DI KABUPATEN BANGKA
PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG :
SUATU PENDEKATAN SISTEM BISNIS PERIKANAN
ARIEF FEBRIANTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
1
2
1 PENDAHULUAN
faktor mutu dan pemasaran, kelayakan usaha dan infrastruktur. Untuk itu upaya
pengembangan perlu mempertimbangkan berbagai faktor yang terkait
berdasarkan pendekatan sistem bisnis perikanan.
1) Dapat dijadikan informasi bagi pengusaha dan nelayan mengenai sistem dan
manajemen usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka.
2) Dapat dijadikan informasi dan acuan bagi pemerintah dalam memanfaatkan
dan mengembangkan usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka.
3) Dapat dijadikan informasi tentang pengembangan sistem bisnis perikanan
tenggiri di Kabupaten Bangka.
Analisis
Analisis usaha efektivitas dan
Analisis teknik Analisis kondisi pasar Analisis mutu dan analisis Proses
daya dukung
komoditas kriteria investasi
infrastruktur
6
1
2 TINJAUAN PUSTAKA
Ikan tenggiri merupakan jenis ikan yang tergolong ekonomis penting dan
menjadi salah satu ikan yang digemari di dunia. Penyebaran spesies ini
1
2
mencakup seluruh wilayah Indo-Pasifik Barat dari Afrika Utara dan Laut Merah
sampai ke Perairan Indonesia, Perairan Australia dan Perairan Fiji ke Utara
sampai ke Perairan China dan Jepang. Menurut Martosubroto et al. (1991),
potensi dan penyebaran ikan tenggiri (narrow-barred spanish mackerel) di
Indonesia hampir di seluruh wilayah perairan (Tabel 1).
Menurut Saanin (1994), Kottelat et al. (1993) dan Murniyati (2004), ikan
tenggiri termasuk dalam ordo Percomorphi, sub ordo Scombroidea, ordo
Percomorphi, famili Scombridae dan genus Scomberomorus. Ciri-ciri morfologi
ikan tengiri yaitu bentuk badan memanjang, gepeng, memiliki gigi-gigi pada
rahang lancip, kuat dan gepeng. Tapisan insang (2-4) + (8-12) pada busur insang
pertama. Sirip punggung pertama berjari-jari keras 15-17 dan yang kedua berjari-
jari lemah 16, diikuti 9 jari-jari sirip tambahan. Sirip dubur berjari-jari lemah 18-20
dan diikuti 9 jari-jari sirip tambahan. Garis rusuk hampir lurus sampai di bawah
sirip punggung kedua, kemudian berkelok-kelok sampai dengan batang ekor.
Ikan tenggiri termasuk ikan buas, karnivora dan predator. Hidup menyendiri atau
membentuk gerombolan kecil di perairan pantai dan lepas pantai. Ikan tenggiri
3
Tubuh ikan tenggiri bagian atas berwarna abu-abu kebiruan dan bagian
bawah putih-keperakan. Pada bagian atas sampai dengan pertengahan badan
terdapat beberapa strip berupa garis-garis putus berwarna hitam sepanjang
badan. Sirip-siripnya berwarna kuning kemerahan kecuali strip punggungnya
dimana jari-jari kerasnya berwarna putih keabuan (Kottelat et al.1993).
Menurut Kottelat et al. (1993) dan Murniyati (2004), habitat ikan tenggiri
adalah di perairan pantai, lepas pantai seluruh Indonesia, Teluk Benggala dan
Teluk Siam. Hasil penelitian FAO, ukuran ikan tenggiri pada saat pertama kali
matang gonad mencapai 65-70 cm (FAO 1983). Beberapa hasil penelitian di
Australia, India dan Afrika menunjukkan bahwa ukuran ikan tenggiri pada saat
pertama kali matang gonad adalah 55-80 cm.
dx
= f (x)
dt
x
= x.r 1 −
k
Keterangan :
dx
= Laju perlumbuhan biomassa
dt
f(x) = Fungsi pertumbuhan populasi biomassa
x = Ukuran kelimpahan biomassa
r = Laju pertumbuhan alami (intrinsik)
k = Daya dukung alam (carrying capacity)
f (x)
MSY
0 ½k k x
Gambar 3 Kurva pertumbuhan logistik (Schaefer 1954 diacu dalam Fauzi
2006)
terhadap kelimpahan stok ikan. Hubungan antara kedua upaya tersebut dapat
digambarkan melalui persamaan berikut :
h = q.E
h = q.E.x
dx
= f ( x) − h
dt
dx x
= x.r 1 − − q.E.x
dt K
h = q.x.E3
f (x) h = q.x.E2
h = q.x.E1
h2
h3 h1
dx
= f ( x) − h
dt
h = f ( x)
x
q.E.x = x.r 1 −
k
q.E
x = k 1−
r
q2k 2
h = q.k .E − .E
r
Persamaan tersebut merupakan persamaan kuadratik dan dapat digambarkan
pada Gambar 5.
9
h(E)
hMSY
Gambar 5 Kurva produksi lestari upaya (Schaefer 1954 diacu dalam Fauzi 2006)
h q 2 .k
= q.k − .E
E r
CPUE = a − b.E
dimana :
10
q 2 .k
a = q.k dan b =
r
Keterangan :
a r
E MSY = =
2b 2q
a 2 r.k
hmsy = =
4b 4
2r 2− r q
ln (U t + 1 ) = ln ( q.k ) + ln(U t ) − ( Et + Et + 1 )
2+ r 2+ r 2+ r
Dengan meregresikan CPUE yang disimbolkan dengan U pada periode t+1, dan
U pada periode t serta penjumlahan effort pada periode t dan t+l akan diperoleh
koefisien r, q dan k secara terpisah.
Model produksi hanya dapat mengetahui potensi produksi sumberdaya
perikanan dan belum mampu menunjukkan potensi industri penangkapan ikan
dan tingkat pengusahaan maksimum bagi masyarakat. Teori ekonomi perikanan
yang didasarkan sifat biologis populasi ikan ditujukan untuk memahami perilaku
ekonomi dari industri penangkapan ikan. Pendekatan yang memadukan
kekuatan ekonomi yang mempengaruhi industri penangkapan dan faktor biologi
yang menentukan produksi dan suplai ikan disebut sebagai pendekatan bio-
ekonomi (Clark 1985).
11
TR = p.h
q 2. k 2
TR = p q.k .E − .E
r
q.E
TR = p q.k .E 1 −
r
Keterangan :
TR = Penerimaan total
p = Harga rata-rata ikan layur
h = Hasil tangkapan
TC = c.E
Keterangan :
TR = Total biaya penangkapan ikan persatuan upaya
c = Biaya penangkapan ikan persatuan upaya
E = Upaya penangkapan
π = TR − TC
q.E
π = p. q.k .E 1 − − c.E
r
12
Keterangan :
π = Keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya
Gambar 6 Kurva perikanan bebas tangkap (Gordon 1954 diacu dalam Fauzi
2006)
TR = p(h).h
p (h).h
AR = = p ( h)
h
∂ TR ∂ p (h).h
= = p' (h).h + p (h) = MR
∂h ∂h
Kurva biaya marginal merupakan turunan pertama (kemiringan atau slope) dari
biaya total yang merupakan konstanta.
∂ TC
= c
∂E
14
2.4.2 Teknologi
Seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1988), dapat dilakukan
melalui pengkajian pada aspek “bio-technico-socio-economi-approach” oleh
karena itu ada (4) empat aspek yang harus dipenuhi oleh suatu jenis teknologi
penangkapan ikan yang dikembangkan, yaitu (1) jika ditinjau dari segi biologi
tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumber daya, (2) secara teknis
efektif digunakan, (3) secara sosial dapat diterima masyarakat nelayan dan (4)
secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan. Satu aspek yang
tidak dapat diabaikan adalah kebijakan dan peraturan pemerintah.
Aspek teknologi dilakukan untuk melihat hubungan faktor-faktor teknik
yang mempengaruhi produksi, yaitu desain dan konstruksi, teknik pengoperasian
dan alat bantu penangkapan serta CPUE dalam usaha penangkapan ikan
tenggiri. Menururt Sppare dan Venema (1999) penilaian aspek teknik dilakukan
terhadap :
1) Hasil tangkapan per tahun (kg);
2) Upaya penangkapan per tahun (unit);
3) Produksi per alat tangkap.
Menurut Friedman (1988), merancang alat tangkap adalah proses
mempersiapkan uraian teknik dan menggambar alat tangkap agar memenuhi
syarat-syarat penanganan alat, teknik, operasional, ekonomis dan sosial. Analisis
teknis lain yang dilakukan yaitu perhitungan nilai produktivitas, baik produktivitas
terhadap alat tangkap ikan tenggiri, produktivitas terhadap trip, maupun
produktivitas terhadap nelayan. Produktivitas merupakan perbandingan antara
hasil yang dicapai dengan keseluruhan sumberdaya yang dipergunakan.
dan senar. Mata pancing terbuat dari baja, kuningan atau bahan lain yang tahan
karat (Subani dan Barus 1989).
Pancing ulur merupakan alat tangkap yang sederhana dan telah dikenal
oleh masyarakat luas terutama nelayan. Alat tersebut dapat dioperasikan oleh
nelayan kecil, karena hanya membutuhkan modal yang kecil dan tidak
memerlukan kapal khusus (Brandt 1984). Menurut Monintja dan Martasuganda
(1991), perikanan pancing dapat dioperasikan dimana saja, dimana alat tangkap
lain tidak dapat beroperasi, seperti di perairan dalam dan kondisi berarus kuat.
Alat tangkap pancing dapat dioperasikan oleh siapa saja, namun diperlukan
keahlian dalam pengoperasian dan pengetahuan tentang sifat dari jenis ikan
sasaran penangkapan, sehingga dapat diperoleh hasil tangkapan yang
diharapkan.
Menurut Ayodhyoa (1981), dibandingkan dengan alat tangkap lain
keunggulan dari penggunaan pancing sebagai berikut :
(1) Struktur alat pancing tidak rumit dan penggunaannya mudah;
(2) Organisasi usahanya kecil, sehingga tidak banyak membutuhkan modal dan
SDM;
(3) Syarat fishing ground sedikit, sehingga lebih bebas memilih;
(4) Pengaruh cuaca dan suasana alam relatif kecil;
(5) Kesegaran hasil tangkap terjamin.
Kelemahan alat tangkap pancing ulur diantaranya :
(1) Tidak dapat menangkap ikan dalam jumlah banyak dalam waktu singkat;
(2) Memerlukan umpan;
(3) Diperlukan keahlian memancing perseorangan;
(4) Karena merupakan alat tangkap yang pasif maka tertangkapnya ikan sangat
ditentukan oleh ketertarikan pada umpan.
