Anda di halaman 1dari 23

SALSABILA

04011281722090
A5
Alpha 2017
LEARNING ISSUES
CORYNEBACTERIUM DIPHTERIAE
MORFOLOGI DAN IDENTIFIKASI

Korinebakteria berdiameter 0,5-1µm dan panjangnya beberapa micrometer. Ciri


khas bakteri ini adalah pembengkakan tidak teratur pada salah satu ujungnya yang
menghasilkan bentuk "gada”. Di dalam batang tersebut (sering di deket ujung) secara
tidak beraturan tersebut terdapat granula-granula yang dapat diwarnai dengan jelas
dengan zar warna anilin (agranula metakromatik) yang menyebabkan batang tersebut
berbentuk seperti tasbih. Tiap korinebakteria pada sediaan yang diwarnai cenderung
terletak paralel atau membentuk sudut lancip satu sama lain. Percabangan jarang
ditemukan.
Pada agar darah, C.diphtertiae tampak kecil ,bergranula, berwarna kelabu, dengan
batas-batas yang tidak teratur, dan memiliki daerah haemolisis yang kecil. Secara khas,
C.diphteriae mempunyai gambar : gravis, mitis, dan intermedius.
Corynebacteria bekerja dengan aerob pada sebagian perbenihan laboratorium.
Pada pembenihan Loeffler, korinebakteria tumbuh jauh lebih mudah daripada kuman
pathogen pernafasan lainnya. Kuman ini membentuk asam, tetapi tidak membentuk gas
pada beberapa karbohidrat.
Korinebakteria cenderung menjadi pleomorf pada morfologi mikroskopik dan pada
morfologi koloni. Bila bakteridifteria tidak toksigenik diinfeksi oleh bakteriofaga dari
bakteri difteria toksigenik tertentu, turunan dari bakteri yang terinfeksi akan bersifat
toksigenik atau lisogenik, dan kemudia sifat ini dapat diturunkan. Bila bakteria toksigenik
dibiak berturut-turut pada anti-serum spesifik terhadap faga tidak aktifyang ada di dalam
selnya, bakteri tersebut cenderung menjadi tidak toskigenik. Sehingga penambahan faga
cenderung menimbulkan toksigenitas (perubahan lisogenik). Pembentukan toksin
sebenarnya mungkin hanya terjadi bila profaga lisogenik C diphteriae terinduksi dan
melisiskan sel. ROksigenitas dikendalikan gen faga, sedangkan day invasi dikendalikan
oleh gen bakteri.
PATOGENESIS
Di alam, C. diptheriae terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, atau
pada kulit orang yang terinfeksi atau orang normal yang membawa bakteri. Bakteri
disebarkan melalui droplet atau kontak engan individu yang peka. Bakteria kemudian
tumbuh pada selaput mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri yang toksigenik itu mulai
menghasilkan toksin. Semua C.diphteriae yang toksigenik mampu mengeluarkan
eksooksin yang menimbulkan penyakit yang sama. Pembentukan toksin ini in vitro
terutama tergantung kadar besi. Selain itu tekanan osmotic, kadar asam amino, pH, dan
tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen yang cocok juga mempengaruhi
pembentukan toksin. Toksin difteri adalah polipetida tidak tahan panas (BM 62.000) yang
dapat mematikan pada dosis 0,1µg/kg.
PATOLOGI
Toksin difteria diabsorbsi ke dalam selaput mukosa dan menyebabkan destruksi
epitel dan respons peradangan superficial. Epitel yang mengalami nekrosis tertanam
dalam eksudat fibrin dan sel-sel darah merah dan putih, sehingga terbentuk
“pseudomembran” yang bewrana kelabu yang sering melapisi tonsil, faring, atau laring.
Setiap usaha untuk membuang pseudomembran akan merusak kapiler dan mengakibatkan
pendarahan. Kelenjar getah bening regional pada leher membran membesar dan dapat
terjadi edema yang nyata pada leher. Bakteria difteria dalam selaput terus menghasilkan
toksin secara aktif. Toksin ini diabsorbsi dan mengakibat kerusakan di tempat yang jauh,
khsusunya degenerasi parenkim, infiltrasi lemak dan nekrosis otot jantung, hati, ginjal,
dan adrenal, kadang-kadang terjadi juga pendarahan hebat. Toksin juga dapat
menyebabkan kerusakan saraf yang sering menyebabkan paralisis palatum mole, otot-otot
mata, atau ekstrimitas.
Difteria luka atau difteria difteria kulit terutama didapati di daerah tropic. Suatu
selaput dapat terbentuk pada luka terinfeksi yang tidak dapat sembuh. Namun, absorpsi
toksin biasanya sedikit dan efek sistemiknya tidak berarti. “Virulensi” baktei dofteria
disebabkan karena kemampuannya untuk menimbulkan infeksi, tumbuh cepat, dan
kemudian cepat mengeluarkan toksin yang diabsorbsi secara efektif.
PATOFISIOLOGI

Menempelnya Corynobacterium
diphtheria pada sel epitel mukosa
merupakan dasar patofisiologi difteri.
Bakteri ini kemudian akan melepaskan
eksotoksin dari endosomnya yang
menyebabkan reaksi inflamasi lokal
diikuti pengrusakan jaringan dan
nekrosis.
Fragmen Toksin A dan B
Toksin terdiri atas dua macam protein, A
dan B. Fragmen B berperan membuka
jalan bagi fragmen A untuk masuk ke dalam sel. Fragmen B akan menyebabkan proses
proteolisis melalui ikatan dengan reseptor pada permukaan sel host yang rentan. Hal ini
menyebabkan hancurnya lapisan membran lipid.
Fragmen A kemudian akan masuk melalui lapisan yang hancur tersebut. Fragmen ini
akan menonaktifkan faktor elongasi EF-2 pada sel yang akan menyebabkan terjadinya
blok pada sintesis protein sel yang akan berujung pada kematian sel. Proses ini
menyebabkan terbentuknya pseudomembran yang merupakan koagulasi nekrotik yang
terdiri atas fibrin, leukosit, eritrosit, sel epitel respiratorik yang mati, dan kuman.
Destruksi jaringan lokal menyebabkan toksin menyebar secara limfatik dan hematologik
menuju bagian lain tubuh, seperti miokardium, ginjal dan sistem saraf.
Perubahan Strain Corynobacterium diphtheria Nonpatogenik
Strain yang bersifat nonpatogenik pada dasarnya menimbulkan infeksi yang tidak terlalu
berbahaya, tetapi semenjak program vaksinasi berkembang, telah dilaporkan
kejadian strain patogenik C. diphtheria menyebabkan penyakit yang invasif.

