DI SUSUN OLEH :
Kelompok 3
Aspiansyah 11194561920082
Normaliyanti 11194561920109
A. Definisi
a. Difus
b. Nodul
a. Hipotiroid
Kumpulan manifestasi klinis akibat berkurang / berhentinya produksi
hormone tiroid
b. Hipertiroid
c. Eutiroid
B. ETIOLOGI
Penyakit gondok sangat erat kaitannya dengan kekurangan iodium.
Hubungan antara penyakit ini dengan kurangnya konsumsi iodium telah
diketahui lebih dari 130 tahun yang lalu, iodium merupakan bahan baku dalam
pembentukan hormone tiroksin dan trilodotironin. Iodium berinteraksi dengan
protein yang disebut dengan thyroglobulin, dan cincin aromatic dari protein ter-
iodinisasi. Dua darimolekulter-iodinisasi tersebut berinteraksi, membentuk suatu
unit tiroksin sedangkan duam olekul teriodinisasi dan satu molekul teriodinisasi
membentuk triiodotironin. Unit aromatik ini kemudian lepask dan menghasilkan
hormone tiroksin ataupun triiodotironin. Apabila ketersediaan iodium dalam
tubuh rendah maka produksi kedua hormone dalam kelenjar tiroid juge rendah.
Iodium merupakan unsur zat gizi mikro yang sangat dibutuhkan manusia,
walaupun relative sedikit untuk mensintesis hormone tiroksin (WHO,2011).
Hormon tiroksin berfunsi mengatur proses kimiawi yang terjadi pada sel-sel
organ tubuh; berperan metabolism umum; system kardiovaskuler; system
pencernaan; system otot; SSp dan hormone pertumbuhan (granner,2013)
C. Manifestasi klinis
Penyakit gondok biasanya dapat dilihat secara kasat mata dengan
munculnya pembengkakan pada leher bagian depan bawah, pada posisi
dimana kelenjar tiroid berada. Pada bayi dan anak-anak gejala tambahan yang
dapat dilihat adalah gangguan tumbuh kembang dan kretinisme (kekerdilan).
Gejala yang timbul akibat kekurangan iodium secara terus menerus dalam
jangka waktu lama disebut sebagai GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan
Yodium). Penderita kurang iodium ringan dapat tidak menunjukkan gejala apa-
apa sehingga tidak disadari. Disamping itu karena tak terasa sakit, kadang
penyakit gondok seringd iabaikan. Padahal hasil penelitian diberbagai daerah di
Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 42 juta penduduk di Indonesia tinggal
didaerah endemis gondok, yaitu daerah yang tanahnya kekurangan iodium.
Perkembangan penyakit gondok dapat dikatergorikan dalam lima tahapan yaitu:
1. Grade 0= Normal
Dengan inspeksi tidak terlihat, baik data rmaupun tengadah maksimal, dan
dengan palpasi tidak teraba.
2. Grade IA
Kelenjar gondok tidak terlihat, baik datar maupun penderita tengadah
maksimal, dan palpasi teraba lebih besar dari ruas terakhir ibu jari penderita.
3. Grade IB
Kelenjar gondok dengan inspeksi datar tidak terlihat, tetapi terlihat dengan
tengadah maksimal dan dengan palpasi terabalebih besar dari grade IA.
4. Grade II
Kelenjar gondok dengan inspeksi terlihat dalam posisi datar dan dengan
inspeksi teraba lebih besar dari grade IB .
5. Grade III
Kelenjar gondok cukup besar, dapat terlihat pada jarak 6 meter atau lebih.
