Anda di halaman 1dari 64

Kisi-kisi Materi kuliah sejarah

1. Masa pendudukan Jepang di Indonesia dimulai pada tahun 1942 dan


berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945 seiring dengan Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan M. Hatta atas nama bangsa
Indonesia.
Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Jerman
Nazi. Hindia Belanda mengumumkan keadaan siaga dan pada Juli mengalihkan
ekspor untuk Jepang ke Amerika Serikat dan Inggris. Negosiasi
dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan persediaan bahan bakar
pesawat gagal pada Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara
di bulan Desember tahun itu. Pada bulan yang sama, faksi
dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap
pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada
Maret 1942. Pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia sangat
bervariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang
tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan,
mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan sembarang
dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran
Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang.
Selama masa pendudukan, Jepang juga membentuk persiapan kemerdekaan
yaitu BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) atau 独立準備調査会 (Dokuritsu junbi chōsa-kai?) dalam bahasa
Jepang. Badan ini bertugas membentuk persiapan-persiapan pra-kemerdekaan
dan membuat dasar negara dan digantikan oleh PPKI atau (独立準備委員会
, Dokuritsu Junbi Iinkai) yang bertugas menyiapkan kemerdekaan.

2.indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Buddha berkat


hubungan dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh
seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke
Indonesia diperkirakan pada awal tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari
India antara lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa terkenal dengan sebutan
Batara Guru atau Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir
Budha Pahyien.
Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha,
yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai
abad ke-16.
Pada masa ini pula muncul dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan Majapahit.
Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan
Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I-
Tsing mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak
kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Tengah dan Kamboja.
Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa
Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada,
berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya
adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari
masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan pembentukan kebudayaan
Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracaritaRamayana.
Masuknya ajaran Islam pada sekitar abad ke-12, melahirkan kerajaan-kerajaan
bercorak Islam yang ekspansionis, seperti Samudera Pasai di Sumatera
dan Demak di Jawa. Munculnya kerajaan-kerajaan tersebut, secara perlahan-
lahan mengakhiri kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, sekaligus menandai akhir
dari era ini.

 101 - Penempatan Lembah Bujang yang menggunakan aksara Sanskrit Pallava


membuktikan hubungan dengan India di Sungai Batu. [1]
 150 - Kerajaan Salakanagara, berdasarkan Naskah Wangsakerta - Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara (yang disusun sebuah panitia dengan ketuanya
Pangeran Wangsakerta) diperkirakan merupakan kerajaan paling awal yang ada
di Nusantara.
 300 - Kerajaan-kerajaan di asia tenggara telah melakukan hubungan dagang
dengan India. Hubungan dagang ini mulai intensif pada abad ke-2 M.
Memperdagangkan barang-barang dalam pasaran internasional misalnya:
logam mulia, perhiasan, kerajinan, wangi-wangian, obat-obatan. Dari sebelah
timur Indonesia diperdagangkan kayu cendana, kapur barus, cengkeh.
Hubungan dagang ini memberi pengaruh yang besar dalam masyarakat
Indonesia, terutama dengan masuknya ajaran Hindu dan Budha, pengaruh
lainnya terlihat pada sistem pemerintahan.
 300 - Telah dilakukannya hubungan pelayaran niaga yang melintasi Tiongkok.
Dibuktikan dengan perjalanan dua pendeta Budha yaitu Fa
Shien dan Gunavarman. Hubungan dagang ini telah lazim dilakukan, barang-
barang yang diperdagangkan kemenyan, kayu cendana, hasil kerajinan.
 400 - Hindu dan Budha telah berkembang di Indonesia dilihat dari sejarah
kerajaan-kerajaan dan peninggalan-peninggalan pada masa itu antara
lain prasasti, candi, patung dewa, seni ukir, barang-barang logam. Keberadaan
kerajaan Tarumanagara diberitakan oleh orang Cina.
 603 - Kerajaan Malayu berdiri di hilir Batang Hari. Kerajaan ini merupakan
konfederasi dari para pedagang-pedagang yang berasal dari
pedalaman Minangkabau. Tahun 683, Malayu runtuh oleh serangan Sriwijaya.
{referensi?}
 671 - Seorang pendeta Budha dari Tiongkok, bernama I-Tsing berangkat
dari Kanton ke India. Ia singgah di Sriwijaya untuk belajar tata
bahasa Sanskerta, kemudian ia singgah di Malayu selama dua bulan, dan baru
melanjutkan perjalanannya ke India.
 685 - I-Tsing kembali ke Sriwijaya, disini ia tinggal selama empat tahun untuk
menterjemahkan kitab suci Budha dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa
Tionghoa.
 692 - Salah satu kerajaan Budha di Indonesia yaitu Sriwijaya tumbuh dan
berkembang menjadi pusat perdagangan yang dikunjungi oleh
pedagang Arab, Parsi, dan Tiongkok. Yang diperdagangkan antara lain tekstil,
kapur barus, mutiara, rempah-rempah, emas, perak. Wilayah kekuasaannya
meliputi Sumatera, Semenanjung Malaya, Kamboja, dan Jawa. Sriwijaya juga
menguasai jalur perdagangan Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut China Selatan.
Dengan penguasaan ini, Sriwijaya mengontrol lalu lintas perdagangan
antara Tiongkok dan India, sekaligus menciptakan kekayaan bagi kerajaan.
 922 - Dari sebuah laporan tertulis diketahui seorang musafir Tiongkok telah
datang kekerajaan Kahuripan di Jawa Timur dan maharaja Jawa telah
menghadiahkan pedang pendek berhulu gading berukur pada kaisar Tiongkok.
 932 - Restorasi kekuasaan Kerajaan Sunda. Hal ini muncul melalui Prasasti
Kebon Kopi II yang bertanggal 854 Saka atau 932 Masehi. [2]
 1292 - Musafir Venesia, Marco Polo singgah di bagian utara Sumatera dalam
perjalanan pulangnya dari Tiongkok ke Persia melalui laut. Marco Polo
berpendapat bahwa Perlakmerupakan sebuah kota Islam.
 1292 - Raden Wijaya, atas izin Jayakatwang, membuka hutan tarik menjadi
permukiman yang disebut Majapahit. Nama ini berasal dari pohon Maja yang
berbuah pahit di tempat ini.[3]
 1293 - Raden Wijaya memanfaatkan tentara Mongol untuk menggulingkan
Jayakatwang di Kediri. Memukul mundur tentara Mongol, lalu ia naik takhta
sebagai raja Majapahit pertama pada 12 November.[3]
 1293 - 1478 - Kota Majapahit menjadi pusat kemaharajaan yang pengaruhnya
membentang dari Sumatera ke Papua, kecuali Sunda dan Madura. Kawasan
urban yang padat dihuni oleh populasi yang kosmopolitan dan menjalankan
berbagai macam pekerjaan. Kitab Negarakertagama menggambarkan keluhuran
budaya Majapahit dengan cita rasa yang halus dalam seni, sastra, dan ritual
keagamaan.[3]
 1345-1346 - Musafir Maroko, Ibn Battuta melewati Samudra dalam
perjalanannya ke dan dari Tiongkok. Diketahui juga bahwa Samudra merupakan
pelabuhan yang sangat penting, tempat kapal-kapal dagang dari India dan
Tiongkok. Ibn Battuta mendapati bahwa penguasa Samudra adalah seorang
pengikut Mahzab Syafi'i salah satu ajaran dalam Islam.
 1350-1389 - Puncak kejayaan Majapahit dibawah pimpinan raja Hayam
Wuruk dan patihnya Gajah Mada. Majapahit menguasai seluruh kepulauan di
asia tenggara bahkan jazirah Malaya sesuai dengan "Sumpah Palapa" yang
menyatakan bahwa Gajah Mada menginginkan Nusantara bersatu.
 1478 Majapahit runtuh akibat serangan Demak. Kota ini berangsur-angsur
ditinggalkan penduduknya, tertimbun tanah, dan menjadi hutan jati.[3]
 1570 - Pajajaran, ibukota Kerajaan Hindu terakhir di pulau Jawa dihancurkan
oleh Kesultanan Banten.

Kerajaan Hindu/Buddha

Kerajaan Hindu/Buddha di Kalimantan]

 Kerajaan Kutai
 Kerajaan Sribangun (Buddha)
 Kerajaan Wijayapura
 Kerajaan Bakulapura
 Kerajaan Brunei Buddha
 Kerajaan Kuripan
 Kerajaan Negara Dipa
 Kerajaan Negara Daha
Kerajaan Hindu/Buddha di Jawa

 Kerajaan Salakanagara (150-362)


 Kerajaan Tarumanegara (358-669)
 Kerajaan Sunda Galuh (669-1482)
 Kerajaan Kalingga
 Kerajaan Kanjuruhan
 Kerajaan Mataram Hindu
 Kerajaan Kahuripan
 Kerajaan Janggala
 Kerajaan Kadiri (1042 - 1222)
 Kerajaan Singasari (1222-1292)
 Kerajaan Majapahit (1292-1527)
Kerajaan Hindu/Buddha di Sumatra

 Kerajaan Malayu Dharmasraya (1183-1347)


 Kerajaan Sriwijaya (600-1300)

3.
A. Latar Belakang Revolusi Amerika

Semula negara induk Inggris memang bersikap lunak terhadap tanah koloni.
Pemerintah Inggris tampak memberikan kebebasan yang relatif kepada daerah
koloni. Akan tetapi, setelah mengalami kesulitan keuangan akibat Perang Laut
Tujuh Tahun melawan Prancis, Inggris mulai memperkuat pengaruhnya
terhadap daerah koloni. Dalam hal ini, pemerintah Inggris mulai menerapkan
berbagai macam undang-undang yang lebih mengutamakan kepentingan negara
induk, seperti undang-undang teh, undang-undang gula, undang-undang kopi,
dan sebagainya. Semuanya itu jelas merupakan usaha pemerintah Inggris untuk
memperkuat kekuasaannya di tanah koloni. Sebaliknya, daerah koloni yang
sudah matang merasakan tindakan yang negatif tersebut. Akibatnya timbullah
konflik antara kepentingan daerah koloni dan negara induk. Konflik ini akhinya
memuncak dalam sebuah revolusi. Adapun sebab-sebab timbulnya Revolusi
Amerika adalah sebagai berikut.

1. Adanya Paham Kebebasan dalam Politik


Koloni Inggris di Amerika tidak didirikan oleh pemerintah Inggris, tetapi
diciptakan oleh pelarian-pelarian dari Inggris yang mendapat tekanan agama,
sosial, ekonomi, dan politik. Kaum koloni menyatakan bahwa mereka adalah
manusia merdeka yang membangun koloni di dunia baru. Paham kebebasan
kaum koloni bertentangan dengan paham pemerintahan Inggris yang
menganggap bahwa daerah koloni adalah jajahannya. Hal ini didasarkan pada
Perjanjian Paris 1763.

2. Adanya Paham Kebebasan dalam Perdagangan


Kaum koloni juga menganut paham kebebasan dalam perdagangan. hal itu
bertentangan dengan paham pemerintah Inggris yang merasa berkuasa atas
koloni di Amerika. Oleh karena itu, pemerintah Inggris memerintahkan agar
hasil bumi dari daerah koloni harus dijual kepada negara induk saja. Sebaliknya,
penduduk koloni diwajibkan pemerintah Inggris hanya membeli barang-barang
hasil industri negara induk saja. Kaum koloni menentang peraturan yang
bersifat monopoli dan menghendaki adanya kebebasan dagang.

3. Adanya Berbagai Macam Pajak


Berbagai macam pajak diterapkan, berkaitan dengan adanya krisis keuangan
Inggris akibat Perang Laut Tujuh Tahun. Perang berakhir dengan kemenangan
di pihak Inggris. Dengan kemenangan tersebut, menimbulkan beban baru bagi
pemerintah Inggris terutama masalah keuangan. Pemerintah Inggris kemudian
memberlakukan berbagai macam pajak (pajak teh, pajak gula, pajak metera,i
dan lain-lain) yang sangat memberatkan warga koloni. Sebaliknya, warga koloni
dengan tokohnya Samuel Adams menentang kebijakan tersebut dengan
semboyan no taxation without representation, artinya tidak ada pajak tanpa
adanya perwakilan.

4. Peristiwa The Boston Tea Party


Sebab khusus meletusnya Revolusi Amerika ialah adanya peristiwa yang
dikenal dengan nama The Boston Tea Party pada tahun 1773. Pada saat itu,
pemerintah Inggris memasukkan teh ke Pelabuhan Boston, Amerika. Pada
malam harinya, muatan teh itu dibuang ke laut oleh orang-orang Amerika yang
menyamar sebagai orang Indian suku Mohawk. Hal inilah yang menimbulkan
kemarahan pemerintah Inggris (Raja George III) sehingga menuntut
pertanggungjawaban. Namun penduduk koloni tidak ada yang mau bertanggung
jawab sehingga menimbulkan pertempuran yang menandai terjadinya Revolusi
Amerika.

B. Proses Terjadinya Revolusi Amerika


Dengan adanya peristiwa teh di Boston, George III bertekad untuk
menundukkan Massachusetts dengan kekuatan senjata. Rakyat koloni tidak
menghiraukan tuntutan dan ancaman Inggris, dua belas negara koloni lainnya
telah menyatakan setia kawan berdiri di belakangnya. Pada awal Desember
1774, ke tiga belas koloni mengadakan pertemuan di Philadelphia (yang
kemudian dikenal dengan Kongres Kontinental I) untuk menentukan langkah
dalam menghadapi Inggris. Peristiwa ini merupa-kan pertama kalinya bagi
ketiga belas koloni di Amerika untuk bersatu dan saling bekerja sama. Kongres
Kontinental I menghasilkan pernyataan yang pada dasarnya bahwa rakyat
koloni di Amerika tetap setia kepada Raja Inggris dan menuntut kebi-jaksanaan
agar memulihkan hubungan baik antara daerah koloni dan negara induk
Inggris.Sementara itu, telah terjadi pertempuran antara pasukan Inggris dan
rakyat koloni. Pertempuran pertama meletus di Lexington, kemudian menjalar
ke Concord, dan Boston.

Inggris menolak tuntutan warga koloni. Adanya The Boston Tea Party dan
tuntutan tanah koloni dianggap sebagai tanda dimulainya suatu
pemberontakan. Pemerintah Inggris segera memperbesar jumlah pasukannya
di Amerika. Sejak saat itulah kaum koloni Amerika yakin bahwa jalan damai
untuk menuntut hakhaknya sebagai orang Inggris tidak mungkin dapat tercapai.
Bahkan, mereka terancam akan dimusnahkan segalanya sehingga mereka
bertekad untuk mempertahankan kebebasannya. Kaum koloni Amerika
kemudian mengangkat Goeroge Washington, seorang yang berjasa kepada
Inggris dalam Perang Laut Tujuh Tahun untuk menghadapi Inggris.
Pada mulanya perang ini hanya bersifat menentang kekerasan pemerintah
Inggris terhadap kaum koloni dan belum mempunyai tujuan untuk mencapai
kemerdekaan. Akan tetapi, tujuan perang menjadi jelas setelah terbitnya buku
Common Sense (1776) karya Thomas Paine. Tulisan ini berisikan paham
kemerdekaan yang kemudian menyadarkan kaum koloni untuk mengubah
tujuan perjuangannya dari menentang kekerasan menjadi perjuangan mencapai
kemerdekaan.

Dalam Kongres Kontinental II tahun 1775 di Philadelphia, para wakil dari ketiga
belas koloni sepakat untuk memerdekakan diri. Akhirnya pada tanggal 4 Juli
1776 dicanangkan Declaration of Independence sebagai alasan untuk
memisahkan diri dari negeri induk Inggris. Naskah Declaration of Independence
ini disusun oleh panitia kecil yang beranggotakan lima orang, yakni Thomas
Jefferson, Benyamin Franklin, Roger Sherman,Robert Livingstone, dan John
Adams. Mereka itulah yang kemudian dikenal dengan Lima Tokoh Penyusun
Naskah Declaration of Independence. Pada tanggal 4 Juli 1776 ditandatangani
Declaration of Independence dan dijadikan hari Kemerdekaan Amerika
(Independence Day).

Sementara itu, peperangan semakin meluas hampir di seluruh tiga belas koloni.
Pada mulanya tentara Amerika yang dipimpin oleh George Washington tersebut
selalu mengalami kekalahan. Kekalahan yang dialami oleh Amerika disebabkan
oleh faktor kelemahan militer Amerika yang sebagian besar terdiri atas
kalangan sipil yang tidak memiliki pengalaman tempur. Di samping masalah
militer, Amerika juga dihadapkan pada kondisi di dalam masyarakat yang belum
seluruhnya mendukung terhadap kemerdekaan Amerika. Beberapa golongan
masyarakat yang justru umumnya berasal dari kelas menengah ke atas masih
banyak yang pro terhadap Inggris dan tidak setuju kalau Amerika merdeka
menjadi suatu negara.

Menyadari kelemahan tersebut, para pemimpin Amerika berusaha untuk


menyusun strategi agar dapat mengalahkan kekuatan Inggris. Strategi yang
kemudian dilakukan adalah dengan meminta dukungan terhadap negara-negara
Eropa lainnya terhadap perjuangan kemerdekaan rakyat Amerika. Permintaan
dukungan tersebut terutama diarahkan pada negara-negara yang memiliki
konflik dengan Inggris seperti Prancis, Spanyol, Denmark, dan Belanda. Melalui
dutanya yang bernama Benjamin Franklin, Amerika berhasil menyusun
dukungan dari negara-negara Eropa tersebut terutama dari Prancis untuk
membantu perang kemerdekaan Amerika.
Bantuan dari negara-negara Eropa sangat berarti bagi kemerdekaan Amerika.
Hal ini terbukti sejak tahun 1780, pasukan Amerika berhasil mengalahkan
pasukan Inggris di berbagai pertempuran. Walaupun daerah Carolina,
Charleston, dan Virginia sempat dikuasai oleh Inggris, akan tetapi pada
pertempuran berikutnya pasukan Inggris berhasil dikalahkan oleh pasukan
gabungan Amerika dan Prancis. Gabungan pasukan George Washington dan
Rochambeau yang berjumlah 15.000 orang berhasil mengalahkan pasukan
Inggris di bawah pimpinan Lord Cornwalis di daerah Yorktown, pantai Virginia.
Akhirnya pada tanggal 19 Oktober 1781, pasukan Cornwalis menyerah dan
parlemen Inggris segera memutuskan untuk menghentikan perang.

