Anda di halaman 1dari 23

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Nefritis Lupus


Nefritis Lupus (NL) adalah merupakan salah satu komplikasi ginjal pada Lupus
Eritematosus Sistemik (LES) atau Sistemik Lupus Erithematosus (SLE) (Meivina Ramadhani
P, 2011).Nefritis lupus adalah suatu proses inflamasi ginjal yang disebabkan oleh Sistemik
Lupus Erithematosus, yaitu suatu penyakit autoimun. Selain ginjal, SLE juga dapat merusak
kulit,sendi, system saraf dan hampir semua organ dalam tubuh ( Arif Mansjoer, 2001).

B. Pathogenesis Nefritis Lupus


Lupus nefritis timbul pada waktu antibody antinuklear (anti-DNA) melekat pada
antigennya (asamdeoksiribonukleat/DNA) dan diendapkan pada glomerolus ginjal. Biasanya
DNA tidak bersifat antigenik pada orang normal tetapi dapat menjadi antigenik pada
penderita SLE. Komplemen terfiksasi pada kompleks imun ini, dan proses peradangan
dimulai. Akibatnya dapat terjadi peradangan ginjal, kerusakan jaringan. Dan pembentukan
jaringan parut(Price, Sylvia A., Lorainne M. Wilson. 1995).
Kira-kira 65 % dari penderita SLE akan mengalimi ganguan pada ginjalnya. Tetapi
hanya 25% yang menjadiberat. NL diketahui dengan melakukan pemeriksaan adanya protein
dan sel darah merah/ silender di dalam air kemih. Untuk mendapatkan diagnosis pasti
mungkin perlu dilakukan biopsi ginjal(Price, Sylvia A., Lorainne M. Wilson. 1995).
Pathogenesis timbulnya SLE diawali oleh adanya interaksi antara factor predisposisi
genetic (seperti HLA-β haplotipe, antigen DRW2 dan DRW5, defisiensi C2-inhorn, HLA-
DR2 dan HLA-DR3) dengan factor lingkungan, factor hormone seks, dan factor system
neuro endrokrin. Interaksi factor-faktor ini akan mempengaruhi dan mengakibatkan
terjadinya respon imun yang menimbulkan peningkatan auto-antibodi (DNA-antiDNA).
Sebagian auto antibody akan membentuk komplek imun bersama nukleosom (DNA-histon),
kromatin, C1q, lamini, Ro (SS-A), ubiquitin, dan ribosom; yang kemudian akan membentuk
deposit (endapan) sehingga terjadi kerusakan jaringan. Pada sebagian kecil NL tidak
ditemukan deposit komplek imun dengan sediaan imunofluoresen atau mikroskop electron
(Meivina Ramadhani Pane, 2011).
Gambaran klinik kerusakan glomerulus berhubungan dengan lokasi terbentuknya
deposit kompleks imun. Deposit pada mesangium dan subendotel letaknya proksimal
terhadap membrane basalis glomerulus sehingga mempunyai akses dengan pembuluh darah.
Deposit pada daerah ini akan mengaktifkan komplemen yang selanjutnya akan membentuk
kemoatrakan C3a dan C5a, yang menyebabkan terjadinya influx sel netrofil dan mononuclear
(Meivina Ramadhani Pane, 2011).
Deposit pada mesangium dan subendotel secara histopatologis memberikan gambaran
mesangial, proliferative local, dan proliferative difus, secara klinis memberikan gambaran
sedimen urin aktif (ditemukan eritrosit, leukosit, selinder sel dan granular), proteinuria dan
sering disertai penurunan fungsi ginjal (Meivina Ramadhani Pane, 2011).
Sedangkan deposit pada subepitel juga akan mengaktifkan komplemen, tapi tidak
terjadi influx sel-sel inflamasi, karena kemoatraktan dipisahkan oleh membrane basalis
glomerulus dari sirkulasi. Sehingga jejas hanya terbatas pada sel-sel epitel glomerulus.Secara
histopatologi memberikan gambaran nefropati membranosa, dan secara klinis hanya
didapatkan proteinuri (Meivina Ramadhani Pane, 2011).
Tempat terbentuknya kompleks imun dihubungkan dengan karakteristik antigen dan
antibody (Meivina Ramadhani Pane, 2011):
 Komplek imun yang besar atau antigen yang anionic, yang tidak dapat melewati sawar
dinding kapiler glomerulus yang juga bersifak anionic, akan diendapkan dalam
mesangium dan subendotel. Banyak deposit imun ini akan menentukan apakah pada
pasien akan berkembang gejala penyakit yang ringin (deposit imun pada mesangium),
atau terdapat gejala yang lebih besar (proliferative fokal atau difus)
 Hal lain yang menentukan tempat terbentuknya komplek imun dihubungkan dengan
muatan antibody dan daerah tempat berikatan dengan antigen. Antibody dapat berikatan
sehingga menimbulkan manifestasi histologist dan klinis yang berbeda.
 Pathway
Pencetus (initiating even):
(infeksi, terbentuknya antigen-
antibody , penyakit sistemik)

Membrane Kapiler
glomerolus mengalami
inflamasi

Meningkatkan permebilitas Menurunkane GFR


glomerolus (glomerolus Filtration
Rate)/laju filtrasi glomerolus

Hematuria Proteinuria
Azotemia
Renin angiotensin
teraktifasi oleh
system aldosteron