RESISTENSI DAN IMUNITAS


Pada dasarnya penyakit difteria adalah akibat daya kerja toksin yang dibentuk
oleh organisme dan bukan karena invasi bakteri, resistensi terhadap penyakit sebagian
besarbergantung pada tersedianya antitoksin netralisasi spesifik dalam darah dan
jaringan. Umumnya difteria hanya menyerang orang yang tidak memiliki anti-toksin atau
yang anti-toksinnya kurang dari 0,01Lf unit/mL. Dapat diperkirakan berapa jumlah
relative antitoksin yang imiliki seseorang tetapi dua test yang digunakan untuk tujuan ini
tidak selalu tersedia:
1. Titrasi serum untuk kandungan anti-toksin sifatnya terlalu rumit untuk dikerjakan
secara rutin.
2. Uji Shick yang berdasarkan daya iritasi dan reaksi lokal terhadap antigen Shick
(toksin difteri yang telah diencerkan ) dengan anti-toksin yang telah “diobati” sebagai
control, juga jarang bila pernah dikerjakan sebelumnya dan antigen tersebut tidak
tersedia secara umum.

DIFTERIA
Difteria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium
diphtheriae. Bakteri ini merupakan bakteri batang gram positif tidak membentuk spora.
Pada kedua ujungnya bakteri ini memiliki granula metakromatik yang memberi
gambaran club shape pada pewarnaan gram. Bakteri ini dapat diisolasi di dalam loeffler
medium dan inokulasi pada blood tellurite agar menunjukkan koloni berwarna hitam. C.
diphtheriae memiliki 4 biotipe yaitu gravis, mitis, intermedius, dan belfanti.
Biotipe mitis adalah yang paling sering menimbulkan penyakit diantara biotipe lainnya.
Penyakit disebabkan oleh toxin diphtheria yang merupakan faktor virulensi
dari C. diphtheriae. Toxin ini dikode oleh gen tox yang dibawa oleh suatu bakteriofaga
lisogenik yaitu Beta-faga. Hanya galur C. diphtheriae yang memiliki gen tox ini lah yang
dapat menimbulkan penyakit. Galur lain yang tidak memiliki gen ini tidak bersifat
patogenik, akan tetapi galur ini dapat berubah menjadi patogenik bila ditransduksi oleh
bakteriofaga lisogenik beta-faga. Spesies bakteri coryneform lain yang dapat
menghasilkan toxin ini adalah Corynebacterium ulcerans yang juga dapat menimbulkan
manifestasi klinis difteri.
Toxin diphtheria memiliki 2 subunit dan 3 regio. Subunit A memiliki regio
katalitik, sedangkan subunit B memiliki regio pengikat reseptor (receptor-binding
region), dan regio translokasi (translocation region). Reseptor untuk toxin ini
adalah heparin-binding epidermal growth factor yang terdapat pada permukaan banyak
sel eukariotik, termasuk sel jantung dan sel saraf. Hal ini yang mendasari terjadinya
komplikasi kardiologis dan neurologis dari difteri. Begitu toxin difteri berlekatan dengan
sel host melalui ikatan antara heparin-binding epidermal growth factor dan receptor
binding regionsubunit B, regio translokasi disisipkan ke dalam membrane endosome
yang kemudian memungkinkan pergerakan region katalitik subunit A ke dalam sitosol.
Kemudian subunit A bekerja dengan cara menghentikan sintesis protein sel host. Subunit
A memiliki aktivitas enzimatik yang mampu memecah Nikotinamida dari Nicotinamide
Adenine Dinucleotide (NAD) dan kemudian mentransfer sisa ADP-ribosa dari hasil
pemecahan tadi menuju Elongation Factor-2 (EF-2). EF-2 yang ter-ADP ribosilasi ini
kemudian menjadi inaktif. EF-2 merupakan faktor yang penting dalam translasi protein,
sehingga sintesis protein seluler menjadi terganggu. Proses ini kemudian menyebabkan
nekrosis sel disertai dengan inflamasi dan eksudat fibrin yang memberikan
gambaran pseudomembrane. Bentukan pseudomembrane ini dapat menghambat jalan
napas, sehingga kematian akibat difteri timbul karena sumbatan jalan napas.

Manifestasi Klinis
Difteri pada umumnya merupakan penyakit pada anak. Manifestasi klinis disebakan oleh
penyebaran toxin diphtheria. Manifestasi klinis difteri dapat berupa :
1. Difteri hidung (anterior nasal diphtheria)
Gejala dapat berupa keluarnya pus dari hidung.
Biasanya timbul unilateral, kemudian purulent
discharge dapat keluar bersama dengan darah dan
timbul ekskoriasi pada area lubang hidung dan mulut
bagian atas. Difteri hidung pada umumnya timbul pada
bayi.

2. Difteri faucial
Bentuk ini merupakan bentuk tersering dari difteri. Gejala
dapat berupa tonsillitis disertai dengan pseudomembran
yang berwarna kuning keabuan pada salah satu atau kedua
tonsil. Pseudomembran dapat membesar hingga ke uvula,
palatum mole, orofaring, nasofaring, atau bahkan laring.
Gejala dapat disertai dengan mual, muntah, dan disfagia.

