Anda di halaman 1dari 61

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan kasih-
Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan ini dengan judul "Laporan Tutorial Skenario C
Blok 14" dengan baik.
Penulis juga berterima kasih kepada dr. Eka Febri Zulissetiana yang telah
memberikan pedoman dalam melakukan tutorial, membuat laporan hasil tutorial, dan telah
memberi bimbingannya sebagai tutor sehingga kami bisa menyelesaikan masalah skenario
yang telah diberikan.
Penulis menyadari akan kekurangan dalam penulisan makalah ini. Maka dari itu,
kritik dan saran sangat diharapkan untuk memperbaiki dan mengembangkan isi dari makalah
ini.
Akhir kata, apabila ada kesalahan kata-kata, penulis meminta maaf dan diharapkan
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Kelompok A5

1
DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN ...................................................................................................... 3

BAB II : PEMBAHASAN ....................................................................................................... 4

SKENARIO C BLOK 14 ..................................................................................................... 4

I. Klarifikasi Istilah .................................................................................................... 5


II. Identifikasi Masalah ............................................................................................... 6
III. Analisis Masalah .................................................................................................... 8
IV. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan ........................................................................... 30
V. Keterkaitan Antarmasalah .................................................................................... 32
VI. Hipotesis ............................................................................................................... 33
VII. Sintesis.................................................................................................................. 33
1. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi pada Saluran Pernapasan Bawah ............ 33
2. Bronkopneumonia ......................................................................................... 41
3. Gejala pada Kasus .......................................................................................... 51
4. Pemeriksaan Fisik .......................................................................................... 52
5. Pemeriksaan Laboratorium dan Radiologi .................................................... 55
6. Imunisasi dan ASI Ekslusif ........................................................................... 57
VIII. Kerangka Konsep ................................................................................................. 58

BAB III : PENUTUP ............................................................................................................. 59

I. Kesimpulan............................................................................................................... 59

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 60

2
BAB I
PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
Blok Sistem Respirasi adalah blok ke-14 semester 4 dari Kurikulum Berbasis
Kompetensi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang. Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial menelaah skenariosebagai
bahan pembelajaran untuk berpikir kritis mengenai suatu kasus.

II. MAKSUD DAN TUJUAN


Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi ini, yaitu:
a. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
b. Dapat berpikir kritis terhadap kasus yang diberikan pada skenario dengan
metode analisis pembelajaran diskusi kelompok.
c. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.

III. DATA TUTORIAL


Tutor : dr. Eka Febri Zulissetiana
Moderator : M. Rafif Ginting
Sekretaris : Monica Karina W. dan Leonardo
Waktu :
1. Senin, 9 April 2018
Pukul 13.00 – 15.30 WIB
2. Rabu, 11 April 2018
Pukul 13.00 – 15.30 WIB

3
BAB II
PEMBAHASAN

SKENARIO C BLOK 14
Maya, anak perempuan, usia 2 tahun, dibawa ibunya ke dokter dengan keluhan batuk dan
sukar bernapas disertai demam sejak dua hari lalu, dan hari ini keluhannya bertambah berat.
Pemeriksaan Fisis:
Keadaan umum: Tampak sakit berat, kesadaran: kompos mentis,
RR: 60x/menit, Nadi: 110x/menit, reguler, Suhu: 39oC
Panjang badan: 85 cm, Berat Badan: 12 kg, Saturasi oksigen 90%
Keadaan spesifik:
Kepala: terdapat napas cuping hidung, tidak terdapat head bobbing.
Toraks: Paru: Inspeksi: simetris, retraksi intercostal, subcostal
Palpasi: stem fremitus kiri=kanan
Perkusi: redup pada basal kedua lapangan paru,
Auskultasi: peningkatan suara nafas vesikuler, ronki basah halus nyaring,
tidak terdengar wheezing.
Pemeriksaan lain dalam batas normal.
Informasi tambahan: Tidak ada riwayat atopi dalam keluarga, anak tidak mendapat imunisasi,
tidak mendapat ASI ekslusif

Pemeriksaan Laboratorium:
Hb: 11,1 gr/dl, Ht: 34 vol%, Leukosit: 25.000/mm3, LED: 25 mm/jam, Trombosit: 280.000
mm3, Hitung jenis: 0/2/1/80/14/3, CRP: 24

Pemeriksaan Radiologi
Toraks AP: infiltrat di parahilar kedua paru.

4
I. Klarifikasi Istilah

1. ASI ekskusif : Air susu ibu yang diberikan pada enam bulan pertama bayi
baru lahir tanpa diberikan makanan pendamping lain.
(www.unicef.org)
2. Atopi : Resdisposisi genetik untuk membentuk reaksi
hipersensitivitas cepat terhadap antigen lingkungan umum,
paling sering bermanifestasi sebgai rhinitis alergika tetapi
juga sebagai asma bronkial dan dermatitis atopik dan atau
alergi makanan. (Dorland)
3. CRP : Globulin yang membentuk endapan dengan polisakarida-C
pada pneumococcus; protein fase akut yang paling dominan.
Biasanya di cek untuk infeksi.
Nilai normal: 0 – 10.
4. Head bobbing : Bobbing: gerakan turun naik yang cepat dan menyentak.
(Dorland)
5. Nafas cuping : Keadaan dimana cuping hidung terlihat bergerak saat
hidung bernapas akibat sesak napas.
6. Parahilar : Dekat atau sekitar cekungan/lubang pada sebuah organ,
tempat keluar masuknya pembuluh dan saraf. (Dorland)
7. Retraksi : Tindakan menarik kembali atau keadaan tertarik kembali.
(Dorland)
8. Saturasi oksigen : Jumlah oksigen yg terikat pada hemoglobin dalam darah,
dinyatakan sebagai presentas kapasitas pengikatan
maksimal. (Dorland)
9. Wheezing : Bunyi kontinu seperti bersiul. (Dorland)

5
II. Identifikasi Masalah

NO Topik Kesesuaian Konsen

Maya, anak perempuan, usia 2


tahun, dibawa ibunya ke dokter
dengan keluhan batuk dan
1. Tidak Sesuai ***
sukar bernapas disertai demam
sejak dua hari lalu, dan hari ini
keluhannya bertambah berat.
Pemeriksaan Fisis:
Keadaan umum: Tampak sakit
berat, kesadaran: kompos
mentis, RR: 60x/menit, Nadi:
110x/menit, reguler, Suhu:
39oC
Panjang badan: 85 cm, Berat
Badan: 12 kg, Saturasi oksigen
90%

Keadaan spesifik:
Kepala: terdapat napas cuping
2. Tidak Sesuai **
hidung, tidak terdapat head
bobbing.
Toraks: Paru: Inspeksi:
simetris, retraksi intercostal,
subcostal
Palpasi: stem fremitus
kiri=kanan
Perkusi: redup pada basal
kedua lapangan paru,
Auskultasi: peningkatan suara
nafas vesikuler, ronki basah
halus nyaring, tidak terdengar

6
wheezing.
Pemeriksaan lain dalam batas
normal.

Informasi tambahan: Tidak ada


riwayat atopi dalam keluarga,
3. anak tidak mendapat imunisasi, Tidak Sesuai *
tidak mendapat ASI ekslusif

Pemeriksaan Laboratorium:
Hb: 11,1 gr/dl, Ht: 34 vol%,
Leukosit: 25.000/mm3, LED:
4. 25 mm/jam, Trombosit: Tidak Sesuai **
280.000 mm3, Hitung jenis:
0/2/1/80/14/3, CRP: 24

Pemeriksaan Radiologi
Toraks AP: infiltrat di parahilar
5. Tidak Sesuai **
kedua paru.

7
III. Analisis Masalah

1. Maya, anak perempuan, usia 2 tahun, dibawa ibunya ke dokter dengan


keluhan batuk dan sukar bernapas disertai demam sejak dua hari lalu, dan
hari ini keluhannya bertambah berat.
a. Adakah hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan yang dialami?
Jawab:
Usia merupakan salah satu faktor risiko utama pada beberapa penyakit.
Hal ini disebabkan karena usia dapat memperlihatkan kondisi kesehatan
seseorang. Anak-anak yang berusia 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit
pneumonia dibanding anak-anak yang berusia diatas lima tahun. Hal ini
disebabkan oleh imunitas yang belum sempurna dan saluran pernafasan yang
relatif sempit (Depkess RI,2004).
Dalam program P2 ISPA dijelaskan bahwa laki-laki adalah faktor
risiko yang mempengaruhi kesakitan pneumonia (Depkes RI,2004). Hal ini
didukung oleh penelitian Hananto (2004) bahwa anak laki-laki mempunyai
peluang menderita pneumonia 1,46 kali (95% CI : 0,81-1,60) dibanding anak
perempuan.

b. Mekanisme dari keluhan batuk?


Jawab:
Akibat reaksi inflamasi dan bentuk pertahanan, akan dikeluarkan
banyak sekret pada daerah sekitar bronkus, sehingga sekret akan menumpuk.
Sebagai bentuk pertahanan tubuh akan mencoba mengeluarkan sekret
tersebut dengan cara batuk.
Infeksi  inflamasi  hipersekresi mukus  mekanisme pembersihan
jalan napas  batuk.

c. Mekanisme dari keluhan sesak napas?


Jawab:
Mikroba terakumulasi di alveoli  kerusakan endotel & kapiler 
edem di alveoli  Udara minimal  sesak napas

d. Mekanisme dari keluhan demam?


8
Jawab:
Infeksi  Fagositosis oleh makrofag  makrofag memproduksi
Pirogen Endogen (TNF-a, IL-1, IL-6)  Hipotalamus  AA  PGE2  Set
Point  Demam

e. Mengapa keluhan bertambah berat?


