Anda di halaman 1dari 24

Sindrom Nefrotik Resisten Steroid

A. Definisi

Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS) merupakan suatu keadaan dimana penderita

sindrom nefrotik (SN) tidak mencapai fase remisi atau perbaikan setelah 4 minggu pengobatan

steroid dosis penuh ( 2mg/kg/hari ). Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit ginjal yang

paling sering dijumpai pada anak yang ditandai dengan kumpulan gejala seperti proteinuria masif

(>40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥

2+), hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL, edema, dan dapat disertai hiperkolesterolemia. Keadaan remisi

adalah keadaan dimana penderita sindrom nefrotik mengalami perbaikan dengan tanda

proteinuria negatif ( proteinuria < 4 mg/m2LPB/jam) tiga hari berturut-turut dalam satu

minggu.1 Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa terjadi proteinuria yang menetap pada

sindrom nefrotik resisten steroid.

B. Etiologi

Berdasarkan etiologinya, SNRS bisa dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kongenital,

idiopatik atau primer, dan sekunder.

1. Kongenital

Tipe kongenital paling sering disebabkan mutasi pada NPHS1, NPHS2, dan WTI1, tetapi

dapat juga disebabkan mutasi pada gen lain dengan uraian sebagai berikut:

a. Finnish- type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephrin)

b. Denys-Drash syndrome (WT1)

c. Frasier syndrome (WT1)

d. Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)

e. Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)


f. Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, α-actinin-4;TRPC6)

g. Nail- patella syndrome (LMX1B)

h. Pierson syndrome (LAMB2)

i. Schimke immuno-osseous dysplasia (SMARCAL1)

j. Galloway- Mowat syndrome

k. Oculocerebrorenal (Lowe) syndrome

2. Primer atau idiopatik

Pada kejadian primer atau idopatik dapat disebabkan oleh kelainan histopatologi sebagai

berikut:

a. Sindrom nefrotik kelainan minimal ( SNKM )

b. Glomerulosklerosis fokal segmental ( GSFS )

c. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus ( GNMPD )

d. Glomerulonefritis membrano- proliferatif ( GNMP )

e. Glomerulopati membranosa ( GNM )

3. Sekunder

Terkadang SNRS dapat mengikuti penyakit lain baik infeksi, penyakit sistemik, maupun

obat- obatan. Hal ini disebut sindrom nefrotik sekunder. Hal ini dapat memperburuk prognosis.

Berikut ini penyakit lain yang dapat mengikuti sindrom nefrotik sekunder:

a.Infeksi

1) Sifilis, toxoplasmosis, cytomegalovirus, rubella kongenital

2) Hepatitis B dan C

3) AIDS

4) Malaria
b. Penyakit sistemik

1) Lupus erimatosus sistemik (LES)

2) Keganasan, seperti leukimia dan limfoma

3) Vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis dengan poliangitis), sindrom

Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik dengan poliangitis), poliartritis nodosa,

poliangitis mikroskopik, purpura Henoch Schonlein

4) Immune complex mediated, seperti post streptococcal (postinfectious) glomerulonephritis

c. Obat - obatan

1) Penicillamine

2) Emas

3) Obat anti inflamasi non steroid (NSAID)

4) Interferon

5) Air raksa

6) Heroin

7) Pamidronate

8) Lithium

C. Patofisiologi

Kondisi dari sindrom nefrotik adalah hilangnya plasma potein, terutama albumin ke dalam

urine. Meskipun hati mampu meningkatkan produksi albumin, namun organ ini tidak mampu

untuk terus mempertahankannya jika albumin terus-menerus hilang melalui ginjal sehingga

terjadi hipo albuminemia.

Terjadinya penurunan tekanan onkotik menyebabkan edema generalisata akibat cairan yang

berpindah dari sistem vaskular ke dalam ruang cairan ekstraseluler. Penurunan sirkulasi volume
darah mengaktifkan sistem renin-angiotensin menyebabkan retensi natrium dan edema lebih

lanjut.

Manifestasi dari hilangnya protein dalam serum akan menstimulasi sintesis lipoprotein di hati

dan terjadi peningkatan konsentrasi lemak dalam darah (hiperlipidemia).

Sindrom nefrotik dapat terjadi di hampir setiap penyakit renal intrinsik atau sistemik yang

mempengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum penyakit ini dianggap menyerang anak-

anak, namun sindrom nefrotik juga terjadi pada orang dewasa termasuk lansia. Penyebab

sindrom nefrotik mencakup glomerulonefritis kronis, dibetes mellitus disertai glomerulosklerosis

interkapiler, amiloidosis ginjal, penyakit lupus erythematosus sistemik, dan trombosis vena renal.

