Anda di halaman 1dari 18

Pola Penggunaan Obat Anti Epilepsi pada Pasien Epilepsi di Instalasi Rawat Jalan RS PKU

Muhammadiyah
Yogyakarta Periode Januari - Juli 2014
ROHMI ARUNDATI
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan

kronik otak yang menunjukkan gejala -gejala berupa serangan yang berulang-ulang

yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau seluruh

jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf) peka rangsang yang

berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom atau psikis

yang timbul tiba-tiba dan sesaat disebabkan lepasnya m uatan listrik abnormal sel-sel

otak (Gofir dan W ibowo, 2006)

Dewasa ini epilepsi didefinisikan sebagai suatu gangguan atau terhentinya fungsi

otak secara periodik yang disebabkan oleh terjadinya pelepasan muatan listrik secara

berlebihan dan tidak teratur oleh sel-sel otak dengan tiba-tiba, sehingga penerimaan

dan pengiriman impuls antara bagian otak dan dari otak ke bagian lain tubuh

terganggu (M utiawati, 2008). M enurut Gibbs epilepsi ialah suatu “ paroxysm al

cerebral dysrhytmia”, dengan gejala-gejala klinis seperti di atas. Dasar disritmia ini

ialah elektrobiokim iawi (M aramis, 2005).

Epilepsi adalah kelainan neurologis kronik yang terdapat di seluruh dunia.

Epilepsi dapat terjadi pada pria maupun wanita dan pada semua umur. Ins iden

epilepsi di dunia berkisar antara 33-198 tiap 100.000 penduduk tiap tahunnya. (WHO,

2006) Insiden ini tinggi pada negara-negara berkembang karena faktor risiko untuk

14
Pola Penggunaan Obat Anti Epilepsi pada Pasien Epilepsi di Instalasi Rawat Jalan RS PKU
Muhammadiyah
Yogyakarta Periode Januari - Juli 2014
ROHMI ARUNDATI
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

terkena kondisi maupun penyakit yang akan mengarahkan pada cedera otak adalah

lebih tinggi dibanding negara industri (WH O, 2001; WHO, 2006).

Prevalensi epilepsi di Indonesia berkisar antara 0,5-2% (Paryono dkk, 2003).

Sekitar 1,1 juta hingga 1,3 juta penduduk Indonesia mengidap penyakit epilepsi

(Depkes, 2006).

Pengobatan Epilepsi diantaranya bertujuan untuk membuat penderita terbebas dari

serangan, khususnya serangan kejang, sedini/seawal mungkin tanpa mengganggu

fungsi normal saraf pusat dan penderita dapat melakukan tugas tanpa bantuan. Terapi

meliputi terapi kausal, terapi dengan menghindari factor pencetus, dan memakai obat

anti konvulsi (Hendra Utama, 2007).

Penggunaan O bat Anti Epilepsi (OAE) pada kasus epilepsi rawat jalan

memerlukan kesadaran pasien untuk secara rutin melakukan kunjungan ke Rumah

Sakit dan mendapatkan pengobatan yan g sesuai. Penggunaan dosis serendah

mungkin, kepatuhan minum obat, kedisiplinan pasien untuk konsultasi dengan dokter

dan mendapatkan kemajuan pengobatan belum cukup efektif untuk mengatasi

bangkitan epilepsi. Pasien baru diberikan obat anti epilepsi yang umum dan tersedia

di instalasi farmasi sebagai obat pilihan yang paling banyak digunakan.

Evaluasi terhadap pengendalian gejala oleh obat yang menunjukkan respon baik

akan dipertahankan dengan pertimbangan kecocokan pasien terhadap obat. Pasien

lama yang menunjukkan kepatuhan lebih banyak mendapatkan pengobatan yang

sama pada setiap kunjungan. P enggantian obat (switching) dipertimbangkan jika

pengobatan sebelumnya tidak menampakkan hasil. Kecenderungan politerapi masih

15
Pola Penggunaan Obat Anti Epilepsi pada Pasien Epilepsi di Instalasi Rawat Jalan RS PKU
Muhammadiyah
Yogyakarta Periode Januari - Juli 2014
ROHMI ARUNDATI
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

lebih tinggi daripada penggantian dengan obat anti epilepsi (OAE) golongan lain.

