Anda di halaman 1dari 11

Nama : Zahrona Njawa Wahyuning Tiyas

Nim : 195100101111007

Kelas : ITP D

Melacak dan Menelusuri Kejayaan dan Keruntuhan Islam di Era Dinasti Abbasiyah

Ali Bin Abdullah adalah cucu dari paman Rosulullah yang berasal dari golongan Sunni. Ali
Bin Abdullah melakukan pemberontakan yang bermaksud untuk menumbangkan pemerintahan
Dinasti Umayyah. Ia merupakan garis keturunan dari Bani Hasyim yang bekerja sama dengan
golongan Syiah. Kerja sama ini juga dilatarbelakangi karena orang-orang Persia yang mendapatkan
perlakuan tidak adil dari Dinasti Umayyah dari segi sosial, politik, bahkan ekonomi. Perlakuan tidak
adil inilah yang menyebabkan pemberontakan terhadap Dinasti Umayyah. Dinasti Umayyah sangat
menekan rakyatnya, sehingga banyak rakyat yang menderita dan memutuskan untuk melakukan
pemberontakan.

Masa-masa pergantian pemerintahan dari Bani Abbasiyah ke Bani Umayyah merupakan salah
satu sejarah islam yang sangat penting. Peristiwa ini tidak hanya sekadar pergantian kepemimpinan
melainkan tergolong sebagai revolusi dalam sejarah kepemimpinan. Golongan Syiah mengaku bahwa
imamah berada ditangan Ibnul Hanafiyah yang melakukan tuntutan kepada imamah berikutnya
menjadi hak Abu Hasyim yang sangat keras dalam mengkritisi kebijakan kebijakan yang dilakukan
oleh pemerintahan Umayyah. Pada saat menjelang wafat, ia memberikan wasiat kepada Ali bin
Abudullah di Yordania untuk menumbangkan pemerintahan Bani Umayyah dan menggantikannya
dengan garis keturunan Rosulullah.

Ia membuat gerakan-gerakan yang telah dipersiapkan untuk meruntuhkan kekuasaan Bani


Umayyah. Gerakan-gerakan tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan.
Gerakan sembunyi-sembunyi didirikan oleh Muhammad pada tahun 100 H. Hamimah dijadikan
sebagai tempat untuk sistem kerja, pusat perencanaan kegiatan, dan konsolidasi berbagai gerakan.
Kufah dijadikan sebagai tempat pusat kegiatan pembangunan berbagai opini. Sedangkan Khurasan
dijadikan sebagai sentral pembangunan opini. Gerakan ini dinamakan gerakan Ahlul Bait. Gerakan
ini dilakukan dengan terencana, dan dengan strategi yang sangat ampuh. Setelah Muhammad
meninggal, gerakan ini kemudian diteruskan oleh anaknya yang benama Ibrahim. Setelah Hisyam
bin Abdul Malik wafat, dengan sangat cepat Bani Umayyah mengalami keruntuhan, namun gerakan
Dinasti Abbasiyah semakin tersebar dan meluas di beberapa titik. Tidak sampai disini, upaya untuk
menggulingkan Dinasti Umayyah masih terus berlanjut.

Gerakan yang kedua adalah gerakan secara terang-terangan. Gerakan ini berbanding terbalik
dengan gerakan sebelumnya. Pada saat itu, Ibrahim ditangkap oleh khalifah terakhir Bani Umayyah
Marwan bin Muhammmad saat mengikrarkan gerakan tersebut di Khurasan. Namun ketika ditangkap,
ia digantikan oleh Abdullah. Abdullah kemudian pergi dengan keluarganya menuju Kufah. Selama
disana, ia menetap di kediaman Abu Salamah Al-Khalal. Setelah itu, ia melakukan gerakan secara
sembunyi-sembunyi. Sang panglima Abu Muslim dapat mengalahkan Gubernur Khurasan Nashr bis
Sayyar. Ia kalah karena tidak mendapatkan respon bantuan dari Khalifah Marwan bin Muhammad
dan Yazid bin Umar bin Fuhairah yang merupakan Gubernur Marwan di Irak. Hal ini terjadi karena
mereka masih sibuk menyelesaikan perang dan konflik yang sedang terjadi saat itu. Kekalahan inilah
yang menjadi awal runtuhnya kekuasaan Bani Umayyah.