Respons perubahan patologis pada glomerulus secara fungsional akan memberikan berbagai

masalah keperawatan pada pasien yang mengalami glomerulus progresif cepat. (Arif Muttaqin,

2011).

D. Klasifikasi

Berdasarkan pernyataan beberapa ahli, sindrom nefrotik resisten steroid dapat dibagi menjadi

dua, yaitu sebagai berikut:

1. Initial resistence

Merupakan keadaan tidak tercapainya remisi pada fase awal sindrom nefrotik. Respon

terhadap terapi lebih jelek dibanding late resistence. Survival rates ginjal dari golongan inipada:

a. Tahun pertama sebesar 94,6%

b. Tahun ke-5 sebesar 70,0%

c. Tahun ke-10 sebesar 56,0%

d. Tahun ke- 15 sebesar 34,0%


2. Late resistence

Merupakan keadaan dimana terjadi perbaikan atau remisi pada fase awal sindrom nefrotik

namun terjadi relaps pada perkembangannya. Respon terapi cenderung lebih bagus. Survival

rates ginjal dari golongan ini pada:

a. Tahun pertama sebesar 100%

b. Tahun ke-5 sebesar 100%

c. Tahun ke-10 sebesar 83,0%13

d. Tahun ke-15 sebesar 83,0%

E. Manifestasi klinik dan patofisiologi

Manifestasi klinik pada SNRS tidak jauh berbeda dengan manifestasi klinik sindrom nefrotik

secara umum. Perbedaan yang dapat ditemukan adalah kemungkinan prognosis dan respon

pengobatan yang lebih buruk dari sindrom nefrotik sensitif steroid. Inti dari kelainan pada

sindrom nefrotiksecara umum adalah meningkatnya permeabilitas glomerulus terhadap protein

akibat perubahan muatan negatif pada membran basalis glomerulus yang pada keadaan normal

berperan untuk membatasi filtrasi protein serum. Hal ini mengakibatkan protenuria masif, yang

kemudian menyebabkan turunnya kadar protein serum, terutama albumin serum. Pada

kasusidiopatik, menurut hasilbiopsinya, terlihat penipisan luas pada prosesus kaki podosit, selain

itu dapat juga berhubungan dengan gangguan kompleks pada sistem imun, terutama imun yang

dimediasi oleh sel T. Pada glomerulosklerosis fokal segmental ( GSFS , faktor plasma yang

diproduksi oleh bagian dari limfosit yang teraktivasi, bertanggung jawab terhadap naiknya

permeabilitas dinding kapiler. Selain itu, mutasi pada protein podosit (podocin, α-actinin 4) dan

MYH9 (gen podosit) dikaitkan dengan glomerulosklerosis fokal segmental ( GSFS ). Sindrom

nefrotik resisten steroid dapat dikaitkan dengan mutasi NPHS2 (podocin) dan gen WT1, serta
komponen lain dari aparatus filtrasi glomerulus, seperti celah pori, dan termasuk nephrin,

NEPH1, dan CD-2 yang terkait protein.

a. Proteinuria

Proteinuria merupakan kelainan utamapada SNRS dan keadaan ini masih menetap

walaupun sudah dilakukan terapi. Jika ekskresi protein ≥ 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan,

maka keadaan ini dikategorikan sebagai proteinuria berat, yang digunakan sebagai pembeda

proteinuria ringan pada pasien non sindrom nefrotik. Penting pada penderita SNRS untuk

diperhatikan waktu terjadinya resistensi terhadap steroid atau gagalnya mencapai remisi, apakah

terjadi pada fase awal empat minggu setelah pemberian terapi steroid dosis penuh ( 2mg/kg/hari )

atau pada relaps setelah beberapa periode tercapai remisi. Hal ini dapat menentukan prognosis

penyakit terhadap respon terapi.

b. Hipoalbuminemia

Pada penderita sindrom nefrotik resisten steroid, seperti halnya pada sindrom steroid secara

umum, hipoalbuminemia merupakan suatu menifestasi klinik akibat bocornya protein ke dalam

urin dalam jumlah banyak. Hal ini telah dibuktikan dengan sebuah analisis immunochemical,

didapatkan bahwa lebih dari 80% protein yang disekresi dalam proteinuria adalah albumin.

Jumlah albumin dalam tubuh manusia ditentukan oleh masukan nutrisi yang akandisinstesis

hepar dan pengeluaran akibat degradasi metabolik. Ekskresi renal, dan gastointestinal. Pada

keadaan normal, laju sintesis albumin, degradasi dan hilangnya dari tubuh adalah seimbang.

