Anda di halaman 1dari 120

PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TENGGIRI

DI KABUPATEN BANGKA
PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG :
SUATU PENDEKATAN SISTEM BISNIS PERIKANAN

ARIEF FEBRIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

1
2

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah kepulauan


dengan luas wilayah perairan mencapai 4 (empat) kali dari seluruh luas wilayah
daratan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yaitu sebesar 16.281 km2. Luas
perairan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diperkirakan sebesar 65.301 km 2
dengan potensi perikanan tangkap sebesar 499.500 ton (Dinas Perikanan dan
Kelautan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2005).
Kabupaten Bangka merupakan salah satu sentra atau pusat kegiatan
sektor perikanan tangkap di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan tingkat
produksi sebesar ton. Kekayaan sumberdaya pesisir dan kelautan yang cukup
melimpah, yaitu sebesar 23.906,25 ton per tahun membuat banyak penduduk
yang bermata pencaharian sebagai nelayan tetap, disamping nelayan yang
mempunyai mata pencaharian sampingan seperti berkebun dan beternak (Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangka 2006).
Masyarakat nelayan di Kabupaten Bangka sebagian besar masih
tergolong nelayan tradisional. Hal ini dapat dilihat dari teknologi maupun jenis
alat tangkap yang digunakan, seperti pancing ulur (hand line), bagan perahu (lift
net), bubu (pot), jaring insang dasar (bottom gillnet), jaring insang hanyut (drift
gillnet) dan payang (seine net).
Hasil tangkapan yang didaratkan di Kabupaten Bangka pada tahun 2005
mencapai 19.641,60 ton. Hasil tangkapan dominan yang diperoleh nelayan
adalah ikan tembang (Sardinella sp) sebesar 17,6%, ikan tenggiri
(Scomberomorus commerson) sebesar 6,2 % dan ikan kembung (Rastrelliger sp)
sebesar 9,7%.
Ikan tenggiri merupakan ikan bernilai ekonomis tinggi yang ditangkap
dengan menggunakan alat tangkap gillnet dan pancing ulur. Ikan tenggiri
merupakan komoditas unggulan perikanan di Kabupaten Bangka. Di masa
mendatang diperkirakan permintaan komoditas ini baik dalam bentuk segar
maupun olahan akan terus mengalami peningkatan. Indikator yang menunjukkan
hal tersebut adalah semakin banyaknya diversifikasi produk olahan ikan seperti
krupuk, kemplang dan abon berbahan baku ikan tenggiri.
Upaya pengembangan usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka
tidak hanya mencakup faktor produksi, tetapi faktor-faktor terkait lainnya seperti
3

faktor mutu dan pemasaran, kelayakan usaha dan infrastruktur. Untuk itu upaya
pengembangan perlu mempertimbangkan berbagai faktor yang terkait
berdasarkan pendekatan sistem bisnis perikanan.

1.2 Perumusan Masalah

Pengembangan usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka


merupakan suatu kegiatan ekonomi untuk memanfaatkan secara optimal
sumberdaya ikan tenggiri yang ada di perairan Kabupaten Bangka. Pemanfaatan
sumberdaya ikan tenggiri diharapkan tetap memperhatikan kelestarian dari
sumberdaya yang ada, sehingga tercipta kesinambungan usaha perikanan
tenggiri di masa yang akan datang.
Pengembangan usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka masih
dihadapkan pada beberapa permasalahan yang dapat menjadi faktor
penghambat pengembangan usaha di masa akan datang. Permasalahan yang
dimaksud mencakup belum adanya informasi akurat mengenai potensi, musim
dan daerah penangkapan ikan tenggiri, teknologi penangkapan masih bersifat
tradisional, kurangnya informasi tingkat harga di setiap lembaga pemasaran,
produksi ikan tenggiri bersifat musiman, sehingga permintaan pasar belum
terpenuhi secara optimal, mutu komoditas dan kelayakan usaha, terbatasnya
infrastruktur pendukung usaha.
Pengembangan usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka
memerlukan pengkajian secara menyeluruh dan terintegrasi, dengan
mempertimbangkan aspek potensi sumberdaya, teknologi, pemasaran ikan,
mutu, ekonomi dan infrastruktur. Faktor potensi sumberdaya yang dikaji adalah
potensi dan bagaimana pengelolaan potensi sumberdaya ikan, faktor teknologi
yang dikaji adalah unit penangkapan, musim penangkapan, daerah
penangkapan dan produktivitas ikan tenggiri. Faktor pemasaran yang dikaji
adalah saluran pemasaran dan margin pemasaran, sedangkan faktor mutu yang
dikaji yaitu mengenai penilaian kualitas kesegaran ikan. Faktor ekonomi yang
dikaji, seperti dan kelayakan usaha yang diterima berdasarkan biaya-biaya yang
dikeluarkan dan harga ikan di pedagang pengumpul, sehingga menghasilkan
suatu solusi yang terpadu dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan tenggiri
secara optimal dan berkelanjutan dan faktor infrastruktur yang dikaji yaitu kondisi
dan ketersediaan faslitas-fasilitas yang mendukung aktivitas perikanan tenggiri.
Setelah mengkaji aspek potensi, teknologi, pemasaran, mutu dan ekonomi dan
4

infrastruktur kemudian menyusun strategi pengembangan usaha perikanan


tenggiri di Kabupaten Bangka.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu adanya kajian mengenai
pengembangan usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka dengan
bersandar pada prinsip bisnis perikanan dan diharapkan potensi sumberdaya
ikan tenggiri dapat dimanfaatkan secara optimal guna meningkatkan
kesejahteraan nelayan tenggiri dan usaha perikanan tenggiri di Kabupaten
Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :


1) Mengkaji potensi sumberdaya ikan tenggiri di Kabupaten Bangka.
2) Mengkaji kemungkinan pengembangan usaha perikanan tenggiri
berdasarkan pendekatan sistem bisnis perikanan.
3) Menyusun alternatif kebijakan pengembangan usaha perikanan tenggiri di
Kabupaten Bangka.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini, yaitu :

1) Dapat dijadikan informasi bagi pengusaha dan nelayan mengenai sistem dan
manajemen usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka.
2) Dapat dijadikan informasi dan acuan bagi pemerintah dalam memanfaatkan
dan mengembangkan usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka.
3) Dapat dijadikan informasi tentang pengembangan sistem bisnis perikanan
tenggiri di Kabupaten Bangka.

1.5 Kerangka Pemikiran

Pengembangan merupakan usaha perubahan dari suatu kondisi yang


kurang menjadi suatu yang dinilai lebih baik. Menurut Manurung et al. (1998),
pengembangan merupakan suatu proses yang membawa peningkatan
kemampuan penduduk dalam mengelola lingkungan sosial yang disertai dengan
meningkatnya taraf hidup. Pengembangan usaha perikanan merupakan suatu
proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan
5

dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi


yang lebih baik (Bahari 1989).
Usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka dipandang sebagai suatu
sistem yang terdiri atas beberapa sub sistem yang berkaitan satu dengan yang
lainnya meliputi potensi sumberdaya perikanan, teknologi penangkapan,
pemasaran, mutu komoditas, kelayakan usaha dan infrastruktur pendukung
usaha.
Pengembangan usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka
dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor, yaitu ketersediaan sumberdaya dan hubungan
antara sub-sub sistem dalam sistem bisnis perikanan tenggiri. Harmonisasi
kedua faktor tersebut mutlak dilakukan dengen menggunakan pendekatan
sistem, sehingga diperoleh suatu strategi pengembangan usaha perikanan
tenggiri berdasarkan sistem bisnis perikanan (Gambar 1).
Sumberdaya ikan tenggiri
- Potensi
- Musim
- Daerah penangkapan

Sub sistem penangkapan Sub sistem infrastruktur


Sub sistem pemasaran Sub sistem mutu Sub sistem kelayakan usaha
- Kapal - Darmaga
- Distribusi - Proporsi - Manfaat
- Alat tangkap - pabrik es Input
- Pemasaran - Standar mutu - Biaya
- Nelayan - Instalasi listrik
- Instalasi air
- Bengkel
- SPDN

Analisis
Analisis usaha efektivitas dan
Analisis teknik Analisis kondisi pasar Analisis mutu dan analisis Proses
daya dukung
komoditas kriteria investasi
infrastruktur

Harga komoditas, margin Kecukupan


Efektivitas dan Tingkat kelayakan
efisiensi
pasar, share pelaku Standar mutu
usaha
kondisi Output
pasar infrastruktur

Strategi pengembangan usaha


perikanan tenggiri

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

6
1
2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap

Menurut Bahari (1989), Barus et al. (1991), Syafrin (1993),


pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan
manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus
meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang baik.
Perikanan tangkap adalah kegiatan ekonomi dalam bidang
penangkapan meliputi pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di
laut atau perairan umum secara bebas. Definisi tersebut menunjukkan bahwa
kegiatan penangkapan ikan yang dimaksud bertujuan untuk mendapatkan
keuntungan baik secara finansial, maupun untuk memperoleh nilai tambah
lainnya, seperti penyerapan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan terhadap
protein hewan, devisa serta pendapatan negara (Monintja 1994).
Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum
untuk menangkap atau membudidayakan ikan termasuk kegiatan menyimpan,
mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersil atau mendapatkan
laba dari kegiatan yang dilakukan.
Perikanan laut sebagai salah satu sub sektor dari usaha perikanan
terbagi menjadi 2 (dua) kegiatan, yaitu (1) penangkapan di laut, adalah semua
kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan di laut, muara-muara sungai dan
laguna dengan kondisi yang dipengaruhi oleh pasang surut dan (2) budidaya di
laut adalah semua kegiatan memelihara ikan yang dilakukan di laut atau di
perairan antara lain yang terletak di muara sungai dan laguna (Dirjen Perikanan
1990).
Menurut Alhidayat (2002), usaha perikanan tangkap adalah kegiatan
yang bertujuan memperoleh ikan di perairan dalam keadaan tidak dibudidayakan
dengan maupun tanpa alat tangkap, termasuk kegiatan yang menggunakan
kapal untuk menampung, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah
dan mengawetkan.

2.2 Sumberdaya Ikan Tenggiri

Ikan tenggiri merupakan jenis ikan yang tergolong ekonomis penting dan
menjadi salah satu ikan yang digemari di dunia. Penyebaran spesies ini

1
2

mencakup seluruh wilayah Indo-Pasifik Barat dari Afrika Utara dan Laut Merah
sampai ke Perairan Indonesia, Perairan Australia dan Perairan Fiji ke Utara
sampai ke Perairan China dan Jepang. Menurut Martosubroto et al. (1991),
potensi dan penyebaran ikan tenggiri (narrow-barred spanish mackerel) di
Indonesia hampir di seluruh wilayah perairan (Tabel 1).

Tabel 1 Penyebaran ikan tenggiri

Perairan Daerah penyebaran Daerah tangkapan utama


• Perairan Aceh bagian Utara, Timur
Sumatera Seluruh perairan Sumatera Utara, sekitar Bengkalis;
• Perairan Bangka-Belitung;
• Pantai Barat Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Bengkulu dan
Lampung
• Seluruh Pantai Utara Jawa dan
Jawa dan Nusa Seluruh perairan Madura, selatan Jawa Tengah,
Tenggara selatan Bali, Utara Bali, Utara
Lombok dan Sumbawa serta Utara
Flores
• Hampir semua Pantai Barat dan
Kalimantan dan Seluruh perairan Selatan Kalimantan;
Sulawesi • Perairan Teluk Palu, Sulawesi
Bagian Selatan;
• Sebagian Perairan Sulawesi Utara
• Sebagian Pantai Barat Halmahera;
Maluku dan Irian Seluruh perairan • Perairan Selatan Pulau Seram;
Jaya • Hampir semua Perairan Pantai
Barat Irian sampai dengan sekitar
daerah kepala burung
Sumber : Martosubroto et al. (1991).

Menurut Saanin (1994), Kottelat et al. (1993) dan Murniyati (2004), ikan
tenggiri termasuk dalam ordo Percomorphi, sub ordo Scombroidea, ordo
Percomorphi, famili Scombridae dan genus Scomberomorus. Ciri-ciri morfologi
ikan tengiri yaitu bentuk badan memanjang, gepeng, memiliki gigi-gigi pada
rahang lancip, kuat dan gepeng. Tapisan insang (2-4) + (8-12) pada busur insang
pertama. Sirip punggung pertama berjari-jari keras 15-17 dan yang kedua berjari-
jari lemah 16, diikuti 9 jari-jari sirip tambahan. Sirip dubur berjari-jari lemah 18-20
dan diikuti 9 jari-jari sirip tambahan. Garis rusuk hampir lurus sampai di bawah
sirip punggung kedua, kemudian berkelok-kelok sampai dengan batang ekor.
Ikan tenggiri termasuk ikan buas, karnivora dan predator. Hidup menyendiri atau
membentuk gerombolan kecil di perairan pantai dan lepas pantai. Ikan tenggiri
3

dapat mencapai panjang 90 cm dan umumnya memiliki panjang 50-70 cm


(Gambar 2).

Sumber : Balai Riset Perikanan Laut (2004).

Gambar 2 Ikan tenggiri (Scomberomorus commerson)

Tubuh ikan tenggiri bagian atas berwarna abu-abu kebiruan dan bagian
bawah putih-keperakan. Pada bagian atas sampai dengan pertengahan badan
terdapat beberapa strip berupa garis-garis putus berwarna hitam sepanjang
badan. Sirip-siripnya berwarna kuning kemerahan kecuali strip punggungnya
dimana jari-jari kerasnya berwarna putih keabuan (Kottelat et al.1993).
Menurut Kottelat et al. (1993) dan Murniyati (2004), habitat ikan tenggiri
adalah di perairan pantai, lepas pantai seluruh Indonesia, Teluk Benggala dan
Teluk Siam. Hasil penelitian FAO, ukuran ikan tenggiri pada saat pertama kali
matang gonad mencapai 65-70 cm (FAO 1983). Beberapa hasil penelitian di
Australia, India dan Afrika menunjukkan bahwa ukuran ikan tenggiri pada saat
pertama kali matang gonad adalah 55-80 cm.

2.3 Sistem Bisnis Perikanan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan


bahwa semua kegiatan yang berhubungan dengan pengolahan dan
pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari pra produksi,
produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran dilaksanakan dalam suatu
bisnis perikanan. Sistem bisnis perikanan terdiri atas sub-sub sistem yang saling
terkait untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Istilah bisnis perikanan
merupakan acuan dari kegiatan sistem agribisnis yang banyak diaplikasikan
untuk kegiatan-kegiatan di sektor pertanian.
Definisi agribisnis menurut Ditjen Perikanan (1994) adalah semua
aktivitas di bidang perikanan yang mencakup konsep dan prinsip menajemen
agribisnis dari segi penyelenggaraan sarana produksi, produksi hingga
4

pemasaran produk yang dihasilkan. Menurut Ditjen Perikanan (1994), secara


konseptual sistem agribisnis perikanan terdiri atas beberapa sub sistem, yaitu :
1) Sub sistem penyediaan sarana dan prasarana produksi, teknologi dan
pengembangan sumberdaya.
2) Sub sistem usaha perikanan (usaha penangkapan ikan).
3) Sub sistem pengolahan.
4) Sub sistem pemasaran.
5) Sub sistem prasarana (pelabuhan).
6) Sub sistem pembinaan (kelembagaan).
Menurut Ditjen Perikanan (1994), sub sistem pengadaan dan penyaluran
sarana produksi mencakup kegiatan perencanaan, pengelolaan ataupun
pengadaan sarana produksi teknologi dan sumberdaya perikanan.
Kebijaksanaan yang mengupayakan agar sarana produksi dapat tersedia
dengan tepat waktu, tepat jumlah, tepat jenis, tepat kualitas dan sesuai dengan
daya beli pembudidaya ikan, disertai dengan pengembangan dan penerapan
paket ilmu pengetahuan dan teknologi continue merupakan kebijaksanaan utama
yang menjadi ciri keberadaan sub sistem ini.
Sub sistem produksi atau usaha perikanan mencakup kegiatan
pembinaan dan pengembangan usaha perikanan dalam rangka peningkatan
produksi primer perikanan. Ruang lingkup kegiatan sub sistem ini diantaranya
perencanaan pemilihan lokasi, komoditas, teknologi dan pola usaha perikanan
dalam rangka meningkatkan produksi perikanan.
Sub sistem pengolahan hasil perikanan tidak hanya aktivitas pengolahan
sederhana ditingkat pembudidaya atau nelayan, tetapi mencakup keseluruhan
kegiatan dimulai dari penanganan pasca panen produk perikanan sampai pada
tingkat pengolahan lanjut selama bentuk, susunan dan cita rasa komoditas
tersebut belum berubah.

2.4 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Teknologi

2.4.1 Pengelolaan sumberdaya perikanan

2.4.1.1 Pengkajian stok sumberdaya ikan


Sumberdaya ikan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat
diperbaharui tetapi terbatas. Sumberdaya tersebut dapat mengalami penipisan
bahkan kemusnahan jika dibiarkan dalam keadaan nirkelola (Widodo 2002).
5

Pengkajian biomassa (stok) ditujukan untuk membuat prediksi kuantitatif


tentang reaksi dari populasi ikan yang bersifat dinamis terhadap sejumlah
alternatif pengelolaan dengan menggunakan sejumlah metode dan penghitungan
statistik serta matematik. Prediksi kuantitatif misalnya terhadap batas produksi
yang diperbolehkan, resiko yang dapat ditimbulkan oleh penangkapan yang
berlebihan (overfishing) atas sejumlah populasi yang tengah memijah (spawning)
dan perlunya memberikan kesempatan ikan untuk tumbuh mencapai ukuran
tertentu yang diinginkan sebelum dieksploitasi (Widodo 2002).
Pendugaan biomassa ikan dipermudah menggunakan suatu model yang
dikenal dengan model surplus produksi. Model ini diperkenalkan oleh Graham
tahun 1935, tetapi lebih sering disebut sebagai model Schaefer (Sparre and
Venema 1999). Tujuan penggunaan model ini adalah untuk menentukan tingkat
upaya optimum, yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil
tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktivitas biomassa
secara jangka panjang, dan biasa disebut hasil tangkapan maksimum lestari
(maximum sustainable yield).
Model Schaefer lebih sederhana, karena hanya memerlukan data yang
sedikit, sehingga sering digunakan dalam estimasi biomassa ikan di perairan
tropis. Model Schaefer dapat diterapkan apabila tersedia data hasil tangkapan
total (berdasarkaan spesies) dan catch per unit effort (CPUE) per spesies serta
CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun
(Sparre and Venema 1999).
Pertambahan biomassa ikan dalam waktu tertentu di suatu wilayah
perairan merupakan parameter populasi yang disebut produksi. Biomassa
yang diproduksi diharapkan dapat menggantikan biomassa yang hilang akibat
kematian, penangkapan maupun faktor alami. Apabila kuantitas biomassa
yang diambil sama dengan yang diproduksi, maka perikanan tersebut berada
dalam keadaan seimbang (equilibrium) (Azis 1989).
Menurut Schaefer (1954) diacu dalam Fauzi (2006), laju pertumbuhan
populasi merupakan fungsi dari pertumbuhan biomassa yang dipengaruhi oleh
ukuran kelimpahan stok (x), daya dukung alam (k) dan laju pertumbuhan
intrinsik (r). Laju pertumbuhan alami biomassa ikan yang tidak dieksploitasi
atau disebut sebagai fungsi pertumbuhan density dependent growth dapat
dinyatakan dalam persamaan berikut :
6

dx
= f (x)
dt
 x
= x.r  1 − 
 k
Keterangan :
dx
= Laju perlumbuhan biomassa
dt
f(x) = Fungsi pertumbuhan populasi biomassa
x = Ukuran kelimpahan biomassa
r = Laju pertumbuhan alami (intrinsik)
k = Daya dukung alam (carrying capacity)

Persamaan di atas dalam literatur perikanan dikenal dengan


pertumbuhan logistik (logistic growth model) yang pertama kali dikemukakan
oleh Verhulst tahun 1989. Persamaan tersebut dapat digambarkan pada
Gambar 3.

f (x)

MSY

0 ½k k x
Gambar 3 Kurva pertumbuhan logistik (Schaefer 1954 diacu dalam Fauzi
2006)

Menurut Schaefer (1954) diacu dalam Fauzi (2006), kurva


pertumbuhan logistik menggambarkan kondisi perikanan yang tidak
mengalami eksploitasi. Untuk mengeksploitasi suatu perairan diperlukan
berbagai sarana yang merupakan faktor input yang disebut sebagai effort
dalam perikanan. Effort merupakan indeks dari berbagai input seperti tenaga
kerja, kapal, trip dan alat tangkap yang dibutuhkan saat penangkapan ikan.
Hasil tangkapan yang diperoleh nelayan bergantung pada tingkat upaya
penangkapannya (effort). Effort dibedakan menjadi dua berdasarkan satuan
pengukurnya, yaitu effort nominal dan effort efektif. Effort nominal diukur
berdasarkan jumlah nominalnya meliputi, satuan .jumlah kapal, alat tangkap atau
jumlah trip yang telah distandarisasikan, sedangkan Effort ditentukan
berdasarkan besarnya dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan penangkapan
7

terhadap kelimpahan stok ikan. Hubungan antara kedua upaya tersebut dapat
digambarkan melalui persamaan berikut :
h = q.E

dimana q merupakan koefisien penangkapan (catchability).


Perolehan hasil tangkapan (h) ditentukan oleh ukuran kelimpahan
biomassa (x), tingkat upaya penangkapan (E) dan koefisien penangkapan (q).
Persamaan dari ketiga variabel tersebut sebagai berikut :

h = q.E.x

Kegiatan penangkapan menyebabkan terjadinya pengurangan biomassa


populasi ikan yang pada akhirnya merangsang populasi untuk meningkatkan
pertumbuhan, survival atau recruitment. Perubahan populasi tersebut merupakan
selisih antara laju pertumbuhan biomassa dengan perolehan hasil tangkapan.
Hubungan tersebut menurut Schaefer (1954) diacu dalam Fauzi (2006), dapat
digambarkan sebagai berikut :

dx
= f ( x) − h
dt
dx  x
= x.r  1 −  − q.E.x
dt  K

Gambar 4 menunjukkan beberapa hal yang menyangkut dampak dari


aktivitas penangkapan terhadap biomassa. Pertama, pada saat tingkat upaya
sebesar E1 diberlakukan, maka akan diperoleh jumlah tangkapan sebesar h1
(garis vertikal). Jika upaya penangkapan dinaikkan sebesar E2, dimana E2 > El,
maka hasil tangkapan akan meningkat sebesar h2 (h2>h1). Apabila upaya terus
dinaikkan sebesar E3 (E3>E2>E1), maka akan terlihat bahwa untuk tingkat upaya
dimana E3>E2 ternyata tidak menghasilkan tangkapan yang lebih besar
(h3<h2).
Gambar 4 menunjukkan bahwa tingkat eksploitasi tersebut tidak efisien
secara ekonomi, karena tingkat produksi yang lebih sedikit harus dilakukan
dengan tingkat upaya yang lebih besar. Pengaruh introduksi penangkapan ikan
terhadap fungsi pertumbuhan biomassa dapat dilihat pada Gambar 4.
8

h = q.x.E3
f (x) h = q.x.E2

h = q.x.E1
h2

h3 h1

Gambar 4 Pengaruh tangkapan terhadap biomassa (Fauzi 2006)

Pada saat populasi berada pada kondisi seimbang jangka panjang


maka besarnya perubahan biomassa sama dengan nol (dx/dt= 0), maka
persamaannya :

dx
= f ( x) − h
dt
h = f ( x)

Berdasarkan persamaan di atas, maka dapat dinyatakan sebagai berikut :

 x
q.E.x = x.r  1 − 
 k
 q.E 
x = k 1− 
 r 

Jika persamaan di atas disubstitusikan ke dalam persamaan hasil


penangkapan (h=q.k.E), maka akan diperoleh persamaan yang
menggambarkan fungsi produksi lestari perikanan tangkap .

 q2k  2
h = q.k .E −   .E
 r 
Persamaan tersebut merupakan persamaan kuadratik dan dapat digambarkan
pada Gambar 5.
9

h(E)

hMSY

0 EMSY Emax Effort

Gambar 5 Kurva produksi lestari upaya (Schaefer 1954 diacu dalam Fauzi 2006)

Gambar 5 menunjukkan bahwa apabila tidak ada aktivitas penangkapan


(E=0), maka hasil tangkapan juga nol. Effort akan mencapai titik maksimum
pada Emsy yang berhubungan dengan tangkapan maksimum lestari (hmsy). Sifat
dari kurva produksi lestari upaya berbentuk kuadratik, maka peningkatan effort
yang terus-menerus setelah melewati titik maksimum tidak akan menyebabkan
peningkatan produksi lestari. Produk akan turun kembali bahkan mencapai nol,
pada titik effort maksimum (Emax) (Schaefer 1954 diacu dalam Fauzi 2006).
Menurut Gulland (1985), asumsi yang digunakan dalam model surplus
produksi adalah
(1) Kelimpahan populasi merupakan faktor yang menyebabkan perbedaan
dalam laju pertumbuhan populasi alami.
(2) Seluruh parameter populasi pokok dapat dikombinasikan untuk menghasilkan
fungsi sederhana yang ada hubungannya dengan laju pertumbuhan
biomassa.
(3) Laju mortalitas penangkapan seketika sama dengan upaya penangkapan.
(4) CPUE sepadan dengan ukuran biomassa ikan.
(5) Lama antara pemijahan dan rekruitmen tidak berpengaruh terhadap populasi.
(6) Ada hubungan antar hasil tangkapan dengan upaya penangkapan.
Dengan membagi kedua sisi dari fungsi produksi lestari dengan effort
(E), maka akan diperoleh persamaan berikut :

h  q 2 .k 
= q.k −   .E
E  r 
CPUE = a − b.E

dimana :
10

 q 2 .k 
a = q.k dan b =  
 r 
Keterangan :

CPUE = Catch Per Unit Effort


a = Nilai intersep
b = Koefisien regresi
E = Effort

sehingga akan diperoleh persamaan berikut :

a r
E MSY = =
2b 2q
a 2 r.k
hmsy = =
4b 4

Menurut Fauzi (2006), model fungsi produksi lestari dari Schaefer


memiliki kelemahan secara metodologi dan analisis. Hal ini dikarenakan
parameter r, q dan k tersembunyi dalam nilai a dan b. Oleh karena itu model
Gordon-Schaefer perlu dilakukan modifikasi dengan menggunakan teknik
estimasi parameter biologi (r, q dan k), diantaranya dengan model yang
dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto dan Pooley atau sering dikenal dengan
sebutan metode CYP. Parameter biologi (r, q dan k) tersebut diperoleh dengan
meregresikan persamaan berikut :

2r  2− r q
ln (U t + 1 ) = ln ( q.k ) +   ln(U t ) − ( Et + Et + 1 )
2+ r  2+ r 2+ r

Dengan meregresikan CPUE yang disimbolkan dengan U pada periode t+1, dan
U pada periode t serta penjumlahan effort pada periode t dan t+l akan diperoleh
koefisien r, q dan k secara terpisah.
Model produksi hanya dapat mengetahui potensi produksi sumberdaya
perikanan dan belum mampu menunjukkan potensi industri penangkapan ikan
dan tingkat pengusahaan maksimum bagi masyarakat. Teori ekonomi perikanan
yang didasarkan sifat biologis populasi ikan ditujukan untuk memahami perilaku
ekonomi dari industri penangkapan ikan. Pendekatan yang memadukan
kekuatan ekonomi yang mempengaruhi industri penangkapan dan faktor biologi
yang menentukan produksi dan suplai ikan disebut sebagai pendekatan bio-
ekonomi (Clark 1985).
11

Pendekatan bio-ekonomi model statik pertama kali dikenalkan oleh


Gordon pada tahun 1954 dengan dasar fungsi produksi biologis Schaefer,
sehingga disebut model Gordon-Schaefer. Model ini disusun dari model fungsi
produksi Schaefer, biaya penangkapan dan harga ikan. Asumsi yang mendasari
pengembangan model Gordon-Schaefer (Fauzi 2006) antara lain :
(1) Harga per satuan output (Rp per kg) diasumsikan konstan atau kurva
permintaan elastis sempurna.
(2) Biaya penangkapan per satuan upaya penangkapan dianggap konstan.
(3) Spesies sumberdaya ikan dianggap tunggal (single species).
(4) Struktur pasar bersifat kompetitif.
(5) Faktor penangkapan langsung yang diperhitungkan dan tidak memasukkan
faktor pasca panen.
Dengan menggunakan asumsi di atas, maka penerimaan total yang diterima
oleh nelayan adalah :

TR = p.h
  q 2. k  2 
TR = p  q.k .E −   .E 
  r  

  q.E  
TR = p q.k .E  1 − 
  r  
Keterangan :
TR = Penerimaan total
p = Harga rata-rata ikan layur
h = Hasil tangkapan

Biaya total upaya penangkapan dinyatakan dengan persamaan :

TC = c.E
Keterangan :
TR = Total biaya penangkapan ikan persatuan upaya
c = Biaya penangkapan ikan persatuan upaya
E = Upaya penangkapan

Maka keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya ikan adalah :

π = TR − TC
  q.E  
π = p. q.k .E  1 −   − c.E
  r  
12

Keterangan :
π = Keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya

Sumberdaya perikanan umumnya bersifat akses terbuka (open acces),


sehingga siapa saja dapat berpartisipasi tanpa harus memiliki sumberdaya
perikanan tersebut. Dalam kondisi perikanan bebas tangkap tersebut, terdapat
kebebasan bagi nelayan untuk turut serta menangkap ikan sehingga terjadi
kecenderungan pada nelayan untuk menangkap ikan sebanyak mungkin
sebelum didahului oleh nelayan yang lain (Gordon 1954 diacu dalam Fauzi
2006).
Titik keseimbangan suatu perikanan dalam kondisi open acces akan di
capai pada tingkat EoA, dimana penerimaan total (TR) sama dengan biaya total
(TC) sehingga keuntungan yang diperoleh dari usaha penangkapan ikan sama
dengan nol ( π =0). Pelaku perikanan hanya menerima biaya opportunitas dan
rente ekonomi sumberdaya atau profit tidak ada. Tingkat effort pada posisi ini
adalah tingkat effort keseimbangan yang oleh Gordon disebut sebagai "bio-
economic equilibrium of open acces fishery" atau keseimbangan bio-ekonomik
dalam kondisi akses terbuka (Gordon 1954 diacu dalam Fauzi 2006).
Keseimbangan bio-ekonomi merupakan kondisi dimana pada setiap effort
dibawah EoA, penerimaan total akan melebihi biaya total, sehingga pelaku
perikanan (nelayan) akan lebih banyak tertarik (entry) untuk melakukan
penangkapan ikan. Sebaliknya pada kondisi effort di atas EOA, biaya total akan
melebihi penerimaan total, sehingga banyak pelaku perikanan yang akan keluar
(exit) dari usaha penangkapan ikan. Dengan demikian, hanya pada tingkat effort
EOA keseimbangan akan tercapai, sehingga proses entry dan exit tidak akan
terjadi. Dengan kata lain, keseimbangan open acces akan terjadi jika seluruh
rente ekonomi telah terkuras habis (drive to zero), sehingga tidak ada lagi insentif
untuk entry maupun exit, serta tidak ada perubahan pada tingkat upaya yang
sudah ada (Gambar 6) (Gordon 1954 diacu dalam Fauzi 2006).
13

Gambar 6 Kurva perikanan bebas tangkap (Gordon 1954 diacu dalam Fauzi
2006)

Menurut Fauzi (2006), cara lain untuk melihat keseimbangan bio-ekonomi


open acces adalah dari sisi penerimaan rata-rata, penerimaan marginal dan
biaya marginal. Hal ini dapat diturunkan dari persamaan penerimaan total dan
biaya total. Dengan menggunakan fungsi permintaan yang linear, dimana harga
tidak lagi konstan, tetapi linear terhadap hasil tangkapan p(h), maka kurva
penerimaan rata-rata dapat diturunkan dari kurva penerimaan total dibagi dengan
hasil tangkapan (h).

