Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

TB-MDR
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat dalam Menjalankan Kepanitraan

Klinik Senior Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Masyarakat

Disusun Oleh:

Qathrun Nada
M. Roby Al qudri

Pembimbing:

dr. Mahdalena

dr. Aidil fitria

dr. Yudiar Derinda

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA
PUSKESMAS SUKA MAKMUR ACEH BESAR
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas izinNya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Multiple Drug
Resistance Tuberculosis”
Laporan kasus ini dibuat untuk melengkapi persyaratan dalam mengikuti
kegiatan Kepanitriaan Klinik Senior dibagian Ilmu Kesehatan Masyarakat yang
dilaksanakan di puskesmas Suka Makmur
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Mahdalena

dr. Aidil fitria, dr. Yudiar Derinda, selaku dokter pembimbing yang telah bersedia

meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan agar laporan kasus ini lebih

akurat dan bermanfaat.

Tentunya penulis menyadari bahwa laporan kasus ini banyak kekurangan


untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
para pembaca agar kedepannya penulis dapat meperbaiki dan menyempurnakan
kekurangan tersebut.
Besar harapan penulis agar laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca serta dapat memberikan suatu pengetahuan baru bagi mahasiswa untuk
meningkatkan keilmuannya.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ 2


DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 4
1.1. Latar Belakang ....................................................................... 4

BAB II LAPORAN KASUS ....................................................................... 5

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 9


3.1. Definisi ................................................................................ 9
3.2. Epidemiologi........................................................................ 10
3.3. Faktor resiko........................................................................... 11
3.4. Diagnosis................................................................................ 14
3.5. Penatalaksanaan...................................................................... 16
3.6. Pemantauan pengobatan......................................................... 19
3.7. Hasil pengobatan ................................................................. 20
3.8. Prognosis................................................................................. 21

BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................. 22

BAB V KESIMPULAN............................................................................... 35

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 36

LAMPIRAN ........................................................................................................ 38

3
BAB I

PENDAHULUAN

Resistensi terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terlebih lagi multi drug
resistant tuberculosis (TB-MDR) telah menjadi masalah kesehatan yang serius di
beberapa negara, termasuk Indonesia.1 Pada tahun 2009 di dunia diperkirakan
terdapat kasus TB-MDR sebanyak 250.000 kasus namun hanya 12% atau 30.000
kasus yang sudah terkonfirmasi.2 Berdasarkan data WHO, Indonesia berada pada
peringkat ke-8 dari 27 negara dengan kasus TB-MDR terbanyak di dunia.3
Resisten ganda (multidrugs resistant tuberculosis/TB-MDR ) merupakan
masalah terbesar terhadap pencegahan dan pemberantasan TB dunia. Kasus
TB-MDR merupakan kasus yang sulit ditangani, membutuhkan biaya yang
lebih besar, efek samping obat yang lebih banyak dengan hasil pengobatan
yang kurang memuaskan.1
WHO memperkirakan ada 23.000 kasus TB-MDR/RR di Indonesia. Pada
tahun 2017 kasus TB yang tercatat di program ada sejumlah 442.000 kasus yang
mana dari kasus tersebut diperkirakan ada 8.600-15.000 MDR/RR TB, tetapi
cakupan yang diobati baru sekitar 27,36%.4 Oleh karena itu sangat diperlukan
strategi penatalaksanaan yang tepat pada kasus TB-MDR.

4
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Penderita

Nama : Tn. N
Usia : 70 tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Alamat : Aneuk Galong Titi

2.2. Subjektif

1. Keluhan Utama : Batuk ± 3 bulan

2. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke RS dengan keluhan batuk sejak ± 3 bulan. Batuk
dirasakan terus menerus sepanjang hari. Batuk disertai dahak yang sulit
keluar dan kadang - kadang disertai darah. Ketika batuk, pasien akan
merasa sesak napas. Ketika dalam posisi berbaring, sesak akan
bertambah. Sesak juga timbul sepanjang hari, sehingga saat malam hari
pasien sering sulit tidur akibat batuk dan sesaknya. Selain itu, pasien juga
tidak nafsu makan sehingga berat badannya semakin menurun. Terdapat
penurunan berat badan sebanyak kurang lebih 15 kg dalam 3 bulan ini.
Pasien merasa lemas dan tidak bertenaga, sehingga semenjak sakit pasien
tidak pernah bekerja lagi. Pasien juga mengeluhkan adanya mual namun
tidak muntah, demam yang kadang – kadang timbul dan keringat di
malam hari . BAB dan BAK normal. Setelah dilakukan pemeriksaan
darah, dahak dan rontgen. Pasien di diagnosa oleh dokter bahwa pasien
menderita TB MDR.

5
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan yang sama : disangkal
Riwayat hipertensi : ada
Riwayat DM : ada
Riwayat asma : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat OAT : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat kencing manis : disangkal
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat alergi : disangkal

5. Riwayat Sosial Ekonomi


a. Community
Pasien tinggal di aneuk galong titi. Lokasi rumah di pinggir jalan.
Pasien tinggal bersama istri dan 3 orang anaknya. Di lingkungan
tempat tinggal pasien terdapat orang yang memiliki keluhan batuk
yang lama.

b. Home
Pasien tinggal dirumah yang berukuran 12 x 7 m 2 bersama istri dan
3 orang anaknya. Lantai rumah pasien terbuat dari semen yang tidak
berkeramik yang beralaskan karpet plastik. Terdapat 2 jendela, dan 5
ventilasi di ruang tamu. Pencahayaan rumah pasien bersumber dari
lampu, dan hanya sedikit sinar matahari yang masuk.

c. Occupational

6
Pasien merupakan seorang supir mobil truk selama 32 tahun. Pasien
sekarang tidak bekerja lagi. Dan biaya hidup bersumber dari istri dan
anak pasien. Pembiayaan rumah sakit ditanggung oleh BPJS.

d. Drugs and diet


Pasien sedang mengkonsumsi obat-obatan, Pasien mengaku makan 3
kali sehari, dengan nasi, sayur, lauk pauk seadanya dan dalam porsi
kecil.
e. Personal habit
Pasien sekarang tidak merokok lagi, dahulu pasien merupakan
seorang perokok berat.

