A. Definisi
Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS) merupakan suatu keadaan dimana penderita
sindrom nefrotik (SN) tidak mencapai fase remisi atau perbaikan setelah 4 minggu pengobatan
steroid dosis penuh ( 2mg/kg/hari ). Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit ginjal yang
paling sering dijumpai pada anak yang ditandai dengan kumpulan gejala seperti proteinuria masif
(>40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥
2+), hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL, edema, dan dapat disertai hiperkolesterolemia. Keadaan remisi
adalah keadaan dimana penderita sindrom nefrotik mengalami perbaikan dengan tanda
proteinuria negatif ( proteinuria < 4 mg/m2LPB/jam) tiga hari berturut-turut dalam satu
minggu.1 Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa terjadi proteinuria yang menetap pada
B. Etiologi
1. Kongenital
Tipe kongenital paling sering disebabkan mutasi pada NPHS1, NPHS2, dan WTI1, tetapi
dapat juga disebabkan mutasi pada gen lain dengan uraian sebagai berikut:
Pada kejadian primer atau idopatik dapat disebabkan oleh kelainan histopatologi sebagai
berikut:
3. Sekunder
Terkadang SNRS dapat mengikuti penyakit lain baik infeksi, penyakit sistemik, maupun
obat- obatan. Hal ini disebut sindrom nefrotik sekunder. Hal ini dapat memperburuk prognosis.
Berikut ini penyakit lain yang dapat mengikuti sindrom nefrotik sekunder:
a.Infeksi
2) Hepatitis B dan C
3) AIDS
4) Malaria
b. Penyakit sistemik
c. Obat - obatan
1) Penicillamine
2) Emas
4) Interferon
5) Air raksa
6) Heroin
7) Pamidronate
8) Lithium
C. Patofisiologi
Kondisi dari sindrom nefrotik adalah hilangnya plasma potein, terutama albumin ke dalam
urine. Meskipun hati mampu meningkatkan produksi albumin, namun organ ini tidak mampu
untuk terus mempertahankannya jika albumin terus-menerus hilang melalui ginjal sehingga
Terjadinya penurunan tekanan onkotik menyebabkan edema generalisata akibat cairan yang
berpindah dari sistem vaskular ke dalam ruang cairan ekstraseluler. Penurunan sirkulasi volume
darah mengaktifkan sistem renin-angiotensin menyebabkan retensi natrium dan edema lebih
lanjut.
Manifestasi dari hilangnya protein dalam serum akan menstimulasi sintesis lipoprotein di hati
Sindrom nefrotik dapat terjadi di hampir setiap penyakit renal intrinsik atau sistemik yang
mempengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum penyakit ini dianggap menyerang anak-
anak, namun sindrom nefrotik juga terjadi pada orang dewasa termasuk lansia. Penyebab
interkapiler, amiloidosis ginjal, penyakit lupus erythematosus sistemik, dan trombosis vena renal.
Respons perubahan patologis pada glomerulus secara fungsional akan memberikan berbagai
masalah keperawatan pada pasien yang mengalami glomerulus progresif cepat. (Arif Muttaqin,
2011).