TR = p(h).h
p (h).h
AR = = p ( h)
h

Kurva penerimaan marginal diperoleh dengan menurunkan penerimaan total


terhadap hasil tangkapan.

∂ TR ∂ p (h).h
= = p' (h).h + p (h) = MR
∂h ∂h

Kurva biaya marginal merupakan turunan pertama (kemiringan atau slope) dari
biaya total yang merupakan konstanta.

∂ TC
= c
∂E
14

Gambar 7 Kurva keseimbangan bio-ekonomi dari sisi penerimaan rata-rata


(Gordon 1954 diacu dalam Fauzi 2006)

Keuntungan lestari diperoleh secara maksimum (sustainable profit) pada


tingkat upaya EMEY karena memiliki jarak vertikal terbesar antara penerimaan dan
biaya (garis BC). Hal ini disebut sebagai produksi yang maksimum secara
ekonomi atau maximum economic yield (MEY). Produksi yang rnaksimum
secara ekonomi merupakan tingkat upaya penangkapan yang optimal secara
sosial (social optimum). Jika dibandingkan dengan tingkat upaya pada saat
keseimbangan open acces dengan tingkat upaya optimal secara sosial, maka
akan terlihat bahwa pada kondisi open acces tingkat upaya yang dibutuhkan
jauh lebih banyak dari pada yang semestinya untuk mencapai keuntungan
optimal yang lestari.
Dari sudut pandang ilmu ekonomi, keseimbangan open acces
menjadikan timbulnya alokasi yang tidak tepat dan sumberdaya, karena
kelebihan sumberdaya yang dibutuhkan seperti, modal dan tenaga kerja dapat
dialokasikan untuk kegiatan ekonomi lainnya. lni merupakan inti dari prediksi
Gordon bahwa pada kondisi open acces akan menimbulkan kondisi economic
overfishing (Gordon 1954 diacu dalam Fauzi 2006).
Tingkat upaya yang dibutuhkan untuk mencapai titik optimal secara sosial
jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk mencapai titik MSY
(EMSY). Tingkat upaya EMEY terlihat lebih bersahabat (conservative minded)
dibandingkan dengan tingkat upaya EMSY (Hannesson 1993 diacu dalam Fauzi
2006).
15

2.4.1.2 Model pengelolaan optimal dinamik


Model optimal dinamik merupakan model pengelolaan sumberdaya ikan
yang digunakan untuk memahami aspek ekonomi sumberdaya secara
menyeluruh dengan memperhitungkan faktor waktu. Menurut Clark dan Munro
(1975) diacu dalam Fauzi (2006), dalam pendekatan kapital, sumberdaya ikan
dianggap sebagai biomassa kapital dengan fitur tambahan bahwa biomassa ikan
dapat tumbuh melalui proses reproduksi alamiah. Dalam model dinamik,
biomassa ikan dianggap memiliki dua manfaat, yaitu manfaat masa sekarang
(current revenue) dan manfaat masa mendatang yang dianggap sebagai
investasi.
Model pengelolaan optimal dinamik digunakan untuk menentukan cara
memanfaatkan ikan sebaik mungkin dengan tetap memperhatikan aspek
intertemporal. Aspek ini dihubungkan dengan adanya penggunaan social
discount rate. Pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal dalam konteks
dinamik diartikan sebagai perhitungan tingkat upaya dan panen yang optimal
yang menghasilkan discount peresent value surplus sosial yang paling
maksimum. Surplus sosial ini diwakili oleh rente ekonomi dari sumberdaya
(resource rent) (Fauzi 2006). Dalam model dinamik, sumberdaya ikan
diasumsikan dikelola secara privat (pemerintah maupun komunal atau individual)
yang bertujuan untuk memaksimumkan manfaat ekonomi dari sumberdaya ikan
tersebut.

2.4.1.3 Laju degradasi


Laju degradasi digunakan untuk menentukan langkah-langkah lebih jauh
tentang pengelolaan, dalam bentuk pengurangan laju ekstraksi atau penutupan
berbagai kegiatan ekstraksi sumberdaya alam tersebut. lnformasi mengenai laju
degradasi sumberdaya alam dapat dijadikan titik referensi (reference point)
maupun early warning signal untuk mengetahui apakah ekstraksi sumberdaya
alam sudah melampaui kemampuan daya dukungnya (Fauzi dan Anna 2005).
Degradasi merupakan penurunan kualitas maupun kuantitas dari suatu
sumberdaya alam yang dapat diperbaharui. Kemampuan alami sumberdaya
alam untuk dapat beregenerasi sesuai kapasitas produksinya yang telah
berkurang (Fauzi dan Anna 2005).
16

2.4.2 Teknologi
Seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1988), dapat dilakukan
melalui pengkajian pada aspek “bio-technico-socio-economi-approach” oleh
karena itu ada (4) empat aspek yang harus dipenuhi oleh suatu jenis teknologi
penangkapan ikan yang dikembangkan, yaitu (1) jika ditinjau dari segi biologi
tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumber daya, (2) secara teknis
efektif digunakan, (3) secara sosial dapat diterima masyarakat nelayan dan (4)
secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan. Satu aspek yang
tidak dapat diabaikan adalah kebijakan dan peraturan pemerintah.
Aspek teknologi dilakukan untuk melihat hubungan faktor-faktor teknik
yang mempengaruhi produksi, yaitu desain dan konstruksi, teknik pengoperasian
dan alat bantu penangkapan serta CPUE dalam usaha penangkapan ikan
tenggiri. Menururt Sppare dan Venema (1999) penilaian aspek teknik dilakukan
terhadap :
1) Hasil tangkapan per tahun (kg);
2) Upaya penangkapan per tahun (unit);
3) Produksi per alat tangkap.
Menurut Friedman (1988), merancang alat tangkap adalah proses
mempersiapkan uraian teknik dan menggambar alat tangkap agar memenuhi
syarat-syarat penanganan alat, teknik, operasional, ekonomis dan sosial. Analisis
teknis lain yang dilakukan yaitu perhitungan nilai produktivitas, baik produktivitas
terhadap alat tangkap ikan tenggiri, produktivitas terhadap trip, maupun
produktivitas terhadap nelayan. Produktivitas merupakan perbandingan antara
hasil yang dicapai dengan keseluruhan sumberdaya yang dipergunakan.

2.4.2.1 Alat penangkap ikan tenggiri


Menurut Ditjen Perikanan (1990), ikan tenggiri dapat ditangkap dengan alat
tangkap gillnet, pancing ulur, bubu, pancing ulur, trawl dasar. Alat tangkap utama
yang digunakan untuk menangkap ikan tenggiri di kawasan perairan laut Bangka
umumnya para nelayan menggunakan gillnet dan pancing ulur (DKP Kabupaten
Bangka 2005).

1) Pancing ulur (Handline)


Satu unit pancing terdiri atas line (tali) dan hook (mata pancing). Tali
pancing umumnya terbuat dari bahan benang katun, nylon, polyethylene (PE)
17

dan senar. Mata pancing terbuat dari baja, kuningan atau bahan lain yang tahan
karat (Subani dan Barus 1989).
Pancing ulur merupakan alat tangkap yang sederhana dan telah dikenal
oleh masyarakat luas terutama nelayan. Alat tersebut dapat dioperasikan oleh
nelayan kecil, karena hanya membutuhkan modal yang kecil dan tidak
memerlukan kapal khusus (Brandt 1984). Menurut Monintja dan Martasuganda
(1991), perikanan pancing dapat dioperasikan dimana saja, dimana alat tangkap
lain tidak dapat beroperasi, seperti di perairan dalam dan kondisi berarus kuat.
Alat tangkap pancing dapat dioperasikan oleh siapa saja, namun diperlukan
keahlian dalam pengoperasian dan pengetahuan tentang sifat dari jenis ikan
sasaran penangkapan, sehingga dapat diperoleh hasil tangkapan yang
diharapkan.
Menurut Ayodhyoa (1981), dibandingkan dengan alat tangkap lain
keunggulan dari penggunaan pancing sebagai berikut :
(1) Struktur alat pancing tidak rumit dan penggunaannya mudah;
(2) Organisasi usahanya kecil, sehingga tidak banyak membutuhkan modal dan
SDM;
(3) Syarat fishing ground sedikit, sehingga lebih bebas memilih;
(4) Pengaruh cuaca dan suasana alam relatif kecil;
(5) Kesegaran hasil tangkap terjamin.
Kelemahan alat tangkap pancing ulur diantaranya :
(1) Tidak dapat menangkap ikan dalam jumlah banyak dalam waktu singkat;
(2) Memerlukan umpan;
(3) Diperlukan keahlian memancing perseorangan;
(4) Karena merupakan alat tangkap yang pasif maka tertangkapnya ikan sangat
ditentukan oleh ketertarikan pada umpan.
Cara pengoperasian hand line yaitu dengan mengulurkan pancing secara
vertikal ke bawah. Ujung tali yang satu berada di tangan nelayan dan ujung tali
lainnya yang terdapat mata pancing diulur sampai ke kedalaman tertentu yang
diduga merupakan tempat berkumpulnya ikan. Apabila umpan yang melekat
pada mata pancing dimakan oleh ikan, maka tali pancing ditarik dengan cepat ke
permukaan dan ikan yang tertangkap akan diambil dan dimasukkan ke dalam
palka. Selanjutnya dilakukan pemasangan umpan dan slap dilakukan setting
kembali.
18

2) Jaring insang (gillnet)


Gillnet merupakan jenis alat tangkap pasif yang dioperasikan dengan
cara menunggu ikan terjerat atau terpuntal jaring di perairan. Oleh karena itu
bagian tubuh ikan yang terjerat jaring ini umumnya pada bagian insangnya
(gilled), maka jenis alat tangkap ini disebut gillnet atau jaring insang.
Pengoperasian gillnet di perairan dilakukan dengan cara dipasang melintang
terhadap arus dengan tujuan untuk menghadang ikan. Dengan penghadangan
ini, diharapkan ikan akan menabrak jaring atau terjerat di bagian insangnya
pada mata jaring (gilled) atau terpuntal jaring (entangled) (Ayodhyoa 1981).
Desain dari sebuah jaring gillnet umumnya berbentuk empat persegi
panjang, mernpunyai ukuran mata jaring (mesh size) yang sama pada seluruh
badan jaring dan memiliki lebar, (vertikal) yang lebih pendek dari panjangnya
(horizontal). Pelampung dipasang pada lembaran jaring bagian atas.
Selanjutnya pemberat dipasang pada lembaran jaring bagian bawah.
Perimbangan antara gaya bouyancy yang dihasilkan oleh pelampung ke arah
atas dan gaya sinking force yang dihasilkan oleh pemberat ditambah berat
ubuh jaring kearah bawah, menyebabkan gillnet akan terentang di perairan.
Perimbangan antara pelampung dan pemberat ini, akan menentukan baik
buruknya rentangan gillnet dalam air. Selain itu angin, arus dan gerak
gelombang juga turut menentukan rentangan tersebut (Ayodhyoa 1981).
Berdasarkan penempatan jaring di perairan, gillnet dibedakan
menjadi dua, yaitu gillnet dasar (bottom gillnet) dan gillnet permukaan
(surface gillnet). Gillnet dasar adalah gillnet yang dioperasikan didasar
perairan untuk penangkapan jenis-jenis ikan demersal. Gillnet permukaan
adalah gillnet yang dioperasikan di sekitar permukaan air untuk menangkap
jenis-jenis ikan pelagis. Gillnet permukaan lebih dikenal dengan sebutan
jaring insang hanyut (drift gillnet) (Ayodhyoa 1981).
Gillnet dioperasikan dengan membentangkannya secara tegak lurus
didalam air untuk menghadang ruaya ikan, sehingga alat tangkap ini bersifat
statis (Sainsbury 1986). Penghadangan terhadap arah renang dari ikan ini
dilakukan dengan mempertimbangkan sifat-sifat ikan yang akan menjadi
tujuan penangkapan dan swimming layer ikan. Dengan penghadangan ini
diharapkan ikan akan menerobos jaring yang dengan demikian ikan tersebut
akan terjerat atau terbelit pada tubuh jaring (Ayodhyoa 1981).
19

Menurut posisi setting, pengoperasian gillnet dapat dilakukan menjadi


2 (dua) macam (Sainsbury 1986), yaitu :

(1) Setting dan hauling dilakukan di buritan kapal

(2) Setting di buritan dan hauling di samping kapal

2.4.2.2 Kapal
Menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, kapal
perikanan adalah kapal, perahu atau alat apung yang dipergunakan untuk
melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan,
pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan-pelatihan
perikanan dan penelitian atau eksplorasi perikanan. Kapal merupakan salah satu
sarana di laut untuk melakukan operasi penangkapan ikan. Kapal adalah alat
khusus yang sengaja dibentuk untuk menjalankan tugas tertentu, ukuran,
perlengkapan, dek, kapasitas daya angkut, akomodasi, mesin dan semua
perlengkapan dihubungkan dalam melaksanakan operasi penangkapan (Fyson
1985).
Umumnya kapal ikan yang digunakan untuk menangkap ikan tenggiri
adalah jenis kapal dengan mesin inboard. kapal ini dibuat dari kayu seperti kayu
jati (Tectona grandis) dan sengon (Paraserianthes falcataria). Perahu ini
dilengkapi dengan penyeimbang yang terbuat dari kayu atau bambu yang
biasa disebut kincang, terletak di samping kanan dan kiri perahu. Kincang
berguna untuk menjaga keseimbangan perahu. Panjang dari perahu berkisar
6-13 m dengan lebar 1-3 m dan kedalaman 0,8-3 m. Sebagai alat penggerak,
perahu ini dilengkapi oleh motor tempel dengan kekuatan sekitar 15-30 GT.
Agar perahu berjalan lancar, perahu dilengkapi dengan jangkar kayu, serok
dan petromak.

2.4.2.3 Nelayan
Dalam Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan,
nelayan diklasifikasikan berdasarkan waktu yang digunakannya untuk
melakukan operasi penangkapan ikan, yaitu sebagai berikut :
(1) Nelayan penuh, yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan
untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air
lainnya/tanaman air.
20

(2) Nelayan sambilan utama, yaitu nelayan yang sebagian besar waktu
kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan
ikan/binatang/tanaman air. Disamping melakukan pekerjaan penangkapan
nelayan kategori ini dapat mempunyai pekerjaan lain.
(3) Nelayan sambilan tambahan, yaitu nelayan yang sebagian kecil waktunya
digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan.

2.5 Pemasaran

Menurut Hanafiah dan Saefuddin (1978), Kegiatan pemasaran dari


produsen (nelayan, petani ikan dan petani umumnya) akan membutuhkan biaya
yang tinggi. Tingginya biaya pemasaran akan berpengaruh terhadap harga
eceran (harga yang dibayar konsumen) dan harga pada tingkat produsen.
Tingginya biaya disebabkan oleh berbagai faktor yang berpengaruh dalam
proses pemasaran, antara lain pengangkutan, penyimpanan, resiko, kerusakan
dan waktu kerja.
Menurut Hanafiah dan Saefuddin (1986), kegiatan fungsi pemasaran
membutuhkan biaya yang secara keseluruhan merupakan biaya yang tidak
sedikit jumlahnya. Keadaan ini oleh pihak lembaga pemasaran dibebankan
kepada pihak produsen atau konsumen, misalnya dengan menaikkan harga per
satuan pada konsumen akhir atau menekan harga ditingkat produsen. Dengan
demikian perlu diusahakan efisiensi dan kegiatan pemasaran dengan cara
mengurangi biaya pemasaran tersebut
Menurut Hanafiah dan Saefuddin (1986), margin merupakan perbedaan
yang dibayar kepada penjual pertama dan harga yang dibayar oleh pembeli
terakhir. Ada 3 (tiga) metode dalam menghitung margin pemasaran, yaitu :
1) Marketing margin dapat dihitung dengan memilih sejumlah tertentu barang
yang diperdagangkan dan mencatatnya sejak awal sampai akhir sistem
pemasaran.
2) Margin pemasaran dapat dihitung dengan mencatat nilai penjualan, nilai
pembelian dan volume barang dagangan dari tiap lembaga pemasaran yang
terlibat dalam satu saluran pemasaran. Dengan ketiga unsur ini yaitu nilai
penjualan (Ps), nilai pembelian (Pb) dan volume barang dagangan (V), maka
Average Gross Margin (AGM) dari tiap marketing agency dapat dihitung
dengan menggunakan rumus :
21

Ps − Pb
AGM =
V
Dengan cara menetapkan suatu saluran pemasaran tertentu dan mencari
average gross margin dari urutan pedagang yang mengambil bagian dalam
saluran tersebut, maka margin pemasaran dari keseluruhan saluran
pemasaran dapat diketahui.
3) Harga-harga pada tingkat pemasaran yang berbeda dapat dibandingkan.
Metode ini tergantung pada tersedianya serangkaian harga menurut waktu
yang representative dan comparable pada setiap tingkat pemasaran.

2.6 Kelayakan Usaha

Menurut Kadariah et al. (1999), untuk mengetahui kelayakan suatu usaha


perlu dilakukan pengujian melalui analisis finansial. Analisis finansial dapat
dilakukan melalui analisis usaha dan analisis kriteria investasi.

2.6.1 Analisis usaha


Menurut Hernanto (1989), analisis usaha dimaksudkan untuk mengetahui
kekuatan pengelolaan secara menyeluruh dalam mengelola kekayaan
perusahaan. Analisis usaha yang dilakukan antara lain, analisis pendapatan
usaha, analisis imbangan penerimaan dan biaya (Revenue Cost Ratio),
Payback Period (PP), dan analisis Return of Investment (ROI).

2.6.2 Analisis kriteria investasi


Pada analisis ini adalah modal saham yang ditanam dalam proyek.
Analisis ini penting artinya dalam memperhitungkan pengaruh bagi yang turut
dalam mensukseskan pelaksanaan proyek. Indikator yang digunakan dalam
analisis ini, yaitu Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), net
Benefit Cost Ratio (net B/C). Ukuran ini mempersoalkan apa yang akan diperoleh
di kemudian hari, beberapa nilai sekarang (present value), dengan kata lain
semua aliran biaya (cost) dan manfaat (benefit) selama umur ekonomis kita ukur
dengan nilai sekarang (Gray et al. 1993).

2.6.2.1 Net Present Value (NPV)


Menurut Gray et al. (1993), NPV atau keuntungan bersih suatu usaha
adalah pendapat kotor dikurangi jumlah biaya. NPV suatu proyek adalah selisih
PV (present value) arus benefit dengan PV arus biaya. Menurut Suratman (2001,
22

NPV digunakan untuk mengetahui apakah suatu usulan proyek investasi layak
dilaksanakan atau tidak dengan cara mengurangkan antara PV dan aliran kas
bersih operasional atas proyek investasi selama umur ekonomis termasuk
terminal cash flow dengan initial cash flow (initial investment). Jika NPV positif,
usulan proyek investasi dinyatakan layak, sedangkan jika NPV negatif dinyatakan
tidak layak. Penentukan PV atas aliran kas operasional dan terminal cash flow
didasarkan pada cost of capital sebagai cut off rate atau discount factor-nya.
Keunggulan metode NPV adalah metode ini telah mempertimbangkan
nilai waktu uang dan menggunakan dasar aliran kas secara keseluruhan dalam
umur ekonomis untuk perhitungannya. Sementara itu jika dibandingkan dengan
metode IRR dan PP tidak menunjukkan nilai absolutnya (Suratman 2001).

2.6.2.2 Internal Rate of Return (IRR)


Menurut Suratman (2001), IRR digunakan untuk menentukan apakah
suatu usulan proyek investasi layak atau tidak, dengan cara membandingkan
antara IRR dengan tingkat keuntungan yang diharapkan. Perhitungan IRR
dilakukan dengan cara mencari discount rate yang dapat menyamakan antara
PV dari aliran kas dengan PV dari investasi (initial investment).
Keunggulan IRR adalah dalam perhitungannya dilakukan dengan cara
mencari discount rate yang dapat menyamakan antara PV dari aliran kas dengan
PV dari investasi, namun pada prinsipnya menggunakan teknik interpolasi dan
mempertimbangkan nilai waktu uang dan menggunakan dasar aliran kas secara
keseluruhan dalam umur ekonomis untuk perhitungannya. Dasar perhitungan
IRR sama dengan dasar perhitungan NPV, namun karena hasil akhir IRR dalam
bentuk tingkat keuntungan dalam % maka hal ini merupakan kelemahan dari
metode IRR (Suratman 2001).

2.6.2.3 Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)


Menurut Umar (2003), net B/C merupakan perbandingan antara net
benefit yang telah di discount positif (+) dengan net benefit yang telah di discount
negatif (-). Menurut Choliq et al. (1993), kriteria investasi hampir sama dengan
kriteria investasi net B/C. Perbedaannya adalah bahwa dalam perhitungan net
B/C biaya tiap tahun dikurangi dari benefit tiap tahun untuk mengetahui benefit
netto yang positif dan negatif. Kemudian jumlah PV yang positif dibandingkan
dengan jumlah PV yang negatif. Sebaliknya, dalam perhitungan gross B/C
pembilang adalah jumlah nilai sekarang arus manfaat dan penyebut jumlah nilai
23

sekarang biaya bruto. Metode net B/C ini membandingkan nilai discount net
benefit positif dengan discount net benefit negative, apabila net B/C > 1 maka
proyek dianggap layak untuk dilanjutkan. Jika net B/C < 1 maka proyek dianggap
tidak layak untuk dilanjutkan. Kritera ini menggambarkan seberapa besar bagian
biaya proyek yang setiap tahunnya tidak dapat tertutup oleh manfaat proyek
(Kadariah et al. 1999).
24

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan selama 4 (empat) bulan, yaitu mulai dari 1


Agustus 2007 sampai dengan 1 Desember 2007, bertempat di Kabupaten
Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Gambar 8). Penelitian ini
mengambil lokasi di Kabupaten Bangka dengan pertimbangan bahwa pusat
produksi ikan tenggiri terbesar di Pulau Bangka berada di Kabupaten Bangka
yang merupakan daerah yang berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan
dan merupakan salah satu daerah penyebaran ikan tenggiri di wilayah Sumatera
(Balai Riset Perikanan Laut 2004).

Gambar 8 Peta lokasi penelitian.

3.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif


survei yang bersifat studi kasus (case study), yaitu memberikan gambaran
secara mendetail sebagai latar belakang sifat serta karakter yang khas (Arikunto
2000). Metode deskriptif survei yaitu mengumpulkan data sebanyak-banyaknya
25

mengenai faktor-faktor yang mendukung penelitian yaitu potensi penangkapan


dan pengembangan usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka.

3.3 Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel (responden) dilakukan terhadap semua pelaku


sistem bisnis perikanan meliputi nelayan, pedagang pengumpul, pedagang
pengecer, konsumen, perusahaan yang tersebar di Kabupaten Bangka.
Pengambilan sampel didasarkan pada syarat kecukupan informasi (pengertian
yang seksama dan tepat) dan syarat efisiensi (waktu, akses dan biaya).
Berdasarkan hal tersebut, maka pengambilan sampel untuk kelompok poduksi
dilakukan dengan metode purposive sampling. Menurut Fauzi (2001),
perhitungan jumlah responden untuk kelompok produksi dapat diperoleh melalui
prosedur statistik dengan rumus :

NZ 2 x 0,25
n=
[ ] (
d 2 x ( N − 1) + Z 2 x 0,25 )
Dimana :

n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
Z = Standar deviasi
D = Tingkat kesalahan

Dengan menggunakan tingkat kesalahan 15% atau tingkat kepercayaan 85%


maka nilai Z = 1,4395, sehingga jumlah sampel nelayan minimum untuk
(1) gill net, dengan populasi 1.062 orang yaitu sebanyak 22,56 atau 23 orang
(2) pancing, dengan populasi 1.315 orang yaitu sebanyak 30,1 atau 30 orang
Jumlah sampel pada kelompok pemasaran seperti pedagang pengumpul,
pedagang pengecer dan perusahaan perikanan dilakukan dengan menggunakan
metode snowball yaitu menelusuri proses pemasaran ikan tenggiri dari nelayan
sampai ke konsumen berdasarkan alur pemasaran yaitu 14 orang pedagang
pengumpul, 18 orang pedagang pengecer dan 2 perusahaan perikanan, 10
orang konsumen.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data primer diambil melalui mekanisme pengukuran/ pengamatan
langsung terhadap aktivitas perikanan serta wawancara dengan pelaku sistem
26

yang terpilih. Pelaku sistem yang dijadikan objek penelitian dikelompokkan ke


dalam tiga kelompok yang meliputi kelompok pra produksi, produksi dan kegiatan
pemasaran (Tabel 2).
Data sekunder yang diambil meliputi data statistik perikanan tahun 2002-
2006. Data-data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung, BPS Kabupaten Bangka, Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Bangka, Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sungailiat yang terletak
di Kabupaten Bangka dan Pemerintah Kabupaten Bangka (Tabel 3).

Tabel 2 Data primer yang diambil dalam penelitian

Teknik
Jumlah
No. Pelaku sistem Data yang dikumpulkan pengumpulan
sampel
data
I. Pra produksi
1. Pabrik es 1 - Kapasitas produksi Wawancara
- Daerah pemasaran
2. PPP 1 - Gambaran PPP Sungailiat Wawancara
Sungailiat
II. Produksi
1. Nelayan 53 - Spesifikasi teknis unit Pengukuran
penangkapan :
a. Ukuran dan bahan alat tangkap Wawancara
b. Dimensi kapal dan permesinan
c. Metode operasi
d. Lama trip
e. Jumlah ABK
- Musim dan daerah penangkapan
- Jumlah dan jenis ikan
- Proses penanganan Ikan
- Biaya operasional
- Biaya tetap
III. Pemasaran
1. Pedagang 14 - Mekanisme pengumpulan ikan Wawancara
Pengumpul - Jumlah ikan yang dikumpulkan
- Pendistribusian ikan
- Komponen biaya

2. Pedagang 18 - Jumlah ikan yang terjual Wawancara


pengecer - Spesifikasi ikan yang dijual
- Komponen biaya
3. Perusahaan 2 - Mekanisme pengumpulan bahan Wawancara
pengolah baku
/pemasaran - Spesifikasi produk yang diolah /
hasil dipasarkan
perikanan - Daerah distribusi
- Komponen biaya
4. Konsumen 10 - Gambaran kebutuhan Wawancara
27

Tabel 3 Data sekunder yang diambil dalam penelitian


Tahun
No. Uraian data terbit Sumber

1. Bangka dalam Angka tahun 2002-2006 2006 BPS Kabupaten


Bangka
2. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten 2006 BPS Kabupaten
Bangka menurut lapangan usaha tahun Bangka
2002-2006

3. Rencana Strategik Kabupaten Bangka 2006 Pemerintah


2006-2010 Kabupaten Bangka

4. Data Perikanan Kabupaten Bangka 2002- 2005 DKP Kab. Bangka


2006
5. Laporan Tahunan DKP Kabupaten Bangka 2006 DKP Kab. Bangka
2002-2006

6. Direktori program (kegiatan) DKP 2005 DKP Kab. Bangka


Kabupaten Bangka 2002-2006

7. Data pengiriman hasil perikanan dari PPP 2006 DKP Kab. Bangka
Sungailiat 2005

8. Inventarisasi pabrik es dan cold storage di 2005 DKP Kab. Bangka


Kabupaten Bangka

9. Laporan Tahunan PPP Sungailiat 2006 PPP Sungailiat


10. Statistik Perikanan PPP Sungailiat 2006 PPP Sungailiat

3.5 Metode Analisis Data

Kajian mengenai pengembangan usaha perikanan tenggiri di Kabupaten


Bangka dengan bersandar pada prinsip bisnis perikanan perlu memperhatikan
langkah-langkah seperti penentuan potensi sumberdaya ikan tenggiri di
Kabupaten Bangka dengan menggunakan analisis bio-teknik dan analisis bio-
ekonomi. Musim penangkapan ikan dianalisis dengan pendekatan metode rata-
rata bergerak (moving average). Penentuan daerah penangkapan ikan dilakukan
secara deskriptif berdasarkan data-data yang diperoleh dari hasil wawancara
dengan nelayan. Pemasaran ikan dilakukan secara deskriptif dengan mengetahui
saluran pemasaran baik lokal mau pun ekspor. Pada margin pemasaran
dilakukan dengan analisis harga pada masing-masing pelaku sistem untuk
mengetahui margin dari masing-masing pelaku sistem. Mutu ikan diketahui
dengan menggunakan uji organoleptik dan hedonicscale scoring dengan panelis
yang berasal dari konsumen dan pedagang secara langsung, sedangkan
kelayakan usaha perikanan tenggiri dianalisis dengan analisis finansial. Analisis
28

sensitivitas. Kondisi dan ketersediaan infrastruktur yang menunjang usaha


perikanan tenggiri dilakukan secara deskriptif.
3.5.1 Sub sistem potensi sumberdaya ikan

3.5.1.1 Standarisasi alat tangkap


Standarisasi dimaksudkan untuk menyeragamkan kemampuan tangkap
gillnet dengan pancing ulur. Kedua alat tersebut merupakan alat tangkap yang
digunakan nelayan di Kabupaten Bangka untuk menangkap ikan
tenggiri. Standarisasi perlu dilakukan karena kemampuan pancing dan jaring
insang dapat berbeda-beda tergantung pada dimensi alat, metode
pengoperasian, alat bantu dan faktor-faktor lainnya. Dalam proses standarisasi
ditentukan alat tangkap standar berdasarkan kriteria nilai CPUE rata-rata
tertinggi. Penggunaan kriteria tersebut didasarkan pada hipotesis bahwa alat
tangkap yang memiliki nilai CPUE rata-rata terbesar pasti memiliki kemampuan
tangkap yang lebih baik dibandingkan dengan alat tangkap lainnya.
Perbandingan kemampuan tangkap antar alat tangkap selanjutnya dinyatakan
dalam bentuk indeks yang disebut Fishing Power Index (FPI). Output
akhir dari proses standarisasi adalah diperolehnya nilai CPUE standar dan nilai
effort standar. Nilai-nilai tersebut akan menjadi input bagi perhitungan parameter
biologi selanjutnya. Rumus yang digunakan untuk standarisasi adalah sebagai
berikut:
Cstd CPUEi
CPUEs = ; FPIs =
Estd CPUEs