Pada tahun 1782, perjanjian perdamaian dimulai antara Amerika Serikat


dengan Inggris dan baru pada tanggal 3 September 1783 secara resmi
ditandatangani perjanjian perdamaian tersebut. Hasil Perjanjian Paris tahun
1783 berisi tentang pengakuan Inggris terhadap kemerdekaan dan kedaulatan
ketiga belas koloni menjadi negara merdeka yaitu Amerika Serikat. Selain itu,
Inggris juga menyerahkan daerah bagian barat Mississippi kepada negara baru
tersebut. Sesudah peperangan berakhir, kongres Amerika kemudian
mengusulkan agar 13 negara bagian menyerahkan kembali hak milik kaum
moderat/royalis yang dulu pro terhadap Inggris yang selama peperangan disita
oleh kaum milisi. Pasca perang negara baru ini mulai berkonsentrasi untuk
menyusun pemerintahan nasional yang dapat menaungi seluruh aspirasi rakyat
Amerika.

C. Dampak Revolusi Amerika


Berangkat dari landasan kebebasan pribadi yang mendapatkan dukungan dari
masyarakat umum di Amerika, Deklarasi Kemerdekaan sebagai manifestasi dari
Revolusi Amerika mengilhami semangat perjuangan bangsa Amerika. Revolusi
Amerika juga mengilhami banyak bangsa-bangsa di dunia dalam
memerdekakan diri dan menentang penindasan di dunia.
4. A. Latar Belakang Revolusi Perancis

Latar belakang terjadinya revolusi perancis disebabkan oleh tiga faktor yaitu:
faktor ketidak adilan politik, kekuasaan raja yang absolut, krisis ekonomi, dan
munculnya paham baru.

Dalam bidang politik, kaum bangsawan memegang peranan yang sangat penting
dalam bidang politik, sehingga segala sesuatunya ditentukan oleh bangsawan
sedangkan raja hanya mengesahkan saja. Ketidakadilan dalam bidang politik
dapat dilihat dari pemilihan pegawai-pegawai pemerintah yang berdasarkan
keturunan dan bukan berdasarkan profesi atau keahlian, Hal ini menyebabkan
administrasi negara menjadi kacau dan berakibat munculnya tindakan korupsi.
Ketidakadilan politik lainnya adalah tidak diperkenankannya masyarakat kecil
untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan.

Pemerintahan Louis XIV bersifat monarki absolut, di mana raja dianggap selalu
benar. Semboyan Louis XIV adalah l'etat c'est moi (negara adalah saya). Untuk
mempertahankan keabsolutannya itu, ia mendirikan penjara Bastille. Penjara
ini diperuntukkan bagi siapa saja yang berani menentang keinginan raja.
Penahanan juga dilakukan terhadap orang-orang yang tidak disenangi raja.
Mereka ditahan dengan surat penahanan tanpa sebab (lettre du cas).
Absolutisme Louis XIV tidak terkendali karena kekuasaan raja tidak dibatasi
undang-undang.

Sebab lain terjadinya Revolusi Prancis adalah adanya krisis keuangan.


Kehidupan raja dan para bangsawan istana serta permaisuri Louis XVI ,yakni
Maria Antoinette (terkenal dengan sebutan Madame deficit) yang hidup penuh
dengan kemewahan dan kemegaha. Di samping itu, adanya warisan hutang dari
Raja Louis XIV dan Louis XV menjadikan hutang negara makin menumpuk. Satu-
satunya cara untuk mengatasi krisis keuangan ini adalah dengan cara
memungut pajak dari kaum bangsawan, tetapi golongan bangsawan menolak
dan menyatakan bahwa yang berhak menentukan pajak adalah rakyat. Raja
Prancis, Louis XVI menyadari bahwa masalah keuangan negara dapat teratasi
bila setiap orang atau golongan membayar pajak. Akan tetapi karena mereka
tidak memiliki kewibawaan dalam menindak golongan I dan II, maka golongan
tersebut tetap memiliki hak-hak istimewa dan bebas dari pajak.

Selain faktor ketidak adilan politik dan krisi ekonomi, munculnya filsuf-filsuf
pembaharu juga turut andil dalam meletusnya revolusi Prancis dengan
pengaruh paham rasionalisme mereka. Paham ini hanya mau menerima suatu
kebenaran yang dapat diterima oleh akal. Paham ini telah melahirkan renaisans
dan humanisme yang menuntun manusia bebas berpikir dan mengemukakan
pendapat. Oleh karena itu, muncullah ahli-ahli pikir yang karya-karyanya
berpengaruh besar terhadap masyarakat Eropa pada saat itu termasuk tokoh
masyarakat Prancis, seperti berikut.

1. John Locke ( 1685–1753) dengan karyanya yang berjudul Two


Treaties of Government yang mengumandangkan ajaran kedaulatan rakyat.
2. Montesquieu (1689–1755) dengan karyanya L'es prit des Lois (Jiwa
Undang-Undang). Dalam buku itu terdapat teorinya tentang trias politika yakni
tentang pemisahan kekuasaan antara legislatif (pembuat undang-undang),
eksekutif (pelaksana undang-undang, dan Judikatif (pengatur pe-ngadilan
segenap pelanggaran terhadap undang-undang yang berlaku. Hal ini semua
dimaksudkan agar tidak terjadi sewenang-wenang).
3. J.J. Rousseau ( 1712–1778) dengan karyanya Du Contract Social
(Perjanjian Masyarakat). Rousseau mengatakan bahwa menurut kodratnya
manusia sama dan merdeka. Setiap manusia pada prinsipnya sama dan
merdeka dalam mengatur kehidupannya kemudian membentuk semacam
perjanjian sesama anggota masyarakat atau contract social. Melalui perjanjian
bersama itu, dibentuk suatu badan yang diserahi kekuasaan untuk mengatur
dan menyelenggarakan ketertiban masyarakat yaitu pemerintah. Dengan
demikian, kedaulatan sebenarnya bukan pada badan (pemerintah), melainkan
pada rakyat.

B. Proses Terjadinya Revolusi Prancis

Untuk mengatasi krisis ekonomi, raja memanggil Dewan Perwakilan Rakyat


(Etats Generaux). Dewan ini ternyata tidak mampu mengatasi masalah sebab
dalam sidang justru terjadi pertentangan mengenai hak suara. Golongan I dan II
menghendaki tiap golongan memiliki satu hak suara, sementara golongan III
menghendaki setiap wakil memiliki hak satu suara. Jika dilihat dari proporsi
jumlah anggota Etats Generaux yang terdiri atas golongan I, 300 orang, golongan
II 300 orang, dan golongan III 600 orang, dapat disimpulkan bahwa golongan I
dan II menghendaki agar golongan III kalah suara sehingga rakyat tidak
mungkin menang. Jika kehendak golongan III yang dimenangkan, golongan I dan
II terancam sebab di antara anggota mereka sendiri ada orang-orang yang
bersimpati pada rakyat.

Pada tanggal 17 Juni 1789, anggota Etats Generaux dari golongan III
mengadakan sidang sendiri, didukung oleh sebagian kecil anggota dari golongan
I dan II. Peserta sidang menyatakan diri sebagai Majelis Nasional yang bertujuan
memperjuangkan terbentuknya konstitusi tertulis bagi Prancis. Raja
berusahamembubarkan organisasi yang dipimpin Jean Bailly dengan dukungan
Comtede Mirabeau ini, baik dengan jalan perundingan maupun dengan
kekerasan. Sikap raja yang berusaha membubarkan Majelis Nasional dengan
jalan kekerasan menimbulkan kemarahan rakyat dan terjadilah huru-hara.
Puncak huru-hara terjadi tanggal 14 Juli 1789, ketika rakyat menyerbu dan
meruntuhkan penjara Bastille, lambang kekuasaan mutlak raja. Penyerangan ini
didukung oleh Tentara Nasional yang dipimpin Lafayette.

Ketika terjadi pemberontakan oleh rakyat, Louis XVI melarikan diri ke luar
negeri. Kesempatan ini dipergunakan oleh rakyat untuk membentuk
pemerintahan baru yang demokratis. Dewan Perancang Undang-Undang yang
terdiri dari Partai Feullant dan Partai Jacobin segera membentuk Konstitusi
Prancis pada tahun 1791. Partai Feullant adalah partai yang proraja, sedangkan
Partai Jacobin adalah partai yang prorepublik. Partai Jacobin beranggotakan
kaum Geronde dan Montague. Partai ini dipimpin oleh tiga sekawan,
Robespiere, Marat, Danton. Keadaan negara yang semakin berbahaya membuat
Dewan Legislatif membentuk pemerintahan republik pada tanggal 22
September 1792. Raja Louis XVI dan istrinya dijatuhi hukuman pancung dengan
quillotine pada tanggal 22 Januari 1793.

Setelah Raja Lous XVI dan istrinya dijatuhi hukuman mati, Prancis pun
mengalami berbagai jenis pemerintahan, diantaranya:

1. Pemerintahan Monarki Konstitusional (1789-1793)


14 Juli 1789 merupakan langkah awal yang diambil oleh pemerintah revolusi,
yaitu dengan dibentuk Pasukan Keamanan Nasional yang dipimpin oleh Jendral
Lafayette. Selanjutnya dibentuk Majelis Konstituante untuk menghapus hak-hak
istimewa raja, bangsawan, dan pimpinan gereja. Semboyan rakyat segera
dikumandangkan oleh J.J. Rousseau yaitu liberte, egalite dan fraternite.

Dewan perancang undang-undang terdiri atas Partai Feullant dan Partai


Jacobin. Partai Feullant bersifat pro terhadap raja yang absolut, sedangkan
Partai Jacobin menghendaki Prancis berbentuk republik. Mereka beranggotakan
kaum Gerondin dan Montagne di bawah pimpinan Maxmilien de’Robespierre,
Marat, dan Danton. Pada masa ini juga raja Louis XVI dijatuhi hukuman pancung
(guillotine) pada 22 Januari 1793 pada saat itu bentuk pemerintahan Prancis
adalah republik.

2. Pemerintahan Teror atau Konvensi Nasional (1793-1794)

Pada masa ini pemegang kekuasaan pemerintahan bersikap keras, tegas, dan
radikal demi penyelamatan negara. Pemerintahan teror dipimpin oleh
Robespierre dari kelompok Montagne. Di bawah pemerintahannya setiap orang
yang kontra terhadap revolusi akan dianggap sebagai musuh Prancis. Akibatnya
dalam waktu satu tahun terdapat 2.500 orang Prancis dieksekusi, termasuk
permaisuri Louis XVI, Marie Antoinette. Hal ini menimbulkan reaksi keras dari
berbagai pihak. Akhirnya terjadi perebutan kekuasaan oleh kaum Girondin.
Robespierre ditangkap dan dieksekusi dengan cara dipancung bersama dengan
20 orang pengikutnya. Pada Oktober 1795 terbentuklah pemerintahan baru
yang lebih moderat yang disebut Pemerintahan Direktori.

3. Pemerintahan Direktori atau Direktorat (1795-1799)


Pada masa Direktori, pemerintahan dipimpin oleh lima orang warga negara
terbaik yang disebut direktur. Masing-masing direktur memiliki kewenangan
dalam mengatur masalah ekonomi, politik sosial, pertahanan-keamanan, dan
keagamaan. Direktori dipilih oleh Parlemen. Pemerintah direktori ini tidak
bersifat demokratis sebab hak pilih hanya diberikan kepada pria dewasa yang
membayar pajak. Dengan demikian wanita dan penduduk miskin tidak memiliki
hak suara dan tidak dapat berpartisipasi. Pada masa pemerintahan direktori,
rakyat tidak mempercayai pemerintah karena sering terjadinya tindak korupsi
yang dilakukan oleh pejabat pemerintah yang berakibat terancamnya kesatuan
nasional Prancis. Akan tetapi, dari segi militer Prancis mengalami kemajuan
yang pesat, hal ini berkat kehebatan Napoleon Bonaparte. Ketidakpercayaan
rakyat terhadap pemerintah ini berhasil dimanfaatkan Napoleon untuk merebut
pemerintahan pada tahun 1799.

4. Pemerintahan Konsulat (1799-1804)

Pemerintahan konsulat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu Napoleon sebagai


Konsulat I, Cambaseres sebagai Konsulat II, dan Lebrun sebagai Konsulat III.
Akan tetapi dalam perjalanan sejarah selanjutnya Napoleon berhasil
memerintah sendiri. Di bawah pimpinan Konsulat Napoleon, Perancis berhasil
mencapai puncak kejayaannya. Tidak hanya dalam bidang militer akan tetapi
juga dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Pada tahun 1803
Napoleon terpilih sebagai kaisar Prancis atas dasar voting dalam sidang
legislatif. Penobatannya dilaksanakan pada 2 Desember 1804 oleh Paus VII.

5. Masa Pemerintahan Kaisar (1804-1815)

Napoleon sebagai kaisar dimulai dengan pemerintahannya yang bersifat


absolut. Hal ini jelas tidak disukai oleh rakyat Prancis. Napoleon memiliki
keinginan untuk mengembalikan kekuasaan raja secara turun-temurun dan
menguasai seluruh wilayah Eropa. Ia mengangkat saudara-saudaranya menjadi
kepala negara terhadap wilayah yang berhasil ditaklukannya. Oleh karena itu,
pemerintahan Napoleon disebut juga pemerintahan nepotisme.

Pemerintahan kekaisaran berakhir setelah Napoleon ditangkap pada tahun


1814 setelah kalah oleh negara-negara koalisi dan dibuang di Pulau Elba.
Karena kecerdikannya Napoleon berhasil melarikan diri dan segera memimpin
kembali pasukan Prancis untuk melawan tentara koalisi selama 100 hari.
Namun, karena kekuatan militer yang tak seimbang, akhirnya Napoleon
mengalami kekalahan dalam pertempuran di Waterloo pada tahun 1915. Dia
dibuang ke pulau terpencil di Pasifik bagian selatan, St. Helena sampai akhirnya
meninggal pada tahun 1821.
6. Pemerintahan Reaksioner

Rakyat merasa tidak senang terhadap sistem pemerintahan absolut yang


dilakukan oleh Napoleon. Oleh karena itu rakyat kembali memberi peluang pada
keturunan Raja Louis XVIII untuk menjadi raja di Prancis kembali (1815-1842).
Raja yang berkuasa pada saat sistem pemerintahan Reaksioner, selain Raja
Louis XVIII, adalah Raja Charles X (1824-1840) dan Raja Louis Philippe (1830-
1848).

C. Dampak Revolusi Perancis

Revolusi Perancis telah membawa pengaruh yang besar, baik di dalam negeri
maupun di luar negeri yang meliputi bidang politik, ekonomi dan sosial. Jiwa,
semangat dan nilai-nilai revolusi sudah tertanam secara luas dan mendalam di
hati rakyat dengan semboyan liberte, egalite, dan fraternite (kebebasan,
persamaan, dan persaudaran).

1. Di bidang politik, tampak jelas dengan meluasnya paham liberal di


Spanyol, Italia, Jerman, Austria dan Rusia. Rakyat menuntut agar kekuasaan raja
dibatasi dengan undang-undang sehingga terbentuklah pemerintahan monarki
konstitusional. Berkembangnya semangat nasionalisme. Hal ini muncul setelah
Perancis menghadapi Perang Koalisi. Mereka menentang intervensi asing,
semangat ini juga menjalar ke negara-negara lain. Di samping itu juga
berkembang paham demokrasi di kalangan rakyat, mereka menuntut
dibentuknya Dewan Perwakilan Rakyat, negara republik, dan sebagainya.
2. Di bidang ekonomi, dihapuskannya pajak feodal dan petani yang
semula hanya sebagai penggarap tanah menjadi petani pemilik tanah sendiri. Di
samping itu, dihapuskannya sistem gilde sehingga perindustrian dan
perdagangan menjadi berkembang.
3. Di bidang sosial, dihapuskannya susunan masyarakat feodal yang
terbagi menjadi tiga golongan dan digantikannya dengan masyarakat baru yang
berdasarkan spesialisasi kerja, seperti cendekiawan, pengusaha, petani dan
sebagainya.

Pengaruh pemikiran yang dihasilkan oleh revolusi Perancis terhadap


pergerakan kemerdekaan Indonesia adalah usaha untuk mewujudkan suatu
negara merdeka yang bebas dari belenggu penjajahan. Pada saat penyusunan
bentuk pemerintahan, para pendiri negara (The Founding Fathers) tidak
memilih bentuk kerajaan akan tetapi memilih bentuk Republik. Hal ini
tampaknya secara tidak langsung mendapatkan pengaruh dari revolusi Prancis
karena bentuk negara Republik memungkinkan untuk terbangunnya suasana
pemerintahan yang demokratis. Seperti ditunjukkan oleh penyebab timbulnya
revolusi Prancis, walau bagaimanapun bentuk kerajaan akan cenderung
mengarahkan pada munculnya kekuasaan raja yang absolut dan tirani apabila
tidak dibatasi dengan undang-undang. Oleh karena itu, pembentukan negara
Republik Indonesia didasarkan pada Undang-undang Dasar yang dapat menjadi
pengontrol jalannya kekuasaan. Di Indonesia juga diberlakukan pola pembagian
kekuasaan seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu. Kekuasaan eksekutif
dipegang oleh presiden beserta jajaran menterinya, kekuasaan legislatif
dipegang oleh DPR dan MPR, sementara kekuasaan yudikatif dipegang oleh
Mahkamah Agung Konstitusi, dan Mahkamah Yudisial.

5.
Demokrasi Liberal

Setelah dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950 RI Melaksanakan demokrasi


parlementer-liberal dengan mencontoh sistem parlementer barat dan masa ini
disebut Masa Demokrasi Liberal. Indonesia sendiri pada tahun 1950an terbagi
menjadi 10 Provinsi yang mempunyai otonomi berdasarkan Undang-Undang
Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) yang juga bernafaskan liberal.

Secara umum, demokrasi liberal adalah salah satu bentuk sistem pemerintahan
yang berkiblat pada demokrasi. Demokrasi liberal berarti demokrasi yang
liberal. Liberal disini dalam artian perwakilan atau representatif.

Dengan pelaksanaan konstitusi tersebut, pemerintahan Republik Indonesia


dijalankan oleh suatu dewan menteri (kabinet) yang dipimpin oleh seorang
perdana menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen (DPR). Sistem multi
partai pada masa demokrasi liberal mendorong untuk lahirnya banyak partai-
partai politik dengan ragam ideologi dan tujuan politik.
Demokrasi Liberal sendiri berlangsung selama hampir 9 tahun, dalam
kenyataanya bahwa UUDS 1950 dengan sisten Demokrasi Liberal tidak cocok
dan tidak sesuai dengan kehidupan politik bangsa Indonesia yang majemuk.

Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengumumkan dekrit presiden


mengenai pembubaran Dewan Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945
serta tidak berlakunya UUDS 1950 karena dianggap tidak cocok dengan
keadaan ketatanegaraan Indonesia.
Pelaksanaan Pemerintahan
Tahun 1950-1959 merupakan masa memanasnya partai-partai politik pada
pemerintahan Indonesia. Pada masa ini terjadi pergantian kabinet, partai-partai
politik terkuat mengambil alih kekuasaan. PNI dan Masyumi merupakan partai
yang terkuat dalam DPR (Parlemen). Dalam waktu lima tahun (1950 -1955)
PNI dan Masyumi secara bergantian memegang hegemoni poltik dalam empat
kabinet yang pernah berlaku. Adapun susunan kabinetnya sebagai berikut;
1. Kabinet Natsir (6 September 1950 - 21 Maret 1951)
Formasi Kabinet Natsir. Foto: Wikipedia
Kabiet ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir
dari Partai Masyumi sebagai perdana menteri. Kabinet Natsir merupakan koalisi
yang dipimpin oleh partai Masyumi bersama dengan PNI. Kabinet ini memiliki
struktur yang terdiri dari tokoh – tokoh terkenal duduk di dalamnya, seperti Sri
Sultan Hamengkubuwono IX, Mr.Asaat, Ir.Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo.
Program pokok dari Kabinet Natsir adalah:
 Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
 Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
 Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
 Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
 Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, kabinet Natsir mendapatkan tugas
utama yaitu proses integrasi Irian Barat. Akan tetapi, Kabinet Natsir kemudian
mendapatkan kendala yaitu pada masa kabinet ini terjadi banyak
pemberontakan seperti: Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA,
Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS).
Kabinet Natsit memiliki keberhasilan dalam upaya perundingan antara
Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.
Dalam bidang ekonomi kabinet ini memperkenalkan sistem ekonomi Gerakan
Benteng yang direncanakan oleh Menteri Ekonomi, Sumitro Djojohadikusumo.
Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi
struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya
adalah:
 Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
 Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
 Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan
bantuan kredit.
 Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi
maju.
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program
Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-
1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit
dari program ini.
Tujuan program ini sendiri tidak dapat tercapai dengan baik meskipun
anggaran yang digelontorkan pemerintah cukup besar. Kegagalan program ini
disebabkan karena :
 Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi
dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
 Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
 Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
 Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
 Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati
cara hidup mewah.
 Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan
secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
Kabinet Natsir sendiri kemudian berakhir disebabkan oleh adanya mosi tidak
percaya dari PNI di Parlemen Indonesia menyangkut pencabutan Peraturan
Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan
pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi.
Mosi tersebut disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951 dan
memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Natsir harus
mengembalikan mandatnya kepada Presiden.

2. Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)


Formasi Kabinet Sukiman. Foto: Pinterest
Setelah Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya pada presiden, presiden
menunjuk Sartono (Ketua PNI) menjadi formatur, namun gagal, sehingga ia
mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 28 hari
(28 Maret-18 April 1951). Presiden Soekarno kemudian menunjukan Sidik
Djojosukatro dari PNI dan Soekiman Wijosandjojo dari Masyumi sebagai
formatur dan berhasil membentuk kabinet koalisi Masyumi-PNI. Kabinet ini
terkenal dengan nama Kabinet Soekiman-Soewirjo.

Program pokok dari Kabinet Soekiman adalah:

 Menjamin keamanan dan ketentraman


 Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar
sesuai dengan kepentingan petani.
 Mempercepat persiapan pemilihan umum.
 Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian
Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
 Menyiapkan undang – undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian
kerja sama, penetapan upah minimum, dan penyelesaian pertikaian buruh.
Kabinet ini mengutamakan skala prioritas terhadap peningkatan keamanan dan
ketentraman negara. RMS. dan lainnya. Akan tetapi kabinet ini kemudian
mengalami sandungan setelah parlemen mendengar bahwa kabinet ini menjalin
kerja sama dengan blok barat, yaitu Amerika Serikat.

Kabinet Sukiman ditenggarai melakukan Pertukaran Nota Keuangan antara


Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat
Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari
pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security
Act (MSA).

MSA sendiri kemudian dinilai mengkhianati politik luar negeri bebas dan aktif
Indonesia karena menerima MSA sama saja dengan ikut serta dalam
kepentingan Amerika. Tindakan Kabinet Sukiman tersebut dipandang telah
melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong
ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.

Kabinet Sukiman sendiri memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan


militer dan kurang prograsif menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa
Tengah, Sulawesi Selatan. Parlemen pada akhirnya menjatuhkan mosi tidak
percaya kepada Kabinet Sukiman. Sukiman kemudian harus mengembalikan
mandatnya kepada Presiden Soekarno.

Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)


Formasi Kabinet Wilopo. Foto: Wikipedia
Pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno Wilopo dari PNI sebagai
formatur. Setelah bekerja selama dua minggu berhasil dibentuk kabinet baru di
bawah pimpinan Perdana Mentari Wilopo, sehingga bernama Kabinet Wilopo.
Kabinet ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI.

Program pokok dari Kabinet Wilopo adalah:

 Program dalam negeri:


 Menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih Dewan Konstituante, DPR,
dan DPRD
 Meningkatkan kemakmuran rakyat,
 Meningkatkan pendidikan rakyat, dan
 Pemulihan stabilitas keamanan negara
 Program luar negeri:
 Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda,
 Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta
 Menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Dalam menjalankan tugasnya Kabinet Wilopo menghadapi krisis ekonomi,
defisit kas negara, dan meningkatnya tensi gangguan keamanan yang
disebabkan pergerakan gerakan sparatis yang progresif. Ketimpangan Jawa dan
luar Jawa membuat terjadi gelombang ketidakpuasan di daerah yang
memperparah kondisi politik nasional.

Kabinet Wilopo juga harus menghadapi konflik 17 Oktober 1952 yang


menempatkan TNI sebagai alat sipil dan munculnya masalah intern dalam TNI
sendiri. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan
kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam usahanya memulihkan keamanan di
Sulawesi Selatan

Munculnya Peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan


di Sumatera Timur (Deli), Peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa
bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar yang di dukung PKI
mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Akibat
peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani
Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan
mandatnya pada presiden pada tanggal 2 Juni 1953.

Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)


Formasi Kabinet Ali Sastro I. Foto: Wikipedia
Kabinet Ali Sastroamidjojo yang terbentuk pada 31 Juli 1953 merupakan
kabinet ke-empat yang dibentuk selama Masa Demokrasi Liberal. Kabinet ini
mendapatkan dukungan banyak partai di Parlemen, termasuk Partai Nahdlatul
Ulama (NU). Kabinet ini diketuai oleh PM. Ali Sastroamijoyo dan Wakil PM. Mr.
Wongsonegoro dari Partai Indonesia Raya (PIR).

Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo I:

 Meningkatkan keamanan dan kemakmuran


 Menyelenggarakan Pemilu dengan segera
 Pembebasan Irian Barat secepatnya
 Pelaksanaan politik bebas-aktif
 Peninjauan kembali persetujuan KMB.
 Penyelesaian pertikaian politik.
Dalam menjalankan fungsinya, kabinet ini berhasil melakukan suatu prestasi
yaitu:

 Merampungkan persiapan pemilu yang akan diselenggarakan 29 September


1955
 Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada tahun 1955
Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955 memiliki pengaruh dan arti penting
bagi solidaritas dan perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia- Afrika dan
juga membawa akibat yang lain, seperti :

 Berkurangnya ketegangan dunia


 Australia dan Amerika mulai berusaha menghapuskan politik diskriminasi ras
di negaranya.
 Indonesia mendapatkan dukungan diplomasi dari negara Asia-Afrika dalam
usaha penyatuan Irian Barat di PBB
Pada masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo I, Menteri Perekonomian
Mr. Iskaq Cokrohadisuryo memperkenalkan sistem ekonomi yang dikenal
dengan sistem Ali-Baba. Sistem ekonomi Ali-baba diperuntukan menggalang
kerjasama ekonomi antara pengusaha pribumi yang diidentikkan dengan Ali
dan penguaha Tionghoa yang diidentikkan dengan Baba.

Sistem ekonomi ini merupakan penggambaran ekonomi pribumi – China. Sistem


Ali Baba digambarkan dalam dua tokoh, yaitu: Ali sebagai pengusaha pribumi
dan Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi yang diarahkan pada
pengusaha China.

Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha non-pribumi diwajibkan


untuk memberikan latihan-latihan kepada pengusaha Indonesia. Sistem
ekonomi ini kemudian didukung dengan :
 Pemerintah yang menyediakan lisensi kredit dan lisensi bagi usaha swasta
nasional
 Pemerintah memberikan perlindungan agar pengusaha nasional mampu
bersaing dengan pengusaha asing
Pelaksanaan sistem ekonomi Ali-Baba tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Para pengusaha pribumi akhirnya hanya dijadikan sebagai alat bagi para
pengusaha Tionghoa untuk mendapatkan kredit dari pemerintah.
Kabinet Ali ini juga sama seperti kabinet terdahulu mengalami permasalahan
mengatasi pemberontakan di daerah seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi
Selatan, dan Aceh.

Terjadinya Peristiwa 27 Juni 1955, yaitu peristiwa yang menunjukkan adanya


kemelut dalam tubuh TNI-AD memperburuk usaha peningkatan keamanan
negara. Pada masa kabinet ini keadaan ekonomi masih belum teratasi karena
maraknya korupsi dan peningkatan inflasi.

Konflik PNI dan NU memperburuk koalisi partai pendukung Kabinet Ali yang
mengakibatkan NU menarik menteri-menterinya pada tanggal 20 Juli 1955
yang diikuti oleh partai lainnya. Keretakan partai pendukung mendorong
Kabinet Ali Sastro I harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada
tanggal 24 Juli 1955.

Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)


Sumpah Jabatan PM Burhanuddin Harahap. Foto: Pinterest
Kabinet Ali selanjutnya digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap.
Burhanuddin Harahap berasal dari Masyumi., sedangkan PNI membentuk
oposisi.

Program pokok dari Kabinet Burhanuddin Harahap adalah:

 Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan


Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
 Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan
mempercepat terbentuknya parlemen baru
 Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi
 Perjuangan pengembalian Irian Barat
 Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
Kabinet Burhanuddin Harap ini mencatatkan sejumlah keberhasilan dalam
menjalankan fungsinya, seperti:

 Keberhasilan menyelenggarakan Pemilu pada 29 September 1955 untuk


memilih anggota DPR dan 15 Desember untuk memilih Dewan Konstituante.
 Membubarkan Uni Indonesia-Belanda
 Menjalin hubungan yang harmonis dengan Angkatan Darat
 Bersama dengan Polisi Militer melakukan penangkapan para pejabat tinggi yang
terlibat korupsi
Pemilu yang dilakukan pada tahun 1955 menghasilkan 4 partai besar di
Parlemen yaitu, PNI, NU, Masyumi, dan PKI. Pemilu itu diikuti oleh 27 dari 70
partai yang lolos seleksi.

Kabinet ini mengalami ganggung ketika kebijakan yang diambil berdampak


pada banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan yang dianggap
menimbulkan ketidaktenangan. Kabinet ini sendiri mengembalikan mandatnya
kepada Presiden Soekarno ketika anggota Parlemen yang baru kurang
memberikan dukungan kepada kabinet.

Kabinet Ali Sastramojoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)


Formasi Kabinet Ali Sastro II. Foto: Pinterest
Pada tanggal 20 Maret 1956, didukung oleh tiga partai besar di Parlemen: PNI,
NU, dan Masyumi. Ali Sastroamijoyo mendapatkan mandat untuk kedua kalinya
membentuk kabinet.

Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah Program kabinet ini
disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka
panjang, sebagai berikut:

 Perjuangan pengembalian Irian Barat


 Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-
anggota DPRD.
 Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
 Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
 Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional
berdasarkan kepentingan rakyat.
 Pembatalan KMB
 Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan
politik luar negeri bebas aktif
 Melaksanakan keputusan KAA.
Kabinet ini mendapatkan dukungan penuh dari Parlemen dan Presiden
Soekarno, sehingga dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and
investment. Kabinet ini berhasil melakukan pembatalan seluruh perjanjian KMB.
Pada masa kabinet ini muncul gelombang anti Cina di masyarakat,
meningkatnya pergolakan dan kekacauan di daerah yang semakin menguat,
serta mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer
di Sumater dan Sulawesi.

Lambatnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan mengakibatkan krisis


kepercayaan daerah luar Jawa dan menganggap pemerintah pilih kasih dalam
melakukan pembangunan. Pembatalan KMB menimbulkan masalah baru
khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Timbulnya
perpecahan antara Masyumi dan PNI mengakibatkan mundurnya sejumlah
menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu ini jatuh dan
menyerahkan mandatnya pada presiden.

Kabinet Djuanda (9 April 1957- 5 Juli 1959)


Djuanda Kartawidjaja bersama Presiden Soekarno. Foto: Pinterest
Kabinet baru kemudian dipimpin oleh Ir. Djuanda yang kemudian membentuk
kabinet yang terdiri dari para menteri yang ahli dalam bidangnya. Kabinet ini
dikenal dengan istilah Zaket Kabinet karena harus berisi unsur ahli dan
golongan intelektual dan tidak adanya unsur partai politik di dalamnya.

Program pokok dari Kabinet Djuanda dikenal sebagai Panca Karya yaitu:

 Membentuk Dewan Nasional


 Normalisasi keadaan RI
 Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB
 Perjuangan pengembalian Irian Jaya
 Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan
Presiden Soekarno juga pernah mengusulkan dibentuknya Dewan Nasional ini
sebagai langkah awal demokrasi terpimpin.

Pada masa kabinet Juanda, terjadi pergolakan-pergolakan di daerah-daerah


yang menghambat hubungan antara pusat dan daerah. Untuk mengatasinya
diadakanlah Musyawarah Nasional atau Munas di Gedung Proklamasi Jalan
Pegangsaan Timur No. 56 tanggal 14 September 1957.

Munas tersebut membahas beberapa hal, yaitu masalah pembangunan nasional


dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah Republik
Indonesia. Munas selanjutnya dilanjutkan dengan musyawarah nasional
pembangunan (munap) pada bulan November 1957.

Tanggal 30 November 1957, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden


Soekarno di Cikini. Keadaan negara memburuk pasca percobaan pembunuhan
tersebut, banyak daerah yang menentang kebijakan pemerintah pusat yang
kemudian berakibat pada pemberontakan PRRI/Permesta.

Keberhasilan Kabinet Karya yang paling menguntungkan kedaulatan Indonesia


dengan dikeluarkannya Deklarasi Djuanda yang mengatur batas wilayah
kepulauan Indonesia. Kemudian dikuatkan dengan peraturan Pemerintah
pengganti Undang-Undang No. 4 prp. Tahun 1960 tentang perairan Indonesia.
Pasca Deklarasi Djuanda, perairan Indonesia bertambah luas sampai 13 mil
yang sebelumnya hanya 9 mil.

Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada


Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen
Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini,
pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan
setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai.
Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan
pulau-pulau tersebut.

Akhir Masa Demokrasi Liberal di Indonesia.

Kekacauan politik yang timbul karena pertikaian partai politik di Parlemen


menyebabkan sering jatuh bangunnya kabinet sehinggi menghambat
pembangunan. Hal ini diperparah dengan Dewan Konstituante yang mengalami
kebuntuan dalam menyusun konstitusi baru, sehingga Negara Indinesia tidak
memiliki pijakan hukum yang mantap. Kegagalan konstituante disebabkan
karena masing-masing partai hanya mengejar kepentingan partainya saja tanpa
mengutamakan kepentingan negara dan Bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Kegagalan konstituante disebabkan karena masing-masing partai hanya


mengejar kepentingan partainya saja tanpa mengutamakan kepentingan negara
dan Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Masalah utama yang dihadapi
konstituante adalah tentang penetapan dasar negara. Terjadi tarik-ulur di
antara golongan-golongan dalam konstituante. Sekelompok partai menghendaki
agar Pancasila menjadi dasar negara, namun sekelompok partai lainnya
menghendaki agama Islam sebagai dasar negara.

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa partai politik mengajukan usul
kepada Presiden Soekarno agar mengambil kebijakan untuk mengatasi kemelut
politik. Oleh karena itu pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno
mengeluarkan dekrit yang berisi sebagai berikut;
 Pembubaran Konstituante.
 Berlakunya kembali UUD 1945.
 Tidak berlakunya UUDS 1950.
 Pembentukan MPRS dan DPAS.
Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan tidak diberlakukannya lagi
UUDS 1950, maka secara otomatis sistem pemerintahan Demokrasi Liberal
tidak berlaku lagi di Indonesia dan mulainya sistem Presidensil dengan
Demokrasi Terpimpin ala Soekarno.

6. Latar belakang[
Latar belakang dicetuskannya sistem demokrasi terpimpin oleh Presiden
Soekarno :

1. Dari segi keamanan nasional: Banyaknya gerakan separatis pada


masa demokrasi liberal, menyebabkan ketidakstabilan negara.
2. Dari segi perekonomian : Sering terjadinya pergantian kabinet pada masa
demokrasi liberal menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet
tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat.
3. Dari segi politik : Konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk
menggantikan UUDS 1950.
Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali
oleh anjuran Soekarno agar Undang-Undang yang digunakan untuk
menggantikan UUDS 1950 adalah UUD 1945. Namun usulan itu menimbulkan
pro dan kontra di kalangan anggota konstituante. Sebagai tindak lanjut
usulannya, diadakan pemungutan suara yang diikuti oleh seluruh anggota
konstituante . Pemungutan suara ini dilakukan dalam rangka mengatasi konflik
yang timbul dari pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut.
Hasil pemungutan suara menunjukan bahwa :

 269 orang setuju untuk kembali ke UUD 1945


 119 orang tidak setuju untuk kembali ke UUD 1945
Melihat dari hasil voting, usulan untuk kembali ke UUD 1945 tidak dapat
direalisasikan. Hal ini disebabkan oleh jumlah anggota konstituante yang
menyetujui usulan tersebut tidak mencapai 2/3 bagian, seperti yang telah
ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950.
Bertolak dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekret
yang disebut Dekret Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekret Presiden 5 Juli 1959 :

1. Tidak berlaku kembali UUDS 1950


2. Berlakunya kembali UUD 1945
3. Dibubarkannya konstituante
4. Pembentukan MPRS dan DPAS

Peranan PKI[sunting | sunting sumber]


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Partai Komunis Indonesia
Partai Komunis Indonesia (PKI) menyambut "Demokrasi Terpimpin" Soekarno
dengan hangat dan anggapan bahwa PKI mempunyai mandat untuk
mengakomodasi persekutuan konsepsi yang sedang marak di Indonesia kala itu,
yaitu antara ideologi nasionalisme, agama (Islam) dan komunisme yang
dinamakan NASAKOM.
Pada tahun 1962, perebutan Irian Barat secara militer oleh Indonesia yang
dilangsungkan dalam Operasi Trikora mendapat dukungan penuh dari
kepemimpinan PKI, mereka juga mendukung penekanan terhadap perlawanan
penduduk adat yang tidak menghendaki integrasi dengan Indonesia.

