Kerajaan Hindu/Buddha
Kerajaan Kutai
Kerajaan Sribangun (Buddha)
Kerajaan Wijayapura
Kerajaan Bakulapura
Kerajaan Brunei Buddha
Kerajaan Kuripan
Kerajaan Negara Dipa
Kerajaan Negara Daha
Kerajaan Hindu/Buddha di Jawa
3.
A. Latar Belakang Revolusi Amerika
Semula negara induk Inggris memang bersikap lunak terhadap tanah koloni.
Pemerintah Inggris tampak memberikan kebebasan yang relatif kepada daerah
koloni. Akan tetapi, setelah mengalami kesulitan keuangan akibat Perang Laut
Tujuh Tahun melawan Prancis, Inggris mulai memperkuat pengaruhnya
terhadap daerah koloni. Dalam hal ini, pemerintah Inggris mulai menerapkan
berbagai macam undang-undang yang lebih mengutamakan kepentingan negara
induk, seperti undang-undang teh, undang-undang gula, undang-undang kopi,
dan sebagainya. Semuanya itu jelas merupakan usaha pemerintah Inggris untuk
memperkuat kekuasaannya di tanah koloni. Sebaliknya, daerah koloni yang
sudah matang merasakan tindakan yang negatif tersebut. Akibatnya timbullah
konflik antara kepentingan daerah koloni dan negara induk. Konflik ini akhinya
memuncak dalam sebuah revolusi. Adapun sebab-sebab timbulnya Revolusi
Amerika adalah sebagai berikut.
Inggris menolak tuntutan warga koloni. Adanya The Boston Tea Party dan
tuntutan tanah koloni dianggap sebagai tanda dimulainya suatu
pemberontakan. Pemerintah Inggris segera memperbesar jumlah pasukannya
di Amerika. Sejak saat itulah kaum koloni Amerika yakin bahwa jalan damai
untuk menuntut hakhaknya sebagai orang Inggris tidak mungkin dapat tercapai.
Bahkan, mereka terancam akan dimusnahkan segalanya sehingga mereka
bertekad untuk mempertahankan kebebasannya. Kaum koloni Amerika
kemudian mengangkat Goeroge Washington, seorang yang berjasa kepada
Inggris dalam Perang Laut Tujuh Tahun untuk menghadapi Inggris.
Pada mulanya perang ini hanya bersifat menentang kekerasan pemerintah
Inggris terhadap kaum koloni dan belum mempunyai tujuan untuk mencapai
kemerdekaan. Akan tetapi, tujuan perang menjadi jelas setelah terbitnya buku
Common Sense (1776) karya Thomas Paine. Tulisan ini berisikan paham
kemerdekaan yang kemudian menyadarkan kaum koloni untuk mengubah
tujuan perjuangannya dari menentang kekerasan menjadi perjuangan mencapai
kemerdekaan.
Dalam Kongres Kontinental II tahun 1775 di Philadelphia, para wakil dari ketiga
belas koloni sepakat untuk memerdekakan diri. Akhirnya pada tanggal 4 Juli
1776 dicanangkan Declaration of Independence sebagai alasan untuk
memisahkan diri dari negeri induk Inggris. Naskah Declaration of Independence
ini disusun oleh panitia kecil yang beranggotakan lima orang, yakni Thomas
Jefferson, Benyamin Franklin, Roger Sherman,Robert Livingstone, dan John
Adams. Mereka itulah yang kemudian dikenal dengan Lima Tokoh Penyusun
Naskah Declaration of Independence. Pada tanggal 4 Juli 1776 ditandatangani
Declaration of Independence dan dijadikan hari Kemerdekaan Amerika
(Independence Day).
Sementara itu, peperangan semakin meluas hampir di seluruh tiga belas koloni.
Pada mulanya tentara Amerika yang dipimpin oleh George Washington tersebut
selalu mengalami kekalahan. Kekalahan yang dialami oleh Amerika disebabkan
oleh faktor kelemahan militer Amerika yang sebagian besar terdiri atas
kalangan sipil yang tidak memiliki pengalaman tempur. Di samping masalah
militer, Amerika juga dihadapkan pada kondisi di dalam masyarakat yang belum
seluruhnya mendukung terhadap kemerdekaan Amerika. Beberapa golongan
masyarakat yang justru umumnya berasal dari kelas menengah ke atas masih
banyak yang pro terhadap Inggris dan tidak setuju kalau Amerika merdeka
menjadi suatu negara.
Latar belakang terjadinya revolusi perancis disebabkan oleh tiga faktor yaitu:
faktor ketidak adilan politik, kekuasaan raja yang absolut, krisis ekonomi, dan
munculnya paham baru.