2.3. Objektif
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Composmentis.
c. Status Gizi
BB : 43 kg
TB : 160 cm
BMI : 11.5 (Underweight)
d. Status Generalis
1) Kepala : normal
Mata
Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
Konjungtiva : anemis (-/-)
Sklera : ikterik (+/+)
Pupil : reflek cahaya (+/+) normal,isokor Ø 3 mm
2) Telinga : normal
3) Hidung : normal
4) Mulut : normal
5) Leher : normal
Trakhea : deviasi trakhea (-/-)

7
Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
Kelenjar thyroid : tidak membesar
JVP : nampak,tidak kuat angkat

6) Dada
a) Paru
Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
retraksi intercostal dex dan sinistra (-), otot
bantu nafas :
- Sternocleidomastoideus (-)
- Suprasternal (-)
Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri anterior
vocal fremitus kanan = kiri posterior
Perkusi : Sonor pada lapang paru kiri dan kanan
anterior.
Sonor pada lapang paru kiri dan kanan
posterior.
Batas paru – hepar di SIC V LMCD
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-)
ronki basah kasar (-/-), ronki basah halus (-/-)

2.4. Pemeriksaan Penunjang


Hasil pemeriksaan Foto Thorax

8
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Resisten ganda (multidrugs resistant tuberculosis/TB-MDR ) adalah

M. tuberkulosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH dengan

atau tanpa OAT lainnya. Berdasarkan Guidelines for the programmatic

management of drug resistant tuberculosis: emergency update oleh WHO

(2008) resisten terhadap OAT dinyatakan bila hasil pemeriksaan laboratorium

menunjukkan adanya pertumbuhan M. Tuberculosis in vitro saat terdapat satu

atau lebih OAT.1 Terdapat empat jenis kategori resistensi terhadap OAT,

yaitu: 5

Mono resisten Resisten terhadap satu obat lini pertama


Poli resisten Resisten terhadap lebih dari satu OAT lini
pertama selain kombinasi isoniazid dan
rifampisin.
Multi drug resistant (MDR) Resisten terhadap sekurang-kurangnya
isoniazid dan rifampisin
Extensively drug resistant TB-MDR ditambah kekebalan terhadap salah
(XDR) satu obat golongan flourokuinolon dan
sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini
kedua (kapreomisin, kanamisin dan
amikasin).
Total Drug Resistance(TDR) Resisten baik dengan lini pertama maupun
lini kedua. Pada kondisi ini tidak ada lagi
obat yang bisa dipakai.
Secara umum resistensi terhadap OAT dibagi menjadi: resistensi

primer, resistensi sekunder dan resitensi inisial. Resistensi primer adalah

9
resistensi yang terjadi M. tuberculosis terhadap OAT, dimana penderita tidak

memiliki riwayat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT,

namun kurang dari 1 (satu) bulan. Sedangkan resistensi sekunder, pasien telah

mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1(satu) bulan. Pada resistensi

inisial, bila tidak diketahui pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan

OAT sebelumnya atau belum pernah.5

3.2. Epidemiologi

Berkisar 3.7% pasien baru TB di seluruh dunia mengalami multidrug-


resistant TB (MDR-TB). Data surveilans di seluruh dunia menunjukkan angka
resistensi terhadap obat anti-TB yaitu rifampisin atau multidrug-resistant
sebanyak 4.1% kasus baru dan 19% sudah menjalani terapi TB.
Pada tahun 2016, terdapat 600.000 kasus baru MDR/RR-TB yang
tergabung dari seluruh dunia. MDR/RR-TB menyebabkan 240.000 kematian di
tahun 2016, dan angka tertinggi terjadi di Asia. Berdasarkan data WHO,
Indonesia berada pada peringkat ke-8 dari 27 negara dengan kasus TB-MDR
terbanyak di dunia.3
WHO memperkirakan ada 23.000 kasus TB-MDR/RR di Indonesia. Pada
tahun 2017 kasus TB yang tercatat di program ada sejumlah 442.000 kasus
yang mana dari kasus tersebut diperkirakan ada 8.600-15.000 TB MDR/RR,
tetapi cakupan yang diobati baru sekitar 27,36%.4

3.3. Faktor Risiko MDR-TB


Kegagalan pada pengobatan TB-MDR akan menyebabkan lebih banyak
OAT yang resisten terhadap kuman M. tuberculosis. Kegagalan ini bukan hanya
merugikan pasien tetapi juga meningkatkan penularan pada masyarakat.5

Faktor penyebab resitensi OAT terhadap kuman M. tuberculosis antara lain : 5


A. Faktor Mikrobiologik

10
1. Resisten yang natural
2. Resisten yang didapat
3. Amplifier effect
4. Virulensi kuman
5. Tertular galur kuman – MDR

B. Faktor Klinik
1. Penyelenggara Kesehatan
a) Keterlambatan diagnosis
b) Pengobatan tidak mengikuti guideline
c) Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis
obatnya yang kurang atau karena lingkungan tersebut telah
terdapat resistensi yang tinggi terhadap OAT yang digunakan
misal rifampisin atau INH
d) Tidak ada guideline
e) Tidak ada / kurangnya pelatihan TB
f) Tidak ada pemantauan pengobatan
g) Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan
pada satu paduan yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi
karena kuman tuberkulosis telah resisten pada paduan yang
pertama maka ”penambahan” 1 jenis obat tersebut akan
menambah panjang daftar obat yang resisten.
h) Organisasi program nasional TB yang kurang baik

2. Obat
a) Pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan
sehingga membosankan pasien.
b) Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan
komplit atau sampai selesai gagal.

11
c) Obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum
setelah makan, atau ada diare.
d) Kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi
dosis tetap yang mana bioavibiliti rifampisinnya berkurang
e) Regimen / dosis obat yang tidak tepat
f) Harga obat yang tidak terjangkau
g) Pengadaan obat terputus
3. Pasien
a) PMO tidak ada / kurang baik
b) Kurangnya informasi atau penyuluhan
c) Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll
d) Efek samping obat
e) Sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada
f) Masalah sosial
g) Gangguan penyerapan obat

C. Faktor Program
1. Tidak ada fasiliti untuk biakan dan uji kepekaan
2. Ampli fier effect
3. Tidak ada program DOTS-PLUS
4. Program DOTS belum berjalan dengan baik
5. Memerlukan biaya yang besar

D. Faktor HIV-AIDS
1. Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar
2. Gangguan penyerapan
3. Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar

E. Faktor Kuman

12
1. Kuman M. tuberculosis super strains
2. Sangat virulen
3. Daya tahan hidup lebih tinggi
4. Berhubungan dengan TB-MDR

Lima penyebab terjadinya TB-MDR “SPIGOTS” : 5

1. Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutants


resisten. Hal ini amat ditakuti karena dapat terjadi resisten terhadap OAT
lini pertama
2. Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis akan
menyebabkan penyebaran galur resitensi obat. Penyebaran ini tidak hanya
pada pasien di rumah sakit tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama,
penjara dan keluarga pasien
3. Pasien dengan TB-MDR diterapi dengan OAT jangka pendek akan tidak
sembuh dan akan menyebarkan kuman. Pengobatan TB-MDR sulit diobati
serta memerlukan pengobatan jangka panjang dengan biaya mahal
4. Pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman tuberkulosis yang
mendapat pengobatan jangka pendek dengan monoterapi akan
menyebabkan bertambah banyak OAT yang resisten (’’The amplifier
effect”). Hal ini menyebabkan seleksi mutasi resisten karena penambahan
obat yang tidak multipel dan tidak efektif
5. HIV akan mempercepat terjadinya terinfeksi TB mejadi sakit TB dan akan
memperpanjang periode infeksius.