Keterlibatan Amerika Serikat


Di era Demokrasi Terpimpin, antara tahun 1959 dan tahun 1965, Amerika
Serikat memberikan 64 juta dollar dalam bentuk
bantuan militer untuk jenderal-jenderal militer Indonesia. Menurut laporan
di media cetak "Suara Pemuda Indonesia": Sebelum akhir tahun 1960, Amerika
Serikat telah melengkapi 43 batalyon angkatan bersenjata Indonesia. Tiap tahun
AS melatih perwira-perwira militer sayap kanan. Di antara tahun 1956 dan
1959, lebih dari 200 perwira tingkatan tinggi telah dilatih di AS, dan ratusan
perwira angkatan rendah terlatih setiap tahun. Kepala Badan untuk
Pembangunan Internasional di Amerika pernah sekali mengatakan bahwa
bantuan AS, tentu saja bukan untuk mendukung Soekarno dan bahwa AS telah
melatih sejumlah besar perwira-perwira angkatan bersenjata dan orang sipil
yang mau membentuk kesatuan militer untuk membuat Indonesia sebuah
"negara bebas".

Dampak ke situasi politik


Era "Demokrasi Terpimpin" diwarnai kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan
kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen
kaum buruh dan petaniIndonesia. Kolaborasi ini tetap gagal memecahkan
masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak Indonesia kala itu.
Pendapatan ekspor Indonesia menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus
menaik dan korupsi kaum birokrat dan militer menjadi wabah sehingga situasi
politik Indonesia menjadi sangat labil dan memicu banyaknya demonstrasi di
seluruh Indonesia, terutama dari kalangan buruh, petani, dan mahasiswa.

7. Prasejarah atau nirleka (nir: tidak ada, leka: tulisan) secara harfiah berarti
"sebelum sejarah", dari bahasa Latin untuk "sebelum," præ, dan historia.
Prasejarah manusia adalah masa di mana perilaku dan anatomi manusia
pertama kali muncul, sampai adanya catatan sejarahyang kemudian diikuti
dengan penemuan aksara. Berakhirnya zaman prasejarah atau dimulainya
zaman sejarah untuk setiap bangsa di dunia tidak sama tergantung dari
peradaban bangsa tersebut. Sumeria di Mesopotamia dan Mesir kuno,
merupakan peradaban pertama yang mengenal tulisan, dan selalu diingat
sebagai catatan sejarah; hal ini sudah terjadi selama awal Zaman Perunggu.
Sebagian besar peradaban lainnya mencapai akhir prasejarah selama Zaman
Besi.[butuh rujukan]
Zaman prasejarah di Indonesia sendiri diperkirakan berakhir pada masa
berdirinya Kerajaan Kutai, sekitar abad ke-5; dibuktikan dengan
adanya prasasti yang berbentuk yupa yang ditemukan di tepi Sungai
Mahakam, Kalimantan Timur baru memasuki era sejarah. Karena tidak terdapat
peninggalan catatan tertulis dari zaman prasejarah, keterangan mengenai
zaman ini diperoleh melalui bidang-bidang
seperti paleontologi, astronomi, biologi, geologi, antropologi, arkeologi. Dalam
artian bahwa bukti-bukti prasejarah didapat dari artefak-artefak yang
ditemukan di daerah penggalian situs prasejarah.
Prasejarah mengacu pada suatu periode di mana keberadaan manusia masih
belum dicatat dalam catatan sejarah.[1] Prasejarah juga dapat mengacu pada
semua waktu sebelum keberadaan manusia dan penemuan tulisan.
Konsep "prasejarah" pertama kali muncul pada saat abad Pencerahan dalam
pekerjaan kolektor barang kuno yang menggunakan kata "primitive" untuk
menggambarkan masyarakat yang telah ada sebelum catatan
ditulis. Penggunaan pertama kata dalam bahasa Inggris untuk prasejarah, ada
[2]

pada Foreign Quarterly Review pada tahun 1836.[3]


Pembagian zaman]
Secara umum, masa prasejarah Indonesia ditinjau dari dua aspek, bedasarkan
bahan untuk membuat alat-alatnya (terbagi menjadi Zaman Batu & Zaman
Besi), & bedasarkan kemampuan yang dimiliki oleh masyarakatnya (terbagi
menjadi Masa Berburu & Mengumpulkan Makanan, Masa Bercocok Tanam, &
Masa Perundagian)
Zaman Batu
Zaman Batu terjadi sebelum logam dikenal dan alat-alat kebudayaan terutama
dibuat dari batu di samping kayu dan tulang. Zaman batu ini diperiodisasi lagi
menjadi 4 zaman, antara lain:
Zaman Batu Tua (Masa Berburu & Mengumpulkan Makanan Tingkat Awal]
Terdapat dua kebudayaan yang merupakan patokan zaman ini, yaitu:

1. Kebudayaan Pacitan (berhubungan dengan kapak genggam dengan varian-


variannya seperti kapak perimbas & kapak penetak
2. Kebudayaan Ngandong (berhubungan dengan Flakes & peralatan dari tulang)
Bedasarkan kebudayaan yang ditemukan, maka dapat disimpulkan ciri-ciri
kehidupan pada Palaeolithikum antara lain:

1. Masyarakatnya belum memiliki rasa estetika (disimpulkan dari kapak genggam


yang bentuknya tidak beraturan & bertekstur kasar)
2. Belum dapat bercocok tanam (karena peralatan yang dimiliki belum dapat
digunakan untuk menggemburkan tanah).
3. Memperoleh makanan dengan cara berburu (hewan) dan mengumpulkan
makanan (buah-buahan & umbi-umbian).
4. Hidup nomaden (jika sumber makanan yang ada di daerah tempat tinggal habis,
maka masyarakatnya harus pindah ke tempat baru yang memiliki sumber
makanan).
5. Hidup dekat sumber air (mencukupi kebutuhan minum & karena di dekat
sumber air ada banyak hewan & tumbuhan yang bisa dimakan).
6. Hidup berkelompok (untuk melindungi diri dari serangan hewan buas).
7. Sudah mengenal api (bedasarkan studi perbandingan dengan Zaman
Palaeolithikum di China, di mana ditemukan fosil kayu yang ujungnya bekas
terbakar di dalam sebuah gua).
Zaman Batu Tengah (Masa Berburu & Mengumpulkan Makanan Tingkat
Lanjut
Terdapat dua kebudayaan yang merupakan patokan zaman ini, yaitu:

 Kebudayaan Kjokkenmoddinger
Kjokkenmodinger, istilah dari bahasa Denmark, kjokken yang berarti dapur
& moddinger yang berarti sampah (kjokkenmoddinger = sampah dapur). Dalam
kaitannya dengan budaya manusia, kjokkenmoddinger merupakan timbunan
kulit siput & kerang yang menggunung di sepanjang pantai Sumatra Timur
antara Langsa di Aceh sampai Medan. Di antara timbunan kulit siput & kerang
tersebut ditemukan juga perkakas sejenis kapak genggam yaitu kapak
Sumatra/Pebble & batu pipisan.

 Kebudayaan Abris Sous Roche


Abris sous roche, yang berarti gua-gua yang pernah dijadikan tempat tinggal,
berupa gua-gua yang diduga pernah dihuni oleh manusia. Dugaan ini muncul
dari perkakas seperti ujung panah, flakke, batu penggilingan, alat dari tulang &
tanduk rusa; yang tertinggal di dalam gua.
Bedasarkan kebudayaan yang ditemukan, maka dapat disimpulkan ciri-ciri
kehidupan pada zaman Mesolithikum antara lain:
a. Sudah mengenal rasa estetika (dilihat dari peralatannya seperti kapak
Sumatra, yang bentuknya sudah lebih beraturan dengan tekstur yang lebih
halus dibandingkan kapak gengggam pada Zaman Paleolithikum)
b. Masih belum dapat bercocok tanam (karena peralatan yang ada pada zaman
itu masih belum bisa digunakan untuk menggemburkan tanah)
c.Gundukan Kjokkenmoddinger yang dapat mencapai tinggi tujuh meter dengan
diameter tiga puluh meter ini tentu terbentuk dalam waktu lama, sehingga
disimpulkan bahwa manusia pada zaman itu mulai tingggal menetap (untuk
sementara waktu, ketika makanan habis, maka harus berpindah tempat, seperti
pada zaman Palaeolithikum) di tepi pantai.
d. Peralatan yang ditemukan dari Abris Sous Roche memberi informasi bahwa
manusia juga menjadikan gua sebagai tempat tinggal.
Zaman Batu Muda (Masa Bercocok Tanam)
Ciri utama pada zaman batu Muda (neolithikum) adalah alat-alat batu buatan
manusia sudah diasah atau dipolis sehingga halus dan indah. Alat-alat yang
dihasilkan antara lain:

1. Kapak persegi, misalnya beliung, pacul, dan torah yang banyak terdapat di
Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi, Kalimantan,
2. Kapak batu (kapak persegi berleher) dari Minahasa.
3. Perhiasan (gelang dan kalung dari batu indah) ditemukan di Jawa,
4. Pakaian dari kulit kayu
5. Tembikar (periuk belaga) ditemukan di Sumatera, Jawa, Melolo (Sunda)
Manusia pendukung Neolithikum adalah Austronesia (Austria), Austro-Asia
(Khamer-Indocina)
Kebudayaan Megalith
Antara zaman neolitikum dan zaman logam telah berkembang kebudayaan
megalith, yaitu kebudayaan yang menggunakan media batu-batu besar sebagai
alatnya, bahkan puncak kebudayaan megalith justru pada zaman logam. Hasil
kebudayaan Megalith, antara lain:

1. Menhir: tugu batu yang dibangun untuk pemujaan terhadap arwah-arwah


nenek moyang.
2. Dolmen: meja batu tempat meletakkan sesaji untuk upacara pemujaan roh
nenek moyang
3. Sarchopagus/keranda atau peti mati (berbentuk lesung bertutup)
4. Punden berundak: tempat pemujaan bertingkat
5. Kubur batu: peti mati yang terbuat dari batu besar yang dapat dibuka-tutup
6. Arca/patung batu: simbol untuk mengungkapkan kepercayaan mereka
Zaman Logam (Masa Perundagian)
Pada zaman Logam orang sudah dapat membuat alat-alat dari logam di
samping alat-alat dari batu. Orang sudah mengenal teknik melebur logam,
mencetaknya menjadi alat-alat yang diinginkan. Teknik pembuatan alat logam
ada dua macam, yaitu dengan cetakan batu yang disebut bivalve dan dengan
cetakan tanah liat dan lilin yang disebut a cire perdue. Periode ini juga disebut
masa perundagian karena dalam masyarakat timbul golongan undagi yang
terampil melakukan pekerjaan tangan. Zaman logam di Indonesia didominasi
oleh alat-alat dari perunggu sehingga zaman logam juga disebut zaman
perunggu. Alat-alat besi yang ditemukan pada zaman logam jumlahnya sedikit
dan bentuknya seperti alat-alat perunggu, sebab kebanyakan alat-alat besi,
ditemukan pada zaman sejarah. Zaman logam di Indonesia dibagi atas:
Zaman Perunggu
Pada zaman Perunggu/disebut juga dengan kebudayaan Dongson-Tongkin
China (pusat kebudayaan ini) manusia purba sudah dapat mencampur tembaga
dengan timah dengan perbandingan 3 : 10 sehingga diperoleh logam yang lebih
keras.
Alat-alat perunggu pada zaman ini antara lain:

 Kapak Corong (Kapak perunggu, termasuk golongan alat perkakas) ditemukan


di Sumatera Selatan, Jawa-Bali, Sulawesi, Kepulauan Selayar, Irian
 Nekara Perunggu (Moko) sejenis dandang yang digunakan sebagai maskawin.
Ditemukan di Sumatera, Jawa-Bali, Sumbawa, Roti, Selayar, Leti
 Benjana Perunggu ditemukan di Madura dan Sumatera.
 Arca Perunggu ditemukan di Bang-kinang (Riau), Lumajang (Jawa Timur) dan
Bogor (Jawa Barat)
Zaman Besi
Pada zaman ini orang sudah dapat melebur besi dari bijinya untuk dituang
menjadi alat-alat yang diperlukan. Teknik peleburan besi lebih sulit dari teknik
peleburan tembaga maupun perunggu sebab melebur besi membutuhkan panas
yang sangat tinggi, yaitu ±3500 °C.
Alat-alat besi yang dihasilkan antara lain:

 Mata Kapak bertungkai kayu


 Mata Pisau
 Mata Sabit
 Mata Pedang
 Cangkul

8. Baru adalah sebutan bagi masa


pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era
pemerintahan Soekarno. Lahirnya Orde Baru diawali dengan
dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966.[1]Orde Baru berlangsung
dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi
Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini Latar belakang
Meski telah merdeka, Indonesia pada tahun 1950 hingga 1960-an berada dalam
kondisi yang relatif tidak stabil.[2] Bahkan setelah Belanda secara resmi
mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949, keadaan politik maupun
ekonomi di Indonesia masih labil karena ketatnya persaingan di antara
kelompok-kelompok politik.[2] Keputusan Soekarno untuk mengganti sistem
parlemen dengan Demokrasi Terpimpin memperparah kondisi ini dengan
memperuncing persaingan antara angkatan bersenjata dengan Partai Komunis
Indonesia, yang kala itu berniat mempersenjatai diri.[2] Sebelum sempat
terlaksana, peristiwa Gerakan 30 September terjadi dan mengakibatkan
diberangusnya Partai Komunis Indonesia dari Indonesia.[2] Sejak saat itu,
kekuasaan Soekarno perlahan-lahan mulai melemah.
terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela.

Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)
pada tahun 1966, yang kemudian menjadi dasar legalitasnya.[1] Orde Baru
bertujuan meletakkan kembali tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan
negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.[1]
Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal 11
Maret 1966. Saat itu, Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakanyang
dipimpin oleh Presiden Soekarno sedang berlangsung.[4] Di tengah-tengah
acara, ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana terdapat pasukan
yang tidak dikenal.[1] Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Presiden
Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri
(Waperdam) II Dr. Johannes Leimena dan berangkat menuju Istana Bogor,
didampingi oleh Waperdam I Dr Subandrio, dan Waperdam III Chaerul
Saleh.[4] Leimena sendiri menyusul presiden segera setelah sidang berakhir.[4]
Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat,
Brigadir Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud bertemu
dengan Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat dan
Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap presiden.[4] Segera setelah
mendapat izin, di hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke Istana Bogor
dengan tujuan melaporkan kondisi di ibukota Jakarta meyakinkan Presiden
Soekarno bahwa ABRI, khususnya AD, dalam kondisi siap siaga.[4] Namun,
mereka juga memohon agar Presiden Soekarno mengambil tindakan untuk
mengatasi keadaan ini.[4]
Menanggapi permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah
yang ditujukan kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima
Angkatan Darat untuk mengambil tindakan dalam rangka menjamin keamanan,
ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi keutuhan bangsa dan negara
Republik Indonesia.[4] Perumusan surat perintah ini sendiri dibantu oleh tiga
perwira tinggi ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M.
Yusuf, Brigadir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Subur,
Komandan Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa.[4] Surat perintah inilah
yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau
Supersemar.[4]
Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, Letnan Jenderal
Soeharto mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia
mengeluarkan surat keputusan yang berisi pembubaran dan larangan
bagi Partai Komunis Indonesia serta ormas-ormas yang bernaung dan
berlindung atau senada dengannya untuk beraktivitas dan hidup di wilayah
Indonesia.[4] Keputusan ini kemudian diperkuat dengan Keputusan
Presiden/Pangti ABRI ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tanggal 12 Maret
1966.[5] Keputusan pembubaran Partai Komunis Indonesia beserta ormas-
ormasnya mendapat sambutan dan dukungan karena merupakan salah satu
realisasi dari Tritura.[5]
Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang
dinilai tersangkut dalam Gerakan 30 September dan diragukan etika baiknya
yang dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966.[5] Ia
kemudian memperbaharui Kabinet Dwikora yang disempurnakan dan
membersihkan lembaga legislatif, termasuk MPRS dan DPRGR, dari orang-orang
yang dianggap terlibat Gerakan 30 September.[5] Keanggotaan Partai Komunis
Indonesia dalam MPRS dinyatakan gugur.[5] Peran dan kedudukan MPRS juga
dikembalikan sesuai dengan UUD 1945, yakni di atas presiden, bukan
sebaliknya.[6] Di DPRGR sendiri, secara total ada 62 orang anggota yang
diberhentikan.[5] Soeharto juga memisahkan jabatan pimpian DPRGR dengan
jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan
sebagai menteri.[5]
Pada tanggal 20 Juni hingga 5 Juli 1955, diadakanlah Sidang Umum IV MPRS
dengan hasil sebagai berikut:

 Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan


Supersemar.[7]
 Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan Lembaga-Lembaga
Negara Tingkat Pusat dan Daerah.[7]
 Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Politik Luar Negeri
RI Bebas Aktif.[7]
 Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera.[7]
 Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Tap. MPRS
yang Bertentangan dengan UUD 1945.[7]
 Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum RI dan Tata
Urutan Perundang-undangan di Indonesia.[7]
 Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis
Indonesia dan Pernyataan Partai Komunis Indonesia dan Ormas-Ormasnya
sebagai Organisasi Terlarang di Indonesia.[7]
Hasil dari Sidang Umum IV MPRS ini menjadi landasan awal tegaknya Orde Baru
dan dinilai berhasil memenuhi dua dari tiga tuntutan rakyat (tritura), yaitu
pembubaran Partai Komunis Indonesia dan pembersihan kabinet dari unsur-
unsur Partai Komunis Indonesia.[7]
Selain dibubarkan dan dibersihkan, kader-kader Partai Komunis Indonesia juga
dibantai khususnya di wilayah pedesaan-pedesaan di pulau
Jawa. Pembantaian ini tidak hanya dilakukan oleh angkatan bersenjata,
[8]

namun juga oleh rakyat biasa yang dipersenjatai.[8] Selain kader, ribuan pegawai
negeri, ilmuwan, dan seniman yang dianggap terlibat juga ditangkap dan
dikelompokkan berdasarkan tingkat keterlibatannya dengan Partai Komunis
Indonesia.[8] Sebagian diasingkan ke Pulau Buru, sebuah pulau kecil di wilayah
Maluku.[9] Pada tanggal 30 September setiap tahunnya, pemerintah
menayangkan film yang menggambarkan Partai Komunis Indonesia sebagai
organisasi yang keji.[2]
Pembentukan Kabinet Ampera
Dalam rangka memenuhi tuntutan ketiga Tritura, Soeharto dengan dukungan
Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 membentuk kabinet baru yang diberi
nama Kabinet Ampera.[10]Tugas utama Kabinet Ampera adalah menciptakan
stabilitas ekonomi dan stabilitas politik, atau dikenal dengan nama Dwidarma
Kabinet Ampera.[10] Program kerja yang dicanangkan Kabinet Ampera
disebut Caturkarya Kabinet Ampera, yaitu:[10]

1. memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan;


2. melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum dalam
Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968);
3. melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan
nasional sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966;
4. melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan antikolonialisme dalam segala
bentuk dan manifestasinya.
Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, namun pelaksanaannya
dilakukan oleh Presidium Kabinet yang dipimpin oleh Jenderal
Soeharto.[10] Akibatnya, muncul dualisme kepemimpinan yang menjadi kondisi
kurang menguntungkan bagi stabilitas politik saat itu.[10]
Soekarno kala itu masih memiliki pengaruh politik, namun kekuatannya
perlahan-lahan dilemahkan.[3] Kalangan militer, khususnya yang mendapatkan
pendidikan di negara Barat, keberatan dengan kebijakan pemerintah Soekarno
yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia.[3] Mengalirnya bantuan dana dari
Uni Soviet dan Tiongkok pun semakin menambah kekhawatiran bahwa
Indonesia bergerak menjadi negara komunis.[3]
Akhirnya pada 22 Februari 1967, untuk mengatasi situasi konflik yang semakin
memuncak kala itu, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada
Jenderal Soeharto.[10]Penyerahan ini tertuang dalam Pengumuman Presiden
Mandataris MPRS, Panglima Tertinggi ABRI Tanggal 20 Februari
1967.[10] Pengumuman itu didasarkan atas Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966
yang menyatakan apabila presiden berhalangan, pemegang Surat Perintah 11
Maret 1966 berfungsi sebagai pemegang jabatan presiden.[10] Pada 4 Maret
1967, Jenderal Soeharto memberikan keterangan pemerintah di hadapan sidang
DPRHR mengenai terjadinya penyerahan kekuasaan.[10] Namun, pemerintah
tetap berpendirian bahwa sidang MPRS perlu dilaksanakan agar penyerahan
kekuasaan tetap konstitusional.[10] Karena itu, diadakanlah Sidang Istimewa
MPRS pada tanggal 7-12 Maret 1967 di Jakarta, yang akhirnya secara resmi
mengangkat Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia hingga terpilihnya
presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.[10]

Kebijakan ekonomi
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
Di awal kekuasaannya, Pemerintah Orde Baru mewarisi kemerosotan ekonomi
yang ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya.[11] Kemerosotan ekonomi ini
ditandai oleh rendahnya pendapatan perkapita penduduk Indonesia yang hanya
mencapai 70 dollar AS, tingginya inflasi yang mencapai 65%, serta hancurnya
sarana-sarana ekonomi akibat konflik yang terjadi di akhir pemerintahan
Soekarno[11]
Untuk mengatasi kemerosotan ini, pemerintah Orde Baru membuat program
jangka pendek berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan
kepada pengendalian inflasi dan usaha rehabilitasi sarana ekonomi,
peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan kebutuhan
sandang. Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan apabila
[12]

inflasi dapat dikendalikan dan stabilitas tercapai, kegiatan ekonomi akan pulih
dan produksi akan meningkat.[12]
Mulai tahun 1 April 1969, pemerintah menciptakan landasan untuk
pembangunan yang disebut sebagai Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita). Repelita pertama yang mulai dilaksanakan tahun 1969
[12]

tersebut fokus pada rehabilitasi prasarana penting dan pengembangan iklim


usaha dan investasi.[12] Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas untuk
memenuhi kebutuhan pangan sebelum membangun sektor-sektor
lain.[12] Pembangunan antara lain dilaksanakan dengan membangun prasana
pertanian seperti irigasi, perhubungan, teknologi pertanian, kebutuhan
pembiayaan, dan kredit perbankan.[12] Petani juga dibantu melalui penyediaan
sarana penunjang utama seperti pupuk hingga pemasaran hasil produksi.[12]
Repelita I membawa pertumbuhan ekonomi naik dari rata-rata 3% menjadi
6,7% per tahun, pendapatan perkapita meningkat dari 80 dolar AS menjadi 170
dolar AS, dan inflasi dapat ditekan menjadi 47,8% pada akhir Repelita I pada
tahun 1974.[12] Repelita II (1974-1979) dan Repelita III (1979-1984) fokus pada
pencapaian pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional, dan pemerataan
pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan industri yang
mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.[12] Pada tahun 1984, Indonesia
berhasil mencapai status swasembada beras dari yang tadinya merupakan salah
satu negara pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1970-an.[12] Fokus
Repelita IV (1984-1989) dan Repelita V (1989-1994), selain berusaha
mempertahankan kemajuan di sektor pertanian, juga mulai bergerak
menitikberatkan pada sektor industri khususnya industri yang menghasilkan
barang ekspor, industri yang menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil
pertanian, dan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri.[13]
Swasembada beras
Sejak awal berkuasa, pemerintah Orde Baru menitikberatkan fokusnya pada
pengembangan sektor pertanian karena menganggap ketahanan pangan adalah
prasyarat utama kestabilan ekonomi dan politik.[14] Sektor ini berkembang
pesat setelah pemerintah membangun berbagai prasarana pertanian seperti
irigasi dan perhubungan, teknologi pertanian, hingga penyuluhan
bisnis.[14] Pemerintah juga memberikan kepastian pemasaran hasil produksi
melalui lembaga yang diberi nama Bulog (Badan Urusan Logistik).[14]
Mulai tahun 1968 hingga 1992, produksi hasil-hasil pertanian meningkat
tajam.[14] Pada tahun 1962, misalnya, produksi padi hanya mencapai 17.156 ribu
ton.[14] Jumlah ini berhasil ditingkatkan tiga kali lipat menjadi 47.293 ribu ton
pada tahun 1992, yang berarti produksi beras per jiwa meningkat dari 95,9 kg
menjadi 154,0 kg per jiwa.[14] Prestasi ini merupakan sebuah prestasi besar
mengingat Indonesia pernah menjadi salah satu negara pengimpor beras
terbesar di dunia pada tahun 1970-an.[14]
Pemerataan kesejahteraan penduduk
Pemerintah juga berusaha mengiringi pertumbuhan ekonomi dengan
pemerataan kesejahteraan penduduk melalui program-program penyediaan
kebutuhan pangan, peningkatan gizi, pemerataan pelayanan kesehatan,
keluarga berencana, pendidikan dasar, penyediaan air bersih, dan
pembangunan perumahan sederhana.[14] Strategi ini dilaksanakan secara
konsekuen di setiap pelita.[15] Berkat usaha ini, penduduk Indonesia berkurang
dari angka 60% pada tahun 1970-an ke angka 15% pada tahun 1990-
an.[15] Pendapatan perkapita masyarakat juga naik dari yang hanya 70 dolar per
tahun pada tahun 1969, meningkat menjadi 600 dolar per tahun pada tahun
1993.[14]
Pemerataan ekonomi juga diiringi dengan adanya peningkatan usia harapan
hidup, dari yang tadinya 50 tahun pada tahun 1970-an menjadi 61 tahun di
1992.[14] Dalam kurun waktu yang sama, angka kematian bayi juga menurun
dari 142 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk setiap 1.000
kelahiran hidup.[14] Jumlah penduduk juga berhasil dikendalikan melalui
program Keluarga Berencana (KB).[14] Selama dasawarsa 1970-an, laju
pertumbuhan penduduk mencapai 2,3% per tahun. Pada awal tahun 1990-an,
angka tersebut dapat diturunkan menjadi 2,0% per tahun.[14]

Penataan Kehidupan Politik


Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Organisasi masanya
Dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas pemerintahan,
Soeharto sebagai pengemban Supersemar telah mengeluarkan kebijakan:[butuh
rujukan]
 Membubarkan Partai Komunis Indonesia pada tanggal 12 Maret 1966 yang
diperkuat dengan Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966
 Menyatakan Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi terlarang di Indonesia
 Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang dianggap
terlibat Gerakan 30 September 1965.
Penyederhanaan Partai Politik
Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada
masa Orde Baru pemerintahan pemerintah melakukan penyederhanaan dan
penggabungan (fusi) partai- partai politik menjadi tiga kekuatan sosial politik.
Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak didasarkan pada kesamaan
ideologi, tetapi lebih atas persamaan program. Tiga kekuatan sosial politik itu
adalah:[butuh rujukan]

 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU,


Parmusi, PSII, dan PERTI
 Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai
Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo
 Golongan Karya
Penyederhanaan partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru
dalam upayamenciptakan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengalaman sejarah pada masa pemerintahan sebelumnya telah memberikan
pelajaran, bahwa perpecahan yang terjadi dimasa Orde Lama, karena adanya
perbedaan ideologi politik dan ketidakseragaman persepsi serta pemahaman
Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia.
Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali
pemilihan umum, yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam
setiap Pemilu yang diselenggarakan selama masa pemerintahan Orde Baru,
Golkar selalu memperoleh mayoritas suara dan memenangkan Pemilu.[butuh
rujukan] Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan

Orde Baru, Golkar memperoleh 74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR dan
PPP memperoleh 5,43 % dengan perolehan 27 kursi.[butuh rujukan] Sedangkan PDI
mengalami kemorosotan perolehan suara dengan hanya mendapat 11 kursi di
DPR. Hal disebabkan adanya konflik intern di tubuh partai berkepala banteng
tersebut. PDI akhirnya pecah menjadi PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno
Putri yang sekarang menjadi PDIP. Penyelenggaraan Pemilu yang teratur
selama masa pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa
demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan baik.[butuh rujukan] Apalagi Pemilu
berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia). Namun
dalam kenyataannya, Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu kontestan
Pemilu saja yaitu Golkar. Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak
Pemilu 1971 sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah yang
perimbangan suara di MPR dan DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah
memungkinkan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam
periode, karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh anggota MPR. Selain
itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya
dari pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan.[butuh
rujukan]

Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI


Pada masa Orde Baru, ABRI menjadi institusi paling penting di Indonesia. Selain
menjadi angkatan bersenjata, ABRI juga memegang fungsi politik,
menjadikannya organisasi politik terbesar di negara. Peran ganda ABRI ini
kemudian terkenal dengan sebutan Dwi Fungsi ABRI. Timbulnya pemberian
peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara
pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan
adalah sama. di MPR dan DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara
pengangkatan tanpa melalui Pemilu.[butuh rujukan] Pertimbangan pengangkatan
anggota MPR/DPR dari ABRI didasarkan pada fungsinya sebagai stabilitator dan
dinamisator. Peran dinamisator sebenarnya telah diperankan ABRI sejak zaman
Perang Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal Soedirman telah melakukannya
dengan meneruskan perjuangan, walaupun pemimpin pemerintahan telah
ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang dilakukan Soeharto ketika
menyelamatkan bangsa dari perpecahan setelah Gerakan 30 September, yang
melahirkankan Orde Baru.
Sistem ini memancing kontroversi di tubuh ABRI sendiri.[16] Banyak perwira,
khususnya mereka yang berusia muda, menganggap bahwa sistem ini
mengurangi profesionalitas ABRI.[16] Masuknya pendidikan sosial dan politik
dalam akademi militer mengakibatkan waktu mempelajari strategi militer
berkurang.[16]
Secara kekuatan, ABRI juga menjadi lemah dibandingkan negara Asia Tenggara
lainnya.[16] Saat itu, hanya ada 533.000 prajurit ABRI, termasuk Polisi yang kala
itu masih menjadi bagian dari ABRI.[16] Angka ini, yang hanya mencakup 0,15
persen dari total populasi, sangat kecil dibanding Singapura (2,06%), Thailand
(0,46%), dan Malaysia (0,68%).[16]Pendanaan yang didapatkan ABRI pun tak
kalah kecil, hanya sekitar 1,96% dari total PDB, sementara angkatan bersenjata
Singapura mendapatkan 5,48% dan Thailand 3,26%.[16]Selain itu, peralatan dan
perlengkapan yang dimiliki juga sedikit; ABRI hanya memiliki 100 tank besar
dan 160 tank ringan.[16]
Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P7)
Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan gagasan
mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang
terkenal dengan nama Ekaprasatya Pancakarsa atau Pedomanan Pengahayatan
dan Pengamalan Pancasila (P4).[butuh rujukan] Untuk mendukung
pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan
konsekuen, maka sejak tahun 1978 pemerintah menyelenggarakan penataran
P4 secara menyeluruh pada semua lapisan masyarakat. Penataran P4 ini
bertujuan membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila,
sehingga dengan adanya pemahaman yang sama terhadap Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945 diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan
terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut opini rakyat akan
mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.[butuh
rujukan] Sehingga sejak tahun 1985 pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas

tunggal dalam kehidupan berorganisasi. Semua bentuk organisasitidak boleh


menggunakan asasnya selain Pancasila. Menolak Pancasila sebagai sebagai asas
tunggal merupakan pengkhianatan terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dengan demikian Penataran P4 merupakan suatu
bentuk indoktrinasi ideologi, dan Pancasila menjadi bagian dari sistem
kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia. Pancasila
merupakan prestasi tertinggi Orde Baru, dan oleh karenanya maka semua
prestasi lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila. Mulai dari sistem ekonomi
Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri Pancasila, demokrasi Pancasila,
dan sebagainya. Pancasila dianggap memiliki kesakralan (kesaktian) yang tidak
boleh diperdebatkan.[butuh rujukan]

Penataan Politik Luar Negeri


Pada masa Orde Baru politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif kembali
dipulihkan. MPR mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan
politik luar negeri Indonesia. Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus
didasarkan pada kepentingan nasional, seperti pembangunan nasional,
kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.[butuh rujukan]
Kembali menjadi anggota PBB
Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali menjadi anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keputusan untuk kembali menjadi anggota
PBB dikarenakan pemerintah sadar bahwa banyak manfaat yang diperoleh
Indonesia selama menjadi anggota pada tahun 1955-1964.[butuh
rujukan] Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB disambut baik oleh negara-

negara Asia lainnya bahkan oleh PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan
dipilihnya Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang
tahun 1974. Dan Indonesia juga memulihkan hubungan dengan sejumlah negara
seperti India, Thailand, Australia, dan negara-negara lainnya yang sempat
renggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.
Normalisasi Hubungan dengan Negara lain
Pemulihan Hubungan dengan Singapura
Dengan perantaraan Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur Rachman,
hubungan Indonesia dengan Singapura berhasil dipulihkan kembali.[butuh
rujukan] Pada tanggal 2 Juni1966 pemerintah Indonesia menyampaikan nota

pengakuan atas Republik Singapura kepada Perdana Menteri Lee Kuan Yew.[butuh
rujukan] Lalu pemerintah Singapura menyampaikan nota jawaban kesediaan untuk

mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia.


Normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan diadakannya
perundingan di Bangkok pada 29 Mei - 1 Juni 1966 yang menghasilkan
Perjanjian Bangkok. Isi perjanjian tersebut adalah:[butuh rujukan]

 Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah


mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
 Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
 Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
Dan pada tanggal 11 Agustus 1966 penandatangan persetujuan pemulihan
hubungan Indonesia-Malaysia ditandatangani di Jakarta oleh Adam
Malik (Indonesia) dan Tun Abdul Razak (Malaysia).
Pembekuan Hubungan dengan RRT
Pada tanggal 1 Oktober 1967 Pemerintah Republik Indonesia membekukan
hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok(RRT). Keputusan
tersebut dilakukan karena RRT telah mencampuri urusan dalam negeri
Indonesia dengan cara memberikan bantuan kepada Gerakan 30
September baik untuk persiapan, pelaksanaan, maupun sesudah
terjadinya pemberontakan tersebut.[butuh rujukan] Selain itu pemerintah Indonesia
merasa kecewa dengan tindakan teror yang dilakukan orang-orang Cina
terhadap gedung, harta, dan anggota-anggota Keduataan Besar Republik
Indonesia di Peking. Pemerintah RRT juga telah memberikan perlindungan
kepada tokoh-tokoh Gerakan 30 September di luar negeri, serta secara terang-
terangan menyokong bangkitnya kembali Partai Komunis Indonesia. Melalui
media massanya RRT telah melakukan kampanye menyerang Orde Baru. Pada
30 Oktober 1967, Pemerintah Indonesia secara resmi menutup Kedutaan Besar
di Peking.[butuh rujukan]

Penataan Kehidupan Ekonomi


Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan pemerintah
Orde Lama, pemerintah Orde Baru melakukan langkah-langkah:

 Memperbaharui kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Kebijakan ini


didasari oleh Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.[butuh rujukan]
 MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program
penyelamatan serta program stabilisasi dan rehabilitasi.
Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional,
terutama stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi
ekonomi berarti mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak
melonjak terus. Rehabilitasi ekonomi adalah perbaikan secara fisik sarana dan
prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem
ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke
arah terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Langkah-langkah yang diambil Kabinet Ampera yang mengacu pada Ketetapan
MPRS tersebut adalah:

 Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang


menyebabkan kemacetan. Adapun yang menyebabkan terjadinya kemacetan
ekonomi tersebut adalah:

1. Rendahnya penerimaan negara.


2. Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara.
3. Terlalu banyak dan tidak efisiennya ekspansi kredit bank.
4. Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri.
5. Penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan
prasarana.

 Debirokrasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian


 Berorientasi pada kepentingan produsen kecil
Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut, maka
pemerintah Orde Baru menempuh cara:[butuh rujukan]

 Mengadakan operasi pajak


 Melaksanakan sistem pemungutan pajak baru, baik bagi pendapatan
perorangan maupun kekayaan dengan cara menghitung pajak sendiri dan
menghitung pajak orang.
 Menghemat pengeluaran pemerintah (pengeluaran konsumtif dan rutin), serta
menghapuskan subsidi bagi perusahaan Negara.
 Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit impor.
Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara membendung laju inflasi.
Pemerintah Orde Baru berhasil membendung laju inflasi pada akhir
tahun 1967-1968, tetapi harga bahan kebutuhan pokok naik melonjak. Sesudah
dibentuk Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968, pemerintah mengalihkan
kebijakan ekonominya pada pengendalian yang ketat terhadap gerak harga
barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu
ekonomi nasional relatif stabil, sebab kenaikan harga bahan-bahan pokok dan
valuta asing sejak tahun 1969 dapat dikendalikan pemerintah.[butuh rujukan]
Program rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan
berproduksi. Selama sepuluh tahun terakhir masa pemerintahan Orde Lama,
Indonesia mengalami kelumpuhan dan kerusakan pada prasarana sosial dan
ekonomi. Lembaga perkreditan desa, gerakan koperasi, dan perbankan
disalahgunakan dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan dan kelompok
kepentingan tertentu. Dampaknya, lembaga negara tidak dapat melaksanakan
fungsinya sebagai penyusun perbaikan tata kehidupan rakyat.[butuh rujukan]
Kerjasama Luar Negeri

 Pertemuan Tokyo
Selain mewariskan keadaan ekonomi yang sangat parah, pemerintahan Orde
Lama juga mewariskan utang luar negeri yang sangat besar, yakni mencapai 2,2
- 2,7 miliar, sehingga pemerintah Orde Baru meminta negara-negara kreditor
untuk dapat menunda pembayaran kembali utang Indonesia. Pada tanggal 19-
20 September 1966 pemerintah Indonesia mengadakan perundingan dengan
negara-negara kreditor di Tokyo.[butuh rujukan] Pemerintah Indonesia akan
melakukan usaha bahwa devisa ekspor yang diperoleh Indonesia akan
digunakan untuk membayar utang yang selanjutnya akan dipakai untuk
mengimpor bahan-bahan baku. Hal ini mendapat tanggapan baik dari negara-
negara kreditor. Perundinganpun dilanjutkan di Paris, Perancis dan dicapai
kesepakatan sebagai berikut:[butuh rujukan]

1. Pembayaran hutang pokok dilaksanakan selama 30 tahun, dari


tahun 1970 sampai dengan 1999.
2. Pembayaran dilaksanakan secara angsuran, dengan angsuran tahunan yang
sama besarnya.
3. Selama waktu pengangsuran tidak dikenakan bunga.
4. Pembayaran hutang dilaksanakan atas dasar prinsip nondiskriminatif, baik
terhadap negara kreditor maupun terhadap sifat atau tujuan kredit.

 Pertemuan Amsterdam
Pada tanggal 23-24 Februari 1967 diadakan perundingan
di Amsterdam, Belanda yang bertujuan membicarakan kebutuhan Indonesia
akan bantuan luar negeri serta kemungkinan pemberian bantuan dengan syarat
lunas, yang selanjutnya dikenal dengan IGGI (Intergovernmental Group for
Indonesia). Pemerintah Indonesia mengambil langkah tersebut untuk
memenuhi kebutuhannya guna pelaksanaan program-program stabilisasi dan
rehabilitasi ekonomi serta persiapan-persiapan pembangunan.[butuh rujukan] Di
samping mengusahakan bantuan luar negeri tersebut, pemerintah juga telah
berusaha mengadakan penangguhan serta memperingan syarat-syarat
pembayaran kembali (rescheduling) hutang-hutang peninggalan Orde Lama.[butuh
rujukan] Melalui pertemuan tersebut pemerintah Indonesia berhasil
mengusahakan bantuan luar negeri.
Pembangunan Nasional

 Trilogi Pembangunan
Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, maka langkah
selanjutnya yang ditempuh pemerintah Orde Baru adalah melaksanakan
pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang diupayakan pemerintah
waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka pendek dan
Pembangunan Jangka Panjang.[butuh rujukan]Pambangunan Jangka Pendek
dirancang melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki
misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat
Indonesia. Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30
tahun. Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa,
dan Negara. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam upaya mewujudkan
tujuan nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yaitu:[butuh rujukan]

1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah Indonesia


2. Meningkatkan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial
Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru
berpedoman pada Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan. Inti dari
kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat
dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil. Isi Trilogi Pembangunan
adalah :[butuh rujukan]

1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya


keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Dan Delapan Jalur Pemerataan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru
adalah:[butuh rujukan]

1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang


dan perumahan.
2. Pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan
3. Pemerataan pembagian pendapatan.
4. Pemerataan kesempatan kerja
5. Pemerataan kesempatan berusaha
6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi
generasi muda dan kaum wanita.
7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Air
8. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

 Pelaksanaan Pembangunan Nasional


Seperti telah disebutkan di muka bahwa Pembangunan nasional direalisasikan
melalui Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Dan
Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui program Pembangunan Lima
Tahun (Pelita). Selama masa Orde Baru, pemerintah telah melaksanakan enam
Pelita yaitu:[butuh rujukan]

 Pelita I
Pelita I dilaksanakan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan menjadi
landasan awal pembangunan masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah
meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi
pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya adalah pangan, sandang, perbaikan
prasarana perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan
rohani. Titik beratnya adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan
tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan
bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil
pertanian.[butuh rujukan]

 Pelita II
Pelita II mulai berjalan sejak tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979.
Sasaran utama Pelita II ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan,
sarana prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja.
Pelaksanaan Pelita II dipandang cukup berhasil. Pada awal pemerintahan Orde
Baru inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I inflasi berhasil ditekan
menjadi 47%. Dan pada tahun keempat Pelita II inflasi turun menjadi 9,5%.[butuh
rujukan]

 Pelita III
Pelita III dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31 Maret 1984.[butuh
rujukan] Pelaksanaan Pelita III masih berpedoman pada Trilogi Pembangunan,

dengan titik berat pembangunan adalah pemerataan yang dikenal dengan


Delapan Jalur Pemerataan.

 Pelita IV
Pelita IV dilaksanakan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik berat
Pelita IV ini adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan
meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Dan di
tengah berlangsung pembangunan pada Pelita IV ini yaitu awal
tahun 1980 terjadi resesi.[butuh rujukan] Untuk mempertahankan kelangsungan
pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan
fiskal. Dan pembangunan nasional dapat berlangsung terus.

 Pelita V
Pelita V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini
pembangunan ditekankan pada sector pertanian dan industri. Pada masa itu
kondisi ekonomi Indonesia berada pada posisi yang baik, dengan pertumbuhan
ekonomi sekitar 6,8% per tahun.[butuh rujukan] Posisi perdagangan luar negeri
memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih
baik dibanding sebelumnya.

 Pelita VI
Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan
pada Pelita VI ini ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan
industri dan pertanian, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia
sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak
pembangunan.[butuh rujukan] Namun pada periode ini terjadi krisis moneter yang
melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis
moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian
telah menyebabkan proses pembangunan terhambat, dan juga menyebabkan
runtuhnya pemerintahan Orde Baru.

Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga
keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan
kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga
menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan
hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal
ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas
pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan
berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan
bahasa Mandarin.[butuh rujukan] Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan
akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa
Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak
dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit
adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa
Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini
adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana.
Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan
pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika
itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia
dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air.[butuh
rujukan] Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi

sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan[butuh rujukan].
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih
untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan
dirinya.[butuh rujukan]

Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru


Pada masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa
Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan
slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh
pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat
penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama
ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. [butuh rujukan] Namun dampak
negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya
marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap
penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul
tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen
anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang
Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain
dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di
Kalimantan.[17] Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa
diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber
alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.

Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru

 Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70
dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565[butuh rujukan]
 Sukses transmigrasi
 Sukses KB
 Sukses memerangi buta huruf
 Sukses swasembada pangan
 Pengangguran minimum
 Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
 Sukses Gerakan Wajib Belajar
 Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
 Sukses keamanan dalam negeri
 Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
 Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri[butuh
rujukan]

Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru


[butuh rujukan]

1. Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme


2. Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan
pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan
daerah sebagian besar disedot ke pusat
3. Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan
pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
4. Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang
memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun
pertamanya
5. Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata
bagi si kaya dan si miskin)
6. Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat
Tionghoa)
7. Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
8. Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang
dibredel
9. Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan
program "Penembakan Misterius"
10. Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke
pemerintah/presiden selanjutnya)
11. Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit
Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa
birokrasi yang efektif negara pasti hancur.[butuh rujukan]
12. Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik
sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
13. Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan
negara dipegang oleh swasta
9. Selama abad ke-18, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (disingkat VOC)
memantapkan dirinya sebagai kekuatan ekonomi dan politik di pulau Jawa
setelah runtuhnya Kesultanan Mataram. Perusahaan dagang Belanda ini telah
menjadi kekuatan utama di perdagangan Asia sejak awal 1600-an, tetapi pada
abad ke-18 mulai mengembangkan minat untuk campur tangan dalam politik
pribumi di pulau Jawa demi meningkatkan kekuasaan mereka pada ekonomi
lokal.

Namun korupsi, manajemen yang buruk dan persaingan ketat dari Inggris (East
India Company) mengakibatkan runtuhnya VOC menjelang akhir abad ke-18.
Pada tahun 1796, VOC akhirnya bangkrut dan kemudian dinasionalisasi oleh
pemerintah Belanda. Akibatnya, harta dan milik VOC di Nusantara jatuh ke
tangan mahkota Belanda pada tahun 1800. Namun, ketika Perancis menduduki
Belanda antara tahun 1806 dan 1815, harta tersebut dipindahkan ke tangan
Inggris. Setelah kekalahan Napoleon di Waterloo diputuskan bahwa sebagian
besar wilayah Nusantara kembali ke tangan Belanda.

Arsitek Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia

Dua nama menonjol sebagai arsitek Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia.


Pertama, Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal 1808-1811 ketika
Belanda dikuasai oleh Perancis dan, kedua, Letnan Inggris Stamford Raffles,
Gubernur Jenderal 1811-1816 ketika Jawa dikuasai Inggris. Daendels
mereorganisasi pemerintahan kolonial pusat dan daerah dengan membagi
pulau Jawa dalam distrik (yang juga dikenal sebagai residensi) yang dipimpin
oleh seorang pegawai negeri sipil Eropa - yang disebutkan residen - yang secara
langsung merupakan bawahan dari - dan harus melapor kepada - Gubernur
Jenderal di Batavia. Para residen ini bertanggung jawab atas berbagai hal di
residensi mereka, termasuk masalah hukum dan organisasi pertanian.
Raffles melanjutkan reorganisasi pendahulunya (Daendels) dengan
mereformasi pengadilan, polisi dan sistem administrasi di Jawa. Dia
memperkenalkan pajak tanah di Jawa yang berarti bahwa petani Jawa harus
membayar pajak, kira-kira nilai dua-perlima dari panen tahunan mereka,
kepada pihak berwenang. Raffles juga sangat tertarik dengan budaya dan
bahasa Jawa. Pada tahun 1817 ia menerbitkan bukunya The History of Java,
salah satu karya akademis pertama yang topiknya pulau Jawa. Namun,
reorganisasi administrasinya yang diterapkan Raffles juga berarti meningkatnya
intervensi pihak asing di masyarakat dan ekonomi Jawa, yang tercermin dari
meningkatnya jumlah pejabat peringkat menengah Eropa yang bekerja di
residensi-residensi di pulau Jawa. Antara tahun 1825 dan tahun 1890 jumlah ini
meningkat dari 73 menjadi 190 pejabat Eropa.

Sistem pemerintahan kolonial Belanda di Jawa adalah sistem yang direk


(langsung) maupun dualistik. Bersamaan dengan hirarki Belanda, ada hirarki
pribumi yang berfungsi sebagai perantara antara petani Jawa dan layanan sipil
Eropa. Bagian atas struktur hirarki pribumi ini terdiri dari para aristokrasi Jawa,
sebelumnya para pejabat yang mengelola pemerintahan Mataram. Namun,
karena dikuasai penjajah para priyayi ini terpaksa melaksanakan kehendak
Belanda.

Meningkatnya dominasi Belanda atas pulau Jawa tidak datang tanpa


perlawanan. Ketika Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan untuk
membangun jalan di tanah yang dimiliki Pangeran Diponegoro (yang ditunjuk
sebagai wali tahta Yogyakarta setelah kematian mendadak saudara tirinya), ia
memberontak dengan didukung oleh mayoritas penduduk di Jawa Tengah dan
ia menjadikannya perang jihad. Perang ini berlangsung tahun 1825-1830 dan
mengakibatkan kematian sekitar 215,000 orang, sebagian besar orang Jawa.
Tapi setelah Perang Jawa selesai - dan pangeran Diponegoro ditangkap -
Belanda jauh lebih kuat di Jawa dibanding sebelumnya.

Tanam Paksa atau Sistem Kultivasi di Jawa

Persaingan dengan para pedagang Inggris, Perang Napoleon di Eropa dan


Perang Jawa mengakibatkan beban finansial yang besar bagi Kerajaan Belanda.
Diputuskan bahwa Jawa harus menjadi sebuah sumber utama pendapatan
untuk Belanda dan karena itu Gubernur Jenderal Van den Bosch mendorong
dimulainya era Tanam Paksa (para sejarawan di Indonesia mencatat periode ini
sebagai era Tanam Paksa namun Pemerintah Kolonial Belanda
menyebutnya Cultuurstelsel yang berarti Sistem Kultivasi) di tahun 1830.
Dengan sistem ini, Belanda memonopoli perdagangan komoditi-komoditi
ekspor di Jawa. Terlebih lagi, pihak Belanda lah yang memutuskan jenis (dan
jumlah) komoditi yang harus diproduksi oleh para petani Jawa. Secara umum,
ini berarti para petani Jawa harus menyerahkan seperlima dari hasil panen
mereka kepada Belanda. Sebagai gantinya, para petani menerima kompensasi
dalam bentuk uang dengan harga yang ditentukan Belanda tanpa
memperhitungkan harga komoditi di pasaran dunia. Para pejabat Belanda dan
Jawa menerima bonus bila residensi mereka mengirimkan lebih banyak hasil
panen dari waktu sebelumnya, maka mendorong intervensi top-down dan
penindasan. Selain pemaksaan penanaman dan kerja rodi, pajak tanah Raffles
juga masih berlaku. Sistem Tanam Paksa menghasilkan kesuksesan keuangan.
Antara tahun 1832 dan 1852, sekitar 19% dari total pendapatan pemerintah
Belanda berasal dari koloni Jawa. Antara tahun 1860 dan 1866, angka ini
bertambah menjadi 33%.

Pada awalnya, Sistem Tanam Paksa itu tidak didominasi hanya oleh pemerintah
Belanda saja. Para pemegang kekuasaan Jawa, pihak Eropa swasta dan juga para
pengusaha Tionghoa ikut berperan. Namun, setelah 1850 - waktu Sistem Tanam
Paksa direorganisasi - Pemerintah Kolonial Belanda menjadi pemain utama.
Namun reorganisasi ini juga membuka pintu bagi pihak-pihak swasta untuk
mulai mendominasi Jawa. Sebuah proses privatisasi terjadi karena Pemerintah
Kolonial secara bertahap mengalihkan produksi komoditi ekspor kepada para
pengusaha swasta Eropa.

Zaman Liberal Hindia Belanda

Semakin banyak suara terdengar di Belanda yang menolak sistem Tanam Paksa
dan mendorong sebuah pendekatan yang lebih liberal bagi perusahaan-
perusahaan asing. Penolakan sistem Tanam Paksa ini terjadi karena alasan
kemanusiaan dan ekonomi. Pada 1870 kelompok liberal di Belanda
memenangkan kekuasaan di parlemen Belanda dan dengan sukses
menghilangkan beberapa ciri khas Sistem Tanam Paksa, seperti persentase
penanaman beserta keharusan menggunakan lahan dan tenaga kerja untuk
mengekspor hasil panen.

Kelompok liberal ini membuka jalan untuk dimulainya sebuah periode baru
dalam sejarah Indonesia yang dikenal sebagai Zaman Liberal (sekitar 1870-
1900). Periode ini ditandai dengan pengaruh besar dari kapitalisme swasta
dalam kebijakan kolonial di Hindia Belanda. Pemerintah Kolonial pada saat itu
kurang lebih memainkan peran sebagai pengawas dalam hubungan antara
pengusaha-pengusaha Eropa dengan masyarakat pedesaan Jawa. Namun, walau
kaum liberal mengatakan bahwa keuntungan pertumbuhan ekonomi juga akan
mengucur kepada masyarakat lokal, keadaan para petani Jawa yang menderita
karena kelaparan, kurang pangan dan penyakit tidak lebih baik dibandingkan
masa Tanam Paksa.

Abad ke-19 juga dikenal sebagai abad ekspansi karena Belanda melaksanakan
ekspansi geografis yang substantial di Nusantara. Didorong oleh mentalisme
imperialisme baru, negara-negara Eropa bersaing untuk mencari koloni-koloni
di luar benua Eropa untuk motif ekonomi dan status. Salah satu motif penting
bagi Belanda untuk memperluas wilayahnya di Nusantara - selain keuntungan
keuangan - adalah untuk mencegah negara-negara Eropa lain mengambil
bagian-bagian dari wilayah ini. Pertempuran paling terkenal (dan pertempuran
yang paling lama antara Belanda dan rakyat pribumi) selama periode ekspansi
Belanda abad ini adalah Perang Aceh yang dimulai pada tahun 1873 dan
berlangsung sampai 1913, berakibat pada kematian lebih dari 100,000 orang.
Namun, Belanda tidak pernah memegang kontrol penuh atas Aceh. Toh,
integrasi politik antara Jawa dan pulau-pulau lain di nusantara sebagai kesatuan
politis kolonial telah sebagian besar dicapai pada awal abad ke-20.