Hipoalbunemia Sodium dan retensi cairan

Edema Hipertensi

C. Klasifikasi Nefritis Lupus


Kelainan ginjal yang ditemukan pada pemeriksaan histopatologi mempunyai nilai
yang sangat penting. Gambaran ini mempunyai hubungan dengan gejala klinis yang
ditemukan pada pemeriksaan dan juga menentukan pilihan pengobatan yang akan diberikan.
Klasifikasi WHO dinilai berdasarkan pola histopatologi dan lokasi dari imun kompleks. Jika
pasien tidak dapat dilakukan biopsi ginjal maka untuk menentukan klasifikasi nephritis lupus
dapat dilakukan penilaian berdasarkan panduan WHO, (Kasjmir, Yoga I, Kusworini
Handono, Linda Kurniaty Wijaya, Laniyati Hamijoyo, Zuljasri Albar, et al. 2011).
Sedangakan International Society Neprology/ Renal Pathologi Society (ISN / RPS)
membuat klasifikasi baru NL.Klasifikasi baru ini terutama berdasarkan pada perubahan
glomerulus serta kelas III dan IV lebih rinci perubahan morfologisnya. Dengan pemeriksaan
imfluoresen dapat ditemukn deposit imun pada semua kompartemen ginjal. Biasanya
ditemukan lebih dari satu kelas immunoglobulin, terbanyak ditemukan deposit IgG dengan
co-deposit IgM dan IgA pada sebagian besar sediaan. Juga bisa diidentifikasi komplemen C3
dan C1q (Meivina Ramadhani Pane, 2011).
Kelas I
Kelas I didefinisikan sebagai minimal mesangial lupus nephritis dengan akumulasi
mesangial kompleks imun diidentifikasi oleh imunofluoresensi, atau dengan
imunofluoresensi dan mikroskop elektron, tanpa perubahan mikroskopis cahaya secara
bersamaan.
Kelas II
Kelas II didefinisikan sebagai mesangial proliferatif lupus nephritis ditandai dengan
hypercellularity mesangial (didefinisikan sebagai tiga atau lebih sel mesangial per daerah
mesangial di bagian 3 mikron tebal) dihubungan dengan deposit imunmesangial. Dengan
immunofluorescence atau mikroskop elektron, mungkin ada sedikit isolasi deposit imun yang
jarang melibatkan dinding kapiler perifer dalam beberapa contoh kelas II. Namun,
identifikasi endapan subendothelial dengan mikroskop cahaya akan menunjukan kelas III
atau kelas IV tergantung pada tingkat dan distribusi deposito subendothelial. Demikian pula,
kehadiran kerusakan glomerulus global atau segmental yang ditafsirkan sebagai sequela dari
sebelumnya proliferasi glomerulus endocapillary, nekrosis atau crescent tidak sesuai dengan
kelas II dan akan konsisten dengan baik kelas III atau kelas IV tergantung pada jumlah
glomeruli bekas luka.
Kelas III
Kelas III didefinisikan sebagai nefritis lupus focal melibatkan kurang dari 50% dari
semua glomeruli. Glomeruli yang terkena biasanya menampilkan lesi proliferatif segmental
endocapillary atau bekas luka glomerular aktif, dengan atau tanpa nekrosis dan
crescentdinding kapiler, dengan deposito subendothelial (biasanya distribusi segmental).
Dalam menilai luasnya lesi, glomeruli dengan lesi aktif dan sklerotik akan diperhitungkan.
Perubahan mesangial fokal atau difus (termasuk proliferasi mesangial atau deposit imun
mesangial) dapat disertai lesi glomerulus fokal. Dalam studi patologi dari tujuh pusat berbeda
pada 50 kasuslupus glomerulonefritis, untuk total 350 spesimen, kelas III lesi yang
ditemukan hampir selalu segmental dan jarang global. Lesi seperti vaskulitis ditandai dengan
nekrosis kapiler segmental tanpa ditemukan adanya proliferasi endocapillary
Dalam laporan,parameter aktivitas dan kronisidapatdijelaskan pada table 6.
Padadiagnostik, proporsi glomeruli dipengaruhi oleh lesi aktif dan kronis, nekrosis fibrinoid
dan crescent. Selain itu, kehadiran bermacam-macam tubulointerstitial atau pathologi
pembuluh darah harus dilaporkan. Skema baru ini dapat memfasilitasi korelasi proporsi
glomeruli dipengaruhi oleh aktif, necrosis, lesi kronis dan hasil klinis. Diagnosis spesifik dari
kombinasi kelasIII dan kelas V membutuhkan keterlibatan membran minimal 50% dari luas
permukaan kapiler glomerulus minimal 50% dari glomeruli dengan mikroskop cahaya atau
immunofluorescence.
Kelas IV
Kelas IV didefinisikan sebagai difus lupus nephritis yang melibatkan 50% atau lebih
dari glomeruli di biopsi. Dalam glomeruli yang terkena, lesi seperti yang dijelaskan di bawah
ini mungkin segmental, yang didefinisikan sebagai hemat setidaknya setengah dari
glomerulus, atau global, didefinisikan sebagai melibatkan lebih dari setengah dari
glomerulus. Kelas ini dibagi menjadi diffuse segmental lupus nephritis (kelas IV-S) ketika>
50% dari glomeruli terlibat memiliki lesi segmental, dan menyebar lupus nefritis dunia (kelas
IV-G) ketika> 50% dari glomeruli terlibat memiliki lesi global . Kelas IV-S biasanya
menunjukkan segmental proliferasi endocapillary melanggar pada lumina kapiler dengan
atau tanpa nekrosis , dan dapat ditumpangkan pada bekas luka glomerular didistribusikan
sama. Kelas IV-G ditandai dengan difus dan endocapillary global, extracapillary, atau
proliferasi mesangiokapiler atau wireloops luas. Setiap lesi aktif dapat dilihat dengan kelas
IV-G, termasuk karyorrhexis, lingkaran kapiler nekrosis, dan pembentukan sabit . Contoh
langka yang luas (diffuse dan global) subendothelial deposito glomerular dengan sedikit atau
tanpa proliferasi juga harus dimasukkan dalam kategori ini. Subdivisi baru untuk segmental
dan lesi global yang didasarkan pada bukti yang menunjukkan bahwa difus lupus nephritis
segmental mungkin memiliki hasil yang berbeda dari lupus nephritis difus global. Dalam
studi percontohan dari tujuh pusat yang berbeda disebutkan di atas, 35% dari 135 biopsi
kelas IV mengungkapkan distribusi terutama segmental dari lesi, sebagai lawan dari 65%
yang menunjukkan distribusi didominasi global. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa
nekrosis fibrinoid biasanya berhubungan dengan hypercellularity endocapillary dan karena
itu mungkin menjadi ekspresi yang lebih parah dari mekanisme patogenetik yang sama.
Dalam laporan tersebut, parameter aktivitas dan kronisitas harus dijelaskan. Pada
baris diagnostik, proporsi glomeruli dipengaruhi oleh lesi aktif dan kronis dan nekrosis
fibrinoid oleh atau crescent harus ditunjukkan. Selain itu, kehadiran patologi tubulointerstitial
atau pembuluh darah harus dilaporkan dalam garis diagnostik.
Hal ini diakui bahwa deposito subepitel tersebar yang biasa terlihat di biopsi kelas IV.
Oleh karena itu, diagnosis gabungan kelas IV dan kelas V dijamin hanya jika deposit
subepitel melibatkan setidaknya 50% dari luas permukaan kapiler glomerulus dalam
setidaknya 50% dari glomeruli dengan mikroskop cahaya atau mikroskop
immunofluorescence.
Dalam menilai luasnya lesi, baik lesi aktif dan sklerotik akan diperhitungkan. Dengan
cara ilustrasi, biopsi ginjal berisi total 20 glomeruli, yang ada lesi proliferatif segmental aktif
dalam empat dan segmental lesi bekas luka tidak aktif dalam sepuluh harus ditunjuk kelas
IV-S lupus nephritis.