Pada anak dengan sindrom nefrotik terdapat hubungan terbalik antara laju ekskresi protein urin

dan derajat hipoalbuminemia. Namun keadaan ini tidak berkorelasi secara kuat, terutama pada

anak dengan proteinuria yang menetap lama dan tidak responsif steroid, albumin serumnya

dapat kembali normal atau hampir normal dengan atau tanpa perubahan pada laju ekskresi
protein. Laju sintesis albumin pada sindrom nefrotik dalam keadaan seimbang ternyata

tidak menurun, bahkan meningkat atau normal. Namun, pada suatu penelitian pada

anak dengan hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik, ditemukan kenaikan laju sintesis dua

kali. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas meningkatkan sintesis hati terhadap albumin

tidak cukup untuk mengkompensasi laju kehilangan albumin yang abnormal. Oleh karena itu,

dapat disimpulkan bahwa hilangnya albumin dalam urin bukan satu-satunya kontributor

terjadinya hipoalbuminemia dan terdapat suatu sistem homeostasis albumin kompleks

yang berperan lebih besar dalam hipoalbuminemia. Terjadi perubahan multipel pada

sistem homeostasis albumin yang tidak dapat dikompensasi dengan baik oleh adanya sintesis

albumin hepar.

c. Edema

Meltzer dkk mengusulkan dua bentuk patofisiologi sindrom nefrotik, yaitu tipe nefrotik

dan nefritik. Tipe nefrotik ditandai dengan volume plasma rendah dan vasokonstriksi perifer

dengan kadar renin plasma dan aldosteron yang tinggi. Laju filtrasi glomerulus ( LFG ) masih

baik dengan kadar albumin yang rendah dan biasanya terdapat pada sindrom nefrotik

kelainan minimal (SNKM) yang sensitif terhadap steroid. Karateristik patofisiologis

kelompok ini sesuai dengan teori underfilled. Di pihak lain, kelompok kedua atau tipe nefritik,

ditandai dengan volume plasma tinggi tekanan darah tinggi dan kadar renin plasma dan

aldosteron rendah. Kelompok kedua ini dijumpai pada glomerulonefritis kronik dengan laju

filtrasi glomerulus yang relatif lebih rendah dan albumin plasma yang lebih tinggi. Pasien

kelompok kedua ini resisten terhadap steroid dengan kelainan bukan kelainan minimal (

BKM). Karateristik kelompok kedua ini sesuai dengan teori overfilled Kelainan

metabolisme lipid Pada penderita sindrom nefrotik resisten steroid, seperti halnya pada
penderita sindrom nefrotik secara umum, terjadi peningkatan liporotein, trigliserid, maupun

kolesterol. Rendahnya albumin dalam darah merangsang sintesis protein secara menyeluruh.

Hiperlipidemia juga disertai oleh penurunan degradasi lemak karena hilangnya alfa-

glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila albumin serum kembali normal, maka

umumnya kelainan lipid ini menjadi normal kembali.

d. Kelainan metabolisme lipid

Pada penderita sindrom nefrotik resisten steroid, seperti halnya pada penderita sindrom

nefrotik secara umum, terjadi peningkatan liporotein, trigliserid, maupun kolesterol. Rendahnya

albumin dalam darah merangsang sintesis protein secara menyeluruh. Hiperlipidemia juga

disertai oleh penurunan degradasi lemak karena hilangnya alfa-glikoprotein sebagai perangsang

lipase. Apabila albumin serum kembali normal, maka umumnya kelainan lipid ini menjadi

normal kembali.

F. Penatalaksanaan

Pengelolaan SNRS harus dilakukan secara cermat dan tepat mengingat sulitnya pengobatan

dan prognosis yang lebih jelek dari kelompok senstif steroid. Menurut para ahli, alangkah

baiknya jika dapat dilakukan pemeriksaan biopsi ginjal pada penderita SNRS. 3 Sebagian besar

anak dengan SNRS mempunyai gambaran histopatologis non kelainan minimal. Tetapi

terkadang, tidak semua tempat pelayanan kesehatan sanggup untuk melakukan biopsi ginjal.

Maka dari itu, selain biopsi ginjal, para klinisi juga dapat memantau respon pasien terhadap

pengobatan untuk menentukan prognosis yang akan digunakan sebagai dasar langkah-langkah

pengobatan selanjutnya.

Selain itu, penting juga untuk melakukan beberapa pemeriksaan penunjang sebagai

berikut:
1) Urinalisis

2) Protein kuantitatif

3) Pemeriksaan darah tepi lengkap

a) darah tepi lengkap

b) albumin dan kolesterol serum

c) Ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin

d) Kadar komplemen C3

G. Pengobatan SNRS

Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk

melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi mempengaruhi prognosis

pasien. Pasien dengan SNRS idiopatik dengan gambaran histopatologis sindrom nefrotik

kelainan minimal ( SNKM ), glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS), dan glomerulonefritis

mesangioproliferatif ( GNMP ) akan mendapatkan pengelolaan terapi yang sama.