Cara pengoperasian hand line yaitu dengan mengulurkan pancing secara
vertikal ke bawah. Ujung tali yang satu berada di tangan nelayan dan ujung tali
lainnya yang terdapat mata pancing diulur sampai ke kedalaman tertentu yang
diduga merupakan tempat berkumpulnya ikan. Apabila umpan yang melekat
pada mata pancing dimakan oleh ikan, maka tali pancing ditarik dengan cepat ke
permukaan dan ikan yang tertangkap akan diambil dan dimasukkan ke dalam
palka. Selanjutnya dilakukan pemasangan umpan dan slap dilakukan setting
kembali.
18
2.4.2.2 Kapal
Menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, kapal
perikanan adalah kapal, perahu atau alat apung yang dipergunakan untuk
melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan,
pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan-pelatihan
perikanan dan penelitian atau eksplorasi perikanan. Kapal merupakan salah satu
sarana di laut untuk melakukan operasi penangkapan ikan. Kapal adalah alat
khusus yang sengaja dibentuk untuk menjalankan tugas tertentu, ukuran,
perlengkapan, dek, kapasitas daya angkut, akomodasi, mesin dan semua
perlengkapan dihubungkan dalam melaksanakan operasi penangkapan (Fyson
1985).
Umumnya kapal ikan yang digunakan untuk menangkap ikan tenggiri
adalah jenis kapal dengan mesin inboard. kapal ini dibuat dari kayu seperti kayu
jati (Tectona grandis) dan sengon (Paraserianthes falcataria). Perahu ini
dilengkapi dengan penyeimbang yang terbuat dari kayu atau bambu yang
biasa disebut kincang, terletak di samping kanan dan kiri perahu. Kincang
berguna untuk menjaga keseimbangan perahu. Panjang dari perahu berkisar
6-13 m dengan lebar 1-3 m dan kedalaman 0,8-3 m. Sebagai alat penggerak,
perahu ini dilengkapi oleh motor tempel dengan kekuatan sekitar 15-30 GT.
Agar perahu berjalan lancar, perahu dilengkapi dengan jangkar kayu, serok
dan petromak.
2.4.2.3 Nelayan
Dalam Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan,
nelayan diklasifikasikan berdasarkan waktu yang digunakannya untuk
melakukan operasi penangkapan ikan, yaitu sebagai berikut :
(1) Nelayan penuh, yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan
untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air
lainnya/tanaman air.
20
(2) Nelayan sambilan utama, yaitu nelayan yang sebagian besar waktu
kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan
ikan/binatang/tanaman air. Disamping melakukan pekerjaan penangkapan
nelayan kategori ini dapat mempunyai pekerjaan lain.
(3) Nelayan sambilan tambahan, yaitu nelayan yang sebagian kecil waktunya
digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan.
2.5 Pemasaran
Ps − Pb
AGM =
V
Dengan cara menetapkan suatu saluran pemasaran tertentu dan mencari
average gross margin dari urutan pedagang yang mengambil bagian dalam
saluran tersebut, maka margin pemasaran dari keseluruhan saluran
pemasaran dapat diketahui.
3) Harga-harga pada tingkat pemasaran yang berbeda dapat dibandingkan.
Metode ini tergantung pada tersedianya serangkaian harga menurut waktu
yang representative dan comparable pada setiap tingkat pemasaran.
NPV digunakan untuk mengetahui apakah suatu usulan proyek investasi layak
dilaksanakan atau tidak dengan cara mengurangkan antara PV dan aliran kas
bersih operasional atas proyek investasi selama umur ekonomis termasuk
terminal cash flow dengan initial cash flow (initial investment). Jika NPV positif,
usulan proyek investasi dinyatakan layak, sedangkan jika NPV negatif dinyatakan
tidak layak. Penentukan PV atas aliran kas operasional dan terminal cash flow
didasarkan pada cost of capital sebagai cut off rate atau discount factor-nya.
Keunggulan metode NPV adalah metode ini telah mempertimbangkan
nilai waktu uang dan menggunakan dasar aliran kas secara keseluruhan dalam
umur ekonomis untuk perhitungannya. Sementara itu jika dibandingkan dengan
metode IRR dan PP tidak menunjukkan nilai absolutnya (Suratman 2001).
sekarang biaya bruto. Metode net B/C ini membandingkan nilai discount net
benefit positif dengan discount net benefit negative, apabila net B/C > 1 maka
proyek dianggap layak untuk dilanjutkan. Jika net B/C < 1 maka proyek dianggap
tidak layak untuk dilanjutkan. Kritera ini menggambarkan seberapa besar bagian
biaya proyek yang setiap tahunnya tidak dapat tertutup oleh manfaat proyek
(Kadariah et al. 1999).
24
3 METODOLOGI PENELITIAN
NZ 2 x 0,25
n=
[ ] (
d 2 x ( N − 1) + Z 2 x 0,25 )
Dimana :
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
Z = Standar deviasi
D = Tingkat kesalahan
Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data primer diambil melalui mekanisme pengukuran/ pengamatan
langsung terhadap aktivitas perikanan serta wawancara dengan pelaku sistem
26
Teknik
Jumlah
No. Pelaku sistem Data yang dikumpulkan pengumpulan
sampel
data
I. Pra produksi
1. Pabrik es 1 - Kapasitas produksi Wawancara
- Daerah pemasaran
2. PPP 1 - Gambaran PPP Sungailiat Wawancara
Sungailiat
II. Produksi
1. Nelayan 53 - Spesifikasi teknis unit Pengukuran
penangkapan :
a. Ukuran dan bahan alat tangkap Wawancara
b. Dimensi kapal dan permesinan
c. Metode operasi
d. Lama trip
e. Jumlah ABK
- Musim dan daerah penangkapan
- Jumlah dan jenis ikan
- Proses penanganan Ikan
- Biaya operasional
- Biaya tetap
III. Pemasaran
1. Pedagang 14 - Mekanisme pengumpulan ikan Wawancara
Pengumpul - Jumlah ikan yang dikumpulkan
- Pendistribusian ikan
- Komponen biaya
7. Data pengiriman hasil perikanan dari PPP 2006 DKP Kab. Bangka
Sungailiat 2005
Ci CPUEi
CPUEi = ; FPIi =
Ei CPUEs
n
Estd = ∑
i= 1
(FPIi x effort ke-i)
Keterangan:
q2
dimana : α = qk dan β =
r
Upaya tangkapan yang dilakukan pada saat perolehan maksimam lestari ,
didapatkan pada saat
h = α E − β E2
δh
= 0
δE
δh
= 0, maka
δE
α − 2β E = 0
qrk r
α = =
E msy = Ekq 2
2q
2β
Hasil tangkapan maksimum lestari, yaitu:
h = α E − β E2
2
α α
h = α − β
2β 2β
α 2 α 2
h= −
2β 4β
α 2 q 2 rk rk
hmsy = = =
4β 4kq 4
30
C=
∑ Ci
n
Keterangan:
C = Biaya penangkapan rata-rata
31
1 n TC n
1/ t
hit CPIt
Csdt.t = ∑ i
∑ . x100
n i = 1 ∑ E i i = 1 ∑ (hi + h j ) CPIsdt
Keterangan :
Csdt.t = Biaya per unit standarisasi effort pada periode ke t
TCi = Total biaya untuk alat tangkap ke-i
Ei = Total effort untuk alat tangkap ke-i
hit = Produksi alat tangkap ke-i pada periode ke t
∑ (hi+hj) = Total produksi seluruh alat tangkap
n = Jumlah alat tangkap
CPIt = Indeks harga konsumen pada periode ke t
CPIsdt = Indeks harga konsumen standar (2007)
sedangkan harga ikan juga ditentukan oleh harga ikan rata-rata dengan rumus :
P=
∑ Pi
n
CPI t
Pt = P x100
CPIsdt
Keterangan :
P = Harga ikan rata-rata
Pi = Harga nominal ikan responden ke-i
n = Jumlah responden
Pt = Harga riil ikan waktu t
Jika kedua parameter biologi dan ekonomi tersebut telah diketahui, maka
Total Revenue (TR) dan Total Cost (TC) diperoleh dengan persamaan:
TR = ph
qE
TR = pqKE 1 −
r
TC = cE
Keuntungan lestari yang merupakan selisih dari TR dan TC diperoleh
melalui persamaan:
π = TR − TC
qE
π = pqkE 1 − − cE
r
Selain dapat memperoleh keuntungan lestari, dengan mengetahui nilai
parameter k, q dan r dapat diketahui juga solusi dari masalah bio-ekonomi. Solusi
32
ch
2
2 x qx
δ = r 1 − +
k c
p −
qx
2
x =
* k c + 1 − δ + c
δ
+ 1 − +
Cδ
r pqk r pqk r pqkr
x 2x
h * = ( pqx − c) δ − 1 −
c k
h*
E* =
qx *
Berdasarkan World Bank untuk menghitung sumberdaya pada negara-negara
33
berkembang biasa digunakan social discount rate 10 sampai dengan 20%, maka
dalam penelitian ini digunakan social discount rate 10%, 12%,15%, 18% dan
20%.
