PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ibadah Haji merupakan ibadah wajib rukun Islam yang kelima bagi orang-orang yang
mampu dengan berkunjung ke Baitullah untuk melakukan beberapa amalan antara lain: wukuf,
thawaf, sa’i dan amalan lainnya pada masa musim haji demi memenuhi panggilan Allah SWT dan
mengharap ridho-Nya. Mampu atau istitho’ah bermakna sehat jasmani, rohani dan mampu dalam
ekonomi termasuk terjamin dalam keamanan selama melakukan perjalanan ibadah haji ke tanah
suci. Istitho’ah merupakan salah satu syarat untuk melaksanakan ibadah haji selain syarat-syarat
yang lain yaitu beragama Islam, Baligh (dewasa), Aqil (berakal sehat) dan merdeka (bukan budak).
Ibadah haji dilaksanakan setiap tahun pada Bulan Zulhijjah, tetapi hukumnya wajib bagi seorang
muslim yang baru pertama kali melaksanakan ibadah haji. Dalam melaksanakan ibadah haji
diperlukan kesehatan dan stamina yang optimal untuk dapat melaksanakan rangkaian ibadah haji
yang panjang.
Masyarakat muslim di Indonesia yang menunaikan ibadah haji mencapai 200 ribu
orang lebih setiap tahun, dengan risiko kesehatan yang masih cukup tinggi. Pada sepuluh tahun
terakhir ini, jemaah haji Indonesia wafat di Arab Saudi selama pelaksanaan operasional haji
mencapai 2,1 - 3,2 per 1000 jemaah yang menunjukkan 2-3 kali lipat lebih besar dibandingkan
pada kondisi normal di tanah air. Kondisi matra haji selama perjalanan ibadah haji, jemaah usia
lanjut dengan risiko kesehatan lain, ancaman penularan penyakit di Arab Saudi dan ketersediaan
pelayanan kesehatan masih menjadi masalah kesehatan jemaah haji Indonesia, yang tentunya
sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan ibadah haji.1[1]
Setiap tahun jumlah jamaah haji di Indonesia semakin meningkat. Peningkatan ini
disebabkan banyaknya jumlah penduduk di Indonesia yang mayoritas beragama Islam, kemudahan
akses dalam melaksanakan ibadah haji yang difasilitasi oleh pemerintah dan meningkatnya status
ekonomi masyarakat Indonesia. Saat ini untuk dapat melaksanakan ibadah haji, setiap calon
jamaah haji diharuskan mengikuti daftar tunggu 10 tahun sampai 15 tahun. Hal ini dikarenakan
jumlah calon jamaah haji Indonesia yang semakin meningkat setiap tahun dan pembatasan jumlah
jamaah haji yang masuk ke tanah suci oleh Pemerintah Arab Saudi.
B. Aspek Hukum
Penyelenggaraan Ibadah Haji, sebagaimana diamanahkan dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, bertujuan untuk memberikan
pembinaan, pelayanan, dan perlindungan yang sebaik-baiknya bagi Jemaah Haji sehingga Jemaah
Haji dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan ketentuan ajaran agama Islam. Hal tersebut
mengandung maksud bahwa Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan
perlindungan dengan menyediakan layanan administrasi, bimbingan Ibadah Haji, Akomodasi,
transportasi, Pelayanan Kesehatan, keamanan serta hal-hal lain yang diperlukan oleh Jemaah Haji.
Berkaitan dengan Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan berkewajiban melakukan
pembinaan dan pelayanan kesehatan ibadah haji, baik pada saat persiapan maupun pelaksanaan
Penyelenggaraan Ibadah Haji. Demikian juga dengan kewaspadaan terhadap penularan penyakit
yang terbawa oleh jemaah haji, yang dalam pelaksanaannya berkoordinasi dengan sektor terkait
dan pemerintah daerah.