1. Siklofosfamid (CPA)

Pemberian CPA oral pada sindrom nefrotik resisten steroid dilaporkan dapat

menimbulkan remisi. Pada sindrom nefrotik resisten steroid yang mengalami remisi dengan

pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena sindrom

nefrotik yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid

dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid kembali,

dapat diberikan siklosporin.

2. Siklosporin (CyA)

Pada sindrom nefrotik resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total

sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.1 Efek samping CyA adalah
hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu

menimbulkan lesi. tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan

terhadap:

1) Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL

2) Kadar kreatinin darah berkala

3) Biopsi ginjal setiap 2 tahun Penggunaan CyA pada SNRS telah banyak dilaporkan dalam

literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat

selektif.

3. Metilprednisolon puls Mendoza dkk.

Melaporkan pengobatan SNRS dengan metil prednisolon puls selama 82 minggu

ditambah prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon

dosis 30 mg/kgBB (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan

dalam 2-4 jam

4. Obat imunosupresif lain

Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS adalah vinkristin,

takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur yang masih sporadik dan

tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum direkomendasi di Indonesia.

5. Pemberian obat imunosupresif untuk mengurangi proteinuria

Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor blocker

(ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja kedua obat ini dalam

menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah

permeabilitas glomerulus. ACEI juga mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis

transforming growth factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya
merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis. 1 Pada SNSS

relaps, kadar TGF-β1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS, berarti anak dengan SNSS

relaps sering maupun dependen steroid mempunyai risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang

sama dengan SNRS.30 Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan

ARB memberikan hasil penurunan proteinuria lebih banyak. Pada anak dengan SNRS dianjurkan

untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid atau

imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah:

a) Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgBB diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5

mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, lisinopril 0,1 mg/kgBB dosis tunggal

b) Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgBB dosis tunggal

6. Pengobatan komplikasi SNRS

1) Infeksi Penderita SNRS sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat infeksi perlu segera

ditangani dengan pemberian antibiotik. Infeksi utama yang sering terjadi adalah selulitis

dan peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman

Gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin

parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim atau

seftriakson selama 10-14 hari. Infeksi lain yang sering ditemukan adalah pneumonia dan

infeksi saluran napas atas karena virus.1 Dianjurkan memberi edukasi kepada orangtua

pasien untuk menghindari kontak dengan pasien varisela. Bila terjadi kontak diberikan

profilaksis dengan imunoglobulin varicella-zoster, dalam waktu kurang dari 96 jam.

2) Hiperlipidemia Pada sindrom nefrotik resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan

VLDL kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL

menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik, sehingga
dapat meningkatkan progresivitas glomerulosklerosis dan morbiditas kardiovaskular.33

Pasien dianjurkan untuk mempertahankan berat badan normal untuk tinggi badannya, dan

diit rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangkan untuk memberikan obat penurun lipid

seperti inhibitor HMgCoA reduktase (statin).34

3) Hipokalsemia

Penyebab terjadi hipokalsemia:

a) Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia

b) Kebocoran metabolit vitamin D. Maka dari itu, pasien yang mendapat terapi steroid

jangka lama (lebih dari tiga bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500

mg/hari dan vitamin D (125-250 IU).35 Pemberian kalsium glukonas 10% sebanyak 0,5

mL/kgBB intravena apabila sudah terjadi tetani.

4) Hipovolemia

Pada keadaan relaps dapat terjadi hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia,

ekstremitas dingin, dan sering disertai sakit perut. Pasien harus segera ditangani dengan infus

NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20 mL/kgbb dalam 20-30 menit, dan disusul dengan

albumin 1 g/kgbb atau plasma 20 mL/kgbb (tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia

telah teratasi dan pasien tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena.

5) Hipertensi

Terjadi akibat toksisitas steroid. Pengobatannya diawali dengan ACE inhibitor

(angiotensin converting enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker), calcium channel blockers,

atau antagonis β adrenergik, sampai tekanan darah di bawah persentil 90.


6) Efek samping steroid

Pemberian steroid jangka lama dapat menimbulkan efek samping yang signifikan, oleh

karena itu, hal tersebut harus diedukasikan kepada pasien dan orangtuanya. Efek samping

tersebut meliputi peningkatan risiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi,

peningkatan napsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku, dan

demineralisasi tulang. Dianjurkan melakukan pemantauan terhadap gejala-gejala

cushingoid, pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap 6

bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali.

