Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Depresi merupakan gangguan mental yang sering terjadi di tengah


masyarakat.Berawal dari stres yang tidak diatasi, maka seseorang bisa jatuh ke
fase depresi.Penyakit ini kerap diabaikan karena dianggap bisa hilang sendiri
tanpa pengobatan. Padahal, depresi yang tidak diterapi dengan baik bisa berakhir
dengan bunuh diri.1

Depresi merupakan salah satu gangguan psikiatrik yang sering ditemukan


dengan prevalensi seumur hidup adalah kira kira 15%. Pada pengamatan yang
universal terlepas dari kultur atau negara prevalensi gangguan depresi berat pada
wanita dua kali lebih besar dari pria. Pada umumnya onset untuk gangguan
depresi berat adalah pada usia 20 sampai 50 tahun, namun yang paling sering
adalah pada usia 40 tahun. Depresi berat juga sering terjadi pada orang yang tidak
menikah dan bercerai atau berpisah.1

Depresi tersebar luas, tetapi jumlah dan rata-rata dari gejala fisik dan
kognitif berhubungan dengan gangguan depresi mayor atau major depressive
disorder (MDD) yang berarti banyak orang tidak menunjukkan gejala emosional.
Satu dari tujuh orang akan menderita gangguan psikososial dari MDD, beberapa
tidak terdiagnosis kecuali dengan kunjungan ke dokter yang berulang. Dan, tidak
hanya dokter keluarga, psikiatri, dan klinisi kesehatan mental juga harus dapat
mendiagnosis depresi. Tingginya prevalensi dari MDD dengan penyakit medis
lainnya menunjukkan bahwa professional kesehatan dan dokter, ataupun internis
atau onkologis atau ahli bedah atau kardiologis atau neurologis atau spesialis
lainnya, juga harus mengenali dan memberikan tatalaksana depresi klinis pada
pasien.1

Patogenesis depresi kenyataannya sampai saat ini masih membingungkan


dan belumlah pasti sehingga banyak teori-teori semuanya timbul dan berkembang
seiring dengan kemajuan bidang psikofarmakologi.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KELAINAN AFEKTIF


Istilah kelainan afektif mencakup penyakit-penyakit dengan gangguan afek
(mood) sebagai gejala primer, sedangkan semua gejala lain bersifat sekunder.
Afek bisa terus menerus depresi atau gembira (dalam mania) dan kedua episode
ini bisa timbul pada orang yang sama, karena itu dinamai “psikosis manik-
depresif”. Penyakit dengan hanya satu jenis serangan disebut unipolar, dan jika
episode manik dan depresif keduanya ada disebut bipolar.2

Mood merupakan subjektivitas peresapan emosi yang dialami dan dapat


diutarakan oleh pasien dan terpantau oleh orang lain; termasuk sebagai contoh
adalah depresi, elasi dan marah. Kepustakaan lain, mengemukakan mood,
merupakan perasaan, atau nada “perasaan hati” seseorang, khususnya yang
dihayati secara batiniah.1

Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi


dan minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir
mati atau bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat
aktivitas, kemampuan kognitif, bicara dan fungsi vegetative (termasuk tidur,
aktivitas seksual dan ritme biologik yang lain). Gangguan ini hampir selalu
menghasilkan hendaya (handicap) interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan.1,2

Klasifikasi gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menurut PPDGJ-III:

F30 Episode Manik


F30.0 Hipomania
F30.1 Mania tanpa gejala psikotik
F30.8 Mania dengan gejala psikotik
F30.9 Episode Manik YTT
F31 Gangguan Afektif Bipolar
F31.0 Gangguan afektif bipolar, episode hipomanik
F31.1 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik tanpa gejala
psikotik

2
F31.2 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala
psikotik
F31.3 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif ringan atau
sedang
.30 Tanpa gejala somatik
.31 Dengan gejala somatik
F31.4 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat tanpa
gejala psikotik
F31.5 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat
dengan gejala psikotik
F31.6 Gangguan afektif bipolar, episode kini campuran
F31.7 Gangguan afektif bipolar, episode kini dalam remisi
F31.8 Gangguan afektif bipolar lainnya
F31.9 Gangguan afektif bipolar ytt
F32 Episode Depresif
F32.0 Episode depresif ringan
.00 Tanpa gejala somatik
.01 Dengan gejala somatik
F32.1 Episode depresif sedang
.10 Tanpa gejala somatik
.11 Dengan gejala somatik
F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik
F32.8 Episode depresif lainnya
F32.9 Episode depresif YTT
F33 Gangguan Depresif Berulang
F33.0 Gangguan depresif berulang, episode kini ringan
.00 Tanpa gejala somatik
.01 Dengan gejala somatik
F33.1 Gangguan depresif berulang, episode kini sedang
10 Tanpa gejala somatik
.11 Dengan gejala somatik

3
F33.2 Gangguan depresif berulang, episode kini berat tanpa gejala
psikotik
F33.3 Gangguan depresif berulang, episode kini berat dengan
gejala psikotik
F33.4 Gangguan depresif berulang, kini dalam remisi
F33.8 Gangguan depresif berulang lainnya
F33.9 Gangguan depresif berulang YTT
F34 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) Menetap
F34.0 Siklotimia
F34.1 Distimia
F34.8 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menetap
lainnya
F34.9 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menetap YTT
F38 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) Lainnya
F38.0 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) tunggal lainnya
.00 Episode afektif campuran
F38.1 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) berulang
lainnya
.10 Gangguan depresif singkat berulang
F38.8 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) lainnya YDT
F39 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) YTT

2.2 DEPRESI

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan


dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan
pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan,
rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri.1,3

Terdapat gangguan penyesuaian diri (gangguan dalam perkembangan emosi


jangka pendek atau masalah-masalah perilaku, dimana dalam kasus ini, perasaan
sedih yang mendalam dan perasaan kehilangan harapan atau merasa sia-sia,
sebagai reaksi terhadap stressor) dengan kondisi mood yang menurun. 2,3