Pembinaan dan pelayanan kesehatan bagi jemaah haji dilaksanakan secara menyeluruh
yang meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dalam pelaksanaannya perlu
kerjasama berbagai pihak terkait, sektor dan pemerintah daerah serta perlu adanya pedoman yang
dapat menjadi acuan penyelenggaraan kesehatan haji di tanah air yaitu di embarkasi dan debarkasi
serta selama perjalanan di Arab Saudi. Pedoman tersebut telah disusun dan ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1394/Menkes/SK/2002 tentang Penyelenggaraan
Kesehatan Haji yang telah dilakukan penyempurnaan dan penyesuaian dengan diterbitkannya
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 442/ MENKES/ SK/ VI/ 2009 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Kesehatan Haji. Keputusan Menteri Kesehatan RI tersebut juga bersumber dari
Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 pada bagian Keempatbelas pasal 97 yang
mengatur tentang Kesehatan Matra.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kementerian
Luar Negeri, Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/ Kota serta instansi terkait bekerjasama
untuk memberikan pembinaan, pelayanan dan perlindungan yang sebaik-baiknya melalui sistem
dan manajemen penyelenggaraan yang baik supaya pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan
aman, tertib, lancar dan nyaman sesuai dengan tuntunan agama sehingga jamaah haji Indonesia
dapat melaksanakan ibadah haji secara mandiri dan memperoleh haji yang mabrur.2[2]
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun
1995 pasal 12 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji, Kementerian Kesehatan melalui Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 442/ MENKES/ SK/ VI/ 2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Kesehatan Haji berkomitmen untuk meningkatkan kondisi kesehatan jemaah haji sebelum
keberangkatan, menjaga agar jemaah haji dalam kondisi sehat selama menunaikan ibadah, sampai
tiba kembali di tanah air dan mencegah terjadinya transmisi penyakit menular yang mungkin
terbawa keluar/ masuk oleh jemaah haji. Sebagai upaya untuk melaksanakan tujuan tersebut
disusunlah beberapa kebijakan program sebagai berikut:
1 . Melaksanakan perekrutan tenaga kesehatan profesional secara transparan.
2 . Meningkatkan kemampuan teknis medis petugas pemeriksa kesehatan calon jemaah haji
ditingkat puskesmas dan rumah sakit
3 . Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di puskesmas dan rumah sakit dengan menerapkan
standar pelayanan bagi calon jemaah haji
4 . Melaksanakan pelayanan kesehatan bermutu bagi calon jemaah haji di puskesmas, rumah sakit
dan embarkasi .
5 . Melaksanakan pembinaan kesehatan sejak dini bagi calon jemaah haji resiko tinggi di tanah
air.
6 . Memberikan vaksinasi Meningitis Meningokokus bagi calon jemaah haji dan petugas.
7 . Melaksanakan pelayanan kesehatan bermutu, cepat dan terjangkau bagi jemaah haji selama
menunaikan ibadah haji.
8 . Mengembangkan sistem informasi manajemen kesehatan haji pada setiap jenjang administrasi
kesehatan.
9 . Mengembangkan sistem kewaspadaan dini dan respon cepat KLB, bencana, serta musibah
massal.
Upaya penyelenggaraan ibadah haji perlu ditingkatkan supaya mutu pelayanan
kesehatan bagi jamaah haji semakin optimal. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia selalu
berupaya tanpa henti untuk selalu meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi jamaah haji
baik berupa pengiriman tenaga kesehatan haji ke tanah suci, pengadaan obat dan alat kesehatan
yang memadai, mengadakan pelatihan-pelatihan bagi tenaga kesehatan haji dan peningkatan
pemeriksaan dasar bagi calon jamaah haji di masing-masing Puskesmas. Penyelenggaraan Ibadah
haji merupakan tugas nasional/ tugas Negara yang yang dilaksanakan oleh pemerintah secara
interdepartemental yaitu Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kementerian Luar Negeri,
Kementerian Perhubungan, Kementerian Dalam Negeri dan instansi-instansi lain yang terkait di
daerah propinsi, Kabupaten/ Kota.
Rekrutmen tenaga kesehatan haji Indonesia ini dilakukan secara transparan dan terbuka
dengan tujuan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua tenaga kesehatan di
seluruh Indonesia untuk mengikuti proses rekrutmen yang diadakan oleh Kementerian Kesehatan
RI. Setiap tahun proses rekrutmen ini selalu mengalami perubahan dalam teknis seleksinya dan
setiap tahun dilakukan evaluasi. Proses rekrutmen ini dilakukan melalui media internet, dengan
membuka pendaftaran melalui sistem on line di website resmi Pusat Kesehatan Haji (Puskeshaji)
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jadwal kegiatan dan waktu proses seleksi ini dapat
diakses melalui website resmi ini. Setiap pendaftar dari tenaga kesehatan diharuskan melengkapi
berkas-berkas kelengkapan klasifikasi persyaratan dan print out hasil mendaftar secara on line di
internet untuk kemudian dikirimkan melalui pos ke alamat Pusat Kesehatan Haji (Puskeshaji)
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Dalam melengkapi berkas-berkas persyaratan ini
melibatkan instansi dari tempat kerja pendaftar, Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota dan pimpinan
Rumah Sakit baik pemerintah maupun swasta serta organisasi profesi tenaga kesehatan tertentu.
Keterlibatan instansi ini berupa penerbitan surat rekomendasi bagi pendaftar.