Evaluasi pengobatan dilakukan setiap bulan pada fase awal pengobatan kemudian

dilanjuntkan setiap tiga sampai empat bulan. Respon terapi dibagi menjadi remisi total atau

remisi parsial. Remisi total adalah keadaan dimana proteinuria sudah negatif ( dengan

menggunakan tes dipstik ) atau rasio protein dengan kreatinin urin sewaktu ( Up/Uc ) 2.5 g/dL,

dan tidak ada edema. Disebut keadaan tidak respon terapi jika proteinuria +3 sampai +4 (atau

rasio Up/Uc diantara >2),

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan penunjang

berikut: Urinalisis Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindromk nefrotik.Proteinuria berkisar 3+

atau 4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat.3+

menandakan kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang artinya 3g/dL atau lebih

yang masuk dalam nephrotic range. Pemeriksaan sedimen urin Pemeriksaan sedimen akan

memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-

kadang dijumpai eritrosit, leukosit, torak hialin dan torak eritrosit. Pengukuran protein urin

Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single spot collection. Timed
collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari jam 7 pagi hingga waktu yang

sama keesokan harinya. Pada individu sehat, total protein urin ≤ 150 mg. Adanya proteinuria

masif merupakan kriteria diagnosis.2, 8 Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio

protein urin dan kreatinin > 2g/g, ini mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak ≥

3g.2,8 Albumin serum - kualitatif : ++ sampai ++++ - kuantitatif :> 50 mg/kgBB/hari

(diperiksa dengan memakai reagen ESBACH). Pemeriksaan serologis untuk infeksi dan kelainan

imunologis. USG renal Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.2Biopsi ginjal Biopsi

ginjal diindikasikan pada anak dengan SN congenital, onset usia> 8 tahun, resisten steroid,

dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat manifestasi nefritik signifikan.Pada SN

dewasa yang tidak diketahui asalnya, biopsy mungkin diperlukan untuk diagnosis.Penegakan

diagnosis patologi penting dilakukan karena masing-masing tipe memiliki pengobatan dan

prognosis yang berbeda. Penting untuk membedakan minimal-change disease pada dewasa

dengan glomerulosklerosisfokal, karena minimal-change disease memiliki respon yang lebih

baik terhadap steroid. Darah: Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:2 - Protein total menurun

(N: 6,2-8,1 gm/100ml) - Albumin menurun (N:4-5,8 gm/100ml) - α1 globulin normal (N: 0,1-0,3

gm/100ml) - α2 globulin meninggi (N: 0,4-1 gm/100ml) - β globulin normal (N: 0,5-0,9

gm/100ml) - γ globulin normal (N: 0,3-1 gm/100ml) - rasio albumin/globulin <1 (N:3/2) -

komplemen C3 normal/rendah (N: 80-120 mg/100ml) - ureum, kreatinin dan klirens kreatinin

normal. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan Medis

Pengobatan sindroma nefrotik hanya bersifat simptomatik, untuk mengurangi atau

menghilangkan proteinuria dan memperbaiki keadaan hipoalbuminemia, mencegah dan

mengatasi komplikasinya, yaitu:


a) Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai kurang lebih 1

gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dan menghindari

makanan yang diasinkan. Diet protein 2-3 gram/kgBB/hari.

b) Makanan yang mengandung protein tinggi sebanyak 3 – 4 gram/kgBB/hari, dengan

garam minimal bila edema masih berat. Bila edema berkurang dapat diberi garam sedikit.

c) Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat digunakan diuretik,

biasanya furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung pada beratnya edema dan respon

pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan hididroklortiazid (25-50 mg/hari)

selama pengobatan diuretik perlu dipantau kemungkinan hipokalemi, alkalosis metabolik

dan kehilangan cairan intravaskuler berat.

d) Dengan antibiotik bila ada infeksi.

e) Diuretikum

f) Kortikosteroid

International Cooperative Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) mengajukan

cara pengobatan sebagai berikut :

a) Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg/hari/luas permukaan

badan (lpb) dengan maksimum 80 mg/hari.

b) Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan dosis 40

mg/hari/lpb, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis maksimum 60 mg/hari.

Bila terdapat respons, maka pengobatan ini dilanjutkan secara intermitten selama 4

minggu.

c) Tapering-off: prednison berangsur-angsur diturunkan, tiap minggu: 30 mg, 20 mg, 10

mg sampai akhirnya dihentikan.


g) Lain-lain

Pungsi asites, pungsi hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital. Bila ada gagal jantung,

diberikan digitalis. (Behrman, 2000)

2. Penatalaksanaan Keperawatan

Pasien sindroma nefrotik perlu dirawat di rumah sakit, karena memerlukan pengawasan

dan pengobatan yang khusus. Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah edema yang berat

(anasarka), diet, resiko komplikasi, pengawasan mengenai pengobatan atau gangguan rasa aman

dan nyaman, dan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit pasien.