Dalam bidang politik, kaum bangsawan memegang peranan yang sangat penting
dalam bidang politik, sehingga segala sesuatunya ditentukan oleh bangsawan
sedangkan raja hanya mengesahkan saja. Ketidakadilan dalam bidang politik
dapat dilihat dari pemilihan pegawai-pegawai pemerintah yang berdasarkan
keturunan dan bukan berdasarkan profesi atau keahlian, Hal ini menyebabkan
administrasi negara menjadi kacau dan berakibat munculnya tindakan korupsi.
Ketidakadilan politik lainnya adalah tidak diperkenankannya masyarakat kecil
untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan.
Pemerintahan Louis XIV bersifat monarki absolut, di mana raja dianggap selalu
benar. Semboyan Louis XIV adalah l'etat c'est moi (negara adalah saya). Untuk
mempertahankan keabsolutannya itu, ia mendirikan penjara Bastille. Penjara
ini diperuntukkan bagi siapa saja yang berani menentang keinginan raja.
Penahanan juga dilakukan terhadap orang-orang yang tidak disenangi raja.
Mereka ditahan dengan surat penahanan tanpa sebab (lettre du cas).
Absolutisme Louis XIV tidak terkendali karena kekuasaan raja tidak dibatasi
undang-undang.
Selain faktor ketidak adilan politik dan krisi ekonomi, munculnya filsuf-filsuf
pembaharu juga turut andil dalam meletusnya revolusi Prancis dengan
pengaruh paham rasionalisme mereka. Paham ini hanya mau menerima suatu
kebenaran yang dapat diterima oleh akal. Paham ini telah melahirkan renaisans
dan humanisme yang menuntun manusia bebas berpikir dan mengemukakan
pendapat. Oleh karena itu, muncullah ahli-ahli pikir yang karya-karyanya
berpengaruh besar terhadap masyarakat Eropa pada saat itu termasuk tokoh
masyarakat Prancis, seperti berikut.
Pada tanggal 17 Juni 1789, anggota Etats Generaux dari golongan III
mengadakan sidang sendiri, didukung oleh sebagian kecil anggota dari golongan
I dan II. Peserta sidang menyatakan diri sebagai Majelis Nasional yang bertujuan
memperjuangkan terbentuknya konstitusi tertulis bagi Prancis. Raja
berusahamembubarkan organisasi yang dipimpin Jean Bailly dengan dukungan
Comtede Mirabeau ini, baik dengan jalan perundingan maupun dengan
kekerasan. Sikap raja yang berusaha membubarkan Majelis Nasional dengan
jalan kekerasan menimbulkan kemarahan rakyat dan terjadilah huru-hara.
Puncak huru-hara terjadi tanggal 14 Juli 1789, ketika rakyat menyerbu dan
meruntuhkan penjara Bastille, lambang kekuasaan mutlak raja. Penyerangan ini
didukung oleh Tentara Nasional yang dipimpin Lafayette.
Ketika terjadi pemberontakan oleh rakyat, Louis XVI melarikan diri ke luar
negeri. Kesempatan ini dipergunakan oleh rakyat untuk membentuk
pemerintahan baru yang demokratis. Dewan Perancang Undang-Undang yang
terdiri dari Partai Feullant dan Partai Jacobin segera membentuk Konstitusi
Prancis pada tahun 1791. Partai Feullant adalah partai yang proraja, sedangkan
Partai Jacobin adalah partai yang prorepublik. Partai Jacobin beranggotakan
kaum Geronde dan Montague. Partai ini dipimpin oleh tiga sekawan,
Robespiere, Marat, Danton. Keadaan negara yang semakin berbahaya membuat
Dewan Legislatif membentuk pemerintahan republik pada tanggal 22
September 1792. Raja Louis XVI dan istrinya dijatuhi hukuman pancung dengan
quillotine pada tanggal 22 Januari 1793.
Setelah Raja Lous XVI dan istrinya dijatuhi hukuman mati, Prancis pun
mengalami berbagai jenis pemerintahan, diantaranya:
Pada masa ini pemegang kekuasaan pemerintahan bersikap keras, tegas, dan
radikal demi penyelamatan negara. Pemerintahan teror dipimpin oleh
Robespierre dari kelompok Montagne. Di bawah pemerintahannya setiap orang
yang kontra terhadap revolusi akan dianggap sebagai musuh Prancis. Akibatnya
dalam waktu satu tahun terdapat 2.500 orang Prancis dieksekusi, termasuk
permaisuri Louis XVI, Marie Antoinette. Hal ini menimbulkan reaksi keras dari
berbagai pihak. Akhirnya terjadi perebutan kekuasaan oleh kaum Girondin.
Robespierre ditangkap dan dieksekusi dengan cara dipancung bersama dengan
20 orang pengikutnya. Pada Oktober 1795 terbentuklah pemerintahan baru
yang lebih moderat yang disebut Pemerintahan Direktori.
