KELOMPOK 5 :
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan atau tulang
rawan yang disebabkan oleh rudapaksa (trauma atau tenaga fisik). Untuk
memperbaiki posisi fragmen tulang pada fraktur terbuka yang tidak dapat
direposisi tapi sulit dipertahankan dan untuk memberikan hasil yang lebih
baik maka perlu dilakukan tindakan operasi ORIF (Open Rreduktion
wityh Internal Fixation).
Sistem muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan
mengurus pergerakan. Komponen utama dari sistem muskuloskeletal
adalah tulang dan jaringan ikat yang menyusun kurang lebih 25 % berat
badan dan otot menyusun kurang lebih 50%. Sistem ini terdiri dari tulang,
sendi, otot rangka, tendon, ligament, dan jaringan-jaringan khusus yang
menghubungkan struktur-struktur ini.
Tulang adalah jaringan yang paling keras diantara jaringan ikat
lainnya yang terdiri atas hampir 50 % air dan bagian padat, selebihnya
terdiri dari bahan mineral terutama calsium kurang lebih 67 % dan bahan
seluler 33%.
Kecelakaan lalu lintas sering sekali terjadi di negara kita,
khususnya di kota ini. Ratusan orang meninggal dan luka-luka tiap tahun
karena peristiwa ini. Memang di negara ini, kasus kecelakaan lalu lintas
sangat tinggi. Kecelakaan lalu-lintas merupakan pembunuh nomor tiga di
Indonesia, setelah penyakit jantung dan stroke. Menurut data kepolisian
Republik Indonesia Tahun 2003, jumlah kecelakaan di jalan mencapai
13.399 kejadian, dengan kematian mencapai 9.865 orang, 6.142 orang
mengalami luka berat, dan 8.694 mengalami luka ringan. Dengan data itu,
rata-rata setiap hari, terjadi 40 kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan
30 orang meninggal dunia. Adapun di Sulawesi Selatan, jumlah
kecelakaan juga cenderung meningkat di mana pada tahun 2001 jumlah
korban mencapai 1717 orang, tahun selanjutnya 2.277 orang, 2003
sebanyak 2.672 orang. Tahun 2004, jumlah ini meningkat menjadi 3.977
orang. Tahun 2005 dari Januari sampai September, jumlah korban
mencapai 3.620 orang dengan korban meninggal 903 orang.
Trauma yang paling sering terjadi dalam sebuah kecelakaan adalah
fraktur (patah tulang). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh tekanan atau
rudapaksa. Fraktur dibagi atas fraktur terbuka, yaitu jika patahan tulang
itu menembus kulit sehingga berhubungan dengan udara luar, dan fraktur
tertutup, yaitu jika fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar.
Secara umum, fraktur terbuka bisa diketahui dengan melihat adanya
tulang yang menusuk kulit dari dalam, biasanya disertai perdarahan.
Adapun fraktur tertutup, bisa diketahui dengan melihat bagian yang
dicurigai mengalami pembengkakan, terdapat kelainan bentuk berupa
sudut yang bisa mengarah ke samping, depan, atau belakang.
Selain itu, ditemukan nyeri gerak, nyeri tekan, dan perpendekan
tulang. Dalam kenyataan sehari-hari, fraktur yang sering terjadi adalah
fraktur ekstremitas dan fraktur vertebra. Fraktur ekstremitas mencakup
fraktur pada tulang lengan atas, lengan bawah, tangan, tungkai atas,
tungkai bawah, dan kaki. Dari semua jenis fraktur, fraktur tungkai atas
atau lazimnya disebut fraktur femur (tulang paha) memiliki insiden yang
cukup tinggi. Umumnya fraktur femur terjadi pada batang femur 1/3
tengah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja anatomi tulang?
2. Apa itu fraktur?
3. Apa saja etiologi dari fraktur ?
4. Apa saja manifestasi klinik dari fraktur ?
5. Bagaimana patofisiologi dari fraktur ?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang fraktur?
7. Apa saja penatalaksanaan medis fraktur?
8. Apa saja komplikasi fraktur ?
9. Bagaimana konsep askep dari fraktur ?
.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui anatomi tulang
2. Untuk mengetahui apa itu fraktur
3. Untuk mengetahui apa saja etiologi dari fraktur
4. Untuk mengetahui apa saja manifestasi klinik dari fraktur
5. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dari fraktur
6. Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang fraktur
7. Untuk mengetahui apa saja penatalaksanaan medis fraktur
8. Untuk mengetahui apa saja komplikasi fraktur
9. Untuk mengetahui Bagaimana konsep askep dari fraktur
BAB II
PEMBAHASAN
A. Anatomi
1. Struktur Tulang
Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk ataupun ukuran,
tapi mereka masih punya struktur yang sama. Lapisan yang paling luar
disebut Periosteum dimana terdapat pembuluh darah dan saraf.
Lapisan dibawah periosteum mengikat tulang dengan benang kolagen
disebut benang sharpey, yang masuk ke tulang disebut korteks. Karena
itu korteks sifatnya keras dan tebal sehingga disebut tulang kompak.
Korteks tersusun solid dan sangat kuat yang disusun dalam unit
struktural yang disebut Sistem Haversian. Tiap sistem terdiri atas
kanal utama yang disebut Kanal Haversian. Lapisan melingkar dari
matriks tulang disebut Lamellae, ruangan sempit antara lamellae
disebut Lakunae (didalamnya terdapat osteosit) dan Kanalikuli. Tiap
sistem kelihatan seperti lingkaran yang menyatu. Kanal Haversian
terdapat sepanjang tulang panjang dan di dalamnya terdapat pembuluh
darah dan saraf yang masuk ke tulang melalui Kanal Volkman.
Pembuluh darah inilah yang mengangkut nutrisi untuk tulang dan
membuang sisa metabolisme keluar tulang. Lapisan tengah tulang
merupakan akhir dari sistem Haversian, yang didalamnya terdapat
Trabekulae (batang) dari tulang.Trabekulae ini terlihat seperti spon
tapi kuat sehingga disebut Tulang Spon yang didalamnya terdapat
bonemarrow yang membentuk sel-sel darah merah. Bone Marrow ini
terdiri atas dua macam yaitu bonemarrow merah yang memproduksi
sel darah merah melalui proses hematopoiesis dan bonemarrow
kuning yang terdiri atas sel-sel lemak dimana jika dalam proses
fraktur bisa menyebabkan Fat EmbolismSyndrom (FES).
Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast.
Osteoblast merupakan sel pembentuk tulang yang berada di bawah
tulang baru. Osteosit adalah osteoblast yang ada pada matriks.
Sedangkan osteoklast adalah sel penghancur tulang dengan menyerap
kembali sel tulang yang rusak maupun yang tua. Sel tulang ini diikat
oleh elemen-elemen ekstra seluler yang disebut matriks. Matriks ini
dibentuk oleh benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral, dan
substansi dasar (gelatin) yang berfungsi sebagai media dalam difusi
nutrisi, oksigen, dan sampah metabolisme antara tulang daengan
pembuluh darah. Selain itu, didalamnya terkandung garam kalsium
organik (kalsium dan fosfat) yang menyebabkan tulang
keras.sedangkan aliran darah dalam tulang antara 200 – 400 ml/ menit
melalui proses vaskularisasi tulang (Black,J.M,et al,1993 dan
Ignatavicius, Donna. D,1995).
2. Tulang Panjang
3. Tulang Humerus
Tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu kaput (ujung atas),
korpus, dan ujung bawah.
a. Kaput
Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala, yang
membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapla dan merupakan
bagian dari banguan sendi bahu. Dibawahnya terdapat bagian yang
lebih ramping disebut leher anatomik. Disebelah luar ujung atas
dibawah leher anatomik terdapat sebuah benjolan, yaitu
Tuberositas Mayor dan disebelah depan terdapat sebuah benjolan
lebih kecil yaitu Tuberositas Minor. Diantaratuberositas terdapat
celah bisipital (sulkusintertuberkularis) yang membuat tendon dari
otot bisep. Dibawahtuberositas terdapat leher chirurgis yang
mudah terjadi fraktur.
b. Korpus
c. Ujung Bawah
Fungsi Tulang
B. Definisi
Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang
rawan yang disebabkan oleh kekerasan. (E. Oerswari, 1989 : 144).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Mansjoer, 2000 : 347).
Fraktur tertutup adalah bila tidak ada hubungan patah tulang
dengan dunia luar. Fraktur terbuka adalah fragmen tulang meluas
melewati otot dan kulit, dimana potensial untuk terjadi infeksi
(Sjamsuhidajat, 1999 : 1138).
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang
bisa terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari
ketinggian), dan biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki dewasa.
Patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak,
mengakibatkan pendertia jatuh dalam syok (FKUI, 1995:543).
Fraktur olecranon adalah fraktur yang terjadi pada siku yang
disebabkan oleh kekerasan langsung, biasanya kominuta dan disertai oleh
fraktur lain atau dislokasi anterior dari sendi tersebut (FKUI, 1995:553).
Klasifikasi fraktur secara umum:
1. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna,
radius dan cruris dst).
2. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur:
a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh
penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang).
b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui
seluruh garis penampang tulang).
3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih
dari satu dan saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih
dari satu tapi tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari
satu tapi tidak pada tulang yang sama.
4. Berdasarkan posisi fragmen :
a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah
lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan
periosteum masih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran
fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen
5. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga
fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi
tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
1. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau
tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
2. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau
memar kulit dan jaringan subkutan.
3. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan
kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan.
4. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan
jaringan lunak yang nyata ddan ancaman
sindroma kompartement.
b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat
hubungan antara hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade
yaitu :
1. Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1
cm.
2. Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan
jaringan lunak yang ekstensif.
3. Grade III : sangat terkontaminasi, dan
mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif.
6. Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan
mekanisme trauma:
a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang
pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi
atau langsung.
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya
membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan
meruakan akibat trauma angulasi juga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya
berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma
aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah
permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena
trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada
tulang.
7. Berdasarkan kedudukan tulangnya :
a. Tidak adanya dislokasi.
b. Adanya dislokasi
1. At axim : membentuk sudut.
2. At lotus : fragmen tulang berjauhan.
3. At longitudinal : berjauhan memanjang.
4. At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan
memendek.
8. Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal
9. Fraktur Kelelahan : Fraktur akibat tekanan yang
berulang-ulang.
10. Fraktur Patologis : Fraktur yang diakibatkan karena
proses patologis tulang.
C. Etiologi
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik
terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat
fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat
yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya
adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor
kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan
dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan. (Oswari E, 1993)
D. Manifestasi klinis
Manifestasi fraktur menurut Brunner & Suddarth (2005) adalah
nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus,
pembengkakan local dan perubahan warna.
1. Faktor Ekstrinsik
2. Faktor Intrinsik
4. Stadium Empat-Konsolidasi
5. Stadium Lima-Remodelling
F. Pathway
Trauma
Fraktur
Cedera sel Luka
terbuka
Resiko Infeksi
Nociceptor Medulla spinalis
Korteks serebri
Nyeri
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik fraktur yaitu:
- Observasi warna
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
c. Fat EmbolismSyndrom
d. Infeksi
e. Avaskuler Nekrosis
f. Shock
a. Delayed Union
b. Nonunion
c. Malunion
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Survai Primari pada klien fraktur
a. Airway
Penilaian kelancaran airway pada klien yang
mengalami fraktur, meliputi pemeriksaan adanya obstruksi
jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur
wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau
trachea. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus
melindungi vertebra servikal karena kemungkinan
patahnya tulang servikal harus selalu diperhitungkan.
Dalam hal ini dapat dilakukan chin lift, tetapi tidak boleh
mengakibatkan hiperekstensi leher.
Cara melakukan chinlift dengan menggunakan jari-
jari satu tangan yang diletakan dibawah mandibula,
kemudian mendorong dagu ke anterior. Ibu jari tangan
yang sama sedikit menekan bibir bawah untuk membuka
mulut dan jika diperlukan ibu jari dapat diletakkan didalam
mulut dibelakang gigi seri untuk mengangkat dagu. Jaw
trust juga merupakan tekhnik untuk membebaskan jalan
nafas. Tindakan ini dilakukan oleh dua tangan masing-
masing satu tangan dibelakang angulus mandibula dan
menarik rahang ke depan. Bila tindakan ini dilakukan
memakai face-mask akan dicapai penutupan sempurna dari
mulut sehingga dapat dilakukan ventilasi yang baik. Jika
kesadaran klien menurun pembebasan jalan nafas dapat
dipasang guedel (oro-pharyngeal airway) dimasukkan
kedalam mulut dan diletakkan dibelakang lidah.
