PENDAHULUAN
mentransformasi produk primer ke produk olahan, tetapi peralihan budaya kerja dari
agraris tradisional yang menciptakan nilai tambah rendah menjadi budaya kerja
industrial modern yang menciptakan nilai tambah tinggi, melalui perubahan fisik atau
maupun produk akhir (finish product), termasuk penanganan pasca panen, industri
lokasi agroindustri perlu mendapat pertimbangan utama (Yusdja dan Iqbal, 2002).
Pengembangan sub sektor agroindustri dipandang sebagai transmisi yang tepat untuk
sektor industri. Peran sektor pertanian dalam produk domestik bruto (PDB) tidak
2
dilihat dari produk primer yang dihasilkan saja, melainkan harus dikaitkan dengan
Hal ini ditandai oleh berkembangnya berbagai jenis industri pengolahan bahan baku
(Astuti, 2002). Jumlah industri kecil dan menengah pengolah hasil pertanian adalah
950.325 unit tahun 2001, meningkat menjadi 1.091.208 unit pada tahun 2006.
Jumlah ini akan terus meningkat apabila perhatian para stakeholder terhadap
mampu bersaing dengan produk luar karena memiliki nilai tambah tinggi, nilai jual
tinggi dan berdaya saing. Gambar 1.1, menunjukkan bahwa peran PDB sektor industri
berturut-turut sebesar 25,8 dan 8,95 persen, sedangkan peran industri agro terhadap
berkembang di daerah pedesaan dan menjadi salah satu mata pencaharian masyarakat.
Diversifikasi pangan melalui industri pangan olahan lokal menjadi salah satu strategi
untuk mengangkat kembali citra sumber bahan pangan lokal (panglok) yang selama
agroindustri pangan lokal, diperlukan sinergitas dan koordinasi semua pelaku usaha
mulai dari hulu (upstream) untuk menyediakan bahan-bahan baku atau input produksi
hingga bagian hilir (downstream) untuk proses pengolahan, distribusi dan pemasaran.
Sinergitas dan koordinasi penting yang dirangkai dalam sebuah sistem yaitu
sehingga produk yang dihasilkan dapat didistribusikan dengan kuantitas yang tepat,
lokasi yang tepat dan waktu yang tepat untuk memperkecil biaya dan memuaskan
pelanggan. Rantai pasok terjalin kuat dengan adanya hubungan kemitraan pemasaran
MRP. Semakin erat hubungan antara pengrajin agroindustri dengan pemasok maupun
pelanggan maka penerapan MRP akan semakin efisien dalam mendukung kinerja
diperlukan perhatian pemerintah pusat dan daerah secara aktif dalam upaya
2008 yaitu 1.564 perusahaan dengan nilai investasi sebesar Rp. 63.436.018. Bila
dibandingkan dengan tahun 2007, jumlah perusahaan dan nilai investasi mengalami
penurunan sebesar 37,77 persen yaitu 10.928 orang pada tahun 2007 menjadi 6.800
orang pada tahun 2008. Ini berkaitan dengan semangat dan budaya kerja yang
perusahaan, tenaga kerja dan investasi terbesar berada pada Kabupaten Maluku
Tenggara, Maluku Tengah, Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur, Kota Ambon
Komoditas pangan lokal spesifik daerah di Propinsi Maluku adalah ubi kayu
dan sagu. Kedua jenis pangan lokal ini diarahkan pada aktivitas agroindustri
pedesaan.
Pertama, ubi kayu diolah dari hasil primer menjadi produk olahan, baik
produk olahan antara maupun produk akhir. Produksi ubi kayu tahun 2010 di Maluku
adalah 144.384 ton. Produk olahan ubi kayu bersifat langsung/siap saji seperti keripik
bahan yang diawetkan antara lain tapioka, gaplek, tepung singkong, tepung gaplek,
Agroindustri enbal yaitu ampas ubi kayu yang diolah menjadi pangan siap saji seperti
enbal kacang, enbal keju coklat, enbal bunga, enbal lempeng, stik enbal dan rasi enbal
(enbal goreng).
Tabel 1.1. Industri Pangan Berdasarkan Jumlah Perusahaan, Tenaga Kerja dan
Investasi di Propinsi Maluku
sumber pangan rumah tangga, sumber bahan baku industri seperti industri pangan,
industri perekat, kosmetika, pakan ternak, tekstil, farmasi, pestisida, industri kimia,
bahan energi dan bahkan hasil sampingnya dapat diolah menjadi bahan bakar,
medium jamur, pembuatan hardboard atau bahan bangunan (Kindangen dan Malia,
2003), dan juga biodegradable film (Polnaya et al., 2006). Produksi sagu tahun 2008
di Maluku adalah 888.027 ton (Badan Ketahanan Pangan Propinsi Maluku, 2010).
Pengolahan produk pangan sagu dibagi menjadi tiga bentuk yaitu pertama,
pengolahan sagu menjadi tepung sagu; dan ketiga, pengolahan tepung sagu menjadi
Agroindustri pangan lokal ubi kayu dan sagu menjadi salah satu obyek
strategi-strategi yang sesuai dengan kondisi wilayah Propinsi Maluku sebagai daerah
kepulauan agar agroindustri pangan lokal terus bertahan dan menguntungkan bagi
tentang “manajemen rantai pasok dan kinerja agroindustri berbasis pangan lokal serta
strategi pengembangannya”.
masyarakat. Potensi lokal yang besar dan tersebar belum dapat dirangkai menjadi
7
suatu keterkaitan yang integratif, baik antar wilayah, antar sektor, dan bahkan antara
mikro yang dapat menciptakan usaha yang kondusif, dan semakin memudahkan
wilayah akan mengalami stagnasi bila hanya satu sektor saja yang dikembangkan.
Sebagai contoh, sektor pertanian tanpa diikuti oleh perkembangan sektor industri
akan memperburuk term of trade sektor pertanian sebagai akibat kelebihan produksi
atau tenaga kerja. Akibatnya, pendapatan di sektor pertanian turun (depresif) dan
rangsangan penanaman modal baru serta pembaharuan tidak bertumbuh. Hal inilah
yang menjadi rangsangan bagaimana sektor pertanian dan sektor industri dapat
bersinergi. Sektor pertanian sebagai sumber bahan baku untuk sektor industri
pertanian yang memiliki nilai tambah, berdaya saing dan meningkatkan pendapatan
serta kesejahteraan masyarakat pedesaan. Kerja sama dan peran aktif para pelaku
usaha perlu ditingkatkan dan dibangun sinergisitas hubungan yang dinamis yang
mengakses informasi harga dan mutu produk, dan rendahnya pemanfaatan teknologi
pangan lokal?
lokal.