Sumberdaya perikanan sangat rentan mengalami degradasi akibat
adanya aktivitas pemanfaatan terhadap sumberdaya perikanan tersebut (upaya
penangkapan ikan). Laju degradasi dapat dihitung dengan rumus :
1
φ deg = hα
1+ e ho
Keterangan :
φ deg = Laju degradasi
hα = Produksi lestari
ho = Produksi aktual
Ci
CPUE =
Keterangan: fi
CPUE : Jumlah total tangkapan per upaya penangkapan bulan ke-i (kg
per hari)
Ci : Total hasil tangkapan bulan ke-i (kg)
Fi : Total upaya penangkapan bulan ke-i (trip)
(2) Menyusun deret jumlah bergerak CPUE selama 12 bulan untuk setiap bulan
p+ 6
np = ∑
j= p− 6
CPUEj
Keterangan :
p = 6,7,8 ......
np = Urutan ke-p
j = Urutan ke-j pada deret ni
(3) Menyusun deret rata-rata bergerak CPUE per 12 bulan untuk setiap bulan
1
nq = np
12
Keterangan :
q = 6,7,8 ….
nq = Urutan ke-q
np = Σ CPUE bergerak 12 bulan untuk bulan ke-j
r
nr = ∑ r− 1
nq
35
Keterangan :
r = 7,8,9….
nr = Urutan ke-r
nq = Rata-rata bergerak per 12 bulan untuk setiap bulan
1
ns = nr
2
Keterangan :
s = 7,8,9…
ns = Urutan ke-s
nr = Deret jumlah bergerak 2 bulan
CPUEj
proporsi rata − rata bulan − j = x100%
rataan bergerak 12 bulan yang dipusatkan
(7) Menyusun nilai prosentase rata-rata bergerak setiap bulan pada suatu matrik
dimulai pada bulan Juli sampai Juni, kemudian menghitung rata-rata variasi
musim dan selanjutnya menghitung indeks musim penangkapan (IMP)
1 n− 1
Variasi musim ke-j = ∑ Xij
n − 1 i= 1
Keterangan :
n = Banyaknya tahun data
1 12 n − 1
Jumlah variasi musim = ∑ ∑ Xij
n − 1 j− i i= 1
Variasi musim bulan ke − j
Indeks musim penangkapan bulan – j = x100%
rata − rata var iasi musim bulanan
Produktivitas adalah suatu alat untuk melihat efisiensi teknik dan suatu
proses produksi yang merupakan perbandingan antara hasil yang dicapai
dengan keseluruhan input sumberdaya yang dipergunakan. Rumus yang
digunakan dalam produktivitas adalah :
C
P=
E
Keterangan :
P = Produktivitas (ton per unit)
C = Hasil tangkapan (kg)
E = Jumlah unit penangkapan ikan (unit)
M i = H i − H i− 1
Keterangan :
Mi = Margin pada pedagang perantara ke-i ikan tenggiri (Rp per kg)
Hi = Harga penjualan pedagang perantara ke-i ikan tenggiri (Rp per kg)
Hi-1 = Harga pembelian pedagang perantara ke-i ikan tenggiri (Rp per kg)
K=M-B
Keterangan :
M− B
Rasio keuntungan − biaya =
B
Share nelayan dihiting dengan menggunakan persamaan :
Hj N
Share = x100%
Hj Ka
Keterangan :
Share = Bagian yang diperoleh nelayan (%)
Hj N = Harga jual nelayan (Rp)
Hj Ka = Harga jual pada konsumen akhir (Rp)
π = TR – TC
Keterangan :
π = Keuntungan
TR = Total penerimaan
TC = Total biaya
Dengan kriteria :
• Jika TR > TC, kegiatan usaha mendapatkan keuntungan
• Jika TR < TC, kegiatan usaha tidak mendapatkan keuntungan
• Jika TR=TC, kegiatan usaha berada pada titik impas atau usaha tidak
mendapatkan untung atau rugi.
R TR
=
C TC
Dengan kriteria :
39
Nilai investasi
PP = x 1 tahun
Keuntungan
Keterangan :
Bt = Benefit dari suatu proyek pada tahun ke-t
Ct = Biaya dari proyek pada tahun ke-t
n = Umur teknik proyek
i = Tingkat suku bunga yang berlaku
− ( D f N − D f P )
PVP
IRR = D f P +
PVP − PVN
41
Keterangan :
Df P = Discount factor yang menghasilkan present value positif.
D fN = Discount factor yang menghasilkan present
PVP = Present value positif.
PVN = Present value negatif.
Keriteria kelayakannya adalah:
jika nilai IRR > i, maka investasi layak untuk dilaksanakan dan
jika nilai IRR < i, maka investasi tidak layak untuk dilaksanakan.
n
Bt − C t
∑ [ ( Bt − Ct ) > 0]
t = 1 (1 + i )
t
Net − B / C − ratio = n
C − B
∑t = 1 (1t + i) tt [ ( Bt − Ct ) < 0]
Keriteria :
jika nilai R/C > 1, berarti investasi layak untuk dilaksanakan
jika nilai B/C < 1, maka investasi tidak layak untuk, dilaksanakan dan
jika nilai B/C = 1, maka keputusan pelaksanaan tergantung pada investor.
4) Analisis sensitivitas
Analisis sensitivitas merupakan suatu teknik untuk menunjukkan
seberapa besar perubahan kriteria investasi diakibatkan oleh perubahan
masukan dengan asumsi bahwa hal lain tidak terjadi perubahan (Sutoyo 1993).
Analisis sensitivitas biasanya didasarkan pada suatu kondisi awal, misalnya:
setiap input sesuai dengan yang diharapkan (expected value), kemudian
diikuti dengan skenario bagaimana kalau suatu variabel naik dan sebaliknya
bagaimana kalau turun. Analisis skenario dapat juga digunakan untuk
menunjukkan sensitivitas terhadap perubahan variabel kunci yang
memungkinkan. Skenario umumnya dibagi menjadi skenario normal, terbaik. dan
42
Tabel 5 Nama kecamatan, luas wilayah dan jaraknya dari ibukota kabupaten
Luas wilayah Jarak ke Sungailiat Jumlah penduduk
No. Kecamatan
(km2) (km) (jiwa)
1. Belinyu 546.5 54 37.468
2. Merawang 164.4 21 21.826
3. Mendo Barat 570.46 33 36.661
4. Puding Besar 383.29 32 14.951
5. Bakam 488.10 38 15.032
6. Riau Silip 523.68 42 19.734
7. Pemali 127.87 15 19.711
8. Sungailiat 146.38 - 64.324
Sumber: BPS Kabupaten Bangka (2006).
Unit penangkapan ikan terdiri atas tiga unsur, yaitu alat tangkap yang
digunakan, kapal penangkapan ikan dan tenaga kerja yang mengoperasikan
komponen-komponen tesebut, yaitu nelayan.
4.2.2.2 Kapal
Kapal penangkap ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama
dalam melakukan penangkapan ikan di laut. Kapal yang digunakan dalam dalam
usaha penangkapan ikan di Kabupaten Bangka terdiri atas kapal motor, motor
tempel dan perahu tanpa motor. Kapal penangkapan ikan di Kabupaten Bangka
masih didominasi kapal berukuran kecil, yaitu berukuran kurang dari 5 GT
dengan teknologi penangkapan tradisional, sehingga kemampuan untuk
menjangkau daerah penangkapan terbatas pada perairan pantai (Tabel 7).
4.2.2.3 Nelayan
Masyarakat nelayan di Kabupaten Bangka merupakan masyarakat pesisir
yang menggantungkan hidupnya pada usaha penangkapan ikan, pengolahan
dan pemasaran ikan. Perkembangan jumlah nelayan yang ada di Kabupaten
Bangka dapat dilihat pada Tabel 8.
47
Selama kurun waktu lima tahun, yaitu sejak tahun 2001 sampai dengan
tahun 2005 jumlah nelayan di Kabupaten Bangka mengalami peningkatan jumlah
nelayan mencapai 3.518 orang. Peningkatan jumlah nelayan dari tahun 2001-
2005 disebabkan oleh tiga hal. Pertama, disebabkan nelayan berpindah profesi
yang semula profesinya sebagai penambang TI timah menjadi nelayan. Kedua,
jumlah nelayan dipengaruhi oleh nelayan pendatang yang melakukan kegiatan
penangkapan di wilayah Bangka. Nelayan pendatang banyak berasal dari daerah
luar Pulau Bangka yaitu Bugis, Jambi, Palembang dan sekarang banyak
menetap di PPP Sungailiat. Nelayan yang berasal dari penduduk setempat pada
umumnya berasal dari daerah Sungailiat. Ketiga, minat masyarakat untuk
melakukan kegiatan usaha penangkapan ikan di laut dengan memanfaatkan
potensi perikanan laut di Pulau Bangka semakin meningkat.
Tabel 9 Produksi dan nilai produksi ikan di Kabupaten Bangka tahun 2001-2005
Nilai produksi
Produksi
No. Tahun (Rp.000)
(ton)
1 2001 9.263,52 53.074.931
2 2002 8.794,22 52.756.313
3 2003 9.298,10 55.788.600
4 2004 9.801,59 69.065.204
5 2005
Rata-rata 11.363.732 69.893.738
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka (2006).
sebesar 11.363.732 ton dan nilai produksi sebesar Rp 69.893.738.000. Hal ini
menunjukkan adanya pertumbuhan positif dan memberikan kontribusi yang lebih
baik bagi kegiatan perikanan di Kabupaten Bangka.
Kontribusi yang baik dalam kualitas pemasaran di Kabupaten Bangka
tercermin dari nilai jual komoditas perikanan yang berlangsung di Kabupaten
Bangka. Produksi pada tahun 2005 mengalami peningkatan mencapai 19.661,25
ton dengan nilai produksi ikan mencapai Rp 174.014.356.000,00. Hal ini terjadi
karena tingginya daya konsumtif dari masyarakat terhadap ikan laut, walau pun
rata-rata harga ikan pada saat itu tinggi. Selain itu juga, akibat dengan adanya
peningkatan penambangan oleh TI menyebabkan meningkatnya nilai/harga
kebutuhan pokok diantaranya, yaitu bahan bakar minyak (BBM) dan bahan
makanan. Kenaikan harga kebutuhan mengakibatkan kenaikan pada biaya
produksi ikan di Kabupaten Bangka dan akhirnya menaikkan harga dasar ikan di
Kabupaten Bangka.
Pemanfaatan produksi perikanan pada tahun 2005 yang ditujukan untuk
memenuhi pasar meliputi untuk konsumsi lokal dalam bentuk segar maupun
diolah, perdagangan antar pulau meliputi Belitung, Jakarta dan Palembang serta
ekspor ke negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura (Tabel 10).
INPUT LINGKUNGAN
- UU Perikanan
- Isu global
- UU otonomi daerah
- Kondisi sosial dan budaya
OUTPUT DIKEHENDAKI
tenggiri di Kabupaten Bangka dibagi atas 6 (enam) sub sistem yaitu potensi
sumberdaya ikan, infrastruktur, teknologi penangkapan dan pemasaran (pasca
produksi), mutu dan kelayakan usaha (Gambar 10).
Mulai
Sumberdaya tenggiri
- potensi
- musim
- daerah penangkapan
Layak
Tidak
Ya
Analisis Analisis
Analisis Analisis
teknologi Analisis mutu kelayakan
infrastruktur pemasaran
penangkapan usaha
Tingkat
Kondisi Efisiensi dan
Harga komoditi Standar mutu kelayakan
infrastruktur efektifitas
usaha
Ya Ya Ya Ya Ya
Pengembangan
usaha perikanan
tenggiri
Selesai
(Lampiran 1). Perkembangan produksi aktual ikan tenggiri per bulan selama
tahun 2001-2005 digambarkan pada Gambar 11.