(Duarsa,2013)
D. Patofisiologi
Kelenjar tiroid dikendalikan oleh thyroid stimulating hormone (TSH) yang juga
dikenal sebagai thyrotropin. TSH disekresi dari kelenjar hipofisis, yang pada
gilirannya dipengaruhi oleh hormonthyrotropin releasing hormon (TRH) dari
hipotalamus. Thyrotropin bekerja pada reseptor TSH terletak pada kelenjar
tiroid. Serum hormon tiroid levothyroxine dan triiodothyronine umpan balik ke
hipofisis, mengatur produksi TSH.. Stimulasi dari reseptor TSH dari tiroid oleh
TSH, TSH reseptor antibodi, atau agonis reseptor TSH, seperti chorionic
gonadotropin, dapat mengakibatkan gondok difus. Ketika sebuah kelompok kecil
sel tiroid, sel inflamasi, atau sel ganas metastasis untuk tiroid terlibat, suatu
nodul tiroid dapat berkembang.
Kekurangan dalam sintesis hormon tiroid atau asupan menyebabkan produksi
TSH meningkat. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan cellularity dan
hiperplasia kelenjar tiroid dalam upaya untuk menormalkan kadar hormon tiroid.
Jika proses ini berkelanjutan, maka akan mengakibatkan gondok. Penyebab
kekurangan hormon tiroid termasuk kesalahan bawaan sintesis hormon tiroid,
defisiensi yodium, dan goitrogens. Goiter dapat juga terjadi hasil dari sejumlah
agonis reseptor TSH. Pendorong reseptor TSH termasuk antibodi reseptor TSH,
resistensi terhadap hormon tiroid hipofisis, adenoma kelenjar hipofisis
hipotalamus atau, dan tumor memproduksi human chorionic gonadotropin.
Pemasukan iodium yang kurang, gangguan berbagai enzim dalam tubuh,
hiposekresi TSH, glukosil goitrogenik (bahan yang dapat menekan sekresi
hormone tiroid), gangguan pada kelenjar tiroid sendiri serta factor pengikat
dalam plasma sangat menentukan adekuat tidaknya sekresi hormone tiroid. Bila
kadar – kadar hormone tiroid kurang maka akan terjadi mekanisme umpan balik
terhadap kelenjar tiroid sehingga aktifitas kelenjar meningkat dan terjadi
pembesaran.
Dampak goiter terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang
dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ lain di sekitarnya. Di bagian
posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Goiter dapat
mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara
sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia yang akan berdampak
terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit.
Penekanan pada pita suara akan menyebabkan suara menjadi serak atau
parau. Bila pembesaran keluar, maka akan memberi bentuk leher yang besar
dapat simetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia.
(Rahza, 2010)
E. Komplikasi
Penyakit Graves yang tidak segera ditangani dapat berujung kepada komplikasi
yang bias membahayakan, yaitu:
1 Gangguan jantung.
Bila dibiarkan tanpa penanganan, penyakit Graves dapat mengakibatkan
aritmia, perubahan pada struktur dan fungsi jantung, serta menurunnya
kemampuan jantung untuk memompa darah keseluruh tubuh.
2 Keropos tulang atau osteoporosis.
Jumlah hormone tiroid yang terlalu banyak dapat memengaruhi kemampuan
tubuh dalam menyerap kalsium kedalam tulang. Hal ini menyebabkan
kekuatan tulang menjadi berkurang sehingga menjadi mudah rapuh.
3 Gangguan kehamilan.
Beberapa komplikasi penyakit Graves yang bias terjadi pada masa
kehamilan, antara lain kelahiran prematur, disfungsi tiroid pada janin,
menurunnya perkembangan janin, tekanan darah tinggi pada ibu
(preeklamsia), gagal jantung pada ibu, hingga keguguran.
4. Krisistiroid (thyroid storm),
Yaitu kondisi di mana hormone tiroid diproduksi secara cepat dan
berlebihan. Kondisi ini disebabkan oleh hipertiroidisme yang tidak segera
ditangani, dan tergolong kondisi yang sangat berbahaya. Beberapa gejala
krisistiroid, antara lain diare, keringat berlebih, demam, muntah, kejang,
mengigau, tekanan darah rendah, jantung berdebar, sakit kuning, hingga
koma.
5. Koma miksedema adalah situasi yang mengancam nyawa yang ditandai
oleh eksa serbasi (perburukan) semua gejala hipotiroidisme termasuk
hipotermi tanpa menggigil, hipotensi, hipoglikemia, hipoventilasi, dan
penurunan kesadaran hingga koma (Corwin, 2009:296). Kematian dapat
terjadi apabila tidak diberikan hormone tiroid dan stabilisasi semua gejala.
Dalam keadaan darurat (misalnya koma miksedema), hormone tiroid bias
diberikan secara intravena.
6. Gangguan Kardiovaskuler. Penurunan hormone tiroid akan mengganngu
metabolisme lemak disebabkan oleh peningkatan kada rkolesterol dan
trigliserida sehingga klien berpotensi mengalami atherosclerosis. (Corwin,
2014)
F. Pemeriksaan diagnostik
1. Serum T4 dan T3 dalam darah : meningkat
2. TSH : tertekan dan tidak berespon terhadap TRH (tiroid releasing hormon)
yodium radio aktif.
3. Protein Bound Iodine (PBI). Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengukur
iodium yang terikat dengan protein plasma. Pada penderita goiter biasanya
terjadi peningkatan.
4. 4.Tes pengambilan RAI (Up take Radioaktif): bertujuan untuk mengukur
kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap iodida. Hasil pemeriksaan
meningkat pada goiternoduler.
5. Radio Iodine Scanning. Digunakan untuk menentukan apakah nodul tiroid
tunggal atau majemuk dan apakah panas atau dingin (berfungsi atau tidak
berfungsi). Nodul panas menyebabkan hipersekresi jarang bersifat ganas.
Sedangkan nodul dingin adalah ganas.
6. CT scan/foto rontgen leher jika timbul penekanan yang menimbulkan
pergeseran trakhea dan esofagus akibat dari goiter.
7. Ultrasonografi untuk memperlihatkan ukuran goiter dan membedakan
massa solid atau kistik, soliter atau multipel.
(Rubeinstein, David, dkk, 2017)
G. Penatalaksanaan
Banyak penyakit goiter ini mereda setelah gangguan keseimbangan
iodium diperbaiki. Preparat suplemen iodium, seperti larutan jenuh kalium
iodida, diresepkan untuk menekan aktivitas kelenjar hipofisis yang menstimulasi
tiroid.
Apabila tindakan bedah dianjurkan, komplikasi pasca operatif dapat
dikurangi dengan menciptakan keadaan eutiroid praoperatif yang ditimbulkan
oleh pengobatan dengan preparat antitiroid dan pemberian senyawa iodida
praoperatif untuk mengurangi ukuran serta vaskularisasi goiter tersebut.
Tiroidektomi dilakukan apabila goiternya besar dan menekan jaringan sekitar.
Tekanan pada trakhea dan esofagus dapat mengakibatkan inspirasi stridor dan
disfagia. Tekanan pada laring dapat mengakibatkan suara serak.
BAB II
TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian
1. Identitas
Kaji nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa,
pendidikan, pekerjaan, alamat, dan nomor register.
2. Riwayat Kesehatan
- Keluhan Utama
Kaji apa yang dirasakan klien pada saat pengkajian
- Riwayat Kesehatan Sekarang
Kaji bagaimana kondisi klien saat dilakukan pengkajian. Klien dengan
penyakit tiroid biasanya mengeluhkan susah makan dan menelan.
- Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji riwayat alergi makanan maupun obat-obatan klien, riwayat
konsumsi obat-obatan dahulu, riwayat penyakit yang sebelumnya
dialami klien.
- Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji apakah di dalam keluarga klien, ada yang mengalami penyakit
yang sama.