3. Difteri tracheolaryngeal
Difteri laring biasanya terjadi sekunder akibat difteri faucial.
Difteri tracheolaryngeal dapat menimbulkan gambaran
bullneck pada pasien difteri akibat cervical adenitis dan
edema yang terjadi pada leher. Timbulnya bullneck
merupakan tanda dari difteri berat, karena dapat timbul
obstruksi pernapasan akibat lepasnya
pseudomembran sehingga pasien membutuhkan
trakeostomi.

4. Difteri maligna
Hal ini merupakan bentuk difteri yang paling parah dari
difteri. Toxin secara cepat menyebar dengan demam tinggi,
denyut nadi cepat, penurunan tekanan darah dan sianosis.
Biasanya penyebaran membrane meluas dari tonsil, uvula,
palatum, hingga lubang hidung. Gambaran bullneck dapat
terlihat, dan timbul perdarahan dari mulut, hidung, dan kulit.
Gangguan jantung berupa heart block muncul beberapa hari
sesudahnya.

5. Difteri kutaneus

Difteri kutaneus saat ini lebih sering muncul ketimbang


penyakit nasofaring di negara barat. Hal ini berkaitan
dengan alkoholisme dan kondisi lingkungan yang tidak
higienis. Bentuknya dapat berupa pustule hingga ulkus
kronis dengan membrane keabuan yang kotor. Komplikasi
toksik dari difteri kutaneus ini jarang terjadi, dan jika
terjadi komplikasi, neuritis adalah komplikasi yang paling sering bermanifestasi
dibandingkan miokarditis.

Diagnosis

Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin


sangat mempengaruhi prognosis pasien. Penegakan diagnosis difteri didasarkan pada
temuan klinis tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Hal ini dikarenakan preparat smear
kurang dipercaya, dan hasil kultur membutuhkan waktu beberapa hari. Temuan
berupa faringitis dan/atau laryngitis disertai dengan pseudomembran, hoarseness dan
stridor, cervical adenitis dan bullneck merupakan temuan klinis bermakna sehingga
pasien harus segera diterapi dengan antitoksin. Pemeriksaan mikrobiologi biasanya
menggunakan blood tellurite agar untuk isolasi bakteri.

Diagnosis banding

 Difteria Hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea


(common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues
congenital).

 Difteria Faring, harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang


disebabkan oleh streptokokus (tonsillitis akut, septic sore throat), mononucleosis
infeksiosa, tonsillitis membranosa non-bakterial, tonsillitis herpetika primer,
moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi.
 Difteria Laring, gejala difteria laring menyerupai laryngitis, dapat menyerupai
infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring,
dan benda asing dalam laring.

 Difteria Kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan
oleh streptokokus atau stafilokokus.

Komplikasi

 Miokarditis

 Neuritis

Tata Laksana

 Penatalaksanaan umum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3
minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan
serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung
protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi
antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5
minggu. Khusus pada difteri laring di jaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer.

 Penatalaksanaan khusus

1. Antitoksin : Anti-Diphtheria Serum (ADS)

Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteria ditegakkan.


Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6,
angka kematian ini biasa meningkat sampai 30%.

Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit:

 Difteria Hidung 20.000 IU Intramuscular

 Difteria Tonsil 40.000 IU Intramuscular / Intravena


 Difteria Faring 40.000 IU Intramuscular / Intravena

 Difteria Laring 40.000 IU Intramuscular / Intravena

 Kombinasi lokasi diatas 80.000 IU Intravena

 Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 IU Intravena

 Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 IU Intravena

Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu,
oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus
disediakan larutan adrenalin 1:1000. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml
ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila
dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1
tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan
garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada
konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan
cara desentisasi (Besredka). Bila ujihipersensitivitas tersebut diatas negative, ADS
harus diberikan secara intravena. 1 vial ADS =10 cc = 20.000 IU.

Langkah-langkah pemberian ADS :

Jika uji sensitivitas positif : BESREDKA

1) 0,05 ADS ditambah 1 cc aquades diberikan injeksi sub cutan (SC).

2) 0,1 ADS ditambahkan 1 cc aquades diberikan injeksi sub cutan (SC).

3) 0.1 ADS murni diberikan injeksi SC

4) 0,2 cc ADS murni diberikan injeksi sub cutan (SC)/IM

5) 0,5 cc ADS murni diberikan injeksi sub cutan (SC)/IM

6) 2 cc ADS murni diberikan injeksi sub cutan (SC)/IM

7) 4 cc ADS murni diberikan injeksi sub cutan (SC)/IM

8) Sisanya diberikan semua bergantian kiri dan kanan

Atau bila keadaan penderita tidak memungkinkan bisa diberikan bertahap dengan jarak 15 menit.
Bila pada waktu pemberian BESREDKA terjadi alergi maka suntikan dosis obat diulang sama
dengan 1 tingkat/1 tahap sebelumnya.
Jika uji sinsitivitas negative: Diberikan melalui infus (Drip)

1. Pasang infus D5 ¼ Saline 200 cc + ADS dosis sesuai dengan berat ringan difteri yang
dialami, kemudian diberikan harus habis dalam waktu 4-6 jam.

 Bila mendapat ADS 20.000 bisa langsung diberikan secara IM, asal pasien tidak panas
atau nadi stabil/baik.

 Bila terjadi alergi selama pemberian melalui infus/dripp maka tetesan diperlambat dan
bila masih alergi pemberian diganti dengan cara BESREDKA.

2. Antibiotik

 Penicillin procain 50.000-100.000 IU/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari berturut-


turut

 Eritromycin 40-50 mg/kg/hari dibagi 4 dosis selama 10 hari

3. Kortikosteroid

Prednisone 2 mg/kgBB

 Pengobatan penyulit

Tracheostomi dilakukan jika terjadi sumbatan jalan napas.