3.4. Diagnosis TB-MDR

Diagnosis TB-MDR dipastikan berdasarkan uji kepekaan. Semua

Pasien yang dicurigai TB-MDR diperiksa dahaknya untuk selanjutnya

13
dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Jika hasil uji kepekaaan

terdapat M.tuberculosis yang rrsisten minimal terhadap rifampisin dan INH

maka dapat ditegakkan diagnosis TB-MDR. Pasien yang dicurigai

kemungkinan TB-MDR adalah : 5

1. Kasus TB paru dengan gagal pengobatan pada kategori 2. Dibuktikan

dengan rekam medis sebelumnya dan riwayat penyakit dahulu

2. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah

sisipan dengan kategori 2

3. Pasien TB yang pernah diobati di fasilitas non DOTS, termasuk yang

mendapat OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin

4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1

5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah

sisipan dengan kategori 1

6. TB paru kasus kambuh

7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1

dan atau kategori 2

8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR

konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas dibangsal TB-MDR

9. TB-HIV

Diagnosis TB-MDR tergantung pada pengumpulan dan proses kultur

spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika

pasien tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika

14
tetap tidak bisa, dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini

pertama dan kedua harus dilakukan pada laboratorium rujukan yang

memadai.5

Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada

TB. Deteksi resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode

konvensional berdasarkan deteksi pertumbuhan M.tuberculosis. Akibat

sulitnya beberapa metode ini dan membutuhkan waktu yang lama untuk

mendapatkan hasilnya, maka belakangan ini diusulkanlah teknologi baru.

Yang termasuk metode terbaru ini adalah metode fenotipik dan genotipik.

Pada banyak kasus, metode genotipik khususnya telah mendeteksi resistensi

rifampisin, sejak saat itu metode ini dipertimbangkan sebagai petanda TB-

MDR khususnya pada suasana dengan prevalensi TB-MDR yang tinggi.

Sementara metode fenotipik, di lain sisi, merupakan metode yang lebih

sederhana dan lebih mudah diimplementasikan pada laboratorium

mikrobakteriologi klinik secara rutin.7

3.4. Tata Laksana Medikamentosa


Idealnya regimen pengobatan kasus TB dengan resistensi obat disusun
berdasarkan hasil in vitro drug susceptibility (DST) yang dilakukan pada masing-
masing pasien. Namun yang menjadi kendala adalah hasil pemeriksaan ini baru
dapat diperoleh dalam 1-2 bulan. Oleh karena itu pada beberapa kondisi berikut
ini antara lain pasien dengan riwayat gagal pengobatan sebelumnya, pasien yang
sebelumnya pernah mendapat terapi OAT, pasien yang ada kontak dengan kasus
TB resisten OAT dan pasien yang lahir dan tinggal pada daerah endemis TB,

15
resistensi obat harus di antisipasi dan terapi harus dimulai tanpa menunggu hasil
DST. Selanjutnya pemilihan regimen pengobatan kasus dengan resistensi OAT
disusun berdasarkan pada pola resistensi obat, regimen pengobatan yang telah
digunakan sebelumnya, penyakit yang menyertai dan efek samping yang
berhubungan dengan obat.8
Tabel 2. Pengelompokan OAT 4

Secara umum, prinsip pengobatan TB resisten obat, khususnya TB dengan MDR


adalah sebagai berikut: 8
a. Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang masih efektif.
b. Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan silang
(cross-resistance)
c. Membatasi pengunaan obat yang tidak aman

d. Gunakan obat dari golongan / kelompok 1 - 5 secara hirarkis sesuai


potensinya. Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan pada
pertimbangan khusus dari Tim Ahli Klinis (TAK) dan disesuaikan dengan
kondisi program.
e. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap
lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama minimal 6
bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.
f. Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan

16
g. Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan
jarakpemeriksaan 30 hari.
h. Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahaplanjutan
menganut prinsip DOT = Directly/Daily Observed Treatment, dengan PMO
diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kader kesehatan.

Pilihan paduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini adalah
paduan standar (standardized treatment) yaitu:8
Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara
laboratoris dan dapat disesuaikan bila:
a. Etambutol tidak diberikan bila terbukti telah resisten atau riwayat penggunaan
sebelumnya menunjukkan kemungkinan besar terjadinya resistensi terhadap
etambutol.
b. Panduan OAT disesuaikan paduan atau dosis pada :
1) Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid test, kemudian
hasil konfirmasi DST menunjukkan hasil resistensi yang berbeda.
2) Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut diatas sebelumnya
sehingga dicurigai telah ada resistensi.
3) Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang dapat
diidentifikasi penyebabnya.
4) Terjadi perburukan klinis
Fase-fase Pengobatan TB-MDR 6
a. Fase Pengobatan intensif
Fase intensif adalah fase pengobatan dengan menggunakan obat injeksi
(kanamisin atau kapreomisin) yang digunakan sekurang-kurangnya selama 6
bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan
1) Fase rawat inap di RS 2-4 minggu
Pada fase ini pengobatan dimulai dan pasien diamati untuk:
a) Menilai keadaan pasien secara cermat
b) Tatalaksana secepat mungkin bila terjadi efek samping