Kelas V
Kelas V didefinisikan sebagai membran lupus nephritis dengan granular subepitel
deposit imun berkelanjutan global atau segmental, sering dengan mesangial bersamaan
deposit imun. Setiap tingkat hypercellularity mesangial dapat terjadi di kelas V. Tersebar
deposit imun subendothelial dapat diidentifikasi dengan imunofluoresensi atau mikroskop
elektron. Jika ada dengan mikroskop cahaya, deposito subendothelial menjamin diagnosis
gabungan lupus nefritis kelas III dan V, atau kelas IV dan V, tergantung pada distribusi
mereka. Ketika lesi membran didistribusikan difus (melibatkan> 50% dari seberkas> 50%
dari glomeruli dengan mikroskop cahaya atau immunofluorescence) dikaitkan dengan lesi
aktif kelas III atau IV , kedua diagnosis harus dilaporkan dalam garis diagnostik. Sebagai
kelas V berkembang ke kronisitas, biasanya ada pengembangan segmental atau global yang
glomerulosclerosis, tanpa superimposisi proliferatif lupus nephritis. Namun, jika bekas luka
glomerular dihakimi sebagai sequela dari proliferasi sebelumnya, necrotizing atau lesi
glomerulus bulan sabit, maka sebutan gabungan kelas III dan kelas V lupus nephritis, atau
kelas IV dan kelas V nefritis lupus harus diterapkan, tergantung pada distribusi jaringan parut
glomerular.
Kelas VI
Kelas VI (stadium lanjut lupus nephritis) menunjukan hasil biopsi dengan ≥ 90%
sclerosisglomerolus global dan di mana ada bukti klinis atau patologis bahwa sclerosis yang
disebabkan oleh lupus nephritis. Seharusnya tidak ada bukti penyakit glomerular aktif yang
sedang berlangsung. Kelas VI dapat mewakili tahap kronis lanjut dari kelasIII, kelas IV, atau
kelas V lupus nephritis. Tanpa bantuan biopsi ginjal berurutan, mungkin mustahil untuk
menentukan dari mana kelas lesi glomerulus sklerotik berevolusi.
D. Manifestasi / Gejala Klinik
Gejala klinis yang dapat ditemukan merupakan kombinasi manifestasi kelainan
ginjalnya sendiri dan kelainan di luar ginjal seperti gangguan system Sistem Saraf Pusat,
system hematologi, persendian dan lainnya. Manifestasi ginjal berupa proteinuri didapatkan
pada semua pasien , sindrom nefrotik pada 45-65% pasien, hematuria mikroskopik pada 80%
pasien, gangguan tubular pada 60-80% pasien, hipertensi pada 15-50% pasien, penurunan
fungsi ginjal pada 40-80% pasien, dan penurunan fungsi ginjal yang cepat pada 30% pasien
(Meivina Ramadhani Pane, 2011).
GAMBARAN KLINIS %
Proteinuria 100
Sindrom nefrotik 45-65

Silinder granular 30
Silinder eritrosit 10
Hematuria mikroskopik 80
Hematuria makroskopik 1-2

Penurunan fungsi ginjal 40-80


Penurunan fungsi ginjal yang cepat 30
Gagal ginjal akut 1-2
Hipertensi 15-50
Hiperkalemia 15
Abnormalitas tubular 60-80