Politik Etis dan Nasionalisme Indonesia

Waktu perbatasan Hindia Belanda mulai mirip perbatasan yang ada di


Indonesia saat ini, Ratu Belanda Wilhelmina membuat pengumuman pada
pidato tahunannya di 1901 bahwa kebijakan baru, Politik Etis, akan diterapkan
di Hindia Belanda. Politik Etis ini (yang merupakan pengakuan bahwa Belanda
memiliki hutang budi kepada orang nusantara) bertujuan untuk meningkatkan
standar kehidupan penduduk asli. Cara untuk mencapai tujuan ini adalah
melalui intervensi negara secara langsung dalam kehidupan (ekonomi),
dipromosikan dengan slogan 'irigasi, pendidikan dan emigrasi'. Namun,
pendekatan baru ini tidak membuktikan kesuksesan yang signifikan dalam
meningkatkan standar kehidupan penduduk asli.

Politik Etis menyebabkan efek samping yang besar. Komponen pendidikan


dalam politik ini berkontribusi signifikan pada kebangkitan nasionalisme
Indonesia dengan menyediakan alat-alat intelektual bagi masyarakat Indonesia
untuk mengorganisir dan menyampaikan keberatan-keberatan mereka
terhadap Pemerintah Kolonial. Politik Etis ini memberikan kesempatan, untuk
sebagian kecil kaum elit Indonesia, untuk memahami ide-ide politik Barat
mengenai kebebasan dan demokrasi. Maka, untuk pertama kalinya orang-orang
pribumi mulai mengembangkan kesadaran nasional sebagai 'orang Indonesia'.
Pada 1908, para mahasiswa di Batavia mendirikan asosiasi Budi Utomo,
kelompok politis pribumi yang pertama. Peristiwa ini dianggap sebagai saat
kelahiran nasionalisme Indonesia. Hal ini memulai tradisi politik kerja sama
antara elit muda Indonesia dan para pejabat pemerintahan Belanda yang
diharapkan untuk membantu wilayah Hindia Barat mencapai kemerdekaan
yang terbatas.

Bab selanjutnya dalam proses kebangkitan nasionalisme Indonesia adalah


pendirian partai politik pertama berbasis masa, Sarekat Islam, pada tahun 1911.
Pada awalnya, organisasi ini didirikan untuk mendukung para pengusaha
pribumi terhadap pengusaha Tionghoa yang mendominasi ekonomi lokal
namum Sarekat Islam ini kemudian mengembangkan fokusnya dan
mengembangkan kedasaran politik populer dengan tendensi subversif.

Gerakan-gerakan penting lainnya yang menyebabkan terbukanya pemikiran


politik pribumi adalah Muhammadiyah, gerakan reformis sosio-religius Islam
yang didirikan pada tahun 1912 dan Asosiasi Sosial Demokrat Hindia, gerakan
komunis yang didirikan pada tahun 1914 yang menyebarluaskan ide-ide
Marxisme di Hindia Belanda. Perpecahan internal di gerakan ini kemudian
mendorong pendirian Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1920.

Pada awalnya, Pemerintah Kolonial Belanda mengizinkan pendirian gerakan-


gerakan politik lokal namun ketika ideologi Indonesia diradikalisasi pada tahun
1920an (seperti yang tampak dalam pemberontakan-pemberontakan komunis
di Jawa Barat dan Sumatra Barat di tahun 1926 dan 1927) Pemerintah Belanda
mengubahkan kebijakannya. Sebuah rezim yang relatif toleran digantikan
dengan rezim represif yang menekan semua tindakan yang diduga subversif.
Rezim represif ini hanya memperparah keadaan dengan meradikalisasi seluruh
gerakan nasionalis Indonesia. Sebagian dari para nasionalis ini mendirikan
Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pada tahun 1927 sebagai sebuah reaksi pada
rezim yang represif. Tujuannya adalah mencapai kemerdekaan penuh untuk
Indonesia.

Peristiwa penting lainnya bagi nasionalisme Indonesia adalah Sumpah Pemuda


pada tahun 1928. Pada kongres yang dihadiri organisasi-organisasi pemuda ini,
tiga idealisme diproklamasikan, menyatakan diri memiliki satu tanah air, satu
bangsa dan satu bahasa. Tujuan utama dari kongres ini adalah mendorong
persatuan antara kaum muda Indonesia. Di dalam kongres ini lagu yang
kemudian menjadi lagu kebangsaan nasional (Indonesia Raya)
dikumandangkan dan bendera nasional di masa kemerdekaan (merah-putih)
dikibarkan untuk yang pertama kalinya. Pemerintah Kolonial Belanda bertindak
dengan melakukan aksi-aksi penekanan. Para pemimpin nasionalis muda,
seperti Sukarno (yang di kemudian hari menjadi presiden pertama Indonesia)
dan Mohammad Hatta (wakil presiden Indonesia yang pertama) ditangkap dan
diasingkan.

Invasi Jepang ke Hindia Belanda

Penjahah Belanda cukup kuat untuk mencegah nasionalisme Indonesia dengan


cara menangkap para pemimpinnya dan menekan organisasi-organisasi
nasionalis namun mereka tidak bisa menghapuskan sentimen nasionalisme
yang telah tertanam. Orang-orang Indonesia, di sisi lain, tidak cukup kuat untuk
melawan pemimpin kolonialis dan karenanya membutuhkan bantuan dari luar
untuk menghancurkan sistem kolonial.

Pada Maret 1942, tentara Jepang, dibakar semangatnya oleh keinginan akan
minyak, menyediakan bantuan tersebut dengan menduduki Hindia Belanda.
Walau pada awalnya disambut sebagai pembebas oleh penduduk pribumi
Indonesia, mereka segera mengalami kesengsaraan di bawah penjajahan
Jepang: kekurangan makanan, pakaian dan obat beserta kerja paksa di bawah
kondisi yang menyiksa. Kurangnya makanan terutama disebabkan oleh
administrasi yang tidak kompeten, dan ini mengubah Jawa menjadi sebuah
pulau penuh kelaparan. Orang-orang Indonesia bekerja sebagai buruh paksa
(disebut romusha) ditempatkan untuk bekerja dalam proyek-proyek yang padat
karya di Jawa.

Waktu Jepang mengambil alih Hindia Belanda para pejabat Belanda


ditempatkan dalam kamp-kamp tawanan dan digantikan oleh orang-orang
Indonesia untuk mengerjakan tugas-tugas kepemerintahan. Tentara Jepang
mendidik, melatih dan mempersenjatai banyak kaum muda Indonesia dan
memberikan suara politik kepada para pemimpin nasionalis. Ini memampukan
para pemimpin nasionalis untuk mempersiapkan masa depan bangsa Indonesia
yang merdeka. Pada bulan-bulan terakhir sebelum penyerahan diri Jepang, yang
secara efektif mengakhiri Perang Dunia II, pihak Jepang memberikan dukungan
penuh pada gerakan nasionalis Indonesia. Hancurnya kekuasaan politik,
ekonomi, dan sosial Pemerintah Kolonial Belanda melahirkan sebuah era baru.
Pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia, dua hari setelah penjatuhan bom atom di Nagasaki.

10. Perlawanan Rakyat Indonesia Melawan Penjajah di Berbagai Daerah


Perlawanan Indonesia Terhadap Penjajah
Masjid Raya Baiturrahman
Perlawanan terhadap penjajahan pemerintah Hindia Belanda terjadi di berbagai
daerah di Indonesia. Abad 19 merupakan puncak perlawanan rakyat Indonesia
di berbagai daerah dalam usahanya menentang Pemerintah Hindia Belanda.
Kegigihan perlawanan rakyat Indonesia menyebabkan Belanda mengalami
krisis keuangan untuk biaya perang. Perlawanan di berbagai daerah tersebut
belum berhasil membuahkan kemerdekaan. Semua perlawanan dapat
dipadamkan dan kerajaan-kerajaan di Indonesia semakin mengalami
keruntuhan.

Kita dapat menelusuri jejak-jejak perlawanan tersebut dari berbagai


peninggalan yang masih ada hingga sekarang. Bahkan di berbagai daerah
didirikan berbagai museum untuk menjadi media pembelajaran masyarakat di
masa ini. Dengan mengunjungi berbagai museum dan berbagai tempat
peninggalan perlawanan rakyat Indonesia melawan Belanda, akan menggugah
semangat kebangsaan. kalian dapat menemukan berbagai peninggalan atau
museum perjuangan pada masa lalu di setiap daerah di Indonesia.

Apabila kalian tinggal di Maluku, kalian dapat mencari jejak peninggalan


perjuangan Pattimura, apabila kalian tinggal di Sulawesi kalian dapat
mengunjungi Benteng Rotterdam. Demikian juga di daerah-daerah lain, pasti
kalian dapat menemukan berbagai peninggalan pada masa perjuangan melawan
kolonialisme Belanda. Peninggalan di Yogyakarta adalah Goa Selarong, di
Sumatra Barat terdapat Benteng Fort de Kock, di Kalimantan kalian menemukan
peninggalan pada masa perang Banjar.

Peninggalan-peninggalan yang ada membuktikan keberanian rakyat Indonesia.


Apakah kalian pernah pergi mengunjungi berbagai peninggalan pada masa
perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda di atas? Bagaimana sikap
kalian terhadap peninggalan tersebut? Generasi sekarang harus merawat
peninggalan tersebut agar dapat belajar bagaimana perjuangan para pahlawan
pada masa lalu. Dengan demikian kalian akan semakin giat belajar dan
membangun bangsa Indonesia agar terus berjaya.
Saat masa penjajahan Hindia Belanda, perlawanan terhadap Pemerintah Hindia
Belanda terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Lokasi Indonesia pada
masa lalu sulit dijangkau, sehingga menyebabkan perlawanan rakyat tidak
dapat dilakukan secara serentak. Inilah salah satu faktor penyebab Hindia
Belanda dapat melumpuhkan perlawanan Bangsa Indonesia.
Beberapa contoh perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda yang
dilakukan oleh rakyat Indonesia adalah sebagai berikut.

1) Perang Saparua di Ambon


Pattimura
Merupakan perlawanan rakyat Ambon yang dipimpin Thomas Matulesi
(Pattimura). Dalam perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda tersebut,
seorang pahlawan wanita bernama Christina Martha Tiahahu melakukan
perlawanan dengan gagah berani. Perlawanan Pattimura dapat dikalahkan
setelah bantuan pasukan Hindia Belanda dari Jakarta datang. Pattimura
bersama tiga pengikutnya ditangkap dan akhirnya dihukum gantung.

2) Perang Paderi di Sumatra Barat


Merupakan perlawanan yang sangat menyita tenaga dan biaya sangat besar bagi
rakyat Minang dan Pemerintah Hindia Belanda. Bersatunya Kaum Paderi
(ulama) dan kaum adat melawan Pemerintah Hindia Belanda menyebabkan
Belanda kewalahan memadamkannya. Bantuan dari Aceh juga datang untuk
mendukung pejuang Paderi.

Pemerintah Hindia Belanda benar-benar menghadapi musuh yang tangguh.


Belanda menerapkan sistem pertahanan Benteng Stelsel. Benteng Fort de Kock
di Bukit tinggi dan Benteng Fort van der Cappelen merupakan dua benteng
pertahanannya. Dengan siasat tersebut akhirnya Belanda menang ditandai
dengan jatuhnya benteng pertahanan terakhir Paderi di Bonjol tahun 1837.
Tuanku Imam Bonjol kemudian ditangkap, dan diasingkan ke Priangan,
kemudian ke Ambon, dan terakhir di Menado hingga wafat tahun 1864.

3) Perang Diponegoro 1825-1830


Perang Diponegoro merupakan salah satu perang besar perlawanan terhadap
Pemerintah Hindia Belanda. Latar belakang perlawanan Pangeran Diponegoro
diawali dari campur tangan Belanda dalam urusan politik Kerajaan Yogyakarta.
Beberapa tindakan Belanda yang dianggap melecehkan harga diri dan nilai-nilai
budaya masyarakat Yogyakarta menjadi penyebab lain kebencian rakyat kepada
Belanda.

Pemerintah Hindia Belanda membangun jalan baru pada bulan Mei 1825.
Mereka memasang patok-patok pada tanah leluhur Pangeran Diponegoro.
Terjadi perselisihan saat pengikut Diponegoro Patih Danureja IV mencabuti
patok- patok tersebut. Belanda segera mengutus serdadu untuk menangkap
Pangeran Diponegoro. Perang tidak dapat dihindarkan lagi, pada tanggal 20 Juli
Tegalrejo sebagai basis pengikut Diponegoro direbut dan dibakar oleh Belanda.

Pada bulan Maret 1830 Diponegoro bersedia mengadakan perundingan dengan


Belanda di Magelang, Jawa Tengah. Perundingan tersebut hanyalah tipu
muslihat Belanda karena ternyata Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke
Manado, kemudian ke Makasar hingga wafat tahun 1855. Setelah berakhirnya
Perang Jawa (Diponegoro), tidak lagi muncul perlawanan yang lebih berat di
Jawa.

4) Perang Aceh
Semangat jihad (perang membela agama Islam) merupakan spirit perlawanan
rakyat Aceh terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Jendral Kohler terbunuh saat
pertempuran di depan masjid Baiturrahman Banda Aceh. Kohler meninggal
dekat sebuah pohon yang sekarang diberi nama Pohon Kohler. Siasat
konsentrasi stelsel dengan sistem bertahan dalam benteng besar oleh Belanda
tidak berhasil dalam perang itu. Belanda semakin terdesak, korban semakin
besar, dan keuangan terus terkuras.
Snouck Hurgroje
Pemerintah Hindia Belanda sama sekali kewalahan dan tidak mampu
menghadapi secara fisik perlawanan rakyat Aceh. Menyadari hal tersebut,
Belanda mengutus Dr. Snouck Hurgroje yang memakai nama samaran Abdul
Gafar (seorang ahli bahasa, sejarah ,dan sosial Islam) untuk mencari kelemahan
rakyat Aceh. Setelah lama belajar di Arab, Snouck Hugronje memberikan saran-
saran kepada Belanda mengenai cara mengalahkan orang Aceh. Menurut
Hurgronje, Aceh tidak mungkin dilawan dengan kekerasan, sebab karakter
orang Aceh adalah pantang menyerah, jiwa jihad orang Aceh sangat tinggi.

Taktik yang paling mujarab adalah dengan mengadu domba antara golongan
Uleebalang (bangsawan) dengan ulama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian
menjanjikan kedudukan pada Uleebalang yang bersedia damai. Taktik ini
berhasil, banyak Uleebalang yang tertarik pada tawaran Belanda. Belanda
memberikan tawaran kedudukan kepada para Uleebalang apabila kaum ulama
dapat dikalahkan. Sejak tahun 1898 kedudukan Aceh semakin terdesak. Belanda
mengumumkan perang Aceh selesai tahun 1904. Namun demikian perlawanan
rakyat Aceh secara sporadis masih berlangsung hingga tahun 1930-an.

5) Perlawanan Sisingamangaraja di Sumatra Utara


Perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda di Sumatra Utara dipimpin
oleh Sisingamangaraja XII, Perlawanan di Sumatra Utara berlangsung cukup
lama, yaitu selama 24 tahun. Pertempuran diawali dari Bahal Batu sebagai pusat
pertahanan Belanda tahun 1877.

Untuk menghadapi Perang Batak (sebutan perang di Sumatra Utara),


Pemerintah Hindia Belanda menarik pasukan dari Aceh. Pasukan
Sisingamangaraja dapat dikalahkan setelah Kapten Christoffel berhasil
mengepung benteng terakhir Sisingamangaraja di Pakpak. Kedua putra beliau
Patuan Nagari dan Patuan Anggi ikut gugur dalam pertempuran tersebut,
sehingga seluruh Tapanuli dapat dikuasai Belanda.

6) Perang Banjar
Pangeran Antasari
Perang Banjar berawal ketika Pemerintah Hindia Belanda ikut campur tangan
dalam urusan pergantian raja di Kerajaan Banjarmasin. Belanda memberi
dukungan kepada Pangeran Tamjid Ullah yang tidak disukai oleh rakyat.
Pangeran Antasari dengan kekuatan 300 prajurit menyerang tambang batu bara
milik Belanda di Pengaron pada tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan
demi peperangan dilakukan oleh Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan
Banjar. Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu
Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke
Puruk Cahu dengan dibantu para panglima dan prajuritnya yang setia.

Pemberontakan dilakukan oleh Prabu Anom dan Pangeran Hidayat. Pada tahun
1859, Pangeran Antasari memimpin perlawanan setelah Prabu Anom
tertangkap Belanda, dengan bantuan pasukan dari Belanda, pasukan Pangeran
Antasari dapat didesak. Tahun 1862 Pangeran Hidayat menyerah dan
berakhirlah perlawanan rakyat Banjar di pulau Kalilmantan. Perlawanan baru
benar-benar dapat dipadamkan pada tahun 1866.

7) Perang Jagaraga di Bali


Perang Jagaraga berawal saat Pemerintah Hindia Belanda dan kerajaan di Bali
bersengketa tentang hak tawan karang. Hak tawan karang berisi peraturan
bahwa setiap kapal yang kandas di perairan Bali merupakan hak penguasa di
daerah tersebut. Pemerintah Belanda memprotes Raja Buleleng yang menyita
dua kapal milik Belanda. Raja Buleleng tidak mau menerima tuntutan Belanda
untuk mengembalikan kedua kapalnya, persengketaan ini menyebabkan
Belanda melakukan serangan terhadap kerajaan Buleleng tahun 1846. Belanda
berhasil menguasai kerajaan Buleleng, sementara Raja Buleleng menyingkir ke
Jagaraga dengan dibantu oleh Kerajaan Karangasem.

Setelah berhasil merebut Benteng Jagaraga, Pemerintah Hindia Belanda


melanjutkan ekspedisi militernya pada tahun 1849. Dua kerajaan Bali, Gianyar
dan Klungkung menjadi sasaran Belanda. Tahun 1906, seluruh kerajaan di Bali
jatuh ke pihak Pemerintah Hindia Belanda setelah rakyat melakukan perang
habis-habisan sampai mati, yang dikenal dengan Perang Puputan.

8) Perang Tondano di Sulawesi Utara


Perang Tondano terjadi pada masa penjajahan HIndia Belanda, baik pada masa
VOC maupun pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Bangsa Spanyol sudah
sampai di tanah Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara sebelum kedatangan
bangsa Belanda. Hubungan dagang orang Minahasa dengan Spanyol terus
berkembang. Tetapi mulai abad XVII hubungan dagang antara mereka mulai
terganggu dengan kehadiran para pedagang dari Belanda. Waktu itu VOC
berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate.