Pencegahan

Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan tentang
bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang anak menderita difteria, kekebalan
terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi DPT dan pengobatan karier.
Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap
toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan demikian
memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita
difteri ringan.

Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya dibakukan,


dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar imunogenitas. Dua preparat toksoid
difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran kuantitas
toksoid. Preparat pediatric (yaitu DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri per
dosis 0,5mL; preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5
mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk dosis seri
primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya superior dan
reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang lebih tua, Td dianjurkan
untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid difteri yang lebih rendah cukup
imunogenik dan karena semakin kadar toksoid difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang
semakin tinggi. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Dapat
diberikan vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak umur lebih
dari 7 tahun diberikan vaksin Td, dibooster setiap 10 tahun.

Jadwal vaksinasi difteri :

 Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin mengandung-
difteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke empat adalah
bagian intergral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga.
Dosis booster siberikan umur 4-6 tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat diberikan
pada umur 4 tahun).

 Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL yang
mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8 minggu dan
dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.

 Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td. Mereka yang
mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus mengalami lima dosis
vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6 tahun. Untuk mereka yang mulai
pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin
mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau
dosis ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun.

EPIDEMIOLOGI

Global
Sejak penerapan Expanded Programme on Immunization (EPI) dimulai tahun 1977, insidensi
difteri di seluruh dunia menurun drastis. Kasus difteri yang tercatat berkurang dari hampir
10.000 kasus per tahun pada periode 2000-2004 menjadi 5288 kasus setiap tahunnya pada
periode 2005-2009. Namun, sejak tahun 2009, kasus difteri per tahunnya relatif stagnan. Wilayah
Asia Tenggara merupakan wilayah dengan kasus difteri terbanyak di seluruh dunia terutama
sejak tahun 2005.
Sementara itu, kasus difteri di Eropa dan Afrika mengalami penurunan. Walau demikian, Rusia
dan Ukraina memiliki tingkat kejadian difteri yang tinggi akibat kejadian luar biasa yang terjadi
di negara tersebut pada tahun 1990an.

Sejak tahun 2000, India menempati peringkat pertama jumlah kasus difteri terbanyak diikuti oleh
Indonesia dan Nepal. Selain itu, Nigeria pernah tercatat memiliki kasus difteri cukup banyak
pada periode 2000-2004, tetapi surveilans dan pelaporan yang tidak baik di periode berikutnya
membuat kasus difteri di Nigeria tidak menonjol.

Indonesia
Indonesia adalah salah satu negara dengan kasus difteri tertinggi di dunia. Selama sepuluh tahun
terakhir, kasus difteri terbanyak terjadi pada tahun 2012 di mana terdapat 1192 kasus difteri yang
tercatat. Selanjutnya, terjadi tren penurunan jumlah kasus mencapai 342 kasus pada tahun 2016
dengan provinsi Jawa Timur sebagai kontributor terbesar kasus difteri.

Namun, pada tahun 2017 terjadi peningkatan jumlah kasus difteri di Indonesia. Sejak 1 Januari
sampai dengan 4 November 2017, tercatat 591 kasus difteri dengan 32 kematian di 95
kabupaten/kota di 20 provinsi di Indonesia. Hal ini kemudian direspon oleh Kementerian
Kesehatan dengan melakukan respons cepat kejadian luar biasa (KLB) dengan langkah Outbreak
Response Immunization (ORI) pada 12 kabupaten/kota di 3 provinsi yang mengalami KLB,
yakni Banten, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Berdasarkan data Kemenkes RI, pada tahun 2015
cakupan vaksin DPT3 rutin di Indonesia mencapai 93,1%. Berdasarkan data tahun 2015,
sebanyak 37% kasus difteri merupakan penderita yang belum mendapatkan imunisasi DPT3.[8-
11]
Mortalitas
Tingkat mortalitas difteri sangat bervariasi, dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti bakteremia,
usia, serta adanya komplikasi seperti asfiksia maupun miokarditis. Tingkat mortalitas ini
diperkirakan sekitar 5-10% pada populasi umum dan meningkat tajam hingga 30-40% jika
terjadi bakteremia. Tingkat mortalitas pada anak-anak kurang dari lima tahun dan dewasa lebih
dari 40 tahun sebesar 20%. Jika terjadi komplikasi, kematian umumnya terjadi pada hari ketiga
atau keempat.
Referensi :

1. Farrar J, Hotez PJ, Junghanss T, Kang G, Lalloo D, White NJ. 2014. Manson’s Tropical
Diseases, Twenty-Third Edition. Elsevier, Philadelphia.

2. Murray PR, Rosenthal KS, Pfaller MA. 2013. Medical Microbiology, Seventh Edition.
Elsevier, Philadelphia.

3. Brooks GF, Caroll KC, Butel JS, Morse, SA, Mietzner, TA. 2013. Jawetz, Melnick
&Adelberg’s Medical Microbiology International Edition, Twenty Sixth. ed. McGraw-
Hill Companies, New York.

4. Levinson, Warren. 2014. Review of Medical Microbiology and Immunology, Thirteenth


Edition. McGraw-Hill Companies, New York.

5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jadwal Imunisasi Anak Umur 0-18 Tahun. 2014.