Jawab:
Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme
pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik.
Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan
mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal
dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin,
imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel
(Bradley et.al., 2011).
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu,
atau bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran
nafas bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran
nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan
kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan
mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan
sekitar 25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi
virus. Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al.,
2011):
1) Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)

9
2) Stadium II (48 jam berikutnya atau stadium Hepatisasi Merah)

3) Stadium III (3-8 hari berikutnya atau Stadium Hepatisasi Kelabu)

4) Stadium IV (7-11 hari berikutnya/ Stadium resolusi)

2. Pemeriksaan Fisis:
Keadaan umum: Tampak sakit berat, kesadaran: kompos mentis,
RR: 60x/menit, Nadi: 110x/menit, reguler, Suhu: 39oC
Panjang badan: 85 cm, Berat Badan: 12 kg, Saturasi oksigen 90%
Keadaan spesifik:
Kepala: terdapat napas cuping hidung, tidak terdapat head bobbing.
Toraks: Paru:
 Inspeksi : simetris, retraksi intercostal, subcostal
 Palpasi : stem fremitus kiri=kanan
 Perkusi : redup pada basal kedua lapangan paru,
 Auskultasi : peningkatan suara nafas vesikuler, ronki basah halus
nyaring, tidak terdengar wheezing.
Pemeriksaan lain dalam batas normal.
a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik?

10
Jawab:

Pemeriksaan fisis Interpretasi Nilai Normal


Keadaan Umum: sakit
Abnormal -
berat
Kesadaran: compos mentis Normal -
RR: 60x/ menit Abnormal (takipneu) 30 -40 x/menit
Nadi: 110x/menit dan 80 -150 x/menit
Normal
regular (3 bulan- 2 tahun)
Abnormal(Febris: 38-
Suhu: 390C 0
36,50-37,50C
40 C)
Panjang badan:
Panjang badan: 85cm 78,7-97 cm
Normal
Berat Badan: 12 Kg Berat badan: 8,6-
17,1 Kg
Keadaan Spesifik Interpretasi Normal
Kepala: Nafas cuping Nafas cuping
Tidak normal
hidung (+) hidung (-)
Kepala:Tidak terdapat Tidak terdapat
Normal
head bobbing head bobbing
Inspeksi: Simetris Normal Simetris
Inspeksi: Retraksi
Tidak normal Tidak ada retraksi
intercostals
Palpasi: Stem fremitus Stem fremitus
Normal
kiri=kanan kiri=kanan
Perkusi: Redup pada basal
Tidak normal Sonor
kedua lapangan paru
Auskultasi: Peningkatan Tidak ada
Tidak normal
suara vesikuler peningkatan
Auskultasi: Ronki basah
Tidak normal Tidak ada ronki
halus nyaring
Auskultasi: Tidak
Normal Wheezing (-)
terdengar wheezing

11
b. Bagaimana mekanisme abormalitas dari pemeriksaan fisik?
Jawab:
 Febris :
Infeksi mikroorganisme di alveolus  mengeluarkan pirogen eksogen 
aktivasi makrofag  pelepasan sitokin-stitokin (IL-1, IL-6, TNF-α)
memacu pengeluaran asam arakidonat  memicu sintesis Prostaglandin
(PGE2)  meningkatkan set point tubuh di hipotalamus  demam

 Takipneu:
Infeksi mikroorganisme di alveolus  aktivasi makrofag  pelepasan
sitokin-stitokin  peningkatan permeabilitas vaskular & aktivasi dan
kemotaksis netrofil  reaksi inflamasi di alveolus  eksudat di alveolus -
 paru- paru lebih sulit utuk mengembang & gangguan pertukaran gas di
alveolus  juga menginvasi saluran nafas (bronkiolus)  respon
inflamasi di bronkiolus  peningkatan sekresi mukus  penyempitan
saluran nafas  udara sulit lewat  sukar bernafas/sesak  Kedua
mekanisme tersebut menyebabkan PaO2↓;PaCO2↑  merangsang
kemoreseptor perifer ( glomus caroticum dan glomus aorticum)  impuls
jaras aferen ke medulla oblongata dan pons  impuls jaras eferen ke
organ efektor  peningkatan frekuensi pernafasan (Takipneu)

 Kepala: nafas cuping hidung (+)


Mekanisme:
Inhalasi pathogen ke saluran nafas  Respon inflamasi di alveolus 
Hiperemia  Pelepasan mediator peradangan (histamine dan
prostaglandin) + Degranulasi sel mast mengaktifkan jalur komplemen 
Komplemen + histamine dan prostaglandin  otot polos vaskuler paru
lemas  Permeabilitas kapiler paru ↑  perpindahan eksudat plasma ke
dalam ruang interstisium  pembengkakan dan edema antar kapiler dan
alveolus  jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbon dioksida ↑
 gangguan ventilasi  peningkatan usaha bernafas  Nafas cuping
hidung

12
 Retraksi Interkostal dan subskostal

Mekanisme:
Infeksi pada parenkim paru  timbulnya respon inflamasi dimana
terjadinya pelepasan mediator-mediator inflamasi  destruksi jaringan
parenkim paru dan menyebabkan akumulasi cairan di alveolus atau
eksudat  terganggunya proses difusi udara dari alveolus menuju kapiler
paru terganggu  inadekuat proses oksigenasi  tubuh merasa
kekurangan oksigen  tubuh akan mencoba untuk meningkatkan volume
inspirasi  oksigen yang dihirup dapat lebih banyak  memperkuat
kontraksi otot-otot pernafasan utama sampai menggunakan otot-otot
bantuan nafas, antara lain antara muskulus skalenus,
sternokleidomastoideus, pectoralis major  Otot-otot ini berfungsi untuk
mengangkat rongga toraks supaya bisa lebih mekar (meningkatkan
ekspansi) dan bisa memasukkan udara lebih banyak Namun, karena rongga
toraks mempunyai tekanan yang sedemikian negatifnya, ada bagian yang
“tertinggal” karena tertarik ke dalam di saat rongga toraks diangkat. Pada
saat otot pernafasan inspirasi berkontraski maka os costae akan terangkat
namun kulit dan ototnya akan tertarik kedalam sehingga tampak seperti
tarikan (retraksi) dinding dada. Untuk meningkatkan komplians paru

 Stem fremitus kiri=kanan


Mekanisme :
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan
getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi
perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi
vibrasi akan berkurang. Stem fremitus sama kiri dan kanan karena infeksi
terjadi di kedua lobus paru. Stem fremitus menurun pada sisi yang sakit.

13
 Perkusi: redup pada basal kedua lapangan paru
Mekanisme:
Bakteri memasuki paru-paru ketika droplet yang berada di udara terhirup
pada waktu bernafas. Ketika bakteri mencapai alveoli maka beberapa
mekanisme pertahanan tubuh akan dikerahkan. Leukosit PMN dengan
aktivitas fagositosisnya akan direkrut dengan perantaraan sitokin sehingga
akan terjadi respon inflamasi. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya
kongesti vascular dan edema. Terjadi penumpukkan cairan edematus yang
terdiri dari eritrosit, eksudat purulen (fibrin, sel-sel leukosit PMN) dan
bakteri di alveoli. Area dimana terdapat cairan edema inilah yang
menimbulkan suara redup pada pemeriksaan perkusi paru.

 Auskultasi : peningkatan suara nafas vesikuler, ronki basah halus


nyaring, tidak terdengar wheezing
Mekanisme:
Adanya cairan eksudat/ infiltrat pada bronkiolus
Infeksi bakteri  makrofag menangkap bakteri  inflamasi 
konsolidasi (RBC, fibrin, dan leukosit PMN mengisi alveoli) 
Peningkatan suara nafas vesikuler

 Ronki basah halus nyaring


Mekanisme:
Ronkhi basah (dalam bahasa Inggris disebut rales) adalah suara napas
tambahan berupa vibrasi terputus-putus akibat getaran yang terjadi karena
cairan dalam jalan napas dilalui oleh udara. Ronkhi basah halus terjadi bila
cairan berada di duktus alveolus, bronkiolus, dan bronkus halus. Bunyi
terdengar nyaring atau tidaknya tergantung dari substansi cairan yang
dilewati. Apabila merupakan infiltrat maka akan terdengar nyaring karena
merupakan pengantar suara yang baik.

c. Bagaiana prosedur pemeriksaan keadaan spesifik pada anak-anak?


Jawab:

14
Pemeriksaan fisik pada anak berbeda dengan dewasa, ada beberapa hal
yang tidak boleh diabaikan dan cara pemeriksaan harus disesesuaikan dengan
umur anak/bayi. Suasana harus tenang dan nyaman karena jika anak
ketakutan, kemungkinan dia akan menolak untuk diperiksa. Untuk anak usia
1 – 3 tahun, kebanyakan diperiksa dalam pelukan ibu, sedangkan pada bayi
usia 6 bulan, biasanya bisa diperiksa di atas meja periksa. Tata cara dan
urutan pemeriksaan fisik pada anak tetap dimulai dengan inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi.
 Inspeksi, ditujukan untuk melihat perubahan yang terjadi secara umum
dengan membandingkan tempat yang diperiksa dengan daerah sekitarnya
atau organ yang sama pada sisi yang berbeda.
Pada anak < 2 tahun: lingkar dada < lingkar kepala
Pada anak > 2 tahun: lingkar dada > lingkar kepala.

Perhatikan:
a) Bentuk thorax : funnel chest, pigeon chest, barell chest, dll
b) Pengembangan dada kanan dan kiri : simetri/tidak, ada
retraksi.tidak
c) Pernafasan : cheyne stokes, kusmaul, biot
d) Ictus cordis
e) Tampak gelisah? Sesak? Susah bernafas?
f) Posisi penderita
g) Bentuk dada
h) Pernafasan cuping hidung
i) Sianosis
j) Jari tabuh
k) Petekiae pada muka, leher
 Palpasi, dilakukan dengan telapak tangan dan atau jari-jari tangan. Palpasi
diperlukan untuk menentukan bentuk, ukuran, tepi, permukaan dan untuk
mengetahui intensitas nyeri serta konsistensi. Palpasi dapat dilakukan
dengan kedua tangan, terutama untuk mengetahui adanya cairan atau
ballottement.
Perhatikan :

15
a) Pengembangan dada : simetri/tidak
b) Fremitus raba : dada kanan sama dengan kiri/tidak
c) Sela iga : retraksi/tidak
d) Perabaan iktus cordis
 Perkusi, ditujukan untuk mengetahui perbedaan suara ketukan sehingga
dapat ditentukan batas-batas organ atau massa abnormal. Suara perkusi
dibagi menjadi 3 macam yaitu sonor (perkusi paru normal), timpani
(perkusi abdomen), dan pekak (perkusi otot). Suara lain yang terdapat
diantara dua suara tersebut seperti redup (antara sonor dan pekak) dan
hipersonor (antara sonor dan timpani).
Dapat dilakukan secara langsung dengan menggunakan satu jari/tanpa
bantalan jari lain, atau secara tidak langsung dengan menggunakan 2
jari/bantalan jari lain. Jangan mengetok terlalu keras karena dinding thorax
anak lebih tipis dan ototnya lebih kecil. Tentukan: 1) Batas paru-jantung; 2)
Batas paru-hati (iga VI depan); 3) Batas diafragma: (iga VIII – X
belakang). Bedakan antara suara sonor dan redup.
 Auskultasi, pemeriksaan dengan menggunakan stetoskop untuk
mendengar suara pernafasan, bunyi dan bising jantung, peristaltik usus dan
aliran darah dalam pembuluh darah.
Tentukan suara dasar dan suara tambahan:
- Suara dasar: vesikuler, bronkhial, amforik, cog-wheel breath sound,
metamorphosing breath sound.
- Suara tambahan: ronki, krepitasi, friksi pleura, wheezing Suara
jantung normal, bising, gallop.