Berdasarkan kekalahan tersebut, Abu Muslim dapat mengambil alih Khurasan di bawah
kekuasaannya pada tahun 130 H dan juga mengambil alih Irak dari tangan Yazid bin Umar pada tahun
132 H. Yazid menyerah kepada Bani Abbas karena Saffah menjanjikan rasa aman. Akan tetapi,
mereka menghianati janji itu dan membunuh Yazid. Saffah juga melenyapkan Abu Salamah al-Khalal
dengan tuduhan potensi makar yang menyerahkan kekhilafahan pada golongan alawiyin. Meskipun
ia telah memberikan jasa besar ketika menyerang pemerintahan Bani Umayyah.

Gerakan untuk mengimplementasikan Umayyah adalah dengan cara membuat berbagai opini
publik menyebarkan propaganda yang dapat melemahkan otoritas kekuasaan Bani Umayyah.
Propaganda tersebut diantaranya adalah Al-Mubarah yaitu persamaan kedudukan. Yang kedua adalah
al-Ishlah yaitu kembali kepada ajaran utama Al-Quran dan Hadist. Propaganda yang pertama sangat
disetujui oleh masyarakat muslim yang berasal dari Arab. Hal ini dikarenakan, mereka selalu
dinomorduakan oleh Daulah Umayyah baik dalam segi politik, sosial maupun ekonomi.

Ulama Sunni melihat para khalifah Bani Umayyah menyimpang dari ajaran Al-Quran dan
sunnah. Awalnya semua gerakan dilakukan secara rahasia, namun ketika dipimpin oleh Ibrahim bin
Muhammad berubah menjadi gerakan terang-terangan karena mendapat sambutan luas di wilayah
Khurasan dan ada masuknya Jenderal Ulung ke dalam pasukan, ia adalah Abu Muslim Al-Khurasany.
Ia meruapakan seorang budak yang dibeli oleh ayah Ibrahim yaitu Muhammad. Ia di kader dan dididik
oleh Muhammad. Ia diutus untuk mempropagandis tempat kelahirannya dan disambut baik oleh
penduduk setempat. Di sana ia berhasil mendirikan pasukan militer sebanyak 2.200 orang infantri dan
57 pasukan berkuda. Pada saat Ibrahim berhasil dimusnahkan oleh Bani Umayyah, terjadi pergantian
pimpinan oleh Abdul Abbas yang selanjutnya menjadi Daulah Abbasiyah pada masanya. Kufah
dijadikan sebagai markas dan tempat bersembunyi olehnya. Pada saat itu, Abu Muslim
memerintahkan Quthaibah yang sedang menjabat sebagai panglima untuk melakukan gerakan
merebut kembali Kufah, namun gerakan tersebut dihadang oleh pasukan Daulah Umayyah saat
perjalanan di Karbala menuju Kufah.

Kemudian, terjadilah pertempuran yang dimenangkan oleh Quthaibah, walaupun ia sendiri


menjadi korban meninggal pada saat itu. Setelah itu, kendali menuju Kufah dipegang oleh anaknya
yaitu Hasan. Dari pertempuran tersebut, Kota Kufah dapat ditaklukan kemudian Abdul Abbas
memproklamirkan diri sebagai khalifah pertama. Pemerintahan ini disebut dengan Daulah Abbasiyah
yang berhasil dibai’at oleh masyarakat Kufah di Masjid Kufah. Khalifah Marwan yang mendengar
kabar tersebut, langsung menggerakkan 12.000 tentara untuk menuju Kufah menghadapi pasukan
Abul Abbas yang digerakkan oleh pamannya yaitu Abdullah bin Ali. Dua pasukan tersebut bertemu
di pinggir sunga Zab anak sungai Tigris. Dalam pertempuran ini, Umayyah mendapatkan kekalahan.

Satu persatu wilayah dan kota berhasil direbut oleh Bani Abbasiyah. Abdullah bin Ali
melanjutkan serbuan ke Syiria. Wilayah terakhir yang dikuasai adalah Damaskus tahun 750 M.
Khalifah Marwan bin Muhammad yang sempat melarikan diri ke Mesir, berhasil tertangkap dan
dibunuh. Pembunuhan ini terjadi pada tanggal 5 Agustus (750 M). Pembunuhan ini menandakan
berdirinya Daulah Abbasiyah secara resmi.