Gambaran pola pengobatan sangat diperlukan untuk mengetahui efektifita s terapi dan

kaitannya pada peningkatan kualitas hidup pasien.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, peneliti berkesimpulan perl unya

dilakukan penelitian mengenai pola penggunaan obat anti epilepsi pada pasien

epilepsi di Instalasi Rawat Jalan RS PKU M uhammadiya h Yogyakarta. Terapi

pengobatan yang baik dan benar akan sangat menguntungkan bagi pasien terutama

dari segi peningkatan kualitas hidup pasien.

Dalam menjalankan profesinya seorang farmasis dituntut untuk mengetahui

kerasionalan sebuah pengobatan dengan penyakit yang diderita. Pharm aceutical care

digunakan sebagai landasan dan filosofi dalam melaksanakan tanggung jawab sebagai

seorang farmasis untuk memastikan bahwa terapi yang didapatkan oleh pasien sesuai

dengan indikasi, efektif dan aman.

B. Perumusan Masalah

M asalah yang dapat dirumuskan berdasarkan uraian di atas adalah:

1. Bagaimana karakteristik pasien epilepsi di Instalasi Rawat Jalan RS PKU

M uhammadiyah Yogyakarta?

2. Bagaimana pola peng gunaan obat anti epilepsi (OAE) pada pasien epilepsi

di Instalasi Rawat Jalan di RS PKU M uhammadiyah Yogyakarta?

16
Pola Penggunaan Obat Anti Epilepsi pada Pasien Epilepsi di Instalasi Rawat Jalan RS PKU
Muhammadiyah
Yogyakarta Periode Januari - Juli 2014
ROHMI ARUNDATI
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut :

1. M engetahui karakteristik pasien epilepsi di Instalasi Rawat Jalan RS PKU

M uhammadiyah Yogyakarta.

2. M engetahui pola penggunaan obat anti epilepsi (OA E) pada pasien

epilepsi di Instalasi Rawat Jalan di RS PKU M uhammadiyah Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang karakteristik pasien

dan pola penggunaan obat anti epilepsi pada pasien Epilepsi di Instalasi Rawat Jalan

RS PKU M uhammadiyah Yogyakarta yang kemudian dapat bermanfaat sebagai

berikut:

1. Bahan masukan dan evaluasi bagi pelayanan kefarmasian (pharm aceutical

care) RS PKU M uhammadiyah Y ogyakarta dalam melaksanakan terapi

pada pasien epilepsi yang menggunakan obat anti epilepsi (OAE), baik

monoterapi maupun politerapi.

2. Bahan masukan dan evaluasi bagi RS PKU M uhammadiyah Yogyakarta

dalam melaksanakan terapi pada pasien epilepsi termasuk di antaranya

terkait ketersediaan obat-obatan anti epilepsi (OA E) yang pada akhirnya

dapat meningkatkan kualitas hidup pasien serta mutu dan kualitas

pelayanan Rumah Sakit.

3. Bahan bacaan bagi rekan sejawat dan acuan penelitian yang berkaitan

dalam rangka mengembangkan pelayanan kefarmasian yang lebih baik.

17
Pola Penggunaan Obat Anti Epilepsi pada Pasien Epilepsi di Instalasi Rawat Jalan RS PKU
Muhammadiyah
Yogyakarta Periode Januari - Juli 2014
ROHMI ARUNDATI
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

E. Tinjauan Pustaka

1. Epilepsi

a. Definisi Epilepsi

Kata “epilepsi” berasal dari kata Yunani “ epilam banein” yang berarti serangan

(Harsono,1999). Penyakit epilepsi pertama kali ditemukan Hippocrates, seorang

dokter dari Yunani pada tahun 400 SM . Pada waktu itu orang -orang Yunani

menganggap, epilepsi merupakan penyakit kutukan dari Tuhan. Dalam bukunya yang

berjudul “O n the Sacred Disease”, Hippocrates menolak paradigma tersebut dan

menyatakan bahwa epilepsi merupakan penyakit akibat terjadinya kerusakan pada

otak. Selanjutnya pada tahun 1859-1906, ahli neurologi dari Inggris mendefinisikan

epilepsi sebagai penyakit yang terjadi karena ketidakstabilan dan kerusakan pada

jaringan saraf di otak, sehingga mempengaruhi kesadaran dan tingkah laku penderita.

Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh

terjadinya bangkitan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked)

dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat

mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat

sinkron dan berirama. Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk bangkitan yang

terjadi selama penyakit akut berlangsung, dan occasional provoked seizures misalnya

kejang atau bangkitan pada hipoglikemi (Harsono, 2007).

Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epi leptik

yang berulang (lebih dari satu episode). International League Against Epilepsy

(ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan

18
Pola Penggunaan Obat Anti Epilepsi pada Pasien Epilepsi di Instalasi Rawat Jalan RS PKU
Muhammadiyah
Yogyakarta Periode Januari - Juli 2014
ROHMI ARUNDATI
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor

predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epilepsi, perubahan neurobiologis,

kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini

membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik sebelumny a. Sedangkan

bangkitan epilepsi didefinisikan sebagai tanda dan atau gejala yang tim bul sepintas

(transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.

a. Epidemiologi Epilepsi

Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, pada orang tua bahkan

bayi yang baru lahir. Di Amerika Serikat, satu dari 100 populasi (1%) penduduk

terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya telah menjalani pengobatan

pada lima tahun terakhir.

Dalam kepustakaan prevalensi epilepsi di Indonesia, yaitu sebanyak 5 -10%.

Dapat diperkirakan bahwa di Indonesia yang berpenduduk hampir 200 juta,

sedikitnya terdapat 1.000.000-2.000.000 orang penyandang epilepsi (Harsono, 1999).

Insidensi epilepsi pada anak-anak dan remaja diperkirakan berkisar antara 50

sampai 100 per 100.000 anak (Hauser, 1994). Penelitian Heaney dkk (2002) di

Inggris dilakukan secara prospektif terhadap 369.283 orang -tahun pengamatan.

Sepanjang pengamatan dijumpai 190 kasus baru (angka insidensi : 51,5/1000000,

95% CI : 44,4-59,3). Diantaranya 190 kasus baru epilepsi, 65 diantaranya (34, 2%)

dimulai saat pada usia < 14 tahun.

19
Pola Penggunaan Obat Anti Epilepsi pada Pasien Epilepsi di Instalasi Rawat Jalan RS PKU
Muhammadiyah
Yogyakarta Periode Januari - Juli 2014
ROHMI ARUNDATI
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

b. Etiologi Epilepsi

Kejang disebabkan oleh banyak faktor. Faktor tersebut meliputi penyakit

serebrovaskuler (stroke iskemik atau stroke hemoragi), gangguan neurodegeneratif,

tumor, trauma kepala, gangguan metabolik, dan infeksi SSP (sistem saraf pusat).

Beberapa faktor lainnya adalah gangguan tidur, stimulasi sensori atau emosi (stres)

akan memicu terjadinya kejang. Perubahan hormon, sepeti menstruasi, puberitas, atau

kehamilan dapat meningka tkan frekuensi terjadinya kejang. Penggunaan obat-obat

yang menginduksi terjadinya kejang seperti teofilin, fenotiazin dosis tinggi,

antidepresan (terutama maprotilin atau bupropion), dan kebiasaan minum alkohol

dapat meningkatkan resiko kejang.

c. Klasifikasi Epilepsi

Terapi epilepsi tidak hanya didasarkan atas diagnosa yag tepat. Lebih dari itu,

jenis serangan juga harus ditentukan. M enurut Gidal dkk (2005) klasifikasi epilepsi

berdasarkan tanda-tanda klinik dan data EEG, dibagi menjadi:

1) Kejang umum (generalized seizure)

Jika aktivasi terjadi pada kedua hemisfere otak secara bersama -sama.

Kejang umum terbagi atas:

a) Absense (Petit m al)

Jenis yang jarang dijumpai ini umumnya hanya terjadi pada masa

anak-anak atau awal remaja. Kesadaran hilang beberapa detik,

ditandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat. Penderita

20
Pola Penggunaan Obat Anti Epilepsi pada Pasien Epilepsi di Instalasi Rawat Jalan RS PKU
Muhammadiyah
Yogyakarta Periode Januari - Juli 2014
ROHMI ARUNDATI
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

tiba-tiba melotot atau matanya berkedip-kedip dengan kepala

terkulai.

b) Tonik-klonik (grand mal)

M erupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi, biasanya

didahului oleh suatu aura. Pasien tiba -tiba jatuh, kejang, nafas

terengah-engah, dan keluar air liur. Bisa terjadi juga sianosis,

ngompol, atau menggigit lidah. Serangan ini terjadi beberapa

menit, kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala atau

tidur.

c) M ioklonik

Serangan ini biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur

pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba.

d) Atonik

Serangan tipe Atonik ini jarang terjadi. Pasien tiba -tiba kehilangan

kekuatan otot yang mengakibatkan pasien terjatuh, namun dapat

segera pulih kembali.