17
c) Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang intensif
Dokter menentukan kelayakan pasien untuk rawat jalan berdasarkan:
a) Tidak ditemukan efek samping
b) Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan suntikan sesuai dengan
pedoman pengobatan TB MDR
2) Fase rawat jalan
Selama fase intensif baik obat injeksi dan obat minum diberikan oleh petugas
kesehatan dengan disaksikan PMO kepada pasien. Pada fase rawat jalan ini
obat oral ditelan di rumah pasien hanya pada libur
3) Fase pengobatan lanjutan
a) Fase setelah pengobatan injeksi dihentikan
b) Fase lanjutan minimum 18 bulan setelah konversi biakan
c) Pasien yang memilih menjalani pengobatan di RS Rujukan TB MDR
mengambil obat setiap minggu dan berkonsultasi dengan dokter setiap 1
bulan

Tata Laksana Pembedahan


Berbagai prosedur pembedahan dilakukan terhadap pasien TB-MDR, mulai
dari reseksi segmental sampai pleuro-pneumoectomy. Berdasarkan pengalaman
yang ada, tindakan operasi pada penderita TB-MDR dengan mortalitas rendah
(<3%). 9

Tetapi angka komplikasi yang terjadi cukup tinggi dimana fistula


bronkopleural dan empisema yang menjadi komplikasi utama. Lebih dari 90 %
pasien pemeriksaan sputumnya menjadi negatif setelah dilakukan tindakan
operasi. Pembedahan reseksional saat ini direkomendasikan pada penderita TB-
MDR yang diterapi dengan obat-obatan cukup jelek. Indikasi pembedahan yaitu :9

a. Kultur sputum positif yang menetap meskipun sudah diterapi dengan obat
yang cukup banyak
b. Adanya resistensi obat yang luas yang dikaitkan dengan kegagalan terapi atau
bertambahnya resistensi;

18
c. Adanya kavitas lokal, nekrosis/destruksi pada sebuah lobus atau sebagian paru
yang disetujui untuk dilakukannya operasi tanpa adanya insufisiensi
respiratori dan atau hipertensi pulmonal yang berat.
Hal tersebut dilakukan setelah minimum tiga bulan terapi intensif dengan
regimen obat-obatan, dimana diharapkan status sputum menjadi negative jika
memungkinkan. Dengan tindakan operasi ketahanan hidup jangka panjang dapat
diperbaiki daripada meneruskan terapi obat-obatan saja. Walaupun begitu,
pemakaian obat-obatan tetap dilanjutkan setelah operasi dilakukan, kemungkinan
dalam waktu setahun lebih, sebaliknya ketahanan hidup yang jelek mungkin saja
terjadi.9

3.5. Pemantauan Pengobatan


Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap
pengobatan dan mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB –
batuk, berdahak, demam dan BB menurun – umumnya membaik dalam beberapa
bulan pertama pengobatan.Penilaian respons pengobatan adalah konversi dahak
dan biakan. Hasil uji kepekaan TB MDR dapat diperoleh setelah 2 bulan.
Pemeriksaan dahak danbiakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan setiap
2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien TB MDR adalah:
a. Penilaian klinis termasuk berat badan
b. Penilaian segera bila ada efek samping
c. Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada
fase lanjutan
d. Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan
e. Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan
kegagalan pengobatan
f. Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat
suntikan(Kanamisin dan Kapreomisin)
g. Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda
hipotiroid.8

3.6. Hasil pengobatan TB-MDR8

19
a. Sembuh. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai
protokol program dan telah mengalami sekurang-kurangnya 5 kultur negatif
berturut-turut dari sampel dahak yang diambil berselang 30 hari dalam 12
bulan terakhir pengobatan. Jika hanya satu kultur positif dilaporkan selama
waktu tersebut, dan bersamaan waktu tidak ada bukti klinis memburuknya
keadaan pasien, pasien masih dianggap sembuh, asalkan kultur yang positif
tersebut diikuti dengan paling kurang 3 hasil kultur negatif berturut-turut yang
diambil sampelnya berselang sekurangnya 30 hari.

b. Pengobatan lengkap. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan


pengobatan sesuai protokol program tetapi tidak memenuhi definisi sembuh
karena tidak ada hasil pemeriksaan bakteriologis

c. Meninggal. Pasien kategori IV meninggal karena sebab apapun selama masa


pengobatan TB MDR.

d. Gagal. Pengobatan dianggap gagal jika 2 atau lebih dari 5 kultur yang dicatat
dalam 12 bulan terakhir masa pengobatan adalah positif, atau jika salah satu
dari 3 kultur terakhir hasilnya positif. Pengobatan juga dapat dikatakan gagal
apabila tim ahli klinis memutuskan untuk menghentikan pengobatan secara
dini karena perburukan respons klinis, radiologis atau efek samping.

e. Lalai/Defaulted. Pasien kategori IV yang pengobatannya terputus selama


berturut-turut dua bulan atau lebih dengan alasan apapun tanpa persetujuan
medik

f. Pindah. Pasien kategori IV yang pindah ke unit pencatatan dan pelaporan lain
dan hasil pengobatan tidak diketahui

3.7. Prognosis

20
Ada beberapa hal yang dapat menjadi petanda untuk mengetahui
prognosis pada penderita TB-MDR. Dari beberapa studi yang ada
menyebutkan bahwa adanya keterlibatan ekstrapulmoner, usia tua,
malnutris, infeksi HIV, riwayat mengunakan OAT dengan jumlah cukup
banyak sebelumnya, terapi yang tidak adekuat (< 2 macam obat yang aktif)
dapat menjadi petanda prognosis buruk pada penderita tersebut.9

BAB IV

PEMBAHASAN

TB paru hingga saat ini masih merupakan masalah penting bagi


kesehatan.Insidens TB diperkirakan meningkat. Penyebab paling penting
peningkatan TB di seluruh dunia adalah ketidak patuhan terhadap program,
diagnosis dan pengobatan tidak adekuat, migrasi, HIV, dan Multi Drug Resistance
TB(MDR-TB).
Penderita TB paru paling banyak terjadi pada usia produktif dan laki-laki.
Penderita TB paru usia tua berhubungan dengan penurunan kekebalan tubuh yang
disebabkan penyakit kronik dan pada usia tua juga sering menimbulkan efek

21
samping. HIV juga cukup memberikan peran penting dalam meningkatkan risiko
terjadinya reaktivasi infeksi TB laten yang mengakibatkan timbulnya infeksi paru
yang progresif dan reinfeksi. Berdasarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
(PDPI) tahun 2011 klasifikasi gejala klinis TB dapat dibagi menjai 2 golongan,
yaitu gejala lokal dan gejala sistemik.
Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala
respiratori (gejala lokal sesuai dengan organ yang terlibat).Gejala respiratori
tersebut adalah batuk ≥2 minggu, batuk darah, sesak napas, dan nyeri
dada.Keempat gejala ini dimiliki oleh pasien pada laporan kasus ini. Gejala
respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical
check up. Hal ini sama persis dengan kejadian kasus ini. Bila bronkus belum
terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk.
Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus dan selanjutnya batuk
diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
Gejala sistemik terdiri dari demam, malaise, keringat malam, anoreksia
dan berat badan menurun.Gejala sistemik ini sebagian besar dialami oleh pasien.
Sedangkan gejala TB ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari
kelenjar getah bening.