Pasien sindroma nefrotik dengan anasarka perlu istirahat di tempat tidur, karena dengan

keadaan edema yang berat menyebabkan pasien kehilangan kemampuannya untuk bergerak.

Selama edema masih berat semua keperluan harus ditolong di atas tempat tidur.

a. Baringkan pasien setengah duduk, karena adanya cairan di rongga thoraks akan

menyebabkan sesak nafas.

b. Berikan alas bantal pada kedua kakinya sampai pada tumit (bantal diletakkan

memanjang, karena jika bantal melintang maka ujung kaki akan lebih rendah dan akan

menyebabkan edema hebat).

c. Bila pasien seorang anak laki-laki, berikan ganjal dibawah skrotum untuk mencegah

pembengkakan skrotum karena tergantung (pernah terjadi keadaan skrotum akhirnya

pecah dan menjadi penyebab kematian pasien).

Bila edema telah berkurang diperbolehkan pasien melakukan kegiatan sesuai

kemampuannya, tetapi tetap didampingi atau dibantu oleh keluarga atau perawat dan pasien tidak

boleh kelelahan. Untuk mengetahui berkurangnya edema pasien perlu ditimbang setiap hari, di

ukur lingkar perut pasien. Selain itu perawatan pasien dengan sindroma nefrotik, perlu dilakukan
pencatatan masukan dan pengeluaran cairan selama 24 jam. Pada pasien dengan sindroma

nefrotik diberikan diet rendah protein yaitu 1,2-2,0 gram/kgBB/hari dan cukup kalori yaitu 35

kal/kgBB/hari serta rendah garam (1 gram/hari). Bentuk makanan disesuaikan dengan keadaan

pasien, bisa makanan biasa atau lunak. (Ngastiyah, 2005)

Pasien dengan sindroma nefrotik mengalami penurunan daya tahan tubuh yang

mengakibatkan mudah terkena infeksi. Komplikasi pada kulit akibat infeksi streptococcus dapat

terjadi. Untuk mencegah infeksi tersebut, kebersihan kulit perlu diperhatikan dan alat-alat tenun

atau pakaian pasien harus bersih dan kering. Antibiotik diberikan jika ada infeksi, dan diberikan

pada waktu yang sama. Jika pasien diperbolehkan pulang, orang tua pasien perlu diberikan

penjelasan bagaimana merawat anak yang menderita penyakit sindroma nefrotik. Pasien sendiri

perlu juga diterangkan aktivitas apa yang perlu dilakukan dan kepatuhan tentang dietnya masih

perlu diteruskan sampai pada saatnya dokter mengizinkan bebas diet. Memberikan penjelasan

pada keluarga bahwa penyakit ini sering kambuh atau berubah menjadi lebih berat jika tidak

terkontrol secara teratur, oleh karena itu orang tua atau pasien dianjurkan kontrol sesuai waktu

yang ditentukan (biasanya 1 bulan sekali). (Ngastiyah, 2005)

I. Komplikasi

1. Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah akibat

hipoalbuminemia.

2. Shock : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gram/100ml) yang

menyebabkan hipovolemia berat sehingga menyebabkan shock.

3. Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga terjadi

peninggian fibrinogen plasma.

4. Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal. (Rauf, .2002)
KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Pengkajian Anamnesa

a. Identitas

b. Keluhan utama yang sering dikeluhkan wajah atau kaki.

c. Pada pengkajian riwayat kesehatan sekarang, perawat menanyakan hal berikut :

1. Kaji berapa lama keluhan adanya perubahan urine output.

2. Kaji onset keluhan bengkak pada wajah atau kaki apakah disertai dengan adanya

keluhan pusing dan cepat lelah.

3. Kaji adanya keluhan sakit kepala dan malaise.

d. Pada pengkajian riwayat kesehatan dahulu, perawat perlu mengkaji apakah klien pernah

menderita penyakit edema, apakah ada riwayat dirawat dengan penyakit diabetes melitus

dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya. Penting dikaji tentang riwayat pemakaian

obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat dan dokumentasikan.

e. Pada pengkajian psikososiokultural, adanya kelemahan fisik, wajah, dan kaki yang bengkak

akan memberikan dampak rasa cemas dan koping yang maladaptif pada klien.

f. Riwayat kehamilan dan persalinan

1. Prenatal

Keadaan dimana ibu memeriksakan kandungannya selama mengandung dan asupan nutrisi

selama kehamilan.