40.000
35.000
30.000
Produksi (ton)
25.000
20.000
15.000
10.000
5.000
0.000
0 10 20 30 40 50 60
Total produks i aktual
Bulan
Produks i gill net
Produks i pancing
3000
2500
2000
Effort (trip)
1500
1000
500
0
0 10 20 30 40 50 60
Total effort
Bulan
Effort gill net
Effort pancing
kapal atau perahu dalam menentukan lokasi penangkapan ikan dan dapat
mempengaruhi efisiensi dari usaha perikanan tangkap.
Biaya per trip per effort ditentukan melalui data primer dan data sekunder
yang diperoleh, yaitu biaya operasional penangkapan diantaranya biaya ransum
di kapal selama melaut, biaya BBM dan oli mesin serta biaya es. Rata-rata biaya
nominal yang dikeluarkan untuk kapal penangkap ikan dengan alat tangkap
pancing per trip per effort sebesar Rp 2.285.900.320,47 (Tabel 13).
Tabel 13 Biaya nominal penangkapan ikan rata-rata per trip per unit berdasarkan
alat tangkap di lokasi penelitian
Jumlah Biaya nominal Biaya nominal
Alat tangkap
trip/tahun /trip/ unit (Rp) /alat/tahun (Rp)
Pancing 2.995 763.221,00 2.285.900.320,47
Gillnet 7.927 773.827,60 6.134.077.211,27
Rata-rata 5.461 768.524,30 4.209.988.765,87
Sumber : Hasil penelitian 2007.
Pada Tabel 13, biaya per alat tangkap per tahun yang paling tinggi adalah
biaya pada pengoperasian alat tangkap gillnet. Hal ini dikarenakan tingginya
jumlah trip penangkapan ikan. Biaya nominal pengoperasian alat tangkap
pancing per trip per unit penangkapan memilki nilai yaitu sebesar Rp 763.221,93
sedangkan gillnet yaitu sebesar Rp 773.827,60 (Lampiran 4). Menurut hasil
wawancara dan pengamatan di lapangan, jauhnya fishing ground yang ditempuh
masih berada di sekitar Perairan Kabupaten Bangka, sehingga pengeluaran
biaya operasional per effort (trip) tidak berbeda nyata.
Alasan para nelayan melakukan pengoperasian alat tangkap tersebut
masih di sekitar Perairan Kabupaten Bangka, karena dianggap masih mudah
untuk dicapai selain itu juga biaya operasional tidak terlalu besar dan masih
terjangkau oleh akses pemasaran. Biaya operasional yang dikeluarkan tersebut
tidak digunakan untuk menangkap ikan tenggiri saja, tetapi ikan lainnya dan alat
tangkap yang digunakan adalah gillnet dan pancing, maka dilakukan standarisasi
biaya ke alat tangkap pancing. Hasil perhitungan terhadap standarisasi biaya
operasional penangkapan dapat dilihat pada Tabel 14 dan Lampiran 4.
56
5.1.1.3 Bio-teknik
Produksi bulanan sumberdaya ikan tenggiri dengan alat tangkap gillnet
dan pancing di Kabupaten Bangka khususnya yang didaratkan di PPP Sungailiat
tahun 2001-2005 mengalami fluktuasi. Fluktuasi yang terjadi disebabkan karena
musim penangkapan yang bervariasi. Nilai CPUE pada alat tangkap gillnet dan
pancing juga mengalami fluktuasi dari tahun 2001-2005 dengan rata-rata sebesar
0,017 dan 0,031 ton per bulan. Nilai tertinggi untuk gillnet pada Juni 2004
sebesar 0,03472840 ton per hari dan untuk pancing pada Mei 2005 terendah
CPUE gillnet dan pancing pada Januari 2003 sebesar 0,00996549 dan
0,00925207 ton per bulan (Lampiran 2). Pendekatan analisis tersebut dengan
bulanan dikarenakan hasil tahunan tidak memberikan hasil yang terbaik,
disamping itu melalui konsultasi pribadi dengan sobari dan Fauzi (2008), maka
dianjurkan dengan data bulanan.
Hubungan antara upaya penangkapan (effort) dengan CPUE
menunjukkan bahwa peningkatan upaya tangkap akan menyebabkan kenaikan
nilai CPUE dengan persamaan regresi Y= -0,00003x+0,0554 yang menunjukkan
bahwa jika dilakukan peningkatan upaya penangkapan sebesar satu trip, maka
akan mengurangi CPUE sebesar 0,00003 ton per trip (Gambar 13). Penurunan
CPUE dalam kurun waktu bulanan pada tahun 2001-2005 karena terjadinya
peningkatan jumlah unit penangkapan ikan tenggiri, tidak diikuti dengan
peningkatan produksi. Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh nilai a =
0,0554 dan b = -0,00003. Berdasarkan nilai parameter a dan b, maka kondisi ini
menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan tenggiri di Perairan
Kabupaten Bangka mengindikasikan telah terjadi overfishing secara biologi
(biological overfishing).
57
0.14
0.12
0.1
0.08
CPUE
0.06
0.04
y = -3E-05x + 0.0554
0.02 R2 = 0.3555
0
0 500 1000 1500 2000 2500 3000
Effort (trip)
16.000 40
14.000 35
Produksi lestari (ton)
10.000 25
8.000 20
6.000 15
4.000 10
2.000 5
y = -6E-05x2 + 0.0544x + 3E-13
0.000 0
0 500 1000 1500 2000 2500 3000
Effort (trip)
Produksi aktual Poly. (Produksi lestari)
Gambar 15 Hubungan antara produksi aktual dan produksi lestari pada upaya
pemanfaatan ikan tenggiri di PPP Sungailiat.
5.1.1.4 Bio-ekonomi
Analisis bio-ekonomi ditujukan untuk menentukan tingkat pengusahaan
maksimum bagi pelaku perikanan. Perkembangan usaha perikanan tenggiri tidak
dapat lepas dari faktor ekonomi yang mempengaruhinya antara lain biaya
penangkapan, harga ikan dan discount rate. Model bio-ekonomi merupakan
salah satu alternatif pengelolaan yang dapat diterapkan demi upaya optimalisasi
pengusahaan sumberdaya perikanan tenggiri yang berkelanjutan. Hasil estimasi
parameter ekonomi dapat ditunjukkan pada Tabel 16.
59
TC’
MC=MR
TC
Пmaks
TR
EMEY =381 trip EMSY = 491 trip EOA = 761 trip
800.000 200.000
700.000
Rente ekonomi (juta Rp)
150.000
Catch/effort (ton/trip)
600.000
500.000 100.000 h*
400.000 E*
300.000 50.000 π (juta)
200.000
-
100.000
- (50.000)
MEY MSY Open Access
Rejim pengelolaan
1) Kondisi MSY
Kondisi MSY merupakan batas dari pemanfaatan sumberdaya ikan
tenggiri yang dapat dilakukan tanpa mengganggu kelestariannya untuk tumbuh
kembali. Pada kondisi ini merupakan kondisi maksimum lestari, yang apabila
hasil tangkapan aktual lebih besar dari pada kondisi ini akan menyebabkan hasil
tangkapan ikan tenggiri menjadi tidak sustainable.
Besarnya nilai potensi lestari ikan tenggiri di di Kabupaten Bangka adalah
13,37 ton per bulan, yang dapat ditangkap dengan upaya sebesar 491 trip per
bulan. Nilai rente ekonomi yang diperoleh pada pengusahaan kondisi MSY
adalah sebesar Rp 173.787.000.000,00 per bulan.
Hasil tangkapan ikan tenggiri pada kondisi MSY lebih kecil dibandingkan
dengan hasil tangkapan pada kondisi aktual. Pada kondisi aktual hasil tangkapan
ikan tenggiri yang diperoleh yaitu sebesar 17,41 ton per bulan. Jika dilihat dari
besarnya tingkat upaya yang dilakukan, dapat terlihat bahwa pada kondisi MSY
upaya yang dilakukan lebih kecil dibandingkan pada kondisi aktual yaitu sebesar
798 trip per bulan. Hal tersebut menyebabkan keuntungan yang diperoleh pada
kondisi aktual hanya mencapai Rp 180.470.000.000,00 per bulan. Hal tersebut
diakibatkan adanya peningkatan effort yang tidak seimbang dengan hasil
tangkapan yang diperoleh.
2) Kondisi MEY
Kondisi MEY atau kondisi optimal secara statik merupakan konndisi ideal
untuk pemanfaatan sumberdaya ikan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Martasuganda et al. (2002), bahwa kondisi EMEY merupakan kondisi yang ideal
untuk pemanfaatan sumberdaya ikan, karena terjaminnya kelestarian
sumberdaya ikan dan nelayan juga akan memperoleh keuntungan optimum.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa effort pada rejim pengelolaan MEY lebih
rendah dibandingkan dengan rejim pengelolaan OA dan MEY, yaitu 381 trip per
bulan. Jika dilihat dari tingkat rente ekonomi, nilai MEY merupakan yang tertinggi
dibandingkan dengan rejim pengelolaan OA dan MEY, yaitu sebesar Rp
18.792.000.000,00 atau nilai rente ekonomi MEY berada pada kondisi
maksimum. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat produksi ini tingkat
upaya penangkapan sudah dilakukan dengan efisien, sehingga diperoleh hasil
tangkapan yang lebih baik dan kemudian diikuti oleh pencapaian rente ekonomi
maksimum.
62
3) Kondisi OA
Effort pada rejim pengelolaan OA di Perairan Kabupaten Bangka
sebanyak 761 trip per bulan. Effort tersebut lebih besar dibandingkan dengan
effort pada kondisi pengelolaan MSY dan MEY. Besarnya effort pada rejim
pengelolaan OA disebabkan oleh sifat dari rejim OA dimana setiap orang boleh
melakukan kegiatan penangkapan di Indonesia termasuk di Perairan Kabupaten
Bangka.
Produksi yang diperoleh didapat pada rejim pengelolaan OA di Perairan
Kabupaten Bangka sebesar 5,16 ton per bulan dimana yang diperoleh sama
dengan nol (TR=TC). Artinya jika sumberdaya ikan tenggiri dibiarkan ditangkap
oleh nelayan, maka persaingan usaha pada kondisi ini menjadi tidak terbatas dan
dampaknya tingkat resiko yang harus ditanggung nelayan menjadi lebih besar
karena persaingan untuk mendapatkan produksi menjadi lebih ketat. Akibat sifat
sumberdaya yang terbuka, nelayan cenderung mengembangkan jumlah alat
tangkapnya maupun tingkat upaya penangkapan untuk mendapatkan hasil
tangkapan yang sebanyak-banyaknya.