4
Depresi Mayor merupakan gangguan yang lebih berat, membutuhkan lima
atau lebih simptom-simptom selama dua minggu, salah satunya harus ada
gangguan mood, atau ketidaksenangan pada anak-anak. Sedangkan episode
depresi berat menurut kriteria DSM-IV-TR, adalah suasana perasaan ekstrem
yang berlangsung paling tidak dua minggu dan meliputi gejala-gejala kognitif
(seperti perasaan tidak berharga dan tidak pasti) dan fungsi fisik yang terganggu
(seperti perubahan pola tidur, perubahan nafsu makan dan berat badan yang
signifikan, atau kehilangan banyak energi) sampai titik dimana aktivitas atau
gerakan yang paling ringan sekalipun membutuhkan usaha yang luar biasa
besar.2,4,5

2.3 PATOSIOLOGI dan ETIOLOGI


Patofisiologi MDD belum diketahui secara pasti, tetapi etiologi selalu
diasumsikan oleh banyak faktor sebagai diagnosis MDD dengan melihat beberapa
sindrom yang ada dengan gejala yang berhubungan. Faktor biologis, psikologis,
dan sosial berkaitan dengan MDD, tetapi penemuan terbaru menyatakan genetic,
gambaran neurologis, dan biologi molekuler sudah menjelaskan beberapa
hubungan dengan tekanan yang besar ini, terutama pada modulasi dari kehidupan
pada proses genetic dan neurobiology.1,2,5

Genetik

Penemuan keluarga, kembar, dan adaptasi

Studi keluarga menunjukkan risiko relatif bahwa setidaknya dua atau tiga
kali lebih besar untuk MDD dalam keluarga garis pertama dengan MDD, dengan
onset umur dan depresi berulang memberikan resiko yang lebih besar.Studi
adopsi, kebanyakan dari mereka di Skandinavia, menemukan bahwa depresi jauh
lebih mungkin dengan adanya kekerabatan biologis dibandingkan dengan orang
tua asuh untuk menderita depresi.Studi anak kembar yang membandingkan
kembar monozigot dan dizygot, memperlihatkan pada pembedahan genetik dari
pengaruh lingkungan terhadap risiko penyakit.Perkiraan dari studi anak kembar
kapasitas depresi diturunkan secara genetik antara 33 dan 70%, tanpa memandang

5
jenis kelamin.hasil yang konsisten dari berbagai penelitian menunjukkan dasar
genetik untuk MDD.1

Neurobiologi

Monoamin

Hipotesis monoamina telah menjadi dasar teori neurobiologis depresi


selama 50 tahun terakhir.Berdasarkan pengamatan dari mekanisme kerja
antidepresan, hipotesis ini menyatakan bahwa depresi merupkan hasil dari defisit
serotonin (5-HT) di otak atau neurotransmisi norepinefrin pada
sinaps.Antidepresan bertindak dengan menghalangi transpor serotonin (SERT),
yang meningkatkan ketersediaan neurotransmiter ke dalam celah sinaps.Namun,
teori ini tidak sesuai dengan penundaan onset efek terapi antidepresan karena
kenaikan neurotransmiter sinapsi terjadi segera penghambatan pengambilan
kembali. Studi tryptophan deplesi dan katekolamin juga belum menghasilkan
bukti untuk defisit sederhana di tingkat neurotransmitter atau fungsi pada
MDD.1,2,5

Tidur

Keluhan tidur (insomnia, hipersomnia) telah lama dianggap sebagai fitur


utama dari depresi klinis sehingga tidak mengherankan bahwa studi biologi telah
difokuskan pada disregulasi tidur pada MDD.polysomnography digunakan untuk
mendeteksi gangguan tidur di MDD, dan memperlihatkan beberapa dari tanda-
tanda biologis yang paling kuat di depresi. Masih ada kontroversi tentang apakah
depresi menyebabkan perubahan dalam tidur adalah penanda karakteristik,
mendahului onset depresi, dan memprediksi relaps pada pasien yang dilaporkan,
sehingga menunjukkan peran pathoogenetic untuk gangguan tidur diMDD.1,5

Tabel 1. Abnormalitas Tidur Polisomnografi pada gangguan depresi mayor 1

 Onset awal REM (Rapid Eye Movement)


 Peningkatan tidur REM
 Peningkatan lamanya REM

6
 Penurunan tidur gelombang lambat/slow wave sleep (SWS)
 Perubahan SWS yang terjadi pada awal saat malam
 Gangguan pada slow wave activity (SWA)

Neuropsikologi

Kognitif dan Daya Ingat

Pasien depresi memperlihatkan gangguan pada fungsi kognitif dan daya


ingat, terutama pada perhatian-perhatian tertentu dan daya ingat yang tersamar.
Sebagai tambahan, ada beberapa defisit ingatan dalam jangka panjang dan
pengambilan daya ingat yang diucapkan, dan fungsi kognitif khusus seperti
pemilihan strategi dan pemantauan performa.1

Hipokampus adalah yang terpenting dalam proses daya ingat, sebagai jalur
neuron dalam memproses informasi dan membenntuk emosi dan menjabarkan
ingatan. Volume hipokampus menurun pada pasien depresi, terutama dengan
episode yang berulang atau kronis atau trauma masa lalu.1

Lingkungan dan kejadian kehidupan

Depresi selalu diikuti oleh stres psikososial yang berat, terutama pada
episode depresi pertama atau kedua.Pengalaman masa kanak yang berat seperti
kekerasan pada anak, kehilangan orang tua, dan dukungan sosial yang buruk
adalah stres yang paling umum yang terjadi pada pasien depresi. Peningkatan
bukti yang menyatakan bahwa stres dan trauma dapat mengakibatkan gangguan
sistem biologik pada depresi.1,2,5

Studi kembar memperlihatkan innteraksi antara resiko genetik dan kejadian


saat hidup dalam berkembangya depresi. Kehidupan yang penuh dengan stres
tidak terdapat resiko dalam menghasilkan depresi pada wanita dengan faktor
genetik yang rendah., tetapi kejadian saat hidup dapat meningkatkan resiko
depresi dengan adanya peningkatan faktor genetik pada depresi.1

7
2.4 GEJALA KLINIK
Mood yang rendah.