Ci CPUEi
CPUEi = ; FPIi =
Ei CPUEs
n
Estd = ∑
i= 1
(FPIi x effort ke-i)

Keterangan:

Ctstd : Hasil tangkapan (catch) alat tangkap standar,


Estd : Upaya penangkapan (effort) alat tangkap standar,
Ci : Hasil tangkapan tahun ke-i jenis alat tangkap lain,
Ei : Upaya tangkap tahun ke-i jenis aiat tangkap lain,
CPUEs : Hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap standar;
CPUEi : Hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap i,
F P I s : Fishing power index alat tangkap standar,
F P I i : Fishing power index alat tangkap lain.
29

3.5.1.2 Analisis bio-teknik


Terjadi atau tidak gejala penangkapan lebih (biological overfishing) dapat
dianalisis dengan menggunakan analisis bio-teknik. Penentuan gejala tersebut
dilakukan dengan menentukan jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan (JTB)
dan kondisi optimum tingkat upaya penangkapan ikan tenggiri. Model produksi
Schaefer yang menghubungkan antara upaya tangkap (E) dengan hasil
tangkapan per upaya (CPUE), diperoleh dari hubungan antara upaya tangkap (E)
dengan hasil tangkapan (h) yang kedua sisanya dibagi dengan upaya tangkap
(E), yaitu:
q 2k 2
h = qkE − E
r
h  q2k 
= qk −   E
E  r 
CPUE = α − β E

q2
dimana : α = qk dan β =
r
Upaya tangkapan yang dilakukan pada saat perolehan maksimam lestari ,
didapatkan pada saat
h = α E − β E2
δh
= 0
δE
δh
= 0, maka
δE
α − 2β E = 0
qrk r
α = =
E msy = Ekq 2
2q

Hasil tangkapan maksimum lestari, yaitu:
h = α E − β E2
2
 α   α 
h = α   − β  
 2β   2β 
α 2 α 2
h= −
2β 4β
α 2 q 2 rk rk
hmsy = = =
4β 4kq 4
30

Pendugaan parameter biologi dilakukan dengan metode surplus produksi


melalui pendekatan CYP dengan persamaannnya :
2r (2 − r ) q
In(U t + 1 ) = In(qk ) + InU − ( E t + Et + 1 )
2+ r (2 + r ) 2+ r
Hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) dilambangkan dengan huruf “U”
kemudian diregresikan pada periode (t+1) dan periode (t), disertai dengan
penjumlahan input pada periode (t+1) dan periode (t), maka akan diperoleh
koefisien r, q dan secara terpisah. Sebelumnya persamaan dapat
disederhanakan menjadi :
In(U t + 1 ) = α + β In(U t ) − γ ( Et + Et + 1 )
Nilai-nilai parameter r, q dan k diestimasi dengan menggunakan metode
OLS (Ordinary Least Square), sehinga nilai parameter r, q dan k dapat diperoleh
dari persamaan:
2(2 − β )
r=
(2 + β )
γ
q= −
(2 + r )
( 2+ r )
α
(2r )
e
k=
q

3.5.1.3 Analisis bio-ekonomi


Berdasarkan konsultasi pribadi dengan Fauzi dan Sobari (2008),
pendekatan analisis bio-ekonomi bisa dilakukan dengan pendekatan bulanan.
Hal ini dikarenakan jika melalui data tahunan tidak menunjukkan hasil yang
terbaik maka dianjurkan bisa menggunakan data bulanan. Berdasarkan pendapat
yang telah dikemukanan sebelumnya, selain parameter biologi maka parameter
ekonomi juga mempengaruhi model statik bio-ekonomi dalam perikanan tangkap
yaitu biaya penangkapan (c) dan harga (p).
Biaya penangkapan yang digunakan merupakan rata-rata dari biaya
operasional penangkapan yang meliputi biaya bahan bakar oli, es dan pangan.
Rata-rata biaya penangkapan dihitung berdasarkan rumus:

C=
∑ Ci
n
Keterangan:
C = Biaya penangkapan rata-rata
31

Ci = Biaya penangkapan responden ke-i


n = Jumlah responden

Standarisasi biaya dihitung dengan menggunakan rumus:

 1 n TC  n 
1/ t

hit  CPIt 
Csdt.t =  ∑ i 
∑  . x100  
 n i = 1 ∑ E i  i = 1 ∑ (hi + h j )   CPIsdt 
 
Keterangan :
Csdt.t = Biaya per unit standarisasi effort pada periode ke t
TCi = Total biaya untuk alat tangkap ke-i
Ei = Total effort untuk alat tangkap ke-i
hit = Produksi alat tangkap ke-i pada periode ke t
∑ (hi+hj) = Total produksi seluruh alat tangkap
n = Jumlah alat tangkap
CPIt = Indeks harga konsumen pada periode ke t
CPIsdt = Indeks harga konsumen standar (2007)

sedangkan harga ikan juga ditentukan oleh harga ikan rata-rata dengan rumus :

P=
∑ Pi
n
 CPI t 
Pt = P x100 
 CPIsdt 
Keterangan :
P = Harga ikan rata-rata
Pi = Harga nominal ikan responden ke-i
n = Jumlah responden
Pt = Harga riil ikan waktu t

Jika kedua parameter biologi dan ekonomi tersebut telah diketahui, maka
Total Revenue (TR) dan Total Cost (TC) diperoleh dengan persamaan:
TR = ph
 qE 
TR = pqKE  1 − 
 r 
TC = cE
Keuntungan lestari yang merupakan selisih dari TR dan TC diperoleh
melalui persamaan:
π = TR − TC
 qE 
π = pqkE  1 −  − cE
 r 
Selain dapat memperoleh keuntungan lestari, dengan mengetahui nilai
parameter k, q dan r dapat diketahui juga solusi dari masalah bio-ekonomi. Solusi
32

tersebut dapat diketahui melalui model pendekatan statik melalui pendekatan


CYP (Tabel 4).
Tabel 4 Formula perhitungan solusi bio-ekonomi statik dengan pendekatan CYP.
Rejim pengelolaan
Variabel
MEY MSY Open acces
k c  k c
Biomassa (x)  1 + 
2 pqK  2 pq
rk  c  c  r.K  rc   c 
Catch (h)  1 +   1 −     1 − 
4 pqk   pqk  4  pq  pqk 
r  c  r r c 
Effort (E)  1 −   1 − 
2q  pqk  2q q pqk 
Rente sumber  qE   r.K   r   c 
pqkE  1 −  − cE p.  − c.   p −  F (x)
daya ( π )  r   4   2q   qx 
Sumber : Fauzi (2005)

Pendekatan statik dalam permodelan sumberdaya ikan memiliki


kelemahan yang mendasar, dimana pada pendekatan ini faktor waktu tidak
dimasukkan dalam analisis. Sumberdaya terbaharukan seperti ikan memerlukan
waktu untuk bereaksi terhadap perubahan eksternal yang terjadi. Oleh karena itu
perlu dilakukan pendekatan dinamik. Model dinamik menyangkut aspek
pengelolaan yang bersifat intertemporal yang dijembatani dengan penggunaan
discount rate. Secara matematika pengelolaan sumberdaya dalam model
dinamik ditulis dalam bentuk :

  ch  
  2  
 2 x    qx  
δ = r 1 − +
 k    c 
 p − 

  qx  

Berdasarkan persamaan di atas, maka biomassa, produksi, effort dan rente


ekonomi optimal model dinamik dapat dihitung sebagai berikut :

 2 
x =
* k   c + 1 − δ  +  c

δ 
+ 1 −  +
Cδ 
r   pqk r   pqk r pqkr 
 
x   2x  
h * = ( pqx − c)  δ −  1 − 
c   k  
h*
E* =
qx *
Berdasarkan World Bank untuk menghitung sumberdaya pada negara-negara
33

berkembang biasa digunakan social discount rate 10 sampai dengan 20%, maka
dalam penelitian ini digunakan social discount rate 10%, 12%,15%, 18% dan
20%.
Sumberdaya perikanan sangat rentan mengalami degradasi akibat
adanya aktivitas pemanfaatan terhadap sumberdaya perikanan tersebut (upaya
penangkapan ikan). Laju degradasi dapat dihitung dengan rumus :
1
φ deg = hα

1+ e ho

Keterangan :
φ deg = Laju degradasi
hα = Produksi lestari
ho = Produksi aktual

Dengan mengetahui nilai-nilai variabel di atas pada berbagai rejim


pengelolaan, maka dapat diketahui kondisi bio-ekonomi perikanan tangkap di
suatu perairan. Pengetahuan yang didapat selanjutnya dapat digunakan untuk
pengambilan kebijakan pengembangan perikanan tangkap di perairan tersebut.

3.5.2 Sub sistem teknologi penangkapan

3.5.2.1 Daerah dan musim penangkapan


Lokasi keberadaan ikan tenggiri kemungkinan dapat berbeda tiap
musim. Hal ini dapat dilihat berdasarkan informasi tentang daerah
penangkapan ikan tiap musimnya kemudian dipetakan dalam bentuk peta
DPI. Tujuan penentuan DPI dan musim penangkapan ikan adalah
mengefektifkan dan mengefisienkan kegiatan penangkapan. Penentuan DPI
dan musim penangkapan ikan dilakukan secara deskriptif dan melalui analisis
indeks musim penangkapan berdasarkan data-data yang diperoleh dari hasil
wawancara dengan nelayan. Analisis indeks musim penangkapan dilakukan
untuk mengetahui trend hasil tangkapan dalam kurun waktu tertentu. Pendugaan
musim penangkapan dilakukan dengan menganalisis data hasil tangkapan dan
upaya tangkap ikan tenggiri bulanan selama 5 tahun (2001-2005). Data hasil
tangkapan bulanan dianalisis berdasarkan perbandingan antara banyak total ikan
yang didaratkan dengan banyaknya upaya yang dilakukan pada bulan tersebut
(CPUE). Banyaknya upaya penangkapan dihitung berdasarkan banyaknya
34

jumlah kapal yang melakukan penangkapan pada bulan yang bersangkutan.


Secara matematis perhitungan CPUE sebagai berikut :

Ci
CPUE =
Keterangan: fi
CPUE : Jumlah total tangkapan per upaya penangkapan bulan ke-i (kg
per hari)
Ci : Total hasil tangkapan bulan ke-i (kg)
Fi : Total upaya penangkapan bulan ke-i (trip)

Selanjutnya pola musim penangkapan dianalisis dengan menggunakan


pendekatan metode rata-rata bergerak (moving average). Langkah
perhitungannya menurut Dajan (1983) adalah sebagai berikut :
(1) Menyusun deret CPUE bulan Januari tahun 2000 sampai dengan Desember
2004
ni = CPUEi
Keterangan :
I = 1,2,3.......60
ni = Urutan ke-i

(2) Menyusun deret jumlah bergerak CPUE selama 12 bulan untuk setiap bulan
p+ 6
np = ∑
j= p− 6
CPUEj

Keterangan :
p = 6,7,8 ......
np = Urutan ke-p
j = Urutan ke-j pada deret ni

(3) Menyusun deret rata-rata bergerak CPUE per 12 bulan untuk setiap bulan

1
nq = np
12
Keterangan :
q = 6,7,8 ….
nq = Urutan ke-q
np = Σ CPUE bergerak 12 bulan untuk bulan ke-j

(4) Menyusun deret jumlah bergerak 2 bulan untuk setiap bulan

r
nr = ∑ r− 1
nq
35

Keterangan :
r = 7,8,9….
nr = Urutan ke-r
nq = Rata-rata bergerak per 12 bulan untuk setiap bulan

(5) Menyusun rata-rata bergerak 12 bulan dipusatkan

1
ns = nr
2
Keterangan :
s = 7,8,9…
ns = Urutan ke-s
nr = Deret jumlah bergerak 2 bulan

(6) Menghitung prosentase rata-rata bergerak untuk setiap bulan

CPUEj
proporsi rata − rata bulan − j = x100%
rataan bergerak 12 bulan yang dipusatkan

(7) Menyusun nilai prosentase rata-rata bergerak setiap bulan pada suatu matrik
dimulai pada bulan Juli sampai Juni, kemudian menghitung rata-rata variasi
musim dan selanjutnya menghitung indeks musim penangkapan (IMP)

1 n− 1
Variasi musim ke-j = ∑ Xij
n − 1 i= 1

Keterangan :
n = Banyaknya tahun data

1 12 n − 1
Jumlah variasi musim = ∑ ∑ Xij
n − 1 j− i i= 1
Variasi musim bulan ke − j
Indeks musim penangkapan bulan – j = x100%
rata − rata var iasi musim bulanan

Selanjutnya untuk menentukan pola musim penangkapan ikan digunakan


kriteria jika nilai IMP lebih dari 100% berarti terjadinya musim penangkapan dan
jika nilai IMP kurang dari 100% berarti bukan musim penangkapan.

3.5.2.2 Aspek teknik


Analisis teknik dilakukan untuk melihat hubungan faktor-faktor teknik yang
mempengaruhi produksi, yaitu desain dan konstruksi, teknik pengoperasian dan
alat bantu penangkapan ikan serta hasil tangkapan per upaya penangkapan
(Sparre dan Vennema 1999).
36

Produktivitas adalah suatu alat untuk melihat efisiensi teknik dan suatu
proses produksi yang merupakan perbandingan antara hasil yang dicapai
dengan keseluruhan input sumberdaya yang dipergunakan. Rumus yang
digunakan dalam produktivitas adalah :

C
P=
E

Keterangan :
P = Produktivitas (ton per unit)
C = Hasil tangkapan (kg)
E = Jumlah unit penangkapan ikan (unit)

Produktivitas dihitung menggunakan data skunder untuk mengetahui


produktivitas per alat, produktivitas per trip dan produktivitas per nelayan,
produktivitas per biaya operasional dan produktivitas per biaya investasi, yaitu :

Jumlah produksi (kg )


Produktivitas per alat tangkap =
jumlah alat (unit )

Jumlah produksi (kg )


Produktivitas per trip =
jumlah trip (trip )

Jumlah produksi (kg )


Produktivitas per trip =
jumlah nelayan (orang )

Jumlah produksi (kg )


Produktivitas per biaya operasional =
jumlah biaya operasional ( Rp)

Jumlah produksi (kg )


Produktivitas per biaya investas i =
jumlah biaya investasi ( Rp)

3.5.3 Sub sistem pemasaran

Pemasaran tenggiri hingga ke konsumen merupakan mata rantai


terakhir dan suatu sistem produksi. Analisis pemasaran dilakukan untuk melihat
pasar dan peluang pemasaran dari hasil tangkapan yang didaratkan. Analisis
pemasaran dapat dijelaskan secara deskriptif dengan mengamati dan melakukan
wawancara terhadap pelaku pasar. Untuk mencapai tujuan tersebut analisis
pemasaran difokuskan pada jalur pemasaran komoditas, margin
37

pemasaran serta perkembangan harga tenggiri. Analisis jalur


pemasaran dan harga dilakukan secara deskriptif berdasarkan hasil wawancara
dan data perkembangan harga ikan selama 1 (satu) bulan. Perhitungan margin
pemasaran diperoleh melalui persamaan berikut:

M i = H i − H i− 1

Keterangan :
Mi = Margin pada pedagang perantara ke-i ikan tenggiri (Rp per kg)
Hi = Harga penjualan pedagang perantara ke-i ikan tenggiri (Rp per kg)
Hi-1 = Harga pembelian pedagang perantara ke-i ikan tenggiri (Rp per kg)

Besar keuntungan (K) pada masing-masing lembaga pemasaran


dikalkulasi dengan menggunakan persamaan

K=M-B

Keterangan :

K = Keuntungan (Rp per kg)


M = Margin (Rp per kg)
B = Biaya (Rp per kg)
Rasio keuntungan biaya dihitung dengan menggunakan persamaan :

M− B
Rasio keuntungan − biaya =
B
Share nelayan dihiting dengan menggunakan persamaan :

Hj N
Share = x100%
Hj Ka
Keterangan :
Share = Bagian yang diperoleh nelayan (%)
Hj N = Harga jual nelayan (Rp)
Hj Ka = Harga jual pada konsumen akhir (Rp)

3.5.4 Sub sistem mutu


Aspek mutu ikan merupakan variabel penting dalam pengembangan
perikanan. Mutu ikan yang baik memiliki kemungkinan lebih besar untuk
diusahakan. Untuk maksud tersebut maka dilakukan pengkajian aspek mutu
dalam bentuk deskriptif beradasarkan uji organoleptik yaitu suatu uji untuk
melihat nilai secara organoleptik dari kesegaran fisik ikan dan uji hedonic
scale scoring merupakan suatu uji untuk melihat tingkat kesukaan konsumen
terhadap produk hasil olahan dari ikan tenggiri.
38

3.5.5 Sub sistem kelayakan usaha

3.5.5.1 Analisis usaha


Komponen yang dipakai dalam analisis usaha meliputi biaya produksi,
penerimaan usaha dan pendapatan yang diperoleh dari usaha perikanan. Dalam
analisis usaha dilakukan analisis pendapatan usaha, analisis imbangan
penerimaan dan biaya, analisis payback period serta analisis Return of
Investement (ROI) (Hernanto 1989).

1) Analisis pendapatan usaha


Umumnya digunakan untuk mengukur apakah kegiatan usaha yang
dilakukan pada saat ini berhasil atau tidak. Analisis pendapatan usaha bertujuan
untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan
usaha yang dilakukan (Djamin 1984). Penghitungan pendapatan usaha dilakukan
dengan menggunakan persamaan :

π = TR – TC

Keterangan :
π = Keuntungan
TR = Total penerimaan
TC = Total biaya

Dengan kriteria :
• Jika TR > TC, kegiatan usaha mendapatkan keuntungan
• Jika TR < TC, kegiatan usaha tidak mendapatkan keuntungan
• Jika TR=TC, kegiatan usaha berada pada titik impas atau usaha tidak
mendapatkan untung atau rugi.

2) Analisis imbangan penerimaan dan biaya (revenue-cost ratio)


Menurut Hernanto (1989) dan Sugiarto et al. (2002), analisis revenue-cost
dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh setiap nilai rupiah biaya yang
digunakan dalam kegiatan usaha dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan
sebagai manfaatnya. Kegiatan usaha yang paling menguntungkan mempunyai
R/C paling besar. Penghitungannya menggunakan persamaan berikut :

R TR
=
C TC

Dengan kriteria :
39

• Jika R/C > 1, kegiatan usaha mendapatkan keuntungan


• Jika R/C < 1, kegiatan usaha menderita kerugian
• Jika R/C = 1, kegiatan usaha tidak memperoleh keuntungan/kerugian

3) Payback Period (PP)


Menurut Umar (2003), PP adalah suatu periode yang diperlukan untuk
menutup kembali pengeluaran investasi (initial cash investment) dengan
menggunakan aliran kas. PP dapat diartikan sebagai rasio antara initial cash
investment dengan cash inflow-nya yang hasilnya dengan satuan waktu. Rumus
yan diguanakan adalah:

Nilai investasi
PP = x 1 tahun
Keuntungan

4) Return of Investment (ROI)


ROI adalah kemampuan dari modal yang diinvestasikan dalam
keseluruhan aktiva untuk menghasilkan keuntungan netto. Rumus yang
digunakan adalah :
Keuntungan
ROI = x 100%
Investasi

3.5.5.2 Analisis kriteria investasi


Analisis kelayakan investasi dalam pengembangan usaha perikanan
tenggiri menggunakan instrumen-instrumen analisis seperti Net Present
Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) dan
analisis sensitivitas. Metode NPV memiliki beberapa kelebihan, yaitu telah
memasukkan faktor nilai waktu dari uang, mempertimbangkan semua arus kas
proyek, dan mengukur besaran absolut sehingga mudah mengikuti
kontribusinya terhadap usaha meningkatkan kekayaan perusahaan
atau pemegang saham. Keputusan yang sulit dalam penggunaan NPV
adalah menentukan besarnya tingkat arus pengembalian (i) atau hurdle
rate.
Metode net B/C menghasilkan angka komparatif (relatif) dan lebih dikenal
pengunaannya untuk mengevaluasi proyek publik. Penekanan
metode pada manfaat bagi kepentingan umum, tetapi dapat juga digunakan
untuk manfaat perusahaan, swasta, yang dilihat dari pendapatan proyek
(Soeharto 2002).
40

Kegunaan evaluasi finansial dalam penelitian ini dimaksudkan untuk


melihat biaya manfaat usaha perikanan tenggiri di dalam menghasilkan
produk. Ada pun formulasi perhitungan masing-masing metode yang
digunakan dalam kelayakan investasi adalah sebagai berikut.

1) Net Present Value (NPV)


NPV menyatakan nilai bersih investasi saat ini yang diperoleh dari
selisih antara nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan kas
bersih dimasa yang akan datang, setelah memperhitungkan discount factor.
Suatu proyek dapat dinyatakan bermanfaat untuk dilaksanakan bila NPV ≥ 0.
Jika NPV = 0 berarti proyek dapat mengembalikan sebesar opportunity cost of
capital. Jika NPV < 0, maka proyek ditolak atau proyek tidak dapat
dilaksanakan, berarti ada penggunaan lain yang lebih menguntungkan untuk
sumber-sumber yang diperlukan proyek (Kadariah et al. 1999). Rumus untuk
menghitung NPV adalah
n
( Bt − C t
NPV = ∑
t= 1 (l + i ) t

Keterangan :
Bt = Benefit dari suatu proyek pada tahun ke-t
Ct = Biaya dari proyek pada tahun ke-t
n = Umur teknik proyek
i = Tingkat suku bunga yang berlaku

Keriteria kelayakannya adalah:


jika nilai NPV = 0 berarti investasi layak untuk dilaksanakan dan
jika nilai NPV < 0 maka investasi rugi atau tidak layak untuk dilaksanakan.

2) Internal Rate of Return (IRR)


IRR menunjukkan tingkat bunga pada saat jumlah penerimaan sama
dengan jumlah pengeluaran atau tingkat suku bunga yang menghasilkan
NPV = 0. Jika nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku
maka suatu proyek dapat dilaksanakan dan sebaliknya proyek tidak dapat
dilaksanakan jika nilai lRR lebih kecil dari tingkat suku bunga. IRR dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut :

− ( D f N − D f P )
 PVP 
IRR = D f P + 
 PVP − PVN 
41

Keterangan :
Df P = Discount factor yang menghasilkan present value positif.
D fN = Discount factor yang menghasilkan present
PVP = Present value positif.
PVN = Present value negatif.
Keriteria kelayakannya adalah:
jika nilai IRR > i, maka investasi layak untuk dilaksanakan dan
jika nilai IRR < i, maka investasi tidak layak untuk dilaksanakan.

3) Net Benefif Cost Ratio (Net B/C)


Net B/C merupakan perbandingan antara total present value dari
keuntungan bersih dalam tahun-tahun dengan B t -C t, positif sebagai
pembilang terhadap total present value dari biaya bersih dalam tahun-
tahun dengan B t- C t negatif sebagai penyebut. Jika nilai B/C-ratio > 1 berarti
proyek dapat dilaksanakan sebaliknya kalau nilai B/C < 1 berarti proyek tidak
dapat dilaksanakan, dan jika B/C = 1 maka keputusan proyek dilaksanakan atau
tidak bergantung pada investor (Kadariah et al. 1999). B/C dapat dihitung dengan
rumus :

n
Bt − C t
∑ [ ( Bt − Ct ) > 0]
t = 1 (1 + i )
t
Net − B / C − ratio = n
C − B
∑t = 1 (1t + i) tt [ ( Bt − Ct ) < 0]
Keriteria :
jika nilai R/C > 1, berarti investasi layak untuk dilaksanakan
jika nilai B/C < 1, maka investasi tidak layak untuk, dilaksanakan dan
jika nilai B/C = 1, maka keputusan pelaksanaan tergantung pada investor.

4) Analisis sensitivitas
Analisis sensitivitas merupakan suatu teknik untuk menunjukkan
seberapa besar perubahan kriteria investasi diakibatkan oleh perubahan
masukan dengan asumsi bahwa hal lain tidak terjadi perubahan (Sutoyo 1993).
Analisis sensitivitas biasanya didasarkan pada suatu kondisi awal, misalnya:
setiap input sesuai dengan yang diharapkan (expected value), kemudian
diikuti dengan skenario bagaimana kalau suatu variabel naik dan sebaliknya
bagaimana kalau turun. Analisis skenario dapat juga digunakan untuk
menunjukkan sensitivitas terhadap perubahan variabel kunci yang
memungkinkan. Skenario umumnya dibagi menjadi skenario normal, terbaik. dan
42

terburuk atau skenario rendah, sedang dan tinggi.


Metode yang digunakan dalam analisis sensitivitas adalah metode
switching value, yaitu dicari nilai presentase dari faktor yang dianggap penting
dalam usaha, sehingga usaha tersebut tidak layak. Komponen yang dianggap
paling peka dalam usaha perikanan tenggiri berdasarkan sistem bisnis
perikanan.

3.5.6 Sub sistem infrastruktur

Prasarana memiliki peran strategis dalam mendukung pengembangan


usaha. Ket er sediaan inf r ast r uk t ur yang m em adai m er upak an
jam inan berkembangnya usaha. Analisis pada sub sistem ini difokuskan
pada keberadaan infrastruktur pendukung dan efektivitasnya dalam mendukung
pengembangan usaha. Infrastruktur yang berhubungan dengan pengembangan
usaha perikanan tenggiri seperti dermaga bongkar, toko bahan penangkapan
ikan dan permesinan, bengkel, docking, SPBN (Suplai Pengisian Bahan
Bakar Nelayan), instalasi air bersih, instalasi listrik, pabrik es, cold storage dan
pelabuhan/bandar udara.
Par am et er yang digunak an dalam penilaian efekt iv it as
adalah kemampuan atau daya dukung dari infrastruktur yang ada. Penilaian
daya dukung dilakukan dengan membandingkan kapasitas infrastruktur
yang ada dengan kebutuhan pengguna. Indikator yang digunakan
adalah tanggapan dari pengguna terhadap keberadaan infrastruktur.
43

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN


4.1 Gambaran Umum Kabupaten Bangka

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000 tentang


Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Kabupaten Bangka menjadi
salah satu kabupaten dari 7 Kabupaten yang berada di Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung. Wilayah Kabupaten Bangka secara geografis terletak diantara
1030’-3070’ LS dan diantara 1050-1070 BT (BPS Kabupaten Bangka 2006).
Batas-batas Kabupaten Bangka adalah sebagai berikut :
- Sebelah Timur berbatasan dengan : Pangkal Pinang
- Sebelah Barat berbatasan dengan : Kabupaten Bangka Barat
- Sebelah Selatan berbatasan dengan : Selat Bangka
- Sebelah Utara berbatasan dengan : Laut Natuna
Kabupaten Bangka terdiri atas 8 kecamatan administratif, dengan Sungailiat
sebagai ibukota kabupaten (Tabel 5).

Tabel 5 Nama kecamatan, luas wilayah dan jaraknya dari ibukota kabupaten
Luas wilayah Jarak ke Sungailiat Jumlah penduduk
No. Kecamatan
(km2) (km) (jiwa)
1. Belinyu 546.5 54 37.468
2. Merawang 164.4 21 21.826
3. Mendo Barat 570.46 33 36.661
4. Puding Besar 383.29 32 14.951
5. Bakam 488.10 38 15.032
6. Riau Silip 523.68 42 19.734
7. Pemali 127.87 15 19.711
8. Sungailiat 146.38 - 64.324
Sumber: BPS Kabupaten Bangka (2006).

Penduduk Kabupaten Bangka terdiri atas berbagai etnis seperti Melayu,


Tionghoa, Bugis, Jawa, Batak, Minang dan Madura yang sejak lama hidup
berdampingan secara damai. Masyarakat Melayu merupakan jumlah terbesar
pada komposisi masyarakat Kabupaten Bangka yang mencapai 50% dari total
jumlah penduduk. Jumlah penduduk keturunan Tionghoa mencapai 40% dan
sisanya sebesar 10% terdiri atas masyarakat dari Suku Jawa, Bugis, Madura,
Batak dan Minang.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu penghasil
timah terbesar di Indonesia. Pada zaman penjajahan Belanda, mata pencaharian
utama masyarakat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah sebagai buruh di
pertambangan timah. Produksi timah yang besar dan harga jual yang tinggi
membuat timah sempat menjadi primadona ekspor serta penggerak
44

perekonomian Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Seiring dengan merosotnya


harga jual timah di pasaran dunia dan makin menipisnya cadangan timah di
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung membuat kejayaan timah mulai berkurang
pada tahun 1985.

4.2 Keadaan Umum Perikanan Laut

4.2.1 Daerah penangkapan dan musim Ikan


Pada umumnya daerah penangkapan di Kabupaten Bangka berada di
sekitar Perairan Bangka, meski pun ada beberapa jenis alat tangkap yang
daerah penangkapannya ke luar dari wilayah Bangka sampai dengan perairan
Belitung. Bagi alat tangkap seperti pancing, bagan apung, bagan tancap dan
jaring insang mempunyai daerah operasi antara 2-6 mil dari pantai. Alat tangkap
pancing dan jaring insang beroperasi di wilayah tertentu disesuaikan dengan
keadaan perairan. Biasanya alat ini beroperasi di daerah dengan kedalaman 7-
13 meter. Daerah untuk alat tangkap pancing dan jaring insang hanyut, berada di
sekitar Laut Natuna, Laut Cina Selatan dan Selat Bangka.
Nelayan di Kabupaten Bangka relatif dapat melakukan operasi
penangkapan sepanjang tahun, namun karena fenomena dan kondisi alam
tertentu, maka kelimpahan hasil tangkapan antara satu musim dengan musim
lainnya sangat berbeda. Perairan Bangka mengenal dua musim penangkapan
yaitu, musim timur dan musim Barat. Pada periode musim Timur, angin
cenderung bertiup lebih lemah dan udara yang relatif kering menyebabkan
kondisi perairan terlihat tenang dan merupakan periode musim banyak ikan,
sehingga nelayan banyak yang melakukan aktivitas penangkapan.
Pada musim barat cenderung bertiup angin kencang yang mengandung
banyak mengandung uap air, sehingga kondisi perairan mengalami gelombang
besar dan sering disertai hujan. Pada periode ini umumnya hasil tangkapan tidak
sebanyak pada musim timur dan para nelayan mengurangi aktivitas
penangkapan. Musim ini sering dikenal dengan istilah musim paceklik.
Berdasarkan wawancara terhadap pihak DKP Kabupaten Bangka dan
PPP Sungailiat hasil tangkapan di Kabupaten Bangka dapat digolongkan tiga
musim penangkapan, yaitu musim banyak ikan (Juni-September), musim sedang
(Maret-Mei dan Oktober-November), musim kurang ikan (Desember-Februari).
Pada musim ini telah terjadi perubahan pada 1 tahun terakhir ini yaitu musim
banyak ikan terjadi pada sekitar bulan Oktober-November.
45

4.2.2 Unit penangkapan ikan

Unit penangkapan ikan terdiri atas tiga unsur, yaitu alat tangkap yang
digunakan, kapal penangkapan ikan dan tenaga kerja yang mengoperasikan
komponen-komponen tesebut, yaitu nelayan.

4.2.2.1 Alat tangkap


Alat tangkap merupakan salah satu faktor pendukung dalam kegiatan
penangkapan ikan selain nelayan dan armada penangkapan ikan di laut yang
mempunyai pengaruh, tidak hanya terhadap besar kecilnya hasil tangkapan ikan
tetapi juga kepada macam spesies ikan yang dapat ditangkap. Beberapa macam
alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Perairan Kabupaten Bangka
meliputi jaring insang (gillnet), jaring udang (trammel net), pancing ulur (hand
line), payang/pukat kantong (surrounding net), pukat pantai (beach seine), bagan
apung (boat lift net), bagan tetap dan sero (Tabel 6).

Tabel 6 Perkembangan alat tangkap di perairan Kabupaten Bangka tahun 2001-


2005
Alat tangkap (unit)
Bagan Jumlah
Tahun Jaring Jaring Pukat Bagan
Payang Pancing tancap sero (unit)
insang udang pantai apung
2001 132 2.141 1.546 366 2.166 79 715 70 7.084
2002 133 1.454 3.576 250 2.368 70 288 187 8.326
2003 135 1.476 3.629 254 2.402 72 293 189 8.450
2004 141 1.483 3.641 262 2.413 73 295 191 8.499
2005 147 1.492 3.667 289 2.425 78 311 198 8.607
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka (2006).

Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Perairan Kabupaten Bangka


dari yang paling banyak dipakai sampai yang paling sedikit digunakan berturut-
tururt adalah : jaring udang, pancing, jaring insang, bagan tancap, pukat pantai,
payang, sero dan bagan apung. Faktor teknik dan ekonomi lah yang menentukan
dalam pemilihan alat tangkap mana yang akan digunakan atau dioperasikan oleh
nelayan setempat.
Pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2005, penggunaan alat tangkap
oleh nelayan Bangka mengalami peningkatan sebesar 8.607 pada tahun 2005.
Alat tangkap jaring insang, jaring udang dan pancing merupakan alat tangkap
yang dominan dioperasikan oleh nelayan, sehingga dengan adanya peningkatan
penggunaan alat tangkap berpengaruh terhadap pada produksi perikanan di
Kabupaten Bangka.
46

4.2.2.2 Kapal
Kapal penangkap ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama
dalam melakukan penangkapan ikan di laut. Kapal yang digunakan dalam dalam
usaha penangkapan ikan di Kabupaten Bangka terdiri atas kapal motor, motor
tempel dan perahu tanpa motor. Kapal penangkapan ikan di Kabupaten Bangka
masih didominasi kapal berukuran kecil, yaitu berukuran kurang dari 5 GT
dengan teknologi penangkapan tradisional, sehingga kemampuan untuk
menjangkau daerah penangkapan terbatas pada perairan pantai (Tabel 7).

Tabel 7 Perkembangan jumlah kapal penangkapan ikan di Kabupaten Bangka


tahun 2001-2005
Ukuran kapal (GT) Jumlah
No. Tahun
< 5 (unit) 5-10 (unit) 10-20 (unit) 20-30 (unit) (unit)
1. 2001 387 94 17 4 501
2. 2002 391 108 18 4 521
3. 2003 369 65 1 8 443
4. 2004 1.442 125 2 1 1.570
5. 2005 1.615 121 2 1 1.739
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka (2006).

Tabel 7 menunjukkan bahwa armada penangkapan ikan pada tahun 2003


mengalami penurunan, yaitu sebesar 443 unit. Hal ini disebabkan oleh adanya
modifikasi dan perubahan fungsi kapal yang semula untuk kegiatan
penangkapan ikan menjadi kapal penambang inkonvensional (TI) timah yaitu 423
unit. Perkembangan armada penangkapan ikan pada tahun 2004 mengalami
peningkatan, yaitu sebesar 1.570 unit. Peningkatan armada penangkapan ikan
antara lain disebabkan penggunaan kapal yang ukurannnya < 5 GT. Hal ini
dibuktikan dengan meningkatnya frekuensi kunjungan kapal yang berukuran < 5
GT. Dengan semakin berkembangnya jumlah armada penangkapan diharapkan
dapat memanfaatkan potensi perikanan laut lebih optimal dan meningkatkan
produksi perikanan.

4.2.2.3 Nelayan
Masyarakat nelayan di Kabupaten Bangka merupakan masyarakat pesisir
yang menggantungkan hidupnya pada usaha penangkapan ikan, pengolahan
dan pemasaran ikan. Perkembangan jumlah nelayan yang ada di Kabupaten
Bangka dapat dilihat pada Tabel 8.
47

Tabel 8 Perkembangan nelayan di Kabupaten Bangka tahun 2001-2005


Tangkap Budidaya Pengumpul Pengolahan Jumlah (orang)
No. Tahun
(orang) (orang) (orang) (orang)
1 2001 1.106 68 60 64 1.298
2 2002 1 .110 22 68 68 1.268
3 2003 1.158 163 101 81 1.503
4 2004 1.823 256 68 68 2.215
5 2005 3.154 227 68 69 3.518
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka (2006).

Selama kurun waktu lima tahun, yaitu sejak tahun 2001 sampai dengan
tahun 2005 jumlah nelayan di Kabupaten Bangka mengalami peningkatan jumlah
nelayan mencapai 3.518 orang. Peningkatan jumlah nelayan dari tahun 2001-
2005 disebabkan oleh tiga hal. Pertama, disebabkan nelayan berpindah profesi
yang semula profesinya sebagai penambang TI timah menjadi nelayan. Kedua,
jumlah nelayan dipengaruhi oleh nelayan pendatang yang melakukan kegiatan
penangkapan di wilayah Bangka. Nelayan pendatang banyak berasal dari daerah
luar Pulau Bangka yaitu Bugis, Jambi, Palembang dan sekarang banyak
menetap di PPP Sungailiat. Nelayan yang berasal dari penduduk setempat pada
umumnya berasal dari daerah Sungailiat. Ketiga, minat masyarakat untuk
melakukan kegiatan usaha penangkapan ikan di laut dengan memanfaatkan
potensi perikanan laut di Pulau Bangka semakin meningkat.

4.2.3 Produksi hasil perikanan dan perkembangannya


Kabupaten Bangka merupakan salah satu sentra produksi perikanan laut
di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Produksi perikanan laut Kabupaten
Bangka pada tahun 2005 tercatat sebanyak 19.661,25 ton. Produksi hasil
perikanan di Kabupaten Bangka dan perkembangannya bisa dilihat dari data
volume produksi dan nilai produksi dari tahun 2001-2005 (Tabel 9).

Tabel 9 Produksi dan nilai produksi ikan di Kabupaten Bangka tahun 2001-2005
Nilai produksi
Produksi
No. Tahun (Rp.000)
(ton)
1 2001 9.263,52 53.074.931
2 2002 8.794,22 52.756.313
3 2003 9.298,10 55.788.600
4 2004 9.801,59 69.065.204
5 2005
Rata-rata 11.363.732 69.893.738
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka (2006).

Tabel 9 menunjukkan bahwa produksi ikan yang dihasilkan di Kabupaten


Bangka mengalami peningkatan dari tahun 2001-2005 dengan rata-rata produksi
48

sebesar 11.363.732 ton dan nilai produksi sebesar Rp 69.893.738.000. Hal ini
menunjukkan adanya pertumbuhan positif dan memberikan kontribusi yang lebih
baik bagi kegiatan perikanan di Kabupaten Bangka.
Kontribusi yang baik dalam kualitas pemasaran di Kabupaten Bangka
tercermin dari nilai jual komoditas perikanan yang berlangsung di Kabupaten
Bangka. Produksi pada tahun 2005 mengalami peningkatan mencapai 19.661,25
ton dengan nilai produksi ikan mencapai Rp 174.014.356.000,00. Hal ini terjadi
karena tingginya daya konsumtif dari masyarakat terhadap ikan laut, walau pun
rata-rata harga ikan pada saat itu tinggi. Selain itu juga, akibat dengan adanya
peningkatan penambangan oleh TI menyebabkan meningkatnya nilai/harga
kebutuhan pokok diantaranya, yaitu bahan bakar minyak (BBM) dan bahan
makanan. Kenaikan harga kebutuhan mengakibatkan kenaikan pada biaya
produksi ikan di Kabupaten Bangka dan akhirnya menaikkan harga dasar ikan di
Kabupaten Bangka.
Pemanfaatan produksi perikanan pada tahun 2005 yang ditujukan untuk
memenuhi pasar meliputi untuk konsumsi lokal dalam bentuk segar maupun
diolah, perdagangan antar pulau meliputi Belitung, Jakarta dan Palembang serta
ekspor ke negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura (Tabel 10).

Tabel 10 Jumlah pemanfaatan produksi perikanan tahun 2005


Volume Nilai Produksi
No. Kegiatan
(ton) (Rp. 000)
1. Konsumsi lokal 11.043,66 97.633.574
2. Diolah 3.970,58 35.479.830
3. Perdagangan antar pulau/ ekspor 4.647,03 41.082.951
Jumlah
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka (2006).

Pemanfaatan konsusmsi ikan di Bangka sangat tinggi dibandingkan


dengan standar konsumsi ikan secara nasional. Konsumsi ikan di Kabupaten
Bangka sebesar 62 kg per kapita per tahun jauh di atas standar konsumsi ikan
nasional yaitu 19 kg per kapita per tahun.
Produksi perikananan di Kabupaten Bangka selama 5 tahun berdasarkan
jenis alat tangkap dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu jaring insang, jaring
udang, payang, pancing, pukat pantai, bagan apung, bagan tetap dan sero
(Tabel 11).
49

Tabel 11 Produksi perikanan di Kabupaten Bangka berdasarkan jenis alat


tangkap tahun 2001 - 2005
Produksi (ton)
No Jenis alat tangkap
2001 2002 2003 2004 2005
1. Jaring insang 3.102 3.084 3.312 3.567 5.455
2. Jaring udang 2.838 2.284 2.692 2.773 2.821
3. Payang 354 360 361 373 369
4. Pancing 763 854 763 804 929
5. Pukat pantai 47 49 50 50 63
6. Bagan apung 930 949 930 980 987
7. Bagan tetap 875 854 837 882 890
8. Sero 354 360 353 372 376
Jumlah 8.794 9.298 9.801 9.801 11.890
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka (2006).

Berdasarkan Tabel 11, produksi perikanan laut di Kabupaten Bangka


didominasi oleh jenis alat tangkap jaring yaitu gill net (jaring insang) dan
selanjutnya alat tangkap jaring udang (trammel net). Hal ini sesuai dengan
karakteristik jenis ikan yang diperoleh dari hasil tangkapan di daerah fishing
ground kawasan perairan Bangka (Laut Natuna dan Selat Bangka). Jenis-jenis
ikan di kawasan perairan Bangka merupakan jenis ikan yang berada di
permukaan (pelagic) dan perairan dasar (demersal). Oleh karena jumlah
produksi penangkapan dengan menggunakan gillnet relatif besar dibanding
dengan alat tangkap lainnya.

4. 3 Keadaan Umum PPP Sungailiat

Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sungailiat merupakan salah satu dari


delapan 8 pelabuhan perikanan generasi pertama yang dibangun oleh Direktorat
Jenderal Perikanan pada tahun anggaran 1975/1976. Setelah pembangunan fisik
terselesaikan, maka pada tanggal 21 Juni 1976 pelabuhan perikanan mulai
dioperasikan.
PPP Sungailiat pada tahun 1978/1979 ditunjuk oleh FAO-UNDP sebagai
lokasi workshop pemakaian trays container dari fiberglass untuk penanganan
ikan pasca tangkap baik selama masih di laut maupun setelah tiba di darat.
Salah satu misi ini adalah agar Pulau Bangka dapat menjadi basis penyedia ikan
segar bagi wilayah barat dalam kaitannya dengan program cold chain system
Direktorat Jenderal Perikanan.
Landasan hukum pengelolaan PPP Sungailiat adalah sebagai berikut :
1) Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1983 tentang Pembinaan Kepelabuhan
2) Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan
50

3) Surat keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.


23/MEN/SJ/2002 tanggal 18 November 2002 tentang Organisasi dan Tata
Kerja PPP.
PPP Sungailiat dalam perkembangannya berusaha melaksanakan
fasilitas produksi dan pemasaran hasil perikanan tangkap di wilayahnya dan
pengawasan pemanfaatan sumberdaya penangkapan untuk pelestariannya.
51

5 HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1 Hasil

Proses di dalam sistem usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka


tidak terlepas dari pengaruh faktor ekstenal di luar sistem tersebut yang dikenal
dengan faktor lingkungan. Faktor tersebut meliputi kebijakan pemerintah baik
yang secara langsung dan tidak langsung yang berhubungan dengan usaha
perikanan tenggiri yang ada. Faktor tersebut dimasukan dalam suatu input
terkontrol dan tidak terkontrol dan akan mengeluarkan output yang dikehendaki
maupun tidak dikehendaki yang mana hasil output dari sistem tersebut akan
dikendalikan oleh suatu manejemen pengendalian yang akan mengontrol usaha
perikanan tenggiri tersebut dalam bentuk diagram input-output.

INPUT LINGKUNGAN

- UU Perikanan
- Isu global
- UU otonomi daerah
- Kondisi sosial dan budaya

OUTPUT DIKEHENDAKI

INPUT TAK TERKONTROL - Peningkatan produksi


- Keuntungan usaha
- Perubahan stok sumberdaya ikan - Kelayakan usaha perikanan tenggiri
(ton/tahun - Perluasan lapangan kerja
- Penaganan hasil perikanan - Harga baik
- Pasar - Biaya operasional terjangkau
- Harga ikan - Peningkatan pendapatan dan
- musim ikan kesejahteraan
- Kondisi oseanografi - Peningkatan PAD
- Usaha penangkapan berkelanjutan
- Kelestarian sumberdaya ikan terjamin
dan berkelanjutan

SISTEM USAHA PERIKANAN TENGGIRI DI


KABUPATEN BANGKA BESERTA
ALTERNATIF PENGEMBANGANNYA

INPUT TERKONTROL OUTPUT TIDAK DIKEHENDAKI

- Unit dan teknologi penangkapan - Usaha perikanan tenggiri tidak


- Demografi berkembang
- Usaha dan investasi - Harga dan mutu rendah
- skill dan tenaga kerja - Kelestarian sumberdaya ikan
- Perbekalan terganggu

MANAJEMEN USAHA PERIKANAN

- Peningkatan kualitas SDM Kelautan dan Perikanan


- Penyediaan bahan pangan asal tenggiri dan bahan
baku industri
- Peningkatan pembangunan sarana/prasarana
- Menciptakan iklim usaha yang kondusif
- Pengendalian, pengawasan, rehabilitasi dan
perlindungan sumberdaya perikanan
- Pengelolaan perikanan secara optimal dan lestari
- Pengembanagan kelembagaan usaha
- Peningkatan pembangunan infrastruktur

Gambar 9 Diagram input-output sistem usaha perikanan tenggiri di Kabupaten


Bangka

Permasalahan sistem usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka


beserta upaya pemecahan masalahnya dilakukan dengan mengkaji setiap sub-
sub sistem dalam sistem bisnis perikanan tenggiri. Kondisi usaha perikanan
52

tenggiri di Kabupaten Bangka dibagi atas 6 (enam) sub sistem yaitu potensi
sumberdaya ikan, infrastruktur, teknologi penangkapan dan pemasaran (pasca
produksi), mutu dan kelayakan usaha (Gambar 10).

Mulai

Sumberdaya tenggiri
- potensi
- musim
- daerah penangkapan

Layak
Tidak
Ya

Analisis Analisis
Analisis Analisis
teknologi Analisis mutu kelayakan
infrastruktur pemasaran
penangkapan usaha

Kondisi pasar Biaya, investasi


Ketersediaan Aspek teknis Faktor teknis
dan peluang dan
infrastruktur penangkapan mutu
pemasaran penerimaan

Tingkat
Kondisi Efisiensi dan
Harga komoditi Standar mutu kelayakan
infrastruktur efektifitas
usaha

Layak Layak Layak Layak Layak


Tidak Tidak Tidak Tidak

Ya Ya Ya Ya Ya

Pengembangan
usaha perikanan
tenggiri

Selesai

Gambar 10 Diagram alir sub-sub sistem usaha perikanan tenggiri di Kabupaten


Bangka

5.1.1 Sub sistem potensi sumberdaya ikan tenggiri


Di perairan Kabupaten Bangka ikan tenggiri ditangkap dengan
menggunakan alat tangkap, seperti gillnet dan pancing ulur. Produksi rata-rata
bulanan terbanyak, dihasilkan oleh alat tangkap gillnet, yaitu mencapai 10,54 ton
per bulan, kemudian diikuti oleh pancing ulur yang mencapai 6,86 ton per bulan.
Berdasarkan data bulanan periode 2001-2005, rata-rata produksi aktual
sebesar 16,750 ton per bulan. Rata-rata total produksi aktual tertinggi terjadi
pada bulan Mei 2004 yaitu sebesar 35,56 sedangkan total produksi aktual
terendah terjadi pada bulan Januari dan September 2001 yaitu sebesar 8,87 ton
53

(Lampiran 1). Perkembangan produksi aktual ikan tenggiri per bulan selama
tahun 2001-2005 digambarkan pada Gambar 11.

40.000

35.000

30.000
Produksi (ton)

25.000

20.000

15.000

10.000

5.000

0.000
0 10 20 30 40 50 60
Total produks i aktual
Bulan
Produks i gill net
Produks i pancing

Gambar 11 Perkembangan produksi aktual ikan tenggiri bulanan (2001-2005)

Total effort dari masing-masing alat tangkap untuk penangkapan ikan


tenggiri pada perairan Kabupaten Bangka bulanan pada tahun 2001-2005
cenderung berfluktuatif dengan effort rata-rata sebanyak 798 trip per bulan.
Effort tertinggi dicapai pada bulan Desember 2001 yaitu sebanyak 2.586
trip dan terendah terjadi pada Juli 2001 sebanyak 114 trip. Berdasarkan alat
tangkap yang dominan, rata-rata effort dari alat tangkap gillnet lebih besar, yaitu
636 trip per bulan dibandingkan dengan rata-rata effort dari alat tangkap pancing
sebesar 301 trip per bulan (Gambar 12 dan Lampiran 1).

3000

2500

2000
Effort (trip)

1500

1000

500

0
0 10 20 30 40 50 60
Total effort
Bulan
Effort gill net
Effort pancing

Gambar 12 Perkembangan effort ikan tenggiri bulanan (2001-2005)


5.1.1.1 Standarisasi effort
54

Standarisasi upaya yang dilakukan pada penangkapan target species


dengan alat tangkap dominan dilakukan dalam rangka estimasi parameter biologi
dalam perikanan yang multi species dan multi gear untuk menghindari variasi
species (ikan yang tertangkap dalam upaya yang dilakukan selain target
species) dan variasi gear (alat tangkap yang ada dari alat tangkap sejenis yang
tidak beroperasi). Standarisasi effort ikan tenggiri dengan menggunakan alat
tangkap jaring insang dan pancing di Kabupaten Bangka dapat dilihat pada Tabel
12.

Tabel 12 Standaridsai effort ikan tenggiri di Kabupaten Bangka tahun 2001-2005


Effort CPUE
FPI Standard Total
Tahun Jaring
gillnet Pancing Pancing pancing effort effort
insang
2001 7209 3069 0,02 0,04 1,07 418 674
2002 7173 4223 0,02 0,02 0,90 526 802
2003 8138 3186 0,01 0,03 0,58 371 602
2004 7720 4574 0,02 0,02 1,01 647 1045
2005 7927 2995 0,02 0,04 0,88 522 772
Rata-rata 7633 3609 0,02 0,03 0,89 497 779
Sumber : Data diolah dari Lampiran 1.

Standarisasi effort dilakukan dengan menggunakan unit jumlah trip per


bulan selama tahun 2001-2005 dari dua alat tangkap yaitu pancing dan gillnet
yang distandarisasikan ke alat tangkap pancing dengan standar effort rata-rata
sebesar 497 trip artinya jumlah effort standar yang dilakukan selama per bulan
dalam usaha penangkapan ikan tenggiri oleh nelayan yaitu sebesar 497 trip
(Lampiran 1).
Penentuan kedua alat tangkap gillnet dan pancing didasarkan pada
kondisi bahwa kedua alat tangkap ini merupakan alat tangkap yang dominan
digunakan untuk menangkap ikan tenggiri di lokasi penelitian. Kedua alat
tangkap tersebut memiliki kemampuan tangkap yang berbeda dalam menangkap
ikan tenggiri, maka diperlukan standarisasi unit fishing effort. Pancing dijadikan
alat tangkap standard, mengingat rasio rata CPUE dari alat tangkap pancing
sebesar 0,03 lebih besar dibandingkan alat tangkap gillnet yaitu sebesar 0,02
(Lampiran 1).

5.1.1.2 Standarisasi biaya


Faktor penting yang harus diperhatikan dalam usaha perikanan tangkap
adalah faktor biaya. Hal ini dikarenakan biaya merupakan indikator penting bagi
55

kapal atau perahu dalam menentukan lokasi penangkapan ikan dan dapat
mempengaruhi efisiensi dari usaha perikanan tangkap.
Biaya per trip per effort ditentukan melalui data primer dan data sekunder
yang diperoleh, yaitu biaya operasional penangkapan diantaranya biaya ransum
di kapal selama melaut, biaya BBM dan oli mesin serta biaya es. Rata-rata biaya
nominal yang dikeluarkan untuk kapal penangkap ikan dengan alat tangkap
pancing per trip per effort sebesar Rp 2.285.900.320,47 (Tabel 13).

Tabel 13 Biaya nominal penangkapan ikan rata-rata per trip per unit berdasarkan
alat tangkap di lokasi penelitian
Jumlah Biaya nominal Biaya nominal
Alat tangkap
trip/tahun /trip/ unit (Rp) /alat/tahun (Rp)
Pancing 2.995 763.221,00 2.285.900.320,47
Gillnet 7.927 773.827,60 6.134.077.211,27
Rata-rata 5.461 768.524,30 4.209.988.765,87
Sumber : Hasil penelitian 2007.

Pada Tabel 13, biaya per alat tangkap per tahun yang paling tinggi adalah
biaya pada pengoperasian alat tangkap gillnet. Hal ini dikarenakan tingginya
jumlah trip penangkapan ikan. Biaya nominal pengoperasian alat tangkap
pancing per trip per unit penangkapan memilki nilai yaitu sebesar Rp 763.221,93
sedangkan gillnet yaitu sebesar Rp 773.827,60 (Lampiran 4). Menurut hasil
wawancara dan pengamatan di lapangan, jauhnya fishing ground yang ditempuh
masih berada di sekitar Perairan Kabupaten Bangka, sehingga pengeluaran
biaya operasional per effort (trip) tidak berbeda nyata.
Alasan para nelayan melakukan pengoperasian alat tangkap tersebut
masih di sekitar Perairan Kabupaten Bangka, karena dianggap masih mudah
untuk dicapai selain itu juga biaya operasional tidak terlalu besar dan masih
terjangkau oleh akses pemasaran. Biaya operasional yang dikeluarkan tersebut
tidak digunakan untuk menangkap ikan tenggiri saja, tetapi ikan lainnya dan alat
tangkap yang digunakan adalah gillnet dan pancing, maka dilakukan standarisasi
biaya ke alat tangkap pancing. Hasil perhitungan terhadap standarisasi biaya
operasional penangkapan dapat dilihat pada Tabel 14 dan Lampiran 4.
56

Tabel 14 Hasil perhitungan standarisasi biaya operasional penangkapan


Biaya riil/trip
Biaya nominal/trip Biaya nominal/trip
Tahun IHK standarisasi
pancing (Rp) gillnet (Rp)
pancing (Rp)
2001 113,39 586.107,47 586.107,47 262.790,19
2002 120,92 625.037,12 625.037,12 280.244,89
2003 123,43 638.013,67 638.013,67 286.063,12
2004 130,13 672.617,80 672.617,80 301.578,41
2005 136,82 707.221,93 705.940,84 317.093,70
Sumber : Hasil analisis 2007.

5.1.1.3 Bio-teknik
Produksi bulanan sumberdaya ikan tenggiri dengan alat tangkap gillnet
dan pancing di Kabupaten Bangka khususnya yang didaratkan di PPP Sungailiat
tahun 2001-2005 mengalami fluktuasi. Fluktuasi yang terjadi disebabkan karena
musim penangkapan yang bervariasi. Nilai CPUE pada alat tangkap gillnet dan
pancing juga mengalami fluktuasi dari tahun 2001-2005 dengan rata-rata sebesar
0,017 dan 0,031 ton per bulan. Nilai tertinggi untuk gillnet pada Juni 2004
sebesar 0,03472840 ton per hari dan untuk pancing pada Mei 2005 terendah
CPUE gillnet dan pancing pada Januari 2003 sebesar 0,00996549 dan
0,00925207 ton per bulan (Lampiran 2). Pendekatan analisis tersebut dengan
bulanan dikarenakan hasil tahunan tidak memberikan hasil yang terbaik,
disamping itu melalui konsultasi pribadi dengan sobari dan Fauzi (2008), maka
dianjurkan dengan data bulanan.
Hubungan antara upaya penangkapan (effort) dengan CPUE
menunjukkan bahwa peningkatan upaya tangkap akan menyebabkan kenaikan
nilai CPUE dengan persamaan regresi Y= -0,00003x+0,0554 yang menunjukkan
bahwa jika dilakukan peningkatan upaya penangkapan sebesar satu trip, maka
akan mengurangi CPUE sebesar 0,00003 ton per trip (Gambar 13). Penurunan
CPUE dalam kurun waktu bulanan pada tahun 2001-2005 karena terjadinya
peningkatan jumlah unit penangkapan ikan tenggiri, tidak diikuti dengan
peningkatan produksi. Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh nilai a =
0,0554 dan b = -0,00003. Berdasarkan nilai parameter a dan b, maka kondisi ini
menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan tenggiri di Perairan
Kabupaten Bangka mengindikasikan telah terjadi overfishing secara biologi
(biological overfishing).
57

0.14

0.12

0.1

0.08
CPUE
0.06

0.04
y = -3E-05x + 0.0554
0.02 R2 = 0.3555

0
0 500 1000 1500 2000 2500 3000
Effort (trip)

Gambar 13 Hubungan antara CPUE dengan effort bulanan (2001-2005)

Menurut Fauzi (2006), solusi dengan model Schaefer mempunyai


kelemahan yaitu parameter biologi (r,q dan k) pada pendekatan CPUE tidak
diketahui atau tersembunyi pada parameter regresi a dan b dimana Clark,
Yoshimoto dan Pooley mengembangkan model estimator CYP pada tahun 1992
untuk mengetahui parameter biologi. Perhitungan estmasi CYP dapat dilihat
pada Lampiran 2. Parameter yang diestimasi dalam hal ini meliputi tingkat
pertumbuhan intrinsik (r), koefisien daya tangkap (q) dan daya dukung
lingkungan (k) (Tabel 15).

Tabel 15 Hasil estimasi parameter biologi dengan model CYP


Parameter Nilai
r (ton per bulan) 2,332
q (ton per trip) 0,002
k (ton per bulan) 22,931
Sumber : Hasil analisis 2007
Hasil ketiga parameter biologi tersebut sangat berguna dalam
menentukan tingkat produksi lestari, seperti MSY, MEY dan open access.
Berdasarkan nilai parameter biologi yang diperoleh dari model CYP (Tabel 15),
maka dapat dihitung nilai produksi lestari. Produksi lestari merupakan hubungan
antara hasil tangkapan dengan effort dalam bentuk kuadratik, dimana tingkat
effort maupun hasil tangkapan yang diperoleh tidak akan mengancam kelestarian
sumberdaya perikanan. Produksi aktual merupakan hasil tangkapan nelayan
yang dicatat secara resmi oleh statistik perikanan.
Apabila eksploitasi dilakukan terus menerus tanpa memikirkan apek
kelestarian stok sumberdaya beserta lingkungan perairannya berakibat semakin
58

sedikitnya sumberdaya tersebut. Jika dengan memberi kesempatan setiap ikan


tenggiri melakukan tingkah laku reproduksi minimal satu kali, maka jumlah
populasi akan dapat dipertahankan. Hubungan antara produksi aktual dan
produksi lestari dengan upaya pemanfaatan ikan tenggiri di Kabupaten Bangka
dapat dilihat pada Gambar 15.

16.000 40

14.000 35
Produksi lestari (ton)

Produksi aktual (ton)


12.000 30

10.000 25

8.000 20

6.000 15

4.000 10

2.000 5
y = -6E-05x2 + 0.0544x + 3E-13
0.000 0
0 500 1000 1500 2000 2500 3000
Effort (trip)
Produksi aktual Poly. (Produksi lestari)

Gambar 15 Hubungan antara produksi aktual dan produksi lestari pada upaya
pemanfaatan ikan tenggiri di PPP Sungailiat.

Gambar 15 menunjukkan semakin tinggi effort justru menyebabkan


sebagian besar produksi aktual berada di atas produksi lestari, selama bulanan
pada tahun 2001-2005, hal ini menunjukkan bahwa penangkapan ikan di
Perairan Kabupaten Bangka telah terjadi biological overfishing. Rata-rata effort
yang digunakan selama 5 (lima) tahun sebesar 798 trip per bulan. Meningkatnya
effort menyebabkan produksi aktual sebagian besar berada di atas produksi
lestari.

5.1.1.4 Bio-ekonomi
Analisis bio-ekonomi ditujukan untuk menentukan tingkat pengusahaan
maksimum bagi pelaku perikanan. Perkembangan usaha perikanan tenggiri tidak
dapat lepas dari faktor ekonomi yang mempengaruhinya antara lain biaya
penangkapan, harga ikan dan discount rate. Model bio-ekonomi merupakan
salah satu alternatif pengelolaan yang dapat diterapkan demi upaya optimalisasi
pengusahaan sumberdaya perikanan tenggiri yang berkelanjutan. Hasil estimasi
parameter ekonomi dapat ditunjukkan pada Tabel 16.
59

Tabel 16 Hasil estimasi parameter ekonomi


Parameter Nilai
Price (juta Rp per ton) 23,635
Cost (juta Rp per ton) 0,288
Δ1 0,008
Δ2 0,009
Δ3 0,012
Δ4 0,015
Δ5 0,017
Sumber : Hasil Analisis 2007.

Analisis biekonomi statik pada rejim pengelolaan sumberdaya ikan


tenggiri pada kondisi sole owner (MEY), open access (OA) dan maximum
sustainable yield (MEY) bulanan pada tahun 2001-2005 menunjukkan kondisi
biomassa sumberdaya ikan tenggiri pada kondisi MSY sebesar 11,47 ton per
bulan. Kondisi biomassa sumberdaya ikan tenggiri tersebut lebih besar jika
dibandingkan dengan kondisi OA sebesar 5,16 per bulan dan MEY sebesar
14,05 per bulan (Tabel 17).