6. Nyoman, Kadun I, 2006, Manual Pemberantasan Penyakit Menular, CVInfomedika,


JakartaDitjen P2PL, Depkes RI,
7. Revisi Buku Pedoman Penyelidikan danPenanggulangan Kejadian Luar Biasa (Pedoman
EpidemiologiPenyakit),2007, JakartaDitjen P2PL, Depkes RI,
8. Panduan Praktis Surveilens Epidemiologi Penyakit, 2003, Jakarta,Ditjen P2PL, Depkes
RI,
9. Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas, 2005,JakartaKartono, 2008,
10. Lingkungan Rumah dan Kejadian Difteri di KabupatenTasikmalaya dan Kabupaten
Garut
11. , Jurnal Kesehatan Masyarakat NasionalVol.2 No.5Profil,2004,Profil Kesehatan
http:// www.Bank Data/Depkes.go.id/,KJ,2007.
12. Difteri,http://.WWW.Balita Anda.Com ,2007
13. Difteriae,http://Medlineplus.com/Difteriae,2007Wijaya Kusuma, 2004, Difteri,
14. Cara Mencegah dan Mengatasinya, http:/Cyberhelath.com,2004Supriyanto,dkk, 2008,
15. Reaksi Kekebalan Anak Sekolah Terhadap Toksoid Difteri
http:/www.kalbe.co.id/files/cdk/files/2008Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr.Sulianti
Saroso, 2007,
16. Imunisasi ,http:/www.info@infeksi.comBiofarma, 2007,
17. Vaksinasi http:/www.biofarma.com,2007Seksi P & SE, 2008,
18. KLB Difteri Jatim,Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur,2008
ANALISIS MASALAH
a. Bagaimana faktor resiko terjadinya penyakit ini? 1, 2

Faktor Host :

Menurut teori Achmadi, faktor host pada timbulnya suatu penyakit sangat luas.
Hubungan interaktif antara faktor penyebab, faktor lingkungan penduduk berikut
perilakunya dapat diukur dalam konsep yang diukur sebagai perilaku pemajanan. Faktor
host yang mempengaruhi kejadian penyakit pada umumnya adalah umur, jenis kelamin,
status imunisasi, status gizi dan staus sosial ekonomi, juga perilaku.
Umur: Umur merupakan faktor host yang terpenting dalam munculnya penyakit. Hal ini
berhubungan dengan kerentanan yang ada pada host yang dipengaruhi faktor umur. Ada
beberapa penyakit yang dominan menyerang pada kelompok anak-anak umur tertentu
atau sebaliknya ada yang hanya menyerang pada golongan umur lanjut usia. Menurut
sejarah difteri masih merupakan penyakit utama yang menyerang masa anak-anak,
populasi yang dipengaruhi adalah usia dibawah 12 tahun. Bayi akan mudah terserang
penyakit difteri antara usia 6 – 12 bulan setelah imunitas bawaan dari ibu melalui
transplasenta menurun.
Penyakit difteri banyak menyerang kelompok umur anak-anak. Sementara menurut data
CDC’s National Notifiable Diseases Surveillance System, mayoritas kasus difteri (77%)
berusia antara 15 tahun atau lebih tua, 4 dari 5 kematian terjadi pada anak yang tidak
divaksinasi. Namun setelah dilakukannya program imunisasi kasus difteri pada anak-anak
menurun secara drastis. Bahkan pada saat ini difteri telah bergeser pada populasi remaja
dan dewasa.

Status Imunisasi :
Sebagaimana kita mafhum, faktor imunitas sangat berpengaruh pada timbulnya suatu
penyakit, termasuk difteri. Sistem imunitas yang terbentuk pada tubuh seseorang ada
yang didaptkan secara alamiah atau buatan. Untuk imunitas alamiah ada yang bersifat
aktif yaitu imunitas yang diperoleh karena tubuh pernah terinfeksi agent penyakit
sehingga tubuh memproduksi antibodi dan bersifat dan bersifat tahan lama. Imunitas
alamiah pasif adalah imunitas yang dimiliki bayi yang berasal dari ibu yang masuk
melalui plasenta, imunitas seperti ini tidak tahan lama dan biasanya akan menghilang
sebelum 6 bulan. Imunitas dapatan juga ada yang bersifat aktif yaitu jika host telah
mendapat vaksin atau toksoid, sedangkan imunitas dapatan pasif jika host diberi gamma
globulin dan berlangsung hanya 4-5 minggu.
Vaksin dapat melindungi dari infeksi dan diberikan pada masa bayi. Pemberian imunisasi
pada sebagian besar komunitas akan menurunkan penularan penyebab penyakit dan
mengurangi peluang kelompok rentan untuk terpajan agen tersebut. Imunisasi selain
dapat melindungi terhadap infeksi akan memperlambat laju akumulasi individu yang
rentan terhadap penyakit tersebut.

Terbentuknya tingkat imunitas di kelompok masyarakat sangat mempengaruhi timbulnya


penyakit di masyarakat, dengan terbentuknya imunitas kelompok, anak yang belum
diimunisasi akan tumbuh menjadi besar atau dewasa tanpa pernah terpajan oleh agen
infeksi tersebut. Akibatnya bisa terjadi pergeseran umur rata-rata kejadian infeksi ke
umur yang lebih tua.

Faktor status gizi dan sosial ekonomi : Faktor sosial yang terkait erat dan berkontribusi
besar dalam penyebaran difteri adalah kemiskinan yang terkait dengan aspek kepadatan
hunian dan rendahnya hygiene sanitasi kulit.

Terdapat hubungan yang saling terkait antara asupan gizi dan penyakit infeksi. Pasa satu
sisi penyakit infeksi menyebabkan hilangnya nafsu makan, sehingga asupan gizi menjadi
berkurang, sebaliknya tubuh sedang memerlukan masukan yang lebih banyak
sehubungan dengan adanya destruksi jaringan dan suhu yang meninggi, hingga anak
dalam malnutrisi marginal menjadi lebih buruk keadaannya. Keadaan gizi yang
memburuk menurunkan daya tahan terhadap infeksi sehingga akan lebih cepat menjadi
sakit. Sementara berkurangnya antibodi dan sistem imunitas akan mempermudah tubuh
terserang infeksi seperti; pilek, batuk dan diare.