Berkas-berkas persyaratan tenaga kesehatan yang telah tiba di Kementerian Kesehatan
selanjutnya dilakukan proses seleksi administrasi. Bagi tenaga kesehatan yang lulus seleksi
administrasi akan diumumkan melalui media internet yaitu website Puskeshaji dan surat edaran
yang akan dikirimkan kepada Dinas Kesehatan Propinsi serta Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota.
Setiap Daerah atau Kabupaten/ Kota akan mendapatkan jumlah porsi tenaga kesehatan yang telah
direkrut sesuai dengan jumlah Kelompok Terbang (kloter) pemberangkatan jamaah haji. Setiap
kloter pemberangkatan haji di masing-masing Kabupaten/ Kota akan dilayani 3 (tiga) tenaga
kesehatan yaitu 1 (satu) orang dokter dan 2 (dua) orang paramedis/ perawat. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia akan menempatkan tenaga kesehatan sesuai dengan kloter
pemberangkatan haji dari daerah asalnya masing-masing.
Setelah dilakukan proses seleksi administrasi, tenaga kesehatan (calon petugas haji) yang
dinyatakan lulus wajib mengikuti beberapa pelatihan tentang kompetensi tugasnya dan pelatihan
integrasi dengan petugas-petugas haji lain yang berasal dari Kementerian Agama Republik
Indonesia. Sebelum diadakan pelatihan-pelatihan ini seluruh calon petugas dari tenaga kesehatan
diharuskan melaksanakan Medical Check Up dan test Psikometri untuk mengetahui kesehatan fisik
dan mentalnya. Medical Check Up ini dilakukan di masing-masing Rumah Sakit Pemerintah yang
ditunjuk di masing-masing daerah asal calon petugas. Untuk pemeriksaan Test Psikometri
dilakukan oleh Rumah Sakit Jiwa yang ditunjuk.
Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) adalah tenaga kesehatan yang ditunjuk oleh
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia untuk menjadi petugas haji dalam Kelompok Terbang
(Kloter) mengikuti jamaah haji yang bertugas untuk memberikan pembinaan, pelayanan dan
perlindungan kesehatan kepada para jamaah haji dari pemberangkatan di embarkasi, di tanah suci
sampai kepulangannya di Debarkasi. Masa tugas TKHI ini adalah 41 hari. Setiap kloter
pemberangkatan haji akan dilayani oleh tiga orang petugas TKHI yaitu satu orang dokter dan dua
orang perawat. Sejak rombongan haji menempati asrama haji di Embarkasi, petugas TKHI ini telah
mulai bekerja secara efektif dari memeriksa keadaan kondisi kesehatannya, memberikan
penyuluhan sampai memberikan pengobatan.
Panitia Penyelenggaraan Ibadah Haji (PPIH) bidang kesehatan adalah tenaga kesehatan
yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia untuk menjadi petugas haji non
Kloter yang bertugas untuk memberikan pembinaan, pelayanan dan perlindungan kesehatan
kepada para jamaah haji di tanah suci. Masa tugas PPIH ini adalah selama tiga bulan yang meliputi
masa sebelum jamaah haji tiba di tanah suci, masa selama jamaah haji di tanah suci dan masa
sesudah jamaah haji kembali ke tanah air. Petugas PPIH ini ditempatkan di Balai Pengobatan Haji
Indonesia (BPHI), sektor-sektor di Makkah-Madinah dan di BPHI Mina. Unsur-unsur tenaga
kesehatan di dalam PPIH terdiri dari dokter spesialis, dokter umum, dokter gigi, perawat, analis
laboratorium, apoteker, asisten apoteker, radiographer, sanitarian dan staf-staf teknis yang lain.
Petugas PPIH ini telah mengalami masa seleksi pada perekrutan tenaga kesehatan pada Pusat
Kesehatan Haji Indonesia Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang berasal dari beberapa
daerah propinsi di tanah air.
3. Intervensi keperawatan
a. Kaji frekuensi atau kedalaman pernapasan dan gerakan dada
b. auskultasi di paru, catat adanya ronchi, mengi dan krekels
c. observasi dan catat batuk yang berlebihan, peningkatan frekuensi napas, secret yang berlebihan.
d. penghisapan sesuai dengan indikasi
e. berikan cairan sedikitnya 2500 ml/ hr
f. bantu mengawasi efek penggunaan nebulizer
g.berikan obat sesuai dengan indikasi: mukolitik, ekspektoran, bronkodilatator analgesik.
Intervensi Keperawatan
a. Kaji frekuensi kedalam dankemudahan bernapas
b. Observasi warna kulit, membran mukosa dan kuku, catat adanya sianosis.
c. Awasi suhu tubuh, bantu tindakan kenyamanan untuk menurunkan demam
d. Observasi penyimpangan kondisi, catat hipotensi, banyaknya jumlah sputum, perubahan tingkat
kesadaran
e. Berikan terapi O2 dengan benar
f. Awasi AGD dan saturasi oksigen dengan pulse oksimeter.
