Anda di halaman 1dari 9

Prosiding Seminar Nasional Serealia, 2015

PENGGUNAAN FORMULASI BIOFUNGISIDA TRICHODERMA DAN


GLIOCLADIUM DENGAN WAKTU SIMPAN YANG BERBEDA DALAM
MENGENDALIKAN PENYAKIT BUSUK PELEPAH PADA JAGUNG

Soenartiningsih, A.Tenrirawe dan A. Haris Talanca


Balai Penelitian Tanaman Serealia
Jl. Dr.Ratulangi No. 274, Maros 90514

ABSTRAK
Produksi jagung seringkali tidak optimal karena gangguan hama dan penyakit. Penyakit busuk
pelepah yang disebabkan oleh Rhizoctonia solani adalah salah satu penyakit penting setelah
penyakit bulai dan dapat menurunkan produksi hingga 100% apabila menyerang varietas
rentan. Pengendalian dengan cendawan antagonis adalah salah satu alternatif dalam menekan
penyakit busuk pelepah, sedangkan penggunaan formulasi biofungisida adalah mudah
dilakukan pada perbanyakan, penyimpanan dan aplikasi di lapangan. Penelitian ini
dilaksanakan pada tahun 2014 di laboratorium dan KP Bajeng. Tujuan penelitian adalah
menguji dua formulasi biofungisida pada dua jenis cendawan antagonis yang telah disimpan
selama 2,4 dan 6 bulan. Formulasi biofungisida Trichoderma dan Gliocladium yang disimpan 2-
6 bulan ternyata viabilitas spora tidak terjadi penurunan yang significant. Formulasi biofungisida
Trichoderma dan Gliocladium dapat menekan intensitas serangan penyakit busuk pelepah,
formulasi dari cendawan Trichoderma terjadi penekanan penyakit busuk pelepah 33,38-
63,26%, sedangkan formulasi dari cendawan Gliocladium dapat menekan intensitas serangan
penyakit busuk pelepah 21,57-49,6%. Produksi jagung setelah diaplikasi dengan formulasi
biofungisida Trichoderma dan Gliocladium ternyata menunjukkan adanya peningkatan
produksi. Untuk pertanaman yang diinokulasi dengan formulasi Trichoderma peningkatan
produksi mencapai 20,2-28,4% sedangkan yang diinokulasi dengan Gliocladium dapat
meningkatkan produksi 12,3-21,3%

Kata kunci: formulasi biofungisida, Trichoderma, Gliocladium, Rhizoctonia solani

PENDAHULUAN
Cendawan Rhizoctonia solani merupakan patogen tular yang memiliki kisaran
inang yang luas sehingga sulit dikendalikan, cendawan ini dapat menyebabkan
penyakit busuk pelepah pada jagung. Pengendalian penyakit ini bisa dilakukan dengan
penggunaan varietas tahan dan penggunakan fungisida. Sejauh ini pemakaian
pestisida (fungisida) sintetis yang kurang bijaksana seringkali menimbulkan masalah
kesehatan, pencemaran lingkungan dan terganggunya keseimbangan ekologis seperti
munculnya strain-strain baru dari pathogen (Hasanuddin 2003)
Beberapa tahun terakhir pengendalian penyakit tanaman dengan memanfaatkan
mikroorganisme antagonis telah banyak dilakukan. Beberapa cendawan antagonis yang
menunjukkan hasil yang cukup baik dalam mengendalikan patogen adalah jenis
Trichoderma dan Gliocladium. Dari uji antagonis di laboratorium, rumah kaca dan
lapangan kedua cendawan ini mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan
patogen tular tanah diantaranya adalah Sclerotium rolfsii, R. solani dan Fusarium sp.
(Sri Hardaningsih 2000; Soenartiningsih et al. 2014). Sedangkan menurut Schisler

457
Soenartiningsih et al.: Penggunaan Formulasi Biopestisida ...

(2002), mikroorganisme antagonis dapat digunakan sebagai biological control pada


gandum yang telah diuji di rumah kaca dan lapangan.
Beberapa mikrobia untuk biofungisida misalnya Trichoderma spp. dan
Gliocladium spp. mudah dikembangkan serta dibiakkan secara massal dan mudah
disimpan dalam waktu lama, selain itu dapat diaplikasikan sebagai seed furrow dalam
bentuk tepung atau granular/butiran (Arwiyanto 2000). Beberapa keuntungan dan
keunggulan dari dua mikroba ini adalah mudah dimonitor dan dapat berkembang biak,
sehingga keberadaannya di lingkungan dapat bertahan lama serta aman bagi
lingkungan, hewan dan manusia lantaran tidak menimbulkan residu kimia berbahaya
yang persisten di dalam tanah (Anonim 2002).
Penelitian ini bertujuan untuk menguji dua formulasi biofungisida pada dua
jenis cendawan antagonis yang telah disimpan selama 2, 4, dan 6 bulan.

BAHAN DAN METODE


Kegiatan Laboratorium
1. Pembuatan formulasi biofungisida dari cendawan Trichoderma spp. dan
Gliocladium spp.

Formulasi 1 :
Beras jagung + Talk + Kaolin (2:1:1)
Campuran bahan disterilkan terlebih dahulu (2 X sterilisasi), Sterilisasi 1 setelah
24 jam disterilkan lagi. Mikroorganisme antagonis dengan kerapatan spora 10 6
konidia/ ml dan setiap 100 ml cendawan antagonis dicampurkan dengan 1 kg bahan
dan dicampur sampai rata. Setelah tercampur dikeringkan dalam inkubtor pada suhu
30 – 320C atau dikeringkan pada sinar matahari sampai produk kering, produk sudah
cukup kering dengan tingkat kelembaban < 15oC. Kemudian masing-masing formula
disimpan dalam botol selama 2, 4 dan 6 bulan, masing-masing sebanyak 100 gram
tiap kemasan. Setelah proses pengemasan dilakukan pencatatan tanggal produksi dan
dilakukan pengamatan terhadap kualitas produk secara berkala setiap dua bulan untuk
melihat kestabilan kualitas produk. Kriteria penilaian meliputi tampilan produk akhir dan
pemantauan viabilitas sel cendawan.

Formulasi 2 :
Formulasi tepung kaolin :
- Larutan gliserin 37,5 ml
- Gelatin 3 g
- Twen 20 0,625 ml + aquades hingga 100 ml

Semua larutan dicampur kemudian dipanaskan hingga gelatin larut. Setelah


agak dingin (400C) dicampur dengan kaolin 1kg hingga rata lalu dikeringkan pada
kondisi ruangan. Biakan cendawan antagonis dibiakkan pada media PDA 14 hari
hingga terbentuk spora, 100 g pelet spora dicampur dengan formulasi kaolin kemudian
disentrifus dengan kecepatan 5000 rpm selama 15 menit. Setelah disentrifus
dikeringkan pada kondisi ruangan kemudian dikemas kedalam botol kemudian
disimpan selama 2, 4 dan 6 bulan.

458
Prosiding Seminar Nasional Serealia, 2015

2. Perbanyakan inokulum cendawan R.solani


Penyakit busuk pelepah disebabkan oleh jamur R. solani diisolasi dari pelepah
atau batang yang terinfeksi. Setelah diisolasi dan dimurnikan kemudian biakan
dikembangkan dalam media PDA di cawan petri dan diinkubasi selama 14 hari di
dalam inkubator, hasil pemurnian kemudian diperbanyak.

a. Pengujian di Laboratorium
Setelah terbentuk formulasi dimasukkan ke dalam botol dan diberi label
tanggal produksinya kemudian disimpan pada suhu 4oC selama 2, 4 dan 6 bulan
masing-masing formula diamati viabilitas sporanya. Caranya sebagai berikut media
PDA yang telah dicampur dengan Clorampenicol dan disterilkan kemudian diteteskan 1
ml pada obyek glass ditambahkan larutan formulasi 0,5 ml dengan pengenceran 10-4
ditutup dengan cover glass, kemudian dimasukkan dalam cawan petri yang telah
dialasi dengan kertas saring lembab, diinkubasi selama 48 jam kemudian diamati
dibawah mikroskop untuk menghitung viabilitas sporannya.