Tabel 17 Analisis bio-ekonomi model statik pada rejim pengelolaan sumberdaya


ikan tenggiri
No. Parameter MEY MSY OA Aktual
1. x (ton) 14,05 11,47 5,16
2. h (ton) 12,69 13,37 9,33 17,41
3. E (trip) 381 491 761 798
4. Π (juta) 189,79 173,79 - 180,47
Sumber : Hasil analisis 2007.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pengusahaan sumberdaya yang


dibatasi pada kondisi MEY akan memberikan keuntungan yang maksimum.
Besarnya upaya pemanfaatan maksimum lestari secara ekonomi (EMEY) sebesar
381 trip dengan rente ekonomi yang diperoleh sebesar Rp 189.790.000.
Produksi (h) yang didapat pada kondisi MSY sebesar 13,37 ton. Hasil
tangkapan lebih besar jika dibandingkan dengan hasil tangkapan yang didapat
pada kondisi pengelolaan OA sebesar 9,33 ton dan kondisi pengelolaan MEY
sebesar 12,69 ton.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kondisi sumberdaya ikan
tenggiri masih lestari. Hal ini dikarenakan hasil tangkapan ikan tenggiri pada
kondisi MSY adalah kondisi hasil tangkapan yang maksimum lestari (Gambar
16).
60

TC’

MC=MR

TC

Пmaks

TR
EMEY =381 trip EMSY = 491 trip EOA = 761 trip

Gambar 16 Hubungan antara hasil lestari ikan tenggiri dengan upaya


penangkapan di PPP Sungaliat.

Gambar 16 menunjukkan hubungan total penerimaan (TR) dan biaya


penangkapan (TC) kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tenggiri di PPP
Sungailiat. Dengan adanya keuntungan dalam pengelolaan sumberdaya menjadi
pendorong bagi nelayan untuk mengembangkan usaha perikanan tenggiri
dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya.
Pemanfaatan sumberdaya ikan tenggiri di Kabupaten Bangka diduga telah terjadi
economic overfishing, karena pada kondisi aktual effort yang diupayakan
sebanyak 798 trip per bulan lebih besar dibandingkan dengan effort pada kondisi
MSY (491 trip), MEY (381 trip) dan OA (761 trip) (Gambar 16 dan 17).

800.000 200.000

700.000
Rente ekonomi (juta Rp)

150.000
Catch/effort (ton/trip)

600.000

500.000 100.000 h*
400.000 E*
300.000 50.000 π (juta)

200.000
-
100.000

- (50.000)
MEY MSY Open Access

Rejim pengelolaan

Gambar 17 Perbandingan rejim pengelolaan sumberdaya ikan tenggiri


61

1) Kondisi MSY
Kondisi MSY merupakan batas dari pemanfaatan sumberdaya ikan
tenggiri yang dapat dilakukan tanpa mengganggu kelestariannya untuk tumbuh
kembali. Pada kondisi ini merupakan kondisi maksimum lestari, yang apabila
hasil tangkapan aktual lebih besar dari pada kondisi ini akan menyebabkan hasil
tangkapan ikan tenggiri menjadi tidak sustainable.
Besarnya nilai potensi lestari ikan tenggiri di di Kabupaten Bangka adalah
13,37 ton per bulan, yang dapat ditangkap dengan upaya sebesar 491 trip per
bulan. Nilai rente ekonomi yang diperoleh pada pengusahaan kondisi MSY
adalah sebesar Rp 173.787.000.000,00 per bulan.
Hasil tangkapan ikan tenggiri pada kondisi MSY lebih kecil dibandingkan
dengan hasil tangkapan pada kondisi aktual. Pada kondisi aktual hasil tangkapan
ikan tenggiri yang diperoleh yaitu sebesar 17,41 ton per bulan. Jika dilihat dari
besarnya tingkat upaya yang dilakukan, dapat terlihat bahwa pada kondisi MSY
upaya yang dilakukan lebih kecil dibandingkan pada kondisi aktual yaitu sebesar
798 trip per bulan. Hal tersebut menyebabkan keuntungan yang diperoleh pada
kondisi aktual hanya mencapai Rp 180.470.000.000,00 per bulan. Hal tersebut
diakibatkan adanya peningkatan effort yang tidak seimbang dengan hasil
tangkapan yang diperoleh.

2) Kondisi MEY
Kondisi MEY atau kondisi optimal secara statik merupakan konndisi ideal
untuk pemanfaatan sumberdaya ikan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Martasuganda et al. (2002), bahwa kondisi EMEY merupakan kondisi yang ideal
untuk pemanfaatan sumberdaya ikan, karena terjaminnya kelestarian
sumberdaya ikan dan nelayan juga akan memperoleh keuntungan optimum.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa effort pada rejim pengelolaan MEY lebih
rendah dibandingkan dengan rejim pengelolaan OA dan MEY, yaitu 381 trip per
bulan. Jika dilihat dari tingkat rente ekonomi, nilai MEY merupakan yang tertinggi
dibandingkan dengan rejim pengelolaan OA dan MEY, yaitu sebesar Rp
18.792.000.000,00 atau nilai rente ekonomi MEY berada pada kondisi
maksimum. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat produksi ini tingkat
upaya penangkapan sudah dilakukan dengan efisien, sehingga diperoleh hasil
tangkapan yang lebih baik dan kemudian diikuti oleh pencapaian rente ekonomi
maksimum.
62

Pemanfaatan sumberdaya yang dibatasi oleh kondisi MEY (terkendali)


akan memberikan rente ekonomi yang maksimum, karena upaya penangkapan
yang terkendali, sehingga total penerimaan yang diperoleh lebih besar daripada
total pengeluaran. Implikasi pemanfaatan sumberdaya yang terkendali dapat
dilihat dari penggunaan effort yang dibutuhkan (EMEY) dalam penangkapan jauh
lebih kecil dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk mencapai titik MEY
maupun kondisi OA. Lebih jelasnya dikatakan bahwa rejim pengelolaan MEY
terlihat lebih bersahabat dengan lingkungan (conservative munded) dibandingkan
dengan kondisi EMEY.

3) Kondisi OA
Effort pada rejim pengelolaan OA di Perairan Kabupaten Bangka
sebanyak 761 trip per bulan. Effort tersebut lebih besar dibandingkan dengan
effort pada kondisi pengelolaan MSY dan MEY. Besarnya effort pada rejim
pengelolaan OA disebabkan oleh sifat dari rejim OA dimana setiap orang boleh
melakukan kegiatan penangkapan di Indonesia termasuk di Perairan Kabupaten
Bangka.
Produksi yang diperoleh didapat pada rejim pengelolaan OA di Perairan
Kabupaten Bangka sebesar 5,16 ton per bulan dimana yang diperoleh sama
dengan nol (TR=TC). Artinya jika sumberdaya ikan tenggiri dibiarkan ditangkap
oleh nelayan, maka persaingan usaha pada kondisi ini menjadi tidak terbatas dan
dampaknya tingkat resiko yang harus ditanggung nelayan menjadi lebih besar
karena persaingan untuk mendapatkan produksi menjadi lebih ketat. Akibat sifat
sumberdaya yang terbuka, nelayan cenderung mengembangkan jumlah alat
tangkapnya maupun tingkat upaya penangkapan untuk mendapatkan hasil
tangkapan yang sebanyak-banyaknya.

4) Kondisi dinamik
Dalam kondisi dinamik, discount rate yang digunakan mengacu pada
World Bank bagi negara-negara berkembang yaitu berkisar 10% sampai dengan
20%. Hasil perhitungan analisis optimal dengan menggunakan discount rate
10%, 12%, 15%, 18% dan 20% menunjukkan bahwa untuk Perairan Kabupaten
Bangka diperoleh nilai biomassa (x), produksi (h), effort (E) dan rente ekonomi
(π) yang optimal. Pada discount rate 10% diperoleh nilai rata-rata biomassa
optimal sebesar 14,02 ton, produksi optimal sebesar 12,71 ton, effort optimal
63

sebesar 368 trip dan rente ekonomi optimal rata-rata sebesar Rp


22.869.550.000,00.
Penggunaan discount rate 20% diperoleh nilai rata-rata biomassa optimal
sebesar 14,00 ton, produksi optimal sebesar 12,72 ton, effort optimal sebesar
383 trip dan keuntungan optimal rata-rata sebesar Rp 11.481.740.000,00. Hasil
analisis tersebut terlihat bahwa dengan menggunakan nilai discount rate yang
lebih kecil, maka diperoleh nilai biomassa dan rente optimal yang lebih tinggi,
produksi dan effort yang digunakan lebih rendah (Tabel 18).

Tabel 18 Perbandingan optimal dinamik rejim pengelolaan sumberdaya ikan


tenggiri
Optimal Optimal Optimal Optimal Optimal
Parameter dinamik dinamik dinamik dinamik dinamik
(i=10) (i=12) (i=15) (i=18) (i=20)
x (ton) 14,02 14,01 14,01 14,00 14,00
h* (ton) 12,71 12,71 12,71 12,72 12,72
E* (trip) 382 382 382 383 383
π (juta) 22.869,55 19.073,66 15.277,73 12.747,08 11.481,74
Sumber : Hasil analisis 2007.

Pada Tabel 18, penggunaan discount rate yang lebih rendah dapat
menghasilkan optimal produksi dan optimal biomassa yang lebih tinggi
dibandingkan dengan menggunakan discount rate yang lebih tinggi. Hal ini
berarti bahwa semakin tinggi discount rate akan menstimulus perburuan
sumberdaya lebih tinggi dan berdampak dengan peningkatan tekanan terhadap
sumberdaya sehingga menimbulkan terjadinya degradasi dan pada akhirnya
berdampak pada penurunan sumberdaya akan semakin besar. Hal tersebut
sesuai dengan pernyataan Clark (1985) dan Fauzi (2006), nilai discount rate
yang lebih tinggi menyebabkan peningkatan laju optimal dari eksploitasi pada
sumberdaya yang terbaharukan, sehingga kemungkinan penurunan dan
kepunahan sumberdaya akan semakin besar.
Apabila penggunaan nilai discount rate yang lebih tinggi akan
menyebabkan peningkatan jumlah effort, maka rente ekonomi yang diperoleh
akan mengalami penurunan, sedangkan pada nilai discount rate sampai dengan
tak terhingga maka rente ekonomi yang diperoleh akan mencapai pada kondisi
nol. Hal ini terjadi pada kondisi OA. Apabila nilai discount rate mengalami
penurunan akan menyebabkan effort mengalami penurunan, maka rente
ekonomi yang diperoleh akan mengalami peningkatan dan pada discount rate
64

sama dengan nol sama dengan kondisi MEY maka akan memperoleh rente
ekonomi yang maksimal.
Hubungan antara rente ekonomi sumberdaya tenggiri dengan
menggunakan discount rate 10%, 12%, 15%, 18% dan 20% merupakan hasil
simulasi World Bank untuk negara-negara berkembang dan menunjukkan bahwa
semakin tinggi discount rate yang digunakan, maka semakin rendah rente
ekonomi yang diperoleh (Gambar 18).

25000
Rente ekonomi (juta Rp)

20000

15000

10000
y = 10647x2 - 39504x + 47406
R2 = 0.9989
5000

0
0.00 0.80 1.60 2.40

Tingka t suku bunga (i) (%)

Gambar 18 Hubungan antara rente ekonomi dengan tingkat suku bunga

5.1.1.5 Laju degradasi


Degradasi diartikan sebagai penurunan kualitas atau kuantitas
sumberdaya perikanan yang dapat diperbaharui. Dalam hal ini sumberdaya alam
dapat diperbaharukan berkurang kemampuan alaminya untuk bergenerasi sesuai
dengan kapasitas produksinya, sehingga laju degradasi sumberdaya perikanan
akan memberikan suatu gambaran yang menunjukkan adanya gejala penurunan
potensi dari sumberdaya perikanan. Kondisi ini terjadi baik karena kondisi alami
maupun karena pengaruh aktivitas manusia. Pada sumberdaya alam pesisir dan
laut, kebanyakan degradasi ini disebabkan ulah manusia, baik berupa aktivitas
produksi (penangkapan atau eksploitasi) maupun karena aktivitas non produksi,
seperti pencemaran akibat limbah domestik ataupun industri (Fauzi dan Anna
2005).
Analisis degradasi sumberdaya perikanan tenggiri di Perairan Kabupaten
Bangka dilakukan untuk mengetahui sejauh mana laju degradasi terjadi pada
sumberdaya ikan tenggiri yang diakibatkan oleh aktifitas penangkapan.
65

Eksploitasi sumberdaya ikan tenggiri yang melebihi titik keseimbangannya


menyebabkan terdegradasinya sumberdaya tersebut (Gambar 19).

1.20

1.00
Laju degredasi

0.80
L deg
0.60 deg std
Linear (L deg)
0.40

y = 0.0023x + 0.3701
0.20
R2 = 0.034

0.00
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58

Bulan

Gambar 19 Laju degradasi sumberdaya ikan tenggiri

Wilayah perairan di Kabupaten Bangka selama 2001-2005 belum


terdegradasi, karena rata-rata laju degradasi masih di bawah nilai standar, yaitu
laju degradasi rata-rata sebesar 0,44 per bulan. Hal ini berarti belum terjadi
penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya ikan tenggiri (Lampiran 6). Laju
degradasi yang terjadi selama tahun 2001-2005 cenderung meningkat dengan
mengikuti persamaan y = 0,0023x + 0,3701. Kecenderungan meningkatnya laju
degradasi sumberdaya ikan tenggiri di Kabupaten Bangka erat kaitannya dengan
tingkat ekploitasi sumberdaya ikan tenggiri yang semakin besar.

5.1.2 Sub sistem teknologi penangkapan

5.1.2.1 Unit penangkapan


Unit penangkapan ikan tenggiri merupakan kesatuan teknis dalam suatu
operasi penangkapan yang terdiri atas tiga unsur utama yang saling menunjang
dan melengkapi. Ketiga unsur tersebut yaitu alat tangkap, armada penangkapan
dan nelayan.

1) Kapal
Armada penangkapan yang digunakan dalam melakukan operasi
penangkapan dengan menggunakan alat tangkap gillnet dan pancing ulur terbuat
dari kayu dimana kasko kapal bagian haluan berbentuk V. Dari hasil penelitian
rata-rata panjang (L) kapal = 8,00 meter, lebar (B) = 2,00 meter, dan tinggi (H) =
1,10 meter. Berdasarkan perhitungan nilai ukuran dimensi utama kapal L/B =
66

4,00; L/H = 7,27 dan B/H = 1,81. Nilai B yang tidak besar dapat memudahkan
kapal dalam melakukan penangkapan dengan stabil, karena dengan bentuk
kapal yang ramping dan panjang serta tinggi yang tidak terlalu besar, maka tidak
membebani kapal saat penarikan alat tangkap. Nilai H tidak boleh terlalu besar,
karena akan menghambat laju perahu.

Gambar 20 Armada penangkapan ikan tenggiri

Menurut Zarochman (1996), untuk ukuran dimensi utama kapal tersebut


sesuai dengan yang diisyaratkan untuk kapal yang memiliki panjang <18 meter
harus memiliki syarat L/B < 4,5; L/H = <10,0; dan B/H = < 2,10. Berdasarkan
perhitungan di atas, perahu dengan alat tangkap gillnet dan pancing ulur
memenuhi syarat untuk operasi penangkapan.
Kapal penangkap ikan tenggiri dengan alat tangkap gillnet dan pancing
ulur menggunakan mesin inboard dengan bahan bakar solar. Sebagai mesin
utama/ mesin penggerak umumnya menggunakan mesin Yanmar TS 190 dan
Dongfeng 20 HP yang berjumlah 1 buah yang berdaya 20-60 PK. Gross ton yang
digunakan < 10 GT.
Konstruksi kapal penangkap ikan tenggiri memiliki palka dan rumah kapal.
Jumlah palka yang dimiliki masing masing kapal bervariasi yaitu antara 2-4 buah
dengan kapasitas masing-masing palka sebesar 1,75-3,5 m3. Sebagian besar
nelayan tenggiri menggunakan palka sebagai tempat penyimpanan cool box.
Jumlah cool box yang dimiliki yaitu 3-6 buah. Rumah kapal sebagai tempat
berlindung dari hujan dan panas sekaligus sebagai ruang kemudi, navigasi dan
komunikasi memiliki bentuk seperti kubus yang berada di antara buritan dan
anjungan.

2) Alat tangkap
Tren pengembangan teknologi penangkapan ikan ditekankan pada
teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan (environmental friendly
67

fishing technology) dengan harapan dapat memanfaatkan sumberdaya perikanan


secara berkelanjutan (Arimoto et al. 1999). Jika dikaitkan dengan kegiatan
penangkapan ikan di Kabupaten Bangka pada umumnya masih bersifat
tradisional (artisanal fisheries) dan tergolong ramah lingkungan. Alat tangkap
yang digunakan untuk usaha penangkapan ikan tenggiri adalah gillnet dan
pancing ulur.
(a) Jaring insang (gillnet)
Gillnet merupakan alat tangkap yang berupa lembar dinding jaring
berbentuk empat persegi panjang. Gillnet yang digunakan untuk menangkap ikan
tenggiri yaitu jaring insang hanyut (drift gillnet). Nelayan di Kabupaten Bangka
menyebut jaring ini dengan istilah jaring tenggiri. Alat tangkap ini terdiri atas tali
selambar, jaring, pelampung dan tali ris atas.
Jaring tenggiri terbuat dari bahan PA warna jaring hijau No. 80 dan
diameter 0,5 mm. Alat tangkap ini berbentuk segi empat dengan total tinggi jaring
18-23 m, panjang 1.200-2.200 m terdiri atas 30-40 piece dengan ukuran 1 piece
mencapai 45-55 m. Ukuran mata jaring yang digunakan yaitu 2,15-3,5 inci. Total
tinggi jaring merupakan perpaduan antara badan jaring dan kaki jaring. Badan
jaring memiliki tinggi 17,5-19,5 m dengan ukuran mata jaring 2,15-3,5 inci,
sedangkan kaki jaring memiliki ukuran 2-2,75 m dengan ukuran mata jaring 3,5-
4 inci.
Tali selambar yang digunakan sebagian besar nelayan Kabupaten
Bangka memiliki panjang rata-rata 19 m yang berfungsi sebagai penghubung
antara kapal dengan alat tangkap yang digunakan. Bahan yang digunakan yaitu
PE dengan diameter sama dengan tali ris atas yaitu 8-10 mm.
Pelampung terbuat dari bola plastik dengan diameter 25 cm sebanyak 4
buah dalam 1 piece jaring, keempat pelampung ini diikat satu sama lain
kemudian diikatkan pada tali ris atas dengan menggunakan tali PE
(polyethylene). Jarak antara pelampung satu ke pelampung lainnya yaitu 10-15
m (Gambar 21).
68

10-15 m

17,5-19,5
2,15-3,5 m
inch

2-2,75 m

25
cm
1200 m -2200 PE Ø 8-10
mm

18-23
PA 80, Ø 0,5mm m

Gambar 21 Konstruksi gillnet di Kabupaten Bangka

Pelampung selain berfungsi untuk mengapungkan badan jaring ke atas


permukaan, juga mempunyai fungsi lain yaitu sebagai tanda keberadaan jaring
tenggiri selama di perairan. Wilayah perairan yang sangat luas dan jaring tenggiri
yang sangat panjang, dengan terbatasnya peralatan deteksi canggih yang tidak
dipunyai nelayan, akan sangat menyulitkan jika tidak ada alat bantu untuk
mengetahui di mana jaring telah ditebar, sehingga fungsi pelampung menjadi
sangat vital sekali pada saat itu terutama pelampung tanda yang terbuat dari
bambu sebagai tiang pancang, lampu tanda kemudian dikombinasikan dengan
batu besar sebagai pemberatnya.
Tali ris atas terbuat dari bahan PE yang terbagi dalam 2 tali. Diameter tali
yang digunakan yaitu 10 mm dan 8 mm. Fungsi tali yang memiliki diameter lebih
besar yaitu sebagai penyatu antara tali ris atas dengan jaring, sedangkan tali
yang memiliki ukuran lebih kecil berfungsi sebagai penghubung antara tali ris
atas dengan pelampung. Fungsi tali ris atas pada jaring ikan tenggiri ini adalah
sebagai penghubung dengan pelampung dan jaring.
69

(b) Pancing ulur (hand line)


Pancing dibedakan menjadi empat yaitu pancing rawai (long line),
pancing gandar (pole and line), pancing tarik (troll line), dan pancing ulur (hand
line). Pancing yang digunakan untuk menangkap ikan tenggiri di Kabupaten
Bangka tergolong dalam pancing ulur. Pancing ulur untuk penangkapan ikan
tenggiri memiliki konstruksi yang terdiri atas reel (rooler), kili-kili (swivel), senar
(line), pemberat (sinker) dan mata pancing (hook).
Reel yang digunakan oleh nelayan berbentuk seperti roda berfungsi
sebagai tempat penyimpanan senar agar tidak mudah kusut saat melakukan
penarikan alat tangkap. Sebagaian besar nelayan yang menggunakan alat
tangkap pancing ulur lebih memilih penggulung dengan bahan dasar kayu
daripada plastik. Hal ini dikarenakan pada saat pengoperasian mudah untuk
digunakan dan bisa bertahan hingga lama bila dibandingkan dengan plastik yang
mudah pecah. Ukuran besar dan ketebalan reel pancing ulur disesuaikan dengan
panjang senar yang digunakan. Penggulung kayu biasaya dibuat sendiri oleh
nelayan atau bisa didapatkan di toko peralatan perikanan.
Senar pancing yang digunakan terbuat dari bahan monofilament. Senar
pancing ini terbagi menjadi dua bagian yaitu senar utama (main line) dan senar
cabang (branch line). Senar utama merupakan senar yang digulung pada reel
dan berujung pada kili-kili pertama. Senar utama terbuat dari bahan nylon
monofilament warna putih transparan. Senar ini bernomor 300-500 dengan
diameter 1 milimeter. Senar cabang terbuat dari bahan monofilament yang
memiliki ukuran 200-300, dengan tujuan agar senar pancing lentur mengikuti
gerak ikan yang memakan umpan ataupun karena pengaruh arus di dalam air.
Panjang senar utama adalah 30-50 m, sedangkan senar cabang < 6 m.
Pemberat terbuat dari timah tetapi ada juga yang terbuat dari besi. Fungsi
pemberat adalah untuk memberikan gaya berat pada senar pancing agar dapat
tenggelam pada kedalaman yang diinginkan.
Kili-kili digunakan agar senar pancing tidak terpelintir dan menjadi kaku,
baik karena pengaruh arus maupun karena gerak ikan yang memakan umpan.
Kili-kili yang digunakan pancing ulur di Kabupaten Bangka sebagian besar
terdapat 2 buah. Kili-kili pertama diikatkan pada ujung senar utama, sedangkan
kili-kili kedua diikatkan pada pangkal senar cabang. Kili-kili terbuat dari baja
berwarna putih (Gambar 22).
70

rooler
15-20 cm

30-50 m
Nylon monofilament No.300-500, Ø1mm

Kili-kili

Kawat barlen, 50 cm

Kili-kili
10-15 cm

Nylon mono No.200-300


No.6 dan 9

No.6 dan 9
15-20 cm

Pemberat
Gambar 22 Konstruksi umum pancing ulur di Kabupaten Bangka

Diantara kili-kili pertama dan kedua terdapat kawat barlen yang terbuat
dari baja berwarna putih yang panjangnya 50 cm. Fungsi kawat barlen ini agar
senar cabang tidak membelit pada senar utama sewaktu menurunkan senar
pancing ke dalam air ataupun ketika berada di dalam air. Kawat ini diikatkan
kepada kili-kili pertama dan kedua dengan menggunakan senar yang sama
ukurannya dengan senar utama sepanjang 15-20 cm. Senar ini juga merupakan
tempat diikatkannya pemberat.
Pada tiap ujung senar cabang diikatkan sebuh mata pancing (hook).
Apabila dalam satu unit pancing ulur dibuat dua atau lebih percabangan, maka
hook yang diikatkan juga dua buah atau lebih. Mata pancing diikatkan pada tali
cabang dengan menggunakan kawat rambut. Disebut kawat rambut karena
ukurannya yang sangat kecil dan lentur tetapi kuat. Kawat ini terbuat dari baja
ataupun besi. Panjang kawat barlen yang menghubungkan senar cabang dengan
mata pancing antara 10-15 cm.

3) Nelayan
Nelayan di Kabupaten Bangka pada umumnya hanya mengandalkan
kemampuan fisik dan tingkat pendidikan bukan merupakan keharusan bagi
71

nelayan, namun yang penting adalah keterampilan dan semangat kerja. Nelayan
tersebut masih dikategorikan ke dalam nelayan kecil, yaitu nelayan yang
pendapatan dari hasil operasi penangkapan digunakan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Nelayan merupakan faktor utama dalam penentuan
keberhasilan suatu operasi penangkapan.
Nelayan dalam satu perahu pancing ulur terdiri atas 2-4 orang. Setiap
nelayan membawa dua atau lebih unit pancing. Masing-masing nelayan
memancing dengan alat pancingnya sendiri tanpa adanya pembagian khusus,
kecuali nelayan juragan yang berada di dalam ruang kemudi yang bertugas
mengemudikan perahu, sedangkan yang di anjungan bertugas menurunkan dan
menaikkan jangkar.
Nelayan gillnet di Kabupaten Bangka memiliki ABK (Anak Buah Kapal) 2-
3 orang. Nelayan juragan (fishing master) memiliki peran penting dalam
menentukan daerah penangkapan dan sebagai juru mudi. ABK memiliki tugas
untuk melakukan pengoperasian alat tangkap (setting dan hauling jaring) dan
mempersiapkan kebutuhan makanan untuk seluruh nelayan yang berada di
dalam kapal tersebut.

5.1.2.2 Musim penangkapan ikan tenggiri


Penangkapan ikan tenggiri di perairan Kabupaten Bangka dilakukan hampir
sepanjang tahun, tetapi hasil tangkapan selalu berfluktuasi tergantung musim
penangkapan. informasi mengenai pola musim penangkapan ikan tenggiri
diperlukan untuk mengetahui waktu dan musim yang paling tepat untuk
menangkap ikan tersebut. Terkait dengan hal tersebut untuk mengetahui waktu
yang tepat untuk melakukan operasi penangkapan diperlukan analisis tentang
sifat musiman ikan tenggiri.
Musim penangkapan ikan tenggiri di Kabupaten Bangka cenderung
mengalami fluktuasi setiap bulannya dengan kisaran IMP antara 72,75-122.64%.
Musim penangkapan terjadi pada bulan Mei sampai dengan Agustus dengan nilai
IMP masing-masing sebesar 122,64%, 120,33%, 103,09%, 118,15%, serta bulan
Oktober dan Maret dengan nilai IMP 110,61% dan 113,25%. Pola musim
penangkapan ikan tenggiri dianalisis dengan metode rata-rata bergerak (moving
average) dengan kriteria penentuan musim didasarkan pada besaran indeks
musim penangkapan (IMP) (Tabel 19).

Tabel 19 Nilai IMP ikan tenggiri tahun 2001-2005.


72

No. Bulan Nilai IMP (%) Musim di Bangka


1. Juli 103,09 Musim Timur
2. Agustus 118,15 Musim Timur
3. September 78,66 Musim Timur
4. Oktober 110,61 Musim Barat
5. November 76,99 Musim Barat
6. Desember 72,75 Musim Barat
7. Januari 100,65 Musim Barat
8. Februari 84,81 Musim Barat
9. Maret 113,25 Musim Barat
10. April 98,03 Musim Timur
11. Mei 122,64 Musim Timur
12. Juni 120,33 Musim Timur
Sumber : Hasil analisis 2007

Musim penangkapan terendah terjadi pada bulan November dan


Desember (Musim Barat) dengan nilai IMP sebesar 76,99% dan 72,75% (< rata-
rata IMP bulanan). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai rata-rata IMP per
bulan diketahui sebesar 100% (Gambar 23).

140
Indeks Musim Penangkapan

120

100

80

60

40

20

0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan

Gambar 23 Pola musim penangkapan ikan tenggiri di Kabupaten Bangka

Puncak musim terjadi pada bulan Mei dan Juni. Melihat kondisi musim
penangkapan yang ada di perairan Kabupaten Bangka, maka kegiatan operasi
penangkapan perlu lebih diintensifkan pada bulan-bulan dimana terjadi musim
ikan yaitu pada bulan Maret, Mei dan Juni serta Agustus dan Oktober.
Selanjutnya ketika tidak musim ikan, sebaiknya dilakukan kegiatan perbaikan
atau perawatan kapal terutama docking atau melakukan alternatif pekerjaan
lainnya. Perhitungan IMP dapat dilihat pada Lampiran 8.
73

5.1.2.3 Daerah penangkapan ikan tenggiri

Penentuan daerah penangkapan ikan tenggiri oleh nelayan berpedoman


pada indikasi alam. Biasanya nelayan melihat tanda seperti ada tidaknya
gemercik air, air berbusa, burung-burung yang terbang dekat permukaan air, dan
warna air yang lebih gelap. Selain itu nelayan juga melihat keberadaan karang-
karang besar yang biasanya di sekitar karang tersebut banyak terdapat ikan
tenggiri.
Daerah penangkapan dengan alat tangkap gillnet dan pancing ulur
dilakukan di Perairan Kabupaten Bangka. Lokasi jalur penangkapan kapal jaring
insang dan pancing yang memiliki panjang rata-rata 8 m adalah pada jalur
penangkapan 1 (pada perairan dari pantai sampai 6 mil) dengan kondisi perairan
tidak keruh, arus tidak kuat dan dekat terumbu karang. Hal ini sesuai dengan
yang dinyatakan oleh Tribawono (2002) dan Keputusan Menteri Pertanian Nomor
392/ Kpts/ IK.120/ 4/ 99, mengenai Wilayah Perikanan Republik Indonesia yaitu
jalur penangkapan ikan I. Berdasarkan Pasal 3, jalur penangkapan ikan I meliputi
perairan pantai diukur dari permukaan air laut pada surut terendah pada setiap
pulau sampai dengan 6 mil laut ke arah laut dengan alat penangkap ikan yang
menetap, alat penangkap ikan yang tidak menetap dan tidak dimodifikasi, dan
kapal perikanan tanpa motor dengan panjang tidak lebih dari 10 meter.
Daerah penangkapan ikan tenggiri oleh nelayan Belinyu, Merawang, Riau
Silip, Sungailiat umumnya berada di sekitar Laut Cina Selatan dan Laut Natuna.
Lama perjalanan untuk masing-masing nelayan tidak sama tergantung jauh dan
dekatnya daerah tangkapan dari lokasi fishing base-nya. Nelayan di Kecamatan
Sungailiat melakukan perjalanan menuju lokasi penangkapan biasanya di
perairan Kabupaten Bangka selama 5-7 jam perjalanan, sedangkan nelayan
Belinyu daerah penangkapannya di Perairan Kabupaten Bangka sebelah Timur
dengan lama perjalanan 2-3 jam dan sebelah Utara Pulau Bangka dengan lama
perjalanan 4 jam.
Daerah penangkapan ikan tenggiri oleh nelayan di Kecamatan Puding
Besar dan Mendo Barat melakukan operasi penangkapan di sekitar Selat
Bangka. Lama perjalanan menuju lokasi penangkapan tergantung jauh dekatnya
daerah penangkapan yaitu antara 2-4 jam. Lebih jelasnya daerah penangkapan
ikan tenggiri dan konsentrasi nelayan di Kabupaten Bangka dapat dilihat pada
Lampiran 9 dan Lampiran 10.
74

5.1.2.4 Metode unit penangkapan ikan tenggiri


Aktivitas penangkapan ikan tenggiri di Kabupaten Bangka merupakan
aktivitas yang meliputi upaya persiapan, penangkapan dan penyimpanan. Upaya
persiapan adalah kegiatan untuk memperlancar dan mendukung kegiatan
penangkapan yang terdiri atas persiapan perbekalan/ransum makanan,
persiapan penyediaan dan perbaikan alat penangkapan (jaring, pancing dan lain
sebagainya) dan sarana penangkapan (kapal), persiapan bahan bakar,
persiapan penyediaan es. Aktivitas penangkapan dilakukan di PPP Sungailiat
dan tempat-tempat lain yang merupakan tempat konsentrasi nelayan hanya saja
jumlah konsentrasi nelayan di Kecamatan Sungailiat yang relatif besar dan lebih
lengkapnya fasilitas pendukung kegiatan perikanan di PPP Sungailiat
dibandingkan dengan tempat lain seperti di Tanjung Gudang, Penyusuk, Air
Jukung, Remodong, Pejem, Pesaren di Kecamatan Belinyu, Tuing, Mapur di
Kecamatan Riau Silip, Dusun Mudel, Pagarawan di Kecamatan Merawang dan
nelayan di Desa Penagan, Kota Kapur Kecamatan Mendo Barat dan Puding.

