PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui apa definisi resusitasi cairan
b. Untuk mengetahui dasar terapi resusitasi cairan
c. Untuk mengetahui apa saja komposisi cairan tubuh resusitasi cairan
d. Untuk mengetahui apa saja derajat dehidrasi resusitasi cairan
e. Untuk mengetahui berapa kebutuhan normal untuk rumatan resusitasi cairan
f. Untuk mengetahui apa saja terapi resusitasi cairan
g. Untuk Mengetahui bagaimana konsep asuhan keperawatan Resusitasi cairan
1
1.4 Manfaat
Dalam pembahasan makalah ini dapat memberikan manfaat dalam
memahami lebih lanjut mengenai resusitasi cairan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Pria Wanita
Kurus 65% 55%
Sedang 60% 50%
Gemuk 55% 45%
Kehilangan cairan non-perdarahan (dehidrasi)
2.3 Derajat Dehidrasi
Penggantian Cairan :
1. Tentukan derajat dehidrasi pasien
2. Hitung kekurangan / defisit cairan, berdasarkan derajat dehidrasi dikali dengan
BB
3. Bila dehidrasi ringan dan sedang langsung ke rehidrasi tahap lambat, namun
bila dehidrasi berat dimulai dengan rehidrasi tahap cepat kemudian dievaluasi
dilanjutkan ke tahap rehidrasi lambat bila rehidrasi cepat berhasil.
4. Tahap cepat : 20 – 40 ml/kgBB guyur dalam waktu ½ -1 jam
Tahap lambat : 50% sisa defisit cairan + rumatan, diberikan dalam 8 jam
pertama 50% sisa defisit cairan + rumatan diberikan dalam 16 jam kedua
Dehidrasi tahap cepat untuk mengembalikan fungsi hemodinamik menuju
normal ditandai dengan membaiknya fungsi hemodinamik ( MAP , HR,
perfusi perifer), membaiknya perfusi organ (urine mulai keluar, jernih)
4
Sebagai contoh : kebutuhan cairan rumatan untuk berat badan 60 kg
adalah:
10x4 + 10x2 + 40x1= 100 mL/jam
CAIRAN PENGGANTI
Kristaloid : Ringer laktat, Ringer Asetat, NaCl 0.9%
Koloid : HES 6%, Gelatin, Albumin5%
(tabel ini digunakan untuk menentukan derajad perdarahan yang sudah terjadi
berdasarkan hasil pemeriksaan pada saat ini)
5
2.5 Fase terapi cairan
Kebutuhan cairan untuk pasien dalam kondisi kritis tidak tetap melainkan
sesuai dengan fase dari kondisi akut tersebut. Sebuah kerangka konseptual
menguraikan 4 fase berbeda yang berhubungan dengan resusitasi. Fase
tersebut adalah rescue, optimization, stabilization, dan de- escalation (Rewa
dan Bagshaw, 2015). Hubungan antara keseimbangan cairan dan fase–fase
pada resusitasi ditunjukkan oleh
1. Rescue
Fase ini adalah fase penyelamatan yang memiliki ciri-ciri terdapat syok
yang mengancam jiwa, hipotensi dan perfusi organ yang lemah. Pada fase
ini, pasien mendapat terapi cairan bolus cepat sebagai perawatan untuk
mengganti volume syok dan memperbaiki perfusi organ. Dalam waktu
yang bersamaan, juga dilakukan identifikasi kemungkinan terjadinya
trauma mayor, sepsis, atau pendarahan gastrointestinal (Rewa dan
Bagshaw, 2015).
2. Optimization
Fase ini tidak berada lama dari syok yang mengancam jiwa tetapi sering
membutuhkan terapi cairan untuk mengoptimalkan fungsi jantung,
memperpanjang perfusi jaringan dan mengurangi disfungsi organ. Selama
optimisasi, terapi cairan menggunakan volume cairan 250-500 ml lebih
dari 15-20 menit sering diberikan untuk mengevaluasi efek penambahan
terapi cairan pada target akhir resusitasi (Rewa dan Bagshaw, 2015).