Revolusi Perancis telah membawa pengaruh yang besar, baik di dalam negeri
maupun di luar negeri yang meliputi bidang politik, ekonomi dan sosial. Jiwa,
semangat dan nilai-nilai revolusi sudah tertanam secara luas dan mendalam di
hati rakyat dengan semboyan liberte, egalite, dan fraternite (kebebasan,
persamaan, dan persaudaran).
5.
Demokrasi Liberal
Secara umum, demokrasi liberal adalah salah satu bentuk sistem pemerintahan
yang berkiblat pada demokrasi. Demokrasi liberal berarti demokrasi yang
liberal. Liberal disini dalam artian perwakilan atau representatif.
MSA sendiri kemudian dinilai mengkhianati politik luar negeri bebas dan aktif
Indonesia karena menerima MSA sama saja dengan ikut serta dalam
kepentingan Amerika. Tindakan Kabinet Sukiman tersebut dipandang telah
melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong
ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
Konflik PNI dan NU memperburuk koalisi partai pendukung Kabinet Ali yang
mengakibatkan NU menarik menteri-menterinya pada tanggal 20 Juli 1955
yang diikuti oleh partai lainnya. Keretakan partai pendukung mendorong
Kabinet Ali Sastro I harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada
tanggal 24 Juli 1955.
Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah Program kabinet ini
disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka
panjang, sebagai berikut:
Program pokok dari Kabinet Djuanda dikenal sebagai Panca Karya yaitu:
Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa partai politik mengajukan usul
kepada Presiden Soekarno agar mengambil kebijakan untuk mengatasi kemelut
politik. Oleh karena itu pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno
mengeluarkan dekrit yang berisi sebagai berikut;
Pembubaran Konstituante.
Berlakunya kembali UUD 1945.
Tidak berlakunya UUDS 1950.
Pembentukan MPRS dan DPAS.
Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan tidak diberlakukannya lagi
UUDS 1950, maka secara otomatis sistem pemerintahan Demokrasi Liberal
tidak berlaku lagi di Indonesia dan mulainya sistem Presidensil dengan
Demokrasi Terpimpin ala Soekarno.
6. Latar belakang[
Latar belakang dicetuskannya sistem demokrasi terpimpin oleh Presiden
Soekarno :
7. Prasejarah atau nirleka (nir: tidak ada, leka: tulisan) secara harfiah berarti
"sebelum sejarah", dari bahasa Latin untuk "sebelum," præ, dan historia.
Prasejarah manusia adalah masa di mana perilaku dan anatomi manusia
pertama kali muncul, sampai adanya catatan sejarahyang kemudian diikuti
dengan penemuan aksara. Berakhirnya zaman prasejarah atau dimulainya
zaman sejarah untuk setiap bangsa di dunia tidak sama tergantung dari
peradaban bangsa tersebut. Sumeria di Mesopotamia dan Mesir kuno,
merupakan peradaban pertama yang mengenal tulisan, dan selalu diingat
sebagai catatan sejarah; hal ini sudah terjadi selama awal Zaman Perunggu.
Sebagian besar peradaban lainnya mencapai akhir prasejarah selama Zaman
Besi.[butuh rujukan]
Zaman prasejarah di Indonesia sendiri diperkirakan berakhir pada masa
berdirinya Kerajaan Kutai, sekitar abad ke-5; dibuktikan dengan
adanya prasasti yang berbentuk yupa yang ditemukan di tepi Sungai
Mahakam, Kalimantan Timur baru memasuki era sejarah. Karena tidak terdapat
peninggalan catatan tertulis dari zaman prasejarah, keterangan mengenai
zaman ini diperoleh melalui bidang-bidang
seperti paleontologi, astronomi, biologi, geologi, antropologi, arkeologi. Dalam
artian bahwa bukti-bukti prasejarah didapat dari artefak-artefak yang
ditemukan di daerah penggalian situs prasejarah.
Prasejarah mengacu pada suatu periode di mana keberadaan manusia masih
belum dicatat dalam catatan sejarah.[1] Prasejarah juga dapat mengacu pada
semua waktu sebelum keberadaan manusia dan penemuan tulisan.
Konsep "prasejarah" pertama kali muncul pada saat abad Pencerahan dalam
pekerjaan kolektor barang kuno yang menggunakan kata "primitive" untuk
menggambarkan masyarakat yang telah ada sebelum catatan
ditulis. Penggunaan pertama kata dalam bahasa Inggris untuk prasejarah, ada
[2]
Kebudayaan Kjokkenmoddinger
Kjokkenmodinger, istilah dari bahasa Denmark, kjokken yang berarti dapur
& moddinger yang berarti sampah (kjokkenmoddinger = sampah dapur). Dalam
kaitannya dengan budaya manusia, kjokkenmoddinger merupakan timbunan
kulit siput & kerang yang menggunung di sepanjang pantai Sumatra Timur
antara Langsa di Aceh sampai Medan. Di antara timbunan kulit siput & kerang
tersebut ditemukan juga perkakas sejenis kapak genggam yaitu kapak
Sumatra/Pebble & batu pipisan.