Episode besar politik islam dibuka dengan peran dari Khalifah Abu al-Abbas. Pada saat
berpidato tepatnya di masjid Kufah, ia menyebut dirinya sebagai al-saffah atau penumpah darah. Hal
ini diartikan bahwa dinasti yang baru mengutamakan kekuatan dalam menjalankan kebijaksanaannya.
As-Saffah menjadi daulah Arab Islam ketiga setelah khulafau al-Rasyidun dan Dinasti Umayyah.
Pada saat Abu al-Abbas mendapatkan pemerintahan, ia membentuk konsep kekhalifaan sesungguhnya
dengan sebuah gagasan teokrasi dengan menggantikan pemerintahan sekunder Dinasti Umayyah. Ciri
khas keagamaan benar-benar ditonjolkan dalam berbagai kegiatan, seremonial, dan lain-lain. Seperti
saat penobatan sebagai khalifah dan sholat jum’at khalifah memakai jubah (burdah). Ia juga dikelilingi
oleh pakar hukum yang menyokong dan menjadi penasihat dalam segala urusan-urusan negara. Hal
ini menjadi alat propaganda untuk menjatuhkan kepercayaan publik kepada Dinasti Umayyah.
Dibangun pemahaman kepada umat islam apabila kekhalifaan Abbasiyah runtuh, maka seluruh dunia
akan kacau. Sehingga, kekuasaan selamanya harus dipegang oleh Bani Abbas. Perbedaan Dinasti
Umayyah dan Dinasti Abbasiyah terletak pada apatur pemerintahannya. Dinasti Umayyah hanya
diduki oleh Bangsa-Bangsa Arab, sedangkan Dinasti Abbasiyah menyelenggarakan pemerintahan
yang bersifat beragam dari berbagai bangsa dan wilayah. Hal ini yang menyebabkan masyarakat lebih
mendukung pemerintahan Abbasiyah.

Perbedaan lainnya terletak pada Ibu Kota Umawiyah, Damaskus, yang masih cenderung
bertradisi jahiliyah karena mendapatkan pengaruh dari kemegahan Persia dan dan Byzantium.
Baghdad ibu kota Abbasiyah terpengaruh Persia hampir keseluruhan komposisi arab pemerintahan
yang hanya diisi oleh Bangsa Arab. Saat kekuasaan Bani Umayyah runtuh, barulah berdiri kekuasaan
Daulah Bani Abbasiyah pada tahun 132 H/749 M. Ketika orang-orang Mongol membunuh khalifah
terakhir Bani Abbasiyah dan menghancurkan Kota Baghdad secara habis-habisan maka berakhir juga
pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah pada saat itu. Sistem politik yang pernah dijalankan pada masa
pemerintahan Abbasiyah antara lain para khalifah harus berasal dari Bangsa Arab asli ,sedangkan
pejabat lain berasal dari kaum mawali, yaitu warga negara non Arab. Kemudian, Kota Baghdad
dijadikan pusat kegiatan berbagi segi kehidupan dan terbuka bagi siapa saja dan dari agama mana
saja. Lalu, ilmu pengetahuan harus dikembangkan dan dibagikan karena merupakan sesuatu yang
penting dan mulia. Dan yang terakhir adalah kebebasan berpikir merupakan hak setiap manusia yang
harus dijunjung tinggi.

Kepala pemerintahan (khalifah) pada masa Dinasti Abbasiyah bermacam-macam mulai dari
Abul Abbas As-Saffah yang merupakan khalifah pertama pemerintahan Bani Abbasiyah. Ia diangkat
leh Ibrahim saudaranya sebelum ditangkap oleh pemerintahan Umayyah . Abdul Abbas memerintah
selama 4 tahun. Yang kedua adalah Abu Ja’far Al-Mansur ia merupakan seseorang yang berani,
berambisi, dan cerdik. Beliau merupakan saudara dari Al-Abbas. Abu Ja’far berhasil membangun kota
Bghdad sebagai ibu kota pemerintahan, kemudian ia juga membangun Kota Rafiqah dan memperluas
Majidil Haram. Ia danggap sebagai pendiri Bani Abbasiyah sebenarnya kerena meletakkan dasar-
dasar pemerintahan dan membuat aturan perundang-undangan. Yang ketiga adalah Muhammad Al-
Mahdi, ia dilantik oleh ayahnya dan berhasil memperoleh mkemenangan-kemenangan atas orang-
orang Romawi. Ia memerintah selama 10 tahun lebih dan dibantu oleh Harun ar-Rasyid yang
merupakan anaknya sebagai panglima perang. Yang keempat adalah Musa Al-Hadi, ia diangkat
khalifah oleh ayahnya dan hanya memerintah selama setahun tiga bulan. Yang kelima adalah Harun
Ar-Rayid. Pada masa pemerintahannya, islam mengalami puncak keemasan dan keagungannya. Ia
berhasil membangun Baitul Hikmah sebagai tempat untuk ilmu pengetahuan yang menjadi peradaban
dunia pada masa itu. Ia dikenal sebagai sosok yang taqwa dan takut terhadap Allah SWT. Harun Ar-
Rayid memerintah selama 23 tahun, kemudian ia mewariskan kekuasaannya kepada kedua anaknya.
Hal ini kemudian menjadi firnah dan menelan banyak korban.