2) Kejang parsial

Serangan parsial merupakan perubahan-perubahan klinis dan

elektroensefalografik yang menunjukan aktivitas sistem neuron yang

berbatas di salah satu bagian otak (Harsono, 1999).

Kejang parsial ini terbagi menjadi:

21
Pola Penggunaan Obat Anti Epilepsi pada Pasien Epilepsi di Instalasi Rawat Jalan RS PKU
Muhammadiyah
Yogyakarta Periode Januari - Juli 2014
ROHMI ARUNDATI
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

a) Simple partial seizure

Pasien tidak mengalami kehilangan kesadaran. Terjadi sentakan-

sentakan pada bagian tertentu dari tubuh.

b) Complex partial seizure

Pasien mengalami penurunan kesadaran. Pada penderita dengan

penurunan kesadaran maka dapat terjadi perubahan tingkah laku

misalnya automatisme.

3) Kejang tak terklasifikasikan

Serangan kejang ini merupakan jenis serangan yang tidak didukung

oleh data yang cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk serangan

epilepsi pada neonatus misalnya gerakan mata ritm is, dan gerakan

mengunyah serta berenang.

d. Patofisiologi Epilepsi

M ekanisme terjadinya epilepsi ditandai dengan gangguan paroksimal akibat

penghambatan neuron yang tidak normal atau ketidakseimbangan antara

neurotransmiter eksitatori dan inhibitori. Defisiensi neurotransmiter inhibitori seperti

Gamma Amino Butyric Acid (GABA) atau peningkatan neurotransmiter eksitatori

seperti glutamat menyebabkan aktivitas neuron tidak normal. Neurotransmiter

eksitatori (aktivitas pemicu kejang) yaitu, glutamat, aspartat, asetil kolin,

norepinefrin, histamin, faktor pelepas kortikotripin, purin, peptida, sitokin dan

hormon steroid. Neurotransmiter inhibitori (aktivitas menghambat neuron) yaitu,

22
Pola Penggunaan Obat Anti Epilepsi pada Pasien Epilepsi di Instalasi Rawat Jalan RS PKU
Muhammadiyah
Yogyakarta Periode Januari - Juli 2014
ROHMI ARUNDATI
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

dopamin dan G amma Amino Butyric Acid (GABA). Serangan kejang juga

diakibatkan oleh abnormalitas konduksi kalium, kerusakan kanal i on, dan defisiensi

ATPase yang berkaitan dengan transport ion, dapat menyebabkan ketidak stabilan

membran neuron.

Aktivitas glutamat pada reseptornya (AM PA) dan (NM DA) dapat memicu

+ 2+
pembukaan kanal Na . Pembukaan kanal Na ini diikuti oleh pembukaan kanal Ca ,

+ 2+
sehingga ion-ion Na dan Ca banyak masuk ke intrasel. Akibatnya, terjadi

pengurangan perbedaan polaritas pada membran sel atau yang disebut juga dengan

depolarisasi. Depolarisasi ini penting dalam penerusan potensial aksi sepanjang sel

syaraf. Depolarisasi berkepanjangan akibat peningkatan glutamat pada pasien epilepsi

menyebabkan terjadinya potensial aksi yang terus menerus dan memicu aktivitas sel -

sel syaraf. Beberapa obat-obat antiepilepsi bekerja dengan cara memblokade atau

menghambat reseptor AM PA (alpha am ino 3 Hidroksi 5 Methylosoxazole - 4-

propionic acid) dan menghambat reseptor NM D A (N-methil D-aspartat). Interaksi

+ 2+
antara glutamat dan reseptornya dapat memicu masuknya ion -ion Na dan Ca yang

pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya potens ial aksi. Namun felbamat

(antagonis NM DA) dan topiramat (antagonis AM PA) bekerja dengan berikatan

dengan reseptor glutamat, sehingga glutamat tidak bisa berikatan dengan reseptornya.