Gambaran klinis yang ringan dapat berubah menjadi bentuk yang berat dalam
perjalanan penyakitnya. Beberapa predictor yang dihubungkan dengan perburukan fungsi
ginjal pada saat pasien diketahui menderita NL antara lain ras kulit hitam, hematokrit 2.4
mg/dl, dan kadar C3 < 76 mg/dl. Gejala klinis NL yang dapat ditemukan sesuai klasifikasi
sesuai kalsifikasi histopatologi sebagai berikut: Nefritis Lupus sesuai kelasnya: I) Proteinuria
tanpa kelainan pada sedimen urin IIa) Proteinuria tanpa kelainan pada sedimen urin IIb)
Hematuria mikroskopik dan atau proteinuria tanpa hipertensi dan tidak pernah terjadi
sindrom nefrotik atau gangguan fungsi ginjal III) Hematuria dan proteinuria ditemukan pada
seluruh pasien, sedangkan pada sebagian pasien ditemukan hipertensi, sindrom nefrotik, dan
penurunan fungsi ginjal. IV )Hematuria dan proteinuria ditemukan pada seluruh pasien,
sedangkan sindrom nefrotik, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal ditemukan pada hampir
seluruh pasien V) Sindrom nefrotik ditemukan pada seluruh pasien, sebagian dengan
hematuri atau hipertensi akan tetapi fungsi ginjal masih normal atau sedikit menurun
(Meivina Ramadhani Pane, 2011).
E. Pemeriksaan Fisik dan Diagnosis Medis
Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda berkurangnya fungsi ginjal dengan edem,
hipertensi. Auskultasi abnormal dapat terdengar di jantung dan paru yang menandakan
overload cairan. Diagnosis medis NL dapat ditegakkan apabila pasien dengan SLE yang
memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh WHO 2003 (minimal 4 kriteria dari 11 kriteria) dan
dengan didapatkannya proteinuria ≥ 1 gr/24jam dengan atau hematuria (>8 eritrosit / LPB)
dengan atau penurunan funsi ginjal sampai 30 %, sedangkan untuk menentukan diagnosis
pasti NL dan menentukan kelas NL dapat menggunakan biopsi ginjal (Meivina Ramadhani
Pane, 2011).
Pemeriksaan protenuria dapat dilakukan menggunakan penggumpulan urin selama 24
jam, setelah itu mengukur jumlah protein dalam sedimen urin secara kuntitative, pada pasien
NL terdapat proteinuria ≥ 1 gr/24 jam. Cara lain yang lebih praktis digunakan dan sekarang
banyak digunakan dengan menghitung rasio antara kreatinin dengan protein pada sampel urin
sewaktu (ekskresi kreatinin normal 1000 mg/24 jam/1,75 m2: ekskresi protein normal 150-
200 mg/ 24 jam/ 1,75m2, rasio protein: kreatinin normal < 0,2 ). Pemeriksaan ini mudah
digunakan dan juga untuk mengetahui perubahan protein setelah dilakukan
pengobatan(Meivina Ramadhani Pane, 2011).
Pemeriksaan serologic yang biasa digunakan pada pasien NL (Meivina Ramadhani
Pane, 2011) adalah
1) Tes ANA. Tes ini sangat sensitii untuk LES , tapi tidak spesifik. ANA juga
ditemukan pada pasien dengan arthritis rematoid, scleroderma, sindrom syogren,
polimiositis dan infeksi HIV. Titer Ana tidak mempunyai korelasi yang baik dengan
berat kelainan ginjal ada LES dan tidak dapat digunakan untuk memantau respon
terapi dan prognosis.
2) Tes anti ds DNA (anti double-stranded DNA), lebih spesifik tapi kurang sensitive
untuk SLE. Tes ini positif pada kira-kira 75% pasien SLE aktif yang belum diobati.
Dapat diperiksa dengan teknik radioimmunoassay farr atau teknik ELIZA (enzim-
linked immunosorbent assay). Anti ds DNA mempunyai korelasi yang baik dengan
adanya kelainan ginjal.
3) Pemeriksaan lain adalah antibody anti ribonuklear seperti anti-Sm dan anti –nRNP.
Antibobi anti-Sm meskipun sangat spesifik untuk SLE, tapi hanya ditemukan pada 25
% pasien lupus. Beberapa penelitian menunjukan bahwa antibody anti-Sm
mempunyai hubungan dengan peningkatan insidens yang buruk. Antibody anti-nRNP
ditemukan pada 35% pasien SLE, juga pada penyakit-penyakit rematologik
terutamajaringan ikat.
4) Kadar komplemen serum menurun pada saat fase aktif SLE, terutama pada NL tipe
proliferative. Kadar C3 dan C4 serum sering sudah di bawah normal sebelum gejala
lupus bermanifestasi. Normalisasi kadar komplemen dihubungkan dengan perbaikan
NL. Defisiensi komplemen lain seperti C1r, C1s, C2, C3q, C5a, dan C8 juga
didapatkan pada SLE. Kadar komplemen total kemungkinan tetap di bawah normal
meskipun penyakit dalam keadaan inaktif.
Pemeriksaan serologi penting untuk menentukan diagnosis nefritis lupus karena
menunjukan adanya produksi auto-Ab yang abnormal tetapi kurang tepat untuk menetukan
adanya kelainan ginjal, menilai prognosis maupun tindak lanjut selama terapi (Bawazier LA,
Dharmeizar, Markum MS, 2006).
Untuk pemeriksaan histopatologi pada NL yang direkomendasikan oleh ISN dan
WHO adalah biopsy ginjal.Pada biopsy ginjal akan mudah dalam menetukan kelas NL dan
juga agar pengobatan pada pasien NL lebih tepat.

F. PenatalaksaanNepritis Lupus
Penatalaksanaan nepritis lupus sebelumnya masih menjadi kontraversial, tetapi pada
tahun 2012 American Collage Rheumatology (ACR) membuat pedoman dalam pemberian
obat untuk pasien dengan Nepritis Lupus yang berdasarkan klasifikasi menurut ISN.
Pengobatan ini terdiri dari treatmen adjuvant (pengobatan tambahan yang memiliki pengaruh
terhadap SLE / NL dan pengobatan untuk NL yang berdasarkan kelas menurut ISN (Hahn et
al, 2012).
1) Pengobatan tambahan (adjuvan)
Task force panel merekomendasikan bahwa semua pasien SLE dengan NL
pengobatan diberikan Hidroxycholoroquine (HCQ), kecuali ada kontraindikasi. HCQ
menunjukan secara signifikan mengurangi kerusakan ginjal pada pasien SLE yang
menerima HCQ. HCQ juga dapat mengurangi kejadian pembekuan pada SLE(Hahn et al,
2012).
Semua pasien NL dengan proteinuria 0,5 gr / 24 jam (setara dengan rasio protein :
kreatinin pada sampel urin). Blockade system renin angiotensin dapat mendorong
tekanan intra glomerolus (level A untuk non diabetic kronik penyakit ginjal). Pengobatan
Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor / Angiotensin Reseptor Bloker (ARB)
mengurangi sekitar 30 % proteinuria dan secara signifikan terjadi dua kali penundaan
terhadap kadar serum kreatinin dan perkembanganstadium akhir penyakit ginjal pada
pasien non diabetic kronik. Kontrandikasi dari obat ini adalah kehamilan. Pengunaan
kombinasi dari terapi ACE inhibitor / ARB masih controversial. Pengobatan ACE
inhibitor atau ARB lebih unggul dalam channel blokers kalsium dan diuretic untuk
mempertahankan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis(Hahn et al, 2012).
Task force panel merekomendasikan perhatian dalam mengontrol hipertensi
dengan target ≤ 130/80 mmHg (level A untuk nondiabetik kronik penyakit ginjal).
Rekomendasi ini berdasarkan prospektif uji coba dan metaanalisis menunjukan ada
hubungan yang signifikan terhadap penundaan proses dari penyakit ginjal, dengan
ketidakedekuatan control tekanan darah. Task force panel juga merekomendasikan terapi
statin dengan pasien dengan Low Density Lipoprotein cholesterol > 100 mg/dl (Rosenson
RS, 2011). Catatan bahwa laju filtrasi glomerolus < 60 ml/ menit/ 1,73 m2 (setara dengan
tingkat serum kreatinin >1.5 mg/dl or 133 µmoles/liter) merupakan factor resiko yang
dikaitkan dengan mempercepat terjadi atherosclerosis dan SLE itu sendiri dapat
menyebabkan terjadinya atherosclerosis(Hahn et al, 2012).
Akhirnya, Panel Task Force merekomendasikan bahwa perempuan yang
berpotensi untuk hamil dengan NL aktif, disarankan menerima konseling mengenai risiko
kehamilan yang disebabkan oleh penyakit dan pengobatan(Hahn et al, 2012).
G. Komplikasi
1. Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik (manifestasi rendah kadar bikarbonate vena). Asidosis
metabolik berhubungan dengan meningkatnya dengan katabolisme protein, penurunan
sintesis protein dan demineralisasi tulang. Asidosis metabolik akan sangat progresif pada
gagal ginjal.
Pengobatan asidosis metabolik dengan oral alkali, kebanyakan secara umumnya
menggunakan sodium bikarbonat. Dosis yang diberikan antara 500 mg- 1 g, 3 atau 4x
dalam sehari. Obat ini bisa memperbaiki asidosis metabolik dan penilaian dari
dimeneralisasi dan degredasi protein. Potensi kerugian yang termasuk dalam pengisian
sodium, mungkin akan menimbulkan hipertensi dan kelebihan cairan. Pada penilaian
pengobatan asidosis metabolik dengan sodium bikarbonat sebanyak 4,5 gr/ hari selama 6
bulan, dapat memperbaiki bikarbonat vena dan meningkatkan serum albumin. Interpretasi
ini dapat memperbaiki status nutrisi.
2) Rekomendasi terapi induksi untuk perbaikan pada pasien NL kelas III dan IV
berdasarkan ISN
3) Rekomendasi terapi induksi untuk perbaikan pada pasien NL kelas kelas IV atau
IV/ V dengan cellular crescents (sabit sellular)
Task force panel merekomendasikan terapi induksi untuk peningkatan pasien
dengan kelas IV atau IV/V ditambah adanya sellular crescents dengan menggunakan
CYC atau MMF dilanjutkan dengan pulse glukokortikoid IV dosis tinggi dan permulaan
glukokortikoid per oral dengan rentang dosis tinggi, 1 mg / kg / hari secara oral(Hahn et
al, 2012)
H. Komplikasi
1. Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik (manifestasi rendah kadar bikarbonate vena). Asidosis
metabolik berhubungan dengan meningkatnya dengan katabolisme protein, penurunan
sintesis protein dan demineralisasi tulang. Asidosis metabolik akan sangat progresif pada
gagal ginjal.
Pengobatan asidosis metabolik dengan oral alkali, kebanyakan secara umumnya
menggunakan sodium bikarbonat. Dosis yang diberikan antara 500 mg- 1 g, 3 atau 4x
dalam sehari. Obat ini bisa memperbaiki asidosis metabolik dan penilaian dari
dimeneralisasi dan degredasi protein. Potensi kerugian yang termasuk dalam pengisian
sodium, mungkin akan menimbulkan hipertensi dan kelebihan cairan. Pada penilaian
pengobatan asidosis metabolik dengan sodium bikarbonat sebanyak 4,5 gr/ hari selama 6
bulan, dapat memperbaiki bikarbonat vena dan meningkatkan serum albumin. Interpretasi
ini dapat memperbaiki status nutrisi.