1. Kapak persegi, misalnya beliung, pacul, dan torah yang banyak terdapat di
Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi, Kalimantan,
2. Kapak batu (kapak persegi berleher) dari Minahasa.
3. Perhiasan (gelang dan kalung dari batu indah) ditemukan di Jawa,
4. Pakaian dari kulit kayu
5. Tembikar (periuk belaga) ditemukan di Sumatera, Jawa, Melolo (Sunda)
Manusia pendukung Neolithikum adalah Austronesia (Austria), Austro-Asia
(Khamer-Indocina)
Kebudayaan Megalith
Antara zaman neolitikum dan zaman logam telah berkembang kebudayaan
megalith, yaitu kebudayaan yang menggunakan media batu-batu besar sebagai
alatnya, bahkan puncak kebudayaan megalith justru pada zaman logam. Hasil
kebudayaan Megalith, antara lain:
Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)
pada tahun 1966, yang kemudian menjadi dasar legalitasnya.[1] Orde Baru
bertujuan meletakkan kembali tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan
negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.[1]
Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal 11
Maret 1966. Saat itu, Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakanyang
dipimpin oleh Presiden Soekarno sedang berlangsung.[4] Di tengah-tengah
acara, ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana terdapat pasukan
yang tidak dikenal.[1] Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Presiden
Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri
(Waperdam) II Dr. Johannes Leimena dan berangkat menuju Istana Bogor,
didampingi oleh Waperdam I Dr Subandrio, dan Waperdam III Chaerul
Saleh.[4] Leimena sendiri menyusul presiden segera setelah sidang berakhir.[4]
Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat,
Brigadir Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud bertemu
dengan Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat dan
Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap presiden.[4] Segera setelah
mendapat izin, di hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke Istana Bogor
dengan tujuan melaporkan kondisi di ibukota Jakarta meyakinkan Presiden
Soekarno bahwa ABRI, khususnya AD, dalam kondisi siap siaga.[4] Namun,
mereka juga memohon agar Presiden Soekarno mengambil tindakan untuk
mengatasi keadaan ini.[4]
Menanggapi permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah
yang ditujukan kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima
Angkatan Darat untuk mengambil tindakan dalam rangka menjamin keamanan,
ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi keutuhan bangsa dan negara
Republik Indonesia.[4] Perumusan surat perintah ini sendiri dibantu oleh tiga
perwira tinggi ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M.
Yusuf, Brigadir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Subur,
Komandan Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa.[4] Surat perintah inilah
yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau
Supersemar.[4]
Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, Letnan Jenderal
Soeharto mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia
mengeluarkan surat keputusan yang berisi pembubaran dan larangan
bagi Partai Komunis Indonesia serta ormas-ormas yang bernaung dan
berlindung atau senada dengannya untuk beraktivitas dan hidup di wilayah
Indonesia.[4] Keputusan ini kemudian diperkuat dengan Keputusan
Presiden/Pangti ABRI ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tanggal 12 Maret
1966.[5] Keputusan pembubaran Partai Komunis Indonesia beserta ormas-
ormasnya mendapat sambutan dan dukungan karena merupakan salah satu
realisasi dari Tritura.[5]
Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang
dinilai tersangkut dalam Gerakan 30 September dan diragukan etika baiknya
yang dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966.[5] Ia
kemudian memperbaharui Kabinet Dwikora yang disempurnakan dan
membersihkan lembaga legislatif, termasuk MPRS dan DPRGR, dari orang-orang
yang dianggap terlibat Gerakan 30 September.[5] Keanggotaan Partai Komunis
Indonesia dalam MPRS dinyatakan gugur.[5] Peran dan kedudukan MPRS juga
dikembalikan sesuai dengan UUD 1945, yakni di atas presiden, bukan
sebaliknya.[6] Di DPRGR sendiri, secara total ada 62 orang anggota yang
diberhentikan.[5] Soeharto juga memisahkan jabatan pimpian DPRGR dengan
jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan
sebagai menteri.[5]
Pada tanggal 20 Juni hingga 5 Juli 1955, diadakanlah Sidang Umum IV MPRS
dengan hasil sebagai berikut:
namun juga oleh rakyat biasa yang dipersenjatai.[8] Selain kader, ribuan pegawai
negeri, ilmuwan, dan seniman yang dianggap terlibat juga ditangkap dan
dikelompokkan berdasarkan tingkat keterlibatannya dengan Partai Komunis
Indonesia.[8] Sebagian diasingkan ke Pulau Buru, sebuah pulau kecil di wilayah
Maluku.[9] Pada tanggal 30 September setiap tahunnya, pemerintah
menayangkan film yang menggambarkan Partai Komunis Indonesia sebagai
organisasi yang keji.[2]
Pembentukan Kabinet Ampera
Dalam rangka memenuhi tuntutan ketiga Tritura, Soeharto dengan dukungan
Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 membentuk kabinet baru yang diberi