1) Gillnet
Operasi penangkapan ikan tenggiri dengan gillnet dilakukan di Laut
Natuna, Selat Bangka dan Laut Cina Selatan. Fishing base yang diambil
sebagian besar adalah PPP Sungailiat dengan posisi fishing base berada pada
lintang 060 42’ 09’ LS dan pada bujur 1110 19’ 57” BT.
Pelaksanaan kegiatan operasi penangkapan ikan tenggiri dengan gillnet
di Kabupaten Bangka dilakukan 3-5 hari tergantung pada musim penangkapan
dan selanjutnya dapat diuraikan sebagai berikut :
(1) Kapal dengan persiapan kebutuhan logistik yang cukup berangkat dari fishing
base menuju daerah penangkapan dengan nakhoda nelayan juragan
sekaligus berperan sebagai fishing master. Keberangkatan kapal yaitu pada
saat air mulai mengalami pasang.
(2) Waktu yang digunakan untuk menempuh jarak dari fishing base menuju ke
daerah penangkapan di Laut Cina Selatan dan Laut Natuna berkisar antara 5
hingga 7 jam, sedangkan pada daerah penangkapan Selat Bangka yang
merupakan suatu perairan yang berada diantara Pulau Bangka dan Pulau
Sumatera hanya berkisar 2-4 jam tergantung jauh dekatnya jarak yang
ditempuh dan juga pada kondisi perairan saat itu. Penentuan daerah
75

penangkapan dilakukan berdasarkan pengalaman selama berprofesi sebagai


nelayan.
(3) Setelah kapal sampai di daerah penangkapan yang telah ditentukan, kapal
bergerak pelan di bawah angin, mengikuti arus sambil menurunkan
pelampung bertanda (bendera) hingga tali selambar yang berada pada ujung
pelampung terakhir, dimana penurunan jaring ini disesuaikan dengan
kecepatan memundurkan kapal. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan
kegiatan setting jaring di laut, yaitu sejak turunnya pelampung tanda yang
pertama, sampai pelampung terakhir dan peregangan jaring secara
sempurna oleh tali selambar dari kapal, keseluruhannya memerlukan waktu
antara 35 sampai dengan 50 menit. Lamanya setting jaring tergantung pada
kemampuan ABK dalam menurunkan jaring serta kestabilan fishing master
dalam mengoperasikan kapal. Sebagaian besar nelayan gillnet melakukan
setting pada pukul 17.00-18.00 WIB.
(4) Setelah seluruh jaring diturunkan, mesin kapal dimatikan dan dibiarkan
mengapung mengikuti arah dan gerakan arus. Waktu yang dibutuhkan jaring
hingga diangkat kembali yaitu 4-5 jam tergantung pada munculnya bulan.
Selama waktu tersebut, aktivitas yang dilakukan nelayan adalah
mempersiapkan makan malam, membersihkan dek kapal dan istirahat.
(5) Pada saat bulan terlihat yaitu pukul 22.00-23.00 WIB, penarikan jaring
(hauling) mulai dilakukan. Penarikan jaring dilakukan diawali dengan
penarikan tali selambar hingga diakhiri oleh pelampung tanda. Penarikan
dilakukan dengan kondisi mesin kapal hidup dengan posisi kapal bergerak ke
depan. Waktu yang dibutuhkan untuk menarik jaring yaitu 3-5 jam tergantung
banyaknya hasil tangkapan yang diperoleh.
(6) Penanganan hasil tangkapan dilakukan setelah ikan yang sudah terlepas dari
jaring secara keseluruhan kemudian dimasukkan dalam cool box yang telah
disiapkan. Sebelum dimasukkan ke dalam cool box, ikan disiram dengan air
laut kemudian disortir bedasarkan jenis dan ukurannya. Perbandingan antara
ikan dengan es di dalam cool box yaitu 40:60. Hal ini bertujuan agar kualitas
ikan tetap terjaga. Pada saat ikan mengalami musim puncak, penaganan
yang dilakukan kurang optimal karena pemberian es tidak dilakukan secara
total, hanya diperuntukkan bagi ikan yang memiliki harga jual yang tinggi.
76

Gambar 24 Aktivitas penangkapan ikan tenggiri dengan gillnet di daerah Tuing

2) Pancing ulur
Operasi penangkapan ikan tenggiri dengan pancing ulur dimulai dari
tahap persiapan hingga penanganan hasil perikanan. Daerah penangkapan
dengan alat tangkap pancing ulur pada dasarnya hampir sama dengan alat
tangkap gillnet yaitu Laut Natuna, Laut Cina Selatan dan Selat Bangka.
Pelaksanaan kegiatan operasi penangkapan ikan tenggiri dengan pancing
ulur dilakukan dengan ABK sebanyak 3-4 orang. Uraian pelaksanaan kegiatan
operasi penangkapan adalah sebagai berikut :
(1) Kapal berangkat dari fishing base setelah semua persiapan (persiapan
pancing ulur, BBM untuk mesin penggerak serta ransum untuk keperluan di
laut) selesai dipersiapkan. Kapal berangkat saat air dalam kondisi pasang.
Jarak tempuh kapal menuju daerah penangkapan tergantung pada
pengalaman fishing master yaitu sekitar 4-5 jam. Daerah target penangkapan
ikan tenggiri yaitu di sekitar perairan berkarang dan masih dalam wilayah
Perairan Kabupaten Bangka.
(2) Setelah sampai di daerah penangkapan, jangkar diturunkan agar kapal tidak
terbawa arus. Operasi penangkapan dilakukan pada malam hari yaitu pukul
18.30-19.00 WIB hingga menjelang matahari terbit yaitu 04.00-05.00 WIB.
Sebagai bahan penerangan sementara yaitu guna pemasangan umpan
digunakan lampu kapal.
(3) Umpan yang digunakan dalam proses penangkapan ikan tenggiri dengan
pancing ulur merupakan umpan alami. Umpan ini diperoleh dari hasil
pancingan yang diperoleh dengan jenis ukuran mata pancing yang berbeda.
Ikan yang menjadi umpan penangkapan ikan tenggiri yaitu jenis kurisi
(Nemipterus hexodon) hidup.
77

(4) Umpan kurisi yang telah ditangkap kemudian dikaitkan pada kedua mata
pancing. Cara pemasangan umpan dilakukan dengan meletakkan kail pada
punggung ikan umpan. Setelah umpan selesai dipasang, pancing kemudian
dilempar ke perairan agar jauh dari kapal dan memudahkan senar pancing
teregang dengan kedalaman pancing yang diulurkan yaitu 20-60 meter.
Umpan hidup ini dimaksudkan untuk memikat dan menarik perhatian ikan
agar muncul di permukaan laut serta untuk menahan schooling ikan agar
tetap berada di dekat lambung kapal (Kaneda 1995).
(5) Apabila umpan termakan, maka senar pancing ditarik hingga mendekati
perahu. Setelah ikan tenggiri terlihat dan mudah dijangkau, kemudian dengan
alat bantu gancu ikan tenggiri diangkut ke atas dek kapal. Ikan tenggiri yang
sudah mati kemudian dibersihkan darahnya, akibat terkena mata pancing dan
gancu, lalu dimasukkan ke dalam cool box yang telah diberi es sebagai
tempat penyimpanan.
(6) Jika daerah penangkapan tidak memberikan hasil yang memuaskan, maka
kapal melakukan pencarian daerah penangkapan yang lain.
(7) Setelah operasi penangkapan selesai jangkar dinaikkan ke perahu, kemudian
melakukan perjalanan pulang menuju fishing base awal.

Gambar 25 Aktivitas penangkapan ikan tenggiri dengan pancing ulur di daerah


Tuing.

5.1.2.5 Produktifitas dan produksi ikan tenggiri


Produktivitas merupakan kemampuan suatu alat tangkap untuk
memperoleh hasil tangkapan. Produktivitas yang digunakan dalam unit
penangkapan ikan tenggiri adalah produksi per trip, produksi per kapal, produksi
per nelayan, produksi per biaya operasional, produksi per biaya investasi (Tabel
20).
78

Tabel 20 Produktivitas rata-rata komponen unit penangkapan ikan tenggiri


bulanan (2001-2005)
Produktivitas
No. Komponen unit penangkapan
Gillnet Pancing ulur
1. Produksi per trip (kg per trip) 1,38 1,93
2. Produksi per kapal (kg per kapal) 11,4 4,92
3. Produksi per nelayan (kg per orang) 30,1 14,79
4. Produksi per biaya operasional (kg per Rp) 0,03 0,02
5. Produksi per biaya investasi (kg per Rp) 0,009 0,011
Sumber : Data diolah 2007.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai produktivitas pada gillnet


selama 5 tahun adalah sebesar 1,38 per trip gillnet, 11,40 per kapal dan 30,1 per
nelayan per bulan. Produktivitas menurut biaya operasional pada usaha
perikanan tenggiri dengan gillnet dan pancing, yaitu sebesar 0,03 kg dan 0,02 kg
per rupiah. Hal ini berarti setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan dapat
menghasilkan ikan sebanyak 0,03 kg per rupiah pada gillnet dan 0,02 kg per
rupiah pada pancing ulur. Produktivitas pada usaha perikanan tenggiri dengan
gillnet dan pancing ulur menurut biaya investasi yaitu sebesar 0,01 kg dan 0,01
kg per rupiah. Hal ini berarti bahwa setiap satu rupiah biaya yang ditanamkan
dapat menghasilkan ikan sebanyak 0,01 kg dan 0,01 kg.

5.1.3 Sub sistem pemasaran

5.1.3.1 Saluran pemasaran


Proses yang dilakukan untuk mengetahui saluran pemasaran yang ada di
Kabupaten Bangka baik pasar ikan lokal untuk kebutuhan masyarakat maupun
perusahaan untuk tujuan pasar ekspor dalam sub sistem pemasaran pada usaha
perikanan tenggiri yaitu dengan melakukan survei pasar. Pemasaran hasil
tangkapan usaha perikanan tenggiri dilakukan dalam 4 (empat) saluran, yaitu :
1) Dipasarkan secara langsung ke perusahaan perikanan dengan harga jual
yang telah ditentukan bersama kemudian didistribusikan untuk pasar
eksportir.
2) Dipasarkan secara langsung ke pedagang pengumpul untuk selanjutnya
dipasarkan langsung ke perusahaan perikanan selanjutnya untuk pasar
eksportir.
3) Dipasarkan secara langsung ke pedagang pengumpul kemudian dipasarkan
kembali ke pedagang pengecer dan didistribusikan ke konsumen pasar lokal
yang berada di dalam maupun luar Kabupaten Bangka.
79

4) Dipasarkan secara langsung ke pedagang pengecer untuk selanjutnya


dipasarkan langsung ke konsumen lokal baik yang berada di Kabupaten
Bangka maupun di luar Kabupaten Bangka (Gambar 26).
Pasca penangkapan aktivitas yang dilakukan umumnya meliputi bongkar
muat hasil tangkapan, pelelangan, penyimpanan, pemrosesan dan pemasaran.
PPP Sungailiat biasanya tidak melakukan peyimpanan sebab ikan yang
diperoleh setelah dilelang semuanya disalurkan sesuai permintaan. Setelah
dilelang biasanya sebagian ikan diproses atau dilakukan pengepakan terlebih
dahulu yang disediakan oleh pelabuhan dan sebagian didistribusi ke pasar-
pasar. Untuk pemrosesan biasanya langsung diangkut ke Pangkalpinang untuk
dilakukan proses pendinginan di cold storage oleh perusahaan yang selanjutnya
untuk diekspor melalui Jakarta ke Singapura, Malaysia, dan Jepang atau dikirim
antar pulau yaitu ke Lampung. Pemrosesan lain seperti pengolahan menjadi
produk lain oleh home industri, ikan diangkut selain di sekitar Sungailiat juga
diangkut ke Belinyu.

II
Nelayan Pedagang
pengumpul Perusahaan perikanan Eksportir

III
IV Pedagang
Pengecer

Konsumen
lokal

Keterangan :
I = Saluran pemasaran I ( nelayan-perushaan)
II = Saluran pemasaran II ( nelayan –pengumpul-perusahaan)
III = Saluran pemasaran III ( nelayan-pengumpul-pengecer)
IV = Saluran pemasaran IV (nelayan pedagang pengecer)
Gambar 26 Skema saluran pemasaran hasil tangkapan ikan tenggiri di
Kabupaten Bangka

Aktivitas pemasaran ikan tenggiri melalui proses pelelangan hanya


dilakukan di PPP Sungailiat. Daerah lainnya seperti di Kecamatan Belinyu
meliputi Tanjung Gudang, Penyusuk, Air Jukung, Pejam, Pesaren, Remodong;
Kecamatan Riau Silip meliputi Tuing, Mapur, Kecamatan Belinyu meliputi
80

Pagarawan tidak dilakukan pelelangan, tetapi langsung dijual ke pasar ikan


terdekat dan kadang-kadang dijual oleh para pedagang ikan langsung ke
konsumen dengan menggunakan kendaraan bermotor. Pemasaran ikan tenggiri
dilakukan oleh pedagang pengumpul dan pedagang pengecer untuk selanjutnya
dijual ke pasar ikan. Di Kecamatan Sungailiat terdapat 4 pasar, yaitu Pasar
Sungailiat, Pasar Senggol, Pasar Inpres (pasar pagi), Pasar Kenanga.
Pemasaran ikan tenggiri dari PPP Sungailiat selain untuk memenuhi
kebutuhan lokal di Kecamatan Sungailiat juga untuk memenuhi kebutuhan di luar
Sungailiat yang lokasinya tidak terlalu jauh seperti di Kecamatan Puding Besar,
Kecamatan Pemali dan Kecamatan Bakam (Lampiran 11). Pasaran ikan tenggiri
tidak hanya untuk dijual kembali di pasar dalam bentuk segar, tetapi juga untuk
suplai bahan baku bagi pengolah ikan menjadi produk olahan seperti otak-otak,
empek-empek, kemplang, krupuk dan getas. Pemasaran di luar Kota Sungailiat
dilakukan oleh pedagang keliling dengan menggunakan motor dengan dilengkapi
keranjang, sedangkan untuk pedagang ikan di pasar sifatnya menetap (Gambar
27).

Gambar 27 Aktivitas pemasaran langsung ke konsumen oleh pedagang


pengecer di PPP Sungailiat

Pemasaran ikan tenggiri tidak hanya di Kecamatan Sungailiat dan


sekitarnya tetapi juga dipasarkan di kecamatan lain untuk dijual kembali di pasar
tersebut seperti di Pasar Ikan Belinyu. Berdasarkan informasi pedagang yang
ada di Kecamatan Sungailiat, ikan yang dipasarkan tidak hanya dari tangkapan
setempat, tetapi ada kalanya dari daerah lain. Demikian juga pasar ikan yang
ada di Kecamatan Belinyu, berdasarkan informasi dari nelayan Belinyu ikan yang
diperoleh tidak hanya dari hasil tangkapan nelayan sekitar Belinyu seperti
Tanjung Gudang, Penyusuk, Air Jukung, Pejem dan Pesaren, tetapi juga dari
Kecamatan Sungailiat. Pada umumnya pengangkutannya menggunakan mobil
81

yang dilengkapi dengan cool box. Selain itu hasil tangkapan ikan tenggiri dari
Kecamatan Riau Silip selain dipasarkan langsung ke konsumen rumah tangga,
rumah makan juga sebagian dipasarkan ke Pasar Sungailiat.
5.1.3.2 Margin pemasaran
Hasil wawancara dengan responden pada saluran pemasaran I
menunjukkan bahwa perusahaan perikanan mengeluarkan biaya penanganan
komoditas hingga berada di kapal tujuan ekspor sebesar Rp1.435,00 per kg,
biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul dalam penanganan hasil
tangkapan sebesar Rp 365,00 per kg dan penanganan hasil tangkapan oleh
pedagang pengecer Rp 316,00 per kg. Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh
pedagang pengumpul meliputi penggunaan es dan trasportasi guna
pengangkutan ikan dari dermaga hingga ke perusahaan perikanan (Tabel 21).

Tabel 21 Biaya penanganan hasil tangkapan ikan tenggiri


Biaya
No Keterangan
(Rp per kg)
Pedagang pengumpul (1.900 kg)
1 Penggunaan es 215
2 Transportasi dari dermaga ke perusahaan perikanan 150
Total 365
Pedagang pengecer (200 kg)
1 Penggunaan es harian 135
2 Transportasi ke pasar 125
3 Sewa tempat 56
Total 316
Perusahaan perikanan (4.200 kg)
1 Penggunaan es 100
2 Transportasi dari perusahaan perikanan ke kontainer 55
3 Biaya sortir dan pengepakan 30
4 Penanganan dari kontainer ke kapal tujuan ekspor 1.250
Total 1.435
Sumber : Hasil penelitian 2007.

Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengecer untuk


penanganan hasil perikanan meliputi penggunaan es, transportasi yang
digunakan untuk pengangkutan ikan ke pasar dan sewa tempat dimana
pedagang pengecer menjualkan ikan-ikannya, sedangkan untuk perusahaan
perikanan biaya yang dikeluarkan lebih banyak seperti biaya penggunaan es,
transportasi yang digunakan untuk pengangkutan ikan hingga ke konteiner, biaya
sortir dan pengepakan serta biaya penanganan dari kontainer sampai masuk ke
kapal tujuan ekspor/antar pulau
82

Harga jual ikan tenggiri oleh perusahaan maupun harga lokal yang dijual
oleh nelayan kepada pedagang pengumpul, maka terdapat perbedaan yang
cukup signifikan. Besar margin keuntungan yang diperoleh perusahaan
perikanan akan tereduksi jika pembelian dilakukan melalui pedagang pengumpul
(saluran pemasaran II). Hal ini disebabkan porsi margin harus dibagi dengan
pedagang pengumpul. Rata-rata margin pemasaran yang dinikmati pedagang
pengumpul yaitu sebesar Rp 2.500,00 per kg dan pada perusahaan perikanan
pada saluran pemasaran I dan II yaitu sebesar Rp 6.700,00 per kg dan Rp
9.200,00. Perbedaan harga jual dan margin pemasaran pada saluran distribusi
komoditas ikan tenggiri dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22 Margin pemasaran, biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran pada


saluran I dan II
Saluran pemasaran Saluran pemasaran
I II
No. Uraian
Share Share
Rp per kg Rp per kg
(%) (%)
I. Nelayan
a. Harga jual 29.450 76,20 29.450 76,20
2. Pedagang pengumpul
a. Harga jual (Rp per kg) 31.950 82,66 - -
b. Harga pokok (Rp per kg) 29.450 76,20 - -
c. Margin pemasaran (Rp per kg) 2.500 6,47 - -
d. Biaya pemasaran (Rp per kg) 365 0,94 - -
e. Keuntungan pemasaran
(Rp per kg) 2.135 5,52 - -
3. Perusahaan perikanan
a. Harga jual (Rp per kg) 38.650 100,00 38.650 100,00
b. Harga pokok (Rp per kg) 31.950 82,66 29.450 76.20
c. Margin pemasaran (Rp per kg) 6.700 17,34 9.200 23,80
d. Biaya pemasaran (Rp per kg) 1.435 3,71 1.435 3,71
e. Keuntungan pemasaran
(Rp per kg) 5.265 13,62 7.765 20,09
Sumber : Data diolah dari data primer, September-Oktober 2007.

Pada setiap ikan per kilogram dikenakan biaya pemasaran oleh


pedagang pengumpul sebesar Rp 365,00 per kg dengan share 0,94% dan
perusahaan perikanan sebesar Rp 1.435,00 per kg dengan share 3,71%.
Besarnya harga penjualan yang diperoleh nelayan dari hasil penjualan ke
pedagang pengumpul dan perusahaan perikanan yaitu sebesar Rp 29.450,00
dengan share 76,20%. Jika dilihat dari keuntungan pedagang pengumpul
memperoleh keuntungan sebesar Rp 2.135,00 per kg dengan share 5,52% dan
perusahaan perikanan sebesar Rp 5.265,00 per kg dengan share 13,62% pada
saluran pemasaran I. Pada saluran pemasaran II biaya yang dikeluarkan oleh
83

perusahaan dapat mengalami keuntungan sebesar Rp 7.765,00 per kg dengan


share sebesar 20,09%.
Rata-rata margin pemasaran yang dinikmati pedagang pengumpul pada
saluran pemasaran III dan IV yaitu sebesar Rp 1.800,00 per kg dengan share
5,20% dan pedagang pengecer pada saluran pemasaran III dan IV yaitu sebesar
Rp 7.500,00 per kg dengan share 21,68%.
Setiap ikan per kilogram biaya penanganan yang dikeluarkan oleh
pedagang pengumpul sebesar Rp 316,00 per kg dengan share 0,91% dan
pedagang pengecer sebesar Rp 365,00 per kg dengan share 1,05%. Jika dilihat
dari keuntungan pemasaran pedagang pengumpul memperoleh keuntungan
sebesar Rp 1.484,00 per kg dengan share 4,29% dan pedagang pengecer
sebesar Rp 7.135,00 per kg dengan share 20,62%.

Tabel 23 Margin pemasaran, biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran


pada saluran III dan IV
Saluran pemasaran Saluran pemasaran
III IV
Uraian
No. Share Share
Rp per kg Rp per kg
(%) (%)
1. Nelayan
a. Harga jual 25.300 73,12 25.300 73,12
2. Pedagang pengumpul
a. Harga jual (Rp per kg) 27.100 78,32 - -
b. Harga pokok (Rp per kg) 25.300 73,12 - -
c. Margin pemasaran (Rp per kg) 1.800 5,20 - -
d. Biaya pemasaran (Rp per kg) 316 0,91 - -
e. Keuntungan pemasaran
(Rp per kg) 1.484 4,29 - -
3. Pedagang pengecer
a. Harga jual (Rp per kg) 34.600 100,00 34.600 100,00
b. Harga pokok (Rp per kg) 27.100 78,32 25.300 73,12
c. Margin pemasaran (Rp per kg) 7.500 21,68 9.300 26,88
d. Biaya pemasaran (Rp per kg) 365 1,05 365 1,05
e. Keuntungan pemasaran
(Rp per kg) 7.135 20,62 8.835 25,53
Sumber : Data diolah dari data primer, September-Oktober 2007.

Share nelayan yang diperoleh pada saluran pemasaran III dan IV sebesar
73,12%, artinya bagian yang diterima oleh nelayan pada saluran III dan IV adalah
sebesar 73,12% (Tabel 23 dan Lampiran 12). Keuntungan yang diperoleh
dengan saluran makin pendek dengan fisherman share yang sama akan
memberikan share bagi pedagang lebih besar.
84

5.1.4 Sub sistem mutu

Mutu dari hasil tangkapan ikan tenggiri dapat diketahui dengan dilakukan
pengamatan terhadap kenampakan dan warna produk, aroma, rasa, tekstur dan
lendir pada produk. Penilaian kualitas kesegaran ikan dapat dilakukan dengan
berbagai macam cara yaitu cara kimia, fisik, mikrobiologi, organoleptik. Cara
organoleptik merupakan cara yang paling mudah untuk dilakukan. Ciri
organoleptik ikan segar yang berkualitas baik antara lain:
1) Keadaan bola mata cembung dan cemerlang serta korneanya masih bening
2) Warna insang merah tua dan cemerlang
3) Terdapat lendir alami menutupi permukaan ikan yang baunya khas menurut
jenis ikan, rupa lender bening dan cemerlang
4) Warna kulit belum pudar atau cemerlang
5) Sisik melekat kuat dan mengkilat
6) Dagingnya kenyal dan jika ditekan dengan jari tidak berbekas.
Kondisi mutu dipengaruhi oleh beberapa faktor yang tergolong faktor
intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi jenis kelamin, jenis spesies,
umur, ukuran sedangkan faktor ekstrinsik dipengaruhi oleh penanganan yang
dilakukan seperti penanganan di atas kapal (pengesan, pencucian dan
pengesan), penanganan pada saat di daratkan (pengesan dan penyortiran).
Kompleksnya permasalahan mengenai mutu menyebabkan upaya
mempertahankan mutu harus dilakukan secara optimal dari mulai ditangkap
sampai dipasarkan.
Berdasarkan uji Organoleptic terhadap ikan tenggiri yang dipasarkan di
Kabupaten Bangka menunjukkan nilai rata-rata sebesar 7,64 dengan selang
kepercayaan 7,55 < µ < 7,72 pada tingkat kepercayaan 95% (Lampiran 14). Hasil
tersebut menunjukkan bahwa ikan tenggiri tersebut baik/layak dikonsumsi oleh
konsumen, dimana sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) batas
minimum ikan segar yang layak dikonsumsi adalah 7 (Dirjen Perikanan 1994).
Uji Hedonicscale scoring dilakukan untuk mengetahui produk olahan ikan
tenggiri tersebut disukai oleh konsumen atau tidak, maka dilakukan yaitu uji
kesukaan pada suatu produk. Berdasarkan hasil uji menunjukkan bahwa rata-
rata nilai dari hasil uji hedonicscale scoring 7,5 dengan selang kepercayaan 7,2
< µ < 7,8 pada tingkat kepercayaan 95% (Lampiran 15). Hasil tersebut
menyatakan bahwa produk ikan tenggiri tersebut disukai oleh konsumen. Kedua
85

uji tersebut menunjukkan dari segi mutu perlu adanya peningkatan mutu yang
lebih baik lagi (Yeap Soon-Eong dan Tan Sen-Min 2002).

5.1.5 Sub sistem kelayakan usaha

5.1.5.1 Analisis usaha


Analisis usaha perikanan tenggiri dilakukan untuk mengetahui tingkat
keberhasilan usaha yang akan dicapai secara finansial. Analisis usaha yang
dilakukan dalam usaha pengembangan perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka
meliputi keuntungan, imbangan penerimaan dan biaya, payback period dan
return of investment terhadap terhadap 2 (dua) jenis alat tangkap yaitu jaring
insang dan pancing ulur. Hasil analisis usaha dari kedua alat tangkap tersebut
dilakukan sebagai ukuran keberhasilan pengembangan usaha tersebut pada saat
ini dan untuk mengetahui kelayakan pengembangan usaha perikanan tenggiri.

1) Keuntungan
Pada usaha penangkapan ikan, nelayan memiliki tujuan untuk
memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, tetapi tidak dapat
merencanakan sebelum operasi penangkapan. sehingga nelayan selalu
berusaha untuk memperoleh hasil tangkapan ikan sebanyak-banyaknya. yang
beranggapan dengan hasil produksi yang meningkat akan memperoleh
pendapatan besar yang secara otomotis memperoleh keuntungan juga besar.
Keuntungan dalam usaha perikanan tenggiri diperoleh dari Total Revenue (TR)
dikurangi dengan Total Cost (TC) yang dikeluarkan.
(a) Biaya
Biaya dalam usaha perikanan tenggiri terdiri atas biaya investasi, biaya
tetap dan biaya variabel. Biaya investasi terdiri atas biaya pembelian kapal,
mesin, alat tangkap, peti fiber, kompas, peralatan elektrik, radio SSB, jangkar
dan tali, serta jerigen solar dan air. Biaya investasi merupakan nilai investasi
yang ditanamkan pada usaha perikanan tenggiri (Lampiran 16 dan Lampiran 20).
Total investasi yang dibutuhkan untuk penangkapan tenggiri dengan
gillnet sebesar Rp 70.389.260,81 dan pancing sebesar Rp 36.980.404,46.
Besarnya biaya investasi merupakan nilai investasi rata-rata responden yang
ditanamkan pada unit usaha penangkapan gillnet dan pancing di Kabupaten
Bangka.
86

Biaya tetap dalam usaha perikanan tenggiri dengan menggunakan alat


tangkap gillnet dan pancing terdiri atas biaya penyusutan dan perawatan. Biaya
penyusutan meliputi penyusutan kapal, mesin, alat tangkap, peti fiber, kompas,
peralatan elektrik, radio SSB, jangkar dan tali, serta jerigen solar dan air,
sedangkan biaya perawatan meliputi perawatan kapal, mesin dan alat tangkap
(Tabel 24).

Tabel 24 Komponen investasi unit usaha penangkapan ikan tenggiri di


Kabupaten Bangka tahun 2007
Nilai investasi (Rp.)
No. Jenis investasi
Gillnet Pancing
1. Kapal 21.578.103,21 21.578.103,21
2. Mesin 5.952.580,20 5.952.580,20
3. Alat tangkap 36.905.997,36 3.348.326,36
4. Peti fiber 1.190.516,04 1.190.516,04
5. Kompas 372.036,26 372.036,26
6. Peralatan elektrik 2.232.217,57 2.322.217,57
7. Radio SSB 1.636.960,55 1.636.959,55
8. Jangkar dan tali 148.815,50 148.814,50
9. Jerigen solar dan air 372.036,26 372.036,26
10. Gancu - 148.814,50
Total 70.389.261,46 36.980.404,46
Sumber : Data diolah dari data primer, September-Oktober 2007.