I. Prognosis
Pemeriksaan patologis yang dilakukan pada pasien dengan NL memiliki hubungan
antara respon klinis dan hasil akhir. Pada kelas IV (Difus proliferative glomerulonefritis)
mempunyai prognosis yang buruk, 11-48% pasin akan menderita gagal ginjal dalam 5 tahun
(Cervera R, Espinosa G, D’Cruz D, 2009).
Pada prognosis NL, terdapat beberapa variabel yang mempengaruhi hasil akhir antara
lain adalah RAS hitam, azotemia, anemia, sindrom antiphospholipid, gagal terhadap terapi
imunosepresan awal, kambuh dengan fungsi ginjal yang memburuk (Kasjmir, Yoga I,
Kusworini Handono, Linda Kurniaty Wijaya, Laniyati Hamijoyo, Zuljasri Albar, et al. 2011).
ASUHAN KEPERAWATAN PADA LUPUS NEFRITIS

Menurut Priscilla LeMone dan Karen Burke, 2008, Asuhan keperawatan pada pasien
dengan lupus nefritis atau gangguan pada glomerolus lebih ke suportif (mempertahankan) dan
edukasi (penyuluhan kesehatan). Memonitor fungsi ginjal dan status volume cairan merupakan
komponen kunci dalam asuhan keperawatan, memproteksi klien dari infeksi. Kedua manifestasi
dari ganguan glomerolus dan treatmennya bisa mempengaruhi kemampuan klien dalam
memelihara peran dan tanggung jawabnya. Berikut ini diagnosa dan intervensi keperawatan
pada klien yang mengalami gangguan glomerolus:
A. Pengakajian
 Riwayat kesehatan: keluhan pada wajah atau daerah periperalnya mengalami edema berat
badan bertambah, lemah, mual dan muntah, sakit kepala, malaise, nyeri perut atau
panggul, batuk atau nafas pendek, terjadi perubahan (jumlah, warna, karakter) dari urine
(berbusa), riwayat SLE, dan riwayat konsumsi obat.
 Pemeriksaan fisik: keadaan umum, tanda-tanda vital, terdapat edema pada area
periorbital, wajah, dan peripheral, kulit lesi atau adanya infeksi, specimen urin (warna,
bau, karakter)
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada lupus nepritis:
1. Kelebihan Volume Cairan b. d. kehilangan protein melalui urin
2. Kelelahan b. d. kehilangan protein melalui urin / kondisi tubuh yang buruk
3. Ketidakefektifan Perlindungan b. d. Terpapar dengan agen infeksi / resiko infeksi
meningkat
4. Ketidakefektifan performa peran b. d. manifestasi dan efek dari pengobatan / kelemahan
otot.
Diagnosa keperawatan pada komplikasi lupus nepritis (gagal ginjal dan asidosis metabolic) :
1. Kelebihan volume cairan b. d. tidak adequatenya ginjal mengeluarkan urine
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d. anoreksia, dan mual.
C. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan pada lupus nepritis:
1. Kelebihan Volume Cairan b. d. kehilangan protein melalui urin
Kelebihan volume cairan dan edema merupakan manifestasi yang umum terjadi
pada gangguan glomerolus. Ketika kehilahan protein melalui urin, maka tekanan osmotic
plasma akan menurun, dan perubahan cairan di ruangan interstinal (jaringan). Respon
tubuh terhadap perubahan cairan dengan menahan sodium (Natrium) dan air untuk
mempertahankan volume intravaskuler, dengan perubahan ini akan mengakibatkan
kelebihan volume cairan.
Alert Practice:
Pantau berat badan harian, (hari dan skala). Keakuratan berat badan merupakan indicator
yang baik dalam pendekatan keseimbangan cairan.
Monitor dan atur infuse IV secara hati-hati; termasuk cairan obat lewat IV yang masuk.
Penting untuk mengetahui intake cairan yang tidak terduga ini dapat terjadi oleh pengobatan
intravena (IV).