Faktor Perilaku:

Kebiasaan yang dilakukan sehari-hari yang dapat mempengaruhi terjadinya penularan


atau penyebaran penyakit difteri adalah sebagai berikut : tidak menutup mulut bila batuk
atau bersin sehingga mempermudah penularan penyakit pada orang lain, membuang
ludah/dahak tidak pada tempatnya, tidak membuka jendela, mencuci alat makan dengan
bersih, memakai alat makan bergantian.
Faktor Lingkungan:
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian difteri antara lain meliputi tingkat
kepadatan hunian rumah, sanitasi rumah, serta faktor pencahayaan dan ventilasi. Faktor
lingkungan yang dapat mempengaruhi munculnya penyakit seperti kita ketahui ada
lingkungan fisik biologi, social dan ekonomi. Faktor lingkungan fisik yang meliputi
kondisi geografi, udara, musim dan cuaca sangat mempengaruhi kerentanan seseorang
terhadap jenis penyakit tertentu. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan seseorang dalam
adapatasi dengan lingkungannya tersebut.
Lingkungan biologi terkait dengan vektor atau reservoir penyakit. Sementara faktor
lingkungan lain dapat diperankan oleh lingkungan sosial ekonomi. Antara faktor sosial
dan ekonomi saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Beberapa faktor
lingkungan sosial ekonomi berkaitan dengan penyakit adalah kepadatan hunian,
stratifikasi sosial, kemiskinan, ketersediaan dan keterjangkauan fasilitas kesehatan,
perang, bencana alam.

Kepadatan penduduk yang tidak seimbang dengan luas wilayah memunculkan slum area
dengan segala problem kesehatan masyarakatnya. Sementara ditingkat rumah tangga,
kepadatan hunian rumah berpotensi melebihi syarat yang telah ditentukan. Ukuran
kepadatan hunian rumah ini antara lain bisa dilihat dari kepadatan hunian ruang tidur.
Standar yang dipersyaratkan sesuai Kepmenkes RI No. 829/MENKES/SK/VII/1999
tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas ruang tidur minimal 8 meter persegi dan
tidak dianjurkan digunakan oleh lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali
anak dibawah umur 5 tahun.

Sedangkan standar luas ventilasi minimal 10% dari luas lantai dan sebaiknya udara yang
masuk adalah udara segar dan bersih. Selain aspek tersebut, persyaratan rumah sehat lain
adalah pencahayaan alami, yang berfungsi sebagai penerangan juga mengurangi
kelembaban ruangan, serta membunuh kuman penyakit karena sinar ultra violet yang
berasal dari cahaya matahari.

Selain faktor kepadatan hunian, mobilitas penduduk yang tinggi juga berpotensi
meningkatkan resiko kejadian difteri. Moblitas tinggi meningkatkan resiko kemungkinan
membawa bibit penyakit dari satu daerah ke daerah lainnya.

Interaksi Faktor Penyebab, Host dan Lingkungan

Interaksi antara faktor penyebab, host dan lingkungan adalah keadaan yang saling
mempengaruhi dalam menimbulkan suatu penyakit, Sesuai teori John Gordon suatu
penyakit dapat timbul karena terjadi ketidak seimbangan antara penyebab penyakit
dengan host, ketidak seimbangan mana bergantung pada sifat alami dan karakteristik dari
faktor penyebab dan host baik secara individu maupun kelompok dan karakteristik faktor
penyebab dan host berikut interaksinya secara langsung berhubungan dengan dan
tergantung pada keadaan alami dari lingkungan sosial, fisik, ekonomi dan biologis.
Terjadinya penyakit difteri juga disebabkan adanya perubahan keseimbangan yaitu
adanya perubahan pada faktor host, misalnya bertambahnya jumlah orang yang rentan
terhadap Corynebacterium diphtheria. Kerentanan dipengaruhi oleh berbagai faktor
seperti status imunisasi, status gizi, faktor sosial ekonomi dan perilaku host.

b. Bagaimana mekanisme nyeri menelan pada kasus ini? 2, 3


c. Mengapa keluhan disertai batuk berdahak dan pilek tanpa sesak nafas dan suara
serak? 2, 3
d. Mengapa demam tinggi pada anak laki-laki ini tidak disertai dengan menggigil,
kejang, mual, dan muntah? 2, 3
e. Bagaimana hubungan keluhan yang dialami anak tersebut dengan penurunan
nafsu makan? 2,3
f. Mengapa BAK dan BAB tetap normal?
g. Bagaimana tahap perkembangan keluhan yang dialami anak laki-laki tersebut? 2,
3
h. Bagaimana hubungan riwayat keluarga dengan penyakit yang dialami? 2
i. Bagaimana patofisiologi dari difteri? 1,2
Menempelnya Corynobacterium diphtheria pada sel epitel mukosa merupakan dasar
patofisiologi difteri. Bakteri ini kemudian akan melepaskan eksotoksin dari endosomnya
yang menyebabkan reaksi inflamasi lokal diikuti pengrusakan jaringan dan nekrosis.
Fragmen Toksin A dan B
Toksin terdiri atas dua macam protein, A dan B. Fragmen B berperan membuka jalan bagi
fragmen A untuk masuk ke dalam sel. Fragmen B akan menyebabkan proses proteolisis
melalui ikatan dengan reseptor pada permukaan sel host yang rentan. Hal ini
menyebabkan hancurnya lapisan membran lipid.
Fragmen A kemudian akan masuk melalui lapisan yang hancur tersebut. Fragmen ini
akan menonaktifkan faktor elongasi EF-2 pada sel yang akan menyebabkan terjadinya
blok pada sintesis protein sel yang akan berujung pada kematian sel. Proses ini
menyebabkan terbentuknya pseudomembran yang merupakan koagulasi nekrotik yang
terdiri atas fibrin, leukosit, eritrosit, sel epitel respiratorik yang mati, dan kuman.
Destruksi jaringan lokal menyebabkan toksin menyebar secara limfatik dan hematologik
menuju bagian lain tubuh, seperti miokardium, ginjal dan sistem saraf.
Perubahan Strain Corynobacterium diphtheria Nonpatogenik
Strain yang bersifat nonpatogenik pada dasarnya menimbulkan infeksi yang tidak terlalu
berbahaya, tetapi semenjak program vaksinasi berkembang, telah dilaporkan
kejadian strain patogenik C. diphtheria menyebabkan penyakit yang invasif.