3. Informasi tambahan: Tidak ada riwayat atopi dalam keluarga, anak tidak
mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI ekslusif.
a. Imunisasi apa yang harus diberikan kepada bayi hingga berusia 2 tahun?
Jawab:
Imunisasi: Hepatitis B, Polio, BCG, DTP, Hib, PCV, Rotavirus, Influenza,
Campak, MMR, Tifoid, Hepatitis A, Varisela, dan Japanse encephalitis.

16
b. Imunisassi apa yang sebaiknya diberikan untuk mencegah terjadinya penyakit
pada kasus?
Jawab:
Imunisasi yang dapat diberikan untuk mencegah pneumonia:
1) BCG
2) Campak/MMR
3) DPT
4) Hib
5) PCV (Pneumococcal Conjugate Vaccine)

Untuk saat ini, imunisasi pneumokokus masih dikelompokan sebagai


imunisasi pilihan. Imunisasi pilihan adalah Imunisasi yang penyediaan
vaksinnya belum diberikan secara gratis oleh pemerintah untuk seluruh anak
Indonesia. Untuk mendapatkan vaksin pneumokokus, orangtua dapat

17
menghubungi tempat praktek swasta, praktek pribadi ataupun rumah sakit
terdekat.

c. Apa makna klinis dari informasi tambahan?


Jawab:
Atopi merupakan predisposisi genetik menuju perkembangan reaksi
hipersensitivitas cepat terhadap antigen lingkungan umum (alergi atopik).
Tidak adanya riwayat atopi menyingkirkan kemungkinan pasien menderita
alergi atau asma.
Imunisasi bertujuan memberikan kekebalan kepada anak terhadap
penyakit dan menurunkan angka kematian dan kesakitan yang disebabkan
penyakit. Bila anak sudah dilengkapi dengan imunisasi, dapat diharapkan
perkembangan penyakit ISPA tidak akan menjadi berat. Maka peningkatan
cakupan imunisasi akan berperan besar dalam pemberatasan ISPA. Dengan
imunisasi yang efektif, sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat dicegah.
Bayi telah memiliki sistem imunitas yang lengkap saat lahir, namun
dalam jumlah sangat kecil. Imunitas mulai berkembang segera jika ada
paparan mikroba pada membran mukosa, khususnya di usus. Neonatus akan
tetap mengalami defisiensi dalam beberapa fungsi defensif selama beberapa
minggu dan bulan awal kehidupan meliputi fagosit dan fungsinya, serta
kurangnya presentasi antigen dan lambatnya inisiasi produksi sekretory
immunoglobulin A (SigA).
Menyusui secara eksklusif terbukti memberikan resiko yang lebih kecil
terhadap berbagai penyakit infeksi dan penyakit menular lainnya di kemudian
hari. ASI juga mengandung banyak sel dari ibu yang menghasilkan sitokin
dan memicu efek modulator pada sistem imun neonatus. Makrofag dan
leukosit terkonsentrasi dalam jumlah besar pada awal masa laktasi dan
termasuk komponen seluler utama dalam ASI. Dalam ASI terdapat IgA
dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari konsentrasi IgG dan IgM.
Pada kasus ini, Maya tidak mendapat imunisasi dan tidak mendapat
ASI ekslusif. Kedua hal tersbut mengindikasikan bahwa imunitas pasien
Maya rendah atau lemah.

d. Dampak tidak diberikannya ASI?


18
Jawab:
 Bertambahnya kerentanan terhadap penyakit (baik anak maupun ibu).
Dengan menyusui, dapat mencegah 1/3 kejadian infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA), kejadian diare dapat turun 50%, dan penyakit
usus parah pada bayi premature dapat berkurang kejadiannya sebanyak
58%. Pada ibu, risiko kanker payudara juga dapat menurun 6-10%.
 Biaya kesehatan untuk pengobatan
Dengan mendukung ASI dapat mengurangi kejadian diare dan pneumonia
sehingga biaya kesehatan dapat dikurangi 256,4 juta USD atau 3 triliun
tiap tahunnya.
 Kerugian kognitif - hilangnya pendapatan bagi individual
ASI eksklusif dapat meningkatkan IQ anak, potensi mendapatkan
pekerjaan yang lebih baik karena memiliki fungsi kecerdasan tinggi.
Tentunya hal ini akan meningkatkan potensi mendapatkan penghasilan
yang lebih optimal. Tahukah anda dengan peningkatan IQ dan pendapatan
per kapita, negara dapat menghemat 16,9 triliun rupiah?
 Biaya susu formula
Di Indonesia, hampir 14% dari penghasilan seseorang habis digunakan
untuk membeli susu formula bayi berusia kurang dari 6 bulan. Dengan
ASI eksklusif, penghasilan orangtua dapat dihemat sebesar 14%.

4. Pemeriksaan Laboratorium:
Hb: 11,1 gr/dl, Ht: 34 vol%, Leukosit: 25.000/mm3, LED: 25 mm/jam,
Trombosit: 280.000 mm3, Hitung jenis: 0/2/1/80/14/3, CRP: 24
a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan laboratorium?
Jawab:
Pemeriksaan Lab. Normal anak Pasien Keterangan
Hb 10,7-12,7 gr/dl 11,1 gr/dl Normal
Ht 32-37 vol% 34 vol% Normal
Leukosit 6.000-17.000/ mm3 25.000/mm3 Meningkat
LED 3-13 mm/jam 25 mm/jam Meningkat
150.000-450.000/
Trombosit 3
280.000/mm3 Normal
mm

19
Basofil: 0-1 Normal
Eusinofil: 0-3 Normal
Batang: 0-11 Normal
Hitung jenis 0/2/1/80/14/3
Segmen: 15-35 Meningkat
Limfosit: 45-76 Menurun
Monosit: 3-6 Normal
CRP 8-10 mg/L 24 Meningkat

b. Bagaimana mekanisme abormalitas dari pemeriksaan laboratorium?


Jawab:
 Leukosit
Jika kadar leukosit meningkat, maka bisa jadi ada suatu infeksi bakteri di
dalamnya. Adanya infeksi menyebabkan agregasi leukosit agar tubuh
dapat memfagositosis bakteri tersebut akibatnya leukosit dalam darah
meningkat.
 CRP
Bakteri masuk ke dalam tubuh kemudian menyebabkan terjadinya proses
inflamasi. Pada proses ini sel melepaskan berbagai sitokin antara lain IL-
6. Selanjutnya IL-6 menginduksi sel hati untuk mensintesi protein fase
akut seperti C-reactive acute phase reactant yang nanti akan mengikat
phospocoline pada bakteri atau pada sel sel yang telah mati sehingga
meningkatkan fagositosis tubuh.
 LED
LED diukur untuk menentukan apakah sedang terjadi infeksi atau tidak.
Laju endap darah akan tinggi apabila darah lebih mudah menggumpal
akibat adanya reaktan fase akut sehingga darah lebih mudah menggumpal.

c. Apa indikasi dilakukannya pemeriksaan CRP?


Jawaban:
Sitokin pro inflamasi seperti IL1 dan TNF merangsang sel hepatosit
untuk meningkatkan produksi protein fase akut seperti CRP dan serum
protein amiloid A. Protein tersebut merefleksikan proses inflamasi sehingga
terjadi peningkatan sampai 1000 kali dari kadar normal. Peningkatan CRP
mengindikasikan adanya bakteri S. pneumoniae.

20
5. Pemeriksaan Radiologi
Toraks AP: infiltrat di parahilar kedua paru.
a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan radiologi?
Jawab:
Infiltrat di parahillar kedua paru: abnormal.

b. Bagaimana mekanisme abormalitas dari pemeriksaan radiologi?


Jawab:
Adanya infiltrat menunjukkan adanya respon peradangan permulaan
yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari
sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-
mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel
mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan
histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan
dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler
dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan

21
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh
dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
Penimbunan cairan inilah yang terlihat sebagai infiltrat pada foto thoraks.

6. Diagnosis
a. Apa definisi dari bronkopneumonia?
Jawab:
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis adalah
peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang
berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution).

b. Bagaimana algoritma penegakan diagnosis bronkopneumonia?


Jawab:
Pada anamnesis diberikan pertanyaan mengenai batuk dan kesulitan bernapas
seperti:
 Sudah berapa lama dalam hari
 Apakah terdapat pola seperti saat malam atau siang saja
 Apakah ada faktor pencetus
 Apakah ada keluarga atau sekitar yang mengalai gejala yang sama
Pada pemeriksaan fisik umum dijumpai:
 Demam, dispneu kadang disertai muntah
 Batuk dengan RR meningkat
 Adanya retraksi epigastrik, intercostal, suprasternal
 Terdapat ronki pada auskultasi
 Adanya pernapasan cepat dan pernapasan cuping hidung
 Head bobbing (kepala mengangguk sesuai ritme pernapasan)
 Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan adanya leukositosis dengan
predominan PMN
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut (Bradley et.al.,
2011):
1) Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan
dinding dada
2) Panas badan

22
3) Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)
4) Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus
5) Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan
limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang
predominan)

c. Apa klasifikasi dari bronkopneumonia?