D. Klasifikasi
Berdasarkan pernyataan beberapa ahli, sindrom nefrotik resisten steroid dapat dibagi menjadi
1. Initial resistence
Merupakan keadaan tidak tercapainya remisi pada fase awal sindrom nefrotik. Respon
terhadap terapi lebih jelek dibanding late resistence. Survival rates ginjal dari golongan inipada:
Merupakan keadaan dimana terjadi perbaikan atau remisi pada fase awal sindrom nefrotik
namun terjadi relaps pada perkembangannya. Respon terapi cenderung lebih bagus. Survival
Manifestasi klinik pada SNRS tidak jauh berbeda dengan manifestasi klinik sindrom nefrotik
secara umum. Perbedaan yang dapat ditemukan adalah kemungkinan prognosis dan respon
pengobatan yang lebih buruk dari sindrom nefrotik sensitif steroid. Inti dari kelainan pada
akibat perubahan muatan negatif pada membran basalis glomerulus yang pada keadaan normal
berperan untuk membatasi filtrasi protein serum. Hal ini mengakibatkan protenuria masif, yang
kemudian menyebabkan turunnya kadar protein serum, terutama albumin serum. Pada
kasusidiopatik, menurut hasilbiopsinya, terlihat penipisan luas pada prosesus kaki podosit, selain
itu dapat juga berhubungan dengan gangguan kompleks pada sistem imun, terutama imun yang
dimediasi oleh sel T. Pada glomerulosklerosis fokal segmental ( GSFS , faktor plasma yang
diproduksi oleh bagian dari limfosit yang teraktivasi, bertanggung jawab terhadap naiknya
permeabilitas dinding kapiler. Selain itu, mutasi pada protein podosit (podocin, α-actinin 4) dan
MYH9 (gen podosit) dikaitkan dengan glomerulosklerosis fokal segmental ( GSFS ). Sindrom
nefrotik resisten steroid dapat dikaitkan dengan mutasi NPHS2 (podocin) dan gen WT1, serta
komponen lain dari aparatus filtrasi glomerulus, seperti celah pori, dan termasuk nephrin,
a. Proteinuria
Proteinuria merupakan kelainan utamapada SNRS dan keadaan ini masih menetap
walaupun sudah dilakukan terapi. Jika ekskresi protein ≥ 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan,
maka keadaan ini dikategorikan sebagai proteinuria berat, yang digunakan sebagai pembeda
proteinuria ringan pada pasien non sindrom nefrotik. Penting pada penderita SNRS untuk
diperhatikan waktu terjadinya resistensi terhadap steroid atau gagalnya mencapai remisi, apakah
terjadi pada fase awal empat minggu setelah pemberian terapi steroid dosis penuh ( 2mg/kg/hari )
atau pada relaps setelah beberapa periode tercapai remisi. Hal ini dapat menentukan prognosis
b. Hipoalbuminemia
Pada penderita sindrom nefrotik resisten steroid, seperti halnya pada sindrom steroid secara
umum, hipoalbuminemia merupakan suatu menifestasi klinik akibat bocornya protein ke dalam
urin dalam jumlah banyak. Hal ini telah dibuktikan dengan sebuah analisis immunochemical,
didapatkan bahwa lebih dari 80% protein yang disekresi dalam proteinuria adalah albumin.
Jumlah albumin dalam tubuh manusia ditentukan oleh masukan nutrisi yang akandisinstesis
hepar dan pengeluaran akibat degradasi metabolik. Ekskresi renal, dan gastointestinal. Pada
keadaan normal, laju sintesis albumin, degradasi dan hilangnya dari tubuh adalah seimbang.
Pada anak dengan sindrom nefrotik terdapat hubungan terbalik antara laju ekskresi protein urin
dan derajat hipoalbuminemia. Namun keadaan ini tidak berkorelasi secara kuat, terutama pada
anak dengan proteinuria yang menetap lama dan tidak responsif steroid, albumin serumnya
dapat kembali normal atau hampir normal dengan atau tanpa perubahan pada laju ekskresi
protein. Laju sintesis albumin pada sindrom nefrotik dalam keadaan seimbang ternyata
tidak menurun, bahkan meningkat atau normal. Namun, pada suatu penelitian pada
anak dengan hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik, ditemukan kenaikan laju sintesis dua
kali. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas meningkatkan sintesis hati terhadap albumin
tidak cukup untuk mengkompensasi laju kehilangan albumin yang abnormal. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa hilangnya albumin dalam urin bukan satu-satunya kontributor
yang berperan lebih besar dalam hipoalbuminemia. Terjadi perubahan multipel pada
sistem homeostasis albumin yang tidak dapat dikompensasi dengan baik oleh adanya sintesis
albumin hepar.