Cara terbaik adalah dengan menekan lidah dengan
tongue spatol dan mendorong lidah kebelakang, karena
dapat menyumbat fariks. Pada klien sadar tidak boleh
dipakai alat ini, karena dapat menyebabkan muntah dan
terjadi aspirasi. Cara lain dapat dilakukan dengan
memasukkan guedel secara terbalik sampai menyentuh
palatum molle, lalu alat diputar 180o dan diletakkan
dibelakang lidah. Naso-Pharyngeal airway juga merupakan
salah satu alat untuk membebaskan jalan nafas. Alat ini
dimasukkan pada salah satu lubang hidung yang tidak
tersumbat secara perlahan dimasukkan sehingga ujungnya
terletak di fariks. Jika pada saat pemasangan mengalami
hambatan berhenti dan pindah kelubang hidung yang
satunya. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas,
harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi,
fleksi atau rotasi leher.
b. Breathing
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi
yang baik. Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas
mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan
karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi
fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma.
Dada klien harus dibuka untuk melihat pernafasan yang
baik. Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya
udara ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai
adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Inspeksi dan
palpasi dapat mengetahui kelainan dinding dada yang
mungkin mengganggu ventilasi. Evaluasi kesulitan
pernafasan karena edema pada klien cedera wajah dan
leher. Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi
yang berat adalah tension pneumothoraks, flail chest
dengan kontusio paru, open pneumothoraks dan
hemathotoraks massif. Jika terjadi hal yang demikian
siapkan klien untuk intubasi trakea atau trakeostomi sesuai
indikasi.
c. Circulation
Control pendarahan bena dengan menekan
langsung sisi area perdarahan bersamaan dengan tekanan
jari pada arteri paling dekat dengan area perdarahan. Kaji
tanda-tanda syok yaitu penurunan tekanan darah, kulit
dingin, lembab dan nadi halus. Darah yang keluar
berkaitan dengan fraktur femur dan pelvis. Pertahankan
tekanan darah dengan infuse IV, plasma. Berikan transfuse
untuk terapi komponen darah sesuai ketentuan setelah
tersedia darah. Berikan oksigen karena obstruksi jantung
paru menyebabkan penurunan suplai oksigen pada jaringan
menyebabkan kolaps sirkulsi. Pembebatan ekstremitas dan
pengendalian nyeri penting dalam mengatasi syok yang
menyertai fraktur.
d. Disability/evaluasi neurologis
Dievalusai keadaan neurologisnya secara cepat, yaitu
tingkat kesadaran ukuran dan reaksi pupil. Penurunan
kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigen atau
penurunan perfusi ke otak atau perlukaan pada otak.
Perubahan kesadaran menuntutu dilakukannya
pemeriksaan terhadap keadaan ventilasi, perfusi dan
oksigenasi.
e. Exporsur/ control lingkungan
Di Rs klien harus dibuka keseluruhan
pakainnya,untuk evaluasi klien. Setelah pakaian dibuka,
penting agar klin tidak kedinginan, harus diberikan selimut
hangat dan diberikan cairan intravena yang sudah
dihangatkan.
2. Survai skunder
1) Kaji riwayat trauma, mengetahui riwayat trauma, karena
penampilan luka kadang tidak sesuai dedngan parahnya
cidera, jika ada saksi seseorang dapat menceritakan
kejadiannya sementara petugas melakukan pemeriksaan
klien.
2) Kaji seluruh tubuh dengan pemeriksaan fisik dari kepa;a
sampai kaku secara sistematis, inspeksi adanya laserasi
bengkak dan deformitas.
3) Pemeriksaan Fisik (Review of Systems)
a. B1 – Breath (Pernafasan)
Memperhatikan pola nafas klien. Pola nafas yang cepat
dan ireguler mengindikasikan klien merasakan nyeri
pada angota bagian tubuhnya.
b. B2 – Blood (Kardiovaskuler)
Memperhatikan irama dan frekuensi denyut jantung,
reguler/ireguler.
Perabaan denyut nadi perifer untuk
mengindikasikan kemungkinanadanya perdarahan
didalam dekat jaringan yang mengalami
fraktur,sehingga nadi teraba cepat namun lemah.
c. B3 – Brain (Perkemihan)
Tingkat kesadaran klien dapat dikaji lewat pertanyaan-
pertanyaanseperti nama dan alamat klien, dan
menentukan nilai GCS klien.
d. B4 – Bladder (Perkemihan)
Memeriksan jumlah, warna, dan karaktersitik urine. Ada
atau tidaknyadistensi kandung kemih.
e. B5 – Bowel (Pencernaan)
Penilaian apda rongga mulut, ada tidaknya lesi pada
mulut atauperubahan pada lidah menunjukkan adanya
dehidrasi. Ada atautidaknya bising usus. Ada atau
tidaknya distensi abdomen.
f. B6 – Bone (Muskuloskeletal)
Perhatikan warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor
kulit. Kebiruanmenunjukkan sianosis, kemerahan
menunjukkan adanya infeksi atauperdarahan. Warna
kulit pucat menandakan klien memiliki
kadarHemoglobin (Hb) yang rendah. Mengkaji rentang
gerak dan kekuatanekstremitas klien, dan juga melihat
integritas atau keutuhan kulitklien.
4) Kaji kemungkinan adanya fraktur multiple:
a) Trauma pada tungkai akibat jatuh dari ketinggian
sering disertai dengan trauma pada lumbal
b) Trauma pada lutut saat pasien jatuh dengan posisi
duduk dapat disertai dengan trauma panggul
c) Trauma lengan sering menyebabkan trauma pada
siku sehingga lengan dan siku harus dievakuasi
bersamaan.
d) Trauma proksimal fibula dan lutut sering
menyebabkan trauma pada tungkai bawah.