Diagnose Keperawatan: Resiko tinggi penularan infeksi
Tujuan dan Kriteria:
Pencegahan penularan infeksi dengan kriteria hasil:
a. Tidak terdapat tanda-tanda penularan infeksi dari pasien lain, keluarga dan petugas kesehatan
b. Mencapai waktu perbaikan infeksi berulang tanpa komplikasi
Intervensi Keperawatan:
a. Pantau ketat tanda vital khususnya pada awal terapi
b. Anjurkan pasien memperhatikan pengeluaran sputum dan melaporkan perubahan warna, jumlah
dan bau sputum
c. Cegah penyebaran infeksi dari pasien lain, keluarga dan petugas kesehatan dengan mencuci tangan
secara konsisten sebelum dan sesudahnya kontak dengan pasien serta menggunakan APD.
d. Kolaborasi pemberian anti mikro bakteri
e. Bantu pasien memilih posis nyaman untuk istirahat atau tidur
f. Bantu perawatan diri yang tidak dapat dilakukan pasien.
Intervensi Keperawatan:
a. Tentukan karakteristik nyeri misalnya tajam, konstan, ditusuk. Selidiki perubahan karakter/ lokasi
intensitas nyeri
b. Pantau tanda-tanda vital
c. Kolaborasi pemberian analgesik dan antitusif
Diagnose Keperawatan: Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
Tujuan dan Kriteria:
Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi selama perawatan dengan kriteria hasil:
a. Menunjukkan peningkatan berat badan
b. Menunjukkan peningkatan nafsu makan
c. Makan habis 1 porsi
d. Tidak ada mual dan muntah.
Intervensi keperawatan
a. Auskultasi bising usus
b. Berikan makanan porsi kecil dengan frekuensi sering
c. Sajikan makanan dalam keadaan hangat
d. Berikan perawatan mulut
e. Timbang berat badan setiap hari.
Diagnose keperawatan:
1. Risti perluasan infeksi
2. Risti terjadi komplikasi
3. Nyeri
4. Defisit perawatan diri (ADL)
5. Resti terbatasnya pengetahuan (kebutuhan belajar) keluarga mengenai proses penyakit, prognosis
dan penatalaksanaannya.
Tindakan mandiri keperawatan ditujukan untuk mengatasi maslah keperawatan yang ditemukan
pada pasien: kaji faktor resiko infeksi, cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan perawatan
pasien, monitor tanda-tanda chest pain, kaji bunyi napas dan catat karakteristik urine. Pasien
bedrest, atur kepala datar, monitor tanda-tanda vital (khususnya sebelum dilakukan tindakan
lumbal pungsi, monitor status neurologi (GCS), kaji kelemahan yang meningkat irritabel serangan
kejang, monitor tanda-tanda vital secara tepat: tekanan darah, hipertensi, irama jantung. Pasang
penghalang di kedua sisi tempat tidur, lakukan suction atau pengisapan lender. Kaji pemenuhan
kebutuhan sehari-hari. Lakukan intervensi guna memenuhi kebutuhan pasien. Tindakan kolaborasi
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasien akan pengobatan: kolaborasi pemberian antibiotik
untuk mencegah infeksi, obat-obat penghilang rasa nyeri, kejang dan lain-lain.
Prioritas Keperawatan
1. Mencegah kerusakn integritas kulit
2. Menghilangkan nyeri
3. Memperbaiki sirkulasi perifer
4. Mencegah komplikasi (infeksi)
5. Memberikan informasi tentang ondisi, prognosis dan pengobatan frost bite.
Intervensi Keperawatan
1. Amankan pasien ke tempat yang hangat
2. Lakukan pengkajian sensori pada area cidera dan catat bila ada baal kesemutan dan lain-lain.
3. Lakukan rewarm dengan cara: balut atau bungkus tangan atau kaki atau daerah yang terkena
dengan handuk atau pembungkus yang hangat atau rendam tangan atau kaki yang cidera dalam
sirkulasi air hangat selama 20 menit.
4. Pertahankan bila ada lepuh pertahnakan tetap utuh.
5. Bila pasien tidak dapt diangkut ke rumah sakit ulang teknik rewarm sampai mencapai fasilitas.
6. Kaji keluhan nyeri pada saat rwarm, perhatikan lokasi/ karakter dan intensitas nyeri.
a. Dorong ekspresi perasaan pasien tentang nyeri.
b. Jelaskan prosedur/ informasi tentang tindakan rewarm (menghangatkan kembali)
c. Dorong penggunaan teknik manajemen stress conto; relaksasi, napas dalam, bimbingan imajinasi
dan visualisasi
d. Lakukan kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik.
7. Kaji warna, sensasi, gerakan nadi perifer dan pengisian kapiler pada ekstremitas yang cidera.
Bandingkan dengan hasil pada tungkai yang tidak cidera.
a. Posisikan area yang cidera lebih rendah dari jantung
b. Lakukan upaya untuk meningkatkan sirkulasi ke bagian cidera dengan menghangatkan bagian
tersebut.
8. Hindari menggosok bagian yang cidera karena dapat menimbulkan luka.
a. Pertahankan lepuh yang terjadi agar tetap utuh
b. Hindari penghangatan kembali dengan menggunakan api atau air karena dapat menimbulkan
cidera yang lebih berat
c. Bersihkan jaringan nekrotik, yang lepas (termasuk pecahnya lepuh) dengan funtung atau porset.
d. Periksa jaringan cidera tiap hari, perhatikan/ catat perubahan penampilan, bau atau cairan yang di
prosuksi.
e. Awasi tanda-tanda vital untuk demam, RL dan lain-lain.
f. Laporkan segera bila ada tanda-tanda infeksi.
9. Kaji ulang perawatan frost bite.
a. Diskusikan tentang perawatan ekstremitas atau bagian tubuh yang rentan terkena frost bite.
b. Beri pemahaman pasien tentang pentingnya perlindungan tubuh terhadap dingin agar tidak terjadi
frost bite.
c. Informasikan tentang bahaya penggunaan atau mengkonsumsi nikotin dan alkohol pada cuaca
dingin.
d. Bekerjasama dengan dokter dalam memberikan pendidikan kesehatan tentang pencegahan frost
bite, pertolongan pada kegawat daruratan, prognosis dan program pengobatan serta tindakan yang
diperlukan.
J. Asuhan Keperawatan Pada Kasus Gangguan Jiwa, Scizoprenia, Gangguan Sensori Persepsi:
Halusinasi.
1. Pengkajian
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana pasien mengalami perubahan sensori
persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau
penghiduan. Pasien merasakan adanya suara padahal tidak ada stimulus suara. Melihat bayangan
orang atau sesuatu yang menakutkan padahal tidak ada bayangan tersebut. Membaui buah-buahan
tertentu padahal orang lain tidak merasakan sensasi serupa. Merasa mengecap sesuatu padahal
tidak sedang makan apapun. Merasakan sensasi rabaan padahal tidak ada apapun dalam permukaan
kulit.
a. Mengkaji jenis halusinasi
Ada beberapa jenis halusinasi pada pasien gangguan jiwa. Halusinasi dapat dilakukan dengan
mengobservasi perilaku pasien dan menanyakan secaa verbal apa yang sedang dialami oleh pasien.
1) Halusinasi dengan suara; mendengar suar-suara atau kegaduhan yang mengajak bercakap-cakap/
menyuruh melakukan sesuatu yang membahayakan. Pasien terlihat tertawa sendiri, marah-marah
tanpa sebab, menyedengkan telinga kea rah tertentu atau menutup telinga.
2) Halusinasi penglihatan: melihat bayangan seperti sinar, bentuk geometris, bentuk karton, melihat
hantu atau monster. Pasien menunjuk-nunjuk arah tertentu, ketakutan pada sesuatu yang tidak
jelas.
3) Halusinasi penghidu; membaui bau-bauan seperti bau darah, urine, faeces, kadang-kadang bau itu
mneyenangkan. Pasien terlihat menghidu seperti sedang membaui buah-buahan tertentu atau
menutup hidung.
4) Halusiansi pengecapan; pasien merasakan rasa seperti darah, urine, faeces dan pasien selalu
meludah atau bahkan muntah.
5) Halusinasi perabaan; pasien mengatakan ada serangan di permukaan kulit merasa seperti tersengat
listrik, pasien terlihat selalu menggaruk permukaan kulit.
b. Mengkaji waktu, frekuensi dan situasi munculnya halusinasi.
Perawat perlu mengkaji waktu, frekuensi dan situasi munculnya halusinasi yang dialami oleh
pasien. Hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi khusus pada waktu terjadinya halusinasi,
menghindari situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi. Sehingga pasien tidak larut dalam
dengan halusinasinya. Dengan mengetahui frekuensi terjadinya halusinasi maka dapat
direncanakan frekuensi untuk mencegah terjadinya halusinasi.
c. Mengkaji respon terhadap halusinasi.