Biaya tetap pada unit usaha gillnet lebih besar dibandingkan dengan unit
usaha pancing yaitu sebesar Rp 14.581.585,31 dan 10.578.475,13. Besarnya
biaya pada unit usaha gillnet disebabkan oleh modal investasi dari alat tangkap
gillnet terdiri dari 40 piece yang harga per piecenya mencapai Rp 620.000,00,
sedangkan pancing terdiri dari 30 unit yang harganya per unitnya Rp 75.000,00
(Tabel 25).
Biaya untuk penyusutan unit usaha perikanan tenggiri dengan gillnet lebih
besar dibandingkan dengan pancing. Hal ini disebabkan modal yang dikeluarkan
untuk membeli jaring lebih besar daripada modal untuk usaha pancing,
sedangkan umur teknis dari gillnet lebih lama daripada pancing (Lampiran 16 dan
Lampiran 20).
87

Tabel 25 Komponen biaya tetap unit usaha penangkapan ikan tenggiri di


Kabupaten Bangka tahun 2007
Nilai (Rp.)
No. Uraian
Gillnet Pancing
1. Penyusutan kapal 2.157.810,32 2.157.810,32
2. Penyusutan mesin 1.984.193,40 1.984.193,40
3. Penyusutan alat tangkap 7.381.199,44 3.348.326,36
4. Penyusutan peti fiber 238.103,21 238.103,21
5. Penyusutan kompas 186.018,13 186.018,13
6. Penyusutan peralatan elektrik 446.443,51 446.443,51
7. Penyusutan radio SSB 327.391,91 327.391,91
8. Penyusutan jangkar + tali 74.407,25 74.407,25
9. Penyusutan jerigen solar dan air 186.018,13 186.018,13
10. Penyusutan gancu - 29.762,90
11. Perawatan kapal 300.000,00 300.000,00
12. Perawatan mesin 800.000,00 800.000,00
13. Perawatan alat tangkap 500.000,00 500.000,00
Total 14.581.585,31 10.578.475,13
Sumber : Data diolah dari data primer, September-Oktober 2007.

Biaya tidak tetap (variable cost) dalam usaha perikanan tenggiri dengan
menggunakan alat tangkap gillnet dan pancing ulur terdiri atas biaya solar, oli, air
tawar, rokok, es dan perbekalan (ransum) dan upah ABK. Komponen biaya tidak
tetap unit usaha penangkapan ikan tenggiri di Kabupaten Bangka dapat dilihat
pada Tabel 26.

Tabel 26 Komponen biaya tidak tetap unit usaha penangkapan ikan tenggiri di
Kabupaten Bangka tahun 2007.

Nilai (Rp)
No. Uraian
Gillnet Pancing
1. Solar 13.500.000,00 13.500.000,00
2. Oli 680.000,00 440.000,00
3. Air tawar 100.000,00 100.000,00
4. Rokok 1.800.000,00 1.800.000,00
5. Es 2.720.000,00 2.040.000,00
6. Perbekalan 1.280.000,00 1.280.000,00
7. Upah ABK 10.873.103,97 11.368.840,00
Total 30.953.103,97 30.528.840.00
Sumber : Data diolah 2007.

Total biaya tidak tetap pada unit usaha penangkapan tenggiri dengan
jaring tidak berbeda jauh dengan pancing, yaitu Rp 30.713.103,97 dan Rp
30.768.840,00. Perbedaan terjadi karena adanya jumlah kebutuhan oli yang
digunakan pada saat operasi penangkapan. Biaya tidak tetap yang paling besar
pada unit usaha perikanan tenggiri dengan gillnet dan pancing adalah bahan
bakar solar, yaitu sebesar Rp 13.500.000,00. Hal ini dikarenakan besarnya biaya
solar yang digunakan pada saat menuju daerah penangkapan dan operasi
penangkapan.
88

Biaya total merupakan keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk


menghasilkan produksi yaitu hasil penjumlahan dari biaya tetap dan biaya tidak
tetap. Biaya total dalam usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka dengan
menggunakan gillnet sebesar Rp 45.534.689,28, sedangkan dengan
mengunakan pancing sebesar Rp 41.107.315,13.
Total biaya usaha perikanan tenggiri dengan gillnet di Kabupaten Bangka
lebih besar daripada pancing. Hal ini disebabkan oleh biaya penyusutan dan
biaya perawatan gillnet yang lebih besar (Tabel 27).

Tabel 27 Biaya total unit usaha perikanan ikan tenggiri di Kabupaten Bangka
No. Jenis biaya Nilai (Rp.)
Gillnet Pancing
1. Biaya tetap 14.581.585,31 10.578.475,13
2. Biaya Tidak tetap 30.953.103,97 30.528.840,00
Total biaya 45.534.689,28 41.107.315,13
Sumber : Data diolah 2007.

(b) Penerimaan
Penerimaan yang diperoleh dari usaha perikanan tenggiri berasal dari
rata-rata nilai penjualan hasil tangkapan. Rata-rata penerimaan yang diperoleh
selama satu trip penangkapan pada pengoperasian alat tangkap gillnet sebesar
Rp 1.359.138,00, sedangkan untuk rata-rata biaya yang dikeluarkan sebesar Rp
773.827,60 per trip. Keuntungan yang diperoleh unit usaha perikanan tenggiri
dengan menggunakan alat tangkap gillnet di Kabupaten Bangka sebesar Rp
220.770,76 per trip. Penerimaan yang diperoleh dari unit usaha perikanan
tenggiri dengan alat tangkap gillnet selama satu tahun penangkapan sebesar Rp
54.365.519,85, sedangkan total biaya yang dikeluarkan yaitu sebesar Rp
48.032.200,00. Keuntungan yang diperoleh selama satu tahun sebesar Rp
8.830.830,57.
Penerimaan rata-rata dari usaha perikanan tenggiri dengan
menggunakan alat tangkap pancing di Kabupaten Bangka sebesar Rp
1.200.805,00 per trip. Rata-rata biaya yang dikeluarkan pada pengoperasian alat
tangkap ini sebesar Rp 763.221,00. Keuntungan yang diperoleh usaha perikanan
tenggiri dengan menggunakan alat tangkap pancing adalah sebesar Rp
173.122.12,00 per trip. Penerimaan yang diperoleh dari unit usaha perikanan
tenggiri dengan alat tangkap pancing selama satu tahun penangkapan sebesar
Rp 48.032.200,00, sedangkan total biaya yang dikeluarkan yaitu sebesar Rp
89

41.107.315,13. Keuntungan yang diperoleh selama satu tahun sebesar Rp


6.684.884,87 (Lampiran 16 dan Lampiran 20).

2) Rasio imbangan penerimaan dan biaya (R/C)


R/C merupakan perbandingan antara total penerimaan dengan total
biaya. Analisis R/C dilakukan untuk melihat berapa penerimaan yang diperoleh
dari setiap rupiah biaya yang dikeluarkan pada unit usaha penangkapan ikan
tenggiri dengan gillnet dan pancing ulur.
Hasil analisis unit penangkapan ikan tenggiri dengan gillnet dan pancing
di Kabupaten Bangka diperoleh nilai R/C sebesar 1,19 dan 1,17 yang artinya
setiap satu rupiah total biaya yang dikeluarkan untuk usaha akan menghasilkan
total penerimaan sebesar Rp 1,19 dan Rp 1,17 atau memberikan keuntungan
sebesar Rp 0,11 dan Rp 0,11 (Lampiran 16 dan Lampiran 20).
Analisis imbangan penerimaan dan biaya merupakan perbandingan
antara besarnya penerimaan dengan total biaya. Pada usaha penangkapan ikan
tenggiri dengan menggunakan alat tangkap gillnet dan pancing ulur ini diperoleh
nilai R/C>1, sehingga dapat diartikan usaha tersebut mendapatkan keuntungan
(Lampiran 16 dan Lampiran 20).

3) Return of investment (ROI)


ROI bertujuan untuk mengetahui tingkat keuntungan yang diperoleh
dalam setiap rupiah investasi yang ditanamkan. ROI dari unit usaha
penangkapan ikan tenggiri dengan gillnet dan pancing di Kabupaten Bangka
sebesar 1,19% dan 1,17%. Hal ini berarti bahwa setiap seratus rupiah yang
diinvestasikan akan memberikan keuntungan sebesar Rp 1,19 dan Rp 1,17
(Lampiran 16 dan Lampiran 20).

4) Payback period (PP)


PP dalam studi kelayakan usaha berfungsi untuk mengetahui berapa
lama usaha yang diusahakan dapat mengembalikan investasi. Semakin cepat
dalam pengembalian biaya investasi sebuah usaha, semakin baik usaha tersebut
karena semakin lancar perputaran modal.
PP dari unit usaha penangkapan ikan tenggiri dengan gillnet dan pancing
di Kabupaten Bangka adalah 7,97 tahun atau 1,1 bulan dan 5,34 tahun atau 1,7
bulan. Hal ini berarti waktu yang dibutuhkan untuk pengembalian biaya investasi
yang telah dikeluarkan akan kembali dengan keuntungan sebesar Rp
90

8.830.830,57 dan Rp 6.924.884,87 per tahun dalam waktu 1,1 bulan dan 1,17
bulan (Lampiran 16 dan Lampiran 20).

5.1.5.2 Analisis kriteria investasi


Dalam analisis kriteria investasi yang dilakukan pada usaha penangkapan
ikan tenggiri digunakan beberapa asumsi sebagai berikut :
1) Usaha penangkapan ikan tenggiri di Perairan Kabupaten Bangka adalah
baru;
2) Umur proyek ditentukan berdasarkan nilai investasi yang memiliki umur
teknik yang paling lama, yaitu kapal dengan umur teknik 10 tahun;
3) Tahun pertama proyek dimulai pada tahun 2007;
4) Harga yang digunakan adalah tetap sepanjang umur proyek dan dinilai pada
saat penelitian, sehingga nilai investasi yang dianalisis telah disesuaikan
dengan IHK tahun 2007 yang berlaku di Kabupaten Bangka;
5) Hasil tangkapan dianggap tetap sepanjang umur proyek, sehingga besar
penerimaan juga tetap yaitu sebesar Rp 54.365.520,00 untuk alat tangkap
gillnet dan sebesar Rp 48.032.200,00 untuk alat tangkap pancing ulur;
6) Biaya operasional yang digunakan sepanjang umur proyek dianggap tetap;
7) Nilai discount rate yang digunakan sebesar 12% per tahun yang merupakan
tingkat suku bunga pinjaman yang berlaku di bank BRI di Kabupaten Bangka.

1) Net Present Value (NPV)


Suatu usaha layak dijalankan jika NPV adalah selisih antara benefit
(pendapatan) dengan cost (pengeluaran) yang telah di present valuekan lebih
dari nol. Dalam metode ini discount rate yang digunakan adalah sebesar 12 %
sesuai dengan tingkat bunga bank rata-rata yang berlaku saat ini.
Nilai NPV pada unit usaha penangkapan ikan tenggiri dengan gillnet dan
pancing bernilai positif yaitu sebesar Rp 84.047.548,70 dan Rp 86.573.482,56
yang berarti bahwa usaha penangkapan ikan tenggiri dengan menggunakan
gillnet dan pancing ulur akan memperoleh net benefit sebesar Rp 84.047.548,70
dan Rp 86.573.482,56 selama umur proyek (10 tahun) pada discount rate
sebesar 12% per tahun, apabila dinilai sekarang (Lampiran 18 dan Lampiran 20).
Nilai NPV pancing lebih besar dari nilai NPV gillnet dikarenakan jumlah
aliran kas pada net cash flow yang merupakan selisih total inflow (pendapatan)
dengan total outflow (investasi dan biaya total) yang besar. Hal ini disebabkan
91

oleh biaya total unit usaha penangkapan ikan tenggiri dengan pancing lebih kecil
dibandingkan dengan gillnet, sehingga berpengaruh pada nilai NPV-nya.

2) Internal Rate of Return (IRR)


Perhitungan IRR dilakukan dengan cara mencari discount rate yang dapat
menyamakan antara present value dari aliran kas dengan present value dari
investasi (initial investment). Jika perhitungan IRR dari discount rate dikatakan
usaha tersebut feasible (layak) dijalankan, bila sama dengan discount rate
berarti pulang pokok dan di bawah discount rate usaha tersebut tidak feasible.
Nilai IRR dari unit usaha penangkapan tenggiri dengan gillnet dan
pancing di Kabupaten Bangka layak diusahakan sebab nilai IRR-nya memiliki
nilai yang lebih tinggi dari nilai discount rate (12%) yaitu sebesar 40% dan 61%.
Hal ini menunjukkan bahwa usaha tersebut akan memberikan manfaat baik
internal dari nilai investasi yang ditanamkan untuk usaha penangkapan ikan
tenggiri dengan menggunakan gillnet dan pancing ulur sebesar 40% dan 61%
tiap tahunnya selama umur proyek (Lampiran 18 dan Lampiran 20).
Usaha penangkapan ikan tenggiri dengan pancing lebih layak diusahakan
karena memiliki nilai IRR yang lebih besar dibandingkan dengan nilai IRR jaring.
Hal ini disebabkan oleh besarnya NPV dan discount rate yang digunakan untuk
membuat nilai NPV negatif.

3) Net B/C
Net B/C unit usaha penangkapan ikan tenggiri dengan gillnet dan pancing
ulur yaitu sebesar 2,1 dan 3,34 (net B/C>1), artinya selama tahun proyek pada
tingkat discount rate 12% per tahun setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan
akan memberikan benefit bersih sebesar Rp 2,12 dan Rp 3,34, sehingga dapat
dikatakan usaha tersebut layak untuk dikembangkan (Lampiran 18 dan Lampiran
20). Net B/C tidak menggambarkan besarnya keuntungan tetapi menggambarkan
skala penerimaan atas biaya dan modal.
Pada usaha perikanan tenggiri dengan alat tangkap gillnet dan pancing,
maka nilai dari kriteria investasi (NPV>0, net B/C>1 dan IRR>interest rate) layak
untuk dilanjutkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sobari et al. (2006), jika dilihat
dari kriteria investasi NPV>0, net B/C>1 dan IRR>internal rate, maka dapat
dikatakan bahwa usaha tersebut layak memenuhi persyaratan dan masih layak
untuk dikembangkan.
92

4) Analisis sensitivitas
Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat pengaruh apa yang akan
terjadi akibat perubahan nilai input atau perubahan nilai output yang akan
berdampak pada akhir perhitungan. Faktor yang dianalisis dalam penelitian ini
adalah biaya bahan bakar solar dan harga jual ikan tenggiri. Hal ini dikarenakan
komponen tersebut merupakan komponen penting dalam usaha penangkapan
ikan tenggiri dan faktor penting dalam pemasaran ikan tenggiri.
Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi kenaikan harga solar pada unit
usaha penangkapan tenggiri dengan gillnet sebesar 112% dari Rp 4.500,00 per
liter menjadi Rp 9.540 per liter dan unit usaha penangkapan tenggiri dengan
pancing ulur sebesar 114,5% dari Rp 4.500,00 per liter menjadi Rp 9.653 per liter
usaha menjadi tidak layak.
Pada Tabel 28, diperoleh nilai NPV pada gillnet dan pancing sebesar
(1.383.823,49) dan (764.839,91). Nilai tersebut memiliki arti bahwa apabila terjadi
kenaikan harga solar pada usaha penangkapan tenggiri dengan gillnet dan
pancing sebesar 112% dan 114,5%, maka manfaat sekarang yang akan diterima
adalah sebesar (1.383.823,49) dan (764.839,91). Nilai net B/C pada gillnet dan
pancing sebesar 0,98 dan 0,98 sedangkan nilai IRR yaitu sebesar 11,45% dan
11,45%. Hasil analisis tersebut tidak layak untuk dikembangkan karena nilai
NPV<0, net B/C<1 dan IRR< tingkat suku bunga yang berlaku 12%. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa usaha tersebut dengan kenaikan harga BBM
sebesar 112% untuk gillnet dan 114,5% untuk pancing tidak sensitif (Tabel 28).

Tabel 28 Nilai kriteria investasi sebagai akibat kenaikan harga bahan bakar solar
Gillnet Pancing
No. Keterangan
(112%) (114,5%)
1. NPV (Rp) (1.383.823,49) (764.839,91)
2. Net B/C 0,98 0,98
3. IRR (%) 11,45% 11,45%
Sumber : Hasil analisis 2007.

Penurunan harga ikan pada unit usaha penangkapan tenggiri dengan


gillnet sebesar 28% dari Rp 28.500 per kg menjadi Rp 20.269,57 per kg dan unit
usaha penangkapan tenggiri dengan pancing ulur sebesar 24,5% dari Rp
28.500,00 per kg menjadi Rp 23.581,17 per kg usaha menjadi tidak layak. Nilai
kriteria investasi sebagai akibat kenaikan harga bahan bakar solar dapat dilihat
pada Tabel 29.
93

Tabel 29 Nilai kriteria investasi sebagai akibat penurunan harga ikan


Gillnet Pancing
No. Keterangan
(28%) (24,5%)
1. NPV (1.962.098,72) (939.932,62)
2. Net B/C 0,98 0,97
3. IRR 11,22% 11,11%
Sumber : Hasil analisis 2007.

Tabel 29 nilai NPV pada gillnet dan pancing sebesar (1.962.098,72) dan
(939.932,62). Nilai tersebut memiliki arti bahwa apabila terjadi penurunan harga
ikan pada usaha penangkapan tenggiri dengan gillnet dan pancing sebesar 28%
dan 24,5%, maka manfaat sekarang yang akan diterima adalah sebesar (Rp
(1.962.098,72) dan (Rp 939.932,62). Nilai net B/C pada gillnet dan pancing
sebesar 0,98 dan 0,97 sedangkan nilai IRR yaitu sebesar 11,22% dan 11,11%.
Hasil analisis menunjukkan bahwa usaha penangkapan tenggiri dengan
adanya penurunan harga ikan tidak layak untuk dikembangkan karena nilai
NPV<0, net B/C<1 dan IRR< tingkat suku bunga yang berlaku 12%. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa usaha tersebut dengan penurunan harga ikan
sebesar 28% untuk gillnet dan 24,5% untuk pancing sensitif.

5.1.6 Sub sistem infrastruktur


Infrastruktur perikanan di Kabupaten Bangka terpusat di PPP Sungailiat.
Hal ini dikarenakan PPP Sungailiat merupakan salah satu pelabuhan perikanan
yang berfungsi sebagai home base (tempat pendaratan ikan) yang ditunjang oleh
beberapa fasilitas pendukung (pokok, fungsional dan penunjang) kegiatan
perikanan yang dikelola oleh pihak pelabuhan dan swasta.
Berdasarkan pasal 41 (1) Undang-undang No.31 tahun 2004 tentang
Perikanan, pemerintah menyelenggarakan dan membina pelabuhan perikanan.
Untuk mewujudkan fungsi dan peranan pelabuhan perikanan, PPP Sungailiat
sejak pengoperasiannya telah memiliki fasilitas-fasilitas pelabuhan perikanan
diantaranya yaitu fasilitas pokok, fungsional dan penunjang yang berguna untuk
mendukung kegiatan penangkapan sampai ke kegiatan pemasaran.

1) Fasilitas pokok
Fasilitas pokok merupakan fasilitas utama yang diperlukan untuk
melindungi kapal-kapal perikanan dari gangguan alam berupa ombak, arus,
pengendalian lumpur, serta tempat untuk berlabuh dan bersandar bagi kapal
atau perahu nelayan baik yang datang maupun pergi. Fasiltas ini merupakan
94

fasilitas yang tidak dapat menghasilkan keuntungan tetapi besifat pelayanan


umum (Tabel 30).

Tabel 30 Infrastruktur pendukung kegiatan sistem bisnis perikanan di PPP


Sungailiat
No. Nama fasilitas Kapasitas Kondisi Keterangan
I. Fasilitas pokok
1. Dermaga L = 1560 M2 baik - Untuk memperpanjang dermaga
P=260m2 diperlukan perluasan tanah
2. Kolam pelabuhan L=10560 M2 baik - Agar dapat diperdalam perlu
H= +1,0-1,0 m renovasi dahulu
II. Fasilitas fungsional
1. Gedung TPI L=450M2 baik - Agar aktivitas gedung sesuai
Fungsinya
2. Gedung pabrik es L=360 M2 baik - Untuk operasi kurang 10 jam/hari
- Genset 1 187,5 KVA - Perlu adanya penggantian genset
- Genset 2 155 KVA genset karena pengadaan tahun
- Cool room 100 ton 2000
- Mesin 15 Pk - Kapasitas mesin pendingin
pendingin 20 KW kurang 30 PK
- Genset - Kapasitas genset kurang 40 Pk
3. Pasar ikan L=1800M2 baik -
4. SPDN L=9 M2 baik - Perlu adanya perhatian khusus
100 ton dari pemerintah mengenai
pembagian jatah BBM
5. Instalasi air tawar 125 M2 baik -
6. Instalasi listrik 4.800 watt baik - Perlu penambahan kapasitas
2200 watt
- Penerangan dermaga kurang
7. Bengkel L=230M2 baik - Perlu adanya peningkatan
-Genset 12 KW kegiatan operasional
8. Gedung L=200 M2 baik - Perlu adanya perluasan 124 M2
pengepakan dan 11 ruangan
penyimpanan ikan
Sumber : PPP Sungailiat 2006.

(1) Darmaga/jetty
Dermaga di PPP Sungailiat saat ini masih dalam kondisi baik,
mempunyai luas 1.560 m2 terdiri atas konstruksi trestle dan sheet file dapat
menampung kapal perikanan yang berukuran <10 GT sebanyak 80 unit.
(2) Kolam pelabuhan
Kolam pelabuhan bertujuan sebagai tempat untuk menampung
kegiatan kapal baik bongkar muat, berlabuh, mengisi bahan bakar dan
memutar haluan kapal (turning basin) serta tempat untuk melakukan kegiatan
perbaikan kapal di atas air (floating air) dalam keadaan darurat. Kolam
pelabuhan dalam keadaan kotor, memiliki luas 10.560 m2 dan kedalaman di
bawah 0,5m-1m, lebar mulut kolam 40 m. Kendala yang dihadapi pada saat
ini yaitu kapal perikanan yang berukuran >10 GT sulit untuk melakukan
95

aktivitas tambat labuh pada dermaga terutama pada saat air surut terendah.
Keadaan kolam pelabuhan saat ini kotor yang disebabkan adanya
pembuangan oli-oli bekas dan sampah dari kapal gillnet dan tammel net
serta kotoran yang berasal dari tailing timah (bekas limbah galian timah),
kotoran manusia, sehingga mengakibatkan sedimentasi di sekitar kolam
pelabuhan.

2) Fasilitas Fungsional
Fasilitas fungsional merupakan fasilitas yang berfungsi untuk
meningkatkan nilai guna dari fasilitas pokok atau dasar, sebagaimana tanpa
adanya fasilitas ini, kegiatan operasional pelabuhan tidak akan berjalan dengan
baik. Adapun fasilitas fungsional yang ada adalah tempat pelelangan ikan, pasar
ikan, gedung pabrik es, SPDN, instalasi air tawar, instalasi listrik, bengkel dan
gedung pengemasan dan penyimpanan ikan.
(1) Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
TPI merupakan salah satu fasilitas fungsional penting yang berfungsi
sebagai tempat pemasaran awal ikan hasil tangkapan nelayan di laut. Tingkat
pemanfaatan TPI dapat ditinjau dari ketersediaan luas ruangan pelelangan
dikaitkan dengan jumlah produksi ikan yang dilelang. Harapan yang
diinginkan adalah ketersediaan luas gedung pelelangan ikan dapat
mendukung aktivitas pelelangan ikan itu sendiri.
Produksi ikan PPP Sungailiat pada tahun 2006 sebesar 3.926,06 ton.
Berdasarkan data yang diperoleh, kapasitas gedung TPI di PPP yang dikelola
oleh DKP Kabupaten Bangka sebesar 450 m2 dalam kondisi baik dengan
kapaitas 0,32 ton.
Lokasi di TPI ini telah sesuai dengan Standar Operasi Pelabuhan
(SOP) yang mensyaratkan bahwa gedung pelelangan ikan harus berdekatan
dengan dermaga dan terminal parkir, karena aktivitas di TPI merupakan
rantai pertama dari proses distribusi dan pemasaran. Adanya jarak yang
dekat tersebut membuat aktivitas pembongkaran ikan lebih efisien, dimana
saat ikan dibongkar dari kapal langsung masuk ke ruang TPI untuk segera
didaftarkan dan disortir kemudian dilelang. Kenyataan yang terjadi TPI di
PPP Sungailiat selain digunakan sebagai tempat pelelangan juga digunakan
sebagai tempat penjualan ikan dan tempat transakasi bagi para pengumpul
dan pedagang pengecer.
96

Proses pelelangan ikan di PPP dilaksanakan sekali dalam sehari yaitu


jam 04.00-05.30 WIB dipimpin oleh seorang juru lelang yang dibantu oleh
seorang juru tulis karcis lelang. Biasanya kegiatan pelelangan berlangsung
kurang dari 1 jam. Setelah jam 05.30 tidak dilakukan pelelangan lagi karena
frekuensi pendaratan ikan relatif sedikit dan nelayan lebih memilih untuk
menjual ikannya langsung di pasar ikan yang terdekat atau langsung kepada
pedagang pengumpul dan pedagang pengecer.
(2) Pasar ikan (fish market)
Pasar Ikan atau disebut juga pasar senggol pelabuhan memiliki luas
1.800 m² dan dalam kondisi bangunan masih baik. Pasar ikan digunakan
untuk penjualan produksi hasil perikanan dilengkapi dengan kantor. Kegiatan
yang dilakukan di pasar ini relatif sama dengan kegiatan pasar ikan pada
umumnya. Ikan yang dijual di pasar ini seluruhnya berasal dari para nelayan
yang menambatkan kapalnya di dermaga PPP Sungailiat. Sebagian besar
penjual yang berada di pasar ini merupakan pedagang pengecer yang
berada di PPP Sungailiat.
(3) Gedung pabrik es
Gedung pabrik es memiliki luas 360 m2 dengan kapasitas 20 ton per
hari dan dalam kondisi baik. Gedung pabrik es beroperasi 10 jam per hari
dengan produksi mencapai 6 ton per hari. Mesin digerakkan oleh kompresor
merk hitachi dengan kapasitas 149,4 KCl per jam dan sumber listrik diperoleh
dari generator set deutz 187,5 KVA bergantian dengan generator set deutz
155 KVA. Kondisi gedung ini dalam kondisi baik selain itu juga gedung
dilengkapi oleh cool room dengan kapasitas 100 ton dengan mesin pendingin
15 PK dan generator 20 KW dengan suhu ruangan +100C.
(4) Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN)
SPDN atau lebih dikenal sebagai SPBU memiliki kondisi yang baik
dan mempunyai luas bangunan 9 m2 dengan kapasitas 100 ton dengan
tingkat pemakaiannya hingga 11.194 kiloliter. Saat ini SPDN hanya
mempunyai pompa untuk pengisian solar kapal. Kegiatan yang dilakukan
pada SPDN ini pada umumnya sama dengan SPDN yang berasal dari PPP
lainnya, yaitu pembagian bahan bakar sesuai dengan jatah yang diperoleh
dari nelayan yaitu sekitar 10 liter per hari. Berdasarkan hasil pengamatan
langsung di lapangan, kendala yang dihadapi pada umumnya yaitu masih
97

banyak kebutuhan akan solar digunakan oleh para nelayan yang memiliki
usaha sampingan di TI apung.
(5) Instalasi air tawar
Air tawar diperoleh dari kolong (kolam bekas galian timah) yang
dialirkan dengan pompa listrik berkekuatan 16 PK melalui pipa dengan
diameter 3,5 inch sepanjang 1.600 m2 ke tangki air dengan luas bangunan
125 m2 dalam kondisi yang masih baik. Instalasi air tawar setiap hari
dipergunakan untuk perbekalan dengan mengambil dari tangki dengan
kapasitas 100 ton dengan debit air 10 liter per menit dengan kondisi air yang
bagus walau pun memiliki kandungan timah yang tinggi.
(6) Instalasi listrik
Penerangan listrik di lingkungan PPP Sungailiat menggunakan
sumber listrik PLN dengan kapasitas 4.800 W, dimanfaatkan untuk fasilitas-
fasilitas yang berada di pelabuhan dengan kondisi yang masih baik. Daya
yang dihasilkan tersebut dinilai kurang cukup untuk mendukung aktivitas
usaha perikanan di lingkungan PPP Sungailiat.
(7) Bengkel
Bangunan bengkel memiliki luas 230 m2 dengan kondisi yang masih
baik, terdiri atas 150 m2 ruangan tertutup dan 80 m2 teras meja. Peralatan
penunjang operasional bengkel terdiri atas mesin bubut, gerinda, las, bor,
gergaji besi dan mesin lainnya yang digerakkan dengan genset
berkapasitas 12 KW. Tempat pemeliharaan/bengkel yang disediakan oleh
pelabuhan selain berfungsi untuk memperbaiki alat yang rusak juga untuk
menyimpan suku cadang dan peralatan penangkapan. Tingkat kegiatan
operasional bengkel masih perlu ditingkatkan mengingat kebanyakan dari
jenis kegiatan masih terbatas pada perbaikan dan pekerjaan ringan seperti
bor, las, bubut dan pembuatan peralatan kapal. Sebagian besar orderan
yang diterima oleh bengkel yang dikelola PPP Sungailiat tidak hanya
berasal dari nelayan, tetapi juga berasal dari masyarakat di sekitar PPP
Sungailiat.
(8) Gedung pengemasan dan penyimpanan ikan
Gedung pengepakan dan penyimpanan ikan seluas 200 m2 yang
terdiri atas 5 ruang tertutup masing-masing berukuran 3,3 m x 3 m dan
ruang terbuka seluas 155 m2 masih dalam kondisi cukup baik. Gedung
pengepakan dan penyimpanan ikan ini berfungsi sebagai tempat
98

pengepakan dan penyimpanan ikan yang digunakan oleh para pedagang


ikan.