Yang keenam adalah Muhammad Al-Amien, ia merupakan khalifah yang ditugaskan di Irak
sedangkan saudaranya al Ma’mun di Khurasan. Ayah dari kedua bersaudara ini telah mengambil janji
untuk tidak berselisih. Al-Amien berkuasa selama 5 tahun dan dibunuh karena sebuah pemberontakan
dari menteri al-Fadhl ibmur-Rabi’ yang menipu Al-Amien untuk mencopot posisi mahkota
saudaranya yaitu Al-Ma’mun. Yang ketujuh adalah Abdullah Al-Ma’Mun, ia memandang bahwa
pemerintahan bertujuan untuk kemaslahantan umum sehingga tidak harus selalu diwariskan kepada
anaknya. Oleh karena itu, ia menggantikan dirinya dengan saudarannya Al-Mu’tashim karena
memiliki lebih banyak kelebihn daripada anaknya. Ia berkuasa selama 20 tahun. Yang ketujuh adalah
Abu Ishaq Al-Mu’tashin, ia mengangkat orang-oang turki sebagai tentara dalam pasukannya karena
ia sendiri dan ibunya berasal dari orang Turki. Yang kesembilan adalah Harun Al-Watsiq, pada masa
pemerintahannya, panglima Turki mencapai posisi yang terhormat sehingga memiliki kewenangan
yang luas. Harun Al-Watsiq meninggal pada tahun 223 H/846 M setelah memerintah selama lima
tahun.

Dalam perjalanannya, Daulah Abbasiyah mengalami masa integrasi dan masa disintegrasi.
Secara garis besarnya, terbagi menjadi empat periodisasi. Periode pertama adalah periode integrasi
yang dipengaruhi oleh Persia semenjak Khalifah Abu Abbas sampai al-Watsiq yang dikenal sebagai
massa keemasan Daulah Abbasiyah. Periode kedua sampai keempat merupakan periode disentegrasi.
Periode kedua sejak Khalifah al-Mutawakkil sampai akhir pemerintahan al-Mustaqi, periode ini
dikenal sebagai masa kemerosotan Daulah Abbasiyah. Periode ketiga adalah Bani Buwihi sejak
Khalifah al-Mustaqfi sampai Khalifah al-Kashim yang ditandai dengan kemunduran Daulah
Abbasiyah karena mendapatkan tekanan dari Bani Buaihi terhadap Pemerintahan Daulah Abbasiyah.
Periode keempat, Turki Bani Saljuk mulai dari Khalifah al-Muktadi sampai Khalifah Abu Ishaq Al-
Mu’tashim yang ditandai dengan semakin kuatnya kekuasaan Bani Saljuk yang berakhir dengan
serangan dari Mongol. Daulah Abbasiyah berkuasa selama 508 tahun yang diperintah oleh 37 khalifah
dan mengalami perpindahan kekuasaan dari bangsa satu ke bangsa lainnya.

Dalam pandangan Rizem Aizid pemerintahan Bani Abbasiyah dikelompokkan menjadi empat
periode yaitu pada masa Abbasiyah I semenjak lahirnya Abbasiyah 132 H sampai meninggalnya
Khalifah al-Washiq 232 H. Kekuasaan dipegang oleh khalifah keturunan Arab murni dan dibantu
Wazir. Menteri, panglima, dan pegawai banyak diangkat dari golongan Mawali turunan Persia. Kota
Baghdad dijadikan segala aspek pusat kehidupan dan terbuka bagi semua bangsa. Pada masa itu
mereka menganggap ilmu pengetahuan sangat penting dan mulia sehingga kebebaasan dalam berpikir
diakui sepenuhya. Menteri-menteri yang berasal atau turunan dari Persia memiliki hak sepenuhnya
dalam menjalankan roda pemerintahan. Mereka mencintai ilmu dan lebih mimilih menghabiskan
kekayaannya demi meningkatkan kecerdasan dan mengembangkan ilmu pengetahuan rakyatnya. Pada
massa Abbasiyah II yakni sejak Khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 232 H sampai masa
pemerintahan Buwaihiah di Baghdad pada tahun 334. Pada massa Abbasiyah III yaitu sejak berdirinya
pemerintahan Buwaihiyah tahun 334 H hingga masuknya kaum Saljuk ke Baghdad pada tahun 447
H. Massa Abbasiyah IV yakni sejak masuknya orang-orang Saljuk ke Baghdad tahun 447 H smpai
jatuhnya Baghdad ke tangan Bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 656 H.
Dari keempat periode ini menunjukkan bahwa massa Daulah Abbasiyah terjadi dalam kurun waktu
yang sangat panjang dan terjadi banyak sekali pergantian kekuasaan.