 Intervensinya:
 Tindakan mandiri:
1) Monitor TTV (TD, RR, N, S) setidaknya setiap 4 jam. Laporkan apabila ada
perubahan yang signifikan. Kelebihan cairan meningkatkan kerja pengisian jantung
dan tekanan darah, takikardi mungkin muncul, keseimbangan elektrolit bisa
dihubungkan penyebab disaritmia, peningkatan tekanan vaskularisasi pulmunal bisa
menyebabkan edema pulmunal, takipnea, dispnea, dan crakles (rales) di paru-paru.
2) Catat intake dan output setiap 4 -8 jam, or more frequently as indicate. Ketepatan
mencatat intake dan output membantu dalam menentukan status volume cairan.
3) Monitor serum elektrolit, hemoglobin, hematokrit, BUN, dan kreatinin. Gangguan
glomerolus mempengaruhi keseimbangan cairan dan keseimbangan elektrolit,
berpontensi terjadi komplikasi pada cardiac disaritmia. Meningkatnya volume
intravascular dapat mengakibatkan nilai hematokrit dan hemoglobin menurun. BUN
dan creatinin memberikan informasi tentang fungsi ginjal.
4) Pertahankan batasan cairan yang masuk. Anjurkan potongan ice (dibatasi dan
diperhitungkan jumlahnya) dan sering perawatan mulut untuk mengurangi kehausan.
Serta kembangkan jadwal cairan yang masuk ke pasien. Cairan yang dibatasi dapat
mengurangi kelebihan cairan, edema, dan hipertensi. Potongan ice dan sering
perawatan pada mulut membasahi membrane mukosa dan membantu mengurangi
rasa haus yang menjaga integritas jaringan oral. Klien dilibatkan dalam rencana
intake cairan guna meningkatkan pengontrolan dan pemahaman dalam regimen
pengobatan.
5) Konsultasikan makanan yang mengandung sodium atau protein ke ahli gizi mengenai
asupan yang dibatasi. Klien dilibatkan dalam perencanaan diet. Gangguan glomerolus
dapat mengurangi nafsu makan dan mempengaruhi pengobatan.
6) Monitor keadaan pasien selama terapi dilakukan.Terapi diuretikmembantu
mengurangivolume cairanberlebih; Namun, gangguan
glomerulardapatmempengaruhi responklienterhadap pengobatan. Selain itu, diuretik
dapatmemperburukketidakseimbangan elektrolitdankelemahan ototsering
dikaitkandengan gangguanglomerulus.
7) Atur posisi pasien secara berkala dan berikan perawatan kulit yang baik. Perfusi yang
baik dapat mengurangi edema jaringan dan menurunkan resiko kerusakan integritas
kulit.
 Tindakan kolaboratif
8) Kolaborasi pemberian obat ACE inhibitor sesuai indikasi. ACE inhibitor.Dapat
mengurangi gejala proteinuria sekitar 30 % dan secara signifikan terjadi dua kali
penundaan terhadap kadar serum kreatinin dan perkembangan stadium akhir
penyakit ginjal.
9) Kolaborasi pemberian terapi imunosupresan (Glukokortikoid, Cyclophosphamide,
atau Azathioprine) sesuai indikasi. Terapi imunosupresan untuk mengurangi raksi
inflamasi yang terjadi diginjal dan dapat mengurangi resiko gagal ginjal dan penykit
ginjal stadium akhir.
10) Kolaborasi pemberian agen diuretik sesuai indikasi. Diuretik digunakan dalam
mempertahankan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis.
2. Kelelahan b. d. kehilangan protein melalui urin / kondisi tubuh yang buruk
Kelelahanadalah manifestasiumum darigangguanglomerulus. Anemia, kehilangan
proteinplasma, sakit kepala, anoreksia, dan mualyang mengakibatkan
kelelahan.Kemampuan dalam mempertahankanfisikdan aktivitas mentalmungkin
terganggu.

Intervensinya:
1) Kaji tingkatan energi klien. Memperbaiki fungsi glomerolus dapat mengatasi
kelelahan dan meningkatkan produksi energi.
2) Buat jadwal kegiatandan proseduruntuk memberikanistirahat yang
cukupdankonservasi energi. Cegahkelelahan pada klien. Istirahat yang cukup
dankonservasi energidapatmengurangi kelelahan dan meningkatkankemampuan
klien.
3) Bantu klien dalam ADLs sesuai kebutuhan. Tujuannya adalah untuk membantu klien
dalam menggunakan energi.
4) Diskusikan kepada klien dan keluargahubungan antarakelelahan dan
prosespenyakit.Memahamisifatpenyakitdan kelelahanterkait untukmembantukliendan
keluarga dalam mempertahankan energi.
5) Anjurkan klien dalam penghematan energi dengan melakukan aktifitas ringan dan
sedikit makan tapi sering. Batasi pengunjung. Melakukan aktifitas ringan dapat
mengurangi energy yang dikeluarkan. Membatasi pengunjung dapat membantu
dalam menghemat energi.
3. Ketidakefektifan Perlindungan b. d. Terpapar dengan agen infeksi / resiko infeksi
meningkat
Efekdari keduagangguanglomerulusdanpengobatan dengan obatanti-inflamasi dan
sitotoksikdapat menekansistem kekebalan tubuh, meningkatkan risikoinfeksi. Efekanti-
inflamasi kortikosteroidjuga dapat mencegah manifestasiawal infeksi.
Alert Practice:
Pantau tanda-tanda vital, suhu, dan status mental setiap 4 jam. Suhu tinggi dapat
menunjukkan infeksi; namun obat anti-inflamasi dapat moderat responini.Takikardia,
peningkatan latergi, kebingunganmungkintanda-tandaawal infeksi.
Intervensinya:
1) Kaji tanda-tanda lain dari infeksi seperti adanya purulen pada luka, produksi batuk,
suara nafas tambahan, dan lesi merah atau meradang . Pantau manifestasi ISK, seperti
disuria , frekuensi dan urgensi , dan berawan , urin yang berbau busuk.
mengidentifikasi dini dan pengobatan infeksi adalah penting untuk mencegah
komplikasi sistemik pada klien.
2) Pantau CBC , berfokus pada WBC dan diferensial. Peningkatan WBC dan leukosit
yang belum matang dalam darah dapat menjadi indikator awal infeksi .
3) Gunakan teknik mencuci tangan yang baik. Proteksi dari infeksi silang dengan
menyediakan ruang pribadi dan membatasi pengunjung sakit. Klien dengan
penurunan resistensi terhadap infeksi membutuhkan peningkatan perlindungan.
4) Hindari atau minimalkan prosedur invasif. Mempertahankan penghalang kulit pro
protektif sangat penting bagi klien dengan status kekebalan yang berubah.
5) Jika kateterisasi diperlukan, Gunakan kateterisasi steril dengan intermiten lurus atau
mempertahankan sistem drainase tertutup untuk kateter. Mencegah refluks urin dari
sistem drainase ke kandung kemih atau kandung kemih ke ginjal memastikan tetap
paten karena sistem aliran gravitasi. Saluran kemih merupakan entry point sering
untuk infeksi , terutama dalam klien hospitaslisasi. Mempertahankan asepsik ketat
selama kateterisasi sangat penting. Kateterisasi intermiten dikaitkan dengan
rendahnya risiko ISK.
6) Anjurkan diet sehat bergizi dengan protein lengkap. Keseimbangan diet gizi yang
sehat penting untuk mempertahankan status gizi dan mendukung fungsi kekebalan
tubuh.
7) Ajarkan langkah-langkah untuk mencegah infeksi. Perawatan di rumah sering
dilakukan, memuntut klien dan keluarga untuk menggunakan tindakan pengendalian
infeksi yang tepat.
4. Ketidakefektifan performa peran b. d. manifestasi dan efek dari pengobatan / kelemahan
otot.
Manifestasi dan pengobatan gangguan glomerular dapat berpengaruh terhadap
kemampuan untuk mempertahankan peran dan kegiatan biasa. Kelelahan dan kelemahan
otot dapat membatasi aktivitas fisik dan sosial. Istirahat atau pembatasan aktivitas
dianjurkan untuk meminimalkan derajat proteinuria. Jika azotemia hadir, malaise, mual,
dan perubahan status mental dapat mengganggu fungsi peran. Edema wajah dan
periorbital mempengaruhi klien harga diri dan bisa mengakibatkan isolasi.