Jawab:
1) Berdasarkan lokasi lesi di paru: Pneumonia lobaris, Pneumonia
interstitiali, dan Bronkopneumonia.
2) Berdasarkan asal infeksi: Pneumonia yang didapat dari masyarakat
(community acquired pneumonia = CAP) dan Pneumonia yang
didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)
3) Berdasarkan mikroorganisme penyebab: Pneumonia bakteri,
Pneumonia virus, Pneumonia mikoplasma, Pneumonia jamur.
4) Berdasarkan karakteristik penyakit: Pneumonia tipikal dan Pneumonia
atipikal.
5) Berdasarkan lama penyakit: Pneumonia akut dan Pneumonia persisten.
6) Berdasarkan Derajat Penyakit menurut MTBS (Manajemen Terpadu
Balita Sakit:
Pneumonia (tidak berat) Pneumonia berat
Batuk Batuk
Sesak Sesak
Nafas cepat Penurunan Saturasi Oksigen (<90)
Retraksi Tidak bisa menyusui
Crackles/Ronki Penurunan kesadaran
Napas cuping & merintih
Kejang

d. Apa epidemiologi dari penyakit yang dialami Maya?


Jawab:
Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan dan penyumbang
terbesar penyebab kematian anak usia di balita (Depkes RI, 2008).

23
Pneumonia membunuh anak lebih banyak daripada penyakit lain apapun,
mencakup hampir 1 dari 5 kematian anak-balita, membunuh lebih dari 2 juta
anak-balita setiap tahun yang sebagian besar terjadi di negara berkembang.
Oleh karena itu pneumonia disebut sebagai pembunuh anak nomor satu. Di
negara berkembang pneumonia merupakan penyakit yang terabaikan karena
banyak anak yang meninggal karena pneumonia, namun sangat sedikit
perhatian yang diberikan kepada masalah pneumonia (Kemenkes RI,2010).
Menurut WHO tahun 2008, insidens pneumonia anak-balita di negara
berkembang adalah 151,8 juta kasus pneumonia setiap tahun. Dari tahun ke
tahun pneumonia selalu menduduki peringkat atas penyebab kematian bayi
dan anak balita di Indonesia.

e. Apa etiologi dari penyakit yang dialami Maya?


Jawab:
Timbulnya bronkopneumonia disebabkan oleh virus, bakteri, jamur,
protozoa, mikrobakteri, mikoplasma, dan riketsia. (SandraM.Nettina,
2001:628) antara lain:
 Bakteri: Streptococcus, Staphylococus,H. Influenza, Klebsiella.
 Virus: Legionella pneumonia
 Jamur: Aspergillus spesies, Candida albicans
 Aspirasi makanan, sekresi orofariengal atau isi lambung kedalam paru
 Terjadi karena kongesti paru yang lama.
Tabel 1. Etiologi berdasarkan Umur pada Community-Acquired Pneumonia

24
f. Apa faktor resiko dari penyakit yang dialami Maya?
Jawab:
Model segitiga epidemiologi (The Triangle Model of Infections)
menggambarkan interaksi tiga komponen penyakit manusia (Host), penyebab
(Agent), dan lingkungan (Environment):
1) Faktor Agen
Penyebab dari penyakit pneumonia yaitu berupa bakteri,virus, jamur, dan
protozoa.
2) Faktor Faktor Anak (Host)
 Usia muda (< 5 tahun)
 Jenis kelamin
 Berat badan lahir
 Imunisasi tidak lengkap (DPT, Campak, Hib, Pneumococcal vaksin)
 Tidak mendapat ASI Esklusif

25
 Kurang gizi
3) Faktor Lingkungan (Environment)
 Kepadatan hunian
 Ventilasi udara rumah kurang baik

g. Apa saja diagnosis banding dari penyakit yang dialami Maya?


Jawab:
Bronkitis
Temuan Bronkopneumonia Bronkiolitis akut
(akut/kronik)
Akut (< 2 minggu)
Onset Akut (< 2 minggu) Akut (< 2 minggu) atau Kronik (> 2
minggu)
Batuk + + +
Sesak Nafas + + +
Takipnea + + +
Takikardia + + +
Retraksi Dada + + -
+ -/+ +
Demam
(Demam Tinggi) (Demam Ringan) (Demam Ringan)
Nafas cuping Mengi/normal Mengi +
Perkusi
Redup Hipersonor Hipersonor
Lapangan Paru
Suara Nafas
Vesikular ↑ Vesikular ↓ Vesikular ↓
Normal
 Ronki basah
 Tidak ada ronki  Ronki basah
Suara Nafas halus kering
Tambahan  Tidak ada
 wheezing  wheezing
wheezing

h. Bagaimana patofisiologi dari penyakit yang dialami Maya?


Jawab:
Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk
dan mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A
lokal dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin,
imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel. Infeksi
paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila
virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas
bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas

26
bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan
kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan
mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan
sekitar 25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi
virus. Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al.,
2011):
1) Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Yaitu hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan
dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
2) Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel
darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host)
sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi
padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan,
sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar,
pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga
anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat,
yaitu selama 48 jam.
3) Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan
fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi
fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,
warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi
mengalami kongesti.
4) Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi
oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

27
i. Bagaimana manifestasi klinis dari penyakit yang dialami Maya?
Jawab:
Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh
infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik
secara mendadak sampai 39-400C dan mungkin disertai kejang karena
demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan
dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan
mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan
mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk
kering kemudian menjadi produktif (Bennete, 2013).
Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnya
bronkopneumonia ditemukan hal-hal sebagai berikut (Bennete, 2013):
1) Pada inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik,
interkostal, suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.
2) Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
3) Pada auskultasi ditemukan crackles yang nyaring.

j. Bagaimana tata laksana dari penyakit yang dialami Maya?


Jawab:
1) Bila sakit berat  rawat inap di rumah sakit.
2) Tatalaksana Umum
 Oksigen 2-4 L/menit sampai sesak hilang atau tekanan oksigen pada
AGD 60torr.
 Infus untuk rehidrasi dan koreksi elektolit (glukosa 5% + NaCl 0,9 %).
 Jika ada asidosis metabolik  bikarbonat intravena.
3) Tatalaksana Khusus
 Mukolitik
 Eskpektoran
 Antipiretik
 Antibiotika:
- Ampisilin 200 mg/kgBB/hari (dibagi 3 – 4 kali)
- Chloramphenicol 25 – 50 mg/kgBB/hari
- Gentamicin

28
 Obat anti kejang  bila ada kejang.

k. Apa saja komplikasi dari penyakit yang dialami Maya?


Jawab:
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003) yaitu:
 Pneumothoraks/ Pneumomediastinum
 Abses paru
 Otitis media akut
 Atelektasis
 Emfisema
 Meningitis
 Efusi pleura
 Gagal napas dan sepsis
 Empiema

l. Bagaimana prognosis dari penyakit yang dialami Maya?


Jawab:
 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad functiosonam : Dubia ad bonam
 Ad Sanatiosonam : bonam
Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan cukup dapat menurunkan
angka mortalitas. Anak yang kurang nutrisi dan datang terlambat
meningkatkan angka mortalitas sampai dengan 50%

m. Termasuk kedalam SKDI berapakah penyakit ini?


Jawab:
Bronkopneumonia merupakan standar kompentesi 4A, artinya lulusan
dokter mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan tambahan dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut
secara mandiri dan tuntas.

29
IV. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan
What I Don’t What I have to How Will I
Topik What I Know
Know prove Learn
Anatomi, Gambaran - Gambaran Anatomi dan
Histologi, dan saluran makroskopik mekanisme saluran
Fisiologi pada pernapasan - Gambaran pernapasan yang
Saluran secara umum mikroskopik berhubungan
Pernapasan Bawah - Fisiologi sistem dengan penyakit
pernapasan

Bronkopneumonia Definisi - Algoritma Hubungan dengan


Diagnosis gejala-gejala,
- Epidemiologi anatomi,
- Etiologi imunisasi, ASI
- Faktor resiko ekslusif, hasil
- Diagnosis pemeriksaan fisik,
Mencari
Banding labortorium, dan
informasi
- Patofisiologi radiologi.
melalui buku,
- Manifestasi
jurnal, dan
klinis
internet.
- Tata laksana
- Komplikasi
- Prognosis
- SKDI

Gejala pada Kasus Definisi - Mekanisme Proses bertambah


gejala beratnya gejala
- Faktor usia dan
jenis kelamin
pada gejala
- Hubungan antar
gejala

30
- Definisi - Pelaksanaan Prosedur dan
Pemeriksaan Fisik - Tujuan - Prosedur interpretasi
pemeriksaan pemeriksaan fisik
- Nilai normal
- Interpretasi
- Diagnosis
banding hasil
pemeriksaan
Pemeriksaan - Definisi - Pelaksanaan Prosedur dan
Laboratorium dan - Tujuan - Prosedur interpretasi
Radiologi pemeriksaan pemeriksaan
- Nilai normal laboratorium dan
- Interpretasi radiologi
- Diagnosis
banding hasil
pemeriksaan
Imunisasi dan ASI - Definisi - Hubungan Pengaruh pada
Ekslusif - Tujuan dengan kasus balita bila tidak
- Imunisasi yang diberi imunisasi
dianjurkan dan ASI eksklusif
- Pengaruh
imunisasi dan
ASI eksklusif
- Interpretasi
- Diagnosis
banding hasil
pemeriksaan

31
V. Keterkaitan Antarmasalah

Maya, 2 tahun, tidak mendapat ASI eksklusif

ISPA yang tidak Imunitas ↓ CRP ↑


diobati

Leukosit ↑
Abnormalitas
Pemeriksaan Fisik
Bronkopneumonia

Sukar
Batuk bernapas

Infiltrat pada parahilar LED ↑


Demam

32
VI. Hipotesis
Maya, 2 tahun, mengalami keluhan batuk, sukar bernapas disertai demam
sejak 2 hari yang lalu akibat menderita bronkopneumonia.