Kekuasaan khalifah semakin lemah karena nasibnya bergantung pada selera penguasa. Politik
sentral jatuh kewibawaannya karena negara bagian (kerajaan kecil) tidak memperhatikan dan
menganggap pemerintah pusat kecuali pengakuan secara politisi. Kekuasaan militer pusat juga
menurun karena setiap panglima membuat kekuasaan dan pemerintahannya sendiri-sendiri. Oleh
karena itu, berdirilah kerajaan disebelah barat Baghdad. Baghad bukan hanya satu-satunya kota yang
internasional karena setiap wilayah kerajaan berlomba-lomba untuk mendirikan kota-kota antara lain
seperti Cordove, Toledo, Sevilla, dan lain-lain. Keadaan politik dan militer menurun, sedangkan ilmu
pengetahuan semakin pesat dan maju. Para khalifah dan sultan saling berlomba-loba untuk
mengembangkan pengetahuan dengan mendirikan perpustakaan sebagai sarana belajar,
mengumpulkan ilmuan ilmuan hebat, penerjemah, dan pengarang. Mereka juga memberikan posisi
yang terhormat untuk para ulama dan pujangga. Sehingga, pada abad ke-4 H memiliki martabat yang
lebih tinggi dibanding sebelumnya karena pengetahuan yang lebih matang.