4) Kondisi dinamik
Dalam kondisi dinamik, discount rate yang digunakan mengacu pada
World Bank bagi negara-negara berkembang yaitu berkisar 10% sampai dengan
20%. Hasil perhitungan analisis optimal dengan menggunakan discount rate
10%, 12%, 15%, 18% dan 20% menunjukkan bahwa untuk Perairan Kabupaten
Bangka diperoleh nilai biomassa (x), produksi (h), effort (E) dan rente ekonomi
(π) yang optimal. Pada discount rate 10% diperoleh nilai rata-rata biomassa
optimal sebesar 14,02 ton, produksi optimal sebesar 12,71 ton, effort optimal
63
Pada Tabel 18, penggunaan discount rate yang lebih rendah dapat
menghasilkan optimal produksi dan optimal biomassa yang lebih tinggi
dibandingkan dengan menggunakan discount rate yang lebih tinggi. Hal ini
berarti bahwa semakin tinggi discount rate akan menstimulus perburuan
sumberdaya lebih tinggi dan berdampak dengan peningkatan tekanan terhadap
sumberdaya sehingga menimbulkan terjadinya degradasi dan pada akhirnya
berdampak pada penurunan sumberdaya akan semakin besar. Hal tersebut
sesuai dengan pernyataan Clark (1985) dan Fauzi (2006), nilai discount rate
yang lebih tinggi menyebabkan peningkatan laju optimal dari eksploitasi pada
sumberdaya yang terbaharukan, sehingga kemungkinan penurunan dan
kepunahan sumberdaya akan semakin besar.
Apabila penggunaan nilai discount rate yang lebih tinggi akan
menyebabkan peningkatan jumlah effort, maka rente ekonomi yang diperoleh
akan mengalami penurunan, sedangkan pada nilai discount rate sampai dengan
tak terhingga maka rente ekonomi yang diperoleh akan mencapai pada kondisi
nol. Hal ini terjadi pada kondisi OA. Apabila nilai discount rate mengalami
penurunan akan menyebabkan effort mengalami penurunan, maka rente
ekonomi yang diperoleh akan mengalami peningkatan dan pada discount rate
64
sama dengan nol sama dengan kondisi MEY maka akan memperoleh rente
ekonomi yang maksimal.
Hubungan antara rente ekonomi sumberdaya tenggiri dengan
menggunakan discount rate 10%, 12%, 15%, 18% dan 20% merupakan hasil
simulasi World Bank untuk negara-negara berkembang dan menunjukkan bahwa
semakin tinggi discount rate yang digunakan, maka semakin rendah rente
ekonomi yang diperoleh (Gambar 18).
25000
Rente ekonomi (juta Rp)
20000
15000
10000
y = 10647x2 - 39504x + 47406
R2 = 0.9989
5000
0
0.00 0.80 1.60 2.40
1.20
1.00
Laju degredasi
0.80
L deg
0.60 deg std
Linear (L deg)
0.40
y = 0.0023x + 0.3701
0.20
R2 = 0.034
0.00
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58
Bulan
1) Kapal
Armada penangkapan yang digunakan dalam melakukan operasi
penangkapan dengan menggunakan alat tangkap gillnet dan pancing ulur terbuat
dari kayu dimana kasko kapal bagian haluan berbentuk V. Dari hasil penelitian
rata-rata panjang (L) kapal = 8,00 meter, lebar (B) = 2,00 meter, dan tinggi (H) =
1,10 meter. Berdasarkan perhitungan nilai ukuran dimensi utama kapal L/B =
66
4,00; L/H = 7,27 dan B/H = 1,81. Nilai B yang tidak besar dapat memudahkan
kapal dalam melakukan penangkapan dengan stabil, karena dengan bentuk
kapal yang ramping dan panjang serta tinggi yang tidak terlalu besar, maka tidak
membebani kapal saat penarikan alat tangkap. Nilai H tidak boleh terlalu besar,
karena akan menghambat laju perahu.
2) Alat tangkap
Tren pengembangan teknologi penangkapan ikan ditekankan pada
teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan (environmental friendly
67
10-15 m
17,5-19,5
2,15-3,5 m
inch
2-2,75 m
25
cm
1200 m -2200 PE Ø 8-10
mm
18-23
PA 80, Ø 0,5mm m
rooler
15-20 cm
30-50 m
Nylon monofilament No.300-500, Ø1mm
Kili-kili
Kawat barlen, 50 cm
Kili-kili
10-15 cm
No.6 dan 9
15-20 cm
Pemberat
Gambar 22 Konstruksi umum pancing ulur di Kabupaten Bangka
Diantara kili-kili pertama dan kedua terdapat kawat barlen yang terbuat
dari baja berwarna putih yang panjangnya 50 cm. Fungsi kawat barlen ini agar
senar cabang tidak membelit pada senar utama sewaktu menurunkan senar
pancing ke dalam air ataupun ketika berada di dalam air. Kawat ini diikatkan
kepada kili-kili pertama dan kedua dengan menggunakan senar yang sama
ukurannya dengan senar utama sepanjang 15-20 cm. Senar ini juga merupakan
tempat diikatkannya pemberat.
Pada tiap ujung senar cabang diikatkan sebuh mata pancing (hook).
Apabila dalam satu unit pancing ulur dibuat dua atau lebih percabangan, maka
hook yang diikatkan juga dua buah atau lebih. Mata pancing diikatkan pada tali
cabang dengan menggunakan kawat rambut. Disebut kawat rambut karena
ukurannya yang sangat kecil dan lentur tetapi kuat. Kawat ini terbuat dari baja
ataupun besi. Panjang kawat barlen yang menghubungkan senar cabang dengan
mata pancing antara 10-15 cm.
3) Nelayan
Nelayan di Kabupaten Bangka pada umumnya hanya mengandalkan
kemampuan fisik dan tingkat pendidikan bukan merupakan keharusan bagi
71
nelayan, namun yang penting adalah keterampilan dan semangat kerja. Nelayan
tersebut masih dikategorikan ke dalam nelayan kecil, yaitu nelayan yang
pendapatan dari hasil operasi penangkapan digunakan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Nelayan merupakan faktor utama dalam penentuan
keberhasilan suatu operasi penangkapan.
Nelayan dalam satu perahu pancing ulur terdiri atas 2-4 orang. Setiap
nelayan membawa dua atau lebih unit pancing. Masing-masing nelayan
memancing dengan alat pancingnya sendiri tanpa adanya pembagian khusus,
kecuali nelayan juragan yang berada di dalam ruang kemudi yang bertugas
mengemudikan perahu, sedangkan yang di anjungan bertugas menurunkan dan
menaikkan jangkar.
Nelayan gillnet di Kabupaten Bangka memiliki ABK (Anak Buah Kapal) 2-
3 orang. Nelayan juragan (fishing master) memiliki peran penting dalam
menentukan daerah penangkapan dan sebagai juru mudi. ABK memiliki tugas
untuk melakukan pengoperasian alat tangkap (setting dan hauling jaring) dan
mempersiapkan kebutuhan makanan untuk seluruh nelayan yang berada di
dalam kapal tersebut.
140
Indeks Musim Penangkapan
120
100
80
60
40
20
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
Puncak musim terjadi pada bulan Mei dan Juni. Melihat kondisi musim
penangkapan yang ada di perairan Kabupaten Bangka, maka kegiatan operasi
penangkapan perlu lebih diintensifkan pada bulan-bulan dimana terjadi musim
ikan yaitu pada bulan Maret, Mei dan Juni serta Agustus dan Oktober.
Selanjutnya ketika tidak musim ikan, sebaiknya dilakukan kegiatan perbaikan
atau perawatan kapal terutama docking atau melakukan alternatif pekerjaan
lainnya. Perhitungan IMP dapat dilihat pada Lampiran 8.
73
1) Gillnet
Operasi penangkapan ikan tenggiri dengan gillnet dilakukan di Laut
Natuna, Selat Bangka dan Laut Cina Selatan. Fishing base yang diambil
sebagian besar adalah PPP Sungailiat dengan posisi fishing base berada pada
lintang 060 42’ 09’ LS dan pada bujur 1110 19’ 57” BT.
Pelaksanaan kegiatan operasi penangkapan ikan tenggiri dengan gillnet
di Kabupaten Bangka dilakukan 3-5 hari tergantung pada musim penangkapan
dan selanjutnya dapat diuraikan sebagai berikut :
(1) Kapal dengan persiapan kebutuhan logistik yang cukup berangkat dari fishing
base menuju daerah penangkapan dengan nakhoda nelayan juragan
sekaligus berperan sebagai fishing master. Keberangkatan kapal yaitu pada
saat air mulai mengalami pasang.
(2) Waktu yang digunakan untuk menempuh jarak dari fishing base menuju ke
daerah penangkapan di Laut Cina Selatan dan Laut Natuna berkisar antara 5
hingga 7 jam, sedangkan pada daerah penangkapan Selat Bangka yang
merupakan suatu perairan yang berada diantara Pulau Bangka dan Pulau
Sumatera hanya berkisar 2-4 jam tergantung jauh dekatnya jarak yang
ditempuh dan juga pada kondisi perairan saat itu. Penentuan daerah
75
2) Pancing ulur
Operasi penangkapan ikan tenggiri dengan pancing ulur dimulai dari
tahap persiapan hingga penanganan hasil perikanan. Daerah penangkapan
dengan alat tangkap pancing ulur pada dasarnya hampir sama dengan alat
tangkap gillnet yaitu Laut Natuna, Laut Cina Selatan dan Selat Bangka.
Pelaksanaan kegiatan operasi penangkapan ikan tenggiri dengan pancing
ulur dilakukan dengan ABK sebanyak 3-4 orang. Uraian pelaksanaan kegiatan
operasi penangkapan adalah sebagai berikut :
(1) Kapal berangkat dari fishing base setelah semua persiapan (persiapan
pancing ulur, BBM untuk mesin penggerak serta ransum untuk keperluan di
laut) selesai dipersiapkan. Kapal berangkat saat air dalam kondisi pasang.
Jarak tempuh kapal menuju daerah penangkapan tergantung pada
pengalaman fishing master yaitu sekitar 4-5 jam. Daerah target penangkapan
ikan tenggiri yaitu di sekitar perairan berkarang dan masih dalam wilayah
Perairan Kabupaten Bangka.
(2) Setelah sampai di daerah penangkapan, jangkar diturunkan agar kapal tidak
terbawa arus. Operasi penangkapan dilakukan pada malam hari yaitu pukul
18.30-19.00 WIB hingga menjelang matahari terbit yaitu 04.00-05.00 WIB.