3. Stabilization
Tujuan utama dari fase ini adalah memberikan support organ secara terus
menerus, mencegah disfungsi organ yang memburuk dan menghindari
komplikasi iatrogenic. Kebutuhan cairan selama fase ini sebagian untuk
mempertahankan hemostasis volume intravaskular dan menggantikan
secara terus-menerus cairan yang keluar (Rewa dan Bagshaw, 2015).
4. De-escalation
Pada fase final ini terjadi penyembuhan secara terus menerus untuk pasien
yang mulai melepaskan ventilatori dan mendukung vasoaktif serta
akumulasi dari cairan dimobilisasi dan dihilangkan. Deresuscitation
6
bermaksud untuk mencapai keseimbangan cairan negatif dan mengurangi
atau mencegah toksisitas dari terapi cairan. Strategi konservasi manajemen
cairan yang terlambat dan tercapainya keseimbangan cairan negatif
berhubungan dengan perbaikan hasil dari pengobatan (Rewa dan Bagshaw,
2015).
7
8. Oliguria adalah respon normal untuk hipovolemia dan seharusnya tidak
digunakan semata-mata sebagai pemicu atau titik akhir untuk resusitasi
cairan, terutama pada periode post-resusitasi.
9. Penggunaan cairan dalam periode post resusitasi (> 24 jam) itu diragukan.
10. Penggunaan cairan resusitasi hipotonik untuk pemeliharaan diragukan
ketika dehidrasi dikoreksi. Mempergunakan pertimbangan spesifik untuk
pasien kategori berbeda
11. Pasien dengan perdarahan perlu mengontrol perdarahnnya dan transfusi
dengan sel darah merah dan komponen darah sebagai indikasi.
12. Isotonis, larutan garam seimbang adalah cairan resusitasi awal yang
dipandang cocok untuk kebanyakan pasien sakit akut.
13. Pertimbangkan salin cocok untuk pasien hipovolemia dan alkalosis
14. Pertimbangkan albumin selama resusitasi awal pasien dengan sepsis berat.
15. Salin atau kristalloid isotonik diindikasikan pada pasien dengan cedera
trauma otak.
16. Albumin tidak diindikasikan pada pasien dengan cedera trauma otak.
17. HES tidak diindikasikan pada pasien dengan sepsis atau pada yang
beresiko gagal ginjal akut.
18. Keamanan kolloid semi sintetik lain tidak stabil, jadi penggunaan larutan
tersebut tidak direkomendasikan.
19. Keamanan salin hipertonik tidak stabil.
20. Tipe dan dosis tepat cairan resusitasi pada pasien luka bakar tidak di
determinasikan.
8
perioperatif), 49, 50 strategi restriksi cairan berkaitan dengan penurunan
morbiditas. Akan tetapi, sejak tidak ada definisi konsensus pada strategi ini,
percobaan kualitas tinggi pada populasi pasien spesifik diperlukan. Meskipun
penggunaan resusitasi cairan adalah satu-satunya intervensi umum dalam
kedokteran, sekarang ini belum tersedia cairan resusitasi yang dianggap ideal.
Pada bukti kualitas tinggi terbaru, sebuah penilaian kembali bagaimana cairan
resusitasi digunakan pada pasien sakit akut itu diperlukan. Pemilihan,
waktu dan dosis cairan intravena seharusnya dievaluasi secara hati-hati,
layaknya pada kasus obat intravena lainnya, dengan maksud memaksimalkan
keefisienan dan meminimalkan toksisitas iatrogenik.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Syok merupakan suatu keadaan gawat darurat yang sering terjadi pada
anak akibat adanya kegagalan sirkulasi dalam memenuhi kebutuhan oksigen dan
nutrisi jaringan.