Kebudayaan islam semakin berkembang serta dapat mencapai massa kejayaan atau massa
kemasan pada massa Dinasti Abbasiyah. Pada massa ini lebih menekankan peradaban dan kebudayaan
daripada memperluas wilayah. Peradaban slam pada waktu itu lebih jaya dibandingkan dengan dunia
barat yang gelap dan primitif. Islam sudah melakukan penyelidikan laboratorium sedangkan barat
masih terpengaruh oleh dewa-dewa. Agama yang dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhammad
menimbulkan dorongan yang kuat untuk mengembangkan kebudayaan islam. Pada awalnya tercipta
ilmu naqli kemudian ilmu agama diberbagai bidang. Setelah itu, menemukan perbendaharaan Yunani
sehingga muncullah ilmu pengetahuan bidal akal (ilmu aqli).
Pengembangan ilmu dirintis oleh Khalifah Ja’far setelah ia membangun Kota Baghdad.
Khalifah Ja’far al-Manshur menjadikan Kota Baghdad sebagai pusat ibu kota. Ia juga merintis usaha
pembukuan berbagai ilmu-ilmu agama. Pada massa itu, hidup para filsuf, pujangga, para ahli qur’an,
dan ulama agama. Didirikan juga Baitul Hikmah yaitu tepat untuk menggali ilmu pengetahuan. Selain
itu, berkembang juga ilmu filsafat, logika, matematika, geografi, dan lain sebagainya. Khalifah Ja’far
al-Manshur memiliki strategi jitu dalam mengembangkan kecerdasan masyarakat di sana. Ia mengajak
para ulama dan berbagai ahli yang berasal dari wilayah yang berbeda-beda untuk tinggal di Kota
Bahgdad. Ilmu pengetahuan pada saat itu sangat pesat dan dibedakan menjadi dua yang
perkembangan bidang ilmu naqli dan aqli. Ilmu naqli terdiri atas ilmu fiqh, ilmu tafsir, ilmu hadist,
ilmu kalam, ilmu bahasa, dan ilmu tasawuf. Pada ilmu fiqh lahir ahli hukum (fuqaha) yang terbagi
menjadi dua aliran yakni ahli hadist yang mengarang fiqh sesuai hadist dan ahli ra’yi yang
mempergunakan akal dalam menggali hukum. Pendiri mahzab pada ilmu fiqh diantaranya adalah
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Yang kedua adlah
ilmu tafsir yang terbagi menjadi dua yaitu tafsir bi al-ma’tsur yang menafsirkan Al Qur’an dengan
hadist dari Nabi Muhammad SAW, dan tafsir bi al-ra’yi yang menafsirkan Al-Quran menggunakan
akal dengan memperluas pemahaman yang terkandung di dalamnya. Yang ketiga adalah ilmu hadist
yang merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Oleh karena itu, setiap umat wajib menjaga
dan melestarikannya. Ahli hadist Bani Abbassiyah diantaranya adalah Imam Bukhari, Imam Muslim,
Ibnu Majah, dan Abu daud. Mereka semua ini telah menghasilkan karya-karya yang dapat menjadi
sumber hukum islam. Yang ketiga adalah ilmu kalam yaitu kajian dari para ahli kalam (teologi)
mengenai dosa, pahala, serta perdebatan tentang ketuhanan dan tauhid sehingga menghasilkan ilmu.
Tokoh-tokoh ilmu kalam antara lain adalah Imam Abu Hasan dan Imam Abu Manshur, Washil bin
Atha dan Abu Huzail, dan Al – Juba’. Yang kelima adalah ilmu bahasa Arab yang berkembang
menjadi bahasa internasional. Ilmu bahasa yang dimaksud adalah nahwu, sharaf ma’ani, bayan, bad’i,
arudh, qamus, dan insya. Yang terakhir adalah ilmu tasawuf merupakan ilmu yang mengajarkan agar
terbentuk ketekunanan dalam beribadah dan berserah diri kepada Allah SWT, meninggalkan
kesenangan yang memicu dosa, dan lebih khusyu’ dalam beribadah kepada Allah SWT. Ahli ahli dan
ulamanya antara lain : Al-Qusyairy kitabnya adalah al-Risalahul Qusyairiyah, Syahabuddin dengan
kitabnya Awariffu Ma’arif, dan Imam al-Ghazali yang membawa aliran baru dengan kitab Ihya
Ulumud dengan menghubungkan ajaran tasawuf dengan ajaran hidup bermasyarakat sehingga ilmu
ini dibukukan agar menjadi sumber pengetahuan bagi masyarakat luas. Ajaran tasawuf pada kitab ini
sangat rekat hubungannya dengan kehidupan masyarakat sehingga dapat menjadi pedoman bagi
mereka.
Pada perkembangan ilmu aqli tepatnya pada abad penerjemahan dari bahasa Yunani ke bahasa
Arab yang terjadi besar-besaran pada masa Khalifah al-Manshur dari Abbasiyah. Yunde Sahpur
dijadikan sebagai kota ilmu pengetahuan pertama dalam agama islam. Gerakan penerjemah ini
berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama adalah masa Khalifah al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid
yang banyak menerjemahkan karya dalam bidang astronomi dan mantik. Fase kedua sejak Khalifah
al-Makmun hingga tahun 300 H. Didirikan “Sekolah Tinggi Terjemah” di Bahgdad pada zaman
Al’Ma’mun Bait Al-Hikmah yang memfasilitasi pengembangan pengetahuan. Yang ketiga adalah
fase pembuatan kertas dan ilmu yang diterjemahkan semakin luas dan berkembang. Dalam berbagai
upaya yang telah dilakukan pada masa Khalifah al-Manshur menyebabkan ilmu pengetahuan
berkembang dengan sangat pesat, dan masyarakat dapat menerima ilmu pengetahuan dengan sangat
baik karena mendapatkan fasilitas yang memadai dari pemerintah.