Kelainan yang didapat pada TB paru tergantung luas kelainan struktur


paru. Perkembangan awal penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) ditemukan
kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama
daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2) serta daerah apeks lobus inferior
(S6), sesuai dengan hasil rongten pasien pada kasus ini.
Kelainan pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan antara lain suara napas
bronkial, amforik, suara napas melemah, ronkhi basah, tanda-tanda penarikan
paru, diafragma, dan mediatinum. Kelainan yang didapatkan pada pemeriksaan
fisik pasien pada kasus ini adalah berupa suara ronkhi basah halus di bagian basal
pulmo dekstra dan pada perabaan taktil fremitus pulmo dekstra lebih menurun
dibandingkan pulmo sinistra.

22
Suara tambahan berupa ronkhi basah halus yang ditemukan pada pasien,
cirinya tidak mempunyai sifat gelembung terdengar seperti gesekan rambut atau
seperti suara yang disebabkan oleh permukan dua jari yang basah dan menempel
kemudian dipisahkan dengan mendadak, hal ini muncul pada infeksiinfeksi
jaringan parenkim paru contohnya pneumonia dan TB paru. Ronkhi basah
terdapat pada dinding yang meradang atau penumpukan sekret atau dihasilkan
oleh inspirasi paksa yang panjang.
Suara fremitus vokal akan menurun dalam keadaan bronkus yang tertutup
(atelektasis obstruksi), adanya cairan (efusi), atau udara dalam rongga
(pneumothoraks). Sebagian besar dari getaran suara harus melalui keadaan ini,
yang akan dipantulkan atau direapsorpsi, sehingga intensitas getaran akan
menurun. Saat menjalani pengobatan dengan dokter, pasien disarankan untuk
menjalankan pemeriksaan dahak.
Pasien TB dapat digolongkan berdasarkan riwayat penyakitnya, yaitu
kasus baru yaitu pasien yang tidak mendapat obat anti TB lebih dari 1
bulan.Kasus kambuh yaitu pasien yang pernah dinyatakan sembuh dari TB tapi
timbul lagi.Kasus gagal yaitu pasien yang sputumnya tetap positif setelah
mendapatkan obat anti TB >5 bulan atau pasien yang menghentikan
pengobatannya setelah mendapatkan obat anti TB 1-5 bulan dan sputumnya masih
positif.Kasus kronik yaitu pasien yang sputumnya tetap positif setelah
mendapatkan pengobatan ulang lengkap yang disupervisi dengan baik.
Selain dari gejala klinis diatas, ada beberapa faktor risiko yang berhubungan
dengan kejadian TB Paru MDR, yaitu:

1. Hubungan antara Ventilasi Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru

Ventilasi adalah usaha untuk memelihara kondisi atmosfir yang


menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia. Tersedianya udara segar dalam
rumah atau ruangan amat dibutuhkan manusia. Fungsi ventilasi adalah untuk
menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga.
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang
berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat.

23
Disamping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban
udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit
dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk bakteri-
bakteri patogen, sehingga apabila dalam ruangan terjadi pencemaran bakteri (oleh
penderita TBC) akan memudahkan terjadinya penularan.
Fungsi kedua pada ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan
dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen karena disitu selalu terjadi aliran
udara yang terus menerus, sehingga bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu
mengalir. Fungsi ketiga adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap di
dalam kelembaban yang optimum Dalam suatu ruangan rumah yang memiliki
ventilasi jelek menyebabkan rasa tidak nyaman bagi penghuninya. Hal ini
disebabkan oleh 3 faktor yaitu:
1. Berkurangnya O2 dalam udara
2. Bertambahnya konsentrasi CO2
3. Adanya bahan racun organik yang ikut terhirup

Ketidaknyaman ini mulai terasa bila udara tidak jenuh dengan keringat dan
temperatur ruangan sudah mendekati atau sama dengan temperatur tubuh (37C).
Bila sistem ventilasi berfungsi baik maka udara akan bergerak, sehingga
kejenuhan udara segera berkurang dan perasaan nyaman terasa kembali. Ventilasi
yang baik dalam ruangan harus memenuhi syarat-syarat ventilasi sebagai berikut :
a. Temperatur udara ruangan harus lebih rendah paling sedikit 40C dari
temperatur udara luar untuk daerah tropis
b. Luas ventilasi 10% dari luas lantai ruangan
c. Udara yang masuk harus udara bersih, tidak dicemari oleh asap dari sampah,
pabrik, knalpot kendaraan, debu, dan lain-lain
d. Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan lubang hawa
berhadapan antara dua dinding ruangan.
e. Aliran udara jangan menyebabkan orang masuk angin,untuk itu jangan
menempatkan tempat tidur atau tempat duduk persis pada aliran udara.

24
Ventilasi merupakan salah satu sarana yang dapat memberikan
kenyamanan bagi penghuni rumah dan harus mutlak ada di setiap rumah. Oleh
karena itu, sesuai dengan peletakannya ventilasi dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Sistem penghawaan balik
Dalam hal ini udara segar dan udara kotor melewati jalan yang sama, sistem ini
baik digunakan di daerah-daerah yang terbuka dan banyak angin.

2. Sistem penghawaan silang


Udara segar yang masuk dalam ruangan langsung berputar secara merata
keseluruh ruangan dan kemudian keluar melalui lubang yang lain. Sistem ini
paling baik digunakan untuk lingkungan rumah yang tidak banyak.