C. Pemeriksaan Psikososial
Kaji apakah Pasien terlihat cemas kalau penyakitnya tidak dapat sembuh dan
malu bertemu dengan orang lain dengan kondisinya yang sekarang
- Pola nutrisi –metabolic
Pada pola ini kita mengkaji :
a. Bagaimanakah pola makan dan minum klien sebelum dan selama dirawat
di rumah sakit?
b. Kaji apakah klien alergi terhadap makanan tertentu?
c. Apakah klien menghabiskan makanan yang diberikan oleh rumah sakit?
d. Kaji makanan dan minuman kesukaan klien?
e. Apakah klien mengalami mual dan muntah?
f. Bagaimana dengan BB klien, apakah mengalami penurunan atau
sebaliknya?
- Pola eliminasi
Pada pola ini kita mengkaji:
a. Bagaimanakah pola BAB dan BAK klien ?
b. Apakah klien menggunakan alat bantu untuk eliminasi?
c. Kaji konsistensi BAB dan BAK klien
d. Apakah klien merasakan nyeri saat BAB dan BAK?
0 = mandiri
1 = membutuhkanalat bantu
2 = membutuhkanpengawasan
D. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi bentuk leher membesar dan tidak simetris.
2. Palpasi kelenjar tiroid dengan posisi kepala pasien fleksi. Terjadi
pembesaran, nodul tunggal di sisi kanan, terjadi deviasi trakhea ke kiri.
3. Auskultasi bunyi pada arteri tiroidea. Pada keadaan normal bunyi ini tidak
terdengar, bunyi dapat terdengar jika terjadi peningkatan sirkulasi darah ke
kelenjar tiroid sebagai dampak peningkatan aktivitas kelenjar tiroid
a. Pemeriksaan Persistem
1. B1 (Breathing): pasien mengeluh sesak napas, ada pernapasan cuping
hidung, terdapat benda asing di jalan napas (goiter), RR: x/menit.
MK: ketidakefektifan bersihan jalan napas.
2. B2 (Blood): TD: mmHg, HR: x/menit.
Tidak ditemukan masalah.
3. B3 (Brain): kesadaran: kompos mentis.
Tidak ditemukan masalah.
4. B4 (Bladder): -
Tidak ditemukan masalah.
5. B5 (Bowel):
A. Antropometri:
- BB: kg.
- TB: cm.
- IMT: Berat Badan (kg)/(Tinggi Badan (cm)/100)2
6. B6 (Bone): -
Tidak ditemukan masalah.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Serum T4 dan T3 dalam darah : meningkat
2. TSH : tertekan dan tidak berespon terhadap TRH (tiroid releasing hormon)
yodium radio aktif.
3. Protein Bound Iodine (PBI). Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengukur
iodium yang terikat dengan protein plasma. Pada penderita goiter biasanya
terjadi peningkatan.
4. Tes pengambilan RAI (Up take Radioaktif): bertujuan untuk mengukur
kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap iodida. Hasil pemeriksaan
meningkat pada goiternoduler.
5. Radio Iodine Scanning. Digunakan untuk menentukan apakah nodul tiroid
tunggal atau majemuk dan apakah panas atau dingin (berfungsi atau tidak
berfungsi). Nodul panas menyebabkan hipersekresi jarang bersifat ganas.
Sedangkan nodul dingin adalah ganas.
6. CT scan/foto rontgen leher jika timbul penekanan yang menimbulkan
pergeseran trakhea dan esofagus akibat dari goiter.
7. Ultrasonografi untuk memperlihatkan ukuran goiter dan membedakan massa
solid atau kistik, soliter atau multipel.
(Rubeinstein, David, dkk, 2016)
F. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan goiter yang tumbuh
membesar dan mendesak trakhea.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kesulitan menelan makanan akibat kompres/penekanan esophagus.
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan nodular goiter.
4. Gangguan menelan berhubungan dengan nodular goiter yang mendesak
esofagus.
G. Intervensi
Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan goiter yang tumbuh membesar dan
mendesak trakhea.