Pada perkembangan ilmu aqli tepatnya pada abad perkembangan ilmu aqli para ilmuwan
berhasil mengembangkan pikirannya dan memperdalam penelitian mereka sehingga dapat menguasai
macam-macam ilmu filsafat yang berkembang. Semua itu berkat adanya penerjemahan dari berbagai
macam karya dan karangan. Pada masa ini mulai terbentuk kategori berbagi ilmu pengetahuan islam
yang dikenal dengan Abad Keemasan selama tahun 900-1100 M. Perkembngan ilmu aqli pada masa
abbasiyah antara lain adalah ilmu kedokteran. Ilmu kedokteran islam mendapat pengaruh dari
Judhisafur dan Iskadariyah. Jushisafur adalah perguruan kedokteran di Persia, yang berasal dari India,
Persia, dan Yunani. Buku-buku bahasa kedokteran berbagai bahasa yang diterjemahkan ke dalam
Bahasa Arab turut mempengaruhi perkembangan ilmu kedokteran islam, sehingga lahirlah tokoh
tokoh besar kedokteran islam seperti Ibnu Sina, Ali bin Raba, Al-Razi dan lain-lain. Tokoh-tokoh
inilah menciptakan berbagai karya –karya yang sangat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan tentang kesehatan manusia. Yang kedua adalah filsafat yang berasal dari buku
terjemahan dari berbagai negara yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Pada masa Daulah
Abbasiyah, Al-Kindi sangat berpengaruh terhadap ilmu filsafat sehingga ia dijuluki sebagai Filosof
Muslim yang pertama. Menurut Al-Kindi filsafat merupakan ilmu yang terkemuka dan terbaik
sehingga terbagi menjadi tiga bagian yaitu ilmu ketuhanan, ilmu matematika, dan ilmu fisika. Yang
ketiga adalah ilmu optik , ilmu ini berasal dari al Hasan bin al-Haytam yang menemukan optik dan
mengembangkan lapangan ilmu mata. Sehingga , ia dapat menemukan lensa pembesar, kaca teleskop,
dan kaca mikroskop. Yang keempat adalah ilmu astronomi. Ilmu ini bertujuan untuk , menunjukkan
munculnya bulan saat Ramadhan, waktu sholat, arah kiblat, dan lain-lain. Ilmuwan bidang astronomi
adalah Al-Battani, Al-Farghani dan lain sebagainya. Yang kelima adalah ilmu hukum. Ilmu ini
bermula ketika al-Fazari menerjemahkan buku india sehingga mengenal perangkaan arab. Kemudian
dilengkapi oleh al-Khawarizmi yang menciptakan angka dan menemukan angka. Oleh karena mereka
dapat menghitung puluhan, ratusan, dan seterusnya. Yang keenam adalah ilmu kimia. Ilmu ini
dikembangkan oleh Jabir bin Hayyan sebagai bapak ilmu kimia muslim. Ia menggagas teori tentang
logam dan menulis buku-buku kimia sains yang diterjemahkan ke bahasa latin sehingga dapat
dipelajari oleh semua kalangan dan sarjana-sarjana di seluruh dunia. Tidak hanya Jabir, Al-Maghriti
juga ilmuwan yang menulis buku kimia sehingga dapat menjadi referensi dalam belajar.

Kemunduran Bani Abbasiyah diawali sejak periode kedua yang dibagi menjadi dua faktor
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal disebabkan karena menurunnya kekuasaan
khalifah dibidang politik. Kemenurunan ini disebabkan karena tekanan orang-orang Turki yang
sesuka hati memecat khalifah dan menghabisi nyawa khalifah. Militer Turki melakukan tindakan di
luar batas kepada penduduk Baghdad agar dapat menduduki kekuasaan semau mereka. Yang kedua
disebabkan karena tekanan Bani Buwaihi. Bani buwaihi melakukan tekanan dan paksaan terhadap
khalifah dalam pemerintahan sehingga saat Bani buwaihi masuk ke kota Baghdad Daulah Abbasiyah
menjadi lumpuh. Kahadiran Bnai Buwaihi dimaksudkan agar terdapat batasan dominasi orang-orang
Turki. Daulah Abbasiyah berharap dapat mengembambalikan kestabilan pemerintahan , namun Bani
Buwaihi memanfaatkannya utuk penekanan dan paksaan termasuk menganut paham syia’ah sehingga
Khalifah Al-Qaim mengundang Tughrul Bek untuk mengatasi berbagai persoalan. Yang ketiga adalah
karena tekanan Turki Saljuk yang mendominasi pusat kekuasaan. Dilatarbelakangi untuk membantu
Daulah Abbasiyah dari tekanan Bani. Turki Saljuk mencapai kemajuan dalam waktu singkat dalam
menagatasi politikyang tidak stabil, namun mengalami kemunduruan dikarenakan perang saudara dan
ambisi kekuasaan sehingga berakibat banyak daerah yang melepaskan diri dari pemerintahan pusat
dan pemrintahan pusat menjadi tidak berwibawa.