b. Pengujian formulasi biofungisida terhadap penyakit busuk pelepah di lapangan


Penelitian ini dilaksanakan di KP Bajeng, penanaman tahun 2014 terdiri dari
12 perlakuan dengan menggunakan rancangan acak kelompok secara faktorial
dengan tiga faktor, faktor pertama jenis isolat, faktor kedua formulasi media yang
digunakan dan faktor ketiga adalah lamanya penyimpanan, penelitian diulang
sebanyak tiga kali, setiap plot ditanam 4 baris dan setiap baris terdiri 25 tanaman.
Varietas yang digunakan adalah Srikandi putih yang ditanam dengan jarak
tanam 75 cm x 20 cm setelah tumbuh kemudian dijarangkan hanya satu yang tumbuh.
Pemupukan dilakukan pada waktu tanam dan 28 – 30 HST, takaran pupuk 300 kg
Urea, 200 kg Ponska, Urea diberikan 2 kali. Inokulasi jamur antagonis 2 minggu
setelah tanam, sedangkan inokulasi R. solani dilakukan dengan cara penyelipan
diantara pelepah daun pada 4 minggu setelah tanam, Pengamatan intensitas serangan
dilakukan 2, 4 dan 6 minggu setelah inokulasi patogen.
Intensitas serangan penyakit busuk pelepah digunakan rumus menurut Meyee
dan Datar (1986) :

∑ (n x V)
I = ------------- x 100%
ZN

Keterangan :
I = intensitas serangan
n = jumlah tanaman dalam nilai
katergori tertentu
v = nilai kategori serangan
Z = nilai kategori serangan tertinggi
N = jumlah tanaman yang diamati.

459
Soenartiningsih et al.: Penggunaan Formulasi Biopestisida ...

Nilai kategori serangan :


Skor 1,0 = Gejala hanya pada satu pelepah daun paling bawah dengan lesio
sangat kecil dan sedikit.
Skor 1,5 = Gejala pada dua pelepah daun bagian bawah dengan lesio yang
melebar
Skor 2,0 = Gejala sudah sampai pada pelepah daun keempat dari bawah, lesio
banyak dan menyatu.
Skor 2,5 = Sama dengan skor 2,0 hanya saja terjadi perubahan warna dengan
lesio yang kecil-kecil.
Skor 3,0 = Gejala pada semua pelepah, kecuali dua ruas di bawah tongkol.
Skor 3,5 = Gejala penyakit sudah sampai pada satu ruas di bawah tongkol.
Skor 4,0 = Gejala penyakit sudah sampai pada tempat melekatnya tongkol,
tetapi tongkol belum terinfeksi.
Skor 4,5 = Gejala penyakit sudah sampai pada tongkol dan permukaan daun
memutih seperti pita, ukuran tongkol tidak normal dan beberapa
tanaman ada yang sudah mati.
Skor 5,0 = Sama skor 4,5, dimana batang mengerut, bentuk tongkol tidak
normal, dan susunan biji tidak teratur, umumnya tanaman mati
sebelum waktunya. Pada skor ini sklerosia banyak dijumpai pada
tongkol, dan rambut

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa formulasi yang disimpan
pada suhu ≤ 4oC, setelah disimpan 6 bulan viabilitas spora masih cukup baik.
Pertumbuhan dimedia PDA, viabilitas spora pada penyimpanan 2 bulan antara 100 –
92%, sedang penyimpanan selama 2 bulan 97–86 % dan penyimpanan 6 bulan 92–
80,5%. Pada kedua formulasi ternyata formulasi 1 masih lebih baik viabilitas spora
dibanding pada formulasi kedua. Pertumbuhan pada Trichoderma dan Gliocladium
ternyata Trichoderma mempunyai viabilitas spora masih lebih baik dibanding
Gliocladium. Dari Gambar 1 terlihat bahwa viabilitas spora terjadi berbedaan diantar
perlakuan tetapi sangat kecil dan penurunan viabilitas spora antara yang disimpan 2 –
6 bulan hanya kecil penurunannya. Hal ini menurut Hapsari (2003) dalam Purwantisari
et al. (2008), lama penyimpanan juga mempengaruhi viabilitas spora. Penyimpanan
pada suhu sekitar ≤ 4oC lamaya penyimpanan yang terbaik < 12 bulan, sedangkan
pada suhu ruang hanya bertahan < 2 bulan.