nama Kabinet Ampera.[10]Tugas utama Kabinet Ampera adalah menciptakan
stabilitas ekonomi dan stabilitas politik, atau dikenal dengan nama Dwidarma
Kabinet Ampera.[10] Program kerja yang dicanangkan Kabinet Ampera
disebut Caturkarya Kabinet Ampera, yaitu:[10]
Kebijakan ekonomi
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
Di awal kekuasaannya, Pemerintah Orde Baru mewarisi kemerosotan ekonomi
yang ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya.[11] Kemerosotan ekonomi ini
ditandai oleh rendahnya pendapatan perkapita penduduk Indonesia yang hanya
mencapai 70 dollar AS, tingginya inflasi yang mencapai 65%, serta hancurnya
sarana-sarana ekonomi akibat konflik yang terjadi di akhir pemerintahan
Soekarno[11]
Untuk mengatasi kemerosotan ini, pemerintah Orde Baru membuat program
jangka pendek berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan
kepada pengendalian inflasi dan usaha rehabilitasi sarana ekonomi,
peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan kebutuhan
sandang. Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan apabila
[12]
inflasi dapat dikendalikan dan stabilitas tercapai, kegiatan ekonomi akan pulih
dan produksi akan meningkat.[12]
Mulai tahun 1 April 1969, pemerintah menciptakan landasan untuk
pembangunan yang disebut sebagai Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita). Repelita pertama yang mulai dilaksanakan tahun 1969
[12]
Orde Baru, Golkar memperoleh 74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR dan
PPP memperoleh 5,43 % dengan perolehan 27 kursi.[butuh rujukan] Sedangkan PDI
mengalami kemorosotan perolehan suara dengan hanya mendapat 11 kursi di
DPR. Hal disebabkan adanya konflik intern di tubuh partai berkepala banteng
tersebut. PDI akhirnya pecah menjadi PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno
Putri yang sekarang menjadi PDIP. Penyelenggaraan Pemilu yang teratur
selama masa pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa
demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan baik.[butuh rujukan] Apalagi Pemilu
berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia). Namun
dalam kenyataannya, Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu kontestan
Pemilu saja yaitu Golkar. Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak
Pemilu 1971 sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah yang
perimbangan suara di MPR dan DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah
memungkinkan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam
periode, karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh anggota MPR. Selain
itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya
dari pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan.[butuh
rujukan]
negara Asia lainnya bahkan oleh PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan
dipilihnya Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang
tahun 1974. Dan Indonesia juga memulihkan hubungan dengan sejumlah negara
seperti India, Thailand, Australia, dan negara-negara lainnya yang sempat
renggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.
Normalisasi Hubungan dengan Negara lain
Pemulihan Hubungan dengan Singapura
Dengan perantaraan Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur Rachman,
hubungan Indonesia dengan Singapura berhasil dipulihkan kembali.[butuh
rujukan] Pada tanggal 2 Juni1966 pemerintah Indonesia menyampaikan nota
pengakuan atas Republik Singapura kepada Perdana Menteri Lee Kuan Yew.[butuh
rujukan] Lalu pemerintah Singapura menyampaikan nota jawaban kesediaan untuk
Pertemuan Tokyo
Selain mewariskan keadaan ekonomi yang sangat parah, pemerintahan Orde
Lama juga mewariskan utang luar negeri yang sangat besar, yakni mencapai 2,2
- 2,7 miliar, sehingga pemerintah Orde Baru meminta negara-negara kreditor
untuk dapat menunda pembayaran kembali utang Indonesia. Pada tanggal 19-
20 September 1966 pemerintah Indonesia mengadakan perundingan dengan
negara-negara kreditor di Tokyo.[butuh rujukan] Pemerintah Indonesia akan
melakukan usaha bahwa devisa ekspor yang diperoleh Indonesia akan
digunakan untuk membayar utang yang selanjutnya akan dipakai untuk
mengimpor bahan-bahan baku. Hal ini mendapat tanggapan baik dari negara-
negara kreditor. Perundinganpun dilanjutkan di Paris, Perancis dan dicapai
kesepakatan sebagai berikut:[butuh rujukan]
Pertemuan Amsterdam
Pada tanggal 23-24 Februari 1967 diadakan perundingan
di Amsterdam, Belanda yang bertujuan membicarakan kebutuhan Indonesia
akan bantuan luar negeri serta kemungkinan pemberian bantuan dengan syarat
lunas, yang selanjutnya dikenal dengan IGGI (Intergovernmental Group for
Indonesia). Pemerintah Indonesia mengambil langkah tersebut untuk
memenuhi kebutuhannya guna pelaksanaan program-program stabilisasi dan
rehabilitasi ekonomi serta persiapan-persiapan pembangunan.[butuh rujukan] Di
samping mengusahakan bantuan luar negeri tersebut, pemerintah juga telah
berusaha mengadakan penangguhan serta memperingan syarat-syarat
pembayaran kembali (rescheduling) hutang-hutang peninggalan Orde Lama.[butuh
rujukan] Melalui pertemuan tersebut pemerintah Indonesia berhasil
mengusahakan bantuan luar negeri.