2. Natal

Proses persalinan pada saat dilahirkan, serta kondisi bayi saat dilahirkan.
3. Postnatal

Asupan nutrisi yang diperoleh saat dilahirkan hingga dewasa.

4. Imunisasi

BCG 1 kali, DPT 3 kali, polio 3 kali, campak 1 kali

g. Riwayat kesehatan lingkungan

Endemik malaria sering terjadi kasus sindroma nefrotik.

h. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.

Berat badan = umur (tahun) X 2 + 8. Tinggi badan = 2 kali tinggi badan lahir.

Perkembangan psikoseksual : anak berada pada fase oedipal/falik dengan ciri meraba-

raba dan merasakan kenikmatan dari beberapa daerah erogennya, senang bermain dengan

anak berjenis kelamin beda, oedipus kompleks untuk anak laki-laki lebih dekat dengan

ibu, elektra kompleks untuk anak perempuan lebih dekat dengan ayah.

Perkembangan psikososial : anak berada pada fase pre school (inisiative vs rasa bersalah)

yaitu memiliki inisiatif untuk belajar mencari pengalaman baru. Jika usahanya diomeli

atau dicela anak akan merasa bersalah dan menjadi anak peragu.

Perkembangan kognitif : masuk tahap pre operasional yaitu mulai mempresentasekan

dunia dengan bahasa, bermain dan meniru, menggunakan alat-alat sederhana.

Perkembangan fisik dan mental : melompat, menari, menggambar orang dengan kepala,

lengan dan badan, segiempat, segitiga, menghitung jari-jarinya, menyebut hari dalam

seminggu, protes bila dilarang, mengenal empat warna, membedakan besar dan kecil,

meniru aktivitas orang dewasa.

Respon hospitalisasi : sedih, perasaan berduka, gangguan tidur, kecemasan, keterbatasan

dalam bermain, rewel, gelisah, regresi, perasaan berpisah dari orang tua, teman.
2. Pemeriksaan fisik

Keadaan umum klien lemah dan terlihat sakit berat dengan tingkat kesadaran biasanya

compos mentis. Pada TTV sering tidak didapatkan adanya perubahan.

B1 (Breating). Biasanya tidak didapatkan adanya gangguan pola nafas dan jalan napas

walau secara frekuensi mengalami peningkatan terutama pada fase akut. Pada fase lanjut

sering didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan napas yang merupakan respons

terhadap edema pulmoner dan efusi pleura.

B2 (Blood). Sering ditemukan penurunan curah jantung respons sekunder dari

peningkatan beban volume.

B3 (Brain). Didapatkan edema wajah terutama periorbital, sklera tidak ikterik. Status

neurologis mengalami perubahan sesuai dengan tingkat parahnya azotemia pada sistem

saraf pusat.

B5 (Bowel). Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga sering didapatkan

penurunan intake nutrisi dari kebutuhan. Didapatkan asites pada abdomen

B6 (Bone). Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek sekunder dari edema

tungkai dari keletihan fisik secara umum.

3. Pengkajian Diagnostik

Urinalisis didapatkan hematuria secara mikroskopik, proteinuria, terutama albumin.

Keadaan ini juga terjadi akibat meningkatnya permeabilitas membaran glomerulus.

4. Pengkajian Penatalaksanaan Medis

Tujuan terapi adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal lebih lanjut dan menurunkan

risiko komplikasi. Untuk mencapai tujuan terapi, maka penatalaksanaan tersebut meliputi hal-hal

berikut :
a. Tirah baring

Untuk mengatasi penyulit, pada stadium oedem, ada hipertensi, ada bahaya trombosis, apabila

relaps.

b. Diuretik

Diberikan furosemid 1-2 mg/kgBB/dosis 2-4 kali sehari.

c. Adenokortikosteroid, golongan prednison

Induksi : 2 mg/kgBB/24 jam dibagi 3 dosis selama 4 minggu (maksimal 80 mg/24 jam).

Bila terjadi remisi : 2 mg/kgBB/24 jam dosis tunggal tiap pagi, tiap 48 jam sekali selama 4

minggu. Tapering off dosis dikurangi 0,5 mg/kgBB setiap 2 minggu, selama 2-4 bulan.

d. Diet rendah natrium tinggi protein

Tinggi protein dan rendah garam (pada stadium oedem dan selama pemberian

kortikosteroid. Cairan dibatasi. Pemberian kalsium dan vitamin D.

e. Terapi cairan

Jika klien dirawat di rumah sakit, maka intake dan output diukur secara cermat dan

dicatat. Cairan diberikan untuk mengatasi kehilangan cairan dan berat badan harian.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan volume urine, retensi cairan

dan natrium.

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

ketidakmampuan untuk mengabsorpsi nutrien.