Selama orang depresi memperlihatkan suasana perasaannya dengan mood


yang rendah, pengalaman emosional yang buruk selama depresi berbeda secara
kualitatif dengan orang yang mengalami kesedihan dalam batas normal atau rasa
kehilangan yang dialami oleh orang pada umumnya. Beberapa menyampaikannya
dengan menangis, atau merasa seperti ingin menangis, lainnya memperlihatkan
respon emosional yang buruk.1

Minat.

Kehilangan minat pada aktivitas atau interaksi sosial yang biasanya ada
merupakan salah satu tanda penting pada depresi.Anhedonia juga memperlihatkan
sebagai pembedanya, dan tetap ada walaupun penderita tidak memperlihatkan
mood yang turun. Kehilangan minat seksual, keinginan, atau fungsi juga umum
terjadi, dimana dapat menyebabkan masalah dalam hubungan terdekat atau
konflik rumah tangga.1,6

Tidur.

Kebanyakan pasien depresi mengalami kesulitan tidur. Hal yang klasik


adalah terbangun dari tidur pada pagi buta dan tidak dapat tidur lagi (terminal
insomnia), tetapi tidur dengan kelelahan dan frekuensi terbangun pada tengah
malam (insomnia pertengahan) juga umum terjadi.Kesulitan tertidur pada malam
hari (insomnia awal atau permulaan) biasanya terlihat saat cemas menyertai.
Tetapi, hipersomnia atau tidur yang berlebihan juga bisa menjadi gejala yang
umum terjadi pada pasien depresi.1

Tenaga.

Kelelahan adalah keluhan yang sering disampaikan pada depresi, seperti


sulit untuk memulai suatu pekerjaan.Kelelahan dapat bersifat mental atau fisik,
dan bisa berhubungan dengan kurangnya tidur dan nafsu makan, pada kasus yang
berat, aktivitas rutin seperti kebersihan sehari-hari atau makan kemungkinan

8
terganggu. Pada bentuk yang ekstrem dari kelelahan adalah kelumpuhan yang
dibuat, dimana pasien menggambarkan bahwa tubuhnya yang membuat hal ini
atau mereka seperti berjalan di air.1

Rasa bersalah.

Perasaan tidak berguna dan merasa bersalah dapat menjadi hal yang umum
dipikirkan oleh pasien yang dalam episode depresi.Pasien depresi sering salah
menginterpretasikan kejadian sehari-hari dan mengambil tanggung jawab kejadian
negative diluar kemampuan mereka, ini dapat menjadi suatu porsi delusi. Rasa
cemas yang berlebihan dapat menyertai dan rasa bersalah yang muncul kembali.1

Konsentrasi.

Kesulitan dalam berkonsentrasi dan mengambil keputusan adalah hal yang


sering dialami oleh pasien depresi.Keluhan tentang daya ingat biasanya
menyebabkan permasalahan pada perhatian. Pada pasien lanjut usia, keluhan
kognitif bisa salah didiagnosis sebagai dementia onset dini.1

Nafsu makan/berat badan.

Kehilangan nafsu makan, rasa, dan nikmat dalam makan akan


menyebabkan kehilangan berat badan yang signifikan dan beberapa pasien harus
memaksa dirinya sendiri untuk makan. Bagaimanapun, pasien lainnya harus
mendapatkan karbohidrat dan glukosa ketika depresi, atau perlakuan sendiri
dalam mendapatkan kenyamanan dalam makan. Tetapi, berkurangnya aktifitas
dan olahraga akan menyebabkan peningkatan berat badan dan sindrom metabolic.
Perubahan berat badan juga dapat berdampak pada gambaran diri dan harga diri.1

Aktivitas psikomotor.

Perubahan psikomotor, dimana terjadi perubahan pada fungsi motorik


tanpa adanya kelainan pada tes secara objektif, sering terlihat pada
depresi.Kemunduran psikomotor meliputi sebuah perlambatan (melambatnya
gerakan badan, buruknya ekspresi wajah, respon pembicaraan yang lama) dimana
pada keadaan yang ekstrem dapat menjadi mutisme atau katatonik. Kecemasan

9
juga dapat bersamaan dengan agitasi psikomotorik (berbicara cepat, sangat
berenergi, tidak dapat duduk diam).1,6

Bunuh diri.

Beberapa ide bunuh diri, dimulai dari pemikiran bahwa dengan bunuh diri
diharapkan semuanya akan selesai bersamaan dengan rencana bunuh diri tersebut,
terjadi pada 2/3 orang dengan depresi. Walaupun ide bunuh diri merupakan hal
yang serius, pasien depresi sering kekurangan tenaga dan motivasi untuk
melaksanakan bunuh diri.Tetapi, bunuh diri merupakan hal yang menjadi pusat
perhatian karena 10-15% pasien yang dirawat inap adalah pasien yang matinya
karena bunuh diri. Waktu resiko tinggi untuk terjadinya bunuh diri adalah saat
awalan pengobatan, ketika tenaga dan motivasinya mulai berkembang baik selain
gejala kognitif (keputusasaan), membuat pasien depresi mungkin bertindak seperti
apa yang mereka pikirkan dan rencanakan untuk bunuh diri.1,9

Gejala lain.

Kecemasan, dengan berbagai manifestasi klinis, adalah hal yang umum


pada depresi.Mudah marah dan perubahan mood yang cepat, berlebihan dalam
kemarahan dan kesedihan, dan frustasi juga mudah terganggu untuk hal kecil
adalah yang sering terlihat.Variasi diurnal mood, dengan kekhawatiran pada pagi
hari, dapat muncul.Depresi sering menyebabkan berkurangnya kepercayaan diri
dan harga diri dengan pemikiran bahwa dirinya tidak berguna didukung dengan
keputusasaan. Depresi juga berhubungan dengan peningkatan frekuensi sakit fisik,
seperti sakit kepala, sakit punggung, dan kondisi nyeri kronis lainnya.1,6

Gejala pada orang tua

Gejala klinis depresi lanjut usia sedikit berbeda dengan usia yang lebih
muda, sering hanya gangguan emosi berupa apatis, penarikan diri dari aktivitas
sosial, dan gangguan kognitif seperti gangguan memori, gangguan konsentrasi
serta fungsi kognitif yang memburuk.

10
Perubahan Pikiran
 Merasa bingung, lambat dalam berfikir, penurunan konsentrasi dan sulit
mengungat informasi.

 Sulit membuat keputusan dan selalu menghindar.

 Kurang percaya diri.

 Merasa bersalah dan tidak mau dikritik.

 Pada kasus berat sering dijumpai adanya halusinasi ataupun delusi.

 Adanya pikiran untuk bunuh diri.

Perubahan Perasaan
 Penurunan ketertarikan ddengan lawan jenis dan melakukan hubungan suami
istri.

 Merasa bersalah, tak berdaya.

 Tidak adanya perasaan.

 Merasa sedih.

 Sering menangis tanpa alas an yang jelas.

 Iritabilitas, marah, dan terkadang agresif.

Perubahan pada Kebiasaan Sehari-hari


 Menjauhkan diri dari lingkungan sosial, pekerjaan.

 Menghindari membuat keputusan.

 Menunda pekerjaan rumah.

 Penurunan aktivitas fisik dan latihan.

 Penurunan perhatian terhadap diri sendiri.

 Peningkatan konsumsi alcohol dan obat-obatan terlarang.

Pada pasien lanjut gangguan kognitif sering menyebabkan pseudodemensia


(sindrom demensia pada depresi) antara lain mengalami:

a. Defisit atensi dan kosentrasi yang bervariasi

11
b. Jarang memiliki gangguan bahasa

c. Jika tidak yakin, paling sering menjawab ‘tidak tahu’

d. Gangguan ingatan terbatas pada ingatan bebas

Gejala pada anak – anak atau remaja

2.5 DIAGNOSIS
DSM-IV-TR, membagi depresi menjadi tiga bagian besar : gangguan
depresi mayor/ major depressive disorder (MDD), distimia, dan depresi yang
tidak terklasifikasikan.1

MDD memiliki karakteristik dengan adanya satu atau lebih episode depresi
mayor (Kotak 2).kriteria diagnosis menunjukkan beberapa gejala yang harus ada

12
pada waktu yang sering, sekurang-kurangnya dalam 2 minggu, walaupun
durasinya terkadang lebih lama dari waktu yang terlihat. Gejala yang muncul juga
harus memperlihatkan perubahan fungsi yang signifikan. Akhirnya, bereavement
dan beberapa penyebab gejala depresi harus dapat disingkirkan.1,5,7

Episode depresi berdasarkan ICD-10 6

Kriteria Umum
1. Episode depresi harus bertahan setidaknya 2 minggu
2. Tidak ada hypomanic atau manik gejala cukup untuk memenuhi kriteria
untukepisode hypomanic atau manik pada setiap saat dalam kehidupan
individu
3. Tidak disebabkan penggunaan zat psikoaktif atau gangguan mental organik
Gejala Utama
1. Perasaan depresi untuk tingkat yang pasti tidak normal bagi individu, hadir
untuk hampir sepanjang hari dan hampir setiap hari, sebagian besar tidak
responsif terhadap keadaan, dan bertahan selama minimal 2 minggu
2. Kehilangan minat atau kesenangan dalam aktivitas yang biasanya
menyenangkan
3. Penurunan energi atau kelelahan meningkat
Gejala Lainnya
1. Kehilangan percaya diri atau harga diri
2. Tidak masuk akal perasaan diri atau rasa bersalah yang berlebihan dan tidak
tepat
3. Berpikiran tentang kematian atau bunuh diri, atau perilaku bunuh diri
4. Keluhan atau bukti kemampuan berkurang untuk berpikir atau berkonsentrasi,
seperti keraguan atau kebimbangan
5. Pandangan masa depan yang suram dan pesimis
6. Gangguan tidur
7. Perubahan nafsu makan (penurunan atau kenaikan) dengan perubahan berat
badan yang sesuai

Tabel 2. DSM-IV-TR kriteria diagnosis episode depresi mayor 1,5

13
A. Lima (atau lebih) gejala yang ada berlangsung selama 2 minggu dan
memperlihatkan perubahan fungsi, paling tidak satu atau lainnya (1)mood
depresi (2)kehilangan minat
1. Mood depresi terjadi sepanjang hari atau bahkan setiap hari,
diindikasikan dengan laporan yang subjektif (merasa sedih atau kosong)
atau yang dilihat oleh orang sekitar. Note : pada anak dan remaja, dapat
mudah marah
2. Ditandai dengan hilangnya minat disemua hal, atau hampir semua hal
3. Penurunan berat badan yang signifikan ketika tidak diet, atau penurunan
atau peningkatan nafsu makan hamper setiap hari. Note : pada anak-
anak, berat badan yang tidak naik
4. Insomnia atau hipersomnia hamper setiap hari
5. Agitasi psikomotor atau retardasi hampir setiap hari (dilihat oleh orang
lain, bukan perasaan yang dirasakan secara subjektif dengan kelelahan
atau lamban)
6. Cepat lelah atau kehilangan energi hampir setiap hari
7. Merasa tidak berguna atau perasaan bersalah yang berlebihan (bisa
terjadi delusi) hampir setiap hari
8. Tidak dapat berkonsentrasi atau berpikir hampir setiap hari
9. Pemikiran untuk mati yang berulang, ide bunuh diri yang berulang
tanpa perencanaan yang jelas, atau ide bunuh diri dengan perencanaan.
B. Gejala-gejalanya tidak memenuhi episode campuran
C. Gejala yang ada menyebabkan distress atau kerusakan yang signifikan
secara klinis
D. Gejala tidak disebabkan langsung oleh sebuah zat (penyalahgunaan obat,
obat-obatan) atau kondisi medis umum (hipotiroid)
E. Gejala yang muncul lebih baik tidak masuk dalam kriteria bereavement