VII. Sintesis
1. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi pada Saluran Pernapasan Bawah

ANATOMI SALURAN PERNAFASAN BAWAH

Anatomi saluran pernapasan bawah terdiri dari:


a) Trakea
Trakea adalah tabung yang panjangnya sekitar 13 cm dan diameternya
2,5 cm. Trakea mempunyai dinding fibroelastis yang tertanam dalam

33
balok-balok rawan hialin berbentuk huruf U yang mempertahankan Trakea
tetap terbuka. Trakea berasal dari leher di bawah cartilago cricoidea larynx
setinggi corpus vertebra cervicalis VI. Ujung bawah Trakea terdapat dalam
thorax setinggi angulus sterni (pinggir bawah vertebra thoracica IV) dan
membelah menjadi beronchus kanan dan kiri. Pada inspirasi dalam,
bifurcation Trakea turun sampai setinggi vertebra thoracica VI. Suplai
darah Trakea dalam leher diperoleh terutama dari a. thyroidea inferior.
b) Bronkus Prinsipalis
Bronkus prinsipalis kanan lebih lebar, lebih pendek, dan lebih vertical
dibandingkan Bronkus Prinsipalis kiri. Bronkus Prinsipalis kanan
panjangnya sekitar 2,5 cm. sebelum masuk ke hillus paru-paru kanan,
Bronkus Prinsipalis mempercabangkan bronkus lobaris superior. Waktu
masuk ke hillus, ia membelah menjadi bronkus lobaris medius dan
bronkus lobaris inferior.
Bronkus prinsipalis kiri lebih sempit, lebih panjang, dan lebih
horizontal dibandingkan Bronkus Prinsipalis kanan dan panjangnya sekitar
5 cm. Ia berjalan ke kiri di bawah arcus aorta dan di depan oesophagus.
Waktu masuk ke hillus paru-paru kiri, ia bercabang menjadi bronkus
lobaris superior dan inferior.
c) Paru-Paru
Masing-masing paru mempunyai apex yang tumpul, yang menjorok ke
atas, masuk ke leher sekitar 2,5 cm di atas clavicula, facies costalis yang
konveks, yang berhubungan dengan dinding dada, dan facies mediastinalis
yang konkaf, yang membentuk cetakan pada pericardium dan struktur-
struktur mediastinum lain. Sekitar pertengahan permukaan kiri, terdapat
hillus pulmonis, suatu lekukan di mana bronkus, pembuluh darah, dan
saraf masuk ke paru-paru untuk membentuk radix pulmonalis.
Pinggir anterior paru-paru adalah tipis dan meliputi jantung; pada paru-
paru kiri ditemukan incisura cardiac. Pinggir posterior paru-paru adalah
tebal dan terletak di samping columna vertebralis.
d) Lobus dan Fissura
Paru-paru kanan sedikit lebih besar dibandingkan dengan paru-paru
kiri dan dibagi oleh fissura aoblique dan fissura horizontalis menjadi 3
lobus. Lobus superior, medius dan inferior. Fissura oblique berjalan dari
34
pinggir inferior ke atas dan belakang menyilang permukaan medial dan
kostal sampai memotong pinggir posterior sekitar 2,5 inch (6,25 cm) di
bawah apex. Fissura horizontalis berjalan horizontal menyilang permukaan
kostal setinggi rawan iga IV dan bertemu dengan fissura oblique pada
linea axillaris media. Lobus medius merupakan lobus yang kecil berbentuk
segitiga yang dibatasi oleh fissura horizontalis dn fissura oblique.
Paru-paru kiri dibagi fissura oblique yang sama menjadi 2 lobus, lobus
superior dan lobus inferior. Pada paru-paru kiri tidak ada fissura
horizontalis.
e) Segmenta Bronchopulmonalia
Setiap bronkus lobaris (sekunder), yang berjalan ke lobus paru-paru,
mempercabangkan apa yang dinamakan bronkus segmentalis (tertier).
Setiap bronkus segmentalis masuk ke unit lobus paru-paru yang secara
struktural dan fungsional adalah independen, yang dinamakan segmen
bronkopulmonalis. Segmen bronkopulmonis jaringan paru-paru berbentuk
pyramid, mempunyai apex yang mengarah ke permukaan paru-paru. Setiap
segmen bronkopulmonis dikelilingi oleh jaringan ikat, dan selain
bronkusnya sendiri, segmen bronkopulmonis mengandung arteri, vena
pembuluh limfe, dan saraf otonom.

35
f) Saluran Udara
Antara trakea dan sakus alveolaris terdapat 23 kali percabangan
saluran udara. Enam belas percabangan pertama saluran udara merupakan
zona konduksi yang menyalurkan udara dari dan ke lingkungan luar.
Bagian ini terdiri dari bronkus, bronkiolus dan bronkiolus terminalis.
Tujuh percabangan berikutnya merupakan zona peralihan dan zona
respirasi, tempat terjadinya pertukaran gas, dan terdiri dari bronkiolus
respiratorius, duktus alveolaris, dan alveoli. Adanya percabangan saluran
udara majemuk ini sangat meningkatkan luas total penampang melintang
saluran udara, dari 2,5 cm3 di trakea, menjadi 11.800 cm3 di alveoli.
Akibatnya, kecepatan aliran udara di dalam saluran udara kecil sangat
menurun mencapai nilai yang rendah.
Tiap alveolus dikelilingi oleh kapiler paru. Pada sebagian besar tempat,
udara dan darah dipisahkan hanya oleh epitel alveoli dan endotel kapiler,
jadi jarak yang memisahkan keduanya adalah sekitar 0,5 πm. Pada
manusia didapatkan 300 juta alveoli, dan luas keseluruhan dinding alveoli
yang berhubungan dengan pembuluh kapiler dalam kedua paru sekitar 70
m2.
Tiap alveolus dilapisi oleh dua jenis sel epitel. Sel tipe I merupakan sel
gepeng yang memiliki perluasan sitoplasma yang besar dan merupakan sel
pelapis utama. Sel tipe II (pneumosit granular) lebih tebal dan
mengandung banyak badan inklusi lamellar. Sel-sel ini mensekresi
surfaktan. Kemungkinan terdapat pula sel epitel jenis khusus lain, dan paru
juga memiliki makrofag alveolus paru (PAMs = Pulmonary Alveolar
Macrophages), limfosit, sel plasma, sel APUD serta sel mast. Sel mast
mengandung heparin, berbagai lipid, histamine, dan berbagai protease
yang ikut ambil bagian dalam reaksi alergi.

36
HISTOLOGI SALURAN PERNAFASAN BAWAH
a) Trakea

Permukaan trakea dilapisi oleh epitel respirasi. Terdapat


kelenjar serosa pada lamina propria dan tulang rawan hialin berbentuk
C, yang mana ujung bebasnya berada di bagian posterior trakea. Cairan
mukosa yang dihasilkan oleh sel goblet dan sel kelenjar membentuk
lapisan yang memungkinkan pergerakan silia untuk mendorong
partikel asing. Sedangkan tulang rawan hialin berfungsi untuk menjaga
lumen trakea tetap terbuka. Pada ujung terbuka tulang rawan hialin
yang berbentuk tapal kuda tersebut terdapat ligamentum fibroelastis
dan berkas otot polos yang memungkinkan pengaturan lumen dan
mencegah distensi berlebihan.

b) Bronkus

37
Mukosa bronkus secara struktural mirip dengan mukosa trakea,
dengan lamina propria yang mengandung kelenjar serosa , serat elastin,
limfosit dan sel otot polos. Tulang rawan pada bronkus lebih tidak
teratur dibandingkan pada trakea; pada bagian bronkus yang lebih
besar, cincin tulang rawan mengelilingi seluruh lumen, dan sejalan
dengan mengecilnya garis tengah bronkus, cincin tulang rawan
digantikan oleh pulau-pulau tulang rawan hialin.

c) Bronkiolus

Bronkiolus tidak memiliki tulang rawan dan kelenjar pada


mukosanya. Lamina propria mengandung otot polos dan serat elastin.
Pada segmen awal hanya terdapat sebaran sel goblet dalam epitel. Pada
bronkiolus yang lebih besar, epitelnya adalah epitel bertingkat silindris
bersilia, yang makin memendek dan makin sederhana sampai menjadi
epitel selapis silindris bersilia atau selapis kuboid pada bronkiolus
terminalis yang lebih kecil. Terdapat sel Clara pada epitel bronkiolus
terminalis, yaitu sel tidak bersilia yang memiliki granul sekretori dan
mensekresikan protein yang bersifat protektif. Terdapat juga badan
neuroepitel yang kemungkinan berfungsi sebagai kemoreseptor.

d) Bronkiolus Respiratorius
Mukosa bronkiolus respiratorius secara struktural identik
dengan mukosa bronkiolus terminalis, kecuali dindingnya yang
diselingi dengan banyak alveolus. Bagian bronkiolus respiratorius

38
dilapisi oleh epitel kuboid bersilia dan sel Clara, tetapi pada tepi muara
alveolus, epitel bronkiolus menyatu dengan sel alveolus tipe 1.
Semakin ke distal alveolusnya semakin bertambah banyak dan silia
semakin jarang/tidak dijumpai. Terdapat otot polos dan jaringan ikat
elastis di bawah epitel bronkiolus respiratorius.

e) Duktus Alveolaris

Semakin ke distal dari bronkiolus respiratorius maka semakin


banyak terdapat muara alveolus, hingga seluruhnya berupa muara
alveolus yang disebut sebagai duktus alveolaris. Terdapat anyaman sel
otot polos pada lamina proprianya, yang semakin sedikit pada segmen
distal duktus alveolaris dan digantikan oleh serat elastin dan kolagen.
Duktus alveolaris bermuara ke atrium yang berhubungan dengan sakus
alveolaris. Adanya serat elastin dan retikulin yang mengelilingi muara
atrium, sakus alveolaris dan alveoli memungkinkan alveolus
mengembang sewaktu inspirasi, berkontraksi secara pasif pada waktu
ekspirasi secara normal, mencegah terjadinya pengembangan secara
berlebihan dan pengrusakan pada kapiler-kapiler halus dan septa
alveolar yang tipis.

f) Alveolus
Alveolus merupakan struktur berongga tempat pertukaran gas
oksigen dan karbondioksida antara udara dan darah. Septum
interalveolar memisahkan dua alveolus yang berdekatan, septum

39
tersebut terdiri atas 2 lapis epitel gepeng tipis dengan kapiler, fibroblas,
serat elastin, retikulin, matriks dan sel jaringan ikat. Terdapat sel
alveolus tipe 1 yang melapisi 97% permukaan alveolus, fungsinya
untuk membentuk sawar dengan ketebalan yang dapat dilalui gas
dengan mudah. Sitoplasmanya mengandung banyak vesikel pinositotik
yang berperan dalam penggantian surfaktan (yang dihasilkan oleh sel
alveolus tipe 2) dan pembuangan partikel kontaminan kecil. Antara sel
alveolus tipe 1 dihubungkan oleh desmosom dan taut kedap yang
mencegah perembesan cairan dari jaringan ke ruang udara.
Sel alveolus tipe 2 tersebar di antara sel alveolus tipe 1,
keduanya saling melekat melalui taut kedap dan desmosom. Sel tipe 2
tersebut berada di atas membran basal, berbentuk kuboid dan dapat
bermitosis untuk mengganti dirinya sendiri dan sel tipe 1. Sel tipe 2 ini
memiliki ciri mengandung badan lamela yang berfungsi menghasilkan
surfaktan paru yang menurunkan tegangan alveolus paru.
Septum interalveolar mengandung pori-pori yang
menghubungkan alveoli yang bersebelahan, fungsinya untuk
menyeimbangkan tekanan udara dalam alveoli dan memudahkan
sirkulasi kolateral udara bila sebuah bronkiolus tersumbat.