Pembangunan Nasional
Trilogi Pembangunan
Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, maka langkah
selanjutnya yang ditempuh pemerintah Orde Baru adalah melaksanakan
pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang diupayakan pemerintah
waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka pendek dan
Pembangunan Jangka Panjang.[butuh rujukan]Pambangunan Jangka Pendek
dirancang melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki
misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat
Indonesia. Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30
tahun. Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa,
dan Negara. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam upaya mewujudkan
tujuan nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yaitu:[butuh rujukan]
Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga
keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan
kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga
menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan
hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal
ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas
pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan
berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan
bahasa Mandarin.[butuh rujukan] Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan
akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa
Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak
dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit
adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa
Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini
adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana.
Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan
pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika
itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia
dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air.[butuh
rujukan] Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi
sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan[butuh rujukan].
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih
untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan
dirinya.[butuh rujukan]
Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70
dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565[butuh rujukan]
Sukses transmigrasi
Sukses KB
Sukses memerangi buta huruf
Sukses swasembada pangan
Pengangguran minimum
Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
Sukses Gerakan Wajib Belajar
Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
Sukses keamanan dalam negeri
Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri[butuh
rujukan]
Namun korupsi, manajemen yang buruk dan persaingan ketat dari Inggris (East
India Company) mengakibatkan runtuhnya VOC menjelang akhir abad ke-18.
Pada tahun 1796, VOC akhirnya bangkrut dan kemudian dinasionalisasi oleh
pemerintah Belanda. Akibatnya, harta dan milik VOC di Nusantara jatuh ke
tangan mahkota Belanda pada tahun 1800. Namun, ketika Perancis menduduki
Belanda antara tahun 1806 dan 1815, harta tersebut dipindahkan ke tangan
Inggris. Setelah kekalahan Napoleon di Waterloo diputuskan bahwa sebagian
besar wilayah Nusantara kembali ke tangan Belanda.
Pada awalnya, Sistem Tanam Paksa itu tidak didominasi hanya oleh pemerintah
Belanda saja. Para pemegang kekuasaan Jawa, pihak Eropa swasta dan juga para
pengusaha Tionghoa ikut berperan. Namun, setelah 1850 - waktu Sistem Tanam
Paksa direorganisasi - Pemerintah Kolonial Belanda menjadi pemain utama.
Namun reorganisasi ini juga membuka pintu bagi pihak-pihak swasta untuk
mulai mendominasi Jawa. Sebuah proses privatisasi terjadi karena Pemerintah
Kolonial secara bertahap mengalihkan produksi komoditi ekspor kepada para
pengusaha swasta Eropa.
Semakin banyak suara terdengar di Belanda yang menolak sistem Tanam Paksa
dan mendorong sebuah pendekatan yang lebih liberal bagi perusahaan-
perusahaan asing. Penolakan sistem Tanam Paksa ini terjadi karena alasan
kemanusiaan dan ekonomi. Pada 1870 kelompok liberal di Belanda
memenangkan kekuasaan di parlemen Belanda dan dengan sukses
menghilangkan beberapa ciri khas Sistem Tanam Paksa, seperti persentase
penanaman beserta keharusan menggunakan lahan dan tenaga kerja untuk
mengekspor hasil panen.
Kelompok liberal ini membuka jalan untuk dimulainya sebuah periode baru
dalam sejarah Indonesia yang dikenal sebagai Zaman Liberal (sekitar 1870-
1900). Periode ini ditandai dengan pengaruh besar dari kapitalisme swasta
dalam kebijakan kolonial di Hindia Belanda. Pemerintah Kolonial pada saat itu
kurang lebih memainkan peran sebagai pengawas dalam hubungan antara
pengusaha-pengusaha Eropa dengan masyarakat pedesaan Jawa. Namun, walau
kaum liberal mengatakan bahwa keuntungan pertumbuhan ekonomi juga akan
mengucur kepada masyarakat lokal, keadaan para petani Jawa yang menderita
karena kelaparan, kurang pangan dan penyakit tidak lebih baik dibandingkan
masa Tanam Paksa.