5) Kaji adanya nyeri pada area fraktur dan dislokasi
6) Kaji adanya krepitasi pada area fraktur
7) Kaji adanya perdarahan dan syok terutama pada fraktur
pelvis dan femur.
8) Kaji adanya sindrom kompartemen, fraktur terbuka,
tertutup dapat menyebabkan perdarahan atau hematoma
pada daerah yang tertutup sehingga menyebabkan
penekanan saraf.
9) Kaji TTV secara continue.
B. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera
fisik(mis.,abses,amputasi,luka bakar,terpotong,mengangkat
berat,prosedur bedah,tauma,olahraga berlebihan).
2) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan
status metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi
ditandai dengan oleh terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan
berat badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/
ketidaknyamanan, kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan
aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
4) Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons
inflamasi tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan,
luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
C. Intervensi Keperawatan
C. Etiologi
Penyebab sindrom kompartemen secara umum dibedakan menjadi dua:
1. Peningkatan volume intra-kompartemen dengan luas ruang kompartemen
tetap; dapat disebabkan oleh:
a. Fraktur yang menyebabkan robekan pembuluh darah, sehingga darah
mengisi ruang intra-kompartemen
b. Trauma langsung jaringan otot yang menyebabkan pembengkakan
c. .Luka bakar yang menyebabkan perpindahan cairan ke ruang intra-
kompartemen
2. Penurunan luas ruang kompartemen dengan volume intra-kompartemen
yang tetap
a. Kompresi tungkai terlalu ketat saat imobilisasi fraktur
b. Luka bakar yang menyebabkan kekakuan/ konstriksi jaringan ikat
sehingga mengurangi ruang kompartemen.
Menurut (Petrus Aprianto, 2017) terdapat berbagai penyebab dapat
meningkatkan tekanan jaringan lokal yang kemudian memicu timbullny
sindrom kompartemen, yaitu antara lain:
1. Penurunan volume kompartemen
Kondisi ini disebabkan oleh:
a. Penutupan defek fascia
b. Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas
2. Peningkatan tekanan eksternal
a. Balutan yang terlalu ketat
b. Berbaring di atas lengan
c. Gips
3. Peningkatan tekanan pada struktur komparteman
Beberapa hal yang bisa menyebabkan kondisi ini antara lain:
a. Pendarahan atau Trauma vaskule
b. Peningkatan permeabilitas kapiler
c. Penggunaan otot yang berlebihan
d. Luka bakar
e. Operasi
Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering
adalah cedera, dimana 45 % kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya
terjadi di anggota gerak bawah.
D. Patofisiologi
Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan
lokal normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan
aliran darah kapiler, dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan
hipoksia.
Tanpa memperhatikan penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan
menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan
tekanan terus meningkat hingga tekanan arteriolar intramuskuler bawah
meninggi. Pada titik ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler,
menyebabkan kebocoran ke dalam kompartemen, sehingga tekanan dalam
kompartemen semakin meningkat. Penekanan saraf perifer disekitarnya
akan menimbulkan nyeri hebat.
Bila terjadi peningkatan intrakompartemen, tekanan vena meningkat.
Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini
penghantaran oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia
jaringan (pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan
nervus, yang akan menyebabkan kerusakan ireversibel komponen
tersebut.
Ada 3 teori tentang penyebab iskemia, yaitu:
1. Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen
2. “Theori of critical closing pressure.” Akibat diameter yang kecil dan
tekanan mural arteriol yang tinggi, tekanan transmural secara
signifikan berbeda (tekanan arteriol-tekanan jaringan) ini
dibutuhkan untuk memelihara patensi. Bila tekanan jaringan
meningkat atau tekanan arteriol menurun perbedaan tidak ada, yaitu
critical closing pressure dicapai, arteriol akan menutup.
3. Karena dinding vena yang tipis, vena akan kolaps bila tekanan
jaringan melebihi tekanan vena. Bila darah mengalir secara kontinyu
dari kapiler, tekanan vena secara kontinyu akan meningkat pula
sampai melebihi tekanan jaringan dan drainase vena dibentuk
kembali.
Sedangkan respon otot terhadap iskemia yaitu dilepaskannya
histamine like substances mengakibatkan dilatasi kapiler dan peningkatan
permeabilitas endotel. Ini berperan penting pada transudasi plasma
dengan endapan sel darah merah ke intramuskular dan menurunkan
mikrosirkulasi.
Alasan yang mendasari untuk peningkatan tekanan pada sindrom
kompartemen yaitu peningkatan isi cairan atau berkurangnya ukuran
kompartemen.
1. Peningkatan isi cairan dapat disebabkan sebagai berikut :
a. Penggunaan otot yang terus-menerus (antara lain : tetanus, kejang)
b. Aktivitas sehari-hari (bersepeda, menunggang kuda)
c. Terbakar
d. Injeksi intraarterial (paling sering karena iatrogenik)
e. Osmolaritas serum menurun
f. Perdarahan (terutama dari cedera pembuluh darah yang besar)
2. Penurunan volume kompartemen dapat disebabkan sebagai berikut :
a. Military Antishock Trousers (MAST)
b. Terbakar
c. Penutupan defek fascia
d. Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas
E. Manifestasi klinis
Pertama-tama akan muncul gejala sensasi nyeri seperti terbakar. Rasa
nyeri terasa di bagian dalam otot tungkai bawah dan akan terasa lebih
nyeri saat digerakkan. Nyeri harus dibedakan dari nyeri trauma primer
akibat fraktur. Gejala lain yang sering menurut ( ENA 2005 ) adalah rasa
kesemutan tungkai bawah yang memberat akibat terjepitnya saraf perifer.
Rasa kesemutan pertama kali dirasakan pada jari pertama dan jari kedua
kaki. Gejala klasik 5P (pain, pallor, parasthesia, pulselessness,
poikilothermia).
1. Pain (nyeri) : nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot
yang terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala
dini yang paling penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak
sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak semakin
gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot
yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan
sering.
2. Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daereah
tersebut.
3. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi )
4. Parestesia (rasa kesemutan)
5. Paralysis : Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf
yang berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena
kompartemen sindrom.
kompartemen osteofasial
Nyeri akut
Ketidakefektifanperfusi jaringan
Penurunan aliran darah kapiler
H. Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus-kasus dengan sindrom kompartemen dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang, antara lain :
1. Laboratorium
Hasil laboratorium biasanya normal dan tidak dibutuhkan untuk
mendiagnosis kompartemen sindrom, tetapi dapat menyingkirkan
diagnosis banding lainnya.
a. Complete Metabolic Profile (CMP)
b. Hitung sel darah lengkap
c. Kreatinin fosfokinase dan urin myoglobin
d. Serum myoglobin
e. Toksikologi urin : dapat membantu menentukan penyebab, tetapi
tidak membantu dalam menentukan terapi pasiennya.
f. Urin awal : bila ditemukan myoglobin pada urin, hal ini dapat
mengarah ke diagnosis rhabdomyolisis.
g. Protrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time
(aPTTT)
2. Imaging
a. Rontgen : pada ekstremitas yang terkena.
b. USG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam
memvisualisasi Deep Vein Thrombosis (DVT)
3. Pemeriksaan Lainnya
a. Pengukuran tekanan kompartemen
Gambar 2. Alat Pengukur Tekanan Kompartemen
J. Pencegahan
1. Lakukan pemeriksaan dengan yang ahli dan dipantau perkembangan
2. Hubungi atau kembali ke rumah sakit bila nyeri terasa berat, kaku,
sensasi terbakar atau kelemahan pada ekstremitas yang terkena.
3. Rujuk bila sindrom kompartemen disertai dengan :
D. (Disability)
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala
AVPU :
1) A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya
mematuhi perintah yang diberikan
2) V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara
yang tidak bisa dimengerti
3) P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai
jika ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal
untuk merespon)
4) U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik
stimulus nyeri maupun stimulus verbal.
E. Ekspose, Examine dan Evaluate
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang
mengancam terjadinya gagal napas, maka Rapid Trauma
Assessment harus segera dilakukan:
1) Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dada dan ekstremitas pada
pasien
2) Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam
nyawa pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada
pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis.
2. Secondary Survey
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita
yang datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang
berasal dari bagian belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan
palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi,
massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan
serta adanya sakit kepala (Delp & Manning. 2004).
b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan
kanan dan kiri. Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai
memeriksa mata, karena pembengkakan di mata akan menyebabkan
pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit. Re evaluasi tingkat
kesadaran dengan skor GCS.
1) Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil
apakah
isokor atau anisokor serta bagaimana reflex
cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau
midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata (macies
visus dan acies campus), apakah konjungtivanya
anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal,
ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan,
serta diplopia
2) Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan
nyeri, penyumbatan
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan)
lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu
fraktur.
3) Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus,
pembengkakan, penurunan
atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter
mengenai keutuhan membrane timpani atau adanya
hemotimpanum
4) Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
5) Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
6) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur,
warna,
kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur,
warna, kelembaban, lesi, apakah tosil meradang,
pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa
ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi
amati adanya tonsil meradang atau tidak
(tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri
c. Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang
atau krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan
disfagia (kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera
tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi
akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema subkutan, deviasi
trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi
segaris dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi.
Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder. .
d. Toraks
1) Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan
belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam ,
ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan,
kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot
pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah
terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung,
(lombardo, 2005)
2) Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma
tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
3) Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan
keredupan
4) Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing,
rales) dan bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)
e. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis,
misalnya pada keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran,
fraktur vertebra dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri
perutnya dan gejala defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada).
Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, untuk adanya trauma
tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal, adakah distensi abdomen,
asites, luka, lecet, memar, ruam, massa, denyutan, benda tertusuk,
ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi bising usus, perkusi
abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen
untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan,
hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,, nyeri lepas yang jelas atau
uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra abdominal,
dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage,
ataupun USG (Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen
misalnya usus halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera
karena itu memerlukan re-evaluasi berulang kali. Pengelolaannya
dengan transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan (Tim YAGD
118, 2010).
f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan
fisik (pelvis menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan
penderita akan masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi.
Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita untuk mengontrol perdarahan dari
fraktur pelvis (Tim YAGD 118, 2010).
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi ,
ruam, lesi, edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra.
Colok dubur harus dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus
diteliti akan kemungkinan adanya darah dari lumen rectum, prostat letak
tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan tonus musculo
sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan
adanya darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat perdarahan vagina
dicatat, karakter dan jumlah kehilangan darah harus dilaporkan (pada
tampon yang penuh memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga harus
dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita usia subur. Permasalahan
yang ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun
jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle injury. Bila terjadi,
kelainan ini sulit dikenali, jika pasien hamil, denyut jantung janin
(pertama kali mendengar dengan Doppler ultrasonografi pada sekitar 10
sampai 12 kehamilan minggu) yang dinilai untuk frekuensi, lokasi, dan
tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus ditanya tentang rasa sakit
atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing
berkurang, Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis.(Diklat
RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
g. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat
inspeksi, jangan lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur
(fraktur terbuak), pada saat pelapasi jangan lupa untuk memeriksa
denyut nadi distal dari fraktur pada saat menggerakan, jangan
dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan intra
kompartemen dalam ekstremitas meninggi sehingga membahayakan
aliran darah), mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan
penurunan kesadaran atau kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2010). Inspeksi
pula adanya kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi harus
diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan
pada jari-jari periksa adanya clubbing finger serta catat adanya nyeri
tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat
s/d 5-15 detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular.
Perlukaan berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai
fraktur.kerusakn ligament dapat menyebabakan sendi menjadi tidak
stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu pergerakan. Gangguan
sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan
oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal dapat
dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian
lain mungkin menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam
keadaan ini hanya dapat didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan
muskuloskletal tidak lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan
punggung penderita. Permasalahan yang muncul adalah
1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol,
sehingga terjadi syok yang dpat berakibat fatal
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita
dalam keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih
kembali barulah kelainan ini dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal
setelah penderita mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil,
2006).
h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll,
memiringkan penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada
saat ini dapat dilakukan pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010).
Periksa`adanya perdarahan, lecet, luka, hematoma, ecchymosis, ruam,
lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra periksa
adanya deformitas.
i. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan
tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan
sendorik. Peubahan dalam status neirologis dapat dikenal dengan
pemakaian GCS. Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan
kolumna vertebralis atau saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan
short atau long spine board, kolar servikal, dan alat imobilisasi
dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal. Kesalahan yang
sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas kepada kepala
dan leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak dengan leher
sebagai sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan
imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis.
Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan
gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran
akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan
ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan epidural
subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat
RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching,
parese, hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia
( kesukaran dalam mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji
pula adanya vertigo dan respon sensori
B. Diagnosa Keperawatan
C. Rencana Keperawatan
Instruksikan
kepada keluarga
untuk mencatat
intake dan output
Perawatan Gawat
darurat (4U – 6200)
Aktivitas –aktivitas :
7) Pantau tanda-tanda
vital
8) Pantau tingkat
kesadaran
9) Berikan obat
sesuai dengan
kebutuhan pasien
Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
berhubungan dengan tindakan keperawatan (1E -1400)
agen cedera biologis selama 3x 24 jam Aktivitas –aktivitas :
(00132)
diharapkan pasien Lakukan
Definisi
dapat memenuhi pengkajian nyeri
Pengalaman sensori
dengan emosional dengan kriteria hasil : secara
tidak menyenangkan Tingkat Nyeri (2102)
Nyeri yang di komperhensif
berkaitan dengan
kerusakan jaringan Pastikan perawatan
laporkan
aktual atau potensial, 1 2 3 4 5 analgesik
atau yang Panjangnya Pertimbangkan
digambarkan sebagai
kerusakan episode nyeri pengaruh budaya
(international 1 2 3 4 5 terhadap respon
association for study Ekspresi wajah
of pain) , lambat nyeri
nyeri Berikan informasi
dengan intensitas 1 2 3 4 5
ringan hingga berat, kepada
Frekuensi nafas
dengan berakhirnya
1 2 3 4 5 keluarga/pasien
dapat diantisipasi atau
Tekanan darah
diprediksi, dan mengenai nyeri
1 2 3 4 5
dengan durasi kurang
Kontrol Nyeri seperti penyebab
dari 3 bulan.
(1605)
nyeri, berapa nyeri
Mengenali kapan
lama nyeri yang
nyeri terjadi
1 2 3 4 5 dirasakan
Menggunakan Gunakan tindakan
analgesik yang pengontrol nyeri
telah diresepkan sebelum nyeri
1 2 3 4 5
bertambah berat
Melaporkan gejala
Dukung istirahat
yang tidak
yang cukup
terkontrol pada Libatkan keluarga
profesional dalam modalitas
kesehatan penurun nyeri
1 2 3 4 5
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu
sendiri, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah
fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.
Etiologi
A. Mekanisme Trauma
Menentukan mekanisme terjadinya trauma merupakan hal yang
penting karena dapatmembantu kita dalam menduga kemungkinan trauma
yang mungkin saja tidak segera timbulsetelah kejadian. Trauma
musculoskeletal bisa saja dikarenakan oleh berbagai mekanisme.Ada
beberapa macam mekanisme trauma diantaranya:
1. Direct injury
2. Indirect injury
3. Twisting injury
5. Fatique fracture
6. Pathologic fracture
Dapat dilihat pada pasien dengan penyakit kelemahan pada tulang
seperti kanker yang sudah metastase.
B. Definisi
h. Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas korteks tulang menjadi dua
bagianatau lebih sehingga menimbulkan gerakan yang abnormal
disertai krepitasi dannyeri.Apabila terjadi fraktur maka tulang harus
diimobilisasi untuk mengurangiterjadinya cedera berkelanjutan dan
untuk mengurangi rasa sakit pasien.
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang
utuh.Kebanyakanfraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat
tekanan yang berlebihan padatulang, baik berupa trauma langsung dan
trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat &Jong, 2005). Fraktur lebih
sering terjadi pada laki-laki daripada perempuandengan umur dibawah
45 tahun dan sering berhubungan dengan olah-raga, pekerjaan, atau
luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor.Sedangkan
pada orang tua, wanita lebih sering mengalami fraktur
daripadalakilaki yang berhubungan dengan meningkatnya insiden
osteoporosis yangterkait dengan perubahan hormon pada monopouse
(Reeves, Roux, Lockhart,2001).
Fraktur merupakan ancaman potensial atau aktual kepada
integritasseseorang akan mengalami gangguan fisiologis maupun
psikologis yang dapatmenimbulkan respon berupa nyeri. Nyeri
tersebut adalah keadaan subjektif dimanaseseorang memperlihatkan
ketidak nyamanan secara verbal maupun non verbal.Respon seseorang
terhadap nyeri dipengaruhi oleh emosi, tingkat kesadaran, latar
belakang budaya, pengalaman masa lalu tentang nyeri dan pengertian
nyeri. Nyerimengganggu kemampuan seseorang untuk beristirahat,
konsentrasi, dan kegiatanyang biasa dilakukan (Engram, 1999).
i. Etiologi
j. Manifestasi Klinis
Gejala yang paling umum pada fraktur adalah rasa nyeri yang
terlokalisir pada bagian fraktur. Biasanya pasien mengatakan ada
yang menggigitnya ataumerasakan ada tulang yang patah.Apa yang
dikatakan pasien merupakansumber informasi yang akurat.Pada
pasien dengan multiple trauma, fraktur adalah trauma yang
palingnyata dan dramatis juga hal yang paling serius. Oleh karena itu
lakukan primary survey dan lakukan tindakan penanganan trauma dan
lakukanstabilisasi jika memungkinkan.
a. Swelling
c. Tenderness
d. Krepitasi
e. Disability
Juga termasuk karakteristik dari kebanyakan trauma skeletal
pasiendengan fraktur akan berusaha menahan lokasi trauma tetap
pada posisiyang nyaman dan akan menolak menggerakannya.
Bahkan pada pasiendengan dislokasi akan menolak untuk
menggerakkan ekstremitas yangmengalami dislokasi.
k. Jenis Fraktur
l. Tipe Fraktur
3. Fraktur Trasversal
4. Fraktur Greenstick
5. Fraktur Spiral
6. Fraktur Oblique
7. Fraktur Comminuted
Dimana tulang terbagi menjadi lebih dari dua bagian.
b. Kontrol perdarahan.
d. Resusitasi cairan
C. Dislokasi
1. Definisi
Dislokasi adalah keluarnya pangkal tulang dari permukaan
articular, kadang-kadang disertai dengan robeknya ligament yang
seharusnya menahan pangkaltulang agar tetap berada pada
tempatnya.Persendian yang biasanya terkenal adalah bahu, siku,
panggul dan pergelangan.