j. Bagaimana epidemiologi dari difteri? 1,2

Global
Sejak penerapan Expanded Programme on Immunization (EPI) dimulai tahun 1977,
insidensi difteri di seluruh dunia menurun drastis. Kasus difteri yang tercatat berkurang
dari hampir 10.000 kasus per tahun pada periode 2000-2004 menjadi 5288 kasus setiap
tahunnya pada periode 2005-2009. Namun, sejak tahun 2009, kasus difteri per tahunnya
relatif stagnan. Wilayah Asia Tenggara merupakan wilayah dengan kasus difteri
terbanyak di seluruh dunia terutama sejak tahun 2005.
Sementara itu, kasus difteri di Eropa dan Afrika mengalami penurunan. Walau demikian,
Rusia dan Ukraina memiliki tingkat kejadian difteri yang tinggi akibat kejadian luar biasa
yang terjadi di negara tersebut pada tahun 1990an.

Sejak tahun 2000, India menempati peringkat pertama jumlah kasus difteri terbanyak
diikuti oleh Indonesia dan Nepal. Selain itu, Nigeria pernah tercatat memiliki kasus
difteri cukup banyak pada periode 2000-2004, tetapi surveilans dan pelaporan yang tidak
baik di periode berikutnya membuat kasus difteri di Nigeria tidak menonjol.

Indonesia
Indonesia adalah salah satu negara dengan kasus difteri tertinggi di dunia. Selama
sepuluh tahun terakhir, kasus difteri terbanyak terjadi pada tahun 2012 di mana terdapat
1192 kasus difteri yang tercatat. Selanjutnya, terjadi tren penurunan jumlah kasus
mencapai 342 kasus pada tahun 2016 dengan provinsi Jawa Timur sebagai kontributor
terbesar kasus difteri.

Namun, pada tahun 2017 terjadi peningkatan jumlah kasus difteri di Indonesia. Sejak 1
Januari sampai dengan 4 November 2017, tercatat 591 kasus difteri dengan 32 kematian
di 95 kabupaten/kota di 20 provinsi di Indonesia. Hal ini kemudian direspon oleh
Kementerian Kesehatan dengan melakukan respons cepat kejadian luar biasa (KLB)
dengan langkah Outbreak Response Immunization (ORI) pada 12 kabupaten/kota di 3
provinsi yang mengalami KLB, yakni Banten, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Berdasarkan
data Kemenkes RI, pada tahun 2015 cakupan vaksin DPT3 rutin di Indonesia mencapai
93,1%. Berdasarkan data tahun 2015, sebanyak 37% kasus difteri merupakan penderita
yang belum mendapatkan imunisasi DPT3.[8-11]
Mortalitas
Tingkat mortalitas difteri sangat bervariasi, dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
bakteremia, usia, serta adanya komplikasi seperti asfiksia maupun miokarditis. Tingkat
mortalitas ini diperkirakan sekitar 5-10% pada populasi umum dan meningkat tajam
hingga 30-40% jika terjadi bakteremia. Tingkat mortalitas pada anak-anak kurang dari
lima tahun dan dewasa lebih dari 40 tahun sebesar 20%. Jika terjadi komplikasi, kematian
umumnya terjadi pada hari ketiga atau keempat.

k. Bagaimana etiologi dari difteri? 1,2


Difteria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium
diphtheriae. Bakteri ini merupakan bakteri batang gram positif tidak membentuk spora.
Pada kedua ujungnya bakteri ini memiliki granula metakromatik yang memberi
gambaran club shape pada pewarnaan gram. Bakteri ini dapat diisolasi di dalam loeffler
medium dan inokulasi pada blood tellurite agar menunjukkan koloni berwarna hitam. C.
diphtheriae memiliki 4 biotipe yaitu gravis, mitis, intermedius, dan belfanti.
Biotipe mitis adalah yang paling sering menimbulkan penyakit diantara biotipe lainnya.

l. Bagaimana patogenesis dari difteri? 1,2


Di alam, C. diptheriae terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, atau pada
kulit orang yang terinfeksi atau orang normal yang membawa bakteri. Bakteri disebarkan
melalui droplet atau kontak engan individu yang peka. Bakteria kemudian tumbuh pada
selaput mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri yang toksigenik itu mulai menghasilkan
toksin. Semua C.diphteriae yang toksigenik mampu mengeluarkan eksooksin yang
menimbulkan penyakit yang sama. Pembentukan toksin ini in vitro terutama tergantung
kadar besi. Selain itu tekanan osmotic, kadar asam amino, pH, dan tersedianya sumber-
sumber karbon dan nitrogen yang cocok juga mempengaruhi pembentukan toksin. Toksin
difteri adalah polipetida tidak tahan panas (BM 62.000) yang dapat mematikan pada dosis
0,1µg/kg.

m. Bagaimana cara menegakkan diagnosis pada difteri? 1,2

Diagnosis

Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin


sangat mempengaruhi prognosis pasien. Penegakan diagnosis difteri didasarkan pada
temuan klinis tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Hal ini dikarenakan preparat smear
kurang dipercaya, dan hasil kultur membutuhkan waktu beberapa hari. Temuan
berupa faringitis dan/atau laryngitis disertai dengan pseudomembran, hoarseness dan
stridor, cervical adenitis dan bullneck merupakan temuan klinis bermakna sehingga
pasien harus segera diterapi dengan antitoksin. Pemeriksaan mikrobiologi biasanya
menggunakan blood tellurite agar untuk isolasi bakteri.

Diagnosis banding

 Difteria Hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea


(common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues
congenital).

 Difteria Faring, harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang


disebabkan oleh streptokokus (tonsillitis akut, septic sore throat), mononucleosis
infeksiosa, tonsillitis membranosa non-bakterial, tonsillitis herpetika primer,
moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi.