FISIOLOGI SALURAN PERNAFASAN BAWAH


Pernapasan paru merupakan pertukaran oksigen dan karbondioksida
yang terjadi pada paru. Fungsi paru adalah tempat pertukaran gas oksigen dan
karbondioksida pada pernapasan melalui paru/pernapasan eksterna. Oksigen
dipungut melalui hidung dan mulut. Saat bernapas, oksigen masuk melalui
trakea dan pipa bronchial ke alveoli, dan dapat erat berhubungan dengan darah
di dalam kapiler pulmonalis (Syaifudin, 1997:92). Pernapasan dapat berarti
pengangkutan oksigen ke sel dan pengangkutan CO2 dari sel kembali ke
atmosfer. Proses ini menurut Guyton dan Hall (1997:597) dapat dibagi
menjadi 4 tahap yaitu:
a) Pertukaran udara paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara ke dan
dari alveoli. Alveoli yang sudah mengembang tidak dapat mengempis
penuh karena masih adanya udara yang tersisa didalam alveoli yang

40
tidak dapat dikeluarkan walaupun dengan ekspirasi kuat. Volume
udara yang tersisa ini disebut volume residu. Volume ini penting
karena menyediakan O2 dalam alveoli untuk menghasilkan darah.
b) Difusi O2 dan CO2 antara alveoli dan darah.
c) Pengangkutan O2 dan CO2 dalam darah dan cairan tubuh menuju ke
dan dari sel-sel.
d) Regulasi pertukaran udara dan aspek-aspek lain pernapasan.

2. Bronkopneumonia
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis adalah
peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang
berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution).

Penegakan Diagnosis

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut (Bradley et.al.,


2011):
1) Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan
dinding dada
2) Panas badan
3) Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)
4) Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus
5) Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan
limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang
predominan)

Klasifikasi
1) Berdasarkan lokasi lesi di paru:
 Pneumonia lobaris
 Pneumonia interstitiali
 Bronkopneumonia
2) Berdasarkan asal infeksi:

41
 Pneumonia yang didapat dari masyarakat (community acquired
pneumonia = CAP).
 Pneumoniayang didapat dari rumah sakit (hospital-based
pneumonia)
3) Berdasarkan mikroorganisme penyebab:
 Pneumonia tipikal
 Pneumonia atipikal
4) Berdasarkan karakteristik penyakit: Pneumonia tipikal dan Pneumonia
atipikal.
5) Berdasarkan lama penyakit: Pneumonia akut dan Pneumonia persisten.
6) Berdasarkan derajat penyakit, pneumonia dibagi menjadi 2:
 Pneumonia ringan, apabila:
- Kecuali batuk dan sulit bernapas, hanya ditemukan napas yang
meningkat saja.
- Tidak terdapat tanda pneumonia berat.
 Pneumonia berat, apabila:
Terdapat batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal
salah satu dari gejala head bobbing, pernapasan cuping hidung,
tarikan pada dinding dada, napas pada foto toraks terdapat
gambaran infiltrat dan pada auskultasi terdengar ronki.

Berdasarkan Derajat Penyakit menurut MTBS (Manajemen Terpadu


Balita Sakit:
Pneumonia (tidak berat) Pneumonia berat
Batuk Batuk
Sesak Sesak
Nafas cepat Penurunan Saturasi Oksigen (<90)
Retraksi Tidak bisa menyusui
Penurunan kesadaran
Crackles/Ronki Napas cuping & merintih
Kejang

42
Epidemiologi
Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan dan penyumbang
terbesar penyebab kematian anak usia di balita (Depkes RI, 2008). Pneumonia
membunuh anak lebih banyak daripada penyakit lain apapun, mencakup
hampir 1 dari 5 kematian anak-balita, membunuh lebih dari 2 juta anak-balita
setiap tahun yang sebagian besar terjadi di negara berkembang. Oleh karena
itu pneumonia disebut sebagai pembunuh anak nomor satu. Di negara
berkembang pneumonia merupakan penyakit yang terabaikan karena banyak
anak yang meninggal karena pneumonia, namun sangat sedikit perhatian yang
diberikan kepada masalah pneumonia (Kemenkes RI,2010).
Menurut WHO tahun 2008, insidens pneumonia anak-balita di negara
berkembang adalah 151,8 juta kasus pneumonia setiap tahun. Di negara maju
terdapat 4 juta kasus setiap tahun sehingga total insidens pneumonia di seluruh
dunia ada 156 juta kasus pneumonia anak balita setiap tahun. Terdapat 15
negara dengan insidens pneumonia anak balita paling tinggi, mencakup 74%
(115,3 juta) dari 156 juta kasus di seluruh dunia. Lebih dari setengahnya
terdapat di 6 negara, mencakup 44% populasi anak-balita di dunia (Kemenkes
RI, 2010). Dari tahun ke tahun pneumonia selalu menduduki peringkat atas
penyebab kematian bayi dan anak balita di Indonesia.

Etiologi
Secara umum individu yang terserang Bronkopneumonia diakibatkan
oleh adanya penurunan mekanisme pertahanan tubuh terhadap virulensi
organisme pathogen. Orang yang normal dan sehat mempunyai mekanisme
pertahanan tubuh terhadap organ pernafasan yang terdiri atas : reflek glottis
dan batuk, adanya lapisan mucus, gerakan silia yang menggerakan kuman
keluar dari organ, dan sekresi humoral setempat.
Timbulnya bronkopneumonia disebabkan oleh virus, bakteri, jamur,
protozoa, mikrobakteri, mikoplasma, dan riketsia. (SandraM.Nettina,
2001:628) antara lain:
 Bakteri : Streptococcus, Staphylococus,H. Influenza, Klebsiella.
 Virus : Legionella pneumonia
 Jamur : Aspergillus spesies, Candida albicans

43
 Aspirasi makanan, sekresi orofariengal atau isi lambung kedalam paru
 Terjadi karena kongesti paru yang lama.
Tabel. Etiologi berdasarkan Umur pada Community-Acquired Pneumonia

Faktor Risiko
Model segitiga epidemiologi (The Triangle Model of Infections)
menggambarkan interaksi tiga komponen penyakit manusia (Host), penyebab
(Agent), dan lingkungan (Environment):
1) Faktor Agen
Penyebab dari penyakit pneumonia yaitu berupa bakteri,virus, jamur, dan
protozoa.
2) Faktor Faktor Anak (Host)
 Usia muda (< 5 tahun)
Usia merupakan salah satu faktor risiko utama pada beberapa
penyakit. Hal ini disebabkan karena usia dapat memperlihatkan

44
kondisi kesehatan seseorang. Anak-anak yang berusia 0-24 bulan
lebih rentan terhadap penyakit pneumonia dibanding anak-anak
yang berusia diatas lima tahun. Hal ini disebabkan oleh imunitas
yang belum sempurna dan saluran pernafasan yang relatif sempit
(Depkess RI,2004).
 Jenis kelamin
Dalam program P2 ISPA dijelaskan bahwa laki-laki adalah
faktor risiko yang mempengaruhi kesakitan pneumonia (Depkes
RI,2004). Hal ini didukung oleh penelitian Hananto (2004) bahwa
anak laki-laki mempunyai peluang menderita pneumonia 1,46 kali
(95% CI : 0,81-1,60) dibanding anak perempuan.
 Berat badan lahir
Bayi dengan BBLR mempunyai risiko kematian yang lebih
besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada
bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan anti kekebalan
kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi,
terutama pneumonia dan sakit saluran pernafasan lainnya.
 Imunisasi tidak lengkap (DPT, Campak, Hib, Pneumococcal vaksin)
 Tidak mendapat ASI Esklusif
Menyusui secara eksklusif terbukti memberikan resiko yang
lebih kecil terhadap berbagai penyakit infeksi dan penyakit menular
lainnya di kemudian hari. Hasil penelitian Naim (2001) di Jawa
Barat menjelaskan anak usia 4 bulan sampai 24 bulan yang tidak
mendapat ASI ekslusif menunjukkan adanya hubungan yang
bermakna terhadap terjadinya pneumonia dan memiliki risiko
terjadinya pneumonia 4,76 kali dibanding anak umur 4 bulan
sampai 24 bulan yang diberi ASI eksklusif.
 Kurang gizi
3) Faktor Lingkungan (Environment)
 Kepadatan hunian
Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor
polusi dalam rumah yang telah ada. Kepadatan hunian
memungkinkan bakteri maupun virus dapat menular melalui

45
pernapasan dari penghuni rumah yang satu ke penghuni rumah
lainnya.
 Ventilasi udara rumah kurang baik
Rumah yang tidak dilengkapi sarana jendela akan
menyebabkan udara segar yang masuk kedalam rumah sangat
minim. Ketidakcukupan udara segar akan dapat berpengaruh
terhadap fungsi fisiologis alat pernafasan bagi penghuninya
terutama bagi bayi dan balita. Menteri Kesehatan menyatakan
bahwa luas ventilasi sebaiknya 10% dari luas lantai.
Hasil penelitian yang dilakukan Herman (2002) menjelaskan
bahwa ventilasi udara rumah mempunyai hubungan yang signifikan
dengan kejadian pneumonia, dimana balita yang menghuni rumah
dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai
peluang untuk terjadinya pneumonia sebesar 4,2 kali dibanding
dengan balita yang memenuhi rumahnya dengan ventilasi yang
sesuai memenuhi syarat kesehatan.