MDD dapat ditemukan sebagai penyakit yang baru pertama kali diderita
atau saat kambuh, setidaknya sudah pernah mengalami 2 kali episode depresi
mayor dengan jarak penyembuhan paling tidak 2 bulan. MDD juga dapat juga

14
memiliki beberapa sub tipe yang memiliki perbedaan pada beberapa spesifikasi
dan derajat keparahan.1,8

Sub tipe MDD dikelompokkan berdasarkan gejala klinis yang muncul dan
pola dari episode depresi. DSM-IV-TR memberikan spesifikasi depresi dengan
maksud agar pemilihan terapi yang diberikan lebih baik dan memprediksikan
prognosisnya. Tabel 3 memperlihatkan kriteria-kriteria depresi dengan beberapa
kunci-kuncinya.1

Tabel 3. DSM-IV-TR sub tipe dan spesifikasi MDD1,2,6

Sub tipe Spesifikasi DSM-IV- Kunci


TR

Depresi melankolis Dengan gambaran Mood nonreaktif,


melankolis anhedonia, kehilangan
berat badan, rasa bersalah,
agitasi dan retardasi
psikomotorik, mood yang
memburuk pada pagi hari,
terbangun di pagi buta

Depresi atipikal Dengan gambaran Mood reaktif, terlalu


atipikal banyak tidur, makan
berlebihan, paralisis yang
dibuat, sensitive pada
penolakan interpersonal

Depresi psikotik Dengan gambaran Halusinasi atau waham


(waham) psikotik

Depresi katatonik Dengan gambaran Katalepsi, katatonik,


katatonik negativism, mutisme,
mannerism, echolalia,
echopraxia (tidak lazim
pada klinis sehari-hari)

Depresi kronik Gambaran kronis 2 tahun atau lebih dengan

15
kriteria MDD

Gangguan afektif Musiman Onset yang seperti biasa


musiman dan kambuh pada saat
musim tertentu (biasanya
musim gugur/dingin)

Depresi postpartum Postpartum Onset depresi selama 4


minggu postpartum

DSM-IV-TR dan ICD-10, keduanya mengkategorikan tingkat keparahan


MDD menjadi tiga : ringan, sedang, dan berat (Tabel 4). DSM-IV-TR membagi
tngkat keparahannya berdasarkan efek yang dihasilkan depresi dalam hal
sosial/pekerjaan dan tanggung jawab individu dan ada atau tidaknya gejala
psikotik.ICD-10, sebaliknya, membedakan tingkat keparahan depresi berdasarkan
jumlah dan jenis gejala yang diperlihatkan saat seseorang menderita depresi.
Penggunaan skala depresi sangat dianjurkan untuk menentukan derajat
keparahan.1,7,10

Tabel 4. Derajat keparahan depresi 1

Keparahan Kriteria DSM-IV-TR Kriteria ICD-10


depresi

Ringan 1. Mood depresi atau kehilangan 1. 2 gejala tipikal


minat + 4 gejala depresi lainnya 2. 2 gejala inti
2. Gangguan minor sosial/ lainnya
pekerjaan
Sedang 1. Mood depresi atau kehilangan 1. 2 gejala tipikal
minat + 4 atau lebih gejala 2. 3 atau lebih gejala
depresi lainnya inti lainnya
2. Gangguan sosial/pekerjaan yang
bervariasi
Berat 1. Mood depresi atau kehilangan 1. 3 gejala tipikal
minat + 4 atau lebih gejala 2. 4 atau lebih gejala
depresi lainnya inti lainnya

16
2. Gangguan sosial atau pekerjaan Juga dapat dengan
yang berat atau ada gambaran atau tanpa gejala
psikotik psikotik

Pedoman diagnosis menurut PPDGJ-III.

Pedoman diagnostik pada depresi dibagi menjadi :

• Semua gejala utama depresi :

o afek depresif

o kehilangan minat dan kegembiraan

o berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah


lelah.

• Gejala lainnya:

o konsentrasi dan perhatian berkurang

o harga diri dan kepercayaan diri berkurang

o gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna

o pandangan masa depan yang suram dan pesimis

o gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri

o tidur terganggu

o nafsu makan berkurang

Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan


tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan
untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu dari 2 minggu.

Episode depresif ringan menurut PPDGJ III

17
(1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dan 3 gejala utama depresi seperti
tersebut di atas

(2) Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya

(3) Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya lamanya seluruh episode
berlangsungsekurang-kurangnya sekitar 2 minggu

(4) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya.

Episode depresif sedangmenurut PPDGJ III

(1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dan 3 gejala utama

(2) Ditambah sekurang-kurangnya 3 atau 4 dari gejala lainnya

(3) Lamanya seluruh episode berlangsung minimum 2 minggu

(4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan,


dan urusanrumah tangga.

Episode Depresif Berat dengan Tanpa Gejala Psikotikmenurut PPDGJ III :

(1) Semua 3 gejala utama depresi harus ada

(2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa diantaranya


harus berintensitas berat

(3) Bila ada gejala penting (misalnya retardasi psikomotor) yang menyolok, maka
pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya
secara rinci. Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode
depresi berat masih dapat dibenarkan.

(4) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

18
Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotikmenurut PPDGJ III :

Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut No. 3 di atas


(F.32.2) tersebut di atas, disertai waham, halusinasi atau stupor depresi.

Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau


malapetaka yang mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu.
Halusinasi auditorik atau alfatorik biasanya berupa suara yang menghina atau
menuduh, atau bau kotoran.Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada
stupor.

Asesmen Depresi

 Geriatric Depression Scale (GDS)

Terdiri dari 30 pertanyaan, biasanya dipergunakan untuk memisahkan apakah


pasien tersebut masuk ke dalam kelompok depresi. Alat ukur GDS ini memiliki
sensitivitas 88,9% dan spesifisitas 47,8%. Penilaian skala ini berdasarkan aspek
kekhawatiran somatik, penurunan afek, gangguan kognitif, berkurangnya orientasi
terhadap masa yang akan datang, dan kurangnya harga diri. Skala ini telah
direkomendasikan agar dipergunakan dalam situasi klinis oleh Institute of
Medicine.