Sebagai bahan penerangan sementara yaitu guna pemasangan umpan
digunakan lampu kapal.
(3) Umpan yang digunakan dalam proses penangkapan ikan tenggiri dengan
pancing ulur merupakan umpan alami. Umpan ini diperoleh dari hasil
pancingan yang diperoleh dengan jenis ukuran mata pancing yang berbeda.
Ikan yang menjadi umpan penangkapan ikan tenggiri yaitu jenis kurisi
(Nemipterus hexodon) hidup.
77
(4) Umpan kurisi yang telah ditangkap kemudian dikaitkan pada kedua mata
pancing. Cara pemasangan umpan dilakukan dengan meletakkan kail pada
punggung ikan umpan. Setelah umpan selesai dipasang, pancing kemudian
dilempar ke perairan agar jauh dari kapal dan memudahkan senar pancing
teregang dengan kedalaman pancing yang diulurkan yaitu 20-60 meter.
Umpan hidup ini dimaksudkan untuk memikat dan menarik perhatian ikan
agar muncul di permukaan laut serta untuk menahan schooling ikan agar
tetap berada di dekat lambung kapal (Kaneda 1995).
(5) Apabila umpan termakan, maka senar pancing ditarik hingga mendekati
perahu. Setelah ikan tenggiri terlihat dan mudah dijangkau, kemudian dengan
alat bantu gancu ikan tenggiri diangkut ke atas dek kapal. Ikan tenggiri yang
sudah mati kemudian dibersihkan darahnya, akibat terkena mata pancing dan
gancu, lalu dimasukkan ke dalam cool box yang telah diberi es sebagai
tempat penyimpanan.
(6) Jika daerah penangkapan tidak memberikan hasil yang memuaskan, maka
kapal melakukan pencarian daerah penangkapan yang lain.
(7) Setelah operasi penangkapan selesai jangkar dinaikkan ke perahu, kemudian
melakukan perjalanan pulang menuju fishing base awal.
II
Nelayan Pedagang
pengumpul Perusahaan perikanan Eksportir
III
IV Pedagang
Pengecer
Konsumen
lokal
Keterangan :
I = Saluran pemasaran I ( nelayan-perushaan)
II = Saluran pemasaran II ( nelayan –pengumpul-perusahaan)
III = Saluran pemasaran III ( nelayan-pengumpul-pengecer)
IV = Saluran pemasaran IV (nelayan pedagang pengecer)
Gambar 26 Skema saluran pemasaran hasil tangkapan ikan tenggiri di
Kabupaten Bangka
yang dilengkapi dengan cool box. Selain itu hasil tangkapan ikan tenggiri dari
Kecamatan Riau Silip selain dipasarkan langsung ke konsumen rumah tangga,
rumah makan juga sebagian dipasarkan ke Pasar Sungailiat.
5.1.3.2 Margin pemasaran
Hasil wawancara dengan responden pada saluran pemasaran I
menunjukkan bahwa perusahaan perikanan mengeluarkan biaya penanganan
komoditas hingga berada di kapal tujuan ekspor sebesar Rp1.435,00 per kg,
biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul dalam penanganan hasil
tangkapan sebesar Rp 365,00 per kg dan penanganan hasil tangkapan oleh
pedagang pengecer Rp 316,00 per kg. Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh
pedagang pengumpul meliputi penggunaan es dan trasportasi guna
pengangkutan ikan dari dermaga hingga ke perusahaan perikanan (Tabel 21).
Harga jual ikan tenggiri oleh perusahaan maupun harga lokal yang dijual
oleh nelayan kepada pedagang pengumpul, maka terdapat perbedaan yang
cukup signifikan. Besar margin keuntungan yang diperoleh perusahaan
perikanan akan tereduksi jika pembelian dilakukan melalui pedagang pengumpul
(saluran pemasaran II). Hal ini disebabkan porsi margin harus dibagi dengan
pedagang pengumpul. Rata-rata margin pemasaran yang dinikmati pedagang
pengumpul yaitu sebesar Rp 2.500,00 per kg dan pada perusahaan perikanan
pada saluran pemasaran I dan II yaitu sebesar Rp 6.700,00 per kg dan Rp
9.200,00. Perbedaan harga jual dan margin pemasaran pada saluran distribusi
komoditas ikan tenggiri dapat dilihat pada Tabel 22.
Share nelayan yang diperoleh pada saluran pemasaran III dan IV sebesar
73,12%, artinya bagian yang diterima oleh nelayan pada saluran III dan IV adalah
sebesar 73,12% (Tabel 23 dan Lampiran 12). Keuntungan yang diperoleh
dengan saluran makin pendek dengan fisherman share yang sama akan
memberikan share bagi pedagang lebih besar.
84
Mutu dari hasil tangkapan ikan tenggiri dapat diketahui dengan dilakukan
pengamatan terhadap kenampakan dan warna produk, aroma, rasa, tekstur dan
lendir pada produk. Penilaian kualitas kesegaran ikan dapat dilakukan dengan
berbagai macam cara yaitu cara kimia, fisik, mikrobiologi, organoleptik. Cara
organoleptik merupakan cara yang paling mudah untuk dilakukan. Ciri
organoleptik ikan segar yang berkualitas baik antara lain:
1) Keadaan bola mata cembung dan cemerlang serta korneanya masih bening
2) Warna insang merah tua dan cemerlang
3) Terdapat lendir alami menutupi permukaan ikan yang baunya khas menurut
jenis ikan, rupa lender bening dan cemerlang
4) Warna kulit belum pudar atau cemerlang
5) Sisik melekat kuat dan mengkilat
6) Dagingnya kenyal dan jika ditekan dengan jari tidak berbekas.
Kondisi mutu dipengaruhi oleh beberapa faktor yang tergolong faktor
intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi jenis kelamin, jenis spesies,
umur, ukuran sedangkan faktor ekstrinsik dipengaruhi oleh penanganan yang
dilakukan seperti penanganan di atas kapal (pengesan, pencucian dan
pengesan), penanganan pada saat di daratkan (pengesan dan penyortiran).
Kompleksnya permasalahan mengenai mutu menyebabkan upaya
mempertahankan mutu harus dilakukan secara optimal dari mulai ditangkap
sampai dipasarkan.
Berdasarkan uji Organoleptic terhadap ikan tenggiri yang dipasarkan di
Kabupaten Bangka menunjukkan nilai rata-rata sebesar 7,64 dengan selang
kepercayaan 7,55 < µ < 7,72 pada tingkat kepercayaan 95% (Lampiran 14). Hasil
tersebut menunjukkan bahwa ikan tenggiri tersebut baik/layak dikonsumsi oleh
konsumen, dimana sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) batas
minimum ikan segar yang layak dikonsumsi adalah 7 (Dirjen Perikanan 1994).
Uji Hedonicscale scoring dilakukan untuk mengetahui produk olahan ikan
tenggiri tersebut disukai oleh konsumen atau tidak, maka dilakukan yaitu uji
kesukaan pada suatu produk. Berdasarkan hasil uji menunjukkan bahwa rata-
rata nilai dari hasil uji hedonicscale scoring 7,5 dengan selang kepercayaan 7,2
< µ < 7,8 pada tingkat kepercayaan 95% (Lampiran 15). Hasil tersebut
menyatakan bahwa produk ikan tenggiri tersebut disukai oleh konsumen. Kedua
85
uji tersebut menunjukkan dari segi mutu perlu adanya peningkatan mutu yang
lebih baik lagi (Yeap Soon-Eong dan Tan Sen-Min 2002).
1) Keuntungan
Pada usaha penangkapan ikan, nelayan memiliki tujuan untuk
memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, tetapi tidak dapat
merencanakan sebelum operasi penangkapan. sehingga nelayan selalu
berusaha untuk memperoleh hasil tangkapan ikan sebanyak-banyaknya. yang
beranggapan dengan hasil produksi yang meningkat akan memperoleh
pendapatan besar yang secara otomotis memperoleh keuntungan juga besar.
Keuntungan dalam usaha perikanan tenggiri diperoleh dari Total Revenue (TR)
dikurangi dengan Total Cost (TC) yang dikeluarkan.
(a) Biaya
Biaya dalam usaha perikanan tenggiri terdiri atas biaya investasi, biaya
tetap dan biaya variabel. Biaya investasi terdiri atas biaya pembelian kapal,
mesin, alat tangkap, peti fiber, kompas, peralatan elektrik, radio SSB, jangkar
dan tali, serta jerigen solar dan air. Biaya investasi merupakan nilai investasi
yang ditanamkan pada usaha perikanan tenggiri (Lampiran 16 dan Lampiran 20).
Total investasi yang dibutuhkan untuk penangkapan tenggiri dengan
gillnet sebesar Rp 70.389.260,81 dan pancing sebesar Rp 36.980.404,46.
Besarnya biaya investasi merupakan nilai investasi rata-rata responden yang
ditanamkan pada unit usaha penangkapan gillnet dan pancing di Kabupaten
Bangka.
86
Biaya tetap pada unit usaha gillnet lebih besar dibandingkan dengan unit
usaha pancing yaitu sebesar Rp 14.581.585,31 dan 10.578.475,13. Besarnya
biaya pada unit usaha gillnet disebabkan oleh modal investasi dari alat tangkap
gillnet terdiri dari 40 piece yang harga per piecenya mencapai Rp 620.000,00,
sedangkan pancing terdiri dari 30 unit yang harganya per unitnya Rp 75.000,00
(Tabel 25).
Biaya untuk penyusutan unit usaha perikanan tenggiri dengan gillnet lebih
besar dibandingkan dengan pancing. Hal ini disebabkan modal yang dikeluarkan
untuk membeli jaring lebih besar daripada modal untuk usaha pancing,
sedangkan umur teknis dari gillnet lebih lama daripada pancing (Lampiran 16 dan
Lampiran 20).
87
Biaya tidak tetap (variable cost) dalam usaha perikanan tenggiri dengan
menggunakan alat tangkap gillnet dan pancing ulur terdiri atas biaya solar, oli, air
tawar, rokok, es dan perbekalan (ransum) dan upah ABK. Komponen biaya tidak
tetap unit usaha penangkapan ikan tenggiri di Kabupaten Bangka dapat dilihat
pada Tabel 26.
Tabel 26 Komponen biaya tidak tetap unit usaha penangkapan ikan tenggiri di
Kabupaten Bangka tahun 2007.