460
Prosiding Seminar Nasional Serealia, 2015

Gambar 1. Viabilitas spora cendawan Trichoderma sp dan Gliocladium


pada dua formulasi yang disimpan selama 2, 4 dan 6 bulan

Pada formulasi 1 hasilnya lebih baik maka yang digunakan untuk aplikasi
dilapangan adalah formulasi 1. Hasil pengamatan di lapangan pada 2 MSI, intensitas
serangan masih rendah, tetapi setelah 4 MSI intensitas serangan mencapai 15,5-
29,5% sedang pada kontrol mencapai 38,6%. Pada pengamatan 6 MSI intensitas
serangan penyakit busuk pelepah antara 25,2-53,8% sedang pada kontrol 68,6%
(Tabel 1). Dari hasil pengamatan maka dapat dikatakan bahwa formulasi biofungisida
Trichoderma dan Gliocladium dapat menekan intensitas serangan penyakit busuk
pelepah, formulasi dari cendawan Trichoderma terjadi penekanan penyakit busuk
pelepah 33,38-63,26%, sedangkan formulasi dari cendawan Gliocladium dapat
menekan intensitas serangan penyakit busuk pelepah 21,57-49,6%.

Table 1. Rata-rata intensitas serangan penyakit busuk pelepah pada jagung


yang di diinokulasi dengan formulasi cendawan antagonis yang disimpan
selama 2,4 dan 6 bulan.

Intensitas serangan penyakit busuk pelepah


Perlakuan
(R. solani) (%)
(Penyimpanan 2,4 dan 6 bulan)
2 MSI 4 MSI 6MSI
Trichoderma (2bln) 2,5 (a) 15,5 (a) 25,2 (a)
Trichoderma (4bln) 7,5 (b) 23,3 (ab) 39,6 (b)
Trichoderma (6bln) 8,1 (b) 22,8 (ab) 45,7 (c)

Gliocladium (2bln) 12,5 (b) 19,2 (a) 34,4 (b)


Gliocladium (4bln) 10,7 (b) 26,6 (b) 45,5 (c)
Gliocladium (6bln) 10,3 (b) 29,5 (b) 53,8 (d)
Kontrol 18,0 (c) 38,6 (c) 68,6 (e)
CV(%) 20,5 19,50 25,2
Keterangan: Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf sama tidak berbeda
nyata pada taraf 5% uji DMRT
MSI (Minggu setelah Inokulasi)