2. Etiologi
Etiologi tidak diketahui dengan jelas tetapi ada beberapa faktor
predisposisi, diantaranya :
3. Klasifikasi
Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Dislokasi congenital
b. Dislokasi patologik:
c. Dislokasi traumati
d. Dislokasi Akut
e. Dislokasi Berulang.
4. Manifestasi Klinis
K. Nyeri
L. Deformitas
M. Paralisis
5. Patofisiologi
Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan .Humerus
terdorongkedepan ,merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid
teravulsi.Kadang-kadang bagian posterolateral kaput hancur.Mesti
jarang prosesus akromium dapatmengungkit kaput ke bawah dan
menimbulkan luksasio erekta (dengan tanganmengarah ;lengan ini
hampir selalu jatuh membawa kaput ke posisi dan bawahkarakoid).
6. Komplikasi
a. Komplikasi Dini
3) Fraktur disloksi
b. Komplikasi lanjut.
4) Kelemahan otot
7. Penatalaksanaan Dislokasi
Penatalaksanaan pada pasien dengan dislokasi adalah imobilisasi
pasien pada posisinya saat pertama kali ditemukan.Jangan coba
meluruskan atau mengurangidislokasi kecuali jika ada seorang ahli.
Lakukan imobilisasi pada bagian atas dan bawah sendi yang dislokasi
untuk menjaga kestabilan waktu transport.Mungkin satu-satunya
dislokasi yang paling berbahaya pada ektremitas bawahadalah
dislokasi pada lutut, sedangkan dislokasi pada pergelangan, siku,
bahu, panggul an pergelangan kaki masih dapat ditoleransi 2 atau 3
jam tanpa adanya bahaya kerusakan permanen.Bagaimanapun juga
ketika menolong pasien dengan dislokasi lutut dantidak ada pulsasi
pada bagian distal. Maka harus dikoreksi dalam waktu 1 atau 2 jam
setelah terjadi trauma. Dan seharusnya waktu sejak terjadinya
kecelakaanhingga sampai ke rumah sakit tidak lebih dari 1 jam.
D. Sprain
1. Definis
Sprain adalah injuri dimana sebagian ligament robek, biasanya
disebabkanmemutar secara mendadak dimana sendi bergerak melebihi
batas normal. Organyang sering terkena biasanya lutut, dan
pergelangan kaki, cirri utamanya adalahnyeri, bengkak dan kebiruan
pada daerah injuri
Untuk membedakan fraktur dan dislokasi, sprain biasanya tidak
disertaideformitas. Bagaimanapun juga lebih bail lakukan penanganan
sprain seperti penanganan fraktur lalu imobilisasi. Biarkan sendi yang
mengalami sprain pada posisi elevasi dan berikan kompres dingin jika
mungkin.
2. Etiologi
3. Manifestasi klinis
b. Nyeri
c. Inflamasi/peradangan
4. Manifestasi Klinis
5. Patofisiologi
Kekoyakan ( avulsion ) seluruh atau sebagian dari dan disekeliling
sendi,yang disebabkan oleh daya yang tidak semestinya, pemelintiran
atau mendorong /mendesak pada saat berolah raga atau aktivitas kerja.
Kebanyakan keseleo terjadi pada pergelangan tangan dan kaki, jari-
jari tangan dan kaki.Pada trauma olahraga (sepak bola) sering terjadi
robekan ligament pada sendi lutut. Sendi-sendilain juga dapat terkilir
jika diterapkan daya tekanan atau tarikan yang tidak semestinya tanpa
diselingi peredaan (Brunner & Suddart,2001: 2357)
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Riwayat
1) Tekanan
b. Pemeriksaan Fisik :
7. Penatalaksanaan
c. Elektromekanis.
E. Strain
i. Definisi
Strain adalah “tarikan otot” akibat penggunaan berlabihan,
peregangan berlebihan, atay stres yang berlebihan. Strain adalah
robekan mikroskopis tidak komplet dengan perdarahan kedalam
jaringan (Brunner & Suddart, 2001: 2355 ).
Strain adalah trauma pada jaringan yang halus atau spasme otot di
sekitar sendi dan nyeri pada waktu digerakkan, pada strain tidak ada
deformitas atau bengkak. Strain lebih baik ditangani dengan
menghilangkan beban pada daerahyang mengalami injuri.
Jika tidak ada keraguan pada injuri diatas, imobilisasi ekstremitas
danevaluasi dilanjutkan di ruang gawat darurat.
ii. Etiologi
a. Nyeri
b. Spasme otot
c. Kehilangan kekuatan
iv. Patofisiologi
Strain adalah kerusakan pada jaringan otot karena trauma
langsung(impact) atau tidak langsung (overloading). Cedera ini
terjadi akibat otot tertarik pada arah yang salah,kontraksi otot
yang berlebihan atau ketika terjadi kontraksi,otot belum
siap,terjadi pada bagian groin muscles (otot pada kunci
paha),hamstring(otot paha bagian bawah),dan otot guadriceps.
Fleksibilitas otot yang baik bisamenghindarkan daerah sekitar
cedera kontusio dan membengkak (ChairudinRasjad,1998).
v. Klasifikasi Strain
a) nyeri local
2) Tanda-tandanya :
b) Bengkak
3) Komplikasi
a) Strain dapat berulang
b) Tendonitis
c) Perioritis
4) Perubahan patologi
Adanya inflamasi ringan dan mengganggu jaringan otot
dan tendon namuntanda perdarahan yang besar.
5) Terapi
Biasanya sembuh dengan cepat dan pemberian
istirahat,kompresidan elevasi,terapi latihan yang dapat
membantu mengembalikan kekuatian otot.
a) Nyeri local
d) Bengkak
e) Tenderness
b) Tendonitis
c) Perioritis
3) Terapi :
a) Immobilisasi pada daerah cidera
b) Istirahat
c) Kompresi
d) Elevasi
4) Perubahan patologi :
1) Gejala :
b) Adanya stabilitas
c) Spasme
d) Kuat
e) Bengkak
f) Tenderness
2) Komplikasi :
3) Perubahan patologi :
Adanya robekan/tendon dengan terpisahnya otot dengan
tendon.