10
3.2 Saran
Jangan memberikan air minum atau cairan apapun kepada pengidap. Namun,
bila syok hipovolemik terjadi karena dehidrasi (seperti akibat diare dan muntah),
maka pengidap harus diberikan minum air putih.Bila kamu melihat ada cedera di
bagian kepala, tungkai, leher atau punggung pengidap, jangan ubah posisinya.
Biarkan pengidap tetap berbaring pada posisinya saat itu dan tunggu sampai
petugas medis datang untuk membawanya. Namun, bila pengidap berada dalam
posisi yang cukup berbahaya, misalnya dekat dengan benda yang mudah meledak,
kamu perlu memindahkan posisi pengidap.Bila pengidap syok hipovolemik tidak
mengalami cedera apapun, kamu bisa memposisikan tubuh pengidap pada
permukaan yang rata, yaitu kepala sejajar dengan tungkai. Bila memungkinkan,
angkat kaki pengidap sekitar 30 sentimeter lebih tinggi daripada posisi
kepala.Jangan mencabut benda tajam yang menancap di tubuh pengidap. Biarkan
petugas medis atau tenaga ahli yang mencabut benda tajam tersebut.Kamu juga
bisa menekan titik perdarahan dengan menggunakan kain atau handuk untuk
mengurangi jumlah darah yang terbuang. Bila perlu, ikatkan kain atau handuk
tersebut.Selimuti tubuh pengidap untuk meningkatkan suhu tubuhnya agar
pengidap tidak mengalami hipotermia.Untuk pengidap yang mengalami cedera di
leher atau kepala, segera berikan penyangga terlebih dahulu di bagian lehernya
sebelum dipindahkan dengan menggunakan ambulans.
11
Jangan memberikan air minum atau cairan apapun kepada pengidap. Namun,
bila syok hipovolemik terjadi karena dehidrasi (seperti akibat diare dan muntah),
maka pengidap harus diberikan minum air putih.Bila kamu melihat ada cedera di
bagian kepala, tungkai, leher atau punggung pengidap, jangan ubah posisinya.
Biarkan pengidap tetap berbaring pada posisinya saat itu dan tunggu sampai
petugas medis datang untuk membawanya. Namun, bila pengidap berada dalam
posisi yang cukup berbahaya, misalnya dekat dengan benda yang mudah meledak,
kamu perlu memindahkan posisi pengidap.Bila pengidap syok hipovolemik tidak
mengalami cedera apapun, kamu bisa memposisikan tubuh pengidap pada
permukaan yang rata, yaitu kepala sejajar dengan tungkai. Bila memungkinkan,
angkat kaki pengidap sekitar 30 sentimeter lebih tinggi daripada posisi
kepala.Jangan mencabut benda tajam yang menancap di tubuh pengidap. Biarkan
petugas medis atau tenaga ahli yang mencabut benda tajam tersebut.Kamu juga
bisa menekan titik perdarahan dengan menggunakan kain atau handuk untuk
mengurangi jumlah darah yang terbuang. Bila perlu, ikatkan kain atau handuk
tersebut.Selimuti tubuh pengidap untuk meningkatkan suhu tubuhnya agar
pengidap tidak mengalami hipotermia.Untuk pengidap yang mengalami cedera di
leher atau kepala, segera berikan penyangga terlebih dahulu di bagian lehernya
sebelum dipindahkan dengan menggunakan ambulans.
12
DAFTAR PUSTAKA
Rab H. (1998). Agenda gawat darurat (Critical Care) : pengetasan kritis pada
intergumenter- luka bakar. Bandung : PT. Alumni.
Frankel LR, Kache S. Shock. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HD,
Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia:
W.B. Saunders Company; 2007. h.413-20.
Pedoman Diagnosa dan Terapi Berdasarkan Gejala dan Keluhan. Prosedur Tetap
Standar Pelayanan Medis IRD RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. 1997.
13
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1985. p.607-21.
14