c. Edema
Meltzer dkk mengusulkan dua bentuk patofisiologi sindrom nefrotik, yaitu tipe nefrotik
dan nefritik. Tipe nefrotik ditandai dengan volume plasma rendah dan vasokonstriksi perifer
dengan kadar renin plasma dan aldosteron yang tinggi. Laju filtrasi glomerulus ( LFG ) masih
baik dengan kadar albumin yang rendah dan biasanya terdapat pada sindrom nefrotik
kelompok ini sesuai dengan teori underfilled. Di pihak lain, kelompok kedua atau tipe nefritik,
ditandai dengan volume plasma tinggi tekanan darah tinggi dan kadar renin plasma dan
aldosteron rendah. Kelompok kedua ini dijumpai pada glomerulonefritis kronik dengan laju
filtrasi glomerulus yang relatif lebih rendah dan albumin plasma yang lebih tinggi. Pasien
kelompok kedua ini resisten terhadap steroid dengan kelainan bukan kelainan minimal (
BKM). Karateristik kelompok kedua ini sesuai dengan teori overfilled Kelainan
metabolisme lipid Pada penderita sindrom nefrotik resisten steroid, seperti halnya pada
penderita sindrom nefrotik secara umum, terjadi peningkatan liporotein, trigliserid, maupun
kolesterol. Rendahnya albumin dalam darah merangsang sintesis protein secara menyeluruh.
Hiperlipidemia juga disertai oleh penurunan degradasi lemak karena hilangnya alfa-
glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila albumin serum kembali normal, maka
Pada penderita sindrom nefrotik resisten steroid, seperti halnya pada penderita sindrom
nefrotik secara umum, terjadi peningkatan liporotein, trigliserid, maupun kolesterol. Rendahnya
albumin dalam darah merangsang sintesis protein secara menyeluruh. Hiperlipidemia juga
disertai oleh penurunan degradasi lemak karena hilangnya alfa-glikoprotein sebagai perangsang
lipase. Apabila albumin serum kembali normal, maka umumnya kelainan lipid ini menjadi
normal kembali.
F. Penatalaksanaan
Pengelolaan SNRS harus dilakukan secara cermat dan tepat mengingat sulitnya pengobatan
dan prognosis yang lebih jelek dari kelompok senstif steroid. Menurut para ahli, alangkah
baiknya jika dapat dilakukan pemeriksaan biopsi ginjal pada penderita SNRS. 3 Sebagian besar
anak dengan SNRS mempunyai gambaran histopatologis non kelainan minimal. Tetapi
terkadang, tidak semua tempat pelayanan kesehatan sanggup untuk melakukan biopsi ginjal.
Maka dari itu, selain biopsi ginjal, para klinisi juga dapat memantau respon pasien terhadap
pengobatan untuk menentukan prognosis yang akan digunakan sebagai dasar langkah-langkah
pengobatan selanjutnya.
Selain itu, penting juga untuk melakukan beberapa pemeriksaan penunjang sebagai
berikut:
1) Urinalisis
2) Protein kuantitatif
d) Kadar komplemen C3
G. Pengobatan SNRS
Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk
melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi mempengaruhi prognosis
pasien. Pasien dengan SNRS idiopatik dengan gambaran histopatologis sindrom nefrotik
1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada sindrom nefrotik resisten steroid dilaporkan dapat
menimbulkan remisi. Pada sindrom nefrotik resisten steroid yang mengalami remisi dengan
pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena sindrom
nefrotik yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid
dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid kembali,
2. Siklosporin (CyA)
Pada sindrom nefrotik resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total
sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.1 Efek samping CyA adalah
hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu
menimbulkan lesi. tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan
terhadap:
3) Biopsi ginjal setiap 2 tahun Penggunaan CyA pada SNRS telah banyak dilaporkan dalam
literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat
selektif.
ditambah prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon
dosis 30 mg/kgBB (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan
Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS adalah vinkristin,
takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur yang masih sporadik dan
tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum direkomendasi di Indonesia.
(ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja kedua obat ini dalam
menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah
permeabilitas glomerulus. ACEI juga mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis
transforming growth factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya
merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis. 1 Pada SNSS
relaps, kadar TGF-β1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS, berarti anak dengan SNSS
relaps sering maupun dependen steroid mempunyai risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang
sama dengan SNRS.30 Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan
ARB memberikan hasil penurunan proteinuria lebih banyak. Pada anak dengan SNRS dianjurkan
untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid atau
1) Infeksi Penderita SNRS sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat infeksi perlu segera
ditangani dengan pemberian antibiotik. Infeksi utama yang sering terjadi adalah selulitis
dan peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman
seftriakson selama 10-14 hari. Infeksi lain yang sering ditemukan adalah pneumonia dan
infeksi saluran napas atas karena virus.1 Dianjurkan memberi edukasi kepada orangtua
pasien untuk menghindari kontak dengan pasien varisela. Bila terjadi kontak diberikan
2) Hiperlipidemia Pada sindrom nefrotik resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan
VLDL kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL
menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik, sehingga
dapat meningkatkan progresivitas glomerulosklerosis dan morbiditas kardiovaskular.33
Pasien dianjurkan untuk mempertahankan berat badan normal untuk tinggi badannya, dan
diit rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangkan untuk memberikan obat penurun lipid
3) Hipokalsemia
b) Kebocoran metabolit vitamin D. Maka dari itu, pasien yang mendapat terapi steroid
jangka lama (lebih dari tiga bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500
mg/hari dan vitamin D (125-250 IU).35 Pemberian kalsium glukonas 10% sebanyak 0,5
4) Hipovolemia
Pada keadaan relaps dapat terjadi hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia,
ekstremitas dingin, dan sering disertai sakit perut. Pasien harus segera ditangani dengan infus
NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20 mL/kgbb dalam 20-30 menit, dan disusul dengan
albumin 1 g/kgbb atau plasma 20 mL/kgbb (tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia
telah teratasi dan pasien tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena.
5) Hipertensi
(angiotensin converting enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker), calcium channel blockers,
Pemberian steroid jangka lama dapat menimbulkan efek samping yang signifikan, oleh
karena itu, hal tersebut harus diedukasikan kepada pasien dan orangtuanya. Efek samping
tersebut meliputi peningkatan risiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi,
cushingoid, pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap 6
Evaluasi pengobatan dilakukan setiap bulan pada fase awal pengobatan kemudian
dilanjuntkan setiap tiga sampai empat bulan. Respon terapi dibagi menjadi remisi total atau
remisi parsial. Remisi total adalah keadaan dimana proteinuria sudah negatif ( dengan
menggunakan tes dipstik ) atau rasio protein dengan kreatinin urin sewaktu ( Up/Uc ) 2.5 g/dL,
dan tidak ada edema. Disebut keadaan tidak respon terapi jika proteinuria +3 sampai +4 (atau
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
berikut: Urinalisis Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindromk nefrotik.Proteinuria berkisar 3+
atau 4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat.3+
menandakan kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang artinya 3g/dL atau lebih
yang masuk dalam nephrotic range. Pemeriksaan sedimen urin Pemeriksaan sedimen akan
memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-
kadang dijumpai eritrosit, leukosit, torak hialin dan torak eritrosit. Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single spot collection. Timed
collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari jam 7 pagi hingga waktu yang
sama keesokan harinya. Pada individu sehat, total protein urin ≤ 150 mg. Adanya proteinuria
masif merupakan kriteria diagnosis.2, 8 Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio
protein urin dan kreatinin > 2g/g, ini mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak ≥
(diperiksa dengan memakai reagen ESBACH). Pemeriksaan serologis untuk infeksi dan kelainan
ginjal diindikasikan pada anak dengan SN congenital, onset usia> 8 tahun, resisten steroid,
dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat manifestasi nefritik signifikan.Pada SN
dewasa yang tidak diketahui asalnya, biopsy mungkin diperlukan untuk diagnosis.Penegakan
diagnosis patologi penting dilakukan karena masing-masing tipe memiliki pengobatan dan
prognosis yang berbeda. Penting untuk membedakan minimal-change disease pada dewasa
baik terhadap steroid. Darah: Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:2 - Protein total menurun
(N: 6,2-8,1 gm/100ml) - Albumin menurun (N:4-5,8 gm/100ml) - α1 globulin normal (N: 0,1-0,3
gm/100ml) - α2 globulin meninggi (N: 0,4-1 gm/100ml) - β globulin normal (N: 0,5-0,9
gm/100ml) - γ globulin normal (N: 0,3-1 gm/100ml) - rasio albumin/globulin <1 (N:3/2) -
komplemen C3 normal/rendah (N: 80-120 mg/100ml) - ureum, kreatinin dan klirens kreatinin
normal. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
garam minimal bila edema masih berat. Bila edema berkurang dapat diberi garam sedikit.
c) Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat digunakan diuretik,
e) Diuretikum
f) Kortikosteroid
a) Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg/hari/luas permukaan
b) Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan dosis 40
mg/hari/lpb, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis maksimum 60 mg/hari.
Bila terdapat respons, maka pengobatan ini dilanjutkan secara intermitten selama 4
minggu.
Pungsi asites, pungsi hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital. Bila ada gagal jantung,
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Pasien sindroma nefrotik perlu dirawat di rumah sakit, karena memerlukan pengawasan
dan pengobatan yang khusus. Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah edema yang berat
(anasarka), diet, resiko komplikasi, pengawasan mengenai pengobatan atau gangguan rasa aman
dan nyaman, dan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit pasien.
Pasien sindroma nefrotik dengan anasarka perlu istirahat di tempat tidur, karena dengan
keadaan edema yang berat menyebabkan pasien kehilangan kemampuannya untuk bergerak.
Selama edema masih berat semua keperluan harus ditolong di atas tempat tidur.
a. Baringkan pasien setengah duduk, karena adanya cairan di rongga thoraks akan
b. Berikan alas bantal pada kedua kakinya sampai pada tumit (bantal diletakkan
memanjang, karena jika bantal melintang maka ujung kaki akan lebih rendah dan akan
c. Bila pasien seorang anak laki-laki, berikan ganjal dibawah skrotum untuk mencegah
kemampuannya, tetapi tetap didampingi atau dibantu oleh keluarga atau perawat dan pasien tidak
boleh kelelahan. Untuk mengetahui berkurangnya edema pasien perlu ditimbang setiap hari, di
ukur lingkar perut pasien. Selain itu perawatan pasien dengan sindroma nefrotik, perlu dilakukan
pencatatan masukan dan pengeluaran cairan selama 24 jam. Pada pasien dengan sindroma
nefrotik diberikan diet rendah protein yaitu 1,2-2,0 gram/kgBB/hari dan cukup kalori yaitu 35
kal/kgBB/hari serta rendah garam (1 gram/hari). Bentuk makanan disesuaikan dengan keadaan
Pasien dengan sindroma nefrotik mengalami penurunan daya tahan tubuh yang
mengakibatkan mudah terkena infeksi. Komplikasi pada kulit akibat infeksi streptococcus dapat
terjadi. Untuk mencegah infeksi tersebut, kebersihan kulit perlu diperhatikan dan alat-alat tenun
atau pakaian pasien harus bersih dan kering. Antibiotik diberikan jika ada infeksi, dan diberikan
pada waktu yang sama. Jika pasien diperbolehkan pulang, orang tua pasien perlu diberikan
penjelasan bagaimana merawat anak yang menderita penyakit sindroma nefrotik. Pasien sendiri
perlu juga diterangkan aktivitas apa yang perlu dilakukan dan kepatuhan tentang dietnya masih
perlu diteruskan sampai pada saatnya dokter mengizinkan bebas diet. Memberikan penjelasan
pada keluarga bahwa penyakit ini sering kambuh atau berubah menjadi lebih berat jika tidak
terkontrol secara teratur, oleh karena itu orang tua atau pasien dianjurkan kontrol sesuai waktu
I. Komplikasi
hipoalbuminemia.
4. Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal. (Rauf, .2002)
KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Pengkajian Anamnesa
a. Identitas
2. Kaji onset keluhan bengkak pada wajah atau kaki apakah disertai dengan adanya
d. Pada pengkajian riwayat kesehatan dahulu, perawat perlu mengkaji apakah klien pernah
menderita penyakit edema, apakah ada riwayat dirawat dengan penyakit diabetes melitus
dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya. Penting dikaji tentang riwayat pemakaian
obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat dan dokumentasikan.
e. Pada pengkajian psikososiokultural, adanya kelemahan fisik, wajah, dan kaki yang bengkak
akan memberikan dampak rasa cemas dan koping yang maladaptif pada klien.
1. Prenatal
Keadaan dimana ibu memeriksakan kandungannya selama mengandung dan asupan nutrisi
selama kehamilan.
2. Natal
Proses persalinan pada saat dilahirkan, serta kondisi bayi saat dilahirkan.
3. Postnatal
4. Imunisasi
Berat badan = umur (tahun) X 2 + 8. Tinggi badan = 2 kali tinggi badan lahir.
Perkembangan psikoseksual : anak berada pada fase oedipal/falik dengan ciri meraba-
raba dan merasakan kenikmatan dari beberapa daerah erogennya, senang bermain dengan
anak berjenis kelamin beda, oedipus kompleks untuk anak laki-laki lebih dekat dengan
ibu, elektra kompleks untuk anak perempuan lebih dekat dengan ayah.
Perkembangan psikososial : anak berada pada fase pre school (inisiative vs rasa bersalah)
yaitu memiliki inisiatif untuk belajar mencari pengalaman baru. Jika usahanya diomeli
atau dicela anak akan merasa bersalah dan menjadi anak peragu.
Perkembangan fisik dan mental : melompat, menari, menggambar orang dengan kepala,
lengan dan badan, segiempat, segitiga, menghitung jari-jarinya, menyebut hari dalam
seminggu, protes bila dilarang, mengenal empat warna, membedakan besar dan kecil,
dalam bermain, rewel, gelisah, regresi, perasaan berpisah dari orang tua, teman.
2. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien lemah dan terlihat sakit berat dengan tingkat kesadaran biasanya
B1 (Breating). Biasanya tidak didapatkan adanya gangguan pola nafas dan jalan napas
walau secara frekuensi mengalami peningkatan terutama pada fase akut. Pada fase lanjut
sering didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan napas yang merupakan respons
B3 (Brain). Didapatkan edema wajah terutama periorbital, sklera tidak ikterik. Status
neurologis mengalami perubahan sesuai dengan tingkat parahnya azotemia pada sistem
saraf pusat.
B5 (Bowel). Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga sering didapatkan
B6 (Bone). Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek sekunder dari edema
3. Pengkajian Diagnostik
Tujuan terapi adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal lebih lanjut dan menurunkan
risiko komplikasi. Untuk mencapai tujuan terapi, maka penatalaksanaan tersebut meliputi hal-hal
berikut :
a. Tirah baring
Untuk mengatasi penyulit, pada stadium oedem, ada hipertensi, ada bahaya trombosis, apabila
relaps.
b. Diuretik
Induksi : 2 mg/kgBB/24 jam dibagi 3 dosis selama 4 minggu (maksimal 80 mg/24 jam).
Bila terjadi remisi : 2 mg/kgBB/24 jam dosis tunggal tiap pagi, tiap 48 jam sekali selama 4
minggu. Tapering off dosis dikurangi 0,5 mg/kgBB setiap 2 minggu, selama 2-4 bulan.
Tinggi protein dan rendah garam (pada stadium oedem dan selama pemberian
e. Terapi cairan
Jika klien dirawat di rumah sakit, maka intake dan output diukur secara cermat dan
dicatat. Cairan diberikan untuk mengatasi kehilangan cairan dan berat badan harian.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan volume urine, retensi cairan
dan natrium.
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, kontrol dan
atau massa.
Behrman, R.E. MD, dkk. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Volume 3 Edisi 15. Jakarta: EGC
Betz, Cecily Lynn. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 5. Jakarta: EGC
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika
Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba
Medika
Rauf, Syarifuddin. 2002. Catatan Kuliah Nefrologi Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FK UH
: Makassar