Nilai (Rp)
No. Uraian
Gillnet Pancing
1. Solar 13.500.000,00 13.500.000,00
2. Oli 680.000,00 440.000,00
3. Air tawar 100.000,00 100.000,00
4. Rokok 1.800.000,00 1.800.000,00
5. Es 2.720.000,00 2.040.000,00
6. Perbekalan 1.280.000,00 1.280.000,00
7. Upah ABK 10.873.103,97 11.368.840,00
Total 30.953.103,97 30.528.840.00
Sumber : Data diolah 2007.
Total biaya tidak tetap pada unit usaha penangkapan tenggiri dengan
jaring tidak berbeda jauh dengan pancing, yaitu Rp 30.713.103,97 dan Rp
30.768.840,00. Perbedaan terjadi karena adanya jumlah kebutuhan oli yang
digunakan pada saat operasi penangkapan. Biaya tidak tetap yang paling besar
pada unit usaha perikanan tenggiri dengan gillnet dan pancing adalah bahan
bakar solar, yaitu sebesar Rp 13.500.000,00. Hal ini dikarenakan besarnya biaya
solar yang digunakan pada saat menuju daerah penangkapan dan operasi
penangkapan.
88
Tabel 27 Biaya total unit usaha perikanan ikan tenggiri di Kabupaten Bangka
No. Jenis biaya Nilai (Rp.)
Gillnet Pancing
1. Biaya tetap 14.581.585,31 10.578.475,13
2. Biaya Tidak tetap 30.953.103,97 30.528.840,00
Total biaya 45.534.689,28 41.107.315,13
Sumber : Data diolah 2007.
(b) Penerimaan
Penerimaan yang diperoleh dari usaha perikanan tenggiri berasal dari
rata-rata nilai penjualan hasil tangkapan. Rata-rata penerimaan yang diperoleh
selama satu trip penangkapan pada pengoperasian alat tangkap gillnet sebesar
Rp 1.359.138,00, sedangkan untuk rata-rata biaya yang dikeluarkan sebesar Rp
773.827,60 per trip. Keuntungan yang diperoleh unit usaha perikanan tenggiri
dengan menggunakan alat tangkap gillnet di Kabupaten Bangka sebesar Rp
220.770,76 per trip. Penerimaan yang diperoleh dari unit usaha perikanan
tenggiri dengan alat tangkap gillnet selama satu tahun penangkapan sebesar Rp
54.365.519,85, sedangkan total biaya yang dikeluarkan yaitu sebesar Rp
48.032.200,00. Keuntungan yang diperoleh selama satu tahun sebesar Rp
8.830.830,57.
Penerimaan rata-rata dari usaha perikanan tenggiri dengan
menggunakan alat tangkap pancing di Kabupaten Bangka sebesar Rp
1.200.805,00 per trip. Rata-rata biaya yang dikeluarkan pada pengoperasian alat
tangkap ini sebesar Rp 763.221,00. Keuntungan yang diperoleh usaha perikanan
tenggiri dengan menggunakan alat tangkap pancing adalah sebesar Rp
173.122.12,00 per trip. Penerimaan yang diperoleh dari unit usaha perikanan
tenggiri dengan alat tangkap pancing selama satu tahun penangkapan sebesar
Rp 48.032.200,00, sedangkan total biaya yang dikeluarkan yaitu sebesar Rp
89
8.830.830,57 dan Rp 6.924.884,87 per tahun dalam waktu 1,1 bulan dan 1,17
bulan (Lampiran 16 dan Lampiran 20).
oleh biaya total unit usaha penangkapan ikan tenggiri dengan pancing lebih kecil
dibandingkan dengan gillnet, sehingga berpengaruh pada nilai NPV-nya.
3) Net B/C
Net B/C unit usaha penangkapan ikan tenggiri dengan gillnet dan pancing
ulur yaitu sebesar 2,1 dan 3,34 (net B/C>1), artinya selama tahun proyek pada
tingkat discount rate 12% per tahun setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan
akan memberikan benefit bersih sebesar Rp 2,12 dan Rp 3,34, sehingga dapat
dikatakan usaha tersebut layak untuk dikembangkan (Lampiran 18 dan Lampiran
20). Net B/C tidak menggambarkan besarnya keuntungan tetapi menggambarkan
skala penerimaan atas biaya dan modal.
Pada usaha perikanan tenggiri dengan alat tangkap gillnet dan pancing,
maka nilai dari kriteria investasi (NPV>0, net B/C>1 dan IRR>interest rate) layak
untuk dilanjutkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sobari et al. (2006), jika dilihat
dari kriteria investasi NPV>0, net B/C>1 dan IRR>internal rate, maka dapat
dikatakan bahwa usaha tersebut layak memenuhi persyaratan dan masih layak
untuk dikembangkan.
92
4) Analisis sensitivitas
Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat pengaruh apa yang akan
terjadi akibat perubahan nilai input atau perubahan nilai output yang akan
berdampak pada akhir perhitungan. Faktor yang dianalisis dalam penelitian ini
adalah biaya bahan bakar solar dan harga jual ikan tenggiri. Hal ini dikarenakan
komponen tersebut merupakan komponen penting dalam usaha penangkapan
ikan tenggiri dan faktor penting dalam pemasaran ikan tenggiri.
Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi kenaikan harga solar pada unit
usaha penangkapan tenggiri dengan gillnet sebesar 112% dari Rp 4.500,00 per
liter menjadi Rp 9.540 per liter dan unit usaha penangkapan tenggiri dengan
pancing ulur sebesar 114,5% dari Rp 4.500,00 per liter menjadi Rp 9.653 per liter
usaha menjadi tidak layak.
Pada Tabel 28, diperoleh nilai NPV pada gillnet dan pancing sebesar
(1.383.823,49) dan (764.839,91). Nilai tersebut memiliki arti bahwa apabila terjadi
kenaikan harga solar pada usaha penangkapan tenggiri dengan gillnet dan
pancing sebesar 112% dan 114,5%, maka manfaat sekarang yang akan diterima
adalah sebesar (1.383.823,49) dan (764.839,91). Nilai net B/C pada gillnet dan
pancing sebesar 0,98 dan 0,98 sedangkan nilai IRR yaitu sebesar 11,45% dan
11,45%. Hasil analisis tersebut tidak layak untuk dikembangkan karena nilai
NPV<0, net B/C<1 dan IRR< tingkat suku bunga yang berlaku 12%. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa usaha tersebut dengan kenaikan harga BBM
sebesar 112% untuk gillnet dan 114,5% untuk pancing tidak sensitif (Tabel 28).
Tabel 28 Nilai kriteria investasi sebagai akibat kenaikan harga bahan bakar solar
Gillnet Pancing
No. Keterangan
(112%) (114,5%)
1. NPV (Rp) (1.383.823,49) (764.839,91)
2. Net B/C 0,98 0,98
3. IRR (%) 11,45% 11,45%
Sumber : Hasil analisis 2007.
Tabel 29 nilai NPV pada gillnet dan pancing sebesar (1.962.098,72) dan
(939.932,62). Nilai tersebut memiliki arti bahwa apabila terjadi penurunan harga
ikan pada usaha penangkapan tenggiri dengan gillnet dan pancing sebesar 28%
dan 24,5%, maka manfaat sekarang yang akan diterima adalah sebesar (Rp
(1.962.098,72) dan (Rp 939.932,62). Nilai net B/C pada gillnet dan pancing
sebesar 0,98 dan 0,97 sedangkan nilai IRR yaitu sebesar 11,22% dan 11,11%.
Hasil analisis menunjukkan bahwa usaha penangkapan tenggiri dengan
adanya penurunan harga ikan tidak layak untuk dikembangkan karena nilai
NPV<0, net B/C<1 dan IRR< tingkat suku bunga yang berlaku 12%. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa usaha tersebut dengan penurunan harga ikan
sebesar 28% untuk gillnet dan 24,5% untuk pancing sensitif.
1) Fasilitas pokok
Fasilitas pokok merupakan fasilitas utama yang diperlukan untuk
melindungi kapal-kapal perikanan dari gangguan alam berupa ombak, arus,
pengendalian lumpur, serta tempat untuk berlabuh dan bersandar bagi kapal
atau perahu nelayan baik yang datang maupun pergi. Fasiltas ini merupakan
94
(1) Darmaga/jetty
Dermaga di PPP Sungailiat saat ini masih dalam kondisi baik,
mempunyai luas 1.560 m2 terdiri atas konstruksi trestle dan sheet file dapat
menampung kapal perikanan yang berukuran <10 GT sebanyak 80 unit.
(2) Kolam pelabuhan
Kolam pelabuhan bertujuan sebagai tempat untuk menampung
kegiatan kapal baik bongkar muat, berlabuh, mengisi bahan bakar dan
memutar haluan kapal (turning basin) serta tempat untuk melakukan kegiatan
perbaikan kapal di atas air (floating air) dalam keadaan darurat. Kolam
pelabuhan dalam keadaan kotor, memiliki luas 10.560 m2 dan kedalaman di
bawah 0,5m-1m, lebar mulut kolam 40 m. Kendala yang dihadapi pada saat
ini yaitu kapal perikanan yang berukuran >10 GT sulit untuk melakukan
95
aktivitas tambat labuh pada dermaga terutama pada saat air surut terendah.
Keadaan kolam pelabuhan saat ini kotor yang disebabkan adanya
pembuangan oli-oli bekas dan sampah dari kapal gillnet dan tammel net
serta kotoran yang berasal dari tailing timah (bekas limbah galian timah),
kotoran manusia, sehingga mengakibatkan sedimentasi di sekitar kolam
pelabuhan.
2) Fasilitas Fungsional
Fasilitas fungsional merupakan fasilitas yang berfungsi untuk
meningkatkan nilai guna dari fasilitas pokok atau dasar, sebagaimana tanpa
adanya fasilitas ini, kegiatan operasional pelabuhan tidak akan berjalan dengan
baik. Adapun fasilitas fungsional yang ada adalah tempat pelelangan ikan, pasar
ikan, gedung pabrik es, SPDN, instalasi air tawar, instalasi listrik, bengkel dan
gedung pengemasan dan penyimpanan ikan.
(1) Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
TPI merupakan salah satu fasilitas fungsional penting yang berfungsi
sebagai tempat pemasaran awal ikan hasil tangkapan nelayan di laut. Tingkat
pemanfaatan TPI dapat ditinjau dari ketersediaan luas ruangan pelelangan
dikaitkan dengan jumlah produksi ikan yang dilelang. Harapan yang
diinginkan adalah ketersediaan luas gedung pelelangan ikan dapat
mendukung aktivitas pelelangan ikan itu sendiri.
Produksi ikan PPP Sungailiat pada tahun 2006 sebesar 3.926,06 ton.