3. Sistem penghawaan langsung


Udara segar yang masuk ke dalam ruangan keluar melalui lubang angin yang
terletak berhadapan satu sama lainnya.
Sistem ini baik digunakan untuk rumah yang padat penghuninya.
Sedangkan fungsi ventilasi dalam ruangan yaitu :
a. Memasukkan udara segar dan mengeluarkan udara kotor dari ruangan
b. Sebagai jalan masuknya sinar matahari ke dalam rumah
c. Menciptakan estetika dalam ruangan
d. Memberikan perasaan nyaman bagi penghuninya
e. Mengatur suhu dan kelembaban dalam ruangan
Keadaan perumahan adalah salah satu faktor yang menentukan keadaan
hygiene dan sanitasi lingkungan.Perumahan yang tidak cukup dan terlalu sempit
mengakibatkan tingginya kejadian penyakit dalam masyarakat.
Salah satu indikator rumah yang sehat adalah luas bangunan rumah.Luas
lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuninya, artinya luas lantai
bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuni. Luas bangunan
yang tidak sebanding dengan jumlah penghuni akan menyebabkan kepadatan
(overcrowded). Hal tersebut tidak sehat, sebab disamping menyebabkan
kurangnya komsumsi oksigen juga dapat menyebabkan mudahnya penularan
penyakit apabila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi.

25
Jadi semakin banyak anggota keluarga maka luas bangunan rumah pun
seharusnya semakin luas. Secara umum, penilaian ventilasi rumah dengan cara
membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan
role meter. Menurut indikator pengawasan rumah, luas ventilasi yang memenuhi
syarat kesehatan adalah 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak
memenuhi syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai rumah.
Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan
membawa pengaruh bagi penghuninya. Salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga
aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Luas ventilasi rumah yang <10
% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan
berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida
yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi
akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses
penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi
akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-
bakteri patogen termasuk kuman Tuberkulosis.
Keadaan ventilasi rumah merupakan faktor yang berhubungan dengan
kejadian Tuberkulosis paru. Hal tersebut dapat dipahami, karena ventilasi
memiliki berbagai fungsi diantaranya adalah untuk membebaskan ruangan
rumah dari bakteri-bakteri patogen, terutama kuman tuberkulosis. Kuman TB
yang ditularkan melalui droplet nuclei, dapat melayang di udara karena memiliki
ukuran yang sangat kecil, yaitu sekitar 50 mikron.
Apabila ventilasi rumah memenuhi syarat kesehatan, maka kuman TB
dapat terbawa keluar ruangan rumah, tetapi apabila ventilasinya buruk maka
kuman TB akan tetap ada di dalam rumah.
Berdasarkan hasil observasi peneliti, letak bangunan rumah responden
juga mempengaruhi keadaan ventilasi rumah mereka karena jika letak bangunan
rumah berada di belakang rumah-rumah permanen dan bertingkat maka keadaan
rumah responden pasti tidak memiliki ventilasi. Begitupun rumah yang memiliki
ventilasi sebagian besar masyarakat hanya menjadikan ventilasi rumahnya
sebagai hiasan.

26
2. Hubungan antara Pencahayaan dengan Kejadian Tuberkulosis Paru

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak
terlalu banyak.Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah terutama
cahaya matahari, disamping kurang nyaman juga merupakan media atau tempat
yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu
banyak cahaya di dalam rumah akan menyebabkan silau dan akhirnya akan
merusak mata. Cahaya dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:

1. Cahaya alamiah, yakni matahari. Cahaya ini sangat penting karena dapat
membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya Bakteri TBC. Oleh
karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan cahaya yang cukup. Jalan
masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15% sampai 20% dari luas
lantai yang terdapat di dalam ruangan rumah. Perlu diperhatikan di dalam
membuat jendela diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk ke dalam
ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain.
Fungsi jendela disini, disamping sebagai ventilasi, juga sebagai jalan
masuk cahaya. Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan
agar sinar matahari lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding). Maka
sebaiknya jendela itu harus ditengah-tengah tinggi dinding (tembok). Jalan masuk
cahaya alamiah juga diusahakan dengan genteng kaca .Genteng kaca pun dapat
dibuat secara sederhana, yakni dengan melubangi genteng biasa waktu
pembuatannya, kemudian menutupnya dengan pecahan kaca.
2. Cahaya buatan, yaitu menggunakan sumber cahaya tapi bukan alamiah seperti
lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya. Untuk memperoleh cahaya cukup
pada siang hari, diperlukan luas jendela kaca minimum 20% luas lantai. Jika
peletakan jendela kurang baik atau kurang leluasa maka dapat dipasang genteng
kaca.
Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen
di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu rumah yang sehat harus
mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Intensitas pencahayaan minimum
yang diperlukan 10 kali lilin atau kurang lebih 60 lux, kecuali untuk kamar tidur
diperlukan cahaya yang lebih redup.

27
Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi
lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya. Cahaya yang sama
apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam
waktu yang lebih cepat daripada yang melalui kaca berwarna. Penularan kuman
TB Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk
dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka resiko penularan antar penghuni
akan sangat berkurang.
Rumah harus cukup mendapatkan penerangan baik siang maupun malam
hari.Yang ideal adalah penerangan listrik.Diusahakan agar ruangan-ruangan
mendapatkan sinar matahari terutama pagi hari. Pencahayaan alam atau buatan
langsung atau tidak langsung dapat menerangi seluruh bagian ruangan minimal
intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan.
Secara umum pengukuran pencahayaan terhadap sinar matahari adalah
dengan menggunakan lux meter, yang diukur ditengah-tengah ruangan, pada
tempat setinggi < 84 cm dari lantai.Cahaya matahari mempunyai sifat membunuh
bakteri, terutama kuman Mycobacterium tuberculosa. Kuman tuberkulosis hanya
dapat mati oleh sinar matahari langsung.
Oleh sebab itu, rumah dengan standar pencahayaan yang buruk sangat
berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis. Kuman Tuberculosis dapat bertahan
hidup pada tempat yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar matahari sampai
bertahun-tahun lamanya, dan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol
dan panas api dan rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai resiko
menderita Tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar
matahari.

3. Hubungan antara Kepadatan Hunian dengan Kejadian Tuberkulosis Paru


Kepadatan hunian adalah perbandingan antara luas lantai rumah jumlah
anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Kepadatan penghuni rumah juga
dapat mempengaruhi kesehatan, karena jika suatu rumah yang penghuninya padat
dapat memungkinkan terjadinya penularan penyakit dari satu manusia kemanusia
lainnya.