Faktor internal kemunduran Daulah Abbasiyah lainnya adalah persaingan antar bangsa. Hal
ini dikarenakan Daulah Abbasiyah bekerja sama dengan orang-orang Persia. Persekutuan nasib yang
tertindas sudah ada sejak Bani Umayyah dan bertahan sampai Bani Abbasiyah berdiri. Pada masa ini,
persaingan antar bangsa memicu perebutan kekuasaan. Faktor lainnya adalah karena ketidakmampuan
khalifah yang kurang kompeten dalam melaksanakan tugas. Banyak khalifah yang memiliki sifat
hedonis dan berhura-hura daripada mengurus negara. Hal ini juga diperkuat oleh para khalifah yang
menjabat setelah al-Muktasim sehingga menyebabkan kemunduran Dulah Abbasiyah. Faktor lainnya
adalah faktor keagamaan yang menimbulkan perpecahan. Terdapat berbagai macam aliran keagamaan
seperti Syi’ah, Ahlus Sunnah, Mu’tazilah dan lain-lain yang dapat mempersulit pemerintahan pada
masa Daulah Abbasiyah dalam mempersatukan berbagai paham keagamaan yang ada. Persolan
keagamaan ini menjadi masalah utama pokok pada masa Daulah Abbasiyah. Faktor lainnya adalah
karena ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah. Hal ini dilatarbelakangi oleh berbagai tekanan yang
dilakukan pemerintah baik dari orang Turki, Bani Buwaihi, dan Turki Saljuk. Banyak rakyat yang
merasa tertekan dan lebih memilih mendirikan pemerintahan sendiri di daerahnya yang lepas dari
pemerintahan pusat. Rakyat hanya mengakui pemerintah pusat secara politis saja. Faktor internal yang
terakhir adalah luasnya wilayah kekuasaan dan lemahnya kegiatan ekonomi. Wilayah kekuasaan
Abbasiyah sangat luas sehingga pemerintah sulit untuk mengatur dan megendalikan kegiatan ekonomi
di setiap daerah. Pemerintah pusat lebih mengembangkan ilmu pengetahuan daripada mengendalikan
kegiatan ekonomi wilayahnya yang sedang melemah, sehingga terjadi ketidakseimbangan.

Faktor eksternal kemunduran Daulah Abbasiyah karena perang salib dan serangan mongol.
Perang salib dilakukan oleh orang-orang kristen Eropa yang berada di kawasan Timur Tengah yang
merasa dengki dengan orang muslim. Perang ini menimbulkan banyak sekali korban. Pemerintah sulit
mengatur karena konsentrasi pemerintah Abbasiyah terpecah belah sehingga untuk menghadapi
tentara salib menjadi lemah. Serangan mongol juga menyebabkan kemunduran Daulah Abbasiyah.
Bangsa Mongol ingin menguasai Kota Baghdad dan menghancurkan kekuasaan Daulah Abbasiyah
yang sedang lemah karena adanya perpecahan khalifah yang berpaham Ahlus Sunnah sedangkan Amir
Umaranya yang berpaham Syi’ah. Oleh karena itu, Hulagu Khan memanfaatkan kondisi ini dengan
memerintahkan Khalifah al-Mukta’sim untuk menimbun prit-parit jebakan. Hulagu Khan sebagai
orang yang mempelopori serangan mongol juga menuntut kekuasaan dan ingin menghancurkan
benteng-benteng pertahanan. Namun semua keinginan itu, ditolak oleh Khalifah al-Mukta’sim dan
menyatakan siap melawan serangan Hulagu Khan. Akhirnya Baghdad lumpuh dikepung oleh pasukan
Mongol dari segala penjuru. Oleh karena itu, khalifah meminta cara menyelesaikan masalah dengan
berdamai, tetapi ditolak oleh Hulagu Khan. Akhirnya, Hulagu Khan dapat membinasakan Baghdad
dan rakyatnya dalam waktu singkat. Banyak sekali korban melayang karena serangan Mongol ini,
termasuk sang khalifah. Namun, putra khalifah dapat melarikan diri ke Syiria. Dalam peristiwa ini
terdapat peran dari seorang Syiah Rafidhah yakni Ibnul Alqami, menteri al-Mus’tashim yang bekerja
sama dengan orang-orang Mugolia sehingga mempermudah penyerangannya. Sehingga, hancurlah
pemerintahan Abbasiyah tahun 656 H/1258 M. Penghancuran, perampokan, bahkan pembakaran Kota
Baghdad yang dilakukan oleh pasukan Hulagu Khan berlangsung selama 40 hari lamanya. Perjuangan
membangun kekuasaan selama 5 abad hancur dalam waktu yang sangat singkat. Runtuhnya Baghdad
sebagai pusat pemerintahan merupakan tragedi yang sangat memilukan sepanjang sejarah islam. Hal
ini merupakan sebuah kenyataan yang harus diterima oleh seluruh umat islam. Namun, dengan
kejadian tersebut tidak melumpuhkan semangat untuk terus mengembangkan politik islam
selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai