Anda di halaman 1dari 17

BEROBAT DENGAN ZAT YANG HARAM

Diajukan untuk memehuni tugas Mata Kuliah AKSM 1

dosen pengampu

Disusun oleh:

M. Dzikri Akbar R 302017048


Nur Ranti Luthfiani 302017052
Putri Pramitha N F 302017057
Rizki Maulana R 302017063
Salma Salsabila 302017068

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ‘AISYIYAH BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah SWT yang melimpahkan kasih dan sayangnya kepada
kita semua khususnya kepada penulis, sehingga penulis dapat membuat makalah ini
tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada
nabi besar kita nabi Muhammad SAW.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah AKSM 1.
Dalam penyusunannya pun penulis mendapatkan bantuan dari dosen mata kuliah
yang bersangkutan, dari teman-teman dan dari referensi buku serta artikel media
massa.
Penyusunan makalah ini belum mencapai kata sempurna, sehingga penulis
dengan lapang dada menerima kritik dan saran dari pembaca yang bersifat
membangun sehingga di kemudian hari penulis dapat membuat makalah jauh lebih
baik dari makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan
pembaca serta menjadi inspirasi bagi pembaca.

Bandung, November 2019

Penyusun
Daftar Isi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan beberapa pertanyaan yang akan dibahas dalam
suatu makalah. Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut.
1.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Melalui pembuatan makalah mengenai Berobat dengan Zat Haram,
diharapkan mahasiswa mampu memahami materi mengenai masalah etik
pada asuhan keperawatan spiritual muslim.
2. Tujuan Khusus
a.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi Pengobatan
Secara bahasa pengobatan dalam bahasa arab adalah masdar dari
Tadawa artinya memberikan obat atau memeriksa penyakitnya. Secara istilah
ia memiliki kesamaan dengan kedokteran, yaitu ilmu yang denganya dapat
mengetahui keadaan manusia dari segi yang dapat meningkatkan dan
menghilangkan kesehatan, hal ini di peruntukan agar dapat menjaga kesehatan
dan menolak hal yang dapat mebahayakan kesehatan. (Kuntari, 2015)
Pengobatan adalah suatu kebudayaan untuk menyelamatkan diri dari
dari penyakit yang mengganggu hidup. Kebudayaan tidak saja dipengaruhi
oleh lingkungan, tetapi juga oleh kepercayaan dan keyakinan, karena manusia
telah merasa di alam ini ada sesuatu yang lebih kuat dari dia, baik yang dapat
dirasakan oleh pancaindera maupaun yang tidak dapat dirasakan dan bersifat
ghaib. Pengobatan ini pun tidak lepas dari pengaruh kepercayaan atau agama
yang di anut manusia. (…)
Sehingga istilah pengobatan medis dapat disimpulkan sebagai suatu
kebudayaan untuk menyelamatkan diri dari penyakit yang menggaggu hidup
manusia di dasar kan kepada ilmu yang diketahui dengan kondisi tubuh
manusia, dari segi kondisi sehat dan kondisi menurunnya kesehatan, untuk
menjaga kesehatan yang telah ada dan mengembalikannya ketika kondisi
tidak sehat.

B. Jenis Bahan Baku Pembuatan Obat


Bahan baku pembuatan obat
1. Bahan nabati/Flora/Tumbuhan.
2. Bahan hewani/Fauna.
3. Bahan pelikan/Mineral.
Berdasarkan Undang-Undang No.7 tahun 1963 tentang Farmasi, obat-
obatan kimia dapat digolongkan menjadi 5 (lima) kategori, yang
dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan ketepatan penggunaan serta
pengamanan distribusi masing-masing. Kelima kategori tersebut apabila
diurutkan dari yang paling longgar hingga yang paling ketat mengenai
peraturan pengamanan, penggunaan, dan distribusinya adalah sebagai berikut
:
1. Obat Bebas
2. Obat Bebas Terbatas (Daftar W atau ”Waarschuwing”, waspada)
3. Obat Keras (Daftar G atau ”Gevaarlijk”, berbahaya)
4. Obat Psikotropika (OKT, Obat Keras Terbatas)
5. Obat Narkotika (Daftar O atau ”Opium”)

Yang termasuk di dalam kelima golongan tersebut di atas adalah obat


yang dibuat dengan bahan-bahan kimia dan atau dengan bahan-bahan dari
unsur tumbuhan dan hewan yang sudah dikategorikan sebagai bahan obat atau
campuran / paduan keduanya, sehingga berupa obat sintetik dan obat semi-
sintetik, secara berturut-turut. Obat herbal / tradisional (TR) tidak termasuk
dalam kelompok ini.

C. Pengobatan dalam Islam


Banyak ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan tentang pengobatan
karena Al-Qur’an itu sendiri diturunkan sebagai penawar dan rahmat bagi
orang-orang mukmin. “Dan kami menurunkan Al-Qur’an sebagai penawar
dan rahmat bagi orang-orang yang mukmin”.(QS Al-Isra’: 82).
Menurut para ahli tafsir bahwa nama lain dari Al-Qur’an yaitu “Asy-
syifa” yang artinya secara terminologi adalah obat penyembuh. “Hai
manusia, telah datang kepadamu kitab yang berisi pelajaran dari Tuhan mu
dan sebagai obat penyembuh jiwa, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-
orang yang beriman”.(QS Yunus:57)
Disamping Al-Qur’an mengisyaratkan tentang pengobatan juga
menceritakan tentang keindahan alam semesta yang dapat kita jadikan sumber
dari pembuat obat-obatan. “Kemudian makanlah dari segala(macam)buah-
buahan dan tempuhlah jalan Tuhan-muyang telah (dimudahkan bagimu).
Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam
warnanya, didalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.
Sungguh pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
orang-orang yang berfikir”.(QS An-Nahl:69)
1. Metoda Pengobatan Rasulullah
Nabi Muhammad sebagai Rasul yang diperintahkan Allah untuk
menyampaikan wahyu kepada umat-nya tidak lepas tingkah lakunya
dari Al-Qur’an karena beliau dijadikan suri tauladan yang baik untuk
semua manusia. Firman Allah : “Sesungguhnya pada diri Rasul itu
terdapat suri tauladan yang baik untuk kamu, bagi orang-orang yang
mengharapkan rahmat (Allah) dan (kedatangan) hari kiamat dan yang
banyak mengingat Allah”.(QS Al-Ahzab: 21). Imam Ali berkata :
“Sesungguhnya semua tingkah laku Nabi Muhammad SAW adalah Al-
Qur’an”. Beberapa metoda pengobatan yang dilakukan Rasulullah :
a. Doa Mukjizat
Banyak doa-doa kesembuhan yang di ajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW kepada umat nya, salah satunya : “Allahumma
isyfi abdaka yan-ulaka aduwwan aw yamsyi laka ila sholaah”.
b. Dengan Memakai Madu
Sebagaimana menurut QS An-Nahl:69 bahwa madu Allah jadikan
sebagai obat maka Rasulullah menggunakan madu untuk
mengobati salah satu keluarga sahabat yang sedang sakit. Dalam
satu riwayat, ada sahabat yang datang kepaa Rasulullah
memberitahukan anaknya sedang sakit, kemudian Nabi menyuruh
meminumkan anaknya madu sambil membaca doa.
c. Bekam
Berbekam termasuk pengobatan yang diajarkan Rasulullah SAW,
bahkan Rasulullah SAW pernah melakukan bekam dan
memberikan upah kepada tukang bekam. Rasulullah bersabda :
“Sesungguhnya sebaik-baik apa yang kalian lakukan untuk
mengobati penyakit adalah dengan melakukan bekam”.
2. Prinsip-prinsip Pengobatan
Di dalam penyembuhan penyakit ala Rasulullah SAW., diterapkan
tertentu sebagai pedoman yang perlu diketahui dan dilaksanakan.
a. Meyakini bahwa Allah SWT. yang Maha Menyembuhkan segala
penyakit
Rasulullah SAW. menyajarkan bahwa Allah SWT. adalah dzat
yang Maha Penyembuh. Allah SWT. berfirman “Dan apabila aku
sakit, maka Dia-lah yang menyembuhkan aku.” (QS. asy-Syu’ara
(26): 80).
Jika memerhatikan pengobatan masa sekarang yang serba modern
ternyata kebalikan dengan pengobatan jaman Rasulullah. Banyak
orang yang menggantungkan penyembuhan dengan obat. Padahal,
keyakinan semacam itu mendekati perbuatan syirik. Yang
memberikan kesembuhan bukanlah obat itu, tapi Allah SWT.
Jika kita merasa yakin, insya Allah akan diberi kesembuhan
dengan cepat. Rasulullah SAW. mengajarkan agar orang yang
sakit senantiasa berdoa kepada Allah SWT. Salah satunya doa
nabi Yunus: “Laa illaha illa anta subhanaka inni kuntu minal
dhalimiin.”
b. Menggunakan obat yang halal dan baik
Rasulullah mangajarkan supaya obat yang dikonsumsi penderita
harus halal dan baik. Allah SWT. yang menurunkan penyakit
kepada seseorang, maka Dia-lah yang menyembuhkannya. Jika
kita menginginkan kesembuhan dari Allah, maka obat yang
digunakan juga harus baik dan diridhai Allah SWT. karena Allah
melarang memasukan barang yang haram dan merusak ke dalam
tubuh kita.Allah berfirman: “Dan makanlah makanan yang halal
lagi baik dari apa yang Allah telah direzekikan kepadamu, dan
bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”
(QS. al-Maidah (5): 88)
Rasulullah SAW. bersabda, “Setiap daging (jaringan tubuh) yang
tumbuh dari makanan haram, maka api nerakalah baginya.” (HR.
at-Tirmidzi) “Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan
obatnya, dan menjadikan setiap penyakit pasti ada obatnya. Maka
berobatlah kalian, tapi jangan dengan yang haram.” (HR. Abu
Dawud) Menggunakan obat yang halal, selain mendatangkan ridha
Allah juga akan menjaga supaya badan tetap sehat.
c. Tidak menimbulkan madharat
Dalam menyembuhkan penyakit, harus diperhatikan mengenai
dengan kemudharatan obat. Seorang dokter muslim akan selalu
mempertimbangkan penggunaan obat sesuai dengan penyakitnya.
d. Pengobatan tidak bersifat TBC (tahayul, bid’ah, churafat)
Pengobatan yang disyariatkan dalam Islam adalah pengobatan
yang bisa diteliti secara ilmiah. Pengobatan dalam Islam tidak
boleh berbau syirik (pergi ke dukun, kuburan, dsb.).
e. Selalu ikhtiar dan tawakal
Islam mengajarkan bahwa dalam berobat hendaklan mencari obat
atau dokter yang lebih baik. Dalam kedokteran Islam diajarkan
bila ada dua obat yang kualitasnya sama maka pertimbangan
kedua yang harus diambil adalah yang lebih efektif dan tidak
memiliki efek rusak bagi pasien. Itulah sebabnya Rasulullah
menganjurkan kita untuk berobat pada ahlinya. Sabda beliau, Abu
Dawud, An Nasai, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari hadis ‘Amr
Ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya; katanya, “Telah
berkata Rasulullah SAW., ‘Barangsiapa yang melakukan
pengobatan, sedang pengobatannya tidak diikenal sebelum itu,
maka dia bertanggung jawab (atas perbuatannya).”
3. Sumber-sumber Pengobatan
Dalam Shahih al-Bukhari diriwayatkan dari Syahid bin Jubair, dari Ibnu
Abbas, dari Nabi SAW., “Ksembuhan itu ada 3, dengan meminumkan
madu (bisyurbata ‘asala), sayatan pisau bekam (syurthota mihjam), dan
dengan besi panas (kayta naar) dan aku melarang umatku melakukan
pengobatan dengan besi panas.”
“Gunakan dua penyembuhan; al-Qur’an dan madu.” (HR ath-Thabrani
dari Abu Hurairah)
Berdasarkan hadist di atas dapat kita ketahui bahwa sumber pengobatan
Rasulullah SAW. adalah;
a. al-Qur’an,
b. madu (obat alamiah), dan
c. gabungan al-Qur’an dan obat alamiah.
D. Berobat dengan Zat Haram
Secara bahasa najis bermakna al qadzarah ( ‫ )القذارة‬yang artinya
adalah kotoran. Sedangkan secara istilah, najis menurut definisi Asy
Syafi’iyah adalah:“Sesuatu yang dianggap kotor dan mencegah sahnya shalat
tanpa ada hal yang meringankan.” Dan menurut definisi Al Malikiyah, najis
adalah: “Sifat hukum suatu benda yang mengharuskan seseorang tercegah
dari kebolehan melakukan shalat bila terkena atau berada di dalamnya.
Menurut madzhab Syafi’i, sebagaimana dijelaskan oleh an-Nawawi
dalam al Majmu’ (9/50-51) berobat dengan benda najis selain khamr
hukumnya boleh, dengan syarat (1) tidak ada obat yang berasal dari bahan
yang suci yang bisa menggantikannya, jika terdapat obat dari bahan yang suci
maka haram berobat dengan benda najis, dan (2) jika memang benda najis itu
diketahui –secara ilmu kedokteran- berkhasiat obat dan tidak ada obat lain
dari bahan yang suci yang bisa menggantikannya.
Pemahaman ini diambil dari hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim
tentang orang-orang dari ‘Urainah yang berobat dengan air kencing unta, dan
kencing unta menurut madzhab Syafi’i hukumnya najis. Dan mereka
memahami hadits ‘Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian
dari apa-apa yang diharamkan atas kalian’ ‘Sesungguhnya Allah telah
menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya,
maka berobatlah, dan janganlah berobat dengan yang haram’, dan ‘Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berobat dengan obat yang kotor
(khabits) adalah jika didapatkan obat dari bahan yang suci, dan jika tidak ada
obat tersebut maka berobat dengan benda najis, selain khamr, hukumnya
boleh.

E. Fatwa MUI Mengenai Obat dan Pengobatan


Fatwa MUI Nomor 30 Tahun 2013 tentang Obat dan Pengobatan:
Ketentuan Hukum:
a. Islam mensyariatkan pengobatan karena ia bagian dari perlindungan dan
perawatan kesehatan yang merupakan bagian dari menjaga Al-Dharuriyat Al-
Kham.
b. Dalam ikhtiar mencari kesembuhan wajib menggunakan metode pengobatan
yang tidak melanggar syariat.
c. Obat yang digunakan untuk kepentingan pengobatan wajib menggunakan
bahan yang suci dan halal.
d. Penggunaan bahan najis atau haram dalam obat hukumnya haram.
e. Penggunaan obat yang berbahan najis atau haram untuk pengobatan
hukumnya haram kecuali memenuhi syarat sebagai berikut:
1) digunakan pada kondisi keterpaksaan (al-dlarurat), yaitu kondisi
keterpaksaan yang apabila tidak dilakukan dapat mengancam jiwa
manusia, atau kondisi keterdesakan yang setara dengan kondisi darurat
(al-hajat allati tanzilu manzilah al-dlarurat), yaitu kondisi keterdesakan
yang apabila tidak dilakukan maka akan dapat mengancam eksistensi jiwa
manusia di kemudian hari;
2) belum ditemukan bahan yang halal dan suci; dan
3) adanya rekomendasi paramedis kompeten dan terpercaya bahwa tidak ada
obat yang halal.
4) Penggunaan obat yang berbahan najis atau haram untuk pengobatan luar
hukumnya boleh dengan syarat dilakukan pensucian.
F. Obat Anti-Koagulan
Nama patennya Lovenox. Obat buatan Prancis yang mengandung Enoxaparin
sodium tersebut memang mengandung zat babi. Namun, di balik kandungan
zat haramnya, obat ini merupakan antikoagulan yang sangat efektif untuk
menghancurkan titik pembekuan darah. Itu sebab, dokter yang menangani
penderita stroke dan jantung, kerap meresepkan pasien dengan obat injeksi
tersebut.
Direktur Penilaian Obat dan Produk Biologi Balai Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM), Nurma Hidayati, beberapa waktu lalu, pernah mengatakan
bahwa ada tiga jenis bahan baku obat yang memang mengandung babi, yakni
enoxaparin, nadroparin, dan parnaparin. Tiga kandungan obat tersebut biasa
digunakan untuk obat-obat jantung. Namun, obat-obat tersebut digunakan
dalam keadaan darurat untuk life saving. Wakil Ketua Majelis
Permusyawarata Ulama (MPU) Aceh, Tgk H Faisal Ali mengatakan,
semua obat-obatan medis yang mengandung zat babi atau najis, tetap tidak
boleh dipergunakan selama masih tersedia alternatif obat lain. Islam dengan
tegas melarang penggunaan obat dari unsur najis.
Ia merincikan, walaupun kandungan zat babi dalam obat tersebut sudah tidak
ada, namun lantaran proses pembuatannya dibantu dengan zat berunsur babi,
maka tetap saja tidak diperbolehkan bagi umat muslim. “Jadi, walaupun bahan
baku obatnya tidak ada najis, namun jika dalam prosesnya terkena najis, maka
tetap saja haram,” ujarnya.
Lem Faisal berharap semua obat yang dipakai untuk warga muslim haruslah
yang halal, kecuali memang sudah tak ada alternatif obat-obatan lain, dengan
catatan, tingkat darurat sebuah penyakit juga harus dijadikan pertimbangan.
Namun, untuk beberapa jenis obat yang selama ini sering menggunakan zat
babi, seperti obat untuk mencairkan dan melancarkan bekuan darah, kata
Faisal Ali, saat ini juga sudah tersedia alternatif yang tidak mengandung zat
babi, sehingga tidak ada alasan lagi memakai obat dari bahan babi.
Menurutnya, dokter harus bertanggung jawab jika sudah memberi obat-obat
berbahan najis. “Sebagai daerah yang mayoritas muslim, rumah sakit maupun
BPJS Kesehatan harus menyediakan obat yang halal,” kata Lem Faisal.
Ia pertegas bahwa semua orang sakit dapat disembuhkan atas kehendak Allah
Swt. Berobat hanya sebuah ikhtiar dari manusia. Namun, dalam berikhtiar
juga tidak boleh melanggar larangan-larangan Allah.
Ia tambahkan, sebenarnya yang sakit itu merupakan orang yang sudah dekat
dengan kematian. “Seharusnya di saat kondisi mereka seperti itu harus selalu
dalam keadaan husnul khatimah (meninggal dalam keadaan baik). Namun,
jika digunakan obat-obatan yang mengandung najis tentu sudah dalam
keadaan tidak suci,” kata Faisal Ali, Wakil Ketua MPU Aceh.
BAB III

ANALISA KASUS

A. Kasus
B. Pembahasan
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Kuntari, Titik. 2015. Prinsip-prinsip Pengobatan Dalam Islam. Yogyakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Majelis Ulama Indonesia. 2016. Obat dan Pengobatan. Jakarta: Fatwa Majelis Ulama
Indonesia No 30 Tahun 2013

Anda mungkin juga menyukai