4) Terapi
b. Nyeri mendadak
c. Edema
d. pasme otot
e. Haematoma
vii. Komplikasi
b. Tendonitis
viii. Penatalaksanaan
F. Kontusio
1. .Definisi
Kontusio adalah cedera jaringan lunak, akibat kekerasan
tumpul,mis : pukulan,tendangan atau jatuh (Brunner & Suddart,2001:
2355).Kontusio adalah cedera yang disebabkan oleh benturan atau
pukulan pada kulit.Jaringan di bawah permukaan kulit rusak dan
pembuluh darah kecil pecah, sehinggadarah dan cairan seluler
merembes ke jaringan sekitarnya (Morgan, 1993: 63)
2. Etiologi
b. Pukulan
c. Tendangan/jatuh
3. Manifestasi Klinis
4. Gejala
a. Nyeri
b. Bengkak
c. Perubahan warna
5. Patofisiologi
Kontusio terjadi akibat perdarahan di dalam jaringan kulit, tanpa
ada kerusakankulit. Kontusio dapat juga terjadi di mana pembuluh
darah lebih rentan rusak dibandingorang lain. Saat pembuluh darah
pecah maka darah akan keluar dari pembuluhnya ke jaringan,
kemudian menggumpal, menjadi Kontusio atau biru. Kontusio memang
dapatterjadi jika sedang stres, atau terlalu lelah. Faktor usia juga bisa
membuat darah mudahmenggumpal. Semakin tua, fungsi pembuluh
darah ikut menurun (Hartono Satmoko,1993: 192).
Endapan sel darah pada jaringan kemudian
mengalamifagositosisdan didaur ulang
olehmakrofag.Warnabiruatauunguyang terdapat pada kontusio
merupakan hasilreaksi konversi darihemoglobinmenjadibilirubin.Lebih
lanjut bilirubin akan dikonversimenjadihemosiderinyang berwarna
kecoklatan.
Tubuh harus mempertahankan agar darah tetap berbentuk cairan
dan tetapmengalir dalam sirkulasi darah.Hal tersebut dipengaruhi oleh
kondisi pembuluh darah, jumlah dan kondisi sel darah trombosit, serta
mekanisme pembekuan darah yang harus baik. Pada purpura simplex,
penggumpalan darah atau pendarahan akan terjadi bilafungsi salah satu
atau lebih dari ketiga hal tersebut terganggu (Hartono Satmoko,
1993:192).
PATHWAY
6. Penatalaksanaan
A. PENGKAJIAN
1. Primary survey
A. Airway
Penilaian kelancaran airway pada klien yang mengalami
fraktur,meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat
disebabkan benda asing,fraktur wajah,fraktur mandibula atau
maksila,fraktur laring atau trachea.
B. Breathing
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran
gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan
pengeluaran karbondioksida dari tubuh.
C. Circulation
Control perdarahan dengan menekan langsung sisi area perdarahan
bersama dengan tekanan jari pada arteri paling dekat dengan area
perdarahan. Kaji tanda-tanda syok yaitu penurunan tekanan darah,kulit
dingin,lembab dan nadi halus. Pertahankan tekanan darah dengan infuse
IV,plasma. Berikan transfuse untuk terapi komponen darah sesuai
ketentuan setelah tersedia darah.
D. Disability
Dievaluasikan keadaan neurologinya secara cepat,yaitu tingkat
kesadaran ukuran dan reaksi pupil. Penurunan kesadaran dapat
disebabkan penurunan oksigen atau penurunan perfusi ke otak atau
erlukaan pada otak. Erubahan kesadaran menuntut dilakukannya
pemeriksaan terhadap keadaan ventilasi,perfusi dan oksigenasi.
E. Exporsur
Di rumah sakit pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya untuk
evaluasi klien. Setelah pakaian dibuka penting agar pasien tidak
kedinginan harus diberikan selimut hangan dan diberikan cairan
intravena yang sudah dihangatkan.
2. Secoundary survey
a. Kaji riwayat trauma,mengetahui riwayat trauma,karena penampilan luka
kadang tidak sesuai dengan parahnya cidera.
b. Kaji seluruh tubuh dengan pemeriksaan fisik dari kepala sampai kaki
secara sistematis,inspeksi adanya laserasi bengkak dan deformitas.
c. Kaji kemungkinan adanya fraktur multiple : trauma pada tungkai akibat
jatuh dari ketinggian sering disertai trauma pada lumbal ,trauma pada
lutut saat pasien jatuh dengan posisi duduk dapat disertai dengan trauma
panggul,trauma lengan sering menyebabkan trauma pada siku sehingga
lengan dan siku harus dievakuasi bersamaan ,trauma proksimal fibula
dan lutut sering menyebabkan trauma ada tingkai bawah.
d. Kaji adanya nyeri ada area fraktur dan dislokasi
e. Kaji adanya krepitasi pada area fraktur
f. Kaji adanya perdarahan dan syok terutama pada fraktur pelvis dan
vemur
g. Kaji adanya sindrom kompartemen,fraktur terbuka,tertutup dapat
menyebabkan perdarahan atau hematoma pada daerah yang tertutup
sehingga menyebabkan penekanan saraf
h. Kaji TTV secara continue
2. Diagnosa Keperawatan
Andri Andreas.Dr. 2012. Basic Trauma Cardiac Life Support . Jakarta: AGD
DinkesProvinsi DKI Jakarta.
http://zillyannurse.blogspot.com/2011/11/askep-trauma-muskuloskeletal.html
Nurarif.A.M dan Kusuma. H. 2015. Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan
diagnosa medis & Nanda NIC-NOC.Jogjakarta : Mediaction
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner
& Suddarth, Edisi 8.EGC : Jakarta.
Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
Sjamsuhidajat, R. dan Wim de Jong. 1998. Buku Ajar Imu Bedah, Edisi revisi.
EGC : Jakarta
Smeltzer, Suzanne C.2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth.Edisi 8.Volume 1.EGC.Jakarta .