461
Soenartiningsih et al.: Penggunaan Formulasi Biopestisida ...

Dari hasil pengamatan dapat dikatakan bahwa cendawan Trichoderma sp


lebih efektif dibanding Gliocladium dalam menekan perkembangan R. solani.
Cendawan Trichoderma sp dan Gliocladium sebagai cendawan antagonis tidak
mematikan secara langsung spora cendawan patogen, tetapi hanya menekan
perkembangannya. Cendawan Trichoderma dan Gliocladium lebih cepat berkembang
dibanding pertumbuhan spora patogen dan T. koningii dan Gliocladium sp. merupakan
kompetitor yang kuat di daerah rhizosfer pada perakaran dan merupakan jamur
antagonis yang sering digunakan dalam pengendalian patogen tular tanah (Elad dan
Kapat 1999). Pengendalian hayati dengan menggunakan agens hayati seperti
Trichoderma spp. yang terseleksi ini sangatlah diharapkan dapat mengurangi
ketergantungan dan mengatasi dampak negatif dari pemakaian pestisida sintetik yang
selama ini masih dipakai untuk pengendalian penyakit tanaman di Indonesia (Susiana
et al. 2008). Mekanisme antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. secara
kompetisi terjadi karena kedua cendawan ini mempunyai kecepatan tumbuh yang
tinggi. Trichoderma dan Gliocladium sp. juga bersifat mikoparasit dan kompetitor yang
aktif pada patogen karena kedua cendawan ini dapat tumbuh pada hypa cendawan
patogen, serta melilit sehingga hifa cendawan patogen menjadi putus (Papavizas
1985; Ilyas 2006). Selain terjadi pelilitan hifa kolonisasi cendawan Trichoderma dan
Gliocladium juga mempunyai kemampuan untuk menghasilkan sejumlah produk
ektraselular yang bersifat racun. Kemampuan cendawan menghasilkan suatu antibiotik
sangatlah penting dalam menentukan kemampuannya untuk mengkolonisasi dan
racun yang dikeluarkan dapat mengakibatkan terjadinya endolisis atau autolisis yaitu
pecahnya sitoplasma pada patogen yang diikuti kematian dan tingkat efektivitasnya
tergantung pada kualitas dan kuantitas mikroorganisme tersebut (Singh et al. 2002).
Menurut Salma dan Gunarto (1999) dalam Susiana et al. (2008), Trichoderma juga
mempunyai kemampuan menghasilkan enzim sellulase yang landitekan. Menurut
Suharna (2003) Trichoderma adalah cendawan yang lebih sering dimanfaatkan
dibanding Gliocladium dalam mengendalikan patogen pada tanaman. Diantara species
Trichoderma, T. harzianum paling potensial sebagai agen pengendali hayati terhadap
patogen tanaman, seperti Fusarium sp., R. solani, S. rolfsii dan Phytium sp. Aplikasi
formulasi Trichoderma, dan Gliocladium yang telah disimpan 2-6 bulan ternyata masih
dapat menekan perkembangan R. solani dibanding yang tanpa aplikasi Trichoderma,
dan Gliocladium. Hal ini terlihat bahwa setiap isolat mempunyai penekanan yang
berbeda terhadap cendawan tular tanah, penggunaan agen hayati bertujuan untuk
mengurangi serangan penyakit dengan mengurangi jumlah inokulum patogen,
menekan kemampuan patogen menginfeksi inangnya dan mengurangi keganasan
patogen tersebut. Salah satu syarat suatu organisme bisa dikatakan sebagai agen
hayati adalah mempunyai kemampuan antagonisme yaitu kemampuan menghambat
perkembangan atau pertumbuhan organisme lainnya (Cook and Baker 1989).
Formulasi cendawan Trichoderma, dan Gliocladium selain bersifat menekan
perkembangan patogen tular tanah ternyata juga dapat meningkatkan produksi jagung,
hal ini dapat dilihat pada Table 2. Aplikasi formulasi Trichoderma pada 2-6 bulan
penyimpanan produksi jagung mencapai 3,57-3,98 t/ha. Sedangkan yang di aplikasi
formulasi Gliocladium 2-6 bulan penyimpanan produksi jagung mencapai 3,25-3,62
t/ha dan pada kontrol produksi jagung hanya mencapai 2,85 t/ha (Tabel 2). Jadi
peningkatan produksi jagung apabila diaplikasi dengan formulasi dari biofungisida

462
Prosiding Seminar Nasional Serealia, 2015

Trichoderma mencapai 20,2-28,4%, sedangkan yang diaplikasi dengan formulasi


biofungisida Gliocladium 12,3-21,4% (Tabel 2). Menurut Nick (2009), pemberian
Trichoderma pada tanaman gandum secara signifikan dapat meningkatkan
profitabilitas hasil lebih tinggi dari pada yang tanpa Trichoderma. Selain itu,
mikroorganisme antagonis juga memicu sistem kekebalan tanaman, dikenal sebagai
resistensi sistemik terinduksi terhadap beberapa patogen tanaman (Tran 2010).
Pemberian mikroorganisme antagonis juga dapat mengubah sistem akar menjadi lebih
besar, sehingga penyerapan nutrisi atau hara untuk tanaman menjadi lebih baik
sehingga berpengaruh terhadap hasil (Harman 2000 dalam Panahian et al. 2012)

Table 2. Rata-rata produksi jagung (t/ha) pada pertanaman yang diinokulasi


dengan formulasi cendawan antagonis yang disimpan selama
2,4 dan 6 bulan.

Perlakuan Produksi Jagung


(Penyimpanan 2,4 dan 6 bulan) (t/ha)
Trichoderma (2bln) 3,98 b
Trichoderma (4bln) 3,57 b
Trichoderma (6bln) 3,65 b

Gliocladium (2bln) 3,53 b


Gliocladium (4bln) 3,62 b
Gliocladium (6bln) 3,25 ab
Kontrol 2,85 a
CV(%) 20,5
Keterangan : Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf sama tidak berbeda
nyata pada taraf 5% uji DMRT

KESIMPULAN
Formulasi biofungisida Trichoderma dan Gliocladium yang disimpan 2 – 6 bulan
ternyata viabilitas spora tidak terjadi penurunan yang significant. Formulasi
biofungisida Trichoderma dan Gliocladium dapat menekan intensitas serangan
penyakit busuk pelepah, formulasi dari cendawan Trichoderma terjadi penekanan
penyakit busuk pelepah 33,38-63,26%, sedangkan formulasi dari cendawan
Gliocladium dapat menekan intensitas serangan penyakit busuk pelepah 21,57-49,6%.
Produksi jagung setelah diaplikasi dengan formulasi biofungisida Trichoderma dan
Gliocladium ternyata menunjukkan adanya peningkatan produksi. Untuk pertanaman
yang diinokulasi dengan Trichoderma peningkatan produksi mencapai 20,2-28,4%
sedangkan yang diinokulasi dengan Gliocladium dapat meningkatkan produksi 12,3-
21,3%

463
Soenartiningsih et al.: Penggunaan Formulasi Biopestisida ...

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2002. Pedoman penerapan agen hayati dalam pengendalian OPT
tanaman sayuran. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Direktorat
Perlindungan Hortikultura. Jakarta. 49 hal.
Arwiyanto. 2000. Pengembangan Agens Hayati untuk Tanaman Hortikultura.
Departemen Pertanian Jakarta.
Cook. R. J., and K. F. Baker, 1989. The Nature and of Practice Biological Control Of
Plant Pathogens. American Phytopath. Coc. St. pa
Elad,Y. 2000. Biological control of foliar pathogens by means of Trichoderma
harzianum and potential modes of action. Crop Protection. 19: 709-714.
Hasanuddin. 2003. Peningkatan peranan mikroorganisme dalam sistem pengendalian
penyakit tumbuhan secara terpadu. http//library.usu.ac.id/ download/fp/fp-
hasanuddin.pdf
Ilyas, M. 2006. Isolasi dan identifikasi kapang pada relung rhizosfer tanaman di
kawasan cagar alam gunung Mutis, Nusa Tenggara Timur. Biodeversitas 7(2):
216-220.
Nick, S. 2009. Applied the Trichoderma product Eco- T to seed potatoes and
maize. http://www plant-health.co.za/testimonial_nick_snaith.html (Diakses 28
Juli 2014)
Panahian,G.H., K. Rahnama, and M. Jafari. 2012. Mass production of Trichoderma
spp. and application. International Research Journal of applied and Basic
Sciences. 3 (2) : 292- 298
Papavizas, G.C. 1985. Trichoderma and Gliocladium Biology, Ecology and
potential for Biocontrol. Phytopathology. 23 : 23-54.
Purwantisari, S. 2008. Biofungisida ramah lingkungan. http://www.wawasan digital.
com/index.php?option=com_content&task=view&id=18020&Itemid=62.
(Diakses Agustus 2014)
Schisler, D.A., N.I. Khan, M.J. Boehm, and Slininger. 2002. Greenhouse and field
evaluation of biological control of Fusarium head blight on durum wheat. Plant
Disease. 86: 1350-1356
Singh, R., B. K. Singh, R. S. Upadhyay, Rai, Bharat and Y. Su Lee. 2002.
Biological Control of Fusarium wilt disease of pigeon pea. J. Plant Pathol
18(5): 279-283.
Suharna, N. 2003. Interaksi antara Trichoderma harzianum, Penicillium sp. dan
Pseudomonas serta kapasitas antagonismenya terhadap Phytophthora
capsici in vitro. Berita Biologi 6(6): 747-753.
Susiana P., R. S. Ferniah dan B. Raharjo. 2008. Pengendalian penyakit lodoh
(Busuk umbi kentang dengan agen hayati jamur-jamur antagonis lokal.
Bioma 10(2): 13- 19.
Soenartiningsih, Nur Asia dan M. Sujak Saenong. 2014. Efektivitas Trichoderma sp.
dan Gliocladium sp. sebagai agen biokontrol hayati penyakit busuk
pelepah pada jagung. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 33(2): 129-
135

464
Prosiding Seminar Nasional Serealia, 2015

Sri Hardaningsih. 2000. Pengendalian penyakit R. solani , S.rolfsii dan A. niger


dengan jamur antagonis T. harzianum dan G. roseum. Laporan Teknik
Balitkabi Tahun 2000.
Tran, N.H. 2010. Using Trichoderma species for biological control of plant Pathogens
In Vietnam. Journal ISSAAS 16 (1) : 17- 21

465

Anda mungkin juga menyukai