Untuk mengetahui dampak halusinasi pada pasien dan apa respon pasien ketika halusinasi itu
muncul, perawat dapat menanyakan pada pasien hal yang dirasakan atau dilakukan saat halusinasi
timbul. Perawat juga dapat menanyakan kepada keluarga atau orang terdekat dengan pasien. Selain
itu dapat juga dengan mengobservasi dampak halusinasi pada pasien jika halusinasi timbul.
2. Diagnosa Keperawatan: Gangguan sensori persepsi: halusinasi
3. Tindakan keperawatan:
a. Tindakan keperawatan untuk pasien
1) Tujuan tindakan: pasien mengenali halusinasi yang dialaminya, pasien dapat mengontrol
halusinasinya, pasien mengikuti program pengobatan secara optimal
2) Tindakan keperawatan
a. Membantu pasien mengenali halusinasi dengan cara berdikusi dengan pasien tentang isi halusinasi
(apa yang didengar atau dilihat), waktu terjadinya halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi,
situasi yang menyebabkan halusinasi muncul dari perasaan pasien saat halusinasi muncul
(komunikainya sama).
b. Melatih pasien mengontrol halusinasi. Dengan empat cara yang sudah terbukti dengan hasil
eveden base, antara lain adalah dengan cara menghardik halusinasi, bercakap-cakap dengan orang
lain, melakukan aktifitas yang terjadwal, menggunakan obat secara teratur.
b. Tindakan keperawatan kepada keluarga atau kelompok
1) Tujuan untuk keluarga atau kelompok adalah: keluarga atau kelompok dapat merawat pasien
pondokan dan menjadi system pendukung yang efektif untuk pasien.
2) Tindakan keperawatan: faktor keluarga atau kelompok menempati hal vital dalam penanganan
pasien gangguan jiwa di pondokan. Hal ini mengingat keluarga atau kelompok adalah support
system terdekat dan 24 jam bersama-sama dengan pasien. Keluarga atau kelompok sangat
menentukan apakah pasien akan kambuh atau tetap sehat. Keluarga atau kelompok yang
mendukung pasien secara konsisten akan membuat psien mampu mempertahankan program
pengobatan secara optimal. Namun demikian jika keluarga atau kelompok tidak mampu merawat
pasien maka akan kambuh bahkan untuk memulihkannya kembali sangat sulit.
3) Informasi yang perlu disampaikan kepada keluarga/ kelompok meliputi: jenis halusinasi yang
dialami oleh pasien, tanda dan gejala serta proses terjadinya halusinasi.
4. Evakuasi
Evaluasi keberhasilan tindakan keperawatan yang sudah dilakukan untuk pasien halusinasi adalah:
a. Pasien mempercayai petugas kesehatan sebagai terapis.
b. Pasien menyadari bahwa yang dialaminya tidak ada obyeknya dan merupakan masalah yang harus
diatasi.
c. Pasien dapat mengontrol halusinasi
d. Keluarga atau kelompok mampu merawat pasien di pondokan.
K. Asuhan Keperawatan pada Pasien Dengan Depresi: Isolasi sosial
1. Pengkajian
Isolasi sosial adalah keadaan di mana seorang individu mengalami pemurunan atau bahkan sama
sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak,
tidak terima, kesepian dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain.
a. Tanda dan gejala isolasi sosial yang didapatkan melalui wawancara adalah:
1) Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
2) Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain
3) Pasien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain
4) Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
5) Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
6) Pasien merasa tidak berguna
7) Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
b. Tanda dan gejala isolasi sosial yang didapatkan melalui observasi adalah;
1) Pasien banyak diam dan tidak mau bicara
2) Pasien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang terdekat.
3) Pasien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal.
4) Kontak mata kurang.
2. Diagnose Keperawatan: Isolasi Sosial
3. Tindakan keperawatan
a. Tindakan keperawatan untuk pasien
1) Membiina hubungan saling percaya
2) Membantu pasien menyadari perilaku isolasi sosial
3) Melatih pasien berinteraksi dengan orang lain secara bertahap.
b. Tindakan keperawatan untuk keluarga/ kelompok
Melatih keluarga atau kelompok yang merawat pasien isolasi sosial untuk dapat membantu pasien
mengatasi masalah isolasi sosial bersama dengan pasien, dengan cara:
1) Menjelaskan tentang masalah isolasi sosial dan dampaknya pada pasien.
2) Memperagakan cara berkomunikasi dengan pasien
3) Memberi kesempatan kepada keluarga untuk mempraktekan cara berkomunikasi dengan pasien.