Diagnosis Banding
Bronkitis
Temuan Bronkopneumonia Bronkiolitis akut
(akut/kronik)
Akut (< 2 minggu)
Onset Akut (< 2 minggu) Akut (< 2 minggu) atau Kronik (> 2
minggu)
Batuk + + +
Sesak Nafas + + +
Takipnea + + +
Takikardia + + +
Retraksi Dada + + -
+ -/+ +
Demam
(Demam Tinggi) (Demam Ringan) (Demam Ringan)
Nafas cuping Mengi/normal Mengi +
Perkusi
Redup Hipersonor Hipersonor
Lapangan Paru

46
Suara Nafas
Vesikular ↑ Vesikular ↓ Vesikular ↓
Normal
 Ronki basah
 Tidak ada ronki  Ronki basah
Suara Nafas halus kering
Tambahan  Tidak ada
 wheezing  wheezing
wheezing

Patofisiologi
Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk
dan mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A
lokal dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin,
imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel. Infeksi
paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila
virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas
bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas
bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan
kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan
mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan
sekitar 25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi
virus. Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al.,
2011):
1) Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Yaitu hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari
sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
2) Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna
paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini
udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan

47
bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
jam.
3) Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-
sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih
tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat
kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4) Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi
oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

Manifestasi Klinis
Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh
infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik
secara mendadak sampai 39-400C dan mungkin disertai kejang karena
demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan
dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan
mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan
mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk
kering kemudian menjadi produktif (Bennete, 2013).
Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnya
bronkopneumonia ditemukan hal-hal sebagai berikut (Bennete, 2013):
1) Pada inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik,
interkostal, suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.
Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah
retraksi dinding dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping
hidung; orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekanan
intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi melawan resistensi
tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian yang mudah
terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal,
dan fossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang
48
interkostal yang melenting dapat terlihat apabila tekanan intrapleura yang
semakin positif.
Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya
distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara
abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung
memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi jalan
napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga menstabilkan jalan
napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi.
2) Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan
getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi
perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) mcraka transmisi energi
vibrasi akan berkurang.
3) Pada auskultasi ditemukan crackles yang nyaring.
Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui
sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.

Tatalakasana
1) Bila sakit berat  rawat inap di rumah sakit.
2) Tatalaksana Umum
 Oksigen 2-4 L/menit sampai sesak hilang atau tekanan oksigen pada
AGD 60torr.
Alat yang digunakan adalah nasal prong.

 Infus untuk rehidrasi dan koreksi elektolit (glukosa 5% + NaCl 0,9 %).
 Jika ada asidosis metabolik  bikarbonat intravena.

49
3) Tatalaksana Khusus
 Mukolitik
 Eskpektoran
 Antipiretik
 Antibiotika:
- Ampisilin 200 mg/kgBB/hari (dibagi 3 – 4 kali)
- Chloramphenicol 25 – 50 mg/kgBB/hari
- Gentamicin
 Anti kejang  bila ada kejang.

Komplikasi
Bila pneumonia tidak ditangani dengan baik, proses peradangan akan
terus berlanjut dan menimbulkan berbagai komplikasi seperti, selaput paru
terisi cairan atau nanah (efusi pleura atau empiema), jaringan paru bernanah
(abses paru), jaringan paru kempis (pneumotoraks) dan lain-lain. Bahkan bila
terus berlanjut dapat terjadi penyebaran infeksi melalui darah (sepsis) ke
seluruh tubuh sehingga dapat menyebabkan kematian.
Komplikasi dari Bronkopneumonia adalah :
 Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau
kolaps paru yang merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau reflek batuk
hilang.
 Empyema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga
pleura yang terdapat disatu tempat atau seluruh rongga pleura.
 Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.
 Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
 Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.
 Miokarditis (pada anak usia 2-24 bulan)
 Pericarditis purulenta

Prognosis
 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad functiosonam : Dubia ad bonam
 Ad Sanatiosonam : bonam

50
Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan cukup dapat menurunkan
angka mortalitas. Anak yang kurang nutrisi dan datang terlambat
meningkatkan angka mortalitas sampai dengan 50%.

SKDI
Berdasarkan SKDI, Bronkopneumonia merupakan standar kompentesi
4A, artinya lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan dan melakukan penatalaksanaan
penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.

3. Gejala pada Kasus


Usia merupakan salah satu faktor risiko utama pada beberapa penyakit.
Hal ini disebabkan karena usia dapat memperlihatkan kondisi kesehatan
seseorang. Anak-anak yang berusia 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit
pneumonia dibanding anak-anak yang berusia diatas lima tahun. Hal ini
disebabkan oleh imunitas yang belum sempurna dan saluran pernafasan yang
relatif sempit (Depkess RI,2004).
Dalam program P2 ISPA dijelaskan bahwa laki-laki adalah faktor
risiko yang mempengaruhi kesakitan pneumonia (Depkes RI,2004). Hal ini
didukung oleh penelitian Hananto (2004) bahwa anak laki-laki mempunyai
peluang menderita pneumonia 1,46 kali (95% CI : 0,81-1,60) dibanding anak
perempuan.
Batuk
Akibat reaksi inflamasi dan bentuk pertahanan, akan dikeluarkan
banyak sekret pada daerah sekitar bronkus, sehingga sekret akan menumpuk.
Sebagai bentuk pertahanan tubuh akan mencoba mengeluarkan sekret tersebut
dengan cara batuk.

Sesak Napas
Pada mekaisme sesak napas, mikroba terakumulasi di alveoli seingga
terjadi kerusakan endotel & kapiler yang mentbabkan edema di alveoli, lalu
udara pun minimal sehingga pasien sesak napas
Demam
51
Sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik, maka monosit,
makrofag, dan sel-sel Kupffer mengeluarkan suatu zat kimia yang dikenal
sebagai pirogen endogen IL-1 (interleukin 1), TNFα (Tumor Necrosis Factor
α), IL-6 (interleukin 6), dan INF (interferon) yang bekerja pada pusat
termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan patokan termostat.
Hipotalamus mempertahankan suhu di titik patokan yang baru dan bukan di
suhu normal. Sebagai contoh, pirogen endogen meningkatkan titik patokan
menjadi 38,9° C, hipotalamus merasa bahwa suhu normal prademam sebesar
37° C terlalu dingin, dan organ ini memicu mekanisme-mekanisme respon
dingin untuk meningkatkan suhu tubuh (Ganong, 2002).

4. Pemeriksaan Fisik
 Febris :
Infeksi mikroorganisme di alveolus  mengeluarkan pirogen eksogen 
aktivasi makrofag  pelepasan sitokin-stitokin (IL-1, IL-6, TNF- α)
memacu pengeluaran asam arakidonat  memicu sintesis Prostaglandin
(PGE2)  meningkatkan set point tubuh di hipotalamus  demam
 Takipneu:
Infeksi mikroorganisme di alveolus  aktivasi makrofag  pelepasan
sitokin-stitokin  peningkatan permeabilitas vaskular & aktivasi dan
kemotaksis netrofil  reaksi inflamasi di alveolus  eksudat di alveolus -
 paru- paru lebih sulit utuk mengembang & gangguan pertukaran gas di
alveolus  juga menginvasi saluran nafas (bronkiolus)  respon
inflamasi di bronkiolus  peningkatan sekresi mukus  penyempitan
saluran nafas  udara sulit lewat  sukar bernafas/sesak  Kedua
mekanisme tersebut menyebabkan PaO2↓; PaCO2↑  merangsang
kemoreseptor perifer ( glomus caroticum dan glomus aorticum)  impuls
jaras aferen ke medulla oblongata dan pons  impuls jaras eferen ke
organ efektor  peningkatan frekuensi pernafasan (Takipneu)
 Kepala: nafas cuping hidung (+)
Mekanisme:
Inhalasi pathogen ke saluran nafas  Respon inflamasi di alveolus 
Hiperemia  Pelepasan mediator peradangan (histamine dan

52
prostaglandin) + Degranulasi sel mast mengaktifkan jalur komplemen 
Komplemen + histamine dan prostaglandin  otot polos vaskuler paru
lemas  Permeabilitas kapiler paru ↑  perpindahan eksudat plasma ke
dalam ruang interstisium  pembengkakan dan edema antar kapiler dan
alveolus  jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbon dioksida ↑
 gangguan ventilasi  peningkatan usaha bernafas  Nafas cuping
hidung
 Retraksi Interkostal dan subskostal

Mekanisme:
Infeksi pada parenkim paru  timbulnya respon inflamasi dimana
terjadinya pelepasan mediator-mediator inflamasi  destruksi jaringan
parenkim paru dan menyebabkan akumulasi cairan di alveolus atau
eksudat  terganggunya proses difusi udara dari alveolus menuju kapiler
paru terganggu  inadekuat proses oksigenasi  tubuh merasa
kekurangan oksigen  tubuh akan mencoba untuk meningkatkan volume
inspirasi  oksigen yang dihirup dapat lebih banyak  memperkuat
kontraksi otot-otot pernafasan utama sampai menggunakan otot-otot
bantuan nafas, antara lain antara muskulus skalenus,
sternokleidomastoideus, pectoralis major  Otot-otot ini berfungsi untuk
mengangkat rongga toraks supaya bisa lebih mekar (meningkatkan
ekspansi) dan bisa memasukkan udara lebih banyak Namun, karena rongga
toraks mempunyai tekanan yang sedemikian negatifnya, ada bagian yang
“tertinggal” karena tertarik ke dalam di saat rongga toraks diangkat. Pada
saat otot pernafasan inspirasi berkontraski maka os costae akan terangkat
namun kulit dan ototnya akan tertarik kedalam sehingga tampak seperti
tarikan (retraksi) dinding dada. Untuk meningkatkan komplians paru
 Stem fremitus kiri=kanan