Abad ke-19 juga dikenal sebagai abad ekspansi karena Belanda melaksanakan
ekspansi geografis yang substantial di Nusantara. Didorong oleh mentalisme
imperialisme baru, negara-negara Eropa bersaing untuk mencari koloni-koloni
di luar benua Eropa untuk motif ekonomi dan status. Salah satu motif penting
bagi Belanda untuk memperluas wilayahnya di Nusantara - selain keuntungan
keuangan - adalah untuk mencegah negara-negara Eropa lain mengambil
bagian-bagian dari wilayah ini. Pertempuran paling terkenal (dan pertempuran
yang paling lama antara Belanda dan rakyat pribumi) selama periode ekspansi
Belanda abad ini adalah Perang Aceh yang dimulai pada tahun 1873 dan
berlangsung sampai 1913, berakibat pada kematian lebih dari 100,000 orang.
Namun, Belanda tidak pernah memegang kontrol penuh atas Aceh. Toh,
integrasi politik antara Jawa dan pulau-pulau lain di nusantara sebagai kesatuan
politis kolonial telah sebagian besar dicapai pada awal abad ke-20.
Pada Maret 1942, tentara Jepang, dibakar semangatnya oleh keinginan akan
minyak, menyediakan bantuan tersebut dengan menduduki Hindia Belanda.
Walau pada awalnya disambut sebagai pembebas oleh penduduk pribumi
Indonesia, mereka segera mengalami kesengsaraan di bawah penjajahan
Jepang: kekurangan makanan, pakaian dan obat beserta kerja paksa di bawah
kondisi yang menyiksa. Kurangnya makanan terutama disebabkan oleh
administrasi yang tidak kompeten, dan ini mengubah Jawa menjadi sebuah
pulau penuh kelaparan. Orang-orang Indonesia bekerja sebagai buruh paksa
(disebut romusha) ditempatkan untuk bekerja dalam proyek-proyek yang padat
karya di Jawa.
Pemerintah Hindia Belanda membangun jalan baru pada bulan Mei 1825.
Mereka memasang patok-patok pada tanah leluhur Pangeran Diponegoro.
Terjadi perselisihan saat pengikut Diponegoro Patih Danureja IV mencabuti
patok- patok tersebut. Belanda segera mengutus serdadu untuk menangkap
Pangeran Diponegoro. Perang tidak dapat dihindarkan lagi, pada tanggal 20 Juli
Tegalrejo sebagai basis pengikut Diponegoro direbut dan dibakar oleh Belanda.
4) Perang Aceh
Semangat jihad (perang membela agama Islam) merupakan spirit perlawanan
rakyat Aceh terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Jendral Kohler terbunuh saat
pertempuran di depan masjid Baiturrahman Banda Aceh. Kohler meninggal
dekat sebuah pohon yang sekarang diberi nama Pohon Kohler. Siasat
konsentrasi stelsel dengan sistem bertahan dalam benteng besar oleh Belanda
tidak berhasil dalam perang itu. Belanda semakin terdesak, korban semakin
besar, dan keuangan terus terkuras.
Snouck Hurgroje
Pemerintah Hindia Belanda sama sekali kewalahan dan tidak mampu
menghadapi secara fisik perlawanan rakyat Aceh. Menyadari hal tersebut,
Belanda mengutus Dr. Snouck Hurgroje yang memakai nama samaran Abdul
Gafar (seorang ahli bahasa, sejarah ,dan sosial Islam) untuk mencari kelemahan
rakyat Aceh. Setelah lama belajar di Arab, Snouck Hugronje memberikan saran-
saran kepada Belanda mengenai cara mengalahkan orang Aceh. Menurut
Hurgronje, Aceh tidak mungkin dilawan dengan kekerasan, sebab karakter
orang Aceh adalah pantang menyerah, jiwa jihad orang Aceh sangat tinggi.
Taktik yang paling mujarab adalah dengan mengadu domba antara golongan
Uleebalang (bangsawan) dengan ulama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian
menjanjikan kedudukan pada Uleebalang yang bersedia damai. Taktik ini
berhasil, banyak Uleebalang yang tertarik pada tawaran Belanda. Belanda
memberikan tawaran kedudukan kepada para Uleebalang apabila kaum ulama
dapat dikalahkan. Sejak tahun 1898 kedudukan Aceh semakin terdesak. Belanda
mengumumkan perang Aceh selesai tahun 1904. Namun demikian perlawanan
rakyat Aceh secara sporadis masih berlangsung hingga tahun 1930-an.
6) Perang Banjar
Pangeran Antasari
Perang Banjar berawal ketika Pemerintah Hindia Belanda ikut campur tangan
dalam urusan pergantian raja di Kerajaan Banjarmasin. Belanda memberi
dukungan kepada Pangeran Tamjid Ullah yang tidak disukai oleh rakyat.
Pangeran Antasari dengan kekuatan 300 prajurit menyerang tambang batu bara
milik Belanda di Pengaron pada tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan
demi peperangan dilakukan oleh Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan
Banjar. Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu
Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke
Puruk Cahu dengan dibantu para panglima dan prajuritnya yang setia.