 Difteria Laring, gejala difteria laring menyerupai laryngitis, dapat menyerupai


infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring,
dan benda asing dalam laring.

 Difteria Kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan
oleh streptokokus atau stafilokokus.

n. Bagaimana pengobatan dan pencegahan dari difteri? 1,2

 Penatalaksanaan umum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3
minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan
serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung
protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi
antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5
minggu. Khusus pada difteri laring di jaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer.

 Penatalaksanaan khusus

1. Antitoksin : Anti-Diphtheria Serum (ADS)

Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteria ditegakkan.


Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6,
angka kematian ini biasa meningkat sampai 30%.

Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit:

 Difteria Hidung 20.000 IU Intramuscular

 Difteria Tonsil 40.000 IU Intramuscular / Intravena

 Difteria Faring 40.000 IU Intramuscular / Intravena


 Difteria Laring 40.000 IU Intramuscular / Intravena

 Kombinasi lokasi diatas 80.000 IU Intravena

 Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 IU Intravena

 Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 IU Intravena

Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu,
oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus
disediakan larutan adrenalin 1:1000. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml
ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila
dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1
tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan
garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada
konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan
cara desentisasi (Besredka). Bila ujihipersensitivitas tersebut diatas negative, ADS
harus diberikan secara intravena. 1 vial ADS =10 cc = 20.000 IU.

Langkah-langkah pemberian ADS :

Jika uji sensitivitas positif : BESREDKA

1) 0,05 ADS ditambah 1 cc aquades diberikan injeksi sub cutan (SC).

2) 0,1 ADS ditambahkan 1 cc aquades diberikan injeksi sub cutan (SC).

3) 0.1 ADS murni diberikan injeksi SC

4) 0,2 cc ADS murni diberikan injeksi sub cutan (SC)/IM

5) 0,5 cc ADS murni diberikan injeksi sub cutan (SC)/IM

6) 2 cc ADS murni diberikan injeksi sub cutan (SC)/IM

7) 4 cc ADS murni diberikan injeksi sub cutan (SC)/IM

8) Sisanya diberikan semua bergantian kiri dan kanan

Atau bila keadaan penderita tidak memungkinkan bisa diberikan bertahap dengan jarak 15 menit.
Bila pada waktu pemberian BESREDKA terjadi alergi maka suntikan dosis obat diulang sama
dengan 1 tingkat/1 tahap sebelumnya.

Jika uji sinsitivitas negative: Diberikan melalui infus (Drip)


2. Pasang infus D5 ¼ Saline 200 cc + ADS dosis sesuai dengan berat ringan difteri yang
dialami, kemudian diberikan harus habis dalam waktu 4-6 jam.

 Bila mendapat ADS 20.000 bisa langsung diberikan secara IM, asal pasien tidak panas
atau nadi stabil/baik.

 Bila terjadi alergi selama pemberian melalui infus/dripp maka tetesan diperlambat dan
bila masih alergi pemberian diganti dengan cara BESREDKA.

3. Antibiotik

 Penicillin procain 50.000-100.000 IU/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari berturut-


turut

 Eritromycin 40-50 mg/kg/hari dibagi 4 dosis selama 10 hari

4. Kortikosteroid

Prednisone 2 mg/kgBB

 Pengobatan penyulit

Tracheostomi dilakukan jika terjadi sumbatan jalan napas.

Pencegahan

Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan tentang
bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang anak menderita difteria, kekebalan
terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi DPT dan pengobatan karier.
Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap
toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan demikian
memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita
difteri ringan.

Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya dibakukan,


dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar imunogenitas. Dua preparat toksoid
difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran kuantitas
toksoid. Preparat pediatric (yaitu DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri per
dosis 0,5mL; preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5
mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk dosis seri
primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya superior dan
reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang lebih tua, Td dianjurkan
untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid difteri yang lebih rendah cukup
imunogenik dan karena semakin kadar toksoid difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang
semakin tinggi. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Dapat
diberikan vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak umur lebih
dari 7 tahun diberikan vaksin Td, dibooster setiap 10 tahun.

Jadwal vaksinasi difteri :

 Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin mengandung-
difteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke empat adalah
bagian intergral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga.
Dosis booster siberikan umur 4-6 tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat diberikan
pada umur 4 tahun).

 Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL yang
mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8 minggu dan
dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.

 Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td. Mereka yang
mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus mengalami lima dosis
vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6 tahun. Untuk mereka yang mulai
pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin
mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau
dosis ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun.

o. Bagaimana rantai penularan dari difteri? 1,2

Cara Penularan
Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderitamaupun
sebagai carier.Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderitapada masa inkubasi
atau kontak dengan carier . Caranya melalui pernafasan atau droplet infection.Masa
inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4minggu sejak masa
inkubasi, sedangkan masa penularancarier bisa sampai 6 bulan.Penyakit difteri yang
diserang terutama saluran pernafasan bagian atas. Ciri khasdari penyakit ini ialah
pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksi radang lokal , dimana
pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel darahputih sedang sel-sel epitel
disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membrane putihkeabu-abuan (psedomembrane).
Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini
bersarangkuman difteri dan kuman-kuman inimengeluarkan Exotoxin yang memberikan
gejala-gejala dan miyocarditis.

p. Bagaimana komplikasi dari difteri? 1,2


Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah
toksin,waktu antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.Komplikasi
difteri terdiri dari :
1.Infeksi sekunder,
biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus
2.Infeksi Lokal :
obstruksi jalan nafas akibat membran atau oedema jalannafas
3.Infeksi Sistemik karena efek eksotoksin
Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjutmenjadi
gagal jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf penyebab
gerakan tak terkoordinasi. Kerusakan saraf bahkan bisa berakibatkelumpuhan, dan
kerusakan ginjal.
q. Apabila telah sembuh, apakah ada kemungkinan terinfeksi lagi? 1,2

Anda mungkin juga menyukai