Berdasarkan data yang diperoleh, kapasitas gedung TPI di PPP yang dikelola
oleh DKP Kabupaten Bangka sebesar 450 m2 dalam kondisi baik dengan
kapaitas 0,32 ton.
Lokasi di TPI ini telah sesuai dengan Standar Operasi Pelabuhan
(SOP) yang mensyaratkan bahwa gedung pelelangan ikan harus berdekatan
dengan dermaga dan terminal parkir, karena aktivitas di TPI merupakan
rantai pertama dari proses distribusi dan pemasaran. Adanya jarak yang
dekat tersebut membuat aktivitas pembongkaran ikan lebih efisien, dimana
saat ikan dibongkar dari kapal langsung masuk ke ruang TPI untuk segera
didaftarkan dan disortir kemudian dilelang. Kenyataan yang terjadi TPI di
PPP Sungailiat selain digunakan sebagai tempat pelelangan juga digunakan
sebagai tempat penjualan ikan dan tempat transakasi bagi para pengumpul
dan pedagang pengecer.
96
banyak kebutuhan akan solar digunakan oleh para nelayan yang memiliki
usaha sampingan di TI apung.
(5) Instalasi air tawar
Air tawar diperoleh dari kolong (kolam bekas galian timah) yang
dialirkan dengan pompa listrik berkekuatan 16 PK melalui pipa dengan
diameter 3,5 inch sepanjang 1.600 m2 ke tangki air dengan luas bangunan
125 m2 dalam kondisi yang masih baik. Instalasi air tawar setiap hari
dipergunakan untuk perbekalan dengan mengambil dari tangki dengan
kapasitas 100 ton dengan debit air 10 liter per menit dengan kondisi air yang
bagus walau pun memiliki kandungan timah yang tinggi.
(6) Instalasi listrik
Penerangan listrik di lingkungan PPP Sungailiat menggunakan
sumber listrik PLN dengan kapasitas 4.800 W, dimanfaatkan untuk fasilitas-
fasilitas yang berada di pelabuhan dengan kondisi yang masih baik. Daya
yang dihasilkan tersebut dinilai kurang cukup untuk mendukung aktivitas
usaha perikanan di lingkungan PPP Sungailiat.
(7) Bengkel
Bangunan bengkel memiliki luas 230 m2 dengan kondisi yang masih
baik, terdiri atas 150 m2 ruangan tertutup dan 80 m2 teras meja. Peralatan
penunjang operasional bengkel terdiri atas mesin bubut, gerinda, las, bor,
gergaji besi dan mesin lainnya yang digerakkan dengan genset
berkapasitas 12 KW. Tempat pemeliharaan/bengkel yang disediakan oleh
pelabuhan selain berfungsi untuk memperbaiki alat yang rusak juga untuk
menyimpan suku cadang dan peralatan penangkapan. Tingkat kegiatan
operasional bengkel masih perlu ditingkatkan mengingat kebanyakan dari
jenis kegiatan masih terbatas pada perbaikan dan pekerjaan ringan seperti
bor, las, bubut dan pembuatan peralatan kapal. Sebagian besar orderan
yang diterima oleh bengkel yang dikelola PPP Sungailiat tidak hanya
berasal dari nelayan, tetapi juga berasal dari masyarakat di sekitar PPP
Sungailiat.
(8) Gedung pengemasan dan penyimpanan ikan
Gedung pengepakan dan penyimpanan ikan seluas 200 m2 yang
terdiri atas 5 ruang tertutup masing-masing berukuran 3,3 m x 3 m dan
ruang terbuka seluas 155 m2 masih dalam kondisi cukup baik. Gedung
pengepakan dan penyimpanan ikan ini berfungsi sebagai tempat
98
5.2 Pembahasan
Stakeholder (pelaku usaha) untuk tetap menjaga mutu ikan agar harga ikan tetap
stabil.
Pengembangan sistem usaha perikanan tenggiri berdasarkan sistem
bisnis perikanan harus didukung pula dengan adanya infrastruktur/fasilitas
seperti pelabuhan perikanan atau minimal pangkalan pendaratan ikan (PPI) yang
memadai mengingat fasilitas ini hanya terfokus pada PPP Sungailiat, akan tetapi
PPI belum memadai. Lubis (2002) dan Murdiyanto (2004) mengemukakan bahwa
pelabuhan perikanan atau pangkalan pendaratan ikan (PPI) yang merupakan
basis utama kegiatan industri perikanan tangkap harus dapat menjamin
suksesnya aktivitas usaha perikanan tangkap di laut, sehingga usaha
peningkatan produksi dapat dicapai.
Pengembangan usaha perikanan sangat membutuhkan infrastruktur yang
memadai. Infrastruktur dari usaha perikanan tenggiri relatif lengkap, akan tetapi
kapasitas dari infrastruktur tersebut belum memadai, sehingga pemanfaatannya
kurang otimal. Infrastruktur yang menjadi kendala dalam pengembangan usaha
perikanan adalah ketersediaan solar dan listrik.
Kendala ketersediaan solar yaitu sulitnya nelayan untuk mendapatkan
solar saat hendak melaut dan mengalami pembagian jatah, sedangkan kendala
ketersediaan listrik yaitu terlihat dengan sering adanya pemadaman listrik oleh
PLN untuk wilayah Bangka. Selain itu kendala yang dihadapi pada saat ini yaitu
kapal perikanan yang berukuran > 10 GT sulit untuk melakukan aktivitas tambat
labuh pada dermaga ataupun kolam pelabuhan terutama pada saat air surut
terendah. Keadaan kolam pelabuhan saat ini kotor yang disebabkan adanya
pembuangan oli-oli bekas dan sampah dari kapal berasal dari tailing timah
(bekas limbah galian timah), kotoran manusia, sehingga mengakibatkan
sedimentasi di sekitar kolam pelabuhan.
Kendala dalam infrastruktur tersebut diduga akan mengakibatkan
pengembangan usaha perikanan tidak akan mengalami perubahan yang berarti.
Oleh karena itu satu-satunya hal yang perlu dilakukan adalah menyediakan
infrastruktur bagi masing-masing pelaku bisnis perikanan (stakeholder).
Sehubungan dengan hal tersebut, dengan berdasarkan hasil penelitian ini,
berikut beberapa rekomendasi alternatif kebijakan yang diajukan :
1) Membuat dan menetapkan regulasi tentang pemanfaatan sumberdaya
perikanan di Kabupaten Bangka, meliputi tingkat effort optimal sebesar 382-
383 trip per bulan, volume produksi optimal sebesar 12,89 ton per bulan
104
6.1 Kesimpulan
6.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Arimoto T, SJ Choi and YG Choi. 1999. Trend and perspectives for Fishing
Technology Research Towards the sustainable Development. In
Proceeding of 5th Internasional Symposium on Efficient Aplication and
Preservation of Marine Biological Resorces OSU National University.
Japan. P135-144.
Ayodhyoa AU. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Bogor : Yayasan Dewi Sri. 97
hlm.
Aziz KA. 1989. Pendugaan Stok Populasi Ikan Tropis. [Bahan Pengajaran] (tidak
dipublikasikan). Bogor : Pusat antar Universitas Ilmu Hayati. 89 hlm.
[BRPL] Balai Riset Perikanan Laut 2004. Musim Penangkapan Ikan di Indonesia.
Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan.116 hlm.
Barus HR, Badrudin, N Naamin. 1991. Potensi Sumberdaya Perikanan Laut dan
Strategi Pemanfaatannya Bagi Pengembangan Perikanan yang Berkelanjutan.
[Prosiding] Forum II Perikanan; Sukabumi, 18-21 Juni 1991. Jakarta : Pusat
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. hlm 165-180.
Brandt A V. 1984. Fish Catching Methods of the World. Fourth Edition. England :
Blackwell Publishing Ltd. 523 p.
Clark CW and G Munro. 1975. The Economics of Fishing and Modern Capital
Theory. A Simplified Approach. Journal of Environmental Economics and
Management 2 : 92-106.
Dajan A. 1983. Pengantar Metode Statistik. Jilid I. Jakarta : LP3ES. Hlm 313-332.
Fauzi A. 2005. Kebijakan perikanan dan Kelautan: Isu, Sintesis dan Kebijakan.
Jakarta: PT.Gramedia. 185 hlm.
Fyson J. 1985. Design of Small Fishing Vessel. England : Fishing News Books
Ltd. 219 hlm.
Gordon HS.1954. The Economic Theory of Acommon Property Resource. The
Fishery. Journal of Political Economiy 62:124-142.
Gulland JA. 1985. Fish Stock Assestment : A Manual of Basic Methods. New
York : John Wiley and Sons. 223 hlm.
Hernanto F.1989. Ilmu Usaha Tani. Jakarta : Penebar Swadaya. 309 hlm.
Murniyati AS. 2004. Biologi 100 Ikan Laut Ekonomis Penting di Indonesia. Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Perikanan. Jakarta : Departemen Kelautan dan
Perikanan. 202 hlm.
Rahim A. 2005. Analisis Margin Pemasaran Ikan laut Segar di TPI Mina Bahtera
Kabupaten Kulon Progo. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan 15(3):157-
162.
Saanin H. 1994. Taksanomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan II. Bandung :
Penerbit Bina Cipta. 85 hlm.
Sobari MP, Karyadi, Diniah. 2006. Kajian aspek Bio-Teknik dan Finansial
Terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Teri di Perairan Pamekasan
Madura. Buletin Ekonomi Perikanan 6(3) :16-25.
Sparre P dan SC Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan tropis Buku I.
Penterjemah Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan
Penelitian dan pengembangan Pertanian. (Berdasarkan Kerjasama dengan
Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa). Jakarta :
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Terjemahan dari:
Introduction to Tropical Fish Stock Assesment Part 1. 438 hlm.
Subani W dan HR Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang laut di Indonesia..
Jurnal Perikanan Laut 50 : 93 -112.
Sugiarto, T Herlambang, Brastoro, R Sudjana dan S Kelana. 2002. Ekonomi Mikro:
Sebuah Kajian Komprehensif. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 514 hlm.
Suratman. 2001. Studi Kelayakan Proyek. Yogyakarta : J&J Learning. 264 hlm.
Sutoyo. 1993. Studi Kelayakan Proyek : Teori dan Praktek. Jakarta: PT Pustaka
Binaman Pressindo.
Yeap Soon-Eong and Tan Sen-Min. 2002. Issues Facing the Traditional Fish
Products Industry in Southeast Asia. JIRCAS International Symposium 6
: 115–121.
Zarohman. 1996. Hubungan Ukuran Kapal Ikan Daya Penggerak dan Alat
Tangkap. Semarang : BPPI. 85 hlm.