28
Kepadatan penghuni didalam ruangan yang berlebihan akan berpengaruh,
hal ini dapat berpengaruh terhadap perkembangan bibit penyakit dalam ruangan.
Kepadatan penghuni dalam rumah merupakan salah satu faktor yang dapat
meningkatkan insiden penyakit Tuberkulosis Paru dan penyakit-penyakit lainnya
yang dapat menular.Suatu rumah dikatakan padat apabila diperoleh hasil bagi
antara luas lantai dengan jumlah penghuni ≥10 m²/orang.Oleh sebab itu jumlah
penghuni di dalam rumah harus disesuaikan dengan luas rumah agar tidak terjadi
kepadatan yang berlebihan.
Beberapa persyaratan suatu rumah agar dapat menjamin kesehatan
penghuninya, baik secara fisik maupun psikologis antara lain menyangkut:
Ventilasi, kelembaban, pencahayaan, kamarisasi, dan kepadatan hunian. Semakin
banyak penghuni suatu rumah semakin menuntut ruangan yang banyak dan luas,
misalnya kamar tidur. Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan
memberikan pengaruh bagi penghuninya.
Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan
menyebabkan perjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena disamping
menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga
terkena penyakit infeksi, terutama Tuberkulosis akan mudah menular kepada
anggota keluarga yang lain.
Semakin padat penghuni rumah akan semakin cepat pula udara di dalam
rumah tersebut mengalami pencemaran. Karena jumlah penghuni yang semakin
banyak akan berpengaruh terhadap kadar oksigen dalam ruangan tersebut, begitu
juga kadar uap air dan suhu udaranya. Dengan meningkatnya kadar CO2 di udara
dalam rumah, maka akan memberi kesempatan tumbuh dan berkembang biak
lebih bagi Mycobacterium tuberculosis. Dengan demikian akan semakin banyak
kuman yang terhisap oleh penghuni rumah melalui saluran pernafasan.
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan
jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal.Persyaratan kepadatan hunian
untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m² per orang.Luas minimum per
orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia.
Untuk perumahan sederhana, minimum 8 m²/orang. Untuk kamar tidur
diperlukan minimum 2 orang.Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang,

29
kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota
keluarga yang menjadi penderita penyakit tuberkulosis sebaiknya tidak tidur
dengan anggota keluarga lainnya.
Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan
ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat
kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni >10
m²/orang dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh
hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni < 10 m²/orang.
Dari segi penularan penyakit, kepadatan hunian rumah juga sangat
berperan terutama penyakit-penyakit yang disebarkan lewat udara seperti penyakit
infeksi pernafasan.Dalam rumah dengan penghuni yang padat, penularan penyakit
sangat mudah terjadi bila salah satu atau beberapa orang penghuninya menderita
suatu penyakit menular karena adanya kontak yang sangat erat antar penghuninya.
Kondisi perumahan seperti ini menyebabkan masih tingginya angka penyakit
infeksi pernafasan di negara-negara berkembang seperti indonesia.

4. Hubungan antara Riwayat Kontak serumah dengan Kejadian


Tuberkulosis Paru
Kontak serumah adalah adanya keluarga yang serumah dan sudah
diketahui menderita TB dengan sputum BTA (+) . Apabila ada anggota keluarga
yang menjadi penderita penyakit tuberkulosis sebaiknya tidak tidur dengan
anggota keluarga lainnya.Kamar adalah pembagian ruangan / sekat dalam rumah
tersebut.
Apabila rumah tersebut tidak terdapat kamar atau ruangan, maka akan
lebih mudah terjadi penularan penyakit. Sebagai contoh bila rumah tersebut ada
sum ber penularan (penderita TBC ataupun ISPA), maka potensi penularan akan
dapat lebih mudah dan cepat terhadap orang yang tinggal bersama dalam suatu
ruangan tersebut.
Kontak serumah dengan penderita TBC merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya TBC. Semua kontak penderita TBC positif harus diperiksa dahak.
Kontak erat seperti dalam keluarga dan pemaparan besar besaran seperti pada
petugas kesehatan memungkinkan penularan lewat percikan dahak.

30
Faktor risiko tersebut semakin besar bila kondisi lingkungan perumahan
jelek seperti kepadatan penghuni, ventilasi yang tidak memenuhi syarat dan
kelembaban dalam rumah merupakan media transisi kuman TBC untuk dapat
hidup dan menyebar.
Untuk itu penderita TBC dapat menularkan secara langsung terutama pada
lingkungan rumah,masyarakat disekitarnya dan lingkungan tempat bekerja, makin
meningkatnya waktu berhubungan dengan penderita memberi kemungkinan
infeksi lebih besar pada kontak. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa
pemaparan kuman TBC dapat dipengaruhi oleh faktor individu, keeratan kontak
dan faktor lingkungan rumah seseorang.
Rumah tangga penderita mempunyai kebiasaan tidur dengan balita
mempunyai resiko terkena TB 2,8 kali dibanding dengan yang tidur terpisah.
Tingkat penularan TB di lingkungan keluarga penderita rata-rata dapat
menularkan kepada 2-3 orang didalam rumahnya. Besar resiko terjadinya
penularan untuk rumah tangga dengan penderita lebih dari 1 orang adalah 4 kali
dibanding rumah tangga dengan hanya 1 orang penderita TB.
Berdasarkan Depkes RI, 2011 pengawasan terhadap penderita, kontak dan
lingkungan sebagai berikut:
1. Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan
membuang dahak tidak disembarangan tempat.
2. Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan kekebalan terhadap
bayi diberikan vaksinasi.
3. Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB
yang antara lain meliputi gejala , bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.
4. Isolasi, pemeriksaan kepada orang–orang yang terinfeksi, pengobatan khusus
TBC. Pengobatan mondok dirumah sakit hanya bagi penderita yang kategori berat
yang memerlukan pengembangan program pengobatannya yang karena alasan –
alasan sosial ekonomi dan medis untuk tidak dikehendaki pengobatan jalan.
5. Des-Infeksi, cuci tangan dan pengawasan kebersihan alat rumah tangga yang
ketat, selain itu perlu perhatian khusus terhadap muntahan dan ludah (piring,
tempat tidur, pakaian) serta ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup.

31
6. Imunisasi orang–orang kontak. Tindakan pencegahan bagi orang–orang sangat
dekat (keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan lain) dan lainnya yang
terindikasi dengan vaksinasi dan tindak lanjut bagi yang positif tertular.
7. Penyelidikan orang–orang kontak. Tuberculin-test bagi seluruh anggota
keluarga dengan foto rontgen yang bereaksi positif, apabila cara–cara ini negatif,
perlu diulang pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan, perlu penyelidikan intensif.
8. Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat
obat–obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter di minum dengan tekun
dan teratur dalam waktu yang lama (6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya kebal
terhadap obat-obat, dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.