Tujuan dan Kriteria Hasil NIC Rasional
NOC: 1. Lakukan pemberian 1. Membantu pasien untuk
Setelah dilakukan tindakan oksigenasi. memenuhi kebutuhan
keperawatan selama 4x24 2. Anjurkan pasien oksigen dan
jam, pasien menunjukkan untuk istirahat dan meningkatkan pola
keefektifan status ventilasi napas dalam. pernapasan spontan yang
jalan napas dibuktikan 3. Posisikan pasien optimal.
dengan kriteria hasil: untuk 2. Meningkatkan
memaksimalkan pernapasan yang
1. Tidak ada sesak napas ventilasi dengan adekuat.
(dispnea) semifowler atau 3. Memudahkan pasien
2. Menunjukkan jalan napas fowler dengan posisi untuk bernapas dan
yang paten (klien tidak leher tidak tertekuk / mencegah terjadinya
merasa tercekik, irama tidak ekstensi. kesulitan saat bernapas
napas reguler, frekuensi 4. Auskultasi suara akibat dari pendesakan
pernapasan dalam nafas, catat adanya trakhea oleh nodul.
rentang normal (16-20 suara tambahan. 4. Menentukan ada tidaknya
x/menit), tidak ada suara 5. Monitor respirasi dan kelainan pada jalan
abnormal). status oksigen. napas.
3. Saturasi oksigen dalam 6. Jelaskan pada pasien 5. Memantau perkembangan
batas normal (95-100%). dan keluarga tentang bila terjadi perubahan.
penggunaan 6. Menambah pengetahuan
peralatan seperti pasien dan keluarga
oksigen. tentang alat yang
7. Kolaborasi digunakan.
pemberian obat- 7. Deksametason
obatan seperti merupakan glukokortikoid
deksametason. dengan sintetik aktivitas
8. Kolaborasi dengan antiinflamasi, mencegah
tindakan operatif jika respon jaringan terhadap
dengan konseratif proses inflamasi,
gejala tidak hilang. diberikan pada goiter
akibat reaksi peradangan.
8. Tindakan operatif untuk
mengangkat nodul-nodul
pembesaran kelenjar
tiroid jika sudah tidak
dapat ditangani dengan
metode lain.
I. Evaluasi
1. Klien tidak lagi mengeluh sesak napas, pola pernapasan adekuat, tidak
terdapat suara napas tambahan.
2. Nafsu makan klien kembali normal sehingga porsi makan klien bertambah
dan pola makan klien teratur.
3. Pasien dapat menerima kondisi fisik akibat penyakitnya saat ini dan
kepercayaan diri pasien meningkat.
4. Gangguan menelan pada klien berkurang sehingga klien tidak merasa
kesulitan saat makan.
(Murwani, 2015).
DAFTAR PUSTAKA
Dipiro. JT., 2017, Pharmacoterapy Handbook 7th edition, Mc Graw Hill, New York.
Dipiro, Cecily V., Barbara G. Wells, Joseph T DiPiro, and Terry L. Schwinghammer.
2015. Pharmacotherapy Handbook 9th Ed. United States: McGraw-Hill
Education.
Kemenkes RI. 2015. Situasi dan Analisis Penyakit Tiroid. Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI 2442-7659
Luiz H, Pereira B, Silva T, Veloza A, Matos C, Manita I, et al. Thyroid Tuberculosis
with Abnormal Thyroid Function-Case Report and Review of the Literature.
Endocrine Practice. 2013;19(2):e44-e9
Ross, Douglas. et. al. 2016. American Thyroid Association Guidelines for Diagnosis
and Management of Hyperthyroidism and Other Causes of Thyrotoxicosis.
THYROID. American Thyroid Association. Mary Ann Liebert, Inc.:Volume
26:10.
Schteingart DE. Gangguan Kelenjar Tiroid In: Price SA, Wilson LM, editors.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit. 2. 6 ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006:1225-36
Wartofsky L. Penyakit TiroidIn: Asdie AH, editor. Harrison Prinsip - Prinsip
Ilmu Penyakit Dalam 5. 13 ed. Jakarta: PenerbitBukuKedokteran EGC;
2013:2144-68