Intrvensinya:
1) Bina hubungan terapeutik yang kuat. Hal ini penting untuk mendapatkan
kepercayaan klien dan keyakinan.
2) Dorong perawatan diri dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Peningkatan
otonomi membantu mengembalikan rasa percaya diri dan mengurangi
ketidakberdayaan.
3) Dorong klien untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan. Waktu yang memadai dan
mendengarkan secara aktif mendorong ekspresi keprihatinan dan efek dari penyakit
atau pengobatan dalam kehidupan sehari-hari. Ini membantu klien menerima
penyakit, pengobatan, dan kerugian yang terkait.
4) Dukung keterampilan klien dalam mekanisme koping yang adaptif. Dukungan ini
membantu kepercayaan diri klien dalam mengidentifikasi kekuatan diri.
5) Jika memungkinkan, minta dukungan dari keluarga, dan teman-teman klien. Orang-
orang ini dapat memberikan dukungan fisik, psikologis, emosional, dan sosial.
6) Bantu klien dan keluarga mengembangkan rencana alternatif untuk perilaku dan
hubungan, anjurkan klien untuk mempertahankan peran yang biasa sejauh mungkin.
Mengembangkan rencana dapat membantu mengurangi ketegangan perubahan peran
dan mempertahankan harga diri.
7) Berikan informasi yang akurat dan optimis tentang gangguan dan efek jangka pendek
dan panjangnya. Klien dan keluarga membutuhkan informasi yang akurat untuk
merencanakan masa depan.
8) Evaluasi kebutuhan untuk dukungan tambahan dan layanan sosial bagi klien dan
keluarga.Hubungan klien dan keluarga, tingkat keparahan gangguan, dan
pengobatan dan prognosis, layanan dukungan sosial yang sedang berlangsung
mungkin diperlukan untuk memfasilitasi penanggulangan dan adaptasi.
Intervensi keperawatan pada komplikasi lupus nepritis (gagal ginjal dan asidosis
metabolic.
1. Kelebihan volume cairan b. d. tidak adequatenya ginjal mengeluarkan urine
Pada gagal ginjal, ginjal tidak adequate mengeluarkan urine dalam
mempertahankan keseimbangan cairan ektraselular yang normal. Retensi cairan lebih
besar terjadi pada gagal ginjal oliguria dari pada gagal non oliguria. Penambahan berat
badan yang cepat dan edema mengindikasikan retensi cairan. Pada gagal ginjal mungkin
dapat mengakibatkan gagal jantung dan edema paru-paru.
Practice Alert:
Kaji secara berkala pernafasan dan suara jantung, distensi vena jugularis, edema pada
ekstremitas catat dan laporkan temuan abnormal. Suara tambahan (crackles), suara
jantung tambahan seperti S3 atau S4 gallop, distensi vena jugularis, dan edema peripheral
mungkin menindikasikan hipervolemia, gagal jantung, atau edema paru-paru.
Intervensi:
1) Pertahankan setiap jam catatan intake dan output. Catatan intake dan output yang
tepat membantu dalam pengobatan, khususnya pada pembatasan cairan.
2) Jika tidak ada kontraindikasi, berikan posisi semi fowler. Meningkatkan fungsi dari
jantung dan pernapasan.
3) Catat dan laporkan nilai serum elektrolit yang abnormal dan manifestasi dari
ketidakseimbangan elektrolit.
a. Hiperkalemia: ekskresi potassium yang lemah. Manifestasi; irritabilitas, mual,
diare, disaritmia kardiak, kram abdominal, dan perubahan EKG.
b. Hyponatremia: retensi cairan. Manifestasi; mual, muntah, dan sakit kepala,
kemungkinan dengan latergi merupakan manifestasi system saraf pusat (SSP),
confusion (bingung), kejang, dan coma.
c. Hiperphosphatemia: menurunnya ekskresi fosfat. Manifestasi; hiperrefleksia,
paresthesias dan mungkin tetany.
Gagal ginjal dapat mengakibatkan gangguan ekskresi elektrolit dan air.
4) Atur pengobatan dengan makanan. Pemberian pengobatan oral dengan makanan
dapat memperkecil proses pencernaan dari kelebihan cairan.
5) Sediakan perawatan kulit dengan baik secara berkala. Edema menurunkan perfusi
jaringan dan meningkatkan resiko kerusakan kulit. Khususnya pada lansia.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d. anoreksia, dan mual.
Anoreksia dan mual berhubungan dengan gagal ginjal sering mengganggu intake
makanan dan nutrisi. Proses penyakit gagal ginjal mungkin memperbesar peningkatan
kebutuhan nutrisi untuk penyembuhan dan berkurang intake makanan.
Practice Alert
Penyelesaian dengan intravena line dan parenteral nutrisi dapat meningkatkan risiko
infeksi. Monitor secara hati-hati tanda-tanda infeksi dan inflamasi.
Intervesi:
1) Monitor dan catat intake makanan,termasuk jumlah dan jenis dari makanan yang
dikonsumsi. Catatan intake makanan yang detail membantu panduan keputusan
dalam status nutisi dan kebutuhan supplement.
2) Pantau berat badan harian. Perubahan berat badan sewaktu (hari ke
minggu)menggambarkan status nutrisi, sedangakan perubahan berat badan secara
cepat menggambarkan status volume cairan.
3) Konsultasikan kepada ahli nutrisi tentang perencanaan batasan makanan yang
mempertimbangkan pilihan makanan klien. Pembatasan diet protein, garam, dan
potassium dapat mumbuat klien tidak enak makan; intake dan nafsu dapat bertambah
ketika memakan makan yang disukai
4) Libatkan anggota keluarga dalam menyiapkan makanan dalam pembatasan diet.
Dorong anggota keluarga makan bersama klien. Dukungan interaksi social dalam
makanan dapat meningkatkan kenyaman ketika klien makan.
5) Sediakan makan ringan. Ini meningkatkan ukuran intake makanan pada klien yang
fatigue atau anoreksia
Tindakan kolaboratif
6) Kolaborasi pemberian antiemetic dan berikan perawatan mulut. Mual dan rasa
metalik di mulut, umumnya manifestasi dari uremia, dapat menurunkan intake
makanan.
7) Kolaborasi pemberian diet melalui parenteral sesuai anjuran, jika klien tidak mampu
makan atau toleran nutrisi enteral. Mencegah atau menghambat katabolisme jaringan
penting untuk klien dengan gagal ginjal.