3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, kontrol dan

atau massa.

4. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.


C. Rencana Asuhan Keperawatan

Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1. Kelebihan volume cairan Setelah dilakukan tindakan 1. Pertahankan catatan intake dan
berhubungan dengankeperawatan selama ...x24 output yang akurat
penurunan volume urine, jam kelebihan cairan teratasi2. Pasang urin kateter jika
retensi cairan dan natrium. dengan kriteria hasil : diperlukan
Terbebas dari edema, efusi, 3. Monitor hasil lab yang sesuai
anaskara dengan retensi cairan (BUN,
 Bunyi nafas bersih, tidak ada Hmt, osmolalitas urin)
dyspneu/ortopneu 4. Monitor vital sign
 Terbebas dari distensi vena 5. Monitor indikasi
jugularis retensi/kelebihan cairan
 Memelihara tekanan vena (cracles, CVP, edema, distensi
sentral, tekanan kapiler paru, vena leher, asites)
output jantung dan vital sign6. Kaji lokasi dan luas edema
 Terbebas dari kelelahan, 7. Monitor masukan
kecemasan atau bingung makanan/cairan
8. Monitor status nutrisi
9. Monitor berat badan
10. Monitor elektrolit
11. Monitor tanda dan gejala dari
odema.
2. Ketidakseimbangan nutrisi Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji adanya alergi makanan
kurang dari kebutuhan tubuh keperawatan selama ...x24 2. Kolaborasi dengan ahli gizi
berhubungan dengan jam nutrisi kurang teratasi untuk menentukan jumlah kalori
ketidakmampuan untuk dengan indikator : dan nutrisi yang dibutuhkan
mengabsorpsi nutrien.  Albumin serum pasien
 Pre albumin serum 3. Monitor adanya penurunan BB
 Hematrokit gula darah
 Hemaglobin 4. Monitor turgor kulit
 Total iron binding capacity 5. Monitor kekringan, rambut
 Jumlah limfosit kusam, total protein, Hb dan
kadar Ht
6. Monitor mual dan muntah
7. Monitor pucat, kemerahan, dan
kekeringan konjungtiva
8. Monitor intake nutrisi
9. Kolaborasi dengan dokter
tentang kebutuhan suplemen
makanan seperti NGT/TPN
sehingga intake cairan yang
adekuat dapat dipertahankan
10. Informasikan kepada klien dan
nutkeluarga tentang manfaat
nutrisi
3. Gangguan mobilitas fisik Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji kemampuan pasien dalam
berhubungan dengan keperawatan selama ...x24 mobilisasi
penurunan kekuatan otot, jam gangguan mobilitas fisik 2. Latih pasien dalam pemenuhan
kontrol dan atau massa. teratasi dengan kriteria hasil : kebutuhan ADL secara mandiri
 Klien meningkatdalam sesuai kemampuan
aktivitas fisik 3. Dampingi dan bantu pasien saat
 Mengerti tujuan dari mobilisasi dan bantu penuhi
peningkatan mobilitas kebutuhan ADL pasien
 Memperagakan penggunaan 4. Rencanakan dan sediakan
alat bantu untuk mobilisasi aktivitas secara bertahap
(walker) 5. Anjurkan keluarga untuk
membantu aktivitas pasien
4. Kecemasan berhubungan Setelah dilakukan tindakan 1. Gunakan pendekatan yang
dengan perubahan status keperawatan selama ...x24 menenangkan
kesehatan. jam kecemasan klien teratasi2. Temani pasien untuk
dengan kriteria hasil : memberikan keamanan dan
 Klien mampu mengurangi takut
mengidentifikasi dan
3. Identifikasi tingkat kecemasan
mengunkapkan gejala cemas4. Libatkan keluarga untuk
 Mengidentifikasi, mendampingi klien
mengungkapkan dan
5. Bantu pasien mengenal situasi
menunjukkan tehnik untuk yang menimbulkan kecemasan
mengontrol cemas
 Vital sign dalam batas normal
 Postur tubuh, ekspresi wajah,
bahasa tubuh dan tingkat
aktivitas menunjukkan
berkurangnya kecemasan
DAFTAR PUSTAKA

Behrman, R.E. MD, dkk. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Volume 3 Edisi 15. Jakarta: EGC

Betz, Cecily Lynn. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 5. Jakarta: EGC

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika

Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba

Medika

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit Edisi 2. Jakarta: EGC

Rauf, Syarifuddin. 2002. Catatan Kuliah Nefrologi Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FK UH

: Makassar

Suriadi .2006. Asuhan Keperawatan Anak Edisi 2. Jakarta: CV Sagung

Anda mungkin juga menyukai