53
Mekanisme :
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan
getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi
perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi
vibrasi akan berkurang.Stem fremitus sama kiri dan kanan karena infeksi
terjadi di kedua lobus paru. Stem fremitus menurun pada sisi yang sakit.
 Perkusi: redup pada basal kedua lapangan paru
Mekanisme:
Bakteri memasuki paru-paru ketika droplet yang berada di udara terhirup
pada waktu bernafas. Ketika bakteri mencapai alveoli maka beberapa
mekanisme pertahanan tubuh akan dikerahkan. Leukosit PMN dengan
aktivitas fagositosisnya akan direkrut dengan perantaraan sitokin sehingga
akan terjadi respon inflamasi. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya
kongesti vascular dan edema. Terjadi penumpukkan cairan edematus yang
terdiri dari eritrosit, eksudat purulen (fibrin, sel-sel leukosit PMN) dan
bakteri di alveoli. Area dimana terdapat cairan edema inilah yang
menimbulkan suara redup pada pemeriksaan perkusi paru.
 Auskultasi : peningkatan suara nafas vesikuler, ronki basah halus
nyaring, tidak terdengar wheezing
Mekanisme:
Adanya cairan eksudat/ infiltrat pada bronkiolus
Infeksi bakteri  makrofag menangkap bakteri  inflamasi 
konsolidasi (RBC, fibrin, dan leukosit PMN mengisi alveoli) 
Peningkatan suara nafas vesikuler
 Ronki basah halus nyaring
Mekanisme:
Ronkhi basah (dalam bahasa Inggris disebut rales) adalah suara napas
tambahan berupa vibrasi terputus-putus akibat getaran yang terjadi karena
cairan dalam jalan napas dilalui oleh udara. Ronkhi basah halus terjadi bila
cairan berada di duktus alveolus, bronkiolus, dan bronkus halus. Bunyi
terdengar nyaring atau tidaknya tergantung dari substansi cairan yang
dilewati. Apabila merupakan infiltrat maka akan terdengar nyaring karena
merupakan pengantar suara yang baik.

54
5. Pemeriksaan Laboratorium dan Radiologi
 Leukosit
Jika kadar leukosit meningkat, maka bisa jadi ada suatu infeksi bakteri di
dalamnya. Adanya infeksi menyebabkan agregasi leukosit agar tubuh
dapat memfagositosis bakteri tersebut akibatnya leukosit dalam darah
meningkat.
 CRP
Bakteri masuk ke dalam tubuh kemudian menyebabkan terjadinya proses
inflamasi. Pada proses ini sel melepaskan berbagai sitokin antara lain IL-
6. Selanjutnya IL-6 menginduksi sel hati untuk mensintesi protein fase
akut seperti C-reactive acute phase reactant yang nanti akan mengikat
phospocoline pada bakteri atau pada sel sel yang telah mati sehingga
meningkatkan fagositosis tubuh.
 LED
LED diukur untuk menentukan apakah sedang terjadi infeksi atau tidak.
Laju endap darah akan tinggi apabila darah lebih mudah menggumpal
akibat adanya reaktan fase akut sehingga darah lebih mudah menggumpal.

Radiologi
Infiltrat di parahillar kedua paru: abnormal.

55
Adanya infiltrat menunjukkan adanya respon peradangan permulaan
yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari
sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-
mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel
mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan
histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan
dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler
dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh
dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
Penimbunan cairan inilah yang terlihat sebagai infiltrat pada foto thoraks.

56
6. Imunisasi dan ASI Ekslusif
Imunisasi bertujuan memberikan kekebalan kepada anak terhadap
penyakit dan menurunkan angka kematian dan kesakitan yang disebabkan
penyakit. Bila anak sudah dilengkapi dengan imunisasi, dapat diharapkan
perkembangan penyakit ISPA tidak akan menjadi berat. Maka peningkatan
cakupan imunisasi akan berperan besar dalam pemberatasan ISPA. Dengan
imunisasi yang efektif, sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat dicegah.
Bayi telah memiliki sistem imunitas yang lengkap saat lahir, namun
dalam jumlah sangat kecil. Imunitas mulai berkembang segera jika ada
paparan mikroba pada membran mukosa, khususnya di usus. Neonatus akan
tetap mengalami defisiensi dalam beberapa fungsi defensif selama beberapa
minggu dan bulan awal kehidupan meliputi fagosit dan fungsinya, serta
kurangnya presentasi antigen dan lambatnya inisiasi produksi sekretory
immunoglobulin A (SigA).
Menyusui secara eksklusif terbukti memberikan resiko yang lebih kecil
terhadap berbagai penyakit infeksi dan penyakit menular lainnya di kemudian
hari. ASI juga mengandung banyak sel dari ibu yang menghasilkan sitokin
dan memicu efek modulator pada sistem imun neonatus. Makrofag dan
leukosit terkonsentrasi dalam jumlah besar pada awal masa laktasi dan
termasuk komponen seluler utama dalam ASI. Dalam ASI terdapat IgA
dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari konsentrasi IgG dan IgM.
Imunisasi yang dapat diberikan untuk mencegah pneumonia:
1) BCG
2) Campak/MMR
3) DPT
4) Hib
5) PCV (Pneumococcal Conjugate Vaccine)

Untuk saat ini, imunisasi pneumokokus masih dikelompokan sebagai


imunisasi pilihan. Imunisasi pilihan adalah Imunisasi yang penyediaan
vaksinnya belum diberikan secara gratis oleh pemerintah untuk seluruh anak
Indonesia. Untuk mendapatkan vaksin pneumokokus, orangtua dapat
menghubungi tempat praktek swasta, praktek pribadi ataupun rumah sakit
terdekat.
57
VIII. Kerangka Konsep

Faktor risiko:
 Usia 2 tahun Inhalasi bakteri
 Tidak dapat ASI Ekslusif Aktivasi makrofag
 Tidak imunisasi Melalui sal. napas atas
Pirogen endogen
Mekanisme pertahanan Patogen lolos masuk ke (TNF α, IL-1, IL-6)
saluran napas atas ↓ saluran napas bawah
Hipotalamus
Mukosiliasi inadekuat Infeksi pd distal anterior melepaskan
bronkus Arachidonat
Infeksi saluran (bronkiolus & alveolus)
Tidak
diobati napas atas ↑ PGE2
Leukositosis
Beberapa terakumulasi ↑ Set point
Hipersekresi di alveoli krn gravitasi
mukus Shift to the
left Demam
Batuk
Merusak endotel
Inflamasi kapiler alveoli
parenkim paru
↑ C-RP ↑ permeabilitas
Bronkopneumonia Ronki basah
Infiltrat pada Edema/eksudat halus
parahilar pd alveoli

Konsolidasi (pemadatan lobus) Surfaktan ↓ ↓ kapasitas paru

Compliance ↓
Pekusi ↓ Aliran udara di
redup alveoli (↓ difusi)
Kompensasi:
↑ kontraksi otot inspirasi Retraksi
↑ RR utama (intercosta)
(takipnea) ↓ Saturasi
O2 Sesak ↑ suara
Inspirasi memanjang
napas vesikuler

↓ ATP ↓ kontraksi otot inspirasi utama


(diafragma & interkosta)

Napas cuping Dibantu oleh otot inspirasi tambahan

58
BAB III
PENUTUP

I. Kesimpulan
Maya, 2 tahun, mengalami keluhan batuk, sukar bernapas disertai demam
sejak 2 hari yang lalu akibat menderita bronkopneumonia.

59
DAFTAR PUSTAKA

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Panduan Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta: Penerbit IDAI.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian


Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2015. Pedoman Tatalaksana
Pneumonia Balita.

Standar Kompetensi Dokter Indonesia. 2013. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia.

WHO Indonesia dan Departemen Kesehatan RI. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit: Pedoman bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di
Kabupaten/Kota. Jakarta: Departemen Kesehatan RI

Chris, Tanto, dll (editor). 2014. Kapita Selekta. Jilid II. Edisi IV. Jakarta: Media
Aesculapius

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan. 2014. Buku Ajar Imunisasi.

Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia. Medscape, (online),


(http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview).

Bradley J.S., dkk. 2011. The Management of Community-Acquired Pneumonia in


Infants and Children Older than 3 Months of Age: Clinical Practice
Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious
Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7): 617-630

Anwar, Athena dan Ika Dharmayanti. 2014. "Pneumonia pada Anak Balita di
Indonesia". Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8, Mei
2014:359-365

Atmadja, Andika Surya, dll. 2016. Pemeriksaan Laboratorium untuk Membedakan


Infeksi Bakteri dan Infeksi Virus. CDK-241/ vol. 43 no. 6 th. 2016: 457-461

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2012. Modul


Tatalaksana Standar Pneumonia. Diakses dari http://pppl.depkes.go.id/_asset/_
download/FINAL%20DESIGN%20MODUL%20TATALAKSANA%20STA
NDAR%20PNEUMONIA%20(STEMPEL%20BARU)%20rev.pdf, pada 10
April 2018

Djojodibroto, Darmanto. 2014. Respirologi: Respiratory Medicine. Edisi II. Jakarta:


EGC.

60
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Komuniti: Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Diakses dari
http://www.klikpdpi.com/konsensus /konsensus-
pneumoniakom/pnkomuniti.pdf, pada 10 April 2018

Stuckey-Schrock, Kimberly, et.al. 2012. Community-Acquired Pneumonia in


Children. American Family Physician Vol 86, No. VII 2012:661-667

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik,


(online),
(https://www.researchgate.net/profile/Fauna_Herawati/publication/303523819
_Pedoman_Interpretasi_Data_Klinik/links/5746c1db08ae298602fa0bb4/Pedo
man-Interpretasi-Data-Klinik.pdf)

Robbins and Cotran. 2008. Pathologic Basis of Disease. Edisi ke-8. USA: El Sevier

2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta

Guyton, A.C. dan Hall, J.E. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi ke-11.
Jakarta: EGC.

61

Anda mungkin juga menyukai