DAFTAR PUSTAKA
Appel GB, Contreras G, Dooley MA, Ginzler EM, Isenberg D, Jayne D, et al. Mycophenolate
mofetil versus cyclophosphamide for induction treatment of lupus nephritis. J Am Soc
Nephrol 2009;20:1103–12.
Appel GB, Silva FG, Pirani CL. Renal involvement in systemic lupus erythematosus (SLE): a
study of 56 patients emphasizing histologic clasification. Medicine1978;75:371-410.
Austin III HA, Boumpas DT, Waughan EM, Balow JE. Predicting renal outcomes in severe
lupus nephritis: contributions of clinical and histology data. Kidney Int. 1994; 45:544-
550.
Bawazier LA, Dharmeizar, Markum MS. Nefritis Lupus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed 4.
Jakarta: Pusat penerbitan Dept. Ilmu Penyakit Dalam FK-UI. 2006. h. 548-553.
Cervera R, Espinosa G, D’Cruz D. Systemic Lupus Erythematosus : pathogenesis, clinical
manifestation and diagnosis. In Eular Compendium on Rheumatic Diseases.BMJ
Publishing Group and European League Against Rheumatism 1st ed : 2009; 257-68.
Clowse ME, Magder L, Witter F, Petri M. Hydroxychloroquine in lupus pregnancy. Arthritis
Rheum 2006; 54:3640–7.
Dhaimeizar. Diagnostik Nefritis Lupus. Dalam : Naskah Lengkap The 5th JakartaNephrology &
Hypertension Course. Jakarta. 2005. H: 33-36.
Dooley MA, Hogan S, Jennette C, Falk R, for the Glomerular Disease Collaborative Network.
Cyclophosphamide therapyfor lupus nephritis: poor renal survival in black Americans.
Kidney Int 1997;51:1188–95.
Gordon C. Pregnancy and autoimmune diseases. Best Pract Res Clin Rheumatol 2004; 18:359–
79.
Hahn et al. American College of Rheumatology Guidelines for Screening, Treatment, and
Management of Lupus Nephritis. Arthritis Care & Research 2012; 64:797-808.
Isenberg D, Appel GB, Contreras G, Dooley MA, Ginzler EM,Jayne D, et al. Influence of
race/ethnicity on response to lupusnephritis treatment: the ALMS study. Rheumatology
(Oxford)2010;49:128–40.
Kaplan AA, George JN. Treatment of thrombotic thrombocytopenic purpura - hemolytic uremic
syndrome in adults. 2011. URL:http://www.uptodate.com/contents/treatmentof-
thrombotic-thrombocytopenic-purpura-hemolytic-uremicsyndrome-in-adults.
Kasjmir, Yoga I, Kusworini Handono, Linda Kurniaty Wijaya, Laniyati Hamijoyo, Zuljasri
Albar, et al. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Ed:, jilid pertama. Jakarta: Media
AesculapiusFakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Price, Sylvia A., Lorainne M. Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Ed-4. Jakarta : EGC.
Ouma Z, Gladman DD, Urowitz MB, Beyene J, Uleryk EM, Shah PS. Mycophenolate mofetil
for induction treatment of lupus nephritis: a systematic review and metaanalysis. J
Rheumatol 2011;38:69–78.
Simadibrata, Marcellus, dkk. 2001. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Schmajuk G, Yazdany J. Drug monitoring in systemic lupus erythematosus: a systematic review.
Semin Arthritis Rheum 2011;40:559–75.
Ramadhani Pane, Meivina. 2011. Gambaran Klinis Nefritis Lupus. Sumatra Utara: Reading
Assignment Devisi Nefrologi Hipertensi.
Rosenson RS.ATP III guidelines for treatment of high blood cholesterol. 2011. URL:
Weening, et al. The Klasifikasi Glomerulonefritis in Systemic Lupus Erythematosus Revisited.
International Society of Nephrology and Renal Pathology Journal of The American
Society of Nephrology. 2004; 15 (3):835-6.
Weng MY, Weng CT, Liu MF.The efficacy of low-dose mycophenolate mofetil for treatment of
lupus nephritis in Taiwanese patients with systemic lupus erythematosus. Clin Rheumatol
2010;29:771–5.

Anda mungkin juga menyukai