5. Hubungan antara Kebiasaan Merokok dengan Kejadian Tuberkulosis Paru

Merokok atau menghisap tembakau merupakan salah satu kebiasaan yang


lazim dilakukan oleh masyarakat dalam kehidupan seharihari.Sejak 600 tahun
sebelum masehi, tembakau telah ditanam di Amerika Serikat dan pada tahun 1
masehi, penduduk Amerika sudah mulai merokok. Sementara itu pada tahun 600
masehi, seorang filosof Cina bernama Farg Yizhi mulai menyampaikan bahwa
kebiasaan merokok dalam jangka lama akan dapat merusak paru. Merokok
sebenarnya sudah merupakan masalah nasional bahkan internasional, oleh karena
berdampak luas pada segi ekonomi dan kesehatan.

Demikian juga rokok akan menimbulkan masalah kesehatan paling tidak


dianggap sebagai faktor resiko dari berbagai macam penyakit. Rokok merupakan
produk industri dan komoditi internasional yang mengandung sekitar 1500 bahan
kimiawi. Unsur-unsur yang penting antara lain: tar, nikotin, benzopyrin,
metilklorida, aseton, amoniak, dan karbon monoksida. Diantara semua bahan-
bahan yang berbahaya itu terdapat 3 yang paling penting khususnya dalam hal
kanker yaitu tar, nikotin, dan karbon monoksida.
Kebiasaan merokok akan merusak mekanisme pertahanan paru yang
disebut Muccociliary clearance. Bulu-bulu getar dan bahan lain tidak dapat
dengan mudah membuang infeksi yang sudah masuk ke paru-paru karena bulu

32
getar dan alat lain di paru rusak akibat asap rokok. Selain itu asap rokok
meningkatkan tahanan jalan nafas, dan menyebabkan mudah bocornya pembuluh
darah di paru juga akan merusak makrofag yang merupakan sel pemakan bakteri
pengganggu. Asap rokok juga diketahui dapat menurunkan respon terhadap
antigen sehingga kalau ada benda asing yang masuk ke paru tidak cepat dikenali
dan dilawan. Jumlah rokok yang dihisap dapat dalam satuan batang, bungkus, pak
per hari. Kategori perokok dapat dibagi atas 3 kelompok yaitu:
1. Perokok ringan
Disebut perokok ringan apabila merokok kurang dari 10 batang per hari
2. Perokok sedang
Disebut perokok sedang jika menghisap 10-20 batang perhari.
3. Perokok berat
Disebut perokok berat jika menghisap lebih dari 20 batang perhari.

Bila sebatang rokok dihabiskan dalam sepuluh kali hisapan rokok, maka
dalam tempo setahun bagi perokok sejumlah 20 batang (satu bungkus) perhari,
akan mengalami 70.000 hisapan asap rokok. Beberapa zat kimia dalam rokok
yang berbahaya bagi kesehatan bersifat komulatif (ditimbun), suatu saat dosis
racunnya akan mencapai titik toksis sehingga akan mulai kelihatan gejala yang
ditimbulkan.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan ada hubungan kebiasan merokok


dengan kejadian dan proses perjalanan penyakit TB paru. Ternyata ada hubungan
antara prevalensi reaktifitas tes tuberkulin dengan kebiasaan merokok. Penelitian
lain menunjukkan hubungan antara kebiasaan merokok dengan aktif tidaknya
penyakit TB paru dan faktor resiko terjadinya TB paru pada orang dewasa.

33
BAB V

KESIMPULAN

Prevalensi kasus TB dengan resistensi OAT terutama TB-MDR terus

meningkat. Faktor penyebab terbanyak adalah akibat pengobatan TB yang tidak

adekuat dan penularan dari pasien TB-MDR. Oleh karena itu pada pasien harus

dilakukan penilaian risiko terjadinya resistensi OAT. Selanjutnya terapi empiris

harus segera diberikan pada pasien dengan risiko tinggi resistensi OAT, terutama

34
pada pasien dengan keadaan penyakit berat. Pemilihan regimen OAT yang tepat

sangat diperlukan untuk keberhasilanpengobatan dan pencegahan bertambah

banyaknya kasus TB-MDR.

Terapi yang dianjurkan dengan memberikan 4-6 macam obat. Pilihan obat

yang diberikan yaitu obat lini pertama yang masih sensitive disertai obat lini

kedua berdasarkan aktifitas instrinsik terhadap kuman TB. Pemberian nutrisi yang

baik dapat membantu keberhasilan terapi.

Konsep Direcly Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan

salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat penderita dan

menanggulangi masalah TB khususnya TB-MDR. Perkembangan obat baru

mungkin juga diperlukan untuk menanggulangi hal ini

DAFTAR PUSTAKA

1. Guidelines for the programmatic management of drug-resistant


tuberculosis: emergency update 2008. Geneva, World Health
Organization, 2008 (WHO/HTM/TB/2008.402)

2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis


dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2011.

35
3. Dapartemen Kesehatan RI. Penanggulangan TB kini lebih baik. Available
from:http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-
release/1348penangulangan-tb-kini-lebih-baik.html

4. Departemen Kesehatan RI. Situasi TBC di Indonesia


https://www.tbindonesia.or.id/page/view/11/situasi-tbc-di-
indonesia.

5. Soepandi PZ, 2010,Diagnosis Dan Faktor Yang Mempengaruhi


Terjadinya TB-MDR, Departemen Pulmonologi & Ilmu kedokteran
Respirasi FKUI-RS Persahabatan, Jakarta

6. Riyanto BS, Wilhan. Management of MDR TB Current and Future dalam


Buku Program dan Naskah Lengkap Konferensi Kerja Pertemuan
Ilmiah Berkala. PERPARI. Bandung. 2006.

7. Martin A. Portaels F. Drug Resistance and Drug Resistance detection in


Palmino JC, et al (eds), Tuberculosis 2007 from basic science to
patient care, 1st ed. www.textbookcom.

8. Dalimunthe NN, Keliat EN, dan Abidin A, 2013, Penatalaksanaan


Tuberkulosis dengan Resistensi Obat Anti Tuberkulosis, Divisi
Pulmonologi Alergi Imunologi FK Universitas Sumatra Utara

9. Syahrini, H, 2008, Tuberkulosis Resistensi Ganda, “Departemen Ilmu


Penyakit Dalam RSUP Adam Malik Medan FK USU”

36
LAMPIRAN

37
38

Anda mungkin juga menyukai