VOC berusaha memaksakan kehendak mereka mereka agar orang-orang


Minahasa menjual hasil berasnya kepada VOC. Orang-orang Minahasa
menentang usaha monopoli dari VOC tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi VOC,
mereka memilih upaya memerangi orang-orang Minahasa. Untuk melemahkan
orang-orang Minahasa, VOC kemudian membendung Sungai Temberan.
Akibatnya aliran sungai tersebut meluap dan menggenangi tempat tinggal
rakyat dan para pejuang Minahasa. Orang-orang Minahasa kemudian pindah ke
Danau Tondano dengan rumah-rumah apung.

Perang Tondano terjadi lagi pada abad ke-19. Perang ini dilatarbelakangi oleh
kebijakan Gubernur Jenderal Daendels. Pada kebijakan itu, Minahasa dijatah
untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah 2000 orang yang akan dikirim ke
Jawa. Orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan program Belanda
untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial. Banyak di
antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru mengadakan
perlawanan terhadap Belanda.

Gubernur Prediger mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-


orang Minahasa di Tondano-Minawanua. Belanda menerapkan strategi dengan
membendung Sungai Temberan lagi. Prediger juga membentuk dua pasukan
tangguh. Pasukan pertama dipersiapkan untuk menyerang dari Danau Tondano
dan pasukan yang lain menyerang Minawanua dari darat. Tanggal 23 Oktober
1808 pertempuran mulai berlangsung dengan sengit. Pasukan Hindia Belanda
yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan merusak
pagar bamu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua,
sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua. Karena
waktu sudah malam maka para pejuang dengan semangat yang tinggi terus
bertahan dan melakukan perlawanan dari rumah ke rumah.

Pasukan Belanda merasa kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808
pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan Minawanua.
Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi
kehidupan. Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari
arah perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang dengan
hebatnya sehingga korbanpun berjatuhan dari pihak Belanda. Pasukan
Pemerintah Hindia Belanda kewalahan dan terpaksa ditarik mundur. Seiring
dengan itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga
mempersulit pasukan Belanda sendiri. Dari jarak jauh Belanda terus
menghujani meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif. Begitu
juga serangan yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang
orang-orang Tondano-Minawanua. Bahkan terpetikik berita kapal yang paling
besar yang di danau tenggelam.

Perang Tondano II ini berlangsung cukup lama, sampai bulan Agustus 1809.
Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan mulai ada kelompok dari
pejuang yang mulai memihak kepada Hindia Belanda. Namun dengan kekuatan
dan semangat yang ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan
atas gempuran pasukan Belanda yang terus menerus. Akhirnya pada tanggal 4-5
Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama
rakyat yang berusaha mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati dari
pada menyerah. Mayat-mayat mereka telah lenyap di dasar danau bersama
lenyapnya kemerdekaan dan kedaulatan tanah Minahasa.

Strategi Belanda Menghadapi Perlawanan terhadap Pemerintah Hindia


Belanda
Para pahlawan kita telah menunjukkan kegigihannya yang luar biasa melawan
penjajahan pemerintah Hindia Belanda. Namun, sampai akhir abad XIX, Belanda
belum juga berhasil diusir dari bumi Indonesia. Apakah kalian menemukan
hubungan lokasi Indonesia dengan kesulitan mengusir penjajah? Pada bagian
sebelumnya kalian telah mempelajari keunggulan lokasi Indonesia yang terdiri
atas iklim, geostrategis, dan kondisi tanah. Ketiga hal tersebut berdampak
langsung pada kegiatan ekonomi, transportasi, dan komunikasi. Kondisi
Indonesia yang berpulau-pulau menyulitkan transportasi dan komunikasi
masyarakat pada masa lalu. Akibatnya rakyat Indonesia melakukan perlawanan
hanya terbatas di daerahnya masing-masing. Hal ini dimanfaatkan Pemerintah
Hindia Belanda untuk melakukan strategi memecah belah bangsa Indonesia.

Pemerintah Hindia Belanda juga menggunakan strategi mengasingkan para


pimpinan perlawanan. Sebagai contoh Pangeran Diponegoro diasingkan di
Sulawesi, Cut Nya Dien di Jawa Barat, Tuanku Iman Bonjol juga diasingkan ke
Ambon. Strategi tersebut merupakan upaya Belanda memutus komunikasi
pemimpin dengan rakyatnya.

Terbatasnya komunikasi dan transportasi pada masa lalu, menyebabkan


terputusnya hubungan para pemimpin dengan pengikut. Para pemimpin tentu
akan kesulitan untuk memimpin perlawanan dengan surat-menyurat bukan?
EDISI 2
Perlawanan Menantang Penjajahan Belanda
1. Perlawanan Rakyat Mataram
Pada tahun 1628 dan 1629, Mataram melancarkan serangan besar-besaran
terhadap VOC di Batavia. Sultan Agung mengirimkan ribuan prajurit untuk
menggempur Batavia dari darat dan laut. Tahun 1628 perlawanan mengalami
kegagalan karena kurangnya persediaan makanan, 1629 berhasil
menghancurkan benteng Hollandia
2. Perlawanan Rakyat Makasar
Di Sulawesi Selatan VOC mendapat perlawanan dari rakyat Indonesia di bawah
pimpinan Sultan Hassanuddin. Namun Sultan Hassanudin dapat dikalahkan VOC
dengan politik adu dombanya antara Sultan Hassanudin dengan Aru
Palaka Perlawanan terhadap VOC di Pasuruan Jawa Timur dipimpin oleh
Untung Suropati.
3. Perlawanan Rakyat Banten
Sultan Ageng Tirtayasa mengobarkan perlawanan di daerah Banten. Namun
mengalami kegagalan karena VOC menerapkan politik adu domba (devide et
impera) antara Sultan Ageng Tirtayasa dan putranya Sultan Haji. Sultan Haji
yang dibantu VOC mengalahkan Sultan Ageng Tirtayasa
4. Perlawanan Rakyat Maluku
Tahun 1816 VOC datang dan menguasai Maluku. Dipimpin oleh Thomas
Matulessi (Kapten Pattimura), rakyat Maluku melakukan perlawanan pada
tahun 1817. Pattimura dibantu oleh Anthony Ribok, Philip Latumahina,
Ulupaha, Paulus Tiahahu, dan seorang pejuang wanita Christina Martha
Tiahahu. Pada tanggal 16 Desember 1817, Pattimura dihukum gantung di depan
Benteng Victoria di Ambon.
5. Perang Padri (1821-1837)
Perang Padri bermula dari pertentangan antara kaum adat dan kaum agama
(kaumPadri). Kaum Padri ingin memurnikan pelaksanaan agama Islam. Gerakan
Padri itu ditentang oleh kaum adat. Kaum adat minta bantuan kepada Belanda
dengan imbalan sebagian wilayah Minangkabau. Pasukan Padri dipimpin oleh
Datuk Bandaro. Setelah beliau wafat diganti oleh Tuanku Imam Bonjol. Pasukan
Padri dengan taktik perang gerilya, berhasil mengacaukan pasukan
Belanda. Pada tahun 1825 terjadi gencatan senjata. Belanda mengakui beberapa
wilayah sebagai daerah kaum Padri. Tahun 1830 kaum adat mulai banyak
membantu kaum Padri karena tidak menyukai kesewenangan Belanda. Tahun
1833 terjadi pertempuran hebat di daerah Agam, Belanda mengepung pasukan
Bonjol. Namun pasukan Padri dapat bertahan sampai dengan tahun 1837. Pada
tanggal 25 Oktober 1837, benteng Imam Bonjol dapat diterobos. Beliau
tertangkap dan diasingkan di Cianjur kemudian dipindahkan ke Minahasa
hingga wafat
6. Perang Diponegoro (1825-1830)
Perang Diponegoro berawal dari kekecewaan Pangeran Diponegoro atas
campur tangan Belanda terhadap istana dan tanah tumpah
darahnya. Kekecewaan itu memuncak ketika Patih Danureja atas perintah
Belanda memasang tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api melewati
makam leluhurnya. Dipimpin Pangeran Diponegoro, rakyat Tegalrejo
menyatakan perang melawan Belanda tanggal 20 Juli 1825. Diponegoro dibantu
oleh Pangeran Mangkubumi sebagai penasehat, Pangeran Ngabehi Jayakusuma
sebagai panglima, dan Sentot Ali Basyah Prawiradirja sebagai panglima
perang. Kyai Mojo dari Surakarta mengobarkan Perang Sabil. Antara tahun
1825-1826 pasukan Diponegoro mampu mendesak pasukan Belanda. Pada
tahun 1827, Belanda mendatangkan bantuan dari Sumatra dan
Sulawesi. Jenderal De Kock menerapkan taktik perang benteng stelsel. Taktik ini
berhasil mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro. Dalam perundingan
yang diadakan tanggal 28 Maret 1830 di Magelang, Pangeran Diponegoro
ditangkap Belanda. Beliau diasingkan dan meninggal di Makassar.
7. Perang Banjarmasin
Penyebab perang Banjarmasin adalah Belanda melakukan monopoli
perdagangan dan mencampuri urusan kerajaan. Perang Banjarmasin dipimpin
oleh Pangeran Antasari. Beliau didukung oleh Pangeran Hidayatullah. Pada
tahun 1862 Hidayatullah ditahan Belanda dan dibuang ke Cianjur. Pangeran
Antasari diangkat rakyat menjadi Sultan. Pangeran Antasari berusaha
mempertahankan wilayah Banjar dengan cara membakar stiap kapal Belanda
yang masuk wilayah Banjar. Tahun 1863 Belanda melancarkan serangan ke
seluruh wilayah Banjar hingga akhirnya Pangeran Antasari gugur.
8. Perang Bali (1846-1868)
Penyebab Perang Bali adalah pihak Belanda menolak hak Tawan Karang yang
diterapkan Kerajaan Buleleng. Belanda melakukan tiga kali penyerangan, yaitu
pada tahun 1846, 1848, dan 1849. Setelah Buleleng dapat ditaklukkan, rakyat
Bali mengadakan perang puputan, yaitu berperang sampai titik darah terakhir.
Di antaranya : (1) Perang Puputan Badung (1906),(2) Perang Puputan Kusumba
(1908), (3) Perang Puputan Klungkung (1908). Salah satu pemimpin
perlawanan rakyat Bali yang terkenal adalah Raja Buleleng dibantu oleh Gusti
Ketut Jelantik.
9. Perang Rakyat tapanuli
Tahun 1873 Belanda memasuki wilayah Tapanuli dengan alas an memadamkan
aktivitas pejuang Padri dan Aceh. Tahun 1878, Belanda menyerang
Tapanuli. Perang Tapanuli diawali dengan operasi militer yang dilakukan oleh
Jendral Van Daelen di pedalaman Aceh Tahun 1903-1904. Pada tahun 1904
Belanda kembali menyerangtanah Gayo. Pada saat itu Belanda juga menyerang
daerah Danau Toba. Pada tahun 1907, pasukan Belanda menyerang kubu
pertahanan pasukan Sisingamangaraja XII di Pakpak. Sisingamangaraja gugur
dalam penyerangan itu. Jenazahnya dimakamkan di Tarutung, kemudian
dipindahkan ke Balige.
10. Perang Aceh
Tahun 1873 Belanda melakukan serangan ke Aceh. Rakyat Aceh mengadakan
perlawanan di bawah pemimpin-pemimpin Aceh antara lain Panglima Polim,
Teuku Cik Ditiro, Teuku Ibrahim, Teuku Umar, dan Cut Nyak Dien. Tahun 1879
Belanda dapat menguasai Aceh. Belanda mengirim Dr. Snouck Hurgronje untuk
mempelajari sistem kemasyarakatan penduduk Aceh. Dari penelitian yang
dibuatnya, Hurgronje menyimpulkan bahwa kekuatan Aceh terletak pada peran
para ulama. Penemuannya dijadikan dasar untuk membuat siasat perang yang
baru. Belanda membentuk pasukan gerak cepat (Marchose) untuk mengejar dan
menumpas gerilyawan Aceh. Dengan pasukan marchose Belanda berhasil
mematahkan serangan gerilya rakyat Aceh. Tahun 1899, Teuku Umar gugur
dalam pertempuran di Meulaboh. Pasukan Cut Nyak Dien yang menyingkir ke
hutan dan mengadakan perlawanan juga dapat dilumpuhkan
Penjajahan Jepang
Dalam Perang Dunia II (1939-1945), Jepang bergabung dengan Jerman dan
Italia melawan Sekutu. Sekutu terdiri dari Amerika, Inggris, Belanda, dan
Perancis. Pada tanggal 8 Desember 1941 pasukan Jepang menyerang pangkalan
Angkatan Laut Amerika di Pearl Harbour (Hawai). Terjadilah Perang Pasifik
atau Perang Asia Timur Raya. Dalam waktu singkat, pasukan Jepang menyerbu
dan menduduki Filipina, Myanmar, Malaya, Singapura, dan Indonesia.

Ada beberapa alasan Jepang menduduki Indonesia, antara lain sebagai berikut.
· Indonesia kaya akan bahan-bahan mentah, seperti minyak bumi dan batu
bara.
· Wilayah Indonesia menghasilkan banyak produksi pertanian
yang dibutuhkan tentara Jepang dalam peperangan.
· Indonesia memiliki tenaga manusia dalam jumlah besar yang
diperlukan untuk membantu perang Jepang.
Pada Januari 1942 Jepang memasuki wilayah Indonesia. Tanggal 1 Maret 1942
pasukan Jepang berhasil mendarat di tiga tempat secara serempak di Pulau
Jawa, yaitu di Teluk Banten, Eretan Wetan (Pantura), dan Pasuruan (Jawa
Timur). Tanggal 5 Maret 1942 pasukan Jepang sudah berhasil menguasai
Batavia. Tanggal 8 Maret 1942 Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda
Letjen Ter Poorten atas nama Angkatan Perang Sekutu menyerah tanpa syarat
kepada Angkatan Perang Jepang yang dipimpin Letjen Hithoshi Imamura.
Upacara serah terima ditandatangani di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Setelah
menduduki Indonesia, Jepang berusaha menarik simpati rakyat Indonesia. Ada
tiga hal yang dilakukan Jepang, yaitu:
· mengijinkan mengibarkan bendera Merah Putih;
· mengijinkan rakyat Indonesia menyanyikan lagu Indonesia Raya;
· larangan menggunakan bahasa Belanda dalam pergaulan sehari-hari.
· Bahasa pergaulan sehari-hari diganti dengan bahasa Indonesia.
Untuk memikat hati rakyat, Jepang membuat propaganda tiga A. Propaganda
yang dilancarkan Jepang itu berisi: Jepang pemimpin Asia, Jepang pelindung
Asia, Jepang cahaya Asia.
Penderitaan rakyat pada masa pendudukan Jepang
Penderitaan rakyat Indonesia selama masa penjajahan Jepang antara lain
sebagai berikut:
1. Jepang merampas hasil pertanian rakyat, seperti padi dan jagung untuk
persediaan
makanan pasukan Jepang.
2. Pemerintah Jepang sangat ketat melakukan pengawasan terhadap
pemberitaan. Media
masa disegel.
3. Jepang juga memanfaatkan rakyat Indonesia untuk diperas tenaganya bagi
keperluan
Jepang. Para pekerja paksa pada zaman Jepang disebut romusha.
Selain romusha, banyak barisan dibentuk untuk kepentingan Jepang, seperti:
(1) Seinendan (barisan pemuda),
(2) Keibodan (Barisan Pembantu Polisi)
(3) Fujinkai (Barisan Wanita)
(4) Suishintai (Barisan Pelopor)
(5) Jibakutai (Barisan Berani Mati),
(6) Gakutotai (Barisan Pelajar),
(7) Peta (Pembela Tanah Air)

Banyak wanita Indonesia yang terpaksa melayani nafsu bejat pasukan


Jepang. Tanggal 16 April 1943 Jepang mendirikan Pusat tenaga Rakyat
(PUTERA) sebagai ganti Gerakan 3A yang dibubarkan pada November
1942. Jepang mengangkat tokoh-tokoh bangsa Indonesia sebagai pimpinan
PUTERA, yaitu : Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara dan KH. Mas
Mansyur yang dikenal dengan sebutan 4 serangkai. Tanggal 3 Oktober 1943
dibentuklah tentara Pembela Tanah Air (PETA). Anggota Peta berasal dari
putra-putri Indonesian yang mendapat pelatihan militer dari Jepang. Tujuan
pembentukan Peta adalah mempertahankan tanah air Indonesia dari serangan
sekutu. Tanggal April 1943 dibentuk Heiho yang dibentuk dari pemuuda-
pemudi Indonesia untuk membantu Jepang menghadapi serangan tentara
Sekutu
Perlawanan menentang Penjajahan Jepang
1. Perlawanan rakyat Aceh di Cot Plieng tahun 1942
Perlawanan ini dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil. Perlawanan rakyat Aceh
juga terjadi di
Mereudu pada tahun 1944.
2.Perlawanan di Kaplongan, Jawa Barat
Jepang memaksa petani di Kaplongan untuk menyerahkan sebagian hasil
buminya. Petani
marah. Terjadilah perlawanan terhadap pasukan Jepang.
3.Perlawanan di Lohbener, Jawa Barat
Petani di Lohbener menolak memberikan hasil panen padi kepada Jepang.
Terjadilah
peperangan terhadap pasukan Jepang yang dipimpin oleh H. Madriyas.
4.Perlawanan di Pontianak, Kalimantan Barat
Penduduk dipaksa untuk membuat pelabuhan dan lapangan terbang. Para
pemimpin
sepakat untuk menyerang Jepang. Perlawanan terjadi pada tanggal 16
Oktober 1943.
Mereka ditangkap dan dibunuh.
5. Perlawanan Peta di Gumilir, Cilacap
Perlawanan Peta Gumilir, Cilacap terjadi pada bulan Juni 1945. Perlawanan ini
dipimpin
oleh Kusaeri, komandan regu Peta di Cilacap. Kusaeri menyerah tetapi tidak
dijatuhi
hukuman. Sudirman berhasil menolong dan membebaskannya.
6.Perlawanan di Singaparna, Jawa Barat
Perlawanan Singaparna dipimpin oleh Kiai Haji Zainal Mustafa. Beliau
menolak seikeirei
(membungkukkan badan kepada Kai-sar Jepang Tenno Heika) dan menentang
romusha.
Beliau memandang hal itu bertentangan dengan ajaran Islam.
7. Perlawanan Peta di Blitar, Jawa Timur
Tentara Peta di Blitar memberontak di bawah pimpinan Shodanco F.X.
Supriyadi. Namun
Jepang dapat mematahkan perlawanan ini. Supriyadi dan teman-temanya
ditangkap oleh
tentara Jepang

Anda mungkin juga menyukai