Efek dari kerja kedua obat ini adalah menghambat penerusan potensial aks i dan

menghambat aktivitas sel-sel syaraf yang teraktivasi. Patofisiologi epilepsi meliputi

ketidakseimbangan kedua faktor ini yang menyebabkan instabilitas pada sel -sel

syaraf tersebut.

23
Pola Penggunaan Obat Anti Epilepsi pada Pasien Epilepsi di Instalasi Rawat Jalan RS PKU
Muhammadiyah
Yogyakarta Periode Januari - Juli 2014
ROHMI ARUNDATI
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

e. Gejala Klinis

Gejala kejang yang spesifik, tergantung pada jenis ke jang. Jenis kejang pada

setiap pasien dapat bervariasi, namun cenderung sama.

a. Somatosensori atau motor fokal terjadi pada kejang kom pleks parsial.

b. Kejang kompleks parsial terjadi gangguan kesadaran.

c. Kejang absens mempunyai efek yang ringan dengan gangguan kesadaran yang

singkat.

d. Kejang tonik-klonik umum mempunyai episode kejang yang lama dan terjadi

kehilangan kesadaran.

g. Penatalaksanaan terapi

M enurut Shorvon (2001), pertimbangan untuk memulai pemberian obat anti

epilepsi memperhatikan faktor-faktor atau kondisi-kondisi yang mempengaruhi dan

perlu dipertimbangkan, yakni:

1) Diagnosa.

2) Risiko bangkitan ulang setelah kejang pertama.

3) Etiologi; adanya lesi struktural otak atau epilepsi sim tomatik, idiopatik

atau kriptogenik.

4) Elektroensefalogram.

5) Umur; risiko ulang lebih besar pada usia di bawah 16 tahun atau di

atas 60 tahun.

6) Tipe kejang.

7) Jenis, waktu dan frekuensi bangkitan.

24
Pola Penggunaan Obat Anti Epilepsi pada Pasien Epilepsi di Instalasi Rawat Jalan RS PKU
Muhammadiyah
Yogyakarta Periode Januari - Juli 2014
ROHMI ARUNDATI
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

8) Jenis epilepsi; beberapa sindroma epilepsi benigna mempunyai

prognosis yang baik tanpa terapi, dan tidak memerlukan terapi jangka

panjang.

9) Kepatuhan berobat; keputusan untuk memberi pengobatan perlu

dipertimbangkan kembali pada semua keadaan dimana kepatuhan

berobat diragukan.

10) Bangkitan reflektoris dan bangkitan simtomatik akut; kadang -kadang

bangkitan timbul hanya pada keadaan spesifik atau oleh adanya

pemicu terrtentu (misal fotosensitif, kelelahan, alkohol).

11) Harapan penderita; tergantung sudut pandang penderita, perlu

diterangkan keuntungan dan kerugian relatif apabila menggunakan

atau tanpa pengobatan (H usni, 2002).

Penatalaksanaan epilepsi ada anak-anak sedikit lebih kompleks dibanding

kelompok populasi lainnya dan memerlukan perhatian yang khusus. Penentuan

diagnosis epilepsi masa anak-anak yang tepat akan sangat membantu dalam

menentukan terapi, meramalkan prognosis, dan pemberian informasi kepada pasien

dan keluarganya (M urphy & Dehkhargani, 1994).

25
Pola Penggunaan Obat Anti Epilepsi pada Pasien Epilepsi di Instalasi Rawat Jalan RS PKU
Muhammadiyah
Yogyakarta Periode Januari - Juli 2014
ROHMI ARUNDATI
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

b. Obat Anti Epilepsi (OAE)

a. Penggolongan Obat Anti Epilepsi

1). Hidantoin : Fenitoin

Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonik -

klonik, dan pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf. Keuntungan

dari obat ini yaitu bekerja sebagai antikonvulsif kuat dan berbeda dari barbiturat,

hanya bersifat sedatif lemah, malahan kadang-kadang bersifat stimulan. (M utschler,

1991)

Fenitoin berefek stabilisasi pada semua membran neuronal, termasuk saraf

perifer dan m ungkin pada membran yang eksitabel maupun yang tidak eksitabel.

Fenitoin menurunkan aliran ion Na yang tersisa maupun aliran ion yang mengalir

selama aksi potensial atau depolarisasi karena proses khemis. Fenitoin menunda

aktifasi aliran ion K keluar selama aksi potensial menyebabkan kenaikan periode

„refractory’ dan menurunnya cetusan ulangan. Dosis Fenitoin dewasa diberikan

dengan dosis awal 3-4 mg/kg BB/hari. Pemberian intravena tidak boleh melebihi 50

mg/menit. (Gofir dan W ibowo, 2001)

2). Barbiturat : Fenobarbital

Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang tonik-

klonik. Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan

fenobarbital obat yang penting unT uk tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya

serta kecenderungannya menimbulkan gangguan perilaku pada anak -anak telah

mengurangi pengg unaannya sebagai obat utama. Aksi utama fenobarbital terletak

26
Pola Penggunaan Obat Anti Epilepsi pada Pasien Epilepsi di Instalasi Rawat Jalan RS PKU
Muhammadiyah
Yogyakarta Periode Januari - Juli 2014
ROHMI ARUNDATI
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

pada kemampuannya untuk menurunka n konduktan Na dan K. Fenobarbital

menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langs ung terhadap reseptor GABA

(aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan durasi pembukaan reseptor GABA A

dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida). Selain itu, fenobarbital juga

menekan glutamate excitability dan meningkatkan postsy naptic GABAergic

inhibition. Dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis

pemeliharaan 10-20 mg/kg 1kali sehari. Efek samping SSP merupakan hal yang

umum terjadi pada penggunaan fenobarbital. Efek samping lain yang mungkin terjadi

adalah kelelahan, mengantuk, sedasi, dan depresi. Penggunaan fenobarbital pada

anak-anak dapat menyebabkan hiperaktivitas. Fenobarbital juga dapat menyebabkan

kemerahan kulit, dan Stevens-Johnson syndrome.

3). Deoksibarbiturat : Primidon

Primidon digunakan untuk terapi kejang par sial dan kejang tonik-klonik.

Primidon mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori. Efek anti kejang

primidon hampir sama dengan fenobarbital, namun kurang poten. Didalam tubuh

primidon dirubah menjadi metabolit aktif yaitu fenobarbital dan feniletilm alonam id

(PEM A). PEM A dapat meningkatkan aktifitas fenobarbotal. D osis prim idon 100-125

mg 3 kali sehari.

Efek samping yang sering terjadi antara lain adalah pusing, mengan tuk,

kehilangan keseim bangan, perubahan perilaku, kemerahan dikulit, dan impotensi.

27
Pola Penggunaan Obat Anti Epilepsi pada Pasien Epilepsi di Instalasi Rawat Jalan RS PKU
Muhammadiyah
Yogyakarta Periode Januari - Juli 2014
ROHMI ARUNDATI
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

4). Karbamazepin

Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik.

Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan

+
tonik-klonik. Karbamazepin menghambat kanal Na , yang mengakibatkan influk

+
(pemasukan) ion Na kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya

potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis pada anak dengan

usia kurang dari 6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 6-12 tahun dosis awal

200 mg 2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400-800 mg. Sedangkan pada anak usia

lebih dari 12 tahun dan dewasa 400 mg 2 kali sehari.

Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah

gangguan penglihatan (penglihatan berganda), pusing, lemah, mengantuk, mual,

goyah (tidak dapat berdiri tegak) dan Hyponatremia. Resiko terjadinya efek samping

tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan usia.

5). Okskarbazepin

Okskarbazepin merupakan analog keto karbamazepin. Okskarbazepin merupakan

prodrug yang didalam tubuh akan segera dirubah menjadi bentuk aktifnya, yaitu suatu

turunan 10-monohidroksi dan dieliminasi melalui ekskresi ginjal. Okskarbazepin

digunakan untuk pengobatan keja ng parsial. M ekanisme aksi okskarbazepin m irip

dengan mekanisme kerja karbamazepin. Dosis penggunaan okskarbazepin pada anak

usia 4-16 tahun 8-10mg/kg 2 kali sehari sedangkan pada dewasa, 300 mg 2 kali

sehari.

28
Pola Penggunaan Obat Anti Epilepsi pada Pasien Epilepsi di Instalasi Rawat Jalan RS PKU
Muhammadiyah
Yogyakarta Periode Januari - Juli 2014
ROHMI ARUNDATI
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Efek samping penggunaan okskarbazepin adalah pusing, mual, muntah, sakit

kepala, diare, konstipasi, dispepsia, ketidak seimbangan tubuh, dan kecemasan.

Okskarbazepin memiliki efek samping lebih ringan dibanding dengan fenitoin, asam

valproat, dan karbamazepin. Okskarbazepin dapat menginduksi enzim CYP450.

6). Suksimid : Etosuksimid

Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absens. Kanal kalsium merupakan

2+
target dari beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid menghambat pada kanal Ca tipe

T. Talamus berperan dalam pembentukan ritme sentakan yang diperan tarai oleh ion

2+
Ca tipe T pada kejang absens, sehingga penghambatan pada kanal tersebut akan

mengurangi sentakan pada kejang absens. D osis etosuksimid pada anak usia 3-6

tahun 250 mg/hari untuk dosis awal dan 20 mg/kg/hari untuk dosis pemeliharaan.

Sedangkan dosis pada anak dengan usia lebih dari 6 tahun dan dewasa 500 mg/hari.

Efek samping penggunaan etosuksimid adalah mual dan muntah, efek samping

penggunaan etosuksimid yang lain adalah ketidakseimbangan tubuh, mengantuk,

gangguan pencernaan, goyah (tidak dapat berdiri tegak), pusing dan cegukan.

6). Asam valproat

Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang

absens, kejang mioklon ik, dan kejang tonik-klonik. Asam valproat dapat

meningkatkan G ABA dengan menghambat degradasi nya atau mengaktivasi sintesis

GABA. Asam valproat juga berpotensi terhadap respon GABA post sinaptik yang

langsung menstabilkan membran serta mempengaruhi kanal kalium . Dosis

penggunaan asam valproat 10-15 mg/kg/hari. Efek samping yang sering terjadi adalah

29
Pola Penggunaan Obat Anti Epilepsi pada Pasien Epilepsi di Instalasi Rawat Jalan RS PKU
Muhammadiyah
Yogyakarta Periode Januari - Juli 2014
ROHMI ARUNDATI
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

gangguan pencernaan (>20%), termasuk mual, muntah, anorexia, dan peningkatan

berat badan.

Efek samping lain yang m ungkin ditimbulkan adalah pusing, gangguan

keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam valproat mempunyai efek

gangguan kognitif yan g ringan. Efek samping yang berat dari penggunaan asam

valproat adalah hepatotoksik. Hyperamm onemia (gangguan metabolisme yang

ditandai dengan peningkatan kad5r amonia dalam darah) umumnya terjadi 50%,

tetapi tidak sampai menyebabkan kerusakan hati.

Interaksi valproat dengan obat antiepilepsi lain merupakan salah satu masalah

terkait penggunaannya pada pasien epilepsi. Penggunaan fenitoin dan valproat secara

bersamaan dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat memperparah efek

sedasi yang dihasilkan. Valproat sendiri juga dapat menghambat metabolisme

lamotrigin, fenitoin, dan karbamazepin. Obat yang dapat menginduksi enzim dapat

meningkatkan metabolisme valproat. Hampir 1/3 pasien mengalami efek samping

obat walaupun hanya kurang dari 5% saja yang me nghentikan penggunaan obat

terkait efek samping tersebut.

7). Benzodiazepin

Benzodiazepin digunakan dalam terapi kejang. Benzodiazepin merupakan agonis

GABA A , sehingga aktivasi reseptor benzodiazepin akan meningkatkan frekuensi

pembukaan reseptor GABA A . Dosis benzodiazepin untuk anak usia 2-5 tahun 0,5

mg/kg, anak usia 6-11 tahun 0,3 mg/kg, anak usia 12 tahun atau lebih 0,2 m g/kg, dan

dewasa 4-40 mg/hari.

30
Pola Penggunaan Obat Anti Epilepsi pada Pasien Epilepsi di Instalasi Rawat Jalan RS PKU
Muhammadiyah
Yogyakarta Periode Januari - Juli 2014
ROHMI ARUNDATI
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Efek samping yang mungkin terjadi pada penggunaan benzodiazepin adalah

cemas, kehilangan kesadaran, pusing, depresi, mengantuk, kemerahan dikulit,

konstipasi, dan mual.

F. KETERANGAN EMPIRIK

M elalui penelitian ini diharapkan mendapatkan hasil berupa karakteristik pasien

dan pola pengobatan epilepsi dari penggunaan obat anti epilepsi yang pada pasien di

Instalasi Rawat Jalan RS PKU M uhammadiyah Yogyakarta.

31

Anda mungkin juga menyukai