2.6 DIAGNOSIS BANDING


1. Bereavement (Kehilangan teman atau keluarga karena kematian)

Bereavement atau rasa kesedihan yang berlebihan karena putusnya suatu


hubungan dapat memperlihatkan gejala yang sama dengan episode depresi mayor.
Tingkat keparahan dan durasi dari gejala dan dampaknya pada fungsi sosial dapat
membantu dalam menyingkirkan antara kesedihan yang mendalam dan MDD.1

Tabel 5. Pembeda antara bereavement dan episode depresi mayor1

Gejala Bereavement Episode depresi

19
mayor

Waktu Kurang dari 2 bulan Lebih dari 2 bulan

Perasaan tidak berguna/tidak Tidak ada Ada


pantas

Ide bunuh diri Tidak ada Kebanyakan ada

Rasa bersalah, dll Tidak ada Mungkin ada

Perubahan psikomotor Agitasi ringan Melambat

Gangguan fungsi Ringan Sedang –Berat

2. Gangguan Afektif Disebabkan Karena Kondisi Medis Umum

Gejala depresi dapat diperlihatkan dari efek fisiologis suatu kondisi medis
khusus yang terjadi sebelumnya.Sebaliknya, gejala fisik suatu penyakit medis
utama sulit untuk dapat didiagnosis yang berkormorbid dengan MDD.The
Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS) sangat berguna untuk alat deteksi
pasien dengan penyakit medis dimana digunakan pertanyaan yang memfokuskan
pada gejala kognitif dibandingkan dengan gejala somatiknya. MDD sama
banyaknya dengan penyakit kronis (Tabel 5), tetapi lebih umum diabetes,
penyakit tiroid, dan gangguan neurologis (penyakit Parkinson, multiple
sklerosis).1

3. Gangguan Afektif Disebabkan Karena Zat

Efek samping obat (baik yang diresepkan atau tidak) dapat memperlihatkan
gejala depresi, jadi suatu zat yang dapat mempengaruhi gangguan mood harus
dapat dipertimbangkan dalam mendiagnosis banding MDD (Kotak 6). Bukti dari
riwayat, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratories digunakan untuk dapat
menentukan adanya suatu pengalahgunaan, ketergantungan,
intoksikasi/keracunan, atau kondisi putus obat yang secara fisoilogis akan

20
menyebabkan suatu episode depresi. Selama gejala depresi karena pengaruh obat
dapat disembuhkan dengan menghentikan penggunaan obat tersebut, gejala putus
obat dapat berlangsung selama beberapa bulan.1

Kotak 6. Obat yang umum disalahgunakan dan menyebabkan


gangguan mood yang dipengaruhi zat1

 Alcohol
 Amfetamin
 Anxiolitik
 Kokain
 Zat-zat halusinogen
 Hipnotik
 Inhalant
 Opioid
 Phencycline
 Sedative

2.7 TATALAKSANA
2.7.1 MEDIKAMENTOSA
Memilih pengobatan harus mencakup evaluasi seberapa parah episode
depresif telah terjadi, ketersediaan sumber daya pengobatan, dan keinginan
pribadi pasien. Untuk depresi ringan sampai berat, psikoterapi berbasis bukti sama
efektifnya dengan farmakoterapi. Terdapat sedikit bukti bahwa kombinasi antara
farmakoterapi dan psikoterapi untuk pengobatan dini lebih unggul daripada
pengobatan lainnya untuk depresi tanpa komplikasi. Oleh karena itu, pengobatan
kombinasi harus dipertimbangkan ketika terjadi depresi berat, komorbiditas
dengan kondisi lain, atau tidak adanya respon yang memadai pada monoterapi.1,11

Farmakoterapi

Anti depresi

- Golongan Trisiklik : Amytriptyline, Imipramine, Clomipramine, Tianeptine

21
- Golongan Tetrasiklik : Maprotiline, Mianserin, Amoxapine.
- Golongan MAOI_Reversible ( REVERSIBLE INHIBITOR OF MONOAMIN
OXYDASE-A-(RIMA) : Moclobemide
- Golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors) : Sertraline,
Paroxentine, Fluvoxamine, Fluoxetine, Duloxetine, citalopram.
- Golongan Atipical : Trazodone, Mirtazapine, Venlafaxine.4,7,9

Psikologi Terapi 2,4,7,9

- Behaviour therapy
- Interpersonal Therapy
- Problem solving

2.8 KECERDASAN INTELEQTUAL (IQ)


Menurut beberapa referensi, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara
terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara
garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang
melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat
diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata
yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu. Sedangkan IQ atau
singkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes
kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf
kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara
keseluruhan.12,13

Beberapa jurnal juga mendefinisikan kecerdasan sebagai kumpulan atau


totalitas kemampuan seseorang untuk belajar (ability to learn), bertindak dengan
tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi lingkungannya dengan
efektif. Spesifikasi kecerdasan terdiri dari pemahaman dan kemampuan verbal,
angka dan hitungan, kemampuan visual, daya ingat, penalaran, kecepatan
perseptual. Semakin tinggi tingkat kecerdasan seseorang, makin
memungkinkannya melakukan suatu tugas yang banyak menuntut rasio dan akal

22
dan melaksanakan tugas-tugas yang sifatnya kompleks.12

Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan


banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah
menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio
(perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini
disebut Tes Stanford Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan
oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian
dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak
digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.13

Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa
tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman
mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum
saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik.
Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang
dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult
Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale
for Children) untuk anak-anak.13

Skala Wechsler yang umum dipergunakan untuk mendapatkan taraf


kecerdasan membagi kecerdasan menjadi dua kelompok besar yaitu kemampuan
kecerdasan verbal (VIQ) dan kemampuan kecerdasan tampilan (PIQ).
Pengukuran nilai kecerdasan pada penelitian ini menggunakan nilai WISC
(Wechsler Intelligance Scale for Children) yang dibuat oleh David Wechsler
(1974), karena ini pengukuran tingkat kecerdasan yang terbaik dibandingkan
dengan pengukuran tingkat kecerdasan yang lain (skala Stanford-Binet).13

Pengukuran nilai kecerdasan pada penelitian ini menggunakan nilai WISC


(Wechsler Intelligance Scale for Children) yang dibuat oleh David Wechsler
(1974), yang terbagi atas 12 macam test dan dikelompokkan dalam 2 kategori
yaitu: verbal dan performa.

