentimeter lebih tinggi daripada posisi
kepala.Jangan mencabut benda tajam yang menancap di tubuh pengidap. Biarkan
petugas medis atau tenaga ahli yang mencabut benda tajam tersebut.Kamu juga
bisa menekan titik perdarahan dengan menggunakan kain atau handuk untuk
mengurangi jumlah darah yang terbuang. Bila perlu, ikatkan kain atau handuk
tersebut.Selimuti tubuh pengidap untuk meningkatkan suhu tubuhnya agar
pengidap tidak mengalami hipotermia.Untuk pengidap yang mengalami cedera di
leher atau kepala, segera berikan penyangga terlebih dahulu di bagian lehernya
sebelum dipindahkan dengan menggunakan ambulans.

Itulah beberapa penanganan pertama yang bisa kamu lakukan terhadap


pengidap syok hipovolemik. Untuk mencegah terjadinya perdarahan, kamu juga
dianjurkan untuk berhati-hati saat beraktivitas. Gunakanlah pelindung kepala saat
berkendara atau melakukan aktivitas fisik.

11
Jangan memberikan air minum atau cairan apapun kepada pengidap. Namun,
bila syok hipovolemik terjadi karena dehidrasi (seperti akibat diare dan muntah),
maka pengidap harus diberikan minum air putih.Bila kamu melihat ada cedera di
bagian kepala, tungkai, leher atau punggung pengidap, jangan ubah posisinya.
Biarkan pengidap tetap berbaring pada posisinya saat itu dan tunggu sampai
petugas medis datang untuk membawanya. Namun, bila pengidap berada dalam
posisi yang cukup berbahaya, misalnya dekat dengan benda yang mudah meledak,
kamu perlu memindahkan posisi pengidap.Bila pengidap syok hipovolemik tidak
mengalami cedera apapun, kamu bisa memposisikan tubuh pengidap pada
permukaan yang rata, yaitu kepala sejajar dengan tungkai. Bila memungkinkan,
angkat kaki pengidap sekitar 30 sentimeter lebih tinggi daripada posisi
kepala.Jangan mencabut benda tajam yang menancap di tubuh pengidap. Biarkan
petugas medis atau tenaga ahli yang mencabut benda tajam tersebut.Kamu juga
bisa menekan titik perdarahan dengan menggunakan kain atau handuk untuk
mengurangi jumlah darah yang terbuang. Bila perlu, ikatkan kain atau handuk
tersebut.Selimuti tubuh pengidap untuk meningkatkan suhu tubuhnya agar
pengidap tidak mengalami hipotermia.Untuk pengidap yang mengalami cedera di
leher atau kepala, segera berikan penyangga terlebih dahulu di bagian lehernya
sebelum dipindahkan dengan menggunakan ambulans.

Itulah beberapa penanganan pertama yang bisa kamu lakukan terhadap


pengidap syok hipovolemik. Untuk mencegah terjadinya perdarahan, kamu juga
dianjurkan untuk berhati-hati saat beraktivitas. Gunakanlah pelindung kepala saat
berkendara atau melakukan aktivitas fisik.

12
DAFTAR PUSTAKA

Rewa, O. and Bagshaw, S.M. 2015. Principles of Fluid Management.

Elsevier Inc. p.3-6

Rab H. (1998). Agenda gawat darurat (Critical Care) : pengetasan kritis pada
intergumenter- luka bakar. Bandung : PT. Alumni.

Mlcak RP, Suman OE, Herndon DN. (2006). Respiratory management of


inhalation injury - Burns Journal.

Frankel LR, Kache S. Shock. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HD,
Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia:
W.B. Saunders Company; 2007. h.413-20.

McNutt S, Denninghoff KR, Temdrup T. Shock: rapid recognition and


appropriate ED intervention. Emerg Med Pract 2000;2:1-24.

McKiernan CA, Lieberman SA. Circulatory shock in children: an overview.


Pediatr Rev 2005;26:451-9.

Bierley J, Carcillo JA, Choong K, Cornell T, DeCaen A, Deymann A, et al.


Clinical practice parameters for hemodynamic support of pediatric and neonatal
septic shock: 2007 update from the American College of Critical Care Medicine.
Crit Care Med 2009;37:666-85

Yager P, Noviski N. Shock. Pediatr Rev 2010;31:3119

Arikan AA, Citak A. Pediatric shock. Signa Vitae. 2008;3:13-23

Pedoman Diagnosa dan Terapi Berdasarkan Gejala dan Keluhan. Prosedur Tetap
Standar Pelayanan Medis IRD RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. 1997.

Soegijanto S, et all. Demam Berdarah Dengue. Pedoman Diagnosa dan Terapi


Lab/UPF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. 1994.

13
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1985. p.607-21.

14

Anda mungkin juga menyukai