4. Evaluasi
1. Evaluasi kemampuan pasien
a. Pasien dapat menjelaskan kebiasaan interaksi.
b. Pasien dapat menjelaskan penyebab tidak bergaul dengan orang lain
c. Pasien dapat menyebutkan keuntungan bergaul dengan orang lain.
d. Pasien dapat menyebutkan kerugian bila tidak bergaul dengan orng lain
e. Pasien dapat memperagakan cara berkenalan dengan orang lain.
f. Pasien sudah melakukan aktifitas berinteraksi dengan perawat, keluarga dan kelompok tua.
g. Pasien dapat menyampaikan perasaan setelah interaksi dengan orang lain.
h. Pasien mempunyai jadwal bercakap-cakap dengan orang lain.
i. Pasien dapat menggunakan obat dengan patuh.
2. Evaluasi kemampuan keluarga atau kelompok
a. Keluarga kelompok menyebutkan masalah isolasi sosial dan akibatnya.
b. Keluarga atau kelompok menyebutkan penyebab isolasi sosial.
N. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome)
SARS merupakan jenis penyakit Pneumonia. Penyebabnya adalah virus corona. Central
Disease Controle (CDC) mengumumkan pada awal April 2004 sebuah jenis virus Corona yang
kemungkinan tidak pernah terlihat pada manusia merupakan perantara yang bertanggung jawab
terhadap penularan SARS.
Asuhan keperawatan pada pasien SARS prinsipnya sama dengan asuhan keperawatan pada
Flu Burung. Dasarnya adalah asuhan keperawatan pasien dengan Pneumonia dengan spesifikasi
penerapan isolasi ketat selama melakukan asuhan keperawatan pasien.
1. Prioritas Keperawatan:
a. Mempertahankan atau memperbaiki fungsi pernapasan.
b. Mengurangi atau meminimalkan penyebaran atau penularan penyakit.
c. Mendukung proses penyembuhan.
d. Memberikan informasi tentang proses penyakit/ prognosis dan pengobatan.
2. Tujuan
a. Ventilasi dan oksigenasi ade kuat untuk kebutuhan individu
b. Penularan penyakit dicegah atau diminimalkan.
c. Proses penyakit/ prognosis dan program terapi dipahami.
d. Perubahan pola hidup atau kebiasaan teridentifikasi.
3. Masalah keperawatan
a. Risti penyebaran infeksi
b. Bersihan jalan napas tidak efektif
c. Kerusakan pertukaran gas
d. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan tindakan.
4. Intervensi Keperawatan:
a. Lakukan isolasi sesegera mungkin, batasi kontak dengan jamaah lain termasuk dengan keluarga,
berikan atau pasangkan masker kepada pasien (sedapat mungkin masker N95), gunakan alat
pelindung diri (APD) bagi petugas yang memberikan asuhan, segera rujuk ke sarana kesehatan
yang memunkinkan dilakukan teknik isolasi ketat. Ikuti standar prosedur operasional setiap
kegiatan yang dilakukan terhadap pasien.
b. Cuci tangan dengan benar sebelu dan sesudah kontak dengan pasien.
c. Gunakan alat medic atau keperawatan untuk satu alat satu pasien. Desinfeksi alat medis/
keperawatan setelah digunakan sesuai prosedur, tempatkan alat makan, APD disposable di kantong
sampah medis buang sesuai prosedur untuk penyakit menular.
d. Lakukan transport pasien sesuai prosedur: cuci tangan sebelum dan setelah kontak dengan pasien,
gunakan APD sesuai prosedur untuk petugas kesehatan, pasang masker pada pasien, desinfeksi
alat transport dan peralatan lain.
e. Kaji dan catat frekuensi dan kedalaman pernapasan
f. Bantu pasien latihan napas yang sering, ajarkan pasien cara melakukan batuk dan ajarkan batuk
efektif.
g. Kolaborasi pemberian obat-obatan yang diprogramkan seperti mukolitik, ekspectoran,
bronchodilatator dan analgesik.
h. Kolaborasi pemberian cairan melalui intra vena dan pemberian oksigen.
i. Observasi warna kulit, membrane mukosa dan kuku, catat adanya sianosis perifer (kuku) atau
sianosis sentral (sirkumoral)
j. Awasi frekuensi dan irama jantung, tinggikan kepala dorong napas dalam dan batuk efektif.