Pemberontakan dilakukan oleh Prabu Anom dan Pangeran Hidayat. Pada tahun
1859, Pangeran Antasari memimpin perlawanan setelah Prabu Anom
tertangkap Belanda, dengan bantuan pasukan dari Belanda, pasukan Pangeran
Antasari dapat didesak. Tahun 1862 Pangeran Hidayat menyerah dan
berakhirlah perlawanan rakyat Banjar di pulau Kalilmantan. Perlawanan baru
benar-benar dapat dipadamkan pada tahun 1866.
Perang Tondano terjadi lagi pada abad ke-19. Perang ini dilatarbelakangi oleh
kebijakan Gubernur Jenderal Daendels. Pada kebijakan itu, Minahasa dijatah
untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah 2000 orang yang akan dikirim ke
Jawa. Orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan program Belanda
untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial. Banyak di
antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru mengadakan
perlawanan terhadap Belanda.
Pasukan Belanda merasa kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808
pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan Minawanua.
Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi
kehidupan. Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari
arah perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang dengan
hebatnya sehingga korbanpun berjatuhan dari pihak Belanda. Pasukan
Pemerintah Hindia Belanda kewalahan dan terpaksa ditarik mundur. Seiring
dengan itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga
mempersulit pasukan Belanda sendiri. Dari jarak jauh Belanda terus
menghujani meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif. Begitu
juga serangan yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang
orang-orang Tondano-Minawanua. Bahkan terpetikik berita kapal yang paling
besar yang di danau tenggelam.
Perang Tondano II ini berlangsung cukup lama, sampai bulan Agustus 1809.
Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan mulai ada kelompok dari
pejuang yang mulai memihak kepada Hindia Belanda. Namun dengan kekuatan
dan semangat yang ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan
atas gempuran pasukan Belanda yang terus menerus. Akhirnya pada tanggal 4-5
Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama
rakyat yang berusaha mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati dari
pada menyerah. Mayat-mayat mereka telah lenyap di dasar danau bersama
lenyapnya kemerdekaan dan kedaulatan tanah Minahasa.
Ada beberapa alasan Jepang menduduki Indonesia, antara lain sebagai berikut.
· Indonesia kaya akan bahan-bahan mentah, seperti minyak bumi dan batu
bara.
· Wilayah Indonesia menghasilkan banyak produksi pertanian
yang dibutuhkan tentara Jepang dalam peperangan.
· Indonesia memiliki tenaga manusia dalam jumlah besar yang
diperlukan untuk membantu perang Jepang.
Pada Januari 1942 Jepang memasuki wilayah Indonesia. Tanggal 1 Maret 1942
pasukan Jepang berhasil mendarat di tiga tempat secara serempak di Pulau
Jawa, yaitu di Teluk Banten, Eretan Wetan (Pantura), dan Pasuruan (Jawa
Timur). Tanggal 5 Maret 1942 pasukan Jepang sudah berhasil menguasai
Batavia. Tanggal 8 Maret 1942 Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda
Letjen Ter Poorten atas nama Angkatan Perang Sekutu menyerah tanpa syarat
kepada Angkatan Perang Jepang yang dipimpin Letjen Hithoshi Imamura.
Upacara serah terima ditandatangani di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Setelah
menduduki Indonesia, Jepang berusaha menarik simpati rakyat Indonesia. Ada
tiga hal yang dilakukan Jepang, yaitu:
· mengijinkan mengibarkan bendera Merah Putih;
· mengijinkan rakyat Indonesia menyanyikan lagu Indonesia Raya;
· larangan menggunakan bahasa Belanda dalam pergaulan sehari-hari.
· Bahasa pergaulan sehari-hari diganti dengan bahasa Indonesia.
Untuk memikat hati rakyat, Jepang membuat propaganda tiga A. Propaganda
yang dilancarkan Jepang itu berisi: Jepang pemimpin Asia, Jepang pelindung
Asia, Jepang cahaya Asia.
Penderitaan rakyat pada masa pendudukan Jepang
Penderitaan rakyat Indonesia selama masa penjajahan Jepang antara lain
sebagai berikut:
1. Jepang merampas hasil pertanian rakyat, seperti padi dan jagung untuk
persediaan
makanan pasukan Jepang.
2. Pemerintah Jepang sangat ketat melakukan pengawasan terhadap
pemberitaan. Media
masa disegel.
3. Jepang juga memanfaatkan rakyat Indonesia untuk diperas tenaganya bagi
keperluan
Jepang. Para pekerja paksa pada zaman Jepang disebut romusha.
Selain romusha, banyak barisan dibentuk untuk kepentingan Jepang, seperti:
(1) Seinendan (barisan pemuda),
(2) Keibodan (Barisan Pembantu Polisi)
(3) Fujinkai (Barisan Wanita)
(4) Suishintai (Barisan Pelopor)
(5) Jibakutai (Barisan Berani Mati),
(6) Gakutotai (Barisan Pelajar),
(7) Peta (Pembela Tanah Air)