5.2 Pembahasan

Pengembangan usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka diarahkan


pada peningkatan faktor-faktor baik secara biologi, teknik, ekonomi dalam sub
sistem potensi sumberdaya ikan, sub sistem teknologi, sub sistem mutu, sub
sistem pemasaran dan sub sistem kelayakan usaha dan sub sistem
infrastruktrur. Hal tersebut dimaksud agar sistem usaha perikanan yang ada
dapat menguntungkan bagi para pelaku usaha dan berkelanjutan. Peningkatan
yang diharapkan yaitu dapat meningkatkan produksi dengan tetap menjaga
kelestarian sumber daya yang ada, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
nelayan serta para pelaku yang terlibat dalam sistem usaha tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan
tenggiri secara sustainable dapat dilakukan dengan mengetahui rejim
pengelolaan sumberdaya ikan tenggiri secara optimal dimana secara biologi
pemanfaatan aktual dari tahun 2001-2005 sudah di atas nilai produksi lestari
dengan rata-rata effort sebesar 798 trip. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi
pemanfaatan sumberdaya ikan tenggiri sebagian besar telah melampaui batas
maksimum lestari, sehingga secara biologi dapat dikatakan bahwa di Perairan
Kabupaten Bangka telah terjadi biological overfishing.
Produksi aktual sebesar 17,41 lebih besar dibandingkan pengelolaan
sumberdaya ikan tenggiri secara optimal sebesar 12,71-12,42. Secara ekonomi
pemanfaatan sumberdaya ikan tenggiri di Perairan Kabupaten Bangka
khususnya diduga telah terjadi economic overfishing pada kondisi aktual
sebanyak 798 trip per bulan lebih besar dibandingkan dengan effort pada
pengelolaan sumberdya perikanan tenggiri secara optimal sebesar 362-383 trip.
Pada tingkat discount rate sebesar 10 % per tahun produksi optimal untuk
sumberdaya perikanan tenggiri sebanyak 12,71 ton per bulan dengan effort
sebesar 378 trip. Jika jumlah effort dikonversi ke dalam jumlah aktual, maka
jumlah unit alat tangkap yang optimal sebanyak 168 unit (Tabel 31 dan Lampiran
24).
99

Tabel 31 Rejim pengelolaan sumberdaya tenggiri secara optimal


Rejim pengelolaan secara optimal
Parameter Aktual Model optimal dinamik
i=10 i=12 i=15 I=18 i=20
h (ton) 17,41 12,71 12,71 12,71 12,72 12,72
E (trip) 798 382 382 382 383 383
h/E 0,02 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03
h/alat 0,05 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08
∑ alat 320 168 168 168 168 167
Π (juta) 180,47 22.869,55 19.073,66 15.277,73 12.747,08 11.481,74
Π /E 0,23 59,90 49,93 39,96 33,31 29,99
Π/∑ alat 0,56 136,13 113,53 90,94 75,88 68,75
Sumber : Hasil analisis 2007.

Pada tingkat discount rate sebesar 20% produksi optimal untuk


sumberdaya perikanan tenggiri sebanyak 12,72 ton per bulan, dengan effort
sebesar 379 trip. Jika jumlah effort optimal dikonversi kembali ke dalam
jumlah aktual, maka jumlah unit alat tangkap yang optimal adalah 167 unit.
Jika dibandingkan dengan kondisi aktual, maka jumlah alat tangkap tenggiri
jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah alat tangkap pada kondisi aktual
yaitu sebanyak 320 unit. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pemanfaatan
sumberdaya ikan tenggiri secara optimal yang akan memberikan nilai manfaat
optimal dalam jangka panjang, maka perlu adanya pengurangan jumlah alat
yang ada.
Apabila regulasi mengenai pengaturan alat tangkap tidak diiringi
dengan adanya upaya restocking terhadap perairan yang ada akan
menyebabkan terjadinya degredasi lingkungan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Hamdan et al. (2006), bahwa pengaturan alat tangkap tidak diiringi
dengan adanya upaya restocking terhadap perairan yang ada akan
menyebabkan terjadinya degredasi lingkungan yang berakibat buruk kepada
produksi perikanan.
Pengelolaan sumberdaya ikan tenggiri secara optimal dimana secara
teknologi diharapkan tidak lagi menambah unit alat tangkap lagi. Bahkan ke
depan untuk alat tangkap ikan tenggiri dapat dilakukan upaya secara bertahap
untuk pengurangan dan pembatasan jumlah alat tersebut, guna memperoleh
nilai tangkapan yang optimal dengan rente yang diperoleh juga optimal. Jika
tidak adanya pengendalian dan pengaturan pemanfatan sumberdaya perikanan
tenggiri, maka diduga akan menghancurkan sumberdaya yang ada dan
menimbulkan dampak terhadap kelestarian sumberdaya dalam bentuk
terjadinya overfishing baik secara biologi maupun secara ekonomi. Hal ini
100

sesuai dengan pendapat Darmawan (2001), bahwa pembatasan dan


pengaturan dilakukan agar tidak menghancurkan sumberdaya yang ada dan
merupakan instrumen yang diperlukan dalam upaya pengelolaan sumberdaya.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka pemerintah dan otoritas lainnya
memerlukan suatu pedoman dalam pemanfaatan maupun pengelolaannya yaitu
Tata Laksana untuk Perikanan yang Bertanggungjawab (Code of Conduct for
Responsible Fisheries) untuk memberi kelengkapan yang dibutuhkan, secara
nasional dalam rangka menjamin pengusahaan sumberdaya hayati perairan
secara lestari yang selaras dan serasi dengan lingkungannya. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Rasdani (2004) dan Dirjen Perikanan Tangkap (2002),
bahwa pemerintah atau otoritas lainnya melaksanakan pengelolaan sumberdaya
ikan secara terpadu dan terarah, sehingga sumberdaya ikan akan dimanfaatkan
secara berdaya guna dan berhasil guna, dengan cara melakukan pengelolaan
secara terpadu yang melibatkan berbagai pihak terkait (stakeholders) demi
kelestarian sumberdaya ikan beserta lingkungannya.
Inti dari CCRF bidang perikanan tangkap akan menjamin sumberdaya
ikan dan lingkungannya secara lestari dengan mengikuti sistem
Monitoring/Pemantauan, Controlling/Pengendalian, Surveillance/Pengawasan
(MCSE) dan Law Enforcement/Penegakan Hukum) yaitu suatu sistem yang
harus ditegakkan dan dijalankan dalam rangka memelihara dan menjaga
kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya di Perairan Indonesia pada
umumnya dan Perairan Kabupaten Bangka pada khususnya.
Diharapkan kepada pemerintah daerah melalui dinas terkait, dapat
membuat suatu kebijakan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka secara optimal. Kebijakan yang
diambil adalah tidak lagi memberi izin terhadap penambahan dan
pengoperasian alat tangkap yang sudah melebihi kondisi optimal.
Penambahan alat atau armada tangkap dapat dialokasikan untuk
pemanfaatan fishing ground lepas pantai dengan memperluas daerah
penangkapan sampai ke luar dari Perairan Kabupaten Bangka, yaitu mencapai
Laut Cina Selatan, Selat Gelasa sampai dengan Perairan Belitung yang
merupakan daerah potensial ikan tenggiri. Daerah potensial ini sesuai dengan
yang dilaporkan Martosubroto et al. (1991) dan Balai Riset Perikanan Laut (2004)
bahwa wilayah yang memiliki potensi ikan tenggiri di Kawasan Indonesia Barat
101

khususnya daerah Sumatera yaitu diantaranya adalah Perairan Kabupaten


Bangka Belitung yang berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan.
Aktivitas penangkapan yang optimal dapat dilakukan pada bulan Mei dan
Juni. Melihat kondisi musim penangkapan yang ada di Perairan Kabupaten
Bangka, maka kegiatan operasi penangkapan perlu lebih diintensifkan pada
bulan-bulan dimana terjadi musim ikan yaitu pada Bulan Maret, Mei dan Juni
serta Agustus dan Oktober (Gambar 15 dan Lampiran 8). Penangkapan ikan di
Perairan Kabupaten Bangka berlangsung hampir sepanjang tahun, tetapi nilainya
sangat berfluktuasi. Berfluktuasinya musim penangkapan ikan disebabkan oleh
musim yang terjadi. Hal ini sesuai dengan pendapat Wiyono (2001), bahwa
berfluktuasinya musim penangkapan ikan yang ditandai dengan berfluktuasinya
jumlah alat tangkap ikan yang beroperasi dan jumlah ikan hasil tangkapan yang
didaratkan disebabkan oleh musim yang terjadi.
Selain faktor potensi sumberdaya perikanan dan teknis produksi yang
dikembangkan, pemasaran hasil perikanan sangat perlu di perhatikan. Tingginya
harga ikan tenggiri dan lancarnya pemasaran menjadi salah satu komoditas
utama sektor perikanan di Kabupaten Bangka.
Share keuntungan dari hasil penjualan ikan tenggiri pada saluran
pemasaran di tingkat nelayan, pedagang pengumpul, pedagang pengecer dan
perusahaan perikanan terdapat perbedaan yang cukup signifikan (Lampiran 24).
Hal ini dipengaruhi harga jual ikan di nelayan, pedagang, perusahaan perikanan
hingga konsumen sangat berbeda, karena sesuai dengan biaya yang dikeluarkan
dan harga pasaran ikan tersebut. Semakin banyak lembaga pemasaran yang
dilalui, maka margin pemasaran dan biaya pemasaran akan semakin besar. Hal
ini sesuai dengan pendapat Rahim (2005), bahwa dalam proses pemasaran hasil
perikanan laut, semakin banyak lembaga pemasaran yang dilalui, maka biaya
yang dikeluarkan akan semakin besar, berarti bahwa margin pemasaran juga
semakin besar.
Harga jual ikan tenggiri dari nelayan hingga ke konsumen akhir sangat
dipengaruhi oleh mutu dari ikan tersebut. Kondisi mutu dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang tergolong faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor
intrinsik meliputi jenis kelamin, jenis spesies, umur, ukuran, sedangkan faktor
ekstrinsik dipengaruhi oleh penanganan yang dilakukan seperti penanganan di
atas kapal (pengesan, pencucian dan pengesan), penanganan pada saat di
daratkan (pengesan dan penyortiran). Kompleksnya permasalahan mengenai
102

mutu menyebabkan upaya mempertahankan mutu harus dilakukan secara


optimal dari mulai ditangkap sampai dipasarkan. Penanganan mutu yang belum
optimal dan persepsi yang berbeda pada setiap rantai produksi merupakan
permasalahan mendasar yang menyebabkan upaya mempertahankan mutu ikan
tidak mengalami perkembangan.
Selain faktor potensi sumberdaya ikan, teknologi, pemasaran dan mutu,
pengembangan usaha perikanan tenggiri juga dipengaruhi oleh kelayakan usaha.
Pada usaha perikanan tenggiri dengan menggunakan alat tangkap gillnet dan
pancing dengan analisis usaha, maka nilai ROI dan PP memiliki nilai yang layak
untuk dikembangkan. Nilai imbangan penerimaan dan biaya (R/C) telah memberi
manfaat yang positif, artinya usaha tersebut dapat dilaksanakan. Usaha tersebut
akan lebih banyak memberikan keuntungan dan layak untuk dikembangkan,
apabila modal usaha berasal dari bantuan. Usaha perikanan tenggiri dengan alat
tangkap gillnet dan pancing dengan analisis kriteria investasi, maka nilai NPV>0,
net B/C>1 dan IRR> tingkat suku bunga yang berlaku 12%. Besarnya nilai Net
B/C dan ROI dipengaruhi oleh hasil tangkapan dan biaya usaha yang
dikeluarkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sobari et al. (2007), bahwa
besarnya nilai Net B/C, BEP dan ROI sangat dipengaruhi oleh hasil tangkapn
yang diperoleh dan besarnya biaya usaha yang dikeluarkan. Hal ini menunjukkan
usaha tersebut layak untuk dikembangkan (Lampiran 24).
Kenaikan harga bahan bakar solar pada usaha perikanan tenggiri dengan
alat tangkap gillnet dan pancing ulur sebesar 112% dan pada pancing ulur
sebesar 114,5% dengan demikian dapat dikatakan bahwa usaha tersebut tidak
sensitif terhadap kenaikan harga bahan bakar solar. Apabila sampai terjadi
kenaikan harga bahan bakar solar, maka sebaiknya harga jual ikan per kg
dinaikkan. Selain itu, perlu adanya bantuan subsidi solar dari pemerintah atau
membentuk agen yang khusus untuk menjual alat dan bahan untuk perbekalan
dan peralatan melaut seperti solar, sehingga harga beli solar akan sama dengan
harga yang beredar di pasaran atau pemerintah memberikan subsidi solar,
sehingga harga beli solar akan terjangkau oleh nelayan.
Penurunan harga ikan pada unit usaha penangkapan tenggiri dengan
gillnet sebesar 28% dan pada usaha pancing ulur sebesar 24,5% dari Rp
28.500,00 per kg menjadi Rp 23.581,17 per kg usaha menjadi tidak layak dan
menjadi sensitif terhadap pengembangan usaha. Hal ini harus diperhatikan oleh
103

Stakeholder (pelaku usaha) untuk tetap menjaga mutu ikan agar harga ikan tetap
stabil.
Pengembangan sistem usaha perikanan tenggiri berdasarkan sistem
bisnis perikanan harus didukung pula dengan adanya infrastruktur/fasilitas
seperti pelabuhan perikanan atau minimal pangkalan pendaratan ikan (PPI) yang
memadai mengingat fasilitas ini hanya terfokus pada PPP Sungailiat, akan tetapi
PPI belum memadai. Lubis (2002) dan Murdiyanto (2004) mengemukakan bahwa
pelabuhan perikanan atau pangkalan pendaratan ikan (PPI) yang merupakan
basis utama kegiatan industri perikanan tangkap harus dapat menjamin
suksesnya aktivitas usaha perikanan tangkap di laut, sehingga usaha
peningkatan produksi dapat dicapai.
Pengembangan usaha perikanan sangat membutuhkan infrastruktur yang
memadai. Infrastruktur dari usaha perikanan tenggiri relatif lengkap, akan tetapi
kapasitas dari infrastruktur tersebut belum memadai, sehingga pemanfaatannya
kurang otimal. Infrastruktur yang menjadi kendala dalam pengembangan usaha
perikanan adalah ketersediaan solar dan listrik.
Kendala ketersediaan solar yaitu sulitnya nelayan untuk mendapatkan
solar saat hendak melaut dan mengalami pembagian jatah, sedangkan kendala
ketersediaan listrik yaitu terlihat dengan sering adanya pemadaman listrik oleh
PLN untuk wilayah Bangka. Selain itu kendala yang dihadapi pada saat ini yaitu
kapal perikanan yang berukuran > 10 GT sulit untuk melakukan aktivitas tambat
labuh pada dermaga ataupun kolam pelabuhan terutama pada saat air surut
terendah. Keadaan kolam pelabuhan saat ini kotor yang disebabkan adanya
pembuangan oli-oli bekas dan sampah dari kapal berasal dari tailing timah
(bekas limbah galian timah), kotoran manusia, sehingga mengakibatkan
sedimentasi di sekitar kolam pelabuhan.
Kendala dalam infrastruktur tersebut diduga akan mengakibatkan
pengembangan usaha perikanan tidak akan mengalami perubahan yang berarti.
Oleh karena itu satu-satunya hal yang perlu dilakukan adalah menyediakan
infrastruktur bagi masing-masing pelaku bisnis perikanan (stakeholder).
Sehubungan dengan hal tersebut, dengan berdasarkan hasil penelitian ini,
berikut beberapa rekomendasi alternatif kebijakan yang diajukan :
1) Membuat dan menetapkan regulasi tentang pemanfaatan sumberdaya
perikanan di Kabupaten Bangka, meliputi tingkat effort optimal sebesar 382-
383 trip per bulan, volume produksi optimal sebesar 12,89 ton per bulan
104

sehingga tercapainya rente ekonomi yang optimal yaitu antara Rp


11.481.740.000,00-Rp 22.869.550.000,00.
2) Membuat dan menetapkan regulasi tentang pengurangan dan pembatasan
alat tangkap (restriction gear) sumberdaya ikan.
3) Menciptakan daerah-daerah perlindungan laut (marine protected areas)
4) Melakukan MSCE dalam hal usaha perikanan tenggiri.
5) Melakukan usaha penangkapan pada musim-musim tertentu (musim ikan).
6) Memperluas daerah penangkapan sampai ke luar dari Perairan Kabupaten
Bangka, yaitu mencapai Laut Cina Selatan, Selat Gelasa sampai dengan
Perairan Belitung yang merupakan daerah potensial ikan tenggiri.
7) Menarik investor untuk menanamkan modalnya dalam kegiatan pra produksi,
produksi maupun pemasaran, guna pengembangan dari usaha perikanan
tenggiri yang telah ada.
8) Membuat standar mutu produk serta merancang program-program
pembinaan mutu kepada nelayan maupun pengumpul sebagai mitra usaha.
Tujuannya adalah agar produk yang di pasarkan memiliki harga jual yang
tinggi, sehingga mempengaruhi margin pemasaran dari masing-masing
pelaku bisnis perikanan.
9) Adanya pembinaan dari pemerintah teknis pembinaan juga dapat dilakukan
melalui pengolah/perusahaan perikanan sebagai rantai terakhir produksi.
10) Perlu adanya Perda mengenai penetapan harga dasar hasil perikanan
khususnya harga ikan tenggiri di Kabupaten Bangka yang meminimalisasi
perbedaan harga komoditas.
11) Adanya perubahan sistem manajemen seperti dalam hal pengawasan
distribusi solar secara ketat karena adanya indikasi penggunaan solar bukan
berasal dari kalangan nelayan melainkan dari penambang timah
inkonvensional (TI apung).
12) Adanya pengembangan fasilitas pelabuhan perikanan di Kabupaten Bangka
yang semula PPP menjadi PPN seperti fasilitas kolam, perluasan darmaga
dan alur.
105

6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1) Produksi aktual rata-rata pada usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka


yaitu sebesar 17,41 ton, sedangkan pada kondisi MSY yaitu sebesar 13,37
ton dan kondisi MEY sebesar 12,69 ton. Effort aktual rata-rata pada usaha
perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka yaitu sebesar 798 trip per bulan
sedangkan pada kondisi MSY sebesar 491 trip dan kondisi MEY sebesar 381
trip. Pemanfaatan sumberdaya ikan tenggiri di perairan Kabupaten Bangka
diduga telah terjadi overfishing baik secara biologi mau pun ekonomi. Jumlah
unit alat tangkap yang optimal sebanyak 167-168 unit.
2) Pengembangan usaha perikanan tenggiri berdasarkan pendekatan sistem
bisnis perikanan jika dilihat dari sub sistem yang ada layak dikembangkan,
faktor infrastruktur dan pemasaran perlu ditingkatkan.
106

3) Alternatif pengembangan usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka


yang harus dilakukan yaitu pengurangan dan pembatasan alat tangkap dan
effort ikan tenggiri, menciptakan MPA, melakukan MSCE, memperluas
daerah penangkapan, menarik investor untuk menanamkan modalnya dalam
kegiatan pra produksi, produksi mau pun pemasaran, adanya perubahan
sistem manajemen dalam hal pengawasan distribusi solar, adanya
pengembangan fasilitas pelabuhan perikanan di Kabupaten Bangka yang
semula PPP menjadi PPN.

6.2 Saran

1) Agar membuat kebijakan pengelolaan perikanan tenggiri terutama dalam hal


zonasi pemanfaatan dan alokasi usaha pemanfaatan sumberdaya perikanan
tenggiri berdasarkan pemanfaatan optimal lestari oleh pemerintah daerah
dengan instansi terkait.

2) Perlu adanya dukungan dari pemerintah dan pelaku bisnis perikanan


(stakeholder) dalam penyediakan infrastruktur untuk mendukung
pengembangan usaha perikanan di Kabupaten Bangka.

3) Perlu dilakukan kajian yang lebih luas yaitu menyangkut pengembangan


sumberdaya beberapa komoditas ikan lainnya dengan menambah analisis
aspek manajemen dan kelembagaan sebagai dasar pengambilan keputusan
pada pengembangan perikanan di Kabupaten Bangka.
107

DAFTAR PUSTAKA

Alhidayat SA. 2002. Kajian Pengelolaan Perikanan Tangkap di Kabupaten


Kotabaru Kalimantan Selatan [tesis] (tidak dipublikasikan). Bogor :
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 77 hlm.

Arikunto S. 2000. Manajemen Penelitian, Edisi Baru. Jakarta : Rieneka Cipta.


645 hlm.

Arimoto T, SJ Choi and YG Choi. 1999. Trend and perspectives for Fishing
Technology Research Towards the sustainable Development. In
Proceeding of 5th Internasional Symposium on Efficient Aplication and
Preservation of Marine Biological Resorces OSU National University.
Japan. P135-144.

Ayodhyoa AU. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Bogor : Yayasan Dewi Sri. 97
hlm.

Aziz KA. 1989. Pendugaan Stok Populasi Ikan Tropis. [Bahan Pengajaran] (tidak
dipublikasikan). Bogor : Pusat antar Universitas Ilmu Hayati. 89 hlm.

Bahari R. 1989. Peranan Koperasi Perikanan dalam Pengembangan Perikanan


Tangkap. [Prosiding] Temu Karya Ilmiah Perikanan Rakyat; Jakarta, 18-19
Desember 1991. Jakarta : Pusat Penelitian Perikanan dan Pengembangan
108

Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen


Pertanian. hlm 165-180.

[BRPL] Balai Riset Perikanan Laut 2004. Musim Penangkapan Ikan di Indonesia.
Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan.116 hlm.

Barus HR, Badrudin, N Naamin. 1991. Potensi Sumberdaya Perikanan Laut dan
Strategi Pemanfaatannya Bagi Pengembangan Perikanan yang Berkelanjutan.
[Prosiding] Forum II Perikanan; Sukabumi, 18-21 Juni 1991. Jakarta : Pusat
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. hlm 165-180.

Brandt A V. 1984. Fish Catching Methods of the World. Fourth Edition. England :
Blackwell Publishing Ltd. 523 p.

Choliq A, O Sofwan, RA Wirasasmita. 1993. Evaluasi Proyek (Suatu Pengantar).


Bandung : Pionir Jaya.

Clark CW. 1985. Bioeconomic Modelling and Fisheries Management.


Departement of Mathematics Univesity of British Columbia. A Willey-
Interscience Publication John Wiley and sons. New York.300 p.

Clark CW and G Munro. 1975. The Economics of Fishing and Modern Capital
Theory. A Simplified Approach. Journal of Environmental Economics and
Management 2 : 92-106.

Clarke RP, SS Yoshimoto, SG Pooley. 1992. A Bioeconomic Analysis of the


North Western Hawaiian Island Lobster Fishery. Marine Resorce
Economics 7(2) : 115-140.

Dajan A. 1983. Pengantar Metode Statistik. Jilid I. Jakarta : LP3ES. Hlm 313-332.

Darmawan. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan : Instrumen dan


Ketentuan Internasional. Buletin PSP 10(1) : 75-84.

Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. 2005.


Laporan Tahunan 2004. Pangkalpinang : Dinas Kelautan dan Perikanan.
32 hlm.

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka. 2006. Data Perikanan


Kabupaten Bangka 2005. Sungailiat : DKP Kabupaten Bangka. 118 hlm.

[Ditjen] Direktorat Jenderal Perikanan.1990. Buku Pedoman Pengenalan


Sumberdaya Perikanan Laut. Bagian I. Jenis-jenis Ikan Ekonomis Penting.
Jakarta : Departemen Pertanian. 170 hlm.

.1994. Repelita VI Perikanan. Jakarta


: Departemen Pertanian.

Djamin Z. 1984. Perencanaan dan Analisa Proyek. Jakarta : Lembaga Penelitian


Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 167 hlm.
109

[FAO] Food Agricultural Organization. 1983. An annoted and ilustrated cataloque


of Tunas, mackarels, Benitos and Related Spesies Known to Date. Rome :
Food and Agriculture of United Nations. 137 P.

Fauzi A. 2001. An Economic analysis of the Surplus Production Function : An


Aplication for Indonesian Small Pelagic Fishery. Paper Presented at the
National Seminar Persada (Japanese Alumni Association). Bogor 20
January 2001. 135 p.

Fauzi A. 2005. Kebijakan perikanan dan Kelautan: Isu, Sintesis dan Kebijakan.
Jakarta: PT.Gramedia. 185 hlm.

.2006. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Jakarta : PT


Gramedia Pustaka Utama. 259 hlm.

Fauzi A dan Anna S. 2005. Permodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan.


Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 343 hlm.

Friedman AL. 1988. Perhitungan dalam Merancang Alat Penangkap Ikan.


Penterjemah BPPI Semarang. Edisi 2. Semarang : Balai Pengembangan
Penangkapan Ikan. 586 hlm.

Fyson J. 1985. Design of Small Fishing Vessel. England : Fishing News Books
Ltd. 219 hlm.
Gordon HS.1954. The Economic Theory of Acommon Property Resource. The
Fishery. Journal of Political Economiy 62:124-142.

Gray C, P Simanjuntak, KS Lien, PFL Maspaitella dan RCG Varley. 1993.


Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 328 hlm.

Gulland JA. 1985. Fish Stock Assestment : A Manual of Basic Methods. New
York : John Wiley and Sons. 223 hlm.

Haluan J dan TW Nurani. 1988. Penerangan Metode Skoring dalam Pemilihan


Teknologi Penangkapan Ikan yang Sesuai dengan dikembangkan di Suatu
Wilayah Perairan. Bulletin Jurusan PSP 2:3-16.

Hamdan, DR Monintja, J Purwanto, S Budiharsono dan A Purbayanto. 2006.


Analisis Kebjakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di
Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat. Buletin PSP 15(3) : 86-101.

Hanafiah AM dan AM Saefuddin. 1978. Tata Niaga Hasil Perikanan. Jakarta :


Universitas Indonesia. 207 hlm.

Hannesson R. 1993. Bioeconomic Analysis of Fisheries. FAO. Bodmin-Cornwal :


Hartnolls Ltd. 138 p.

Hernanto F.1989. Ilmu Usaha Tani. Jakarta : Penebar Swadaya. 309 hlm.

Kadariah, L Karlina, C Gray. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Revisi.


Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 181 hlm.
110

Kaneda Y. 1995. Fisheries and Fishing Methods of japan. Shjezando-Shoten


Publishing Co., Ltd., Tokyo. 214 p.

Khotimah K, Sutawi, Maleha, SH Evita. 2002. Evaluasi Proyek dan Perencanaan


Usaha. Jakarta : Ghalia Indonesia. 124 hlm.

Kottelat M, AJ Whitten, SN Kartikasari, S Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater fishes


of Western Indonesia and Sulawesi. Indonesia : Periplus editions (HK) Ltd.
293p.

Lubis E. 2002. Pengantar Pelabuhan Perikanan. Laboratorium Pemanfaatan


Sumber daya Perikanan. Jurusan Pemanfaatan Sumber daya Perikanan.
Bogor : Institut Pertanian Bogor. 66 Hlm.

Manurung VT, T Pranadji, A Mintoro, MN Kirom, Isetiaji, A Murtiningsih dan


Sugiarto, 1998. Laporan Hasil Penelitian Pengembangan Ekonomi Desa
Pantai. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Jakarta : Badan Litbang
Pertanian. Deptan. 165 hal.

Martasuganda S, ES Wiyono dan S Walus. 2002. Pendekatan Bioekonomi dan


Bioteknik dalam Manajemen Sumberdaya Ikan Cakalang (Katsuwonus
pelamis) di Perairan Pelabuhan Ratu. Buletin PSP 11(1) :19-27.
Martosubroto P, N Naamin, BBA Malik. 1991. Potensi dan Penyebaran
Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta: LIPI.

Monintja DR dan S Martasuganda. 1991. Teknologi Pemanfaatan Sumberdaya


Hayati Laut II. [Diktat Kuliah] (tidak dipublikasikan). Bogor : Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 89 hlm.

Monintja DR. 1994. Pengembangan Perikanan Tangkap Berwawasan Lngkungan.


[Makalah] Disampaikan pada Seminar Pengembangan Agribisnis Perikanan
Berwawasan Lingkungan pada Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. Jakarta :
Agustus 1994. 12 hlm.

Murdiyanto B 2004. Pelabuhan Perikanan. Fungsi, Fasilitas, Panduan


Operasional, Antrian Kapal. Jurusan Pemanfaatan Sumber Daya
Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor : Institut
Pertanian Bogor. 142 Hlm.

Murniyati AS. 2004. Biologi 100 Ikan Laut Ekonomis Penting di Indonesia. Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Perikanan. Jakarta : Departemen Kelautan dan
Perikanan. 202 hlm.

Rahim A. 2005. Analisis Margin Pemasaran Ikan laut Segar di TPI Mina Bahtera
Kabupaten Kulon Progo. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan 15(3):157-
162.

Rasdani M. 2004. Tata Laksana Untuk Perikanan yang Bertanggungjawab


Dalam Bidang Perikanan Tangkap di Indonesia. Semarang : Balai
Pengembangan Penangkapan Ikan. 36 hlm.
111

Saanin H. 1994. Taksanomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan II. Bandung :
Penerbit Bina Cipta. 85 hlm.

Sainsbury JC. 1986. Commercial Fishing Methods: an Introduction to Vessels and


Gears. England : Fishing New Books, Ltd. Farnham. P. 112-140

Schaefer MB. 1954. Some Consideration of Population Dynamic and Economic


in Relation to the Manegement of the Commercial Marine Fisheries. Bull.
Inter-Am. Trop. Tuna. Comm 1:27-56.

Sobari MP, Karyadi, Diniah. 2006. Kajian aspek Bio-Teknik dan Finansial
Terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Teri di Perairan Pamekasan
Madura. Buletin Ekonomi Perikanan 6(3) :16-25.

Soeharto. 2002. Studi Kelayakan Proyek Industri. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Sparre P dan SC Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan tropis Buku I.
Penterjemah Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan
Penelitian dan pengembangan Pertanian. (Berdasarkan Kerjasama dengan
Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa). Jakarta :
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Terjemahan dari:
Introduction to Tropical Fish Stock Assesment Part 1. 438 hlm.

Subani W dan HR Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang laut di Indonesia..
Jurnal Perikanan Laut 50 : 93 -112.
Sugiarto, T Herlambang, Brastoro, R Sudjana dan S Kelana. 2002. Ekonomi Mikro:
Sebuah Kajian Komprehensif. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 514 hlm.

Sugiyono. 2004. Metode Penelitian Bisnis. Bandung : ALFABETA. 335 hlm.

Suratman. 2001. Studi Kelayakan Proyek. Yogyakarta : J&J Learning. 264 hlm.

Sutisna, DH Monintja, MS Baskoro, SH Wisudo. 2007. Analisis Teknologi


Pennagkapan Ikan Pilihan di Pantai Selatan Provinsi Jawa Barat. Buletin
PSP 16(1).

Sutoyo. 1993. Studi Kelayakan Proyek : Teori dan Praktek. Jakarta: PT Pustaka
Binaman Pressindo.

Syafrin N. 1993. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Usaha


Penangkapan Ikan [tesis] (tidak dipublikasikan). Bogor : Program Pasca
Sarjana IPB. hlm 79.

Tribawono D. 2002. Hukum Perikanan Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti.


227 hlm.

Umar H. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Edisi Kedua Jakarta : PT Gramedia


Pustaka Utama. 459 hlm.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta : CV Eko


Jaya. 191 hlm.
Widodo J. 2002. Pengantar Pengkajian Stok Ikan. Jakarta: Pusat Riset Perikanan
Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan. 16 hlm.
112

Wiyono ES. 2001. Optimasi Manajemen Perikanan Skala Kecil di Teluk


Pelabuhan Ratu Jawa Barat. Buletin PSP 10(1) : 33-47.

Yeap Soon-Eong and Tan Sen-Min. 2002. Issues Facing the Traditional Fish
Products Industry in Southeast Asia. JIRCAS International Symposium 6
: 115–121.

Zarohman. 1996. Hubungan Ukuran Kapal Ikan Daya Penggerak dan Alat
Tangkap. Semarang : BPPI. 85 hlm.

Anda mungkin juga menyukai