k. Kolaborasi pemberian oksigen dengan benar (nasal prong, masker dan lain-lain)
l. Bekerjasama dengan dokter dalam memberikan informasi tentang penyakit meliputi ketidak
mampuan dari penyakit, lamanya penyembuhan, peraturan isolasi dan pentingnya menjalani
program pengobatan dengan tuntas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyelenggaraan Ibadah Haji, sebagaimana diamanahkan dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, bertujuan untuk memberikan
pembinaan, pelayanan, dan perlindungan yang sebaik-baiknya bagi Jemaah Haji sehingga Jemaah
Haji dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan ketentuan ajaran agama Islam. Pembinaan dan
pelayanan kesehatan bagi jemaah haji dilaksanakan secara menyeluruh yang meliputi upaya
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dalam pelaksanaannya perlu kerjasama berbagai
pihak terkait, sektor dan pemerintah daerah serta perlu adanya pedoman yang dapat menjadi acuan
penyelenggaraan kesehatan haji di tanah air yaitu di embarkasi dan debarkasi serta selama
perjalanan di Arab Saudi. Pedoman tersebut telah disusun dan ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor 1394/Menkes/SK/2002 tentang Penyelenggaraan Kesehatan Haji
yang telah dilakukan penyempurnaan dan penyesuaian dengan diterbitkannya Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 442/ MENKES/ SK/ VI/ 2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan
Haji. Keputusan Menteri Kesehatan RI tersebut juga bersumber dari Undang-Undang Kesehatan
Nomor 36 Tahun 2009 pada bagian Keempatbelas pasal 97 yang mengatur tentang Kesehatan
Matra.
Petugas Kesehatan Haji Indonesia maupun calon jamaah haji sebaiknya mengetahui
dan memperhatikan keadaan lingkungan pada pelaksanaan ibadah haji. Lingkungan yang akan
dilalui oleh calon jamaah haji mempunyai karakter yang berbeda-beda. Setiap perpindahan
lingkungan satu ke lingkungan yang lain diperlukan suatu proses adaptasi pada tubuh yang cepat
dan benar.
Asuhan Keperawatan pada lapangan/ bergerak perlu dilaksanakan dengan
memperhatikan kondisi jamaah haji sebagai pasien dalam anggota kelompok dan kondisi
lingkungan di sekitarnya sehingga tercapai tujuan atau evaluasi yang diharapkan.
B. Saran
Dalam penyelenggaraan kesehatan haji diperlukan ketelitian, kesabaran, ketekunan, rasa
empati kepada jamaah haji, tanggung jawab, komitmen kepada tugasnya dan saling pengertian
kepada sesama tim sehingga terjalin suatu komunikasi yang baik sehingga pelayanan kesehatan
dapat diberikan kepada jamaah haji dengan baik pula. Tim Kesehatan Haji Indonesia diharapkan
dapat memberikan pencatatan dan pelaporan yang tepat terkait kondisi kesehatan jamaah haji
dengan mengisi secara detail form blangko pelaporan yang tersedia. Dari pihak jamaah haji
sebaiknya memberikan informasi yang benar dan jujur tentang kondisi kesehatan dirinya untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik sesuai dengan kemampuan dari tim kesehatan haji
dan sarana yang dimiliki.
Pada Penyelenggaraan kesehatan haji memerlukan suatu Standar Operasional Prosedur
(SOP) dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bagi Tim Kesehatan Haji Indonesia yang baku dan
sama secara nasional dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada jamaah haji sehingga tidak
ada perbedaan dalam memberikan pelayanan kesehatan. SOP dan SPM ini berguna untuk
mengevaluasi dan mengukur tingkat penyimpangan dalam memberikan pelayanan kesehatan
kepada jamaah haji. Demikian informasi yang dapat saya berikan kepada semua pihak, semoga
dalam penyelenggaraan ibadah haji Indonesia dapat terlaksana dengan baik dan sesuai dengan
harapan semua pihak. Amiiiin.
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Kesehatan RI, 2011, Modul Pelatihan Jabatan Fungsional Perawat Jenjang Ahli Pertama,
Jakarta, Kementerian Kesehatan RI-Badan PPSDM Kesehatan Pusdiklat Aparatur.
Kementerian Agama RI Direktorat Jenderal Penyelenggaraan haji dan Umrah Tahun 1433/ 2012 M, 2012,
Kebijakan Penyelenggaraan Ibadah Haji, Jakarta, Kementerian Agama RI.
Kementerian Agama RI, 2012, Modul Pembekalan Operasional Kesehatan Haji, Bahan Ajar Pelatihan
Petugas Haji Tahun 1433 H/ 2012 M, Jakarta, Kementerian Agama RI, Direktorat Jenderal
Penyelenggaraan Haji dan Umrah.
Kementerian Kesehatan RI, 2012, Bahan Bacaan Peserta Pelatihan Tim Kesehatan Haji Indonesia,
Jakarta, Kementerian Kesehatan RI.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
-------------, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
-------------, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
-------------, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 706 Tahun 2011 Tentang Rekrutmen Petugas Kesehatan
Haji Indonesia.
------------, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 442/ MENKES/ SK/ VI/ 2009 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Kesehatan Haji
CURICULUM VITAE