Pemberian skor pada WISC didasarkan atas kebenaran jawaban dan waktu
yang diperlukan oleh subjek dalam memberikan jawaban yang benar tersebut.

23
Skor tesebut kemudian diterjemahkan dalam angka standard sehingga akhirnya
diperoleh angka IQ untuk skala verbal, dan satu angka IQ untuk skala
performans dan satu angka IQ untuk keseluruhan, skala Test Intelligensi
Wecshler adalah test individual, yang diberikan secara lisan dan dijawab secara
lisan pula. Serta dasar pengukurannya adalah deviation IQ dengan nilai rata-rata
100 dan besar penyimpangan = 15.

2.9 Hubungan Antara Nilai IQ dengan Kejadian Depresi

Orang-orang yang memiliki IQ tinggi yang memiliki begitu banyak hal


dalam pikiran mereka sehingga mereka secara mental selalu gelisah. Peneliti
akan menjelaskan gagasan tentang hubungan antara kecerdasan dan depresi dan
penyakit mental. Hubungan antara IQ rendah dan depresi, beberapa penelitian
menunjukkan hubungan antara tingkat kecerdasan rendah dan depresi. Sebuah
studi menyimpulkan bahwa orang dengan IQ rendah kurang bahagia
dibandingkan rekan mereka yang lebih cerdas. Selama penelitian ini, subjek
dengan tingkat IQ 70–79, yang dianggap sebagai kekurangan ambang
kecerdasan, dilaporkan kurang bahagia dibandingkan subjek dengan tingkat IQ
120–129, yang dianggap sangat cerdas.14

IQ rendah merupakan indikasi dari kekurangan atau kurangnya kemampuan


kognitif yang diperlukan untuk melaksanakan sebagian besar tugas yang
berhubungan dengan pendidikan dan pekerjaan. Orang dengan tingkat IQ rendah
cenderung berkinerja buruk di sekolah dan gagal mendapatkan pekerjaan dengan
gaji yang baik yang menuntut kecerdasan rata-rata hingga tingkat tinggi.
Faktanya, orang-orang yang mengalami defisiensi intelektual seringkali tetap
menganggur. Kondisi ini seringkali tidak dapat menghasilkan penghasilan yang
cukup untuk menopang diri mereka sendiri atau keluarga mereka. Akibatnya,
hubungan mereka bisa rusak. Pengangguran, pendapatan rendah, hubungan yang
rusak dan frustrasi, orang dengan IQ rendah dapat memiliki banyak alasan untuk
mengalami depresi.13,14

Namun beberapa peneliti juga mengklaim bahwa hubungan terbalik itu bisa
terjadi. Menurut mereka, depresi menurunkan kemampuan kognitif seseorang,

24
sebuah fenomena yang bermanifestasi sebagai nilai rendah dalam tes IQ. Dalam
sebuah percobaan yang dilakukan pada sejumlah orang dengan berbagai tingkat
gangguan depresi yang diketahui dan individu yang sehat secara mental,
ditemukan bahwa kelompok sebelumnya umumnya memiliki kinerja yang buruk
pada tes kecerdasan. Studi ini, dan beberapa studi lainnya, menjelaskan kejadian
ini dengan mengutip bukti neurologis. Pasien depresi menunjukkan penurunan
kemampuan fungsi di lobus frontal otak mereka. Lobus frontal dikaitkan dengan
fungsi mental dan kemampuan eksekutif yang lebih tinggi.15

Pada penelitian performance IQ dan verbal IQ dikombinasikan untuk menilai


kempuan kognitif dan hasil ini memiliki hubungan yang kuat dengan kejadian
kronisitas depresi dan kejadian bunuh diri. Orang dengan performance IQ yang
rendah sangat berhubungan dengan kejadian depresi pada masa lampau, durasi
episode terpanjang, kejadian masuk rumah sakit karena depresi, ide bunuh diri,
serta percobaan bunuh diri. Hal ini sejalan dengan salah satu penelitian yang
menyebutkan bahwa anak- anak dengan IQ yang rendah memiliki peningkatan
resiko untuk terjadinya gangguan psikitri.15

Selain itu, orang dengan IQ yang rendah memiliki resiko untuk terjadinya
gangguan psikiatri yang lebih berat disertai dengan peningkatan resiko untuk
memiliki diagnosis pada gangguan psikiatri lebih dari satu diagnosis. Salah satu
penelitian menyebutkan IQ yang rendah pada anak-anak diprediksi akan
meningkatkan resiko terjadinya skizofrenia, depresi dan ansietas pada usia
dewasa. Tetapi IQ yang rendah tidak berhubungan dengan angka kejadian fobia,
gangguan panik, dan gangguan obsesif kompulsif. Hasil penelitiannya sebagai
berikut :

1. IQ anak-anak yang lebih rendah dapat menjadi suatu penanda


defisit neuroanatomical yang meningkatkan kerentanan terhadap
gangguan mental tertentu. Dari hasil pencitraan menunjukkan
bahwa struktur dan fungsi otak berhubungan dengan kondisi
kejiwaan. Sebagai contoh, IQ berkorelasi positif dengan volume
cerebellum, dan pada anak laki-laki, IQ verbal telah terbukti

25
berkorelasi dengan volume hipokampus.

2. IQ anak-anak yang lebih rendah diperkirakan dapat meningkatkan


komorbiditas. Pasien dengan kemampuan kognitif yang lebih
rendah dapat memiliki kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan
ataupun kesulitan untuk memahami dan mematuhi protokol
pengobatan.

3. Anak-anak dengan IQ yang lebih rendah mungkin terkait dengan


gangguan kejiwaan pada usia dewasa melalui stres psikososial.
Individu dengan IQ pada masa anak-anak yang lebih rendah tidak
memiliki kesiapan untuk mengatasi peristiwa atau kejadian pada
kehidupan yang penuh dengan stres, membuat mereka lebih
berpotensi untuk terjadinya gangguan jiwa. Peristiwa kehidupan
yang penuh stres memiliki peranan penting dalam etiologi depresi
berat, gangguan kecemasan, PTSD, dan fobia sosial.

Namun, hal tersebut tidak menjamin bahwa orang dengan tingkat


kecerdasan yang tinggi akan terhindar dari keadaan depresi. Peneliti memiliki
alasan untuk percaya bahwa IQ tinggi tidak berfungsi sebagai perlindungan
terhadap depresi. Orang yang sangat cerdas juga dapat mengalami depresi dan
gangguan mental lainnya. Menurut salah satu jurnal penelitian mengungkapkan
bahwa kecerdasan bertindak sebagai faktor pelindung dalam mengurangi efek
neurotisme pada tekanan psikologis. Kecerdasan tidak memberikan perlindungan
terhadap diagnosis depresi pada mereka yang neurotisme tinggi. Tetapi hasil
penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan yang lebih tinggi dapat memperbaiki
hubungan antara neurotisme dan depresi.13
Dalam sebuah penelitian pada anak-anak dengan tingkat IQ di atas 130,
dianggap lebih unggul dan para peneliti menemukan bahwa 65 persen subjek
mengalami gangguan depresi berat. Beberapa penelitian mencoba
menghubungkan terjadinya depresi pada individu berbakat dengan susunan mental
yang khas yang berasal dari tingkat kecerdasan mereka yang tinggi. Orang dengan
IQ tinggi cenderung memiliki kehidupan batin yang dapat menciptakan kembali

26
dunia agar sesuai dengan impian dan preferensi mereka. Mereka juga memiliki
reaksi yang lebih intensif dan bertahan terhadap rangsangan daripada rekan
mereka yang kurang berbakat. Artinya ketika realitas berbenturan dengan persepsi
mereka tentang apa yang “nyata”, mereka merasa rugi dan tidak mampu
mengatasinya.16
Orang yang sangat cerdas juga sangat sensitif dan cenderung menarik
diri secara sosial. Apa pun yang menjadi alasan mereka merasa terasing dari dunia
pada umumnya, orang-orang dengan IQ tinggi tidak memiliki sistem pendukung
atau saluran kreatif untuk membantu mereka mengatasi kesedihan mereka.
Beberapa jurnal juga mengaitkan skor A (tinggi) di sekolah dengan peningkatan
empat kali lipat dalam kemungkinan mengembangkan gangguan bipolar di masa
dewasa. Menurut penulis studi lain, siswa yang unggul dalam linguistik, musik,
dan penalaran aritmatika memiliki kemungkinan lebih besar untuk
mengembangkan gangguan bipolar.15,17

BAB III
KESIMPULAN

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang


berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia,
kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri.

27
Inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir
secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar
dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang
melibatkan proses berpikir secara rasional. Sedangkan IQ atau singkatan dari
Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes
kecerdasan.
Terdapat hubungan antara tingkat IQ dengan kejadian depresi. Beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa kognitif berperan dalam etiologi dan
prognosis pada seseorang dengan depresi. Namun, untuk menjelaskan secara lebih
rinci, dibutuhkan beberapa penelitian yang lebih mendalam mengenai keterkaitan
antara IQ dengan kejadian depresi.

DAFTAR PUSTAKA

1. W. Lam R, Mok H. Depression Oxford Psychiatry Library. Lunbeck


Institutes. 2010. p. 1-57.

28
2. Maslim R.Diagnosa Gangguan Jiwa, PPDGJ III, Direktorat Kesehatan RI:
Jakarta; 2013.
3. Lumbantobing. Neurogeriatri. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
Jakarta; 2011
4. Baldwin, Birtwistle J. An atlas of depresion. The Parthenon Publishing
Group: London; 2012.
5. Sadock B.J dan Sadock V.A. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Ed. 2. Jakarta : EGC ;
2010
6. Peveler R, Carson A, Rodin G. Depression in medical patients, in Mayou
R, Sharpe M, Alan C. ABC of Psychological Medicine. BMJ Publishing
group 2013. p. 10-3.
7. Sadock, Benjamin James,et al. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition Lippincott Williams
& Wilkins. 2007. p. 1-89.
8. Maj M, Sartorius N. Depressive Disorder Second Edition. Evidence and
experience in psychiatry. 2012. p. 8-12.
9. Landefeld. Current Geriatric Diagnosis and Treatmet. McGrow-Hill:USA;
2014.
10. Armitage R. Sleep and circadian rhythms in mood disorders. Acta
Psychiatr Scand; 2011.
11. Sukandar, Elin Yulinah dkk. ISO Farmakoterapi. Jakarta : PT ISFI
Penerbitan. 2008.
12. Adel tannous, matar jehan. The Relationship between depression and
emotional intelligence among a sample of Jordanian children. University
of Jordan. 2010.
13. Navradi LB, Ritchie, Chan S.W.Y, et al. Intelligence and neuroticism in
relation to depression and psychological distress: Evidence from two
large population cohorts. Division of Psychiatry, University of
Edinburgh, Royal Edinburgh Hospital, Edinburgh, EH10 5HF, UK. 2016.
14. Catherine Weishman, silvie. Relationships between Depression and High
Intellectual Potential. Paris Descartes University, Paris, France. 2012.

29
15. Karpinski Ruth, Audrey, et al. High intelligence: A risk factor for
psychological and physiological overexcitabilities. Department of
Psychology, Pitzer College, 1050 N. Mills Avenue, Claremont, CA
91711, USA. 2018.
16. James McCabe, Matc, et al. Excellent school performance at age 16 and
risk of adult bipolar disorder: national cohort study. The British Journal
of Psychiatry.2010.
17. Raww Cristina, Ian Dyari, et al. Intelligence in youth and mental health
at age 50. United Kingdom. 